Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol.
5, No.
2 Februari 2020
�
PENYELESAIAN SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI ARBITRASE MENURUT UU
NOMOR 13 TAHUN 2003 �TENTANG KETENAGAKERJAAN
Abdullah dan Andi Lala
CV. Syntax Corporation Indonesia dan Akamigas Balongan
Indramayu
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
Dispute of Industrial relations can be
resolved through court (litigation) and outside the court (non-litigation). The
parties are free to determine an alternative settlement that will be used in
settling that Dispute of Industrial Relations. The purpose of this research is
to find out how the process of resolving disputes outside the legal channels or
often called Alternative Dispute Resolution (ADR). This research is a type of
normative juridical research, namely research that uses library sources or
secondary material as a basis for research by analyzing and studying various
related legal literature. In resolving disputes the problems between the two
parties resolve them in a bipartite manner. However, if the bipartite
settlement process is not successful and has not yet met an agreement, �then the settlement can be done either by the
two disputing parties or one of them is to take an alternative route in a
tripartite manner consisting of mediation, conciliation, and arbitration or
submit the dispute to the Industrial Relations Court which is commonly called
mandatory settlement.
Keywords: Settlement of international relations, ADR and Law Number (No). 13 of
2003
Abstrak
Perselisihan
hubungan industrial bisa dibereskan lewat jalur pengadilan (litigasi) serta di
luar pengadilan (non litigasi). Para pihak bebas
untuk memutuskan alternatif penyelesaian yang hendak dipakai dalam
menyelesaikan perselisihan Hubungan Industrial
tersebut. Tujuan penelitin ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses
penyelesaian perselisihan diluar jalur hukum atau sering disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian yang menggunakan sumber bahan psutaka atau sekunder sebagai bahan
dasar penelitian dengan cara menganalisis dan menulusuri berbagai literatur
kajian hukum yang berkaitan. Dalam menyelesaikan sengketa permasalahan kedua
belah pihak menyelesaikannya dengan cara bipartit. Namun apabila proses
penyelesaian secara biaprtit tidak berhasil dan belum menemui kesepakatan, maka
penyelesaiannya bisa dilakukan baik oleh kedua pihak yang bersengketa atau
salah satunya untuk menempuh jalur alternatif secara tripartit yang
terdiri dari mediasi, konsiliasi, serta arbitrase atau dapat memberikan
perselisihan tersebut kepada Pengadilan Hubungan Industrial yang lumrah dikatakan
penyelesaian wajib (compulsory arbitration).
Kata
kunci:
Penyelesaian Hubungan Industrial, �ADR dan UU No.13 Tahun� 2003
Pendahuluan
Manusia sebagai
mahkluk sosial senantiasa berupaya melakukan�
interaksi dengan manusia lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
jasmani maupun kebutuhan rohani.
Dalam sebuah interaksi manusia akan terjadi dua hal yaitu kesamaan dan
perbedaan. Apabila yang terjadi dalam interaksi itu kesamaan-kesamaan maka akan
terjadi suatu keharmonisan dalam hubungan. Namun sebaiknya apabila dalam
interaksi tersebut itu terjadi perbedaan-perbedaan maka akan terjadi
perselisihan atau konflik antar kedua belah pihak.
Perselisihan juga terjadi dalam dunia ketenagakerjaan, yang melibatkan yang melibatkan para pekerja.
Seyogyannya perselisihan yang terjadi antara para pihak yaitu pegawai serta pengusaha tidak mesti dikhawatirkan keberadaannya, karena pada dasarnya
konflik yang terjadi bisa menimbulkan dampak positif atau menguntungkan, dengan
syarat para pihak yang terlibat tidak ada unsur kekerasan yang menyelimuti.
Apabila perselisihan atau konflik dilandasi oleh kekerasan maka tentu akan
mengundang kerugian dan permusuhan. Namun selama
ini percekcokan diantara pekerja serta pengusaha banyak dijumpai sistem penyelesaiannya diwarnai dengan unsur-unsur
kekerasan, anarkis, demontstrasi, mogok kerja dan sebagainya.
Sengketa
hubungan
industrial bisa dibereskan lewat dua
jalur yaitu 1) jalur pengadilan (litigasi) dan 2) jalur luar pengadilan (non
litigasi) sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Penyelesaian
sengketa yang sering terjadi banyak dijumpai cara penyelesaiannya dengan
menggunakan jalur litigasi atau proses penyelesaian sengketa jalur pengadilan.
Dalam kenyataanya proses yang dilalui ketika mengambil jalur pengadilan adalah
tidak sesederhana yang dibayangkan. Justru proses dipengdilan ini seringkali
menimblkan masalah-masalah baru sebab membutuhkan waktu yang cukup panjang dan
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Selain dari kelemahan-kelemahan yang ada
berperkara melalui jalur pengadilan ini juga sangat merepotkan kaena prosesnya
yang memakan waktu yang lama dan bertele-tele. Oleh karena itu penyelesaian
melalui jalur pengadilan ini diketahui banyak megandung kelemahan dengan
berbagai faktornya, akhirnya banyak juga orang atau para pihak yang beralih
menghindari proses penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dan lebih
cenderung berupaya menyelesaikan permasalahannya itu melalui jalur diluar
pengadilan.
Cara
ini sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu dipraktekkan ketika menyelesaikan
masalah-masalah masyarakat melalui musyawarah untuk menyelesaikan pertikaian
yang ada.� Seiring waktu berjalan hal
tersebut mulai ditingglakan ketika banyak orang berkepentingan mulai
berlomba-lomba proses penyelesainya dimuka pengadilan. Baru-baru ini Masyarakat
kini mulai menoleh kembali cara lama ini untuk digunakan ketika merasa proses
penyelesaian sengketa dengan berbagai pertimbangan banyak mengandung kerugian
dan kurang memenuhi rasa keadilan untuk kedua pihak, oleh
sebab itu alternatif pemyelesaian ini dirasa lebih mudah dan cepat dalam prosesnya.
Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang pemecahan persoalan Hubungan Industrial
merupakan landasan dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pen gusaha. Salah satu usaha
yang diharuskan dalam pemecahan persoalan itu merupakan pemecahan di luar
pengadilan. Sebelum sampe ke ranah
pengadilan Hubungan Industrial, masing-masing pihak yang� berselisih hendkanya jangan langsung membawa
kasus sengketanya ke pengadilan, tetapi diselesaikan dengan jalur mausyawarah
terlebih� untuk mancapai mufakat. Jalur
litigasi atau pengadilan adalah jalur terakhir yang dtempuh .�
Di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang sistem Penyelesaian
sengketa Hubungan Industrial dijelaskan bahwa sistem penyelesaian sengketa permasalahan yang terjadi antara
para� pihak dapat
dilakukan melalui cara pengadilan.
Dalam proses peyelesaian sengketa yang melalui jalur
pegadilan sudah dicatat dalam
system peradilan bahwa tenaga hakim telah ditambah dengan hakim Ad-Hoc, yang
proses litigasinya berjalan diperadilan umum. Dalam sistem peradilan umum hanya dikenal 2 tingkat yaitu: 1) sistem
peradilan di tingkat pertama dan 2) sistem peradilan tinkat kasasi. System
ini diharapkan lebih efektif agar dengan cara itu Hakim dalam peradilan
hubungan industrial sudah menerapkan aspek keadilan hukum terhadap kaum buruh
maupun pegusaha sertapun bisa di lalui dengan jalur di luar pengadilan.� Pemecahan melalui jalur di luar� pengadilan bisa ditempuh dengan cara
bipartit, mediasi, konsiliasi serta arbitrase.
����������� ����������� �
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian doktrinal atau normatif yakni
suatu proses agar menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, ataupun doktrin-doktrin
hukum supaya menjawab isu hukum permasalahan hukum yang dihadapi.
Pendekatan
yuridis normatif yaitu metode
pendekatan hukum dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber pustaka atau data
sekunder sebagai bahan utama dalam
penysunan data sesuai dengan kajian yang diteliti antara lain dengan menelusuri
peraturan
perundang undangan dan literatur-literatur bahan kajian baik buku, jurnal, makalah dan karya
tulis lainya yang mendukung dan berkaitan dengan materi yang� diteliti. (Soekanto &
Mamudji, 2001)
Hasil dan Pembahasan
A.
Pengertian
Perselisihan Hubungan Industrial
Di dalam Sosiologi kita
telah mengetahui bahwa perselisihan merupakan masalah yang umum dalam kehidupan
manusia, setiap
interaksi tertentu akan ada reaksi. Permasalahannya apakah
reaksi-reaksi tersebut dari para pihak yang berselisih dapat mengendalikannya sehingga pertemuannya
dapat mencapai titik persamaan yang
berdampak positif dan satu tujuan yang diharapkan. Penerimaan dari sekelompok
manusia atas kebijakan yang telah diterima, akan berbeda-beda ada yang merasa
puas ada juga yang merasa kurang puas. Tingkat kepuasan dari masing-masing juga
dari para pihak berbeda-beda, sehingga hal ini yang sering menimbulkan masalah
baru (Hartono, 1991).
Dalam
perusahaan
yang merupakan lingkungan masyarakat kerja tertentu, hubungan ketenagakerjaan
tidak bisa lepas dari pengertian-pengertian di atas. Suatu kebijaksanaan
pengusaha yang telah dipertimbangkan dengan matang akan diterima oleh para pekerja
dengan rasa puas dan rasa kurang puas. Kelompok
masyarakat yang merasa tidak puas dari hasil kebijakan tersebut biasanya akan
muncul benih perselisihan antara kedua belah pihak yaitu pengusaha dengan para
pekerjanya. Jika
perselisihan ini berlanjut dan beritanya berkembang akan terjadi kericuhan
dalam perusahaan, dimana kericuhan ini harus segera diatasi melalui jalan
musyawarah mufakat. Dengan demikian, perusahaan akan
dapat melangsungkan produksi sebagaimana yang telah direncanakan. Jadi, inti dari perselisihan yang terjadi dikarenakan adanya
pandangan dan perasaan-perasaan yang kurang puas antara kedua pihak baik para
pekerja maupun pengusaha atau perusahaan (Kartasaputra, Kartasaputra, & Kartasaputra, 1986).
Berdasarkan kasus-kasus
perselisihan industrial, penyebab utama yang sering ditemui di banyak
perusahaan dapat dikelompokkan dalam empat kategori:
a) Non-normative demand,
yaitu tuntutan yang tidak diatur dalam aturan hukum dan perjanjian
kerjasama; �
b) Normative demand,
yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur, baik dalalm aturan perundangan atau aturan diperusahaan dalam
perjanjian;
c) Keterlibatan
pihak ketiga, seperti pekerja/buruh dari perusahaan lain atau serikat
pekerja/serikat buruh (afiliasi lain) yang memprovokasi pekerja/buruh sehingga
terjadi perselisihan; dan
d) Adanya Tekanan dari oknum pekerja setempat yang
menjadi profokator penggerak timbulnya kericuhan.
Atas dasar uraian di atas,
maka manusia dalam hubungan antar pribadi, tidak dapat dilepaskan dari
interaksi atau hubungannya satu sama lain dalam rangka memenuhi
kebutuhan/kepentingannya, baik bersifat jasmani maupun rohani. Dalam melakukan relasi
bersama manusia lain telah tentu berlangsung persamaan serta perbedaan-pebedaan
dalam kepentingan, pandangan, juga perbedaan itu bisa menimbulkan perselisihan,
pertentangan ataupun problem.
Asyhadi mengemukakan
juga pengertian perselisihan yang dilihat dari aspek psikologis, yaitu: �Perselisihan
merupakan luapan emosi yang mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain� (Khakim, 2003) Di dalam pada Pasal 1
angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Pengertian di atas bisa
dipahami dengan memenuhi rasa keadilan, apakah pekerja itu merupakan kumpulan
pekerja ataupun tidak, jikapun berlangsung perselisihan relasi industrial tetap
memperoleh perlindungan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan
Undang-Undang 2 Tahun 2004.
Dari beberapa pengertian tersebut,
dapat ditarik kesimpulan unsur-unsur
dari konflik/ perselisihan tersebut adalah (Husni, Atas dasar pengertian 2004) :
a. Adanya
pihak-pihak (dua orang atau lebih).
b. Masing-masing pihak memiliki tujuan yang berbeda,
kehendak pihak yang satu agar kelompok lain bersikap sesuai dengan yang
diinginkannya.
c. Salah satu pihak lain tidak setuju atau kehendak yang
di inginkan tidak dapat dipersatukan.
Sementara
itu, bentuk-bentuk perselisihan hubungan industrial pada dasarnya bisa dibagi
ke dalam 2 (dua) bagian, yakni (Widodo & Judiantoro, 1989) :
a. Perselisihan
industrial menurut sifatnya:
1) Collective
disputes, yaitu sengketa/perselisihan antara serikat pekerja dengan pengusaha, dikarenakan
ga ada kesepahaman antar keduanya berkaitan dengan hubungan kerja, kondisi
pekerjaan dan syarat-syaratnya.
2) Individual
disputes, yaitu sengketa/perselisihan antara buruh yang bukan anggota serikat pekerja
dengan pengusaha.
b. Perselisihan
industrial menurut jenisnya:
1) Right
dispute,
adalah jenis perselisihan yang muncul antara kumpulan pengusaha dengan serikat
pekerja/buruh dikarenakan salah satu pihak tertentu melanggar isi dari
perjanjian kerjasama yang telah dibuat dan disepakati bersama.
2) Disputes of
interest, yaitu pertentangan antara pengusaha/
majikan atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh sehubungan dengan tidak
adanya persesuaian pendapat mengenai syaratsyarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan.
Perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh ialah percekcokan diantara serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu instansi, sebab tidak terdapatnya
penyesuaian mengerti perihal keanggotaan, pengimplementasian hak dan kewajiban
keserikat pekerjaan.
B.
Model
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia
Mengingat
perubahan mendasar
dalam UUD 1945 berkaitan dengan sistem pelaksanaan kekuasaan kehakiman,
maka muncullah Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Indonesia, 2009). Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan pemerintah dalam mengatur dan menyelenggarakan sistem
peradilan dalam rangka penegakan hukum yang berasaskan
pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia. Sudah selayaknya
kekuasaan kehakiman dijamin kebebebasannya dari pegaruh-pengaruh kelompok lain
dalam menegakkan hukum dan dan keadilannya, karena sikap mengadili adalah sikap
mulia seorang hakim dalam memutuskan perkara degan berpatokan pada sistem
kejujuran, keadilan dan kebenaran yang hakiki. Oleh karena itu hal tersebut seharusnya bebas dari dampak dan tekanan orang luar dari pihak manapun (Wantjik, 1997).
Kebebasan
dalam mengimplementasikan wewenang yudisial tidak mutlak sifatnya, sebab tugas
dari hakim ialah menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalur
menafsirkan serta mencari fundamental juga asas-asas yang menjadi landasannya
melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga keputusannya mencerminkan
perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia (Mertokusumo, 2010). Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 menyebutkan, kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung serta badan peradilan yang ada
di bawahnya dalam ranah peradilan
umum, peradilan militer,
peradilan agama,
peradilan tata usaha negara, serta oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain dari keempat lingkungan sistem peradilan
tersebut diatas, memungkinkan adanya suatu sistem pengadilan khusus yang
mengiringinya. Misalnya sistem peradilan umum, dapat diadakan Pengadilan Anak,
Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Ekonomi,
dan Sistem Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam PHI termasuk sistem pengadilan
special/khusus yang terdapat di area sistem peradilan umum. Seperti yang disebukan dalam Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004, bahwa Kewenangan dari PHI ialah kewenangan yang mutlak atau kompetensi
absolut dari PHI juga sebagaimna disebut
dalam Pasal 56 UU
No. 2 Th. 2004, bahwa PHI memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara:
a. Pada tingkat pertama berkaitan dengan sengketa Hak.
b. Pada tingkat pertama dan terakhir
berkaitan dengan sengketa kepentingan.
c. Pada tingkat pertama berkaitan dengan sengketa pemutusan hubungan kerjasama.
d. Pada tingkat pertama dan
terakhir berkaitan antar serikat pekerja/buruh di perusahan
terkait. �
Perselisihan hak adalah
sengketa normatif yang sudah ditetapkan dalam sebuah MoU/perjanjian kerja yang telah
disepakati bersama oleh kedua belah pihak yang berselisih. Maka proses
penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terlebih dahulu yang dilakukan
adalah melalui jalur mediasi sebelum perselisihan dibawa ke ranah
pengadilan.� Sedangkan perselisihan jenis
kepentingan adalah perselisihan terjadi dikarenakan akibat dari perbedaan
pandangan tentang kondisi ketenagakerjaan yang belum diatur secara jelas dalam
sebuah perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.� Perselisihan
kepentingan ini terhadap tingkat pertama serta terakhir diputuskan PHI pada Pengadilan Umum
(tidak dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung), hal ini dimaksudkan untuk menjamin
penyelesaian yang cepat, tepat, adil, dan murah.
Menurut
UU No. 2 Tahun 2004 secara prinsip penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui 2 (dua) alternatif, yaitu:
a. Menyerahkan
perselisihan itu secara sukarela pada seorang juru atau dewan pemisah. Proses penyelesaian jenis ini dapat juga disebut
sebagai sistem pemyelesaian sukarela (voluntary arbitration), dimana perselisihan ini dapat dilakukan dengan cara mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase.
b. Menyerahkan sengketa kepada pengadilan Hubungan Industrial. Sistem penyelesaian ini disebut juga dengan sistem
penyelesaian wajib (compulsory arbitration).
Secara mendasar setiap
perselisihan dalam Hubungan Industrial wajib
hukumnya sistem penyelesaiannya dilakukan dengan cara
bipartit sebelum perselisihan itu dibawa ke pengadilan. Dari masing-masing
pihak terdapat wakil pihak pengusaha dan wakil dari serikat pekerja/buruh. Wakil
yang hadir dalam bipartit ditetapkan secara proporsional dan sesuai dengan kesepakatan.
Jenis kesepakatan yang dihasilkan dari perumusan
bipartit berupa persetujuan yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak
yang berselisih. Apabila ada salah satu pihak yang tidak mau menandatangani
perjanjian tersbut, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
permohonan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri terdekat, walaupun tidak diatur secara khusus dalam aturan
perundang-undangan.
Seandainya sistem penyelesaian secara
bipartit mengalami kegagalan, maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh
jalur alternatif tripartit (sukarela), antara lain adalah sebagi berikut:
a.
Perundingan Bipartit
Perundingan bipartit ialah
perundingan diantara buruh atau serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Semua bentuk perselisihan
hubungan industrial bisa dibereskan lewat perundingan bipartit.
Undang-undang Nomor 2
Tahun 2004 mengharuskan tahap perundingan bipartit untuk setiap bentuk perselisihan
hubungan industrial. Apabila dalam
tahap ini tidak ada, maka tahap selanjutnya proses penyelesaian sengketa
terebut tidak dapat ditempuh. Supaya dalam proses bipartit ini tidak memakan
waktu lama dan panjang, maka hendaknya dalam peraturan perundangan dibatasi
dengan waktu maksimal 30 hari. Apabila dalam kurun waktu 30 hari salah satu
dari pihak menolak� untuk berunding atau
telah melakukan perundingan, tetapi tidak sesuai dengan kesepakatan, maka
perundingan bipartitt tersebut dianggap gagal.
Jika perundingan
bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 memberikan
nama formal �perjanjian bersama� untuk perjanjian antara para pihak di dalam
perundingan bipartit. Perjanjian bersama yang telah didaftarkan diberikan akta
bukti pendaftaran perjanjian bersama. Pasal 7 ayat (5) menegaskan bahwa jika kesepakatan
bersama tidak diimplementasikan oleh salah satu pihak, sehingga pihak yang
dirugikan bisa meminta permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial terhadap
Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk memperoleh
penetapan eksekusi.
Dengan demikian dapat disimpulkan ada tiga kemungkinan yang akan
terjadi dalam perjanjian bipartit:
1.
Terjadi
perundingan dengan adanya hasil kesepakatan yang disetujui bersama
2.
Terjadi
perundingan dengan tidak adanya hasil kesepakatan yang diperoleh�
3.
Tidak terjadi
perundingan antara kedua belah pihak karena kedua pihak tidak ada sama sekali
terjadi perundingan dan adabila hal ini terjadi maka dapat pula disebut dengan
proses bipartit yang gagal.
b.
Mediasi oleh Mediator
Setiap
kantor pemerintahan terdapat satu
pegawai khusus yang diangkat sebagai mediator dimaksudkan untuk
bertanggungjawab apabila terjadi sebuah perselisihan
antara pengusaha dengan serikat pekerja. Atas
keputusan dan kesepakatan bersama yang telah di setujui oleh masing-masing
pihak untuk mengangkat pegawai khsus sebagai mediator dalam kantor pemerintahan
setempat. Kemudian secara tertulis mengajukan
permintaan untuk membantu menyelesaikan perselisihan yang� terjadi.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
menerima permintaan penyelesaian perselisihan, seorang� mediator harus dapat
menghimpun dan mempelajari semua kondisi dan�
informasi yang diperlukan dan segera ditindaklanjuti pada hari
berikutnya untuk mengadakan sebuah mediasi bersama.�
Apabila
antara kedua pihak mencapai kesepakatan, maka kesepakatan tersbut dapat
dirumuskan bersama dan kemudian ditandatangani oleh para pihak dan diketahui oleh
mediator. Dan jika sebaliknya tidak terjadi kesepakatan antara kedua pihak maka
pada sepuluh hari setelah sidang mediasi seorang mediator membuat surat anjuran
tertulis kepada para pihak, selanjutnya setelah sepuluh hari berikutnya dari
pemberian surat anjuran oleh mediator kedua belah pihak harus segera merespon
dan melaporkan secara tertulis untuk memberikan keputusan akhir bahwa apakah
kesepaktan itu di terima atau ditolak.
Apabila
para pihak yang berelisih mendapatkan anjuran dari mediator, kemudian kesepakatan
tersebut dinyatakan dalam bentuk perjanjian bersama.
Dan perjanjian itu ditolak oleh salah satu pihak
berselisih, kemudian pihak yang menolak menganjukan
gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial setempat. Untuk itu, mediator
menyelesaikan dokumen yang diperlukan dalam 5 hari kerja. Dengan demikian, maka
seluruh proses mediasi dapat
diselesaikan paling lambat dalam waktu 40 hari kerja.
c.
Konsiliasi oleh
Konsiliator
Konsiliator adalah anggota masyarakat yang dianggap mempunyai kompetensi dan kemampuan
dalam bidang hubungan industrial dan memahami berbagai peraturan perundangan mengenai ketenagakerjaan. Konsiliator dipilih dan ditunjuk oleh kementrian
untuk melakukan konsiliasi kepada pihak-pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Daftar konsiliator yang sudah dipilih
tersedia di kantor pemerintahan ketenagakerjaan sebagai penanggungjawab.
Berdsarkan kesepakatan bersama antara kedua pihak yang memilih daftar
konsiliator yang sudah disediakan oleh pemerintah untuk menyelesaikan
permaslahan atau sengketa mengenai pemutusan atau hubungan kerja. �Sama seperti mediator seorang konsiliator
bertugas menghimpun seluruh informasi yang ada dalam waktu satu minggu setelah
menerima permohonan konsiliasi dan paling lambat pada hari kedelapan sudah
memulai untuk konsiliasi. Dan paling lama dalam konsiliasi sudah melakukan
sidang pertama dan pihak berselisih harus suda menyampaikan pernyataan dari
wakil masing-masing untuk merumuskan kesepakatan bersama untuk menolak atau menerima
anjuran konsiliator. Apabila salah satu pihak menolak anjuran dari konsiliator
dan menggugat ke pengadilan hubungan industrial. Maka seorang konsiliator harus
dapat menyelesaikan perselisihan tersebut dalam waktu maksimal 40 hari kedapan.
Dalam proses konsiliasi, konsiliator dapat memanggil beberpa saksi ahli.
d.
Arbitrase oleh Arbiter
Arbitrase adalah bentuk penyelesaian�
sengketa hubungan industrial berdasarkan proses yudisial sebagaimana
dijelaskan oleh Abdurrasyid, berikut:
�Arbitrase adalah suatu proses
pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti yang
dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa dan pemecahannya akan didasarkan
kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak�. (dalam Sudiarto & Asyhadie, 2004)
Proses penyelesain melalui
arbitrase dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari
muncul pelbagai prilaku yang saling tuntut menuntut satu sama yang lain, dan di
masa depan yang dekat kuantitas dan kompleksitas perkara, terutama
perkara-perkara ketenagakerjaan akan sangat tinggi. Metode penyelesaian
sengketa lewat arbitrase menjadi gagasan
dan� ide yang� akan digunakan untuk mengatasi dan
menyelesaikan berbagai masalah yang fundamental tapi berdampak sistemik yang
banyak dihadapi oleh orang-orang yang berada dilingkungan ketenagakerjaan, karena
berbenturan dengan tembok-tembok hukum yang kusam, kelam, kaku, dan
menyeramkan.
Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dikategorikan sebagai
Alternative Dispute Resolution (ADR),
adalah kehendak bebas dalam proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur
non litigasi atau diluar jalur hukum negara (Margono, 2001). Penyelesaian cara ini juga diakui dalam
Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.38 Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan, bahwa: �Usaha penyelesaian perselisihan bidang perdata
dapat dilaksankan melalui jalur
alternatif penyelesaian atau disebut dengan arbitrase�.
Dalam
praktik sengketa yang muncul diserahkan kepada masing-masing pihak, apakah akan
melalui proses peradilan atau menggunakan cara penyelesaian lain, seperti
arbitrase. Realitanya permasalahan
perselisihan/sengketa yang terjadi dalam dunia ketenagakerjaan atau hubungan
insdustrial masing-masing pihak yang bersengketa mengharapkan proses
penyelesaiannya dialkukan dengan cara cepat, sederhana dan tidak mengeluarkan
biaya banyak atau formal
procedure and can be put in motion quickly. Dengan kata lain, jenis penyelesaian masalah ini maish dalam kategori
sistem hukum yang masih dibenarkan dalam ranah hukum formal. Penyerahan
kepada arbiter dinyatakan dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak di
hadapan Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan.
Secara
teoritis penyelesaian perselisihan melalui arbitrase mempunyai banyak keuntungan,
di antaranya: (Charda, 2017)
1) Kerahasiaan masalah dijamin.
2) Efektif dan efisiensi waktu
3) Kedua belah pihak mengetahui kapabilitas arbiter yang
dipilih, sehingga dalam proses penyelesainnya harus menganut asas-asas hokum
4) Para
pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
5) Putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase adalah
penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga orang arbiter yang atas
kesepakatan para pihak yang berselisih diminta menyelesaikan perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara
serikat pekerja. Pihak
berselisih menunjuk tiga orang arbiter, dalam 3
(tiga) hari para pihak �boleh
memilih satu orang arbiter dan paling telat selama tujuah� hari kerja sesudah
itu, kedua arbiter tersebut dapat menunjuk
seorang arbiter ketiga yang djadikan Ketua
dalam Majelis Arbiter.
Apabila penyelesaian
secara bipartit maupun secara tripartit (sukarela) juga gagal, maka
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui Pengadilan
Hubungan Industrial sebagai badan atau wadah yang memberikan keadilan,
sedangkan peradilan menunjukkan pada proses memberikan keadilan dalam rangka
menegakkan hukum. Dalam rangka memberikan keadilan dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur bentuk
penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial yang dapat ditempuh melalui
jalur Pengadilan Hubungan Industrial.
Kesimpulan
Pada
prinsipnya setiap permasalahan yang terjadi dalam
sengketa hubungan industrial wajib penyelesaiannya dengan cara bipartit sebelum
perselsihan itu diangkat ke ranah hukum pengadilan Hubungan Industrial. Kesepakatan atau
kompromi yang diinginkan dalam bipartit
dinyatakan dalam bentuk perjanjian persetujuan yang ditandatangani oleh kedua pihak
yang bersengketa. Apabila dalam bipartit ada salah satu pihak yang merasa
dirugikan karena tidak menyepakati pernjanjian tersebut, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Hubungan Industrial di pengadilan Negeri terdekat.
Walaupun
tidak diatur secara khusus dalam undang-undang, serikat-serikat pekerja di
perusahaan dapat membentuk forum komunikasi antar serikat pekerja.
Proses penyelesaian masalah antar serikat pekerja/buruh disarankan dengan jalur bipartit
dalam kasus ini apabila para pihak yang berselisih tidak dapat� menyelesaikannya dengan jalur bipartit, maka
dinyatakan proses penyelesainnya gagal dan dapat ditempuh dengan alternatif
jalan penyelesaian lain yaitu proses penyelesaiannya dengan menggunakan tripartit
(sukarela) antara lain seperti 1) Mediasi, 2) Konsiliasi dan 3) Arbitrase atau
dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Pengadilan Hubungan Industrial yang
lazim disebut penyelesaian wajib (compulsory arbitration).
BIBLIOGRAFI
Charda, U. (2017). Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Dalam Hukum Ketenagakerjaan Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004. Jurnal Wawasan Yuridika, 1(1), 1�23.
Sudiarto, P. A., & Asyhadie, Z. (2004). Mengenal Abitrase
Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Gautama, S., & Baru, U.-U. A. (1999). Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Hartono, C. F. G. (1991). Kapita selekta perbandingan
hukum. Pt. Citra Aditya Bakti.
Husni, L. (2004). Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui pengadilan & di luar pengadilan. Divisi Buku
Perguruan Tinggi, RajaGrafindo Persada.
Indonesia, R. (2009). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Seketariat Negara.
Kartasaputra, G., Kartasaputra, A. G., & Kartasaputra, R.
G. (1986). Hukum perburuhan di Indonesia berlandaskan Pancasila. Bina
Aksara.
Khakim, A. (2003). Pengantar hukum ketenagakerjaan
Indonesia: berdasarkan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003. Citra Aditya
Bakti.
Margono, S. (2001). Pelembagaan Altenative Dispute Resolution
(ADR) di Indonesia. Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase Di Indonesia
(Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja).
Mertokusumo, S. (2010). Hukum acara perdata Indonesia.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian hukum
normatif: Suatu tinjauan singkat. RajaGrafindo Persada.
Wantjik, K. S. (1997). Kehakiman dan Peradilan. Ghalia
Indonesia, JakartaMedan-Surabaya-Yogyakarta.
Widodo, H., & Judiantoro. (1989). Segi hukum
penyelesaian perselisihan perburuhan. Rajawali.