Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022
KETERBUKAAN DIRI
REMAJA AKHIR DALAM KOMUNIKASI KELUARGA STRICT PARENTS DI BANDUNG
Jessica Juliawati, Rita Destiwati
S1
Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
�
Abstrak
Remaja
yang berusia 18-21 tahun atau disebut sebagai
remaja akhir merupakan usia dimana seorang anak sudah dianggap
matang, mampu menentukan perilaku serta tanggungjawab yang besar. Namun berbeda
dengan remaja akhir dalam keluarga
yang menerapkan pola asuh strict parents, yaitu pola asuh dengan
peraturan yang ketat dan cenderung terlalu membatasi ruang gerak anak mereka.
Seringkali membuat anak mereka cenderung
tidak memiliki keinginan untuk membuka diri kepada
orangtuanya. Penelitian ini berfokus pada keterbukaan diri remaja akhir dalam
komunikasi keluarga di
Bandung, dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
pada penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi kepada tujuh informan,
yakni empat informan utama, satu informan kunci,
dan dua informan pendukung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh
strict parents justru membuat
remaja akhir semakin tidak ingin
untuk membuka diri kepada mereka.
Hal tersebut dapat terlihat dari jarangnya
remaja akhir untuk berkomunikasi dengan orangtua, topik yang diangkat hanya sebatas pembicaraan
seputar pendidikan atau pekerjaan, tidak ada keinginan
untuk membahas topik secara mendalam
atau detail maupun akurat, dan remaja akhir merasa lebih
nyaman terbuka dengan teman sebaya
atau saudara lainnya dibandingkan orangtua mereka. Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keterbukaan diri remaja akhir
dalam keluarga yang menerapkan pola asuh strict parents.
Kata Kunci: remaja akhir, keterbukaan diri, strict parents
Abstract
Adolescents aged 18-21 years or called late adolescents are the age which
a child is considered an adult, capable determine behavior and great
responsibilities. However, it is different from late adolescents in families
who used a strict parenting pattern, specifically parenting style with strict
rules and tend to limit their child's movements too much. Often their children
tend not to have desire to do self-disclosure to their parents. This study
focuses on late adolescent self-disclosure in family communication in Bandung,
qualitative descriptive research methods. Data collection techniques in this
study were interviews, observations, and documentation to seven informants,
namely four main informants, one key informant, and two supporting informants.
The results of this study indicate that strict parenting style actually makes
late adolescents less self-disclosure to them. It can be seen from the
infrequent communication of late adolescents with their parents, the topics
raised are only talks about education or work, there is no desire to discuss
topics in depth or detail accurately, and late adolescents feel more
comfortable to do self-disclosure with peers or other family members compared
to their parents. Through this research, it is hoped that it can be useful for
self-disclosure of late adolescents in families who used strict parenting
patterns.
Keywords: late adolescents, self-disclosure, strict
parents
Pendahuluan
Rentang usia remaja dimulai
dari 12 tahun hingga 21 tahun. Kemudian, Hurlock (2011) membagi perkembangan remaja menjadi tiga tahap,
yakni early adolescence (remaja
awal) diusia 12-15 tahun, middle adolescence (remaja
tengah) diusia 15-18 tahun, dan late adolescence (remaja
akhir) diusia 18-21 tahun. Di fase remaja akhir, seorang
sudah dianggap mulai stabil dan mengerti tujuan hidupnya. Pada usia tersebut seseorang juga sudah terbentuk suatu pendirian dengan pola yang jelas.
Keterbukaan diri seorang remaja
tentu tidak secara spontan muncul dalam diri.
Ada pembentukan dan peran dari keluarga khususnya
orangtua. Pola asuh orangtua yang diterapkan untuk membimbing, mendidik, dan menuntun anak mereka. Didikan
yang diberikan orangtua bisa berupa pesan,
penyampaian aturan, hadiah, hukuman, serta perhatian kepada anak mereka.
Namun, tidak semua anak diperlakukan
dengan pola asuh yang sama oleh orangtuanya. Ada berbagai macam pola asuh
yang berdampak besar bagi anak khususnya
pola asuh strict parents.
Strict parents sendiri merupakan
istilah baru yang dipakai pada masa ini untuk pola asuh
Authoritarian. �Strict Parents adalah orangtua yang menempatkan standar tinggi pada anak dan suka menuntut.
Pola pengasuhan ini dapat berdampak buruk pada anak� (Adzani, 2021). Dari segi psikologi, strict parents bersifat
otoriter. Pada pola didik otoriter, orangtua cenderung memberikan perilaku yang kurang berkenan pada sang anak seperti perkataan
yang dingin, kurangnya respon terhadap anak, serta kurangnya
tindakan dukungan pada anak.
Dalam prakteknya, orangtua yang menerapkan pola asuh strict parents sering memberikan respon yang negatif, cenderung membandingkan masalah yang dihadapi remaja dengan orangtuanya, peraturan yang terlalu ketat, dan terkesan tidak memberikan kepercayaan kepada anak. Hal ini membuat
remaja akhir untuk memilih memendam
dan menyimpan sendiri setiap keluh kesahnya
(Zhazha, 2021).�
Dengan demikian, remaja akhir cenderung
mengambil sikap yang berbeda, ada yang menerima keputusan orangtuanya, ada pula yang lebih memilih untuk
mengekang peraturan tersebut. Hal ini dipicu dari cara
orangtua dalam menyampaikan peraturan tanpa alasan yang jelas (Zhazha, 2021). Sehingga tidak dipungkiri hal tersebut membuat kesalahpahaman antara� remaja
akhir dengan orangtua yang dapat mengakibatkan kurangnya keterbukaan diri remaja akhir dengan
orangtua mereka yang menerapkan pola asuh strict parents. Dengan demikian, tujuan penelitian ini untuk menganalisa keterbukaan diri remaja akhir dalam
komunikasi dengan orangtua pola asuh
strict parents di Bandung.
Tinjauan Literatur
A. Keterbukaan Diri
Menurut DeVito (dalam Rezi,
2018) mengatakan dalam keterbukaan diri terdapat lima dimensi, yaitu
1. Kuantitas
(Amount)
Kuantitas yang dapat dihitung terkait seberapa sering atau frekuensi
seseorang melakukan keterbukaan diri dan berapa lama individu dalam menyampaikan informasi tentang keterbukaan diri kepada individu lainnya.
2. Nilai (Value)
Nilai yang dimaksud adalah nilai positif
maupun negatif terkait diri seseorang.
Seseorang dapat mengungkapkan sisi baik maupun buruk
dalam diri mereka tergantung sifat dasar dan tingkat pengungkapan diri tersebut. Terdapat empat tingkatan dalam keterbukaan diri: a) tidak pernah membicarakan
tentang diri; b) berbicara hanya secara umum; c) bercerita secara deskriptif naratif; d) berbohong tentang gambaran diri kepada
orang lain (Jourard dalam Ifdil, 2013).
3. Keakuratan
/ Kejujuran (Accuracy / Honesty)
Dalam hal ini, keakuratan pengungkapan diri seseorang tergantung pada bagaimana seseorang dapat mengenal dirinya sendiri. Sedangkan kejujuran bukanlah semata-mata adalah pengungkapan diri. Dalam keterbukaan diri seseorang dapat mengungkapkan secara jujur, hiperbola,
bahkan bisa juga berbohong.
4. Keluasan
(Intention)
Pada dimensi ini menjelaskan bagaimana keluasan seseorang untuk mengutarakan sesuatu yang ingin diungkapkan. Selain itu juga seberapa besar bagi mereka untuk
sadar dalam mengkondisikan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Jourard (dalam Ifdil, 2013) membagi enam kategori
informasi keterbukaan diri, diantaranya: a) sikap dan pendapat; b) rasa dan minat; c) pekerjaan atau pendidikan; d) uang; e) kepribadian; f) tubuh.
5. Keakraban
(Intimacy)
Manusia cenderung merasa nyaman jika melakukan
interaksi sosial atau berkomunikasi dengan orang yang akrab dengan diri mereka.
Hal ini juga terjadi pada keterbukaan diri dimana seseorang akan lebih leluasa
dalam memberikan informasi bersifat pribadi kepada orang-orang yang memiliki kedekatan dengan diri mereka
(kepercayaan). Melalui faktor kedekatan ini seseorang biasanya
melakukan keterbukaan diri kepada lima target/sasaran, yaitu: a) ayah; b) ibu; c) teman pria;
d) teman wanita; e) pasangan (Jourard dalam Ifdil, 2013)
B. Remaja
Akhir
Menurut Sarwono (dalam Grace
& Nurul, 2014) remaja akhir
adalah tahap penguat menuju fase dewasa yang ditandai dengan beberapa pencapaian seperti, minat terhadap fungsi intelektual, ego untuk memiliki hubungan dengan pribadi lain serta pengalaman baru, dan juga terbentuk jati diri seksual
yang tidak akan berubah lagi. Seperti
yang telah dijabarkan, remaja akhir dituntut
untuk memiliki rasa percaya diri agar memiliki kemajuan cara berpikir yang matang. Cara berpikir yang dilakukan meliputi evaluasi dan perbaikan diri.
C. Komunikasi Keluarga Strict Parents
Li (2021) menjelaskan
tentang ciri-ciri strict
parents, yaitu orang� tua yang memiliki banyak aturan ketat dan menuntut, memaksa anak untuk melakukan
harapan mereka, tidak mengizinkan anak mempertanyakan otoritas orangtua, menghukum berat jika melanggar aturan, dingin atau tidak responsif
dengan remaja mereka, menggunakan kata-kata
yang memalukan dan kasar. Menurut Musthofa (2020) tingkat kecemasan orangtua terhadap anak remaja mereka
menjadi sebab perilaku strict parents. Oleh sebab
itu, strict parents seringkali
menggunakan kata �tidak� dengan tujuan untuk
melindungi sang anak. Akan tetapi jika orangtua
terlalu mengambil banyak peran, remaja
akan menjadi individu yang tertutup dan kesulitan dalam perkembangan remaja.
Koerner & Fitzpatrick (dalam
Rezi, 2020) mengatakan bahwa orientasi percakapan dan orientasi konformitas merupakan bagian dari gambaran
sebuah hubungan kekeluargaan dan pemaknaan pada keluarga itu sendiri.
Pada orientasi percakapan, semua anggota keluarga
didorong untuk turut serta dalam
interaksi yang tidak terkendali tentang bermacam-macam topik (Koerner
& Schrodt, 2014). Sedangkan
pada orientasi konformitas
yang kuat, keluarga cenderung menekankan pada kesamaan sikap, nilai, dan kepercayaan. Namun, tidak menutup
kemungkinan jika kedua orientasi tersebut sama kuatnya
atau sama lemahnya. Hal ini disebabkan dari interaksi kedua orientasi yang secara konsisten membentuk empat jenis keluarga
yang berbeda, yakni Keluarga konsensual (orientasi percakapan maupun konformitas yang kuat), pluralistik (orientasi percakapan kuat namun orientasi
konformitas yang lemah), protektif (orientasi percakapan lemah tetapi orientasi konformitas yang kuat), dan
laissez-faire (orientasi percakapan
maupun konformitas yang lemah) (Koerner & Fitzpatrick dalam
Rezi,2020).
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi yaitu pendekatan yang berfokus pada fenomena seperti kejadian, hal yang datang dari pengalaman seseorang, bagaimana cara seseorang dalam menghadapi permasalahan, dan arti yang didapatkan
dari pengalaman tersebut (Widya, 2009). Pada penelitian ini peneliti berusaha untuk menganalisa mengenai keterbukaan diri remaja akhir
dalam komunikasi keluarga strict parents. Melalui suatu pengalaman remaja itu sendiri
dalam melakukan komunikasi dengan orangtua yang menerapkan pola asuh strict parents.
Dalam penelitian ini perlu adanya informan
penelitian sebagai narasumber yang menjelaskan terkait situasi maupun kondisi latar belakang penelitian, sehingga informan cukup dianggap menguasai dan terlibat pengalaman dalam fenomena yang dikaji (Moleong, 2015). Maka penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling yaitu
sampling purposive. Penelitian ini
dilakukan kepada empat remaja akhir
dari keluarga strict
parents dan masih tinggal bersama orangtua di daerah Bandung dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selain itu juga sebagai tambahan peneliti juga melakukan penelitian kepada dua orangtua dan satu psikolog ahli
klinis agar penelitian ini dapat bersifat
terbuka. Tidak hanya dari sudut
pandang para remaja akhir, tetapi juga terdapat salah satu pandangan dari orangtua mereka terhadap pola komunikasi
keluarga ini. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu
April 2022 hingga Juni
2022. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dengan cara
membandingkan hasil wawancara (keadaan dan sudut pandang) informan satu dengan
informan lainnya. Cara triangulasi sumber tersebut dilakukan sebagai upaya peneliti
dalam mencapai validitas data yang dapat dipercaya.
Hasil dan Pembahasan
a. Kuantitas
(Amount)
Dalam penelitian ini, remaja akhir merasa
jarang melakukan percakapan atau bertukar informasi dengan orangtua mereka. Hal tersebut memiliki berbagai macam alasan, diantaranya
sering terjadi kesalahpahaman dengan orangtua, terlalu sibuk dengan aktivitas
masing-masing, respon yang diberikan
dari orangtua kurang baik, dan jarak usia yang jauh antara anak
dengan orangtuanya. Meski demikian, remaja akhir merasa
bahwa komunikasi dengan orangtua mereka sangat penting dilakukan. Remaja memiliki kekhawatiran dengan tanggapan orangtua yang negatif sehingga hal ini
yang menjadi salah satu penyebab kurangnya intensitas komunikasi yang dilakukan dengan orangtua mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin sering
orang berinteraksi, maka akan semakin besar
juga seseorang dapat melakukan keterbukaan diri akan tetapi
terdapat faktor yang mempengaruhi dimensi kuantitas yaitu bagaimana perilaku dan tanggapan yang diterima dari lawan bicaranya.
b. Nilai (Value)
Pada penelitian ini, keempat informan
utama tidak menceritakan mengenai masalah pribadi dan perihal sensitif lainnya. Biasanya topik yang dibicarakan bisa seputar pekerjaan,
pendidikan, atau hal-hal ringan seperti cucu dan ponakan, berita yang dibagikan dari grup Whattsapp maupun hal-hal ringan lainnya. Dari sisi orangtua juga menjelaskan bahwa pembicaraan yang dilakukan mengenai nasihat kepada remaja dalam
membagi waktu antara hobi dan pendidikan. Akan tetapi tidak jarang juga orangtua merasa hanya berperan sebagai pendengar bagi remaja akhir
mereka. Jika topik yang dibahas mengarah kepada masalah pribadi atau topik
sensitif maka seseorang akan semakin sulit melakukan
keterbukaan diri
(Christine, 2022). Dengan demikian
maka dapat disimpulkan bahwa remaja akhir dengan
pola asuh strict parents cenderung tidak mengungkit tentang hal pribadi dan sensitif kepada orangtuanya.
c. Keakuratan/Kejujuran (Accuracy / Honesty)
Dalam penelitian ini, para
informan cenderung memilih untuk tidak
membahas topik seakurat maupun sejujur mungkin. Mereka mengontrol informasi dengan cara penyampaiannya pada bagian terluarnya atau secukupnya saja. Sehingga terkadang terkesan pembahasannya dilakukan secara formalitas dan cenderung kaku. Remaja akhir lebih
memilih untuk menyelesaikan masalah itu sendiri atau
kepada orang lain dibandingkan
dengan orangtua mereka. Mereka tidak ingin mempersulit
keadaan dan memahami orangtua mereka agar tidak menambah pikiran dari permasalahan
remaja itu sendiri (rasa sungkan). Menurut kak Christine, meski kejujuran merupakan hal penting
dalam keterbukaan diri namun sebelumnya
anak perlu memiliki keterikatan emosional dengan orangtuanya. Kemudian, dapat dilihat lagi
juga bagaimana respon yang diberikan oleh orangtua ketika sang anak mulai membuka diri.
Perlu adanya penerimaan dan rasa aman dari orangtua kepada
anak sehingga anak bisa terbuka
secara akurat dan jujur.
d. Keluasan
(Intention)
Dalam penelitian ini, informan utama cenderung memilih dan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada orangtua mereka. Para informan berpendapat bahwa mereka cenderung menghindari respon yang seringkali negatif dari orangtua mereka
yang mengakibatkan kurangnya
suatu keterbukaan diri dalam komunikasi
keluarga. Tidak jarang juga orangtua mereka memberikan kesan yang menuntut kepada remaja akhir
untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh orangtua tanpa melibatkan atau bertanya kepada
remaja tentang pendapatnya dengan cara tidak melibatkan
keputusan remaja dalam permasalahan yang ada di keluarga mereka. Sehingga menimbulkan komunikasi yang normatif dan fungsional pada komunikasi keluarga ini.
e. Keakraban
(Intimacy)
Dalam penelitian ini, para
informan utama merasa bahwa mereka
cenderung tidak akrab dengan orangtua
mereka. Ada tembok batasan yang terbentuk antara mereka dengan
orangtua mereka. Tembok batasan tersebut berupa kesibukan orangtua, jarak usia yang cukup jauh, dan juga sikap membandingkan masalah yang dihadapi anak dengan orangtua.
Tidak adanya rasa kenyaman dan aman dalam berkomunikasi dengan orangtua maka tidak dapat
menciptakan komunikasi yang
terbuka. Pada fase remaja, anak-anak memang pada fase yang lebih mempercayai teman-temannya. Alhasil, dengan pola asuh
strict parents akan semakin
terdorong untuk memperkecil kemungkinan untuk memiliki hubungan komunikasi yang terbuka dengan orangtuanya.
Peneliti juga melakukan observasi
selama melakukan wawancara bersama informan. Dalam penelitian ini, informan tidak semuanya kooperatif. Beberapa informan memerlukan lebih banyak pertanyaan agar peneliti mendapatkan data yang dibutuhkan dan kurang siap dalam memberikan
jawaban secara lugas. Selain itu
juga, peneliti mengamati
pada perilaku semua informan utama terhadap orangtua mereka. Pada pra-wawancara informan utama meminta kepada peneliti untuk melakukan sesi wawancara terpisah atau berada jauh
dari orangtua mereka. Mereka mengaku merasa canggung dan kurang nyaman jika menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
terdengar oleh orangtua mereka.
�
Tabel 1
Matriks Hasil Penelitian
No |
Nama Informan |
Dimensi Keterbukaan
Diri |
|||||
Kuantitas |
Nilai |
Keakuratan / Kejujuran |
Keluasan |
Keakraban |
|
||
1 |
Zhazha |
Jarang berkomunikasi kurang
minat untuk membuka diri dengan orangtuanya karena karena jarak usia yang jauh dengan orangtua
dan kesibukan antara orangtua dengan remaja sehingga seringkali terjadi kesalahpahaman |
Topik yang dibahas dalam
pembicaraan seputar pekerjaan |
Tidak menyampaikan pesan� secara akurat dan lebih memilih untuk menangani segala hal sendiri |
Seorang introvert, tidak pernah
membahas secara rinci (luaran saja) |
Kurang akrab dan lebih memilih untuk terbuka kepada tantenya |
|
2 |
Debora |
Tidak terlalu sering berkomunikasi dengan orangtuanya karena seringkali respon yang diberikan oleh orangtua cenderung negatif |
Tidak mengangkat topik
yang sensitif, terkadang membahas tentang permasalahan di kantor, terkadang respon orangtua cenderung negatif |
Terkadang bercerita, terkadang
tidak |
Cara untuk mengontrol informasi yang disampaikan dengan cara membahas seperlunya saja. |
Kurang akrab dan lebih memilih terbuka kepada temannya |
|
3 |
Auliana |
Tidak terlalu sering berkomunikasi dengan orangtuanya bergantung pada suasana hati orangtua maupun Auliana sendiri untuk membuka diri |
Topik yang diangkat seputar
pekerjaan dan perkuliahan,
hampir tidak pernah membahas mengenai perasaan maupun hal pribadi
lainnya |
Tidak terbiasa berbicara
terlalu banyak sehingga pesan yang disampaikan pun tidak begitu akurat |
Lebih banyak menyimpan informasi dalam diri dan terbiasa melakukan hal tersebut karena kesibukan orangtuanya sejak kecil |
Kurang akrab dan lebih memilih terbuka kepada temannya |
|
4 |
Hananindya |
Jarang untuk berkomunikasi
dengan orangtuanya dikarenakan jarak usia yang jauh dan pada saat masa puber orangtuanya bekerja di luar kota |
Topik yang dibahas mengenai
keluarga (ponakan / cucu), berita dari grup Whatsapp,
dan hal-hal ringan lainnya |
Tergantung permasalahan yang dihadapi,
jika hal tersebut tidak menyulitkan orangtuanya maka ia akan
berbicara secara akurat� |
Tidak berbicara secara rinci kepada orangtuanya |
Kurang akrab dan lebih memilih terbuka dengan kakak perempuan dan temannya |
|
5 |
Ibu Sian |
Cukup sering berkomunikasi
namun hanya seperlunya saja |
Beliau selalu bertanya mengenai cerita atau permasalahan yang dihadapi oleh anak pada hari itu, beliau
merasa hanya menjadi pendengar saja pada saat anak-anaknya bercerita |
Tergantung situasi dan sebisa
mungkin menghindari konflik atau perdebatan yang akan terjadi |
Berbicara secukupnya saja tergantung pada situasi dan kondisi anak tanpa melupakan peran orangtua |
Merasa akrab dengan anak-anak |
|
6 |
Ibu Srie |
Cukup sering berkomunikasi
karena saat ini 24 jam di rumah, namun sebelumnya beliau kerja setiap hari |
Beliau merasa anaknya jarang bercerita mengenai hal-hal pribadi, topik yang dibicarakan bersifat nasehat terkait pembagian waktu antara hobi dan kuliah anak |
Suka berbicara secara jujur dan terbuka kepada anaknya |
Kurang melibatkan anak dalam permasalahan
keluarga |
Merasa cukup dekat dengan anaknya |
|
7 |
Kak Christine |
Komunikasi yang terjadi pada pola
asuh strict parents seringkali
hanya seperlunya saja. Respon atau sikap penerimaan
dari orangtua juga mempengaruhi remaja akhir untuk membuka
diri |
Pada usia remaja akhir, semakin sensitif topik yang diangkat maka akan semakin
kecil kemungkinan untuk terbuka kepada orangtuanya |
Keterbukaan diri juga dipengaruhi
dengan seberapa akurat dan jujur remaja melakukan komunikasi dengan orangtua |
Orangtua perlu memberikan waktu / perhatian, validasi emosi, empati, dan alasan yang kuat kepada remaja
akhir agar terciptanya keterbukaan diri |
Pada usia remaja memang fase dimana mereka
lebih akrab (percaya) dengan teman sebayanya, jika orangtua terlalu strict, maka semakin sulit remaja untuk membuka diri |
|
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, pola asuh strict parents tidak menciptakan keterbukaan diri pada remaja akhir di Bandung. Hal ini dapat dilihat dari
lima dimensi yang telah diuraikan, yakni kuantitas, nilai, keakuratan/kejujuran, keluasan, dan keakraban. Frekuensi komunikasi mengenai keterbukaan diri yang dilakukan remaja akhir dengan
orangtuanya cenderung kecil. Sehingga nilai atau topik
yang diangkatpun terkesan formalitas dan cenderung kaku. Berbagai alasan seperti sering terjadinya kesalahpahaman, jarak usia yang cukup jauh, kesibukan orangtua maupun remaja akhir itu
sendiri, dan tanggapan yang
negatif sering diberikan oleh orangtua mereka yang mengakibatkan kurangnya minat atau timbulnya sikap acuh dalam
pengungkapan diri remaja akhir kepada
orangtua mereka. Dengan begitu, remaja juga seringkali merasa tidak memerlukan
keakuratan dan kejujuran dengan apa yang mereka alami maupun
rasakan. Hal ini membuat remaja menjadi tidak melakukan
dimensi keakuratan / kejujuran dimana mereka lebih memilih
untuk mencari solusi sendiri dibandingkan menceritakan segala hal kepada
orangtua mereka. Oleh sebab itu, remaja
akhir dengan pola asuh strict parents tidak merasa akrab
dengan orangtua mereka dan mengungkapkan diri kepada saudara
maupun teman mereka. Namun demikian,
perasaan remaja akhir dalam mengungkapkan
diri tidak disadari oleh orangtua mereka yang menerapkan pola asuh strict parents. Orangtua merasa bahwa mereka cukup
akrab dengan anak-anak mereka dan tidak menerapkan pola asuh strict parents. Hal ini disebabkan oleh faktor pola asuh
yang diterapkan saat ini merupakan lanjutan
dari apa yang mereka alami dahulu
sehingga menimbulkan kurangnya refleksi diri dan tingkat kesadaran bahwa mereka menerapkan pola asuh strict parents.
BIBLIOGRAPHY
Adzani, F.
(2021, September 29). Ciri-Ciri Strict
Parents Dan Dampaknya Pada Anak. Retrieved Desember 18, 2021, From Sehatq:
Https://Www.Sehatq.Com/Artikel/Ciri-Ciri-Strict-Parents-Dan-Dampaknya-Pada-Anak
Ali, M., & Asrori, M. (2010). Psikologi
Perkembangan Remaja.
Jakarta: Pt Bumi Aksara.
Hanifia, S. N. (2013). Meningkatkan Keterbukaan
Diri Dalam Komunikasi Antar Teman Sebaya Melalui
Bimbingan Kelompok Teknik
Johari Window Pada Siswa Kelas
Xi Is 1 Sma Walisongo Pecangaan Jepara Tahun Ajaran 2011/2012.
Hidayat, D. (2012). Komunikasi Antarpribadi Dan Medianya.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hurlock, E. B. (2011). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Ifdil, & Ardi, Z. (2013). Konsep
Dasar Self Disclosure Dan Pentingnya Bagi Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling. Pedagogi | Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Xiii(1).
Jojon, Wahyuni, T. D., & Sulasmini.
(2017). Hubungan Pola Asuh
Overprotective Orang Tua Terhadap
Perkembangan Anak Usia Sekolah Di Sdn Tlogomas 1 Kecamatan Lowokwaru Malang. Nursing News, 2(2), 524-535.
��Bibliography Koerner, A. F., & Schrodt, P. (2014). An Introduction To
The Special Issue On Family Communication Patterns Theory. Journal Of Family
Communication, 1-15, 14.
�Koerner,
A. F., & Fitzpatrick, M. A. (2002). Toward A Theory Of
Family Communication. Communication Theory, 70-91, 12(1).
Koerner, A. F., &
Fitzpatrick, M. A. (2002). You Never Leave Your Family In
A Fight: The Impact Of Family Of Origin On Conflict-Behavior In Romantic Relationships.
Communication Studies, 234-251, 53(3).
Kuswarno, E. (2009). Fenomenologi: Metode Penelitian Komunikasi: Konsepsi, Pedoman, Dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya
Padjadjaran.
Li, P. (2021, Agustus 29). Strict Parents - What's Wrong With Them. Retrieved November 7, 2021, From Parenting For Brain: Https://Www.Parentingforbrain.Com/Strict-Parents/
Littlejohn, S. W., Foss, K.
A., & Oetzel, J. G. (2017). Theories Of Human
Communication. Waveland Press, Inc.
Moleong, L. J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi (Cetakan
Keduapuluh Sembilan). Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
��Bibliography Mumtadzah, A. R. (2021). Hubungan Antara Perilaku Overprotective Orang Tua
Terhadap Perkembangan Psikologis Pada Anak Usia Dini Di
Perumahan Arkarami Kelurahan Sukarami Kecamatan Selebar Kota Bengkulu.
Bengkulu.
�Putro, K. (2017). Memahami Ciri Dan Tugas Masa Perkembangan Remaja. Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 25-32, 17(1).
Raco, J. (2018). Metode Penelitian
Kualitatif: Jenis, Karakteristik Dan Keunggulannya.
Jakarta: Pt Gramedia Widiasarana Indonesia.
Rakhmat, J. (2012). Psikologi Komunikasi. Bandung: Pt Remaja
Rosdakarya.
Rezi, M. M. (2020). Perspektif Teori Dalam Komunikasi
Keluarga. Bandung: Megatama.
Santana K., S. (2010). Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif,
Dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumantri, A. (2011). Metode Penelitian
Kesehatan Edisi Pertama.
Jakarta: Kencana.
Widya, K. (2009). Fenomenologi: Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung: Padjadjaran.
Copyright holder: Jessica Juliawati, Rita Destiwati (2022) |
First publication right: Syntax
Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |