������ Syntax Literate : Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
������
e-ISSN : 2548-1398
����� Vol. 5, No. 1 Januari 2020
�
ANALISIS
AL-BAGHYU DALAM FIQIH JINAYAH TERHADAP MAKNA
MAKAR DALAM PASAL 107 KUHP
Putri Amalia Zubaedah dan Saeful
Anwar
Universitas Islam Negeri Bandung dan
CV. Syntax
Corporation Indonesia
Email:
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak
Makar merupakan perbuatan
kejahatan yang mengancam keamanan Negara. Makar dalam hal menggulingkan
pemerintahan dalam KUHP diatur pada pasal 107 bab II.Sedangkan dalam fiqh
jinayah makar termasuk dalam jarimah al-baghyu,Dengan
latar belakang masalah tersebut diajukan tiga
rumusan masalah, yakni: bagaimana substansi
makar dalam pasal
107 KUHP, bagaimana
penafsiran jarimah al- baghyu dalam fiqih jinayah, bagaimana
relevansi makar dalam pasal 107 KUHP dengan jarimah al-baghyu dalam fiqih
jinayah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui substansi makar dalam
pasal 107, Untuk mengetahui penafsiran jarimah al-baghyu dalam fiqih jinayah. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
yuridis normatif. Jenis data yang dipergunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah jenis data kualitatif. Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber
data primer dari kitab tasyri al-jina�I karangan Abdul Qadir Audah dan KUHP
karangan Moeljatno, dan data sekunder yaitu buku-buku fiqh jinayah dan
buku-buku yang berhubungan dengan makar. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adaalah dengan cara library research. Analisis data yang digunakan yaitu analisis
deskriptif kulitatif. Substansi makar dalam pasal 107 KUHP adalah
perbuatan terencana yang bermaksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah
dan mengancam keamanan dan keselamatan Negara. Dianalisis berdasarkan teori
Jarimah Al-baghyu, makna makar dalam
pasal 107 KUHP masuk pada pengertian perlawanan terhadap penguasa (imam) yang
sah dengan menggunakan kekuatan atau mengangkat senjata. Relevansi antara Jarimah Al-baghyu dengan makna makar dalam
pasal 107 KUHP adalah relevansi substantif, yaitu terdapat kemiripan makna
dalam kriteria kejahatan.
Kata kunci: Fiqih jinayah,
Makar, Al-Baghyu
Pendahuluan
Secara sederhana hukum dibedakan
menjadi dua yaitu hukum positif (Hukum Indonesia) dan hukum agama (dalam hal
ini Hukum Islam) (Mariana, 2018). Negara Indonesia ialah
negara yang berpedoman
akan hukum (rechtsstaat) serta
bukan negara akan kekuasaan (machtsstaat), oleh karena itu kondisi
hukum mesti diposisikan
di atas segala-galanya. Setiap tindakan
mesti sama
dengan aturan hukum tanpa kecuali (Audah, n.d.). Berdasarkan Undang-Undang
Nomor. 10 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia, hirarki perundangan di Indonesia adalah Undang-undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, serta Peraturan
lainnya. Berlandaskan
hirarki tertib hukum tersebut, hingga pengaturan
mengenai makar diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946
Tentang KUHP.
Makar
dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah akal buruk, tipu muslihat atau
perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang.(Al-Maraghi, 1993)
Sedangkan dalam Kamus Hukum Andi Hamzah, makar adalah Akal busuk; tipu
muslihat; Perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang.
Perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.(Al-Qurtubi, n.d.)
Makar juga bisa diartikan sebagai perbuatan untuk menggulingkan pemerintahan
yang sah (kudeta)(Andi Hamzah, n.d.-a).
Istilah makar atau aanslag dalam bahasa Belanda, menurut R. Soesilo adalah
penyerangan, yang umumnya dilaksanakan dengan perbuatan
kekerasan.(Andi Hamzah, n.d.-b) Istilah makar dalam KUHP
sendiri diawali
penafsiran secara khusus yang bisa diawali dalam
Pasal 87, yang berbunyi: Makar (aanslag) sesuatu perbuatan dianggap ada,
apabila niat spembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya melakukan
perbuatan itu menurut maksud pasal 53.
Kejahatan
tindak pidana makar dalam KUHP Secara terminologis terdapat dalam Pasal 87 KUHP
dimana perbuatan makar meliputi dua unsur yaitu niat dan adanya permulaan
pelaksanaan niat makar. Dalam ketentuan pasal 87 KUHP disebutkan bahwa �makar�
nyata-nyata suatu perbuatan dianggap ada apabila niat sipembuat kejahatan sudah
melaksanakan
perbuatan itu menurut maksud pasal 53 KUHP. Jadi yang termasuk dalam pengertian
makar (aanslag) pada perbuatan pelaksanaan, bukan pada perbuatan persiapan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, n.d.).
Dalam �hal �ini, �Kitab �Undang-Undang �Hukum �Pidana
�(KUHP) �sendiri mengenal �beberapa �faktor �yang �menyebabkan �atau �memungkinkan
�kejahatan makar.
Salah satunya adalah pasal 107 buku kedua bab II KUHP yang berbunyi :
1.
Makar �dengan �arti agar �menjatuhkan �pemerintah, �diancam
dengan pidana penjara
paling lama lima
belas tahun.
2.
Para pemimpin serta pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun (Jauhari, 2010).
Al-baghyu secara harfiah berarti meningggalkan atau melanggar.(Ibn Jarir
at-Tabari, Jami� al-Bayan fi Ta�wil al-Quran, 2000) Dalam istilah
hukum pidana Islam, Al-baghyu
adalah suatu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok
dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah (Asshiddiqie, 2006). Al-Baghyu berasal dari akar kata bagha yang secara arti kata berarti �menuntut
sesuatu�.
Jarimah al-baghyu termasuk kedalam kategori hudud. Kejahatan dalam kategori ini dikelompokan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman
had yakni hukuman yang ditentukan
kadarnya sebagai hak
Allah. Untuk
bisa menemukan relevansi
makar dengan jarimah Al-baghyu, oleh karena kita mesti paham secara terperinci terhadap apa yang dimaksud
dengan makar atas hukum positif
yaitu KUHP, khususnya dalam pasal 107. Sebagai pertimbangan, penulis juga akan mencoba paham secara terperinci pula terhadap
apa yang disebut al-baghyu
dalam fiqh jinayah. Sesudah itu kita akan bisa melihat apakah tindak pidana makar dalam KUHP itu bersangkutan dengan jarimah Al-baghyu dalam fiqh jinayah.
Metode
Penelitian
Metode yang dipakai dalam penulisan ini
ialah metode deskriptif analitis
dalam bentuk content analisis pasal yakni pasal 107 KUHP. Metode penelitian ini memberikan tampilan atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek
yang diteliti (M Sudrajat Bassar, 1984). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif
yakni penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang digunakan
di dalam penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.(P.A.F.Lamintang dan Theo
Lamintang, 2010) mengenai Analisis Al-Baghyu Dalam Fiqh Jinayah Terhadap Makna Makar Dalam Pasal 107 KUHP. Pendekatan yuridis-normatif ini dipergunakan karena penelitian yang peneliti lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yang merupakan data sekunder yang ditunjang oleh data primer (Pipin Syarifin, 2000).
Data tersebut diperoleh dari hasil studi literatur atau kepustakaan tentang
objek yang sesuai dengan rumusan masalah. Yakni yang berhubungan dengan:
a. Substansi makar pada pasal 107 KUHP
b. Penafsiran Jarimah al-baghyu pada fiqih jinayah
c. Relevansi makar dalam pasal 107 KUHP dengan Jarimah al-baghyu dalam fiqih jinayah
��������� Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kulitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data yakni mengumpulkan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengelola data untuk
diambil data yang dibutuhkan, menganalisis data yang telah dikumpulkan
dihubungkan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan masalah
kemudian menarik kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
A.
Substansi Makar Dalam Pasal 107 KUHP Tentang
Tindak Pidana Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara
Tindak pidana makar yang dilakukan
dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan itu oleh pembentuk
undang-undang telah diatur dalam pasal
107 KUHP, yang rumusannya dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut:
1) de aanslag ondernomen met het oogmerk om omwenteling teweg te brengen,
wordt gestraft met gevangenisstraf
van ten hoogste vijftien Jaren.
2) leiders en aanleggers van een aanslag
als in het eerste lid bedoeld,
worden gestraft met levenslange gevangenisstraf of tijdelijke van ten hoogste twintig
Jaren.
Artinya :
1) Makar yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
2) Pemimpin-pemimpin dan perencana-perencana makar seperti yang dimaksudkan dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Dari rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 107 KUHP diatas, kita dapat mengetahui bahwa tindak pidana makar yang dilakukan dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah seperti yang diatur dalam pasal 107 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Unsur subjektif : met het oogmerk
atau dengan
maksud
b.
Unsur objektif : 1. aanslag atau makar. ondernomen
atau yang dilakukan omwenteling teweeg brengen atau menggulingkan pemerintah.
Tentang tiga buah unsur yang disebutkan pertama diatas,
masing-masing unsur dengan maksud (met het oogmerk), unsur
makar (aanslag), dan unsur yang dilakukan (ondernemen) kiranya sudah cukup jelas, sehingga
tidak akan penulis bicarakan kembali. Dengan demikian yang belum dibicarakan hingga
kini hanyalah unsur omwenteling teweeg brengen atau
menggulingkan pemerintah.
Apa �yang �sebenarnya �dimaksudkan �dengan �kata �omwenteling �teweeg brengen itu? Kata teweeg brengen itu sendiri mempunyai arti yang sama dengan veroorzaken atau menyebabkan ataupun menimbulkan. Mengenai kata omwenteling dalam rumusan pasal 107 KUHP diatas, dalam pasal 88 bis KUHP pembentuk undang-undang telah mmberikan penjelasannya sebagai berikut:
�yang dimaksudkan dengan menggulingkan pemerintah ialah menghancurkan atau mengubah
bentuk pemerintah menurut
undang-undang dasar dengan cara yang tidak sah menurut
undang-undang tata cara penggantian tahta atau tata cara dalam bentuk
pemerintahan Indonesia yang sah
menurut undang-undang.�
Jika ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 107 KUHP kita hubungkan dengan penafsiran autentik dari pembentuk undang-undang mengenai kata omwenteling dalam pasal 88 bis KUHP diatas, akan dapat diketahui bahwa yang dilarang dalam pasal 107 KUHP ayat (1) sebenarnya ialah perbuatan makar yang dilakukan dengan maksud untuk menyebabkan :
a. Menghancurkan bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar.
b. Mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut undang undang dasar.
Dalam hal ini kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kata regeringsvorm dalam rumusan pasal 107 ayat (1) KUHP, karena didalam kepustakaan ternyata ada perbedaan
pendapat mengenai arti dari regeringsvorm atau bentuk pemerintahan dengan arti dari staatsvorm atau bentuk
Negara.
Tentang staatsvorm atau bentuk Negara, Negara Indonesia itu diatur dalam Bab I Pasal I Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang menetukan:
1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, yang berbentuk republik.
2) Kedaulatan �adalah �ditangan �rakyat �dan �dilaksanakan �menurut �undang-undang dasar.
3) Negara Indonesia ialah Negara hukum.
Dari ketentuan yang diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang- undang Dasar Republik
Indonesia 1945 tersebut
dapat diketahui bahwa bentuk Negara indonesia itu ialah suatu Negara kesatuan yang berbentuk republik
dan yang sifatnya demokratis.
Tentang kata demokrasi itu sendiri, Prof. Dr. P. van Woestijne
menjelaskan: Secara harfiah ia berarti
kedaulatan ada ditangan
rakyat. Dalam politik
ia juga digunakan
untuk menunjukkan bentuk Negara,
dalam Negara mana kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat. Pada zaman dahulu rakyat itu menyelenggarakan sendiri kekuasaan yang ia miliki melalui suatu pertemuan rakyat. Pada zaman modern
ini sistem perwakilan itu sudah umum dipakai
orang diberbagai Negara,
dimana kekuasaan yang berada ditangan rakyat itu diselenggarakan oleh dewan perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya
dipilih oleh rakyat.
Menurut Lamintang dan Theo Lamintang, perbuatan-perbuatan mengubah bentuk
Negara atau staatsvorm seperti yang dimaksudkan diatas bukan merupakan
tindak pidana seperti yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan pasal 107 ayat (1) KUHP karena menurut penjelasan dalam pasal 88 bis KUHP, pembentuk undang-undang dengan jelas telah tidak berbicara tentang bentuk Negara atau staatsvorm melainkan hanya berbicara
tentang regeringsvormn atau
bentuk pemerintahan Indonesia yang sah menurut undang-undang dasar.
Sedangkan Wirdjono Prodjodikoro mengartikan kata regeringsvormn atau bentuk pemerintahan dalam pasal 88 bis sama halnya dengan kata staatsvorm
atau bentuk Negara. Sehingga perbuatan-perbuatan mengubah bentuk Negara atau staatsvorm seperti diatas merupakan tindak pidana seperti
yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dalam
rumusan pasal 107 ayat (1) KUHP.
Menurut Lamintang dan Theo Lamintang, tindakan
Wirdjono dalam memperluaskan arti makna staatsvorm dengan regeringsvormn ini merupakan suatu extensieve interpretative
yang terlarang untuk digunakan dalam hukum pidana.
Namun jika merujuk pada pendapat
Lamintang dan Theo Lamintang yang mengatakan
bahwa mengubah staatsvorm atau bentuk Negara bukanlah suatu tindak pidana
dan tidak dapat dipidana,
maka hal ini akan bertentangan dengan pasal 37 ayat (5) UUD 1945 yang mengatakan bahwa bentuk Negara tidak dapat diubah. Oleh karena itu penulis lebih merujuk pada pendapat Wirdjono Prodjodikoro yang mengartikan kata regeringsvormn atau bentuk pemerintahan dalam pasal 88 bis sama halnya dengan
kata staatsvorm atau bentuk
Negara. Sehingga perbuatan-perbuatan mengubah bentuk Negara atau staatsvorm seperti diatas merupakan tindak pidana seperti yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-
undang dalam rumusan pasal
107 ayat (1) KUHP.
Jadi, istilah menggulingkan
Pemerintah (omwenteling), ini oleh pasal 88bis ditafsirkan
sebagai :
a. Menghancurkan bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar.
b. Mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut undang- undang dasar.
Dalam cara penggulingan pemerintahan jenis
pertama yaitu menghancurkan bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar itu tentunya sudah dengan
sendirinya dianggap selalu
sah. Hal inilah
yang membedakan dengan cara penggulingan pemerintahan jenis kedua dimana redaksi
kata-katanya sebagai
berikut; �mengubah secara tidak sah� sehingga
tentunya dimungkinkan adanya bentuk �pemerintahan �secara
�sah �yang
�tentunya �tidak
�termasuk �penggulingan pemerintahan,
misalnya dengan cara yang ditentukan
dalam undang-undang dasar.
Dalam hal menghancurkan bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar itu Wirdjono Prodjodikoro memberi contoh misalnya bentuk republik
menjadi kerajaan atau konkritnya misalnya menghapuskan sama sekali
undang- undang
dasar dan menggantinya dengan
undang-undang dasar baru.
Dalam hal mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar beliau
memberi contoh misalnya
menghilangkan adanya menteri-menteri atau kementian-kementrian dan digantikannya dengan pejabat-
pejabat semacam penasihat-penasihat dari kepala
Negara, atau awalnya
menghilangkan dewan pertimbangan agung atau badan pengawas keuangan. Dalam hal ini harus dilakukan
secara tidak sah, yakni dengan cara-cara
yang tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang dasar. Adapun jika dilakukan
sesuai dengan ketentuan undang-undang maka tidak dapat dipidana
sebagai makar pasal 107 Adapun cara yang sah untuk mengubah
bentuk pemerintahan tersebut telah diatur
dalam undang-undang dasar 1945
pasal 37 ayat (1) � (4) yang berbunyi :
Pasal 37
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Rumusan pasal 107 KUHP bahwa makar dengan maksud
menggulingkan pemerintahan tidaklah harus dilakukan dengan kekerasan (bersenjata), namun cukup dengan segala perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang- undangan
yang berlaku. Digunakannya kata omwenteling
yang diterjemahkan dengan kata menggulingkan pemerintahan itu memang dapat menimbulkan kesalahpahaman seolah-olah makar itu merupakan suatu tindak kekerasan
untuk menggulingkan pemerintahan, padahal tindakan
seseorang itu telah dapat dipandang sebagai suatu makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan yakni jika tindakan
orang tersebut telah melampaui
batas-batas dari suatu tindakan persiapan dengan melakukan tindakan yang telah
dapat dipandang sebagai
suatu permulaan pelaksanaan dari maksudnya untuk menggulingkan
pemerintahan (Asshiddiqie, 2006).
B.
Penafsiran
Jarimah Al-Baghyu dalam Fiqih Jinayah
�Dan�� jika �ada �dua�
�golongan
�dari� �orang-orang
�mukmin� �berperang,� �maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan
itu, berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali
kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.�
Menurut penulis, ayat ini berhubungan erat dengan
�jarimah al-baghyu (pemberontakan), terbukti
dari kalimat yang terdapat
dalam ayat tersebut yaitu �fain baghat�. Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, baghat ialah menyerang dan berlaku aniaya. Beliau menafsirkan bahwa yang dimaksud menyerang
dan berlaku aniaya (baghat) ialah apabila tidak mau menerima hukum Allah dan menerjang apa yang oleh Allah
dijadikan sebagai keadilan diantara
makhluk-Nya, sedang
yang lain mau
menerimanya.
Sedangkan menurut Ibnu Jarir at-Tabari mendefinisikan al-Baghyu
dengan زیادتھ وتجاوز
حده (menuntut lebih dan melampaui batasan). Adapun mengenai pandangan Ibn Jarir at-Tabari
terhadap Surah Al-Hujurat ayat 9 ini adalah bahwa jika ada dua kelompok yang saling
berperang hendaknya langkah paling awal dilakukan adalah dengan mendamaikan keduanya, dengan menyeru keduanya kepada hukum dari Kitabullah, dan kedua kelompok harusnya rela dengan ketetapan hukum yang ada pada Kitabullah tersebut. Ibnu Jarir berpandangan bahwa memerangi kelompok
yang Bughat juga termasuk menghindari dari makar mereka sehingga tindakan memberantas, memerangi mereka dilakukan dalam rangka mencegah makar mereka terhadap
yang lain. Ibnu Jarir mendasarkan pendapatnya tersebut berdasarkan riwayat-riwayat yang disuguhkan
dalam tafsirnya terutama
mengenai sebab diturunkannya surah al-Hujurat ayat 9. Secara umum Ibnu Jarir berpandangan baghat
sebagaimana yang difahami oleh para fuqaha, bahwa bughat adalah (الِت تَعتدي
وأتىب،
اإلجابة
إَل حكم هللا
) yakni
mereka yang melampaui batas dan enggan untuk menerima apa yang ditetapkan
dalam hukum Allah.
Sedangkan al-Qurtubi mendefinisikan kata baghat dengan
(التطاول والفساد
) yakni� �sikap
sombong dan tindakan
pengerusakan. Disisi
lain al-Qurtubi juga mendefinisikannya sebagai tindak kedzaliman yang dilakukan seseorang kepada yang lainnya,
melampaui batas, dan menuntut
lebih dari haknya. Lebih luas lagi, menurut
al-Qurtubi al-Bughat
adalah melampaui batas, sombong dan meninggalkan kewajiban, atau rasa kesakitan
yang terlalu ketika lapar dan haus. Lebih jauh, al-Qurtubi mengutip perkataan Ibn �Abbas dalam mendefinisikan makna kalimat
al-Baghyu
dalam ayat diatas dengan,
�أراد
وقيل منزلة
بعد منزلة طلبھم
بغيھم منه
أكثر هو
ما لطلبوا
الكثير
أعطاهم
لو
Artinya: �Tindakan al-Bagyu mereka maksudnya tuntunan mereka akan suatu kedudukan setelah mereka memiliki kedudukan (sebelumnya). Dan dikatakan, (maksudnya) keinginan yang jika diberikan kepada mereka sesuatu yang banyak, mereka menginginkan lagi yang lebih banyak dari itu.�
Dari ketiga penafsiran yang dikemukakan oleh ahli tafsir diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut jarimah al-baghyu adalah apabila :
1. Menyerang dan berlaku aniaya
Ialah apabila tidak mau menerima hukum Allah dan menerjang apa yang oleh Allah dijadikan sebagai keadilan diantara makhluk-Nya, sedang yang lain mau menerimanya.
2. Menuntut lebih dan melampaui batasan
Ialah mereka yang melampaui batas dan enggan untuk menerima
apa yang ditetapkan
dalam hukum Allah.
C.
Relevansi
Makar Dalam Pasal 107 KUHP Dengan Jarimah Al-Baghyu Dalam Fiqih Jinayah
Relevansi tindak pidana makar dalam pasal 107 KUHP dengan jarimah al- baghyu dalam fiqih jinayah, akan terlihat dari unsur-unsur yang terkandung didalam tindak pidana makar yang terdapat dalam pasal 107 KUHP dengan unsur- unsur yang terkandung didalam jarimah al-baghyu dalam fiqih jinayah tersebut. Berikut unsur-unsurnya:
1.
Unsur-unsur makar pada
pasal 107 KUHP
Makar dengan maksud menggulingkan
pemerintahan (menghancurkan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar).
2.
Unsur-unsur jarimah al-baghyu
a. Pembangkangan
terhadap kepala Negara melawan dengan kekuatan/senjata adanya niat melawan hukum.
Setelah
dilihat unsur-unsur dalam pasal 107 KUHP tentang tindak pidana kejahatan
terhadap keamanan Negara (makar) dengan unsur-unsur jarimah al- baghyu dalam fiqih jinayah
maka terdapat perbedaan dalam hal unsur-unsurnya. Tindak pidana makar dalam
pasal 107 KUHP tidak memiliki unsur �melawan dengan kekuatan/senjata� seperti
yang dimiliki pada unsur jarimah
al-baghyu. Tindak pidana makar dalam pasal 107 KUHP hanya memiliki
unsur dengan maksud dan menggulingkan pemerintah, yang
berarti pada pasal ini seseorang atau sekelompok orang sudah dapat dipidana
apabila menggulingkan pemerintahan walaupun dengan tidak memakai
kekuatan/senjata. Sedangkan pada jarimah
al- baghyu dalam fiqih jinayah,
seseorang atau sekelompok orang baru bisa dipidana dan dikatakan al-baghyu apabila memakai kekuatan/senjata.
Rumusan
pasal 107 KUHP tersebut dalam fiqih jinayah
akan lebih sesuai jika dikatakan atau dimasukkan dalam kategori
�pembangkang� saja bukan �pemberontak� atau al-baghyu
karena tidak memiliki unsur �melawan dengan kekuatan/senjata�
Suatu
perbuatan
pembangkangan dinilai
sebagai pemberontakan disyaratkan harus adanya penggunaan dan pengerahan
kekuatan. Jika
tidak
diikuti
dengan kekuatan hingga
hal itu tidak dinilai
sebagai pemberontakan seperti contoh penolakan sayyidina Ali untuk membaiat Abu
bakar, pembangkangan (keluarnya) kelompok khawarij dari sayyidina Ali. Mereka
tidak dinilai
sebagai perbuatan
pemberontakan karena tidak adanya kekuatan yang muncul dari
pembangkangan tersebut, oleh sebab �itu jika hanya sekedar ide dan sikap
yang menggambarkankan pembangkangan maka hal tersebut belum bisa dikatakan pemberontakan.
Pemberontakan
menurut imam malik, imam syafi�i, imam ahmad diawali semenjak dipakainya kekuatan
secara nyata. Jika tidak memakai kekuatan maka pembangkangan itu belum dianggap
sebagai pemberontakan, dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil (tidak
bersalah) dan hanya dikatagorikan sebagai ta�zir. Pembangkang
tidak dapat dikategorikan sebagai jarimah
hudud karena ada unsur yang tidak terpenuhi. Maka dalam hal sanksi pun
tidak dapat dikenakan sanksi hudud yakni
diperangi melainkan hanya dapat dikenakan sanksi ta�zir yang mana hukumannya bisa lebih ringan, tergantung
pertimbangan hakim.
Tidak
dimasukkannya unsur �melawan dengan kekuatan/senjata� dalam rumusan pasal 107 KUHP barangkali merupakan
upaya pembentuk undang-undang untuk lebih waspada dalam
menjaga keamanan Negara, karena konsekuensi dari pasal 107 KUHP ini seseorang
akan dapat dipidana dengan tuduhan makar apabila ia berusaha menggulingkan
pemerintahan dengan cara yang tidak sah menurut undang-undang dasar walaupun
tidak dengan menggunakan kekuatan/senjata.
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang tinjauan
hukum Islam terhadap tindak pidana makar dalam KUHP Pasal 107 di atas, dapat
diambil beberapa kesimpulan:
1.
Unsur-unsur tindak pidana
makar Pasal 107 KUHP yang didalamnya ada dua unsur yaitu unsur subyektif serta unsur
obyektif. Pasal 107 ada
unsur subyektif: dengan maksud serta unsur obyektif:
makar, yang dilaksanakan serta merobohkan
pemerintah. Mengenai
unsur-unsur tindak pidana makar diatas, penulis berpendapat bahwa unsur-unsur
yang dari awal yang melekat pada diri si pelaku yang bertujuan untuk melakukan
kejahatan pada keamanan Presiden dan Wakil Presiden, menyerang keamanan dan
keutuhan wilayah negara.
2.
Menurut hukum pidana
islam, tindak pidana makar disebut dengan al-baghyu
(pemberontakan). Di dalam hukum Islam tidak menjelaskan lebih rinci mengenai obyek tindak
pidana pemberontakan (al-baghyu) contohnya kejahatan
terhadap keamanan kepala negara, keamanan keutuhan wilayah negara dan keamanan
bentuk pemerintahan. Dari segi perbedaan, dalam hukum islam pelaku diberikan
sanksi apabila kejahatan dilakukan telah selesai dengan kata lain tindakan al-baghyu yang dilakukan telah sampai
selesai dilakukannya. Sedangkan dalam hukum positif, pelaku makar sudah bisa
diberikan sanksi baik kejahatan yang dilakukannya belum selesai atau telah
selesai dilakukan. Sedangkan dalam hal persamaannya adalah baik pelaku
al-baghyu maupun makar, keduanya bisa dijatuhi hukuman mati.
BIBLIOGRAFI
Al-Maraghi, A. M. (1993). Terjemah Tafsir
Al-Maraghi. Semarang: CV Toha Putra.
Al-Qurtubi,� al-J. li
A. al-Q. (n.d.). 1964),. Kairo: Dar al-Kutub.
Andi Hamzah. (n.d.-a). kamus hukum pidana. hlm 623.
Andi Hamzah. (n.d.-b). KUHP dan KUHAP. hlm 45.
Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Audah, A. Q. (n.d.). Ensiklopedi Hukum Pidana Islam.
Bogor: PT. Kharisma Ilmu.
Ibn Jarir at-Tabari, Jami� al-Bayan fi Ta�wil al-Quran. (2000). Beirut: Muasasah ar-Risalah,.
Jauhari, H. (2010). Panduan Penulisan Skripsi, Teori Dan
Aplikasinya. Bandung: Pustaka Setia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (n.d.). Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
M Sudrajat Bassar. (1984). Tindak-tindak pidana tertentu
dalam KUHP. Bandung: Remadja karya CV.
Mariana, M. (2018). Perlindungan Hukum Islam Terhadap Istri
Yang Dituduh Melakukan Zina Oleh Suami. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 3(2), 70�81.
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang. (2010). Kejahatan
Terhadap Kepentingan Hukum Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Pipin Syarifin. (2000). Hukum Pidaana di Indonesia,
Cetakan ke-II. Bandung: CV Pustaka Setia.