��� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

��� e-ISSN : 2548-1398

��� Vol. 4, No. 12 Desember 2019

�

KONSEP AKAD DALAM LINGKUP EKONOMI SYARIAH

 

Nurlailiyah Aidatus Sholihah dan Fikry Ramadhan Suhendar

Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Miftahul Huda Subang

Email: [email protected] dan [email protected]

 

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa konsep akad dalam Islam. Akad merupakan titik tolak yang menjadi pegangan dalam melaksanakan perjanjian yang disepakati. Para pihak yang melakukan akad harus mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan akad. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan konsep- konsep akad menurut para ulama fiqh untuk kemudian dianalisis terkait penerapannya pada akad-akad yang berlaku dalam lingkup ekonomi syariah. Data yang diperoleh dalam tulisan ini berdasarkan studi kepustakaan. Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama diantaranya terkait rukun akad, menurut hanafiyah rukun akad hanya satu yaitu shighat akad sedangkan menurut jumhur ulama rukun akad meliputi shighat akad, kedua belah pihak yang melakukan akad serta obyek akad. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ketentuan mengenai rukun akad cenderung mengikuti pendapat jumhur. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam BAB III KHES yang menentukan bahwa rukun adalah pihak-pihak yang berakad, obyek akad, tujuan pokok akad dan adanya kesepakatan.

 

Kata kunci: pendapat ulama, syarat dan rukun akad, KHES

 

Pendahuluan

Hubungan antar manusia yang satu dengan yang lain tidak dapat terlepas dari suatu transaksi yang dalam bahasa arab disebut sebagai mu�amalah (Pradja, 2012). Transaksi tersebut dapat menimbulkan hak dan kewajiban apabila kedua belah pihak melakukan suatu akad baik akad yang bersifat māliyah maupun gair māliyah. Akad tersebut kemudian akan mengatur bagaimana hubungan selanjutnya yang akan dilakukan dan didalam akad itu pula terdapat kesepakatan-kesepakatan kedua belah pihak.

Tegaknya aturan dalam negara atau masyarakat islam, adalah bagian dari tujuan Islam yang ada dalam maqasid Syari�ah, yaitu dengan prinsip terwujudnya keadilan, persamaan antar pemeluk atau kelompok yang berbeda pemahaman (Purwanto, 2018). Setiap akad (transaksi) harus benar-benar memperhatikan rasa keadilan dan sedapat mungkin menghindari perasaan tidak adil (Dzalim), oleh karenanya harus ada saling ridha dari masing-masing pihak (Hidayat, 2019). Pentingnya kedudukan akad mengharuskan para pihak mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan akad seperti syarat dan rukun akad. Dengan demikian, apabila para pihak telah mengetahui segala hal yang berkaitan dengan akad diharapkan dapat melakukan akad dengan benar serta dapat melakukan kewajiban dan menerima hak sebagaimana yang telah disepakati.

Secara umum, makna akad yaitu segala sesuatu yang diinginkan oleh seseorang untuk dilakukan, baik keinginan tersebut muncul dari dalam dirinya sendiri maupun yang mengharuskan adanya kehendak dari kedua belah pihak (Rivai, 2010). Perbedaan pendapat ulama juga terdapat pada penentuan syarat dan rukun akad, sebagaimana hanafiyah yang menjadikan sigat akad sebagai satu-satunya rukun akad sedangkan jumhur ulama menjadikan para pihak yang berakad, obyek akad dan sigat akad sebagai rukun akad yang harus dipenuhi (Al-zuhailī, 2008).

Disamping itu, terkait kebolehan melakukan multi akad para ulama juga berbeda pendapat. Sebagaian ulama melarang pelaksanaan multi akad berdasarkan larangan nabi untuk melakukan dua jual beli dalam satu transaksi (Al-�Imronī, 2006), sedangkan pendapat ulama yang lain yang membolehkan multi akad berdasarkan pada kaidah yang menyatakan bahwa setiap transaksi muamalah itu halal kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya (Al-�Imronī, 2006).

Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa poin penting terkait akad diantaranya yaitu definisi, syarat, rukun dan asas-asas akad beserta pendapat-pendapat ulama terkait hal tersebut, dasar hukum melakukan akad serta pembagian akad.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Penelitian ini akan mendeskripsikan konsep-konsep akad yang telah dikemukakan oleh para ulama untuk kemudian dianalisis. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data berdasarkan penelusuran kepustakaan atau library research, sehingga data yang diperoleh berupa data kualitatif. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research mendeskripsikan penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang sangat bergantung� pada informasi dari objek atau partisipan, dengan pengumpulan data yang sebagian besar adalah teks atau kata-kata dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008;46).

 

Hasil dan Pembahasan

A.     Akad menurut Para Ulama Mazhab

Akad berasal dari bahasa arab ﻋﻘﺪ yang secara bahasa memiliki beberapa arti diantaranya yaitu ikatan, pertalian (Jār Allāh, 1438), mengumpulkan, menguatkan, perjanjian, jaminan (Al-�Imronī, 2006). Para ulama� membagi makna al-�uqūd secara istilah ke dalam dua bagian. Pertama, al-�uqūd dalam lingkup makna umum yaitu setiap keharusan dan ikatan, baik dilakukan oleh dua pihak yang saling berinteraksi seperti jual beli, maupun yang dilakukan oleh satu pihak saja seperti sumpah atau al-yamin (Al-�Imronī, 2006).

Kedua, al-�uqūd dalam lingkup makna khusus yaitu ikatan antara dua ujung. Makna yang kedua inilah yang biasa digunakan oleh para fuqaha (Al-�Imronī, 2006). Makna akad secara khusus menurut hanabilah, syafiiyah dan hanafiyah yaitu tekad kedua belah pihak yang berakad atau bersumpah untuk melakukan sesuatu yang diawali dengan adanya ijab kabul (Jār Allāh, 1438).

Menurut fiqh hanafiyah sebagaimana dalam majallāt al-ahkām al-�adliyāt yang dikutip oleh abd al-azīz menyatakan bahwa akad yaitu, kesepakatan kedua belah pihak terhadap sesuatu yang diungkapkan dalam ijab dan qabul. Badr ad-dīn asy-syāfi�i menyatakan bahwa akad merupakan pertalian antara ijab dan qabul. Makna akad menurut fiqh hanabilah yaitu muamalah yang menimbulkan kewajiban dianatara kedua belah pihak berdasarkan adanya ijab dan qabul (Jār Allāh, 1438).

Berdasarkan beberapa makna di atas, akad menurut istilah fikih yang bersifat khusus mencakup seluruh akad-akad māliyah yang dilaksanakan oleh dua belah pihak atau lebih seperti akad jual beli, ijarah, gadai dan lain sebagainya, serta akad-akad gair māliyah seperti akad nikah dan lain-lain. Penggunaan kalimat akad dapat digunakan secara langsung sebagaimana makna asalnya yang bermakna ikatan seperti mengikat tali dan dapat pula digunakan secara kiasan yaitu ikatan antara ijab dan qabul. Dengan demikian, ahli bahasa menggunakan kalimat akad secara maknawi atau kiasan seperti jual beli, nikah dan lain sebagainya (Jār Allāh, 1438).

Dalam pasal 262 Mursyid al-Hairan sebagaimana dikutip Syamsul Anwar, akad merupakan pertemuan antara ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang kemudian menimbulkan akibat hukum pada objek akad (Anwar, 2010)

Pengertian Akad menurut kompilasi hukum ekonomi syariah adalah suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu (Perundang-Undangan, 2010) �Di Indonesia, akad dikenal dengan istilah kontrak.

Menurut Ibnu Abidin sebagaimana dikutip Manan, makna kontrak secara terminologi yaitu pertalian antara ijab dan qabul yang sesuai dengan kehendak Allah dan RasulNya dan dibenarkan oleh syariah yang kemudian menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya (Manan, 2012).

Dari uraian mengenai makna akad di atas, akad menurut penulis yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa akad dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Iltizām atau keharusan tersebut yaitu, setiap taṣarruf yang memiliki arti memberikan atau memindahkan atau mengganti atau menghilangkan hak, baik bersumber dari keinginan seseorang secara pribadi sebagaimana dalam wakaf, talak dan lain sebagainya ataupun keinginan kedua belah pihak seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain (Khosyi�ah, 2014)

Dalam lingkup hukum Indonesia, akad disebut dengan istilah perjanjian, perikatan (Saebani, 2018) atau hukum kontrak sebagaimana dalam KUHPerdata. Di Indonesia, terdapat hukum kontrak yang berisi tentang aturan-aturan terkait pelaksanaan perjanjian dan persetujuan. Hukum kontrak dalam bahasa belanda disebut overeenscom strecht atau dalam bahasa Inggris disebut dengan contract of law (H. S., 2011)

Sebelum penjajah memberlakukan hukum mereka di Indonesia, hukum kontrak yang berlaku di masyarakat adalah hukum adat termasuk di dalamnya hukum kontrak. Hukum adat yang berkaitan dengan hukum kontrak yang berlaku pada masa itu meliputi kontrak yang berkaitan dengan tanah, perkawinan, jual beli dan lain sebagainya. Namun demikian, kontrak tersebut pada umumnya dilakukan secara lisan saja dan bersifat riil sehingga apabila kontrak tersebut belum dilakukan dan baru hanya kesepakatan saja maka kontrak tersebut dianggap tidak pernah ada (Fuady, 2007)

Pendapat-pendapat mengenai makna akad dalam lingkup hukum Indonesia menunjukan beberapa hal yaitu pertama, akad merupakan pertemuan antara ijab dan qabul yang mengakibatkan timbulnya suatu akibat hukum. Kedua, akad merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh dua pihak. Hal ini dikarenakan akad merupakan petemuan ijab yang mengungkapkan kehendak dari satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak dari pihak lain. Ketiga, akad bertujuan untuk melahirkan akibat hukum yaitu mengungkapkan maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad tersebut (Anwar, 2010), (Abidin, Andreas, Djaja, Darmawan, & Gamal, 2008), (Basyir, 2000) syarat dan rukun akad

Rukun dan syarat akad yang harus dipenuhi dalam melakukan akad, menurut madzhab hanafi rukun akad hanya satu yaitu sighat akad yang berupa ijab dan qabul, atau perbuatan yang menunjukan adanya keridoan untuk melakukan pertukaran baik berupa ucapan maupun perbuatan, sedangkan syaratnya adalah �aqidain dan al-ma�qud �alaih atau objek akad (Al-zuhailī, 2008). Hal ini dikarenakan tidak mungkin dapat terjadi shighat ijab qabul apabila tidak ada kedua org yang berakad dan tidak ada obyek akad.

Lain halnya dengan madzhab Syafi�i dan Maliki yang menjadikan �aqidain dan al-ma�qud �alaih sebagai rukun akad. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan unsur utama terlaksananya suatu akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad yaitu al-�aqidain atau dua pihak yang berakad, al-ma�qud �alaih atau obyek akad dan sighat al-�aqdi yaitu ijab dan qabul (Rajafi, 2013)

Dalam KHES rukun akad terdiri dari empat unsur yaitu para pihak yang melakukan akad, obyek akad, tujuan pokok akad dan kesepakatan (Perundang-Undangan, 2010). Berdasarkan rukun akad sebagaimana tercantum dalam KHES dapat diketahui bahwa penentuan rukun akad mengikuti pendapat jumhur ulama dengan adanya penyesuaian konteks keindonesiaan.

Rukun-rukun tersebut memiliki syarat yang harus dipenuhi. Syarat bagi para pihak menurut KHES yaitu memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (Perundang-Undangan, 2010) Demikian halnya menurut jumhur ulama yang mensyaratkan �aqidain haruslah orang yang berakal dan mumayyiz (Al-zuhailī, 2008).

Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat dalam hal kebolehan akad yang dilakukan oleh anak kecil. Menurut ulama Hanabilah, akad jual beli sederhana yang dilakukan anak kecil hukumnya boleh meskipun anak tersebut belum mumayyiz dan tidak mendapatkan ijin dari walinya. Akan tetapi apabila akad jual beli yang dilakukan oleh anak kecil tersebut berkaitan dengan jumlah yang banyak maka hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun walinya mengijinkan (Al-jazīrī, 2004).

Lain halnya dengan ulama Syafi�iyah yang melarang akad jual beli bagi empat golongan yaitu anak kecil baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum mumayyiz, orang gila, hamba meskipun dia mukallaf dan orang yang buta. Larangan tersebut berimplikasi pada batalnya akad jual beli yang dilakukan salah satu di antara mereka (Al-jazīrī, 2004).

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan baligh bagi �āqidain, sehingga akad yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz dan mencapai usia tujuh tahun adalah sah kecuali akad yang dapat menimbulkan madharat (Al-zuhailī, 2008).

Setelah memahami syarat yang harus dipenuhi oleh �āqidain, selanjutnya adalah syarat bagi obyek akad yang juga harus dipenuhi. Berdasarkan KHES, syarat obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masing-masing pihak (Perundang-Undangan, 2010) Jumhur ulama mensyaratkan bahwa obyek akad harus berupa sesuatu yang suci, obyek akad ada dan dapat diserahkan pada saat dilakukan akad, dapat ditentukan dan diketahui (Al-jazīrī, 2004), (Al-zuhailī, 2008), (Basyir, 2000).

Syarat yang harus dipenuhi selanjutnya yaitu terkait ijab dan qabul Ijab adalah penawaran yang yang diajukan oleh salah satu pihak, dan qabul merupakan jawaban persetujuan yang diberikan pihak lain yakni mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak pertama. Akad tidak akan terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak berkaitan satu sama lain. Hal ini dikarenakan akad adalah keterkaitan kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan qabul. Disamping itu, ijab qabul juga disyaratkan dilakukan dalam satu majelis (Anwar, 2010), (Al-zuhailī, 2008), (Al-jazīrī, 2004).

Setelah memahami beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad, dapat dipahami bahwa pelaksanaan akad dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu akad dilakukan dengan ucapan seperti nikah dan lain sebagainya dan akad yang dilakukan dengan perbuatan seperti jual beli mu�athah menurut sebagian ulama (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, 1986). Di Indonesia, pelaksanaan ijab dan qabul dapat dilakukan dengan empat cara yaitu lisan, tulisan, isyarat dan perbuatan (Rajafi, 2013), (Basyir, 2000)

B.     Asas-Asas Akad

Asas-asas akad dikemukakan dalam BAB II pasal 21 KHES diantaranya yaitu, asas sukarela (Pradja, 2012), amanah atau menepati janji, asas kehati-hatian, luzum atau tidak berubah, saling menguntungkan, adanya kesetaraan, transparansi, adanya kemampuan, kemudahan, i�tikad yang baik dan sebab yang halal (Perundang-Undangan, 2010) Syamsul Anwar mengemukakan beberapa asas-asas perjanjian dalam hukum islam secara lebih rinci diantaranya yaitu pertama, asas ibahah yang merupakan asas umum hukum islam dalam bidang muamalat. Asas ini dirumuskan dalam suatu kaidah �pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya�. Kedua, asas Kebebasan Berakad, yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad apa saja tanpa terikat apapun sejauh tidak berakibat merugikan orang lain. Ketiga, Asas Konsensualisme yaitu kesepakatan antara para pihak. Keempat, asas Janji itu Mengikat dan wajib dipenuhi. Kelima, asas Keseimbangan, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Keenam, asas Kemaslahatan yang menegaskan bahwa para pihak membuat akad bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan mudharat. Ketujuh, asas Amanah mengandung makna masing-masing pihak harus memiliki i�tikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya. Kedelapan, asas Keadilan yang merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh semua hukum (Anwar, 2010)

Terkait asas-asas kontrak Mannan menambahkan asas persamaan dan kesetaraan, asas kerelaan yang tertuang dalam formulasi ijab dan qabul dan asas tertulis berdasarkan Q.S. Al-baqarah: 282-283 (Manan, 2012)

Berdasarkan asas-asas tersebut dapat diketahui bahwa apabila para pihak tidak melakukan akad, sama halnya dengan tidak melakukan syariah. Hal ini dikarenakan tujuan utama syariah adalah untuk kemashlahatan umat manusia. Demikian halnya tujuan para pihak dalam melakukan akad harus berpegang teguh pada asas kemashlahatan bagi kedua belah pihak sehinmgga akad yang dibuat tidak menimbulkan madharat bagi keduanya.

C.     Hukum akad

Hukum akad menurut KHES dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, akad yang sah yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Kedua, akad yang fasad yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syarat- syaratnya akan tetapi terdapat suatu hal yang merusak akad tersebut berdasarkan pertimbangan mashlahat. Ketiga, akad yang batal yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan atau syarat- syaratnya (Perundang-Undangan, 2010)

Menurut Jumhur ulama, hukum akad dibagi menjadi dua yaitu akad yang sah dan akad yang tidak sah. Akad yang sah yaitu akad yang terpenuhi semua akad dan rukunnya, sedangkan akad yang tidak sah yaitu akad yang tidak terpenuhi syarat dan rukunnya. Akad yang tidak terpenuhi syarat dan rukunnya dinamakan akad fasid atau batil. Lain halnya dengan hanafiyah yang membedakan antara akad fasid dan batil. Akad fasid menurut Hanafiyah yaitu akad yang dilarang secara syara seperti akad yang mengandung riba. Selanjutnya, akad batil yaitu akad yang tidak dilarang secara riil di dalam syariat, seperti jual beli bangkai (Al-�Imronī, 2006).

D.    Dasar Hukum Akad

Dalam al-quran, terdapat tujuh ayat yang menggunakan kata akad dan turunannya yaitu dalam Q.S. Al-baqarah: 235, 237, Q.S. An-nisa: 33, Q.S. Al-maidah: 1, 89, Q.S. Thaha: 27 dan Q.S. Al-falaq: 4.

Penggunaan lafadz ﻋﻘﺪﺓ pada Q.S. Al-baqarah: 235, 237 menunjukan makna akad secara khusus yakni akad nikah (Kaṡīr, 2005), (Shihab, 2016). Pada Q.S. An-nisa: 33 lafadz ﻋﻘﺪﺕ bermakna janji setia yang diucapkan oleh seseorang kepada orang lain untuk saling mewarisi (Kaṡīr, 2005). Menurut Abu Muslim Al-ashfahani dan Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam tafsirnya, menyatakan bahwa janji setia yang dimaksud pada ayat tersebut adalah janji setia antara suami dan istri sehingga menurutnya yang berhak mendapatkan bagian warisan adalah ibu, bapak, karib kerabat dan pasangan suami istri (Shihab, 2016).

Q.S. Al-maidah: 1 memerintahkan secara tegas kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan setiap akad perjanjian baik yang tersurat maupun tersirat di dalam al-quran (Shihab, 2016). Menurut Ibnu �Abbas sebagaimana dikutuip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan akad pada ayat ini adalah janji-janji serta sumpah-sumpah untuk mentaati segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah. Secara spesifik, Zaid bin Aslam berpendapat bahwa akad-akad yang dimaksud pada ayat ini meliputi enam hal yaitu, janji hamba kepada Allah, akad syirkah, akad jual beli, akad nikah, akad sumpah, bersumpah dengan nama Allah, akad sumpah (Kaṡīr, 2005).

Pada Q.S. Thaha:� 27 lafadz ﻋﻘﺪﺓ bermakna khususu untuk bermakna khusus yakni menunjukan arti gagap atau celat sehingga kesulitan untuk berbicara dengan fashih menurut suatu riwayat (Kaṡīr, 2005). Sedangkan menurut Quraish shihab sebagaimana dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan ﻋﻘﺪﺓ pada ayat tersebut yaitu kekurang fashihan nabi Musa dalam berbahasa Ibrani (Shihab, 2016).

Lafadz ﺍﻟﻌﻘﺪ pada Q.S. Al-falaq: 4 dapat dimaknai dengan makna hakiki yaitu tali yang mengikat. Dalam ayat ini tali yang maksud adalah simpul-simpul atau buhul-buhul yang digunakan oleh penyihir (Shihab, 2016). Berdasarkan beberapa ayat di atas, dapat diketahui bahwa lafadz ﻋﻘﺪ dan beberapa turunannya yang terdapat dalam al-quran memiliki beragam makna umum dan khusus, namun demikian hanya terdapat satu ayat yang menunjukan makna akad secara umum yakni lafadz ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ sebagaimana dalam Q.S. Al-maidah: 1. Dengan demikian, Q.S. Al- maidah: 1 dapat dijadikan landasan hukum berbagai macam akad baik yang dibuat oleh sesama manusia maupun akad yang dibuat oleh manusia dengan Allah.

E.     Pembagian Akad

Menurut Sa�du Ad-din akad dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu pertama, Akad mu�awaḍāt, seperti jual beli, ijārah, ju�ālah. Kedua, Akad irfaq seperti qard, �āriyah. Ketiga, Akad tabarru�āt seperti hibah dan hadiah, wakaf. Keempat, Akad akad i�timān seperti wadi�ah (Al-kibbī, 2002).

Pembagian akad secara lebih rinci dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok yaitu pertama, akad bernama dan akad tak bernama seperti, sewa-menyewa, dan perjanjian penerbitan dan lain sebagainya. Kedua, akad pokok dan akad asesoir seperti akad jual beli dan akad kafalah. Ketiga, akad bertempo dan akad tidak bertempo seperti sewa-menyewa dan jual beli. Keempat, akad konsensual, akad formalistik dan akad riil seperti jual beli, akad nikah dan hibah. Kelima, akad masyru� dan akad terlarang seperti jual beli dan jual beli janin. Keenam, akad yang sah dan akad tidak sah. Ketujuh, akad mengikat dan akad tidak mengikat seperti jual beli. Kedelapan, akad nafiz dan akad mauquf. Kesembilan, akad tanggungan, akad kepercayaan dan akad bersifat ganda. Kesepuluh, akad mu�awadah, akad tabaru, dan akad muawadah dan tabaru� sekaligus (Anwar, 2010) Selain pembagian akad sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pembagian akad dapat dikelompokan berdasarkan banyaknya akad yang digunakan dalam satu transaksi. Pengelompokan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu akad tunggal (basīṭ) dan akad majemuk (murakkab). Akad basith yaitu, akad yang hanya terdiri dari satu macam akad saja. Seperti akad jual beli, akad sewa menyewa dan lain sebagainya �(Al-�Imronī, 2006). Para ulama sepakat bahwa akad basīṭ hukumnya adalah boleh selama tidak bertentangan dengan syariat islam. Sedangkan akad murakkab yaitu, suatu akad yang di dalamnya terdapat dua akad atau lebih, baik akad-akad tersebut digabungkan atau sebagai bentuk timbal balik. Dalam akad majemuk, tetap memperhatikan semua persyaratan yang harus dipenuhi (Al-�Imronī, 2006).

Menurut Najih Hammad sebagaimana dikutip oleh Hasanudin dalam desertasinya, akad murakkab yaitu, kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih di dalamnya seperti jual beli dengan sewa, syirkah, mudharabah dan lain- lain, sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad (Abidin et al., 2008).

Secara garis besar, pendapat para ulama terkait hukum asal al- �uqūd al-māliyah dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama, pendapat jumhur ulama hanafiyah, sebagian malikiyah, syafi�iyyah dan hanabilah yang menyatakan bahwa, hukum al-�uqūd al-māliyah al-murakkabah adalah boleh dan sah, tidak haram dan tidak batal kecuali ada dalil syar�i yang mengharamkannya berdasarkan Q.S. Al-Maidah: 1 (Al-�Imronī, 2006).

Pendapat lain dikemukakan oleh golongan ḍahiriyah yang menyatakan bahwa, hukum al-�uqūd al-māliyah al-murakkabah adalah dilarang dan batal, tidak diperbolehkan dan tidak sah kecuali jika ada dalil syara� yang menunjukan kebolehannya, berdasarkan Q.S. Al- Baqarah: 229 (Al-�Imronī, 2006).

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui mengenai beberapa hal terkait akad. Pertama, akad berasal dari bahasa arab yang berarti ikatan. Penggunaan akad dalam aspek perjanjian merupakan makna akad secara kiasan atau maknawi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akad yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Dalam hal rukun akad, terdapat perbedaan diantara para ulama. Ulama hanafiyah menjadikan shigat jumhur ulama selain Hanafiyah memasukan para pihak yang berakad dan obyek akad sebagai rukun. Demikian halnya dalam KHES dengan menambahkan tujuan akad dan kesepakatan sebagai rukun akad.

Kedua, landasan hukum melakukan akad yaitu berdasarkan Q.S. Al- maidah: 1 yang memerintahkan secara tegas kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan setiap akad perjanjian baik yang tersurat maupun tersirat di dalam al-quran.

Ketiga, multi akad yaitu gabungan beberapa akad yang dilakukan dalam satu transaksi. Secara garis besar terdapat dua pendapat utama yaitu kelompok yang membolehkan berdasarkan Q.S. Al-maidah: 1 dan kaidah bahwa setiap muamalah diperbolehkan kecuali apabila ada dalil yang melarangnya. Kelompok kedua melarang adanya multi akad berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: 229.

Namun demikian, untuk dapat menjawab perkembangan dalam bidang ekonomi syariah, penulis berpendapat bahwa akad majemuk diperbolehkan selama mengikuti ketentuan yang tidak melanggar syariat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abidin, H. Z., Andreas, H., Djaja, R., Darmawan, D., & Gamal, M. (2008). Land subsidence characteristics of Jakarta between 1997 and 2005, as estimated using GPS surveys. Gps Solutions, 12(1), 23�32.

 

Al-�Imronī, �Abd-Allāh bin Muhammad bin �Abd-Allāh. (2006). Al-�Uqūd Al Māliyyah Al-Murakkabah Dirāsah Fiqhiyyah Ta�ṣīliyyah Wa Al Taṭbīqiyyah. Riyāḍ: kunūzisybīliy.

 

Al-jazīrī, A. A. (2004). Al-fiqh �Alā Al-mażahib Al-arba�ah. Dār Al-Fajr Li Al-Turā, 3.

Al-kibbī, S. A. M. (2002). Al-mu�āmalāt Al-māliyah Al-mu�āṣiroh fī Ḍoui Al islām. Bairut: Al-maktab Al-islām.

 

Al-zuhailī, W. (2008). Al-fiqh Al-islāmīwa Adillatuhu (Vol. 4). Damaskus: Dār Al-fik.

Anwar, S. (2010). Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat.

 

Basyir, A. A. (2000). Asas-Asas Hukum Muamalat. Hukum Perdata Islam.

 

Fuady, M. (2007). Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Adiya Bakti.

 

H. S., S. (2011). Hukum Kontrak"Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak". Jakarta: Sinar Grafika.

 

Hidayat, A. dan A. (2019). Nilai-Nilai Islam Pada Bank Berbasis Syariah (Studi Pada Bank BRI Syariah Cabang Kota Cirebon). Syntax, 1(6).

 

Jār Allāh, A. A.-�Azīz B. G. A. �Alī. (1438). Ahkām wa Ḍawābit Al-�Uqūd Al-elektrōniyah fī Al-fiqh Al-Islāmī wa Al-qānūn �bi Al-taṭbīq �Alā Niẓām Al-ta�āmulāt Al-elektrōniyah Al-Su�ūdi.� Riyāḍ: Dār Al kutub Al-jāmi �ili Al-nayr wa Al-tauzi.

 

Kaṡīr, I. (2005). Tafsīr al-Qurān al-�Aẓīm (Vol. 1). Kairo: Dār Al - ḥadīṡ.

 

Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait. (1986). Al-mausū�ahal - Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah. Kuwait: wizārah al - awqāf wa al - syu�un al islāmiyyah.

 

Khosyi�ah, S. (2014). Fiqh Muamalah Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.

 

Manan, A. (2012). Hukum Ekonomi Syariah dalam Persepektif Peradilan Agama. Kencana Pernada Media Group, Jakarta.

 

Perundang-Undangan, H. P. (2010). Undang-undang SISDIKNAS Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Fokusmedia.

 

Pradja, J. S. (2012). Ekonomi Syariah. CV Pustaka Setia.

Purwanto, I. D. (2018). Hukum Islam Terhadap Potongan Harga (Studi di Lativah Hijab Cirebon). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(9), 21�29.

 

Rajafi, A. (2013). Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia; Telaah Kritis Berdasarkan Metode Ijtihad Yusuf Al-Qaradawi. LKIS PELANGI AKSARA.

 

Rivai, V. (2010). dkk. Islamic Financial Management. Bogor: Ghalia Indonesia.

 

Saebani, B. A. (2018). Hukum Ekonomi Dan Akad Syariah Di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.

 

Shihab, M. Q. (2016). Tafsir Al- mishbah �Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-qur�an.� In 1. Tangerang: Lentera Hati.