��� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��� e-ISSN : 2548-1398
��� Vol. 4, No. 12 Desember 2019
�
KONSEP
AKAD DALAM LINGKUP EKONOMI SYARIAH
Nurlailiyah
Aidatus Sholihah dan Fikry Ramadhan Suhendar
Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dan Dosen Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Miftahul Huda Subang
Email:
[email protected] dan [email protected]
Abstrak
Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisa konsep akad dalam Islam. Akad merupakan
titik tolak yang menjadi pegangan dalam melaksanakan perjanjian yang
disepakati. Para pihak yang melakukan akad harus mengetahui segala sesuatu yang
berkaitan dengan akad. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan konsep- konsep akad
menurut para ulama fiqh untuk kemudian dianalisis terkait penerapannya pada
akad-akad yang berlaku dalam lingkup ekonomi syariah. Data yang diperoleh dalam
tulisan ini berdasarkan studi kepustakaan. Terdapat perbedaan pendapat diantara
ulama diantaranya terkait rukun akad, menurut hanafiyah rukun akad hanya satu
yaitu shighat akad sedangkan menurut jumhur ulama rukun akad meliputi shighat
akad, kedua belah pihak yang melakukan akad serta obyek akad. Dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah ketentuan mengenai rukun akad cenderung mengikuti
pendapat jumhur. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam BAB III KHES yang
menentukan bahwa rukun adalah pihak-pihak yang berakad, obyek akad, tujuan
pokok akad dan adanya kesepakatan.
Kata
kunci:
pendapat ulama, syarat dan rukun akad, KHES
Pendahuluan
Hubungan antar manusia
yang satu dengan yang lain tidak dapat terlepas dari suatu transaksi yang dalam
bahasa arab disebut sebagai mu�amalah (Pradja, 2012). Transaksi
tersebut dapat menimbulkan hak dan kewajiban apabila kedua belah pihak
melakukan suatu akad baik akad yang bersifat māliyah maupun gair
māliyah. Akad tersebut kemudian akan mengatur bagaimana hubungan selanjutnya
yang akan dilakukan dan didalam akad itu pula terdapat kesepakatan-kesepakatan
kedua belah pihak.
Tegaknya aturan dalam
negara atau masyarakat islam, adalah bagian dari tujuan Islam yang ada dalam
maqasid Syari�ah, yaitu dengan prinsip terwujudnya keadilan, persamaan antar
pemeluk atau kelompok yang berbeda pemahaman
(Purwanto, 2018). Setiap akad
(transaksi) harus benar-benar memperhatikan rasa keadilan dan sedapat mungkin
menghindari perasaan tidak adil (Dzalim), oleh karenanya harus ada saling ridha
dari masing-masing pihak (Hidayat, 2019).
Pentingnya
kedudukan akad mengharuskan para pihak mengetahui dan memahami hal-hal yang
berkaitan dengan akad seperti syarat dan rukun akad. Dengan demikian, apabila
para pihak telah mengetahui segala hal yang berkaitan dengan akad diharapkan
dapat melakukan akad dengan benar serta dapat melakukan kewajiban dan menerima
hak sebagaimana yang telah disepakati.
Secara umum, makna akad
yaitu segala sesuatu yang diinginkan oleh seseorang untuk dilakukan, baik
keinginan tersebut muncul dari dalam dirinya sendiri maupun yang mengharuskan
adanya kehendak dari kedua belah pihak (Rivai, 2010).
Perbedaan
pendapat ulama juga terdapat pada penentuan syarat dan rukun akad, sebagaimana
hanafiyah yang menjadikan sigat akad sebagai satu-satunya rukun akad sedangkan
jumhur ulama menjadikan para pihak yang berakad, obyek akad dan sigat akad
sebagai rukun akad yang harus dipenuhi
(Al-zuhailī, 2008).
Disamping itu, terkait
kebolehan melakukan multi akad para ulama juga berbeda pendapat. Sebagaian
ulama melarang pelaksanaan multi akad berdasarkan larangan nabi untuk melakukan
dua jual beli dalam satu transaksi (Al-�Imronī, 2006), sedangkan
pendapat ulama yang lain yang membolehkan multi akad berdasarkan pada kaidah
yang menyatakan bahwa setiap transaksi muamalah itu halal kecuali apabila ada
dalil yang mengharamkannya (Al-�Imronī, 2006).
Dengan demikian, dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa poin penting terkait akad
diantaranya yaitu definisi, syarat, rukun dan asas-asas akad beserta
pendapat-pendapat ulama terkait hal tersebut, dasar hukum melakukan akad serta
pembagian akad.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif
analitis. Penelitian ini akan mendeskripsikan konsep-konsep akad yang telah
dikemukakan oleh para ulama untuk kemudian dianalisis. Data yang diperoleh
dalam penelitian ini adalah data berdasarkan penelusuran kepustakaan atau
library research, sehingga data yang diperoleh berupa data kualitatif. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research mendeskripsikan penelitian kualitatif
merupakan jenis penelitian yang sangat bergantung� pada informasi dari objek atau partisipan,
dengan pengumpulan data yang sebagian besar adalah teks atau kata-kata dari
partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan melakukan
penelitian secara subyektif (Creswell, 2008;46).
Hasil dan Pembahasan
A. Akad menurut Para Ulama Mazhab
Akad berasal
dari bahasa arab ﻋﻘﺪ yang secara bahasa memiliki beberapa arti
diantaranya yaitu ikatan, pertalian (Jār Allāh, 1438), mengumpulkan,
menguatkan, perjanjian, jaminan (Al-�Imronī, 2006). Para ulama�
membagi makna al-�uqūd secara istilah ke dalam dua bagian. Pertama,
al-�uqūd dalam lingkup makna umum yaitu setiap keharusan dan ikatan, baik
dilakukan oleh dua pihak yang saling berinteraksi seperti jual beli, maupun
yang dilakukan oleh satu pihak saja seperti sumpah atau al-yamin (Al-�Imronī, 2006).
Kedua,
al-�uqūd dalam lingkup makna khusus yaitu ikatan antara dua ujung. Makna
yang kedua inilah yang biasa digunakan oleh para fuqaha (Al-�Imronī, 2006). Makna akad secara khusus menurut
hanabilah, syafiiyah dan hanafiyah yaitu tekad kedua belah pihak yang berakad
atau bersumpah untuk melakukan sesuatu yang diawali dengan adanya ijab kabul (Jār Allāh,
1438).
Menurut fiqh
hanafiyah sebagaimana dalam majallāt al-ahkām al-�adliyāt yang
dikutip oleh abd al-azīz menyatakan bahwa akad yaitu, kesepakatan kedua
belah pihak terhadap sesuatu yang diungkapkan dalam ijab dan qabul. Badr
ad-dīn asy-syāfi�i menyatakan bahwa akad merupakan pertalian antara
ijab dan qabul. Makna akad menurut fiqh hanabilah yaitu muamalah yang
menimbulkan kewajiban dianatara kedua belah pihak berdasarkan adanya ijab dan
qabul (Jār Allāh, 1438).
Berdasarkan
beberapa makna di atas, akad menurut istilah fikih yang bersifat khusus
mencakup seluruh akad-akad māliyah yang dilaksanakan oleh dua belah pihak
atau lebih seperti akad jual beli, ijarah, gadai dan lain sebagainya, serta
akad-akad gair māliyah seperti akad nikah dan lain-lain. Penggunaan
kalimat akad dapat digunakan secara langsung sebagaimana makna asalnya yang
bermakna ikatan seperti mengikat tali dan dapat pula digunakan secara kiasan
yaitu ikatan antara ijab dan qabul. Dengan demikian, ahli bahasa menggunakan
kalimat akad secara maknawi atau kiasan seperti jual beli, nikah dan lain
sebagainya (Jār Allāh,
1438).
Dalam pasal 262
Mursyid al-Hairan sebagaimana dikutip Syamsul Anwar, akad merupakan pertemuan
antara ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain
yang kemudian menimbulkan akibat hukum pada objek akad (Anwar, 2010)
Pengertian Akad
menurut kompilasi hukum ekonomi syariah adalah suatu kesepakatan dalam suatu
perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau
tidak melakukan perbuatan hukum tertentu (Perundang-Undangan, 2010) �Di Indonesia, akad dikenal dengan istilah
kontrak.
Menurut Ibnu
Abidin sebagaimana dikutip Manan, makna kontrak secara terminologi yaitu
pertalian antara ijab dan qabul yang sesuai dengan kehendak Allah dan RasulNya
dan dibenarkan oleh syariah yang kemudian menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya (Manan, 2012).
Dari uraian
mengenai makna akad di atas, akad menurut penulis yaitu kesepakatan atau
hubungan antara dua pihak atau lebih yang diungkapkan dalam suatu ijab dan
qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, serta menimbulkan hak dan
kewajiban diantara keduanya.
Dengan demikian
dapat diketahui bahwa akad dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak. Iltizām atau keharusan tersebut yaitu, setiap taṣarruf yang
memiliki arti memberikan atau memindahkan atau mengganti atau menghilangkan
hak, baik bersumber dari keinginan seseorang secara pribadi sebagaimana dalam
wakaf, talak dan lain sebagainya ataupun keinginan kedua belah pihak seperti
jual beli, sewa menyewa dan lain-lain (Khosyi�ah, 2014)
Dalam lingkup
hukum Indonesia, akad disebut dengan istilah perjanjian, perikatan (Saebani, 2018) atau hukum
kontrak sebagaimana dalam KUHPerdata. Di Indonesia, terdapat hukum kontrak yang
berisi tentang aturan-aturan terkait pelaksanaan perjanjian dan persetujuan.
Hukum kontrak dalam bahasa belanda disebut overeenscom strecht atau
dalam bahasa Inggris disebut dengan contract of law (H. S., 2011)
Sebelum penjajah
memberlakukan hukum mereka di Indonesia, hukum kontrak yang berlaku di
masyarakat adalah hukum adat termasuk di dalamnya hukum kontrak. Hukum adat
yang berkaitan dengan hukum kontrak yang berlaku pada masa itu meliputi kontrak
yang berkaitan dengan tanah, perkawinan, jual beli dan lain sebagainya. Namun
demikian, kontrak tersebut pada umumnya dilakukan secara lisan saja dan
bersifat riil sehingga apabila kontrak tersebut belum dilakukan dan baru hanya
kesepakatan saja maka kontrak tersebut dianggap tidak pernah ada (Fuady, 2007)
Pendapat-pendapat
mengenai makna akad dalam lingkup hukum Indonesia menunjukan beberapa hal yaitu
pertama, akad merupakan pertemuan antara ijab dan qabul yang mengakibatkan
timbulnya suatu akibat hukum. Kedua, akad merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh dua pihak. Hal ini dikarenakan akad merupakan petemuan ijab yang
mengungkapkan kehendak dari satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak dari
pihak lain. Ketiga, akad bertujuan untuk melahirkan akibat hukum yaitu
mengungkapkan maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para
pihak melalui pembuatan akad tersebut (Anwar, 2010), (Abidin, Andreas, Djaja, Darmawan, & Gamal, 2008), (Basyir, 2000) syarat dan
rukun akad
Rukun dan syarat
akad yang harus dipenuhi dalam melakukan akad, menurut madzhab hanafi rukun
akad hanya satu yaitu sighat akad yang berupa ijab dan qabul, atau perbuatan
yang menunjukan adanya keridoan untuk melakukan pertukaran baik berupa ucapan
maupun perbuatan, sedangkan syaratnya adalah �aqidain dan al-ma�qud �alaih atau
objek akad (Al-zuhailī, 2008). Hal ini
dikarenakan tidak mungkin dapat terjadi shighat ijab qabul apabila tidak ada
kedua org yang berakad dan tidak ada obyek akad.
Lain halnya
dengan madzhab Syafi�i dan Maliki yang menjadikan �aqidain dan al-ma�qud
�alaih sebagai rukun akad. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan unsur
utama terlaksananya suatu akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad yaitu
al-�aqidain atau dua pihak yang berakad, al-ma�qud �alaih atau obyek
akad dan sighat al-�aqdi yaitu ijab dan qabul (Rajafi, 2013)
Dalam KHES rukun
akad terdiri dari empat unsur yaitu para pihak yang melakukan akad, obyek akad,
tujuan pokok akad dan kesepakatan (Perundang-Undangan, 2010). Berdasarkan rukun akad sebagaimana
tercantum dalam KHES dapat diketahui bahwa penentuan rukun akad mengikuti
pendapat jumhur ulama dengan adanya penyesuaian konteks keindonesiaan.
Rukun-rukun
tersebut memiliki syarat yang harus dipenuhi. Syarat bagi para pihak menurut
KHES yaitu memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (Perundang-Undangan, 2010) Demikian halnya
menurut jumhur ulama yang mensyaratkan �aqidain haruslah orang yang berakal dan
mumayyiz (Al-zuhailī, 2008).
Namun demikian,
terdapat perbedaan pendapat dalam hal kebolehan akad yang dilakukan oleh anak
kecil. Menurut ulama Hanabilah, akad jual beli sederhana yang dilakukan anak
kecil hukumnya boleh meskipun anak tersebut belum mumayyiz dan tidak
mendapatkan ijin dari walinya. Akan tetapi apabila akad jual beli yang
dilakukan oleh anak kecil tersebut berkaitan dengan jumlah yang banyak maka hal
tersebut tidak diperbolehkan meskipun walinya mengijinkan (Al-jazīrī, 2004).
Lain halnya
dengan ulama Syafi�iyah yang melarang akad jual beli bagi empat golongan yaitu
anak kecil baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum mumayyiz, orang gila,
hamba meskipun dia mukallaf dan orang yang buta. Larangan tersebut berimplikasi
pada batalnya akad jual beli yang dilakukan salah satu di antara mereka (Al-jazīrī, 2004).
Ulama Hanafiyah
tidak mensyaratkan baligh bagi �āqidain, sehingga akad yang dilakukan oleh
anak kecil yang sudah mumayyiz dan mencapai usia tujuh tahun adalah sah kecuali
akad yang dapat menimbulkan madharat
(Al-zuhailī, 2008).
Setelah memahami
syarat yang harus dipenuhi oleh �āqidain, selanjutnya adalah syarat bagi
obyek akad yang juga harus dipenuhi. Berdasarkan KHES, syarat obyek akad adalah
amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masing-masing pihak (Perundang-Undangan, 2010) Jumhur ulama mensyaratkan
bahwa obyek akad harus berupa sesuatu yang suci, obyek akad ada dan dapat
diserahkan pada saat dilakukan akad, dapat ditentukan dan diketahui (Al-jazīrī, 2004), (Al-zuhailī, 2008), (Basyir, 2000).
Syarat yang
harus dipenuhi selanjutnya yaitu terkait ijab dan qabul Ijab adalah penawaran
yang yang diajukan oleh salah satu pihak, dan qabul merupakan jawaban
persetujuan yang diberikan pihak lain yakni mitra akad sebagai tanggapan
terhadap penawaran pihak pertama. Akad tidak akan terjadi apabila pernyataan
kehendak masing-masing pihak tidak berkaitan satu sama lain. Hal ini
dikarenakan akad adalah keterkaitan kehendak kedua pihak yang tercermin dalam
ijab dan qabul. Disamping itu, ijab qabul juga disyaratkan dilakukan dalam satu
majelis (Anwar, 2010), (Al-zuhailī, 2008),
(Al-jazīrī, 2004).
Setelah memahami
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad, dapat dipahami bahwa
pelaksanaan akad dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu akad dilakukan
dengan ucapan seperti nikah dan lain sebagainya dan akad yang dilakukan dengan
perbuatan seperti jual beli mu�athah menurut sebagian ulama (Kementerian Wakaf dan
Urusan Agama Kuwait, 1986).
Di Indonesia,
pelaksanaan ijab dan qabul dapat dilakukan dengan empat cara yaitu lisan,
tulisan, isyarat dan perbuatan (Rajafi, 2013), (Basyir, 2000)
B. Asas-Asas Akad
Asas-asas akad
dikemukakan dalam BAB II pasal 21 KHES diantaranya yaitu, asas sukarela (Pradja, 2012), amanah atau
menepati janji, asas kehati-hatian, luzum atau tidak berubah, saling
menguntungkan, adanya kesetaraan, transparansi, adanya kemampuan, kemudahan, i�tikad
yang baik dan sebab yang halal (Perundang-Undangan, 2010) Syamsul Anwar
mengemukakan beberapa asas-asas perjanjian dalam hukum islam secara lebih rinci
diantaranya yaitu pertama, asas ibahah yang merupakan asas umum hukum islam
dalam bidang muamalat. Asas ini dirumuskan dalam suatu kaidah �pada asasnya
segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya�. Kedua,
asas Kebebasan Berakad, yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang
dapat membuat akad apa saja tanpa terikat apapun sejauh tidak berakibat
merugikan orang lain. Ketiga, Asas Konsensualisme yaitu kesepakatan antara para
pihak. Keempat, asas Janji itu Mengikat dan wajib dipenuhi. Kelima, asas
Keseimbangan, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima
maupun keseimbangan dalam memikul resiko. Keenam, asas Kemaslahatan yang
menegaskan bahwa para pihak membuat akad bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan mudharat. Ketujuh, asas
Amanah mengandung makna masing-masing pihak harus memiliki i�tikad baik dalam
bertransaksi dengan pihak lainnya. Kedelapan, asas Keadilan yang merupakan
tujuan yang hendak dicapai oleh semua hukum (Anwar, 2010)
Terkait
asas-asas kontrak Mannan menambahkan asas persamaan dan kesetaraan, asas
kerelaan yang tertuang dalam formulasi ijab dan qabul dan asas tertulis
berdasarkan Q.S. Al-baqarah: 282-283 (Manan, 2012)
Berdasarkan
asas-asas tersebut dapat diketahui bahwa apabila para pihak tidak melakukan
akad, sama halnya dengan tidak melakukan syariah. Hal ini dikarenakan tujuan
utama syariah adalah untuk kemashlahatan umat manusia. Demikian halnya tujuan
para pihak dalam melakukan akad harus berpegang teguh pada asas kemashlahatan
bagi kedua belah pihak sehinmgga akad yang dibuat tidak menimbulkan madharat
bagi keduanya.
C. Hukum akad
Hukum akad
menurut KHES dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, akad yang sah yaitu akad
yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Kedua, akad yang fasad yaitu akad
yang terpenuhi rukun dan syarat- syaratnya akan tetapi terdapat suatu hal yang
merusak akad tersebut berdasarkan pertimbangan mashlahat. Ketiga, akad yang
batal yaitu akad
yang terdapat kekurangan pada rukun dan atau syarat- syaratnya (Perundang-Undangan, 2010)
Menurut Jumhur
ulama, hukum akad dibagi menjadi dua yaitu akad yang sah dan akad yang tidak
sah. Akad yang sah yaitu akad yang terpenuhi semua akad dan rukunnya, sedangkan
akad yang tidak sah yaitu akad yang tidak terpenuhi syarat dan rukunnya. Akad
yang tidak terpenuhi syarat dan rukunnya dinamakan akad fasid atau batil. Lain
halnya dengan hanafiyah yang membedakan antara akad fasid dan batil. Akad fasid
menurut Hanafiyah yaitu akad yang dilarang secara syara seperti akad yang
mengandung riba. Selanjutnya, akad batil yaitu akad yang tidak dilarang secara
riil di dalam syariat, seperti jual beli bangkai (Al-�Imronī, 2006).
D. Dasar Hukum Akad
Dalam al-quran,
terdapat tujuh ayat yang menggunakan kata akad dan turunannya yaitu dalam Q.S.
Al-baqarah: 235, 237, Q.S. An-nisa: 33, Q.S. Al-maidah: 1, 89, Q.S. Thaha: 27
dan Q.S. Al-falaq: 4.
Penggunaan lafadz
ﻋﻘﺪﺓ pada Q.S. Al-baqarah: 235, 237 menunjukan
makna akad secara khusus yakni akad nikah (Kaṡīr, 2005),
(Shihab, 2016). Pada Q.S.
An-nisa: 33 lafadz ﻋﻘﺪﺕ bermakna janji setia yang diucapkan oleh
seseorang kepada orang lain untuk saling mewarisi (Kaṡīr, 2005). Menurut Abu
Muslim Al-ashfahani dan Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Quraish Shihab
dalam tafsirnya, menyatakan bahwa janji setia yang dimaksud pada ayat tersebut
adalah janji setia antara suami dan istri sehingga menurutnya yang berhak
mendapatkan bagian warisan adalah ibu, bapak, karib kerabat dan pasangan suami
istri (Shihab, 2016).
Q.S. Al-maidah:
1 memerintahkan secara tegas kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan
setiap akad perjanjian baik yang tersurat maupun tersirat di dalam al-quran (Shihab, 2016). Menurut Ibnu �Abbas sebagaimana
dikutuip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan akad pada ayat ini
adalah janji-janji serta sumpah-sumpah untuk mentaati segala yang diperintahkan
dan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah. Secara spesifik, Zaid bin Aslam
berpendapat bahwa akad-akad yang dimaksud pada ayat ini meliputi enam hal
yaitu, janji hamba kepada Allah, akad syirkah, akad jual beli, akad nikah, akad
sumpah, bersumpah dengan nama Allah, akad sumpah (Kaṡīr, 2005).
Pada Q.S. Thaha:� 27
lafadz ﻋﻘﺪﺓ bermakna
khususu untuk bermakna khusus yakni menunjukan arti gagap atau celat sehingga
kesulitan untuk berbicara dengan fashih menurut suatu riwayat (Kaṡīr, 2005). Sedangkan
menurut Quraish shihab sebagaimana dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan ﻋﻘﺪﺓ pada ayat tersebut yaitu kekurang
fashihan nabi Musa dalam berbahasa Ibrani (Shihab, 2016).
Lafadz ﺍﻟﻌﻘﺪ pada Q.S.
Al-falaq: 4 dapat dimaknai dengan makna hakiki yaitu tali yang mengikat. Dalam
ayat ini tali yang maksud adalah simpul-simpul atau buhul-buhul yang digunakan
oleh penyihir (Shihab, 2016). Berdasarkan
beberapa ayat di atas, dapat diketahui bahwa lafadz ﻋﻘﺪ dan beberapa
turunannya yang terdapat dalam al-quran memiliki beragam makna umum dan khusus,
namun demikian hanya terdapat satu ayat yang menunjukan makna akad secara umum
yakni lafadz ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ sebagaimana dalam Q.S. Al-maidah: 1.
Dengan demikian, Q.S. Al- maidah: 1 dapat dijadikan landasan hukum berbagai
macam akad baik yang dibuat oleh sesama manusia maupun akad yang dibuat oleh
manusia dengan Allah.
E. Pembagian Akad
Menurut Sa�du Ad-din
akad dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu pertama, Akad mu�awaḍāt,
seperti jual beli, ijārah, ju�ālah. Kedua, Akad irfaq seperti qard,
�āriyah. Ketiga, Akad tabarru�āt seperti hibah dan hadiah, wakaf.
Keempat, Akad akad i�timān seperti wadi�ah (Al-kibbī, 2002).
Pembagian akad
secara lebih rinci dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok yaitu pertama,
akad bernama dan akad tak bernama seperti, sewa-menyewa, dan perjanjian
penerbitan dan lain sebagainya. Kedua, akad pokok dan akad asesoir seperti akad
jual beli dan akad kafalah. Ketiga, akad bertempo dan akad tidak bertempo
seperti sewa-menyewa dan jual beli. Keempat, akad konsensual, akad formalistik
dan akad riil seperti jual beli, akad nikah dan hibah. Kelima, akad masyru� dan
akad terlarang seperti jual beli dan jual beli janin. Keenam, akad yang sah dan
akad tidak sah. Ketujuh, akad mengikat dan akad tidak mengikat seperti jual
beli. Kedelapan, akad nafiz dan akad mauquf. Kesembilan, akad tanggungan, akad
kepercayaan dan akad bersifat ganda. Kesepuluh, akad mu�awadah, akad tabaru,
dan akad muawadah dan tabaru� sekaligus (Anwar, 2010) Selain
pembagian akad sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pembagian akad dapat
dikelompokan berdasarkan banyaknya akad yang digunakan dalam satu transaksi.
Pengelompokan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu akad tunggal (basīṭ)
dan akad majemuk (murakkab). Akad basith yaitu, akad yang hanya terdiri dari
satu macam akad saja. Seperti akad jual beli, akad sewa menyewa dan lain
sebagainya �(Al-�Imronī, 2006). Para ulama sepakat bahwa akad
basīṭ hukumnya adalah boleh selama tidak bertentangan dengan syariat
islam. Sedangkan akad murakkab yaitu, suatu akad yang di dalamnya terdapat dua
akad atau lebih, baik akad-akad tersebut digabungkan atau sebagai bentuk timbal
balik. Dalam akad majemuk, tetap memperhatikan semua persyaratan yang harus
dipenuhi (Al-�Imronī, 2006).
Menurut Najih
Hammad sebagaimana dikutip oleh Hasanudin
dalam
desertasinya, akad murakkab yaitu, kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan
suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih di dalamnya seperti jual beli
dengan sewa, syirkah, mudharabah dan lain- lain, sehingga semua akibat hukum
akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
sebagaimana akibat hukum dari satu akad (Abidin et al., 2008).
Secara garis
besar, pendapat para ulama terkait hukum asal al- �uqūd al-māliyah
dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama, pendapat jumhur ulama hanafiyah,
sebagian malikiyah, syafi�iyyah dan hanabilah yang menyatakan bahwa, hukum
al-�uqūd al-māliyah al-murakkabah adalah boleh dan sah, tidak haram
dan tidak batal kecuali ada dalil syar�i yang mengharamkannya berdasarkan Q.S.
Al-Maidah: 1 (Al-�Imronī, 2006).
Pendapat lain
dikemukakan oleh golongan ḍahiriyah yang menyatakan bahwa, hukum
al-�uqūd al-māliyah al-murakkabah adalah dilarang dan batal, tidak
diperbolehkan dan tidak sah kecuali jika ada dalil syara� yang menunjukan
kebolehannya, berdasarkan Q.S. Al- Baqarah: 229 (Al-�Imronī, 2006).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di
atas dapat diketahui mengenai beberapa hal terkait akad. Pertama, akad berasal
dari bahasa arab yang berarti ikatan. Penggunaan akad dalam aspek perjanjian
merupakan makna akad secara kiasan atau maknawi. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa akad yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang
diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan
sesuatu, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Dalam
hal rukun akad, terdapat perbedaan diantara para ulama. Ulama hanafiyah
menjadikan shigat jumhur
ulama selain Hanafiyah memasukan para pihak yang berakad dan obyek akad sebagai
rukun. Demikian halnya dalam KHES dengan menambahkan tujuan akad dan kesepakatan
sebagai rukun akad.
Kedua, landasan hukum
melakukan akad yaitu berdasarkan Q.S. Al- maidah: 1 yang memerintahkan secara
tegas kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan setiap akad perjanjian
baik yang tersurat maupun tersirat di dalam al-quran.
Ketiga, multi akad
yaitu gabungan beberapa akad yang dilakukan dalam satu transaksi. Secara garis
besar terdapat dua pendapat utama yaitu kelompok yang membolehkan berdasarkan
Q.S. Al-maidah: 1 dan kaidah bahwa setiap muamalah diperbolehkan kecuali apabila
ada dalil yang melarangnya. Kelompok kedua melarang adanya multi akad
berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: 229.
Namun demikian, untuk
dapat menjawab perkembangan dalam bidang ekonomi syariah, penulis berpendapat
bahwa akad majemuk diperbolehkan selama mengikuti ketentuan yang tidak
melanggar syariat.
BIBLIOGRAFI
Abidin, H. Z., Andreas, H., Djaja, R., Darmawan, D.,
& Gamal, M. (2008). Land subsidence characteristics of Jakarta between 1997
and 2005, as estimated using GPS surveys. Gps Solutions, 12(1),
23�32.
Al-�Imronī, �Abd-Allāh bin Muhammad bin
�Abd-Allāh. (2006). Al-�Uqūd Al Māliyyah Al-Murakkabah
Dirāsah Fiqhiyyah Ta�ṣīliyyah Wa Al Taṭbīqiyyah.
Riyāḍ: kunūzisybīliy.
Al-jazīrī, A. A. (2004). Al-fiqh �Alā
Al-mażahib Al-arba�ah. Dār Al-Fajr Li Al-Turā, 3.
Al-kibbī, S. A. M. (2002). Al-mu�āmalāt
Al-māliyah Al-mu�āṣiroh fī Ḍoui Al islām.
Bairut: Al-maktab Al-islām.
Al-zuhailī, W. (2008). Al-fiqh Al-islāmīwa
Adillatuhu (Vol. 4). Damaskus: Dār Al-fik.
Anwar, S. (2010). Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang
Teori Akad dalam Fikih Muamalat.
Basyir, A. A. (2000). Asas-Asas Hukum Muamalat. Hukum
Perdata Islam.
Fuady, M. (2007). Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis, Bandung: PT. Citra Adiya Bakti.
H. S., S. (2011). Hukum Kontrak"Teori dan Teknik
Penyusunan Kontrak". Jakarta: Sinar Grafika.
Hidayat, A. dan A. (2019). Nilai-Nilai Islam Pada Bank
Berbasis Syariah (Studi Pada Bank BRI Syariah Cabang Kota Cirebon). Syntax,
1(6).
Jār Allāh, A. A.-�Azīz B. G. A. �Alī.
(1438). Ahkām wa Ḍawābit Al-�Uqūd Al-elektrōniyah
fī Al-fiqh Al-Islāmī wa Al-qānūn �bi Al-taṭbīq
�Alā Niẓām Al-ta�āmulāt Al-elektrōniyah
Al-Su�ūdi.� Riyāḍ: Dār Al kutub Al-jāmi �ili
Al-nayr wa Al-tauzi.
Kaṡīr, I. (2005). Tafsīr al-Qurān
al-�Aẓīm (Vol. 1). Kairo: Dār Al - ḥadīṡ.
Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait. (1986). Al-mausū�ahal
- Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah. Kuwait: wizārah al - awqāf wa al -
syu�un al islāmiyyah.
Khosyi�ah, S. (2014). Fiqh Muamalah Perbandingan. Bandung:
Pustaka Setia.
Manan, A. (2012). Hukum Ekonomi Syariah dalam Persepektif
Peradilan Agama. Kencana Pernada Media Group, Jakarta.
Perundang-Undangan, H. P. (2010). Undang-undang SISDIKNAS
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Fokusmedia.
Pradja, J. S. (2012). Ekonomi Syariah. CV Pustaka
Setia.
Purwanto, I. D. (2018). Hukum Islam Terhadap Potongan Harga
(Studi di Lativah Hijab Cirebon). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
3(9), 21�29.
Rajafi, A. (2013). Masa Depan Hukum Bisnis Islam di
Indonesia; Telaah Kritis Berdasarkan Metode Ijtihad Yusuf Al-Qaradawi. LKIS
PELANGI AKSARA.
Rivai, V. (2010). dkk. Islamic Financial Management.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Saebani, B. A. (2018). Hukum Ekonomi Dan Akad Syariah Di
Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Shihab, M. Q. (2016). Tafsir Al- mishbah �Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-qur�an.� In 1. Tangerang: Lentera Hati.