Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 4, No. 12 Desember 2019
�
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TENAGA MEDIS DALAM TINDAKAN
PEMASANGAN ALAT PERNAPASAN LEWAT MULUT (VENTILATOR)
PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT
����������� ��
Betty Dina Lambok dan Agina Putri
Asyiafa
Universitas Swadaya Gunung Jati
Email: [email protected]
Abstrak
Pelayanan
�kesehatan di rumah sakit melibatkan
berbagai jenis tenaga kesehatan. Dokter sebagai tenaga kesehatan ialah tenaga medis sedangkan tenaga kesehatan lainnya dikenal dengan tenaga non medis. Tindakan medis
hanya bisa dilaksanakan oleh tenaga medis (yaitu,
dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis). Dalam �hal tertentu tenaga medis dapat memberikan
pelimpahan wewenang kepada tenaga non medis untuk melakukan tindakan medis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban �hukum tenaga medis dalam pemasangan alat
pernapasan lewat mulut (ventilator) yang dilakukan oleh perawat . Metode yang
dipakai dalam
penelitian ini yaitu metode penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif
dengan data sekunder berupa dokumen Putusan PN Palembang Nomor No. 97/Pdt.G/2013/PN.Plg, peraturan perundang-undangan serta
buku-buku hukum kesehatan.� Dari hasil
penelusuran data sekunder tersebut diketahui bahwa pemasangan alat bantu
pernapasan lewat mulut (ventilator) hanya bisa
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ahli. Sehingga tenaga kesehatan yang
merupakan tenaga medis maupun tenaga kesehatan nonmedis dapat melakukannya.
Dalam �kasus yang telah diputus oleh
Pengadilan �Negeri Palembang pemasangan �ventilator dilakukan oleh dokter dan bukan
oleh perawat. Pemasangan alat bantu pernapasan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memenuhi syarat dan telah
dilakukan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional. Sehingga sekalipun
meninggalnya pasien merupakan kerugian bagi keluarganya namun kerugian tersebut
bukan tanggungjawab tenaga kesehatan. Hal ini karena kerugian keluarga Pasien
bukan akibat kesalahan tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
�
Kata
Kunci : Pertanggungjawaban Hukum,
Tenaga Medis, Rumah Sakit
Pendahuluan
Pelayanan kesehatan
pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi seluruh
masyarakat (Naldi, 2019). Pelayanan �kesehatan di Rumah Sakit terjadi karena adanya
perjanjian antara Pasien dan Rumah Sakit tentang pelayanan kesehatan. Selain �itu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
Rumah Sakit harus senantiasa memperhatikan peraturan perundangan yang
berlaku.� Baik perjanjian yang telah
dibuat maupun perundangan yang berlaku wajib ditaati oleh kedua belah pihak.
Salah satu� hal yang perlu diperhatikan dalam perjanjian dan
peraturan perundang-undangan� yaitu hak serta kewajiban �para pihak.�
Pasien dan Rumah Sakit memiliki hak serta kewajibannya masing-masing
sebagaimana diatur dalam �perjanjian yang
telah dibuat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
kesehatan.
Pelayanan kesehatan di �Rumah Sakit selalu berkaitan dengan adanya
Pasien dan tenaga kesehatan. Bila tidak ada Pasien dan tidak adanya tenaga kesehatan sehingga pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu untuk maka tenaga kesehatan dan
pasien perlu dilindungi. Perlindungan terhadap Pasien tertuang dalam pasal 3 UU
No. 44 2009 yang menyatakan bahwa adanya rumah sakit bertujuan untuk� memberikan kemudahan bagi masyarakat, menyediakan
perlindungan bagi keselamatan pasien dan meningkatkan mutu dan pertahanan
standar pelayanan rumah sakit serta memebrikan kepastian hukum terhadap semua
masyarakat dan SDM rumah sakit.
Dari rumusan �tersebut berarti bahwa perlindungan hukum
dalam �pelayanan �ksehatan di Rumah Sakit tertuju kepada tenaga
kesehatan dan Pasien.� Apabila terjadi
kerugian Pasien, maka kerugian yang terjadi akibat kesalahan tenaga kesehatan
wajib dipertanggungjawabkan.
Metode
Penelitian
Penelitian ini dilakukan
dengan metode pendekatan yuridis normatif. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin konsep sebuah hukum
mengacu kepada tulisan dari setiap perundang-undangan (law in books) dalam kata lain asas ataupun norma yang menjadi patokan
dalam setiap perilaku manusia (Asikin, 2004).
Pengumpulan data sekunder
dilakukan dengan penelitian kepustakaan dengan menelusuri buku-buku tentang
hukum perikatan dan hukum kesehatan. Selain itu dilakukan juga penelaahan
terhadap beberapa peraturan tentang kesehatan, keperawatan dan tenaga kesehatan
serta tentang rumah sakit. Selanjutnya dilakukan penelusuran dan analisa
terhadap data yang berupa dokumen yaitu Putusan Palembang No.
97/Pdt.G/2013/PN.Plg.sebagai pendekatan kasus. Wawancara dengan seorang dokter
dilakukan untuk menyempurnakan data
yang telah ada.
Hasil dan Pembahasan
Kewenangan yang secara hukum di
miiki oleh seorang tenaga kesehatan dalam menunaikan tugas dan pekerjaannya
adalah kewenangan tenaga kesehatan, dengan begitu tenaga kesehatan memiliki kuasa
penuh dalam menjalankan pekerjaan sesuai bidang ilmunya. Dalam melaksanakan
profesinya seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada tiga
ukuran umum mencakup : (Supriadi, 2001)
a. Kewenangan;
Kewenangan
ialah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid)
yang dimiliki oleh seorang tenaga kesehatan dalam bekerja
sesuai bidang ilmunya.
b. Kemampuan rata-rata
Dalam penentuan
keahlian rata-rata seorang tenaga kesehatan, banyak unsur yang perlu jadi pertimbangan. Mulai dari pengalaman, sarana
prasarana dan juga bekerja langsung sebagai tenaga kesehatan di daerah tempat
bekerja seorang tenaga kesehatan. Sehingga sulit sekali untuk menentukan kemampuan rata-rata ini.
c. Ketelitian yang umum
Ketelitian umum dapat ditentukan berdasarkan ketelitian dokter dalam
menjalankan tugas dan pekerjaannya pada situasi yang serupa. Tolak ukur dalam
ketelitian sangat
sulit sebab tiap-tiap bidang keahlian memiliki
prinsip main masing-masing yang semestinya bias dituangkan dalam �Standar
Umum�.
Beberapa standar bagi dokter sebagai tenaga medis wajib
dipenuhi. Standar tersebut yaitu salah satu kewajiban dokter
saat hendak melaksanakan �langkah medis
yaitu memberi penjelasan mengenai akibat dilaksanakannya tindakan medis ataupun
tidak dilaksanakannya tindakan medis. Setelah Pasien� memahami penjelasan tersebut ia berhak untuk
menerima ataupun �menolak tindakan medis
tersebut. Bila Pasien telah menyetujui tindakan medis berarti Pasien akan
menerima segala resiko yang akan terjadi setelah tindakan �medis dilakukan �kecuali dokter telah� melakukan kesalahan saat (misalnya ada kain
kasa tertinggal di dalam tubuh pasien). Kesalahan dokter tersebut harus dipertanggungjawabkan
, artinya Pasien yang telah dirugikan akibat kelalaian dokter saat melakukan
tindakan medis dapat menuntut ganti rugi. Hak pasien atas ganti rugi tersebut
telah ditur dalam Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan sebagai
berikut:
�Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat keslahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.� (R. Indonesia, 2009)
Berdasarkan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit, maka Rumah� Sakit yang� bertanggungjawab terhadap Pasien.��
Tindakan� medis �yang mengakibatkan kerugian bagi Pasien
(misalnya sakit Pasien semakin� parah) harus
dipertanggungjawabkan. Tanggungjawab tersebut timbul setelah terbukti ada
kesalahan ataupun kelalaian dokter.
Dokter sebagai seseorang yang sudah
lulus pendidikan kedokteran diberi kuasa untuk melaksanakan praktik kedokteran
dalam upaya pelayanan kesehatan. (Lumenta B, 1989). Pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit dilaksanakan oleh �tenaga kesehatan
yang terdiri dari tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan lainnya seperti
perawat. Dasar hukum penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh dokter terdapat
dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UUPK).
Sedangkan bagi perawat dasar hukum tersebut terdapat dalam UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga �Kesehatan. Menurut Dina Tul Mardiyah perawat memiliki
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pasien meliputi bio-psiko-sosio serta spiritual. Hal ini tidak dimiliki
seorang dokter perihal kognitif langkah memperlakukan serta meninjau kondisi pasien. Dokter lebih mengarah
kepada pengobatan dan medication.
(Dina Tul Mardiyah, 2019)
Ada perbedaan pendapat antara
tergiugat (Rumah Sakit dan Dokter) dan penggugat (orangtua Pasien) pada
pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Palembang.
Perbedaan tersebut mengenai�� penafsiran�
istilah �tenaga kesehatan� yang terdapat dalam� rumusan �Pasal 68 UU No. 36 Tahun 2009. Selengkapnya bunyi
pasal tersebut yaitu :
�Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia
hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.� (R.Indonesia
2009: I)
Penggugat menafsirkan bahwa ��tenaga
kesehatan� berarti dokter.� Sehingga
penggugat menyatakan bahwa ada� kesalahan
dokter yang telah membiarkan perawat �memasang alat pernapasan tersebut. Kesalahan tersebut
termasuk dalam kategori perilaku melawan hukum seperti
halnya diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
�Setiap perbuatan �melawan hukum
yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugiannya�
Dalil yang dikemukakan oleh penggugat yaitu dokter telah melakukan
perbuatan melawan� hokum . Menurut Munir
Fuady terdapat 3 (tiga) kategori perilaku melawan hukum yaitu : (Munir
Fuady 2002:3)
a.
Perbuatan melawan hukum sebab kesengajaan;
b.
Perbuatan �melawan
�hukum �tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian);
c.
Perbuatan melawan hukum sebab kelalaian.
Ada elemen-elemen yang perlu dipenuhi supaya seseorang bisa dikatakan sudah melakukan tindakan melawan hukum ialah (Salim, 2006)
a.
Perbuatan itu perlu melawan hukum (Onrechtmatigedaad);
b.
Perbuatan itu perlu menyebabkan kerugian;
c.
Perbuatan itu perlu dilakukan dengan kesalahan (kelalaian);
d.
Antara perbuatan serta kerugian yang timbulperlu adanya hubungan kausal.
Dengan demikian tiap perbuatan melawan hukum, baik
sengaja ataupun tidak sengaja yang sifatnya melanggar.hukum. Berarti unsur
kesengajaan serta kelalaian disini sudah terpenuhi. Lantas yang dimaksud dengan hukum tadi di atas ialah setiap ketentuan juga peraturan-peraturan ataupun kaedah-kaedah, baik yang tertulis
�ataupun yang tidak tertulis serta segala sesuatu yang dianggap
sebagai hukum. Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu adalah hukum dan yang
dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti undang-undang, adat kebiasaan
yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya.
Dalil Penggugat selanjutnya
yaitu� bahwa pada saat dokteer melakukan visite �tidak memberikan penjelasan apapun terhadap
orang tua pasien atau Penggugat, dan ketika kondisi pasien semakin �melemah dokter hanya menginstruksikan �lewat telepon kepada perawat untuk memasang
alat pernapasan �lewat mulut (ventilator) terhadap pasien dan akhirnya
setelah pemasangan ventilator kondisi
pasien justru semakin �melemah hingga
akhirnya perawat memberikan bantuan pompa jantung dan ternyata pasien akhirnya
meninggal dunia, tidak terselamatkan.
Pada kasus yang
telah diputus terdapat pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa menurut
Tergugat I serta Tergugat II dalam pemasangan alat pernapasan lewat mulut
tersebut sudah sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) yaitu dokumen
yang berhubungan dengan prosedur yang dilaksanakan secara kronologis untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang memiliki tujuan untuk memdapatkan hasil
kerja yang paling efektif dari para pekerja dengan biaya yang
serendah-rendahnya, walaupun dengan dalil yang diajukan �Alasan gugatan Pihak Penggugat yang menyatakan
berdasarkan� Pasal 68 UU No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan bahwa pemasangan alat pernapasan harus dilaksanakan oleh
dokter dinilai oleh Hakim dalam prertimbangannya yang menyatakan �secara eksplisit disitu tidak diterangkan
bahwa pemasangan alat pernapasan lewat mulut (ventilator) harus dilakukan oleh dokter, karena �tenaga kesehatan�
bukan hanya dokter tetapi ada juga bagian dari tenaga kesehatan yaitu tenaga
keperawatan dalam hal ini perawat.
Isi gugatan orang
tua pasien �bahwa Tergugat I dan II sudah� melaksanakan tindakan melawan hukum. Berkaitan dengan perbuatan melawan
hukum, maka akan timbul disini untuk tanggungjawab hukumnya.
Berdasarkan pengertian dan ditinjau dari Pasal 68 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan yang juga menjadi salah satu dalil dalam gugatan pada Putusan
Pengadilan Negeri Palembang No. 97/Pdt.G/2013/PN.Plg., yang dibahas dalam
penulisan ini yaitu bahwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
pemasangan implan obat dan/atau instrumen kesehatan kedalam
tubuh manusia hanya bisa dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan serta �kewenangan dan dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan
tertentu. Dalam kata pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan yaitu dalam
hal ini pemasangan alat bantu pernapasan lewat mulut (ventilator). Alat ini tentunya harus
dipasang oleh seorang ahli dan sesuai prosedur yang berlaku, apabila tidak
sesuai maka konsekuensinya yaitu akan mengganggu kesehatan organ tubuh lainnya
seperti dapat merusak paru-paru, terjadi pembekuan darah hingga terjadi pneumothoraks yaitu gangguan kondisi di
mana udara justru keluar dari paru-paru serta mengisi rongga yang ada di antara
paru-paru dan dinding dada. Akibatnya, pasien akan mengalami sesak napas, nyeri
pada dada, hingga kolaps.
Seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Palembang No.
97/Pdt.G/2013/PN.Plg., bahwa �pemasangan alat
kesehatan atau �dalam hal ini alat bantu pernapasan
lewat mulut (ventilator) sudah sesuai
dengan �perundang-undangan yang berlaku, dilakukan
pemasangan ventilator oleh dokter
(dr.Silvia Triratna, SpA (K)/(Tergugat I
Ada dua �bentuk praktik kedokteran yang pada umumnya
dilaksanakan oleh Dokter, yaitu (Isfandyarie, Afandi,
Puspita, & Gufron, 2006)
Praktik kedokteran
swasta perorangan, dimana dokter melakukan pemeriksaan sampai pengobatan
terhadap pasien di tempat praktik dilaksanakan.
Praktik kedokteran pada sarana
pelayanan kesehatan, antara lain yang dilaksanakan di Rumah Sakit..
Untuk praktik kedokteran yang dilaksanakan di Rumah Sakit, biasanya dokter
tidak bekerja sendiri seperti pada praktik kedokteran perorangan (tempat
konsultasi pasien), terutama dalam penanganan pasien rawat inap. Sehubungan
dengan penanganan pasien rawat inap ini, dokter memerlukan bantuan dari tenaga
kesehatan lainnya yang bekerja dibawah perintahnya, yaitu bidan, perawat,
dokter asisten �maupun peserta
pendidikan spesialis (PPDS), dan sebagainya. Kesalahan seorang perawat karena
menjalankan perintah dokter menjadi tanggungjawab dokter yang memberikan
perintah tersebut. Pertanggungjawaban semacam ini menganut doktrin majikan-karyawan, dimana dokter merupakan majikan yang
harus mempertanggungjawabkan perbuatan karyawan yang dibawah pengawasannya.
Untuk menentukan secara pasti pertanggungjawaban masing-masing terhadap
tindakan �medik, maka dalam �penugasan kepada bawahan dianjurkan kepada
dokter untuk memperhatikan hal-hal berikut :
a.
Dokter hanya melakukan diagnosis,
terapi, dan petunjuk medik.
b.
Penugasan tindakan medik hanya
boleh dilakukan bila dokter benar-benar yakin terhadap kemampuan bawahannya,
agar pasien mendapatkan perawatan yang tidak membahayakan jiwanya. Penugasan
ini harus dilakukan secara tertulis, dengan instruksi yang jelas tentang cara
melaksanakan instruksi tersebut dan kemungkinan komplikasi yang bisa terjadi
beserta cara penanganannya.
c.
Dokter harus selalu memantau �perkembangan yang terjadi pada pasien baik
pada saat maupun setelah mendapatkan perawatan medik (tindakan perawatan), dan
selalu siap bila sewaktu-waktu harus hadir untuk menangani pasien secara
langsung.
d.
Pasien yang menjalani tindakan
medik yang tidak dilakukan sendiri oleh dokter (ada pendelegasian wewenang)
mempunyai hak untuk menolak atau menerima.
Dengan berlakunya UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran (R.Indonesia, 2004) yang kemudian diikuti
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 Tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi sebagai peraturan pelaksanaan UU Praktik Kedokteran
pada Pasal 14 ayat (1) dan (2) Permenkes tersebut menyebutkan bahwa : (Permenkes, .Indonesia 2005).
(1) Dokter dan �dokter gigi dapat memberikan ��kewenangan kepada perawat atau
tenaga kesehatan �tertentu �secara tertulis dalam �melaksanakan �tindakan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Tindakan kedokteran �sebagaimana dimaksud ayat (1) sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Maka dari itu, seperti apa yang terdapat dalam salah satu dalil gugatan
pada Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 97/Pdt.G/2013/PN.Plg., bahwa yang
memasang ventilator adalah perawat
dan menjadi tanggungjawab dokter, padahal secara peraturan perundang-undangan
juga bahwa perawat memiliki standar praktek keperawatan dan apabila diberikan
pelimpahan wewenang yang sesuai SOP oleh dokter maka tindakan tersebut sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 UU No. 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan yang berisi: (Indonesia &
Nomor, 2014)
a.
Dalam menyelenggarakan Praktik
Keperawatan, Perawat bertugas� sebagai:
1)
Pemberi Asuhan Keperawatan;
2)
Penyuluh dan konselor bagi Klien;
3)
Pengelola Pelayanan Keperawatan;
4)
Peneliti Keperawatan;
5)
Pelaksana tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang; dan/atau
6)
Pelaksana tugas dalam keadaan
keterbatasan tertentu.
b.
Tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilaksanakan� secara
bersama ataupun sendiri-sendiri.
c.
Pelaksanaan tugas
Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggungjawab
dan akuntabel.
Pada ayat (1) huruf e dan f yaitu
bahwa dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai
pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang dan/atau pelaksana tugas dalam
keadaan keterbatasan tertentu. Dengan demikian perawat memiliki tugas sebagai
pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, pelimpahan wewenang disini
yaitu pelimpahan wewenang dari seorang dokter dan sebagai pelaksana tugas dalam
keadaan keterbatasan waktu, dalam arti ketika seorang dokter tidak ada atau
dalam kondisi yang sangat tidak memungkinkan maka seorang perawat dapat
melakukan tindakan atas dasar pelimpahan wewenang dari seorang dokter. Tugas
tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan harus dilaksanakan secara bertanggungjawab dan
akuntabel sebagai perawat.
Menurut Prilia Widiyana S.Ked
bahwa setiap rumah sakit itu memiliki SOP (Standar Operasional� Prosedur) dalam �melakukan tindakan, atau standar operasional
prosedurnya masing-masing berdasarkan kebijakan direktur rumah sakit. Dan dalam
keadaan tertentu, beberapa kegiatan diagnostik dan tindakan medik dapat
dilimpahkan untuk dilaksanakan oleh perawat. Dalam hal ini perlu diperhatikan
bahwa tanggungjawab utama tetap pada dokter yang memberi tugas sedangkan
perawat mempunyai tanggungjawab sebagai pelaksana.
Kewajiban perawat dalam hal menerima
pelimpahan kewenangan dari tenaga medis atau tenaga kesehatan lainnya telah
diatur dalam Pasal 37 butir f UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan bahwa
perawatn wajib untuk melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga
kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat; (R.Indonesia II: 2014
Berkenaan dengan pendapat diatas
dalam Pasal 32 UU No. 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan mengenai pelimpahan wewenang/pelimpahan tugas yang berbunyi : (Indonesia &
Nomor, 2014)
(1)
Pelaksanaan tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya
dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk
melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
(2)
Pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat.
(3)
Pelimpahan wewenang secara
delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis
kepada Perawat dengan disertai pelimpahan tanggungjawab.
(4)
Pelimpahan wewenang secara
delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada
Perawat profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan.
(5)
Pelimpahan wewenang secara mandat
diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan
medis di bawah pengawasan.
(6)
Tanggungjawab atas tindakan medis
pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada pada
pemberi pelimpahan wewenang.
(7)
Dalam melaksanakan tugas
berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perawat
berwenang :
a)
Melakukan tindakan medis yang
sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan wewenang delegatif tenaga medis;
b)
Melakukan tindakan medis di bawah
pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan
c)
Memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan program Pemerintah.
Pelimpahan tindakan diatas diatur
dalam Pasal 65 UU No 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan yang berbunyi : (Indonesia &
Nomor, 2014)
(1)
Dalam melakukan pelayanan
kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari
tenaga medis.
(2)
Dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima pelimpahan pekerjaan
kefarmasian dari tenaga apoteker.
(3)
Pelimpahan tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
a.
Tindakan yang dilimpahkan termasuk
dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b.
Pelaksanaan tindakan yang
dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
c.
Pemberi pelimpahan tetap bertanggungjawab
atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan
pelimpahan yang diberikan; dan
d.
Tindakan yang dilimpahkan tidak
termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar pelaksanaan tindakan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Selain itu menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, perawat dapat menerima pelimpahan wewenang
dari tenaga medis untuk melakukan tindakan medis. �Pelimpahan wewenang tersebut wajib diterima
oleh perawat bila wewenang dimaksud teermasuk dalam kompeteni perawat. Hal ini
terdapat dalam pasal 37 f UU No. Nomor 38 Tahun 2014
Tentang Keperawatan yang berbunyi : (R.Indonesia 2014: II).
Perawat dalam melaksanakan Praktik
Keperawatan berkewajiban untuk melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari
tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat;
Berkenaan dengan Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 97/Pdt.G/2013/PN.Plg.,
bahwa kewenangan �pemasangan alat
kesehatan ini sudah diatur dalam Pasal 68 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. dan tenaga kesehatan yang berwenang adalah dokter (dr.Silvia
Triratna, SpA (K)/(Tergugat I)) dan perawat yang menyiapkan pemasangan ventilator di Rumah Sakit RK Charitas
(Tergugat II).
Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan analisis dapat
disimpulkan bahwa �:
1.
Pengaturan terkait dengan kewenangan penyelenggaraan
atau pengaturan kewenangan mengenai pemasangan alat bantu pernapasan lewat
mulut (ventilator) sudah diatur dalam
:
a.
pemasangan alat kesehatan (termasuk alat bantu
pernapasan lewat mulut (ventilator)
ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.
b.
Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan,� tenaga medis dapat
mendelegasikan kewenangannya kepada tenaga non medis sesuai dengan keahliannya;
c.
Pasal 29, 32, 37 dan 65 UU No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan,
mengenai tugas perawat bisa karena adanya delegasi dari tenaga medis.
2.
Tanggungjawab hukum dalam pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh tenaga medis. Terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban tenaga medis �yaitu pertanggungjawaban hukum perdata, pertangungjawaban
hukum pidana, pertanggungjawaban hukum administrasi (sanksi
pemecatan/pencabutan izin praktik). Dalam kasus� yang diputus oleh Pengadilan Negeri Palembang No.
97/Pdt.G/2013/PN.Plg yaitu bahwa rumah sakit juga
sudah memberikan jawaban terhadap dalil gugatan Penggugat yang menyatakan bahwa
rumah sakit telah menelantarkan pasiennya dan tidak diberikan pelayanan medis
sesuai SOP rumah sakit, namun pada kenyataannya pasien sudah diberikan
pelayanan sesuai SOP rumah sakit sesuai dengan bukti audit rekam medis yang
ada, sehingga gugatan Penggugat ditolak oleh Majelis Hakim.
BIBLIOGRAFI
Asikin, A. Z. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo.
Benyamin Lumenta. (1989). Pasien, Citra, Peran dan
Perilaku. Yogyakarta: Kanisius.
Indonesia, R. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 tentang. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintah Daerah.
Indonesia, R., & Nomor, U. (2014). Tahun 2014. Lembaran
Negara Tahun, (297).
Isfandyarie, A., Afandi, F., Puspita, N. Y., & Gufron, A.
(2006). Tanggung jawab hukum dan sanksi bagi dokter. Prestasi Pustaka
Publisher.
Naldi, Y. (2019). Implementasi Regulasi Pelayanan Medis Bagi
Mahasiswa Kedokteran di Rumah Sakit Waled Kabupaten Cirebon. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 4(9), 152�162.
Salim, H. S. (2006). Perkembangan hukum kontrak di luar
KUH perdata. RajaGrafindo Persada.
Supriadi, W. C. (2001). Hukum Kedokteran, Bandung: CV. Mandar
Maju.