Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia � ISSN : 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 2,
No 4 April 2017
�
PENGGUNAAN NASH DAN TUNTUTAN
MASHLAHAH �
A. Badru Rifa�i
STAI PERSIS Bandung
Email: [email protected]
Abstrak
Islam sebagai agama samawi
merupakan agama dengan tingkat universal yang tinggi. Dalam pelaksanaannya,
Islam memberikan kemaslahatan dari segala lini pada setiap pengikutnya. Hal
serupa juga diterapkan pada hukum Islam, atau dalam hal ini disebut nash. Nash
dalam Islam erat kaitannya dengan hukum mutlak yang harus ditaati oleh setiap
umatnya. Dalam penerapannya, nash kadang kala dianggap sebagai hukum yang tidak
adil. Namun dalam sudut pandangan lain, nash kerap kali menunjukan arah positif
terhadap kemaslahatan umat. Penelitian ini akan membahas tentang pola pandang
nash terhadap kemaslahatan umat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
studi kasus mengenai beberapa perkara yang membutuhkan nash sebagai dasar hukum
atas perkara tersebut. Adapun perkara yang dijadikan studi kasus dalam
penelitian ini adalah aborsi, penggunaan plasenta binatang untuk kosmetik,
serta pembakaran mayat. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pembakaran mayat
menurut nash dan pertimbangan lain dinyatakan haram kecuali tidak ada pilihan
lain, penggunaan plasenta binatang untuk kosmetik dinyatakan halal dan haram,
tergantung dari jenis apa hewan yang digunakan, apakah halal atau haram. Adapun
kasus aborsi disini memiliki dua hukum yang berbeda, halal apabila dalam
konteks medis, sedang haram apabila konteks kasus perkosaan atau tindak negatif
lainnya.
Kata Kunci: Nash dan Tuntutan Maslahah
A. Pendahuluan
����������� Islam sebagai agama
samawi merupakan agama yang universal. Kehadirannya untuk memberikan
kesejahteraan bagi segenap alam (rahmatan lil 'alamin). �Dalam
terminologi Ushul Fiqh, syari�at
diturunkan Allah kepada hamba-Nya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia
dan di akhirat. Ini bisa diwujudkan apabila syari'at itu dipahami. Setelah
dipahami, dilaksanakan dengan kepatuhan (al-ta�abbud) yang tulus dan
menghindari diri dari golongan hawa nafsu.
Sumber syari'at Islam yang utama adalah al-Qur'an
dan sunnah. Oleh sebab itu, para ulama ushul
fiqh kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama
hukum Islam (mashadir al-ahkam) adalah Al-Quran dan sunnah, karena
keduanya disepakati ulama ushul fiqh
klasik dan kontemporer sebagai sumber primer hukum Islam. �Al-Quran pada
mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang
kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Al-Quran dijadikan sumber utama
kemudian sunnah menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, membatasi
yang mutlak sehingga ia menjadi penjelas dan penyempurna al-Qur'an.
Dalam menghadapi perkembangan sosial masyarakat zaman
modern yang menimbulkan persoalan hukum baru, diperlukan suatu metode penetapan
hukum yang dapat menjawab persoalan hukum yang baru. Penetapan hukum atas
persoalan-persoalan kontemporer tidak cukup mengandalkan dan mengembalikan
persoalan pada Al-Quran dan sunnah, karena harus diakui bahwa Al-Quran hanya
memuat sebagian hukum-hukum terinci, sementara sunnah terbatas pada kasus-kasus
yang terjadi pada masa Rasul SAW., maka untuk memecahkan persoalan-persoalan
baru diperlukan adanya ijtihad.
Dalam berijtihad, para sahabat mengandalkan bakat tasyri' yang terbentuk melalui bimbingan
langsung Rasul dan dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka dalam
menetapkan� hukum dengan memperhatikan asrar
at-tasyri (rahasia-rahasia perundang-undangan) dan mabadi ammah
(prinsip-prinsip umum). Terkadang mereka melakukan qiyas atas persoalan yang tidak ada nash-nya dengan perkara yang sudah ada
nash-nya. Pada kesempatan yang lain mereka juga menetapkan
hukum dengan memperhatikan mashlahah atau
menolak mafsadah. Mereka tidak
membatasi kemaslahatan yang wajib dijaga sehingga ijtihad mereka terhadap persoalan yang tidak ada nash-nya menjadi luas, mencakup dan menampung kebutuhan dan
kemashlahatan. manusia.
Seiring perkembangan zaman dan semakin luasnya
wilayah kekuasaan Islam sementara para pakar yang ahli dalam bidang� hukum Islam berjauhan tempat tinggalnya
antara satu dengan lainnya, maka segala persoalan yang baru muncul tidak dapat
diselesaikan dengan bersumber pada Al-Quran, sunnah, ijma �dan qiyas
semata. Hal itu karena pemahaman mereka terhadap suatu nash sudah berbeda-beda dan kemashlahatan yang dituntut juga� tidak sama karena perbedaan lingkungan dan
daerah yang didiami para mujtahid.
Sehingga lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti istihsan, istishlah (mashlahah
mursalah), urf, istishab,
�dan syar'u man qablana. Metode istinbath
hukum tersebut selanjutnya menjadi objek kajian 'ilm ushul al-fiqh.
Metode istinbath
hukum itu, dalam ilmu ushul fiqh
dikelompokkan pembahasannya bersama-sama dengan Al-Quran dan sunnah, kemudian
dinamakan dengan al-adilah asy-syar'iyyah (dalil-dalil syara). Pengelompokan tersebut
sebenarnya kurang tepat disebabkan adanya perbedaan-perbedaan antara al-Quran
dan sunnah di satu sisi dengan metode-metode istibath hukum di sisi lain. Al-Quran dan sunnah merupakan sumber
hukum, sedangkan qiyas, istihsan,
istishlah dan lainnya merupakan cara-cara yang ditempuh oleh para mujtahid dalam menetapkan hukum guna
mendapatkan hukum yang sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan sunnah.
Dalam menghadapi kondisi zaman yang modern dan
persoalan-persoalan kontemporer saat ini,
ijtihad adalah solusi yang terbaik dan merupakan sebuah keniscayaan dalam
mereformasi dan mereaktualisasikan hukum Islam. Ulama fiqh tidak boleh terlelap di dalam cahaya kemajuan dan senantiasa
melakukan reaktualisasi hukum, agar hukum yang ada benar-benar mengandung
kemaslahatan. Asy-Syatibi berpendapat, tujuan utama dari syari'ah ialah utnuk menjaga dan meperjuangkan tiga kategori hukum
yang disebut dengan daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.
Tujuan hukum Islam (maqasid asy-syari'ah)
adalah menetapkan hukum di antaranya yaitu memelihara kemaslahatan agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta benda. Antara maqasid asy-syari'ah dan
mashlahah mempunyai kesamaan prinsip yaitu terwujudnya kemaslahatan dan
menghindarkan diri dari kerusakan, keduanya terdapat hubungan penetrasi dan
relevansi yang erat. Ketika berbicara tentang teori-teori mashlahah, di
dalamnya masuk juga prinsip-prinsip maqasid asy-syari�ah dan begitu juga
sebaliknya. Tujuan dari kategori tersebut adalah untuk kemaslahatan kaum
muslimin baik di dunia maupun di akhirat.
Sebanarnya produk-produk pemikiran hukum Islam yang
dihasilkan melalui ijtihad pada
kenyataannya terikat oleh waktu dan kondisi ketika ijtihad itu ditempuh. Timbulnya inovasi-inovasi baru yang merubah
sikap hidup, menggeser sudut pandang dan membentuk pola alur pikir, menimbulkan
pula konsekuensi dan membentuk norma dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitan
ini, bagi seorang muslim persoalan-persoalan baru yang muncul karena kemajuan
iptek, tidak harus dihadapkan dengan ketentuan-ketentuan nash secara konfrontatif, tapi harus dicarai pemecahannya secara ijtihad. Sementara itu ijtihad Nabi SAW. dan juga ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin
Khattab kiranya telah cukup membangkitkan dan memotivasi diri para Fuqaha untuk diambil sebagai referensinya. Tidak
dipungkiri bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum lebih cepat dinamika
dan laju jalannya daripada perkembangan hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, penyegaran dan pembaharuan hukum
Islam mutlaq diperlukan untuk
menetapkan hukum-hukum yang lebih sesuai dengan kondisi zaman dan memperhatikan
tujuan pensyariatan hukum itu sendiri. Munculnya gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia membawa angin segar kearah pembaharuan pemikiran Islam termasuk
pembahruan hukum Islam.
Dalam melahirkan sebuah keputusan hukum harus
memiliki dasar pertimbangan dan metode istimbath
(penetapan hukum) yang dibangun dengan mengadopsi alur pemikiran ulama salaf. Ijtihad yang dilakukannya tetap
bersumber pada al-Qur'an dan sunnah sebagai sumber hukum utama dan melalui istimbath hukum. Metodologi pengambilan istimbath hukumnya sebagai berikut; pertama,
mencari keterangan dari al-Qur�an termasuk meneliti tafsir bil ma�tsur
dan tafsir bi al-ma�qul al-mahmud. Bila terdapat perbedaan pemahaman dan
penafsiran, penelitian secara sunguh-sunguh segera dilakukan. Kalau perlu
dilakukan tarjih. Kedua, bila tidak terdapat dalil al-Qur�an, keterangan
atau dalil dari sunnah dicari. Bila terdapat perbedaan pendapat diadakan
penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matan, sebagai langkah untuk
melakukan pentarjihan. Ketiga, jika tidak terdapat juga dalil dalam
sunnah, atsar Sahabat dicari dengan cara yang sama pada butir kedua,
tetapi dengan penekanan tidak berlawanan dengan al-Qur�an dan as-Sunnah yang
sahih, termasuk di dalamnya ijma� sahabat. Keempat, jika tidak terdapat
dalil dari al-Qur�an dan sunnah atau atsar sahabat, metode qiyas,
istihsan, dan maslahah al mursalah digunakan dalam masalah-masalah
sosial. Dalam masalah ibadah (mahdlah) digunakan kaidah �semua
dilarang kecuali yang diperintahkan�, sedangkan dalam urusan sosial
keduniaan (maslahah al-mursalah) yang digunakan kaidah �semua boleh
kecuali yang dilarang�. Juga, selalu tidak dilupakan petunjuk dalam masalah
keduniaan �antum �alamu bi umuri dunyakum�. Metode �urf� termasuk dalam kaidah ini bisa dilakukan
sepanjang tidak berlawanan dengan al-Qur�an dan sunnah. �
Al-Qur�an sebagai sumber hukum utama dan pertama.
Berkaitan dengan sumber hukum pertama, yaitu al-Qur�an, dikatakan ia
(al-Qur�an) bersifat qath�iyy al-wurud (periwayatannya meyakinkan); akan
tetapi dari segi penunjukannya, al-Qur�an kadang-kadang qathiyy al-dilalat
(pasti) dan kadang-kadang zhaniyy al-dilalat (tidak pasti, samar).
Berkenaan dengan sumber hukum kedua yaitu as-Sunnah. Adapun kedudukan yang
kedua adalah as-Sunnah, as-Sunnah dalam tasyri�
Islami mempunyai� fungsi sebagai, (1)
penguat (tawkid) terhadap hukum-hukum
yang telah ada dala al-Qur�an (2) penafsir dan pengikat terhadap ayat-ayat yang
mujmal, umum atau mutlak; dan (3)
menetapkan hukum (�baru�) yang tidak ditetapkan dalam al-Qur�an.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Ishaq
asy-Syatibi. Beberapa persoalan yang menggunakan metode istishslah adalah menjawab persoalan-persoalan kontemporer terutama dalam bidang muamalah yang selama ini sering ditanyakan
sebagian ummat Islam kepada para kyai atau lembaga fatwa lainnya. Namun, dalam
beberapa keputusan harus menjelaskan dasar pertimbangan dan kriteria maslahat
yang digunakan tersebut seperti dalam kajian Ushul fiqh, banyak sekali macam dan tingkatan maslahah� yang menjadi kajian objek ushul fiqh. Dari berbagai macam maslahat
tersebut ada yang diterima dan ditolak.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin melakukan kajian
hubungan antara penggunaan nash dengan
tuntutan� maslahah yang menjadi
pertimbangan dalam membuat hukum yang bersifat kontemporer dalam bidang muamalah.
Metode Peneletian
Metode yang digunakan dalam
penggunaan nash dan tuntutan maslahat dalam membuat�
keputusan-keputusan hukum Islam adalah pertama, mencari keterangan dari Alquran, bila terdapat perbedaan pemahaman dan penafsiran,
penelitian secara sungguh-sungguh atau diadakan al-tarjih, thariqat al-jam�i. Kedua,
bila tidak terdapat dalam Alquran, keterangan atas dalil dari Sunnah dicari. Bila terdapat perbedaan
pendapat diadakan penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matan,
sebagai langkah untuk melakukan pentarjihan.
Ketiga, jika tidak terdapat juga dalam Sunnah, atsar sahabat yang
sesuai dengan Sunnah Rasulullah SAW. Keempat, Jika tidak terdapat dalil
dari Alquran dan Sunnah atau atsar shahabat, metode Qiyas, istihsan, dan
mashlahah al-mursalah digunakan dalam masalah sosial.
Dalam masalah ibadah (mahdlah)
digunakan kaidah �semua dilarang kecuali yang diperintahkan�, sedangkan
dalam urusan sosial keduniaan (maslahah al-mursalah) digunakan kaidah �semua
boleh kecuali yang dilarang�. Juga, selalu tidak dilupakan petunjuk dalam
masalah keduniaan �antum a�lamu bi umuri dunyakum�. Metode �urf termasuk
dalam kaidah ini bisa dilakukan sepanjang tidak berlawanan dengan Alquran dan
Sunnah.
Pembahasan
A.
Membakar
Mayat Korban Bencana Alam
Pemeliharaan
jenazah dalam berbagai sistem keyakinan dilakukan
dengan jalan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Islam amat menghormati jenazah sesuai
dengan ajaran Rasulullah, sebagaimana ada juga pada sistem kepercayaan lain,
walaupun konsep menghormati dan memelihara berbeda-beda.
Akhir-akhir ini dengan banyaknya bencana
alam akibat gempa dan tsunami mengakibatkan korban manusia meninggal tidak
terhitung sehingga menimbulkan masalah yang berkaitan dengan proses
penguburannya. Dalam M. Abdurrahman, disebutkan Ali Jam�ah, Mufti Mesir
berpendapat, �Bolehnya membakar bangkai-bangkai manusia korban gempa Asia
untuk menghalangi tersebar luasnya wabah dan penyakit�. (Al-Alam Al-Islami,
Koran Mingguan: 31 Januari 2005). Fatwa tersebut tergolong baru dan berani
karena secara nash-nash, baik
Al-Qur�an maupun hadist, implisit dan eksplisit, jenazah harus dikuburkan
karena kedudukan manusia yang harus dihormati, padahal pada zaman modern
sekarang seperti tidak ada kesulitan untuk mengangkut dan mengubur jenazah
karena banyak alat-alat berat yang bisa digunakan. Alasan Ali Jam�ah ialah
kemaslahatan dan kaedah-kaedah yang digunakan, sebagai kerangka teori ialah: 1.
Dar al-mafsid muqaddam �ala jalb al-mashlih; 2. Izda ta�aradat mafsadatani tujunniba asyaddahuma bi irtikabi akhaffihima,;
3. Al-Mashalih al-muta�addiyah muqaddamah ala al-mashalih al-qhasirah�. Kaedah tersebut tentu berkaitan dengan
maslahat dan mafsadat yang terjadi
pada menusia ini, yaitu manusia yang hidup harus lebih diperhatikan dari ada
yang mati.
Dalam merespon persoalan tersebut, ulama
Hisbah mengkaji dengan pendekatan Bayani dan aspek� maslahat dan mafsadat memberikan kesimpulan bahwa, �Membakar mayat hukumnya haram kecuali bila tidak didapat
jalan yang lain.�Kesimpulam ini berbeda dengan Ali Jum�ah yang langsung
membolehkan membakar mayat korban bencana alam karena alasan� kemaslahatan sementara tuntutan nash
diabaikan.
Dalam pandangan M. Abdurrahman, seorang
ulama Hisbah yang menyampaikan makalah persolan di atas
bahwa� kemunculan fatwa bolehnya membakar
mayat bila akan terjadi bahaya dan berjangkitnya wabah karena mayat berserakan.
Ditambah jenazah akibat bencana alam yang biasanya ditemukan oleh relawan,
sementara tenaga yang ada terbatas, bahkan amat minim, baik medis maupun yang
lainnya tentu harus bertindak cepat untuk memelihara jenazah ini.
Bangkai-bangkai manusia yang berserakan perlu segera diselamatkan. Pertama,
penyelamatan dari serbuan binatang dan yang kedua, agar tidak menyebar
bau menyengat dan penyakit-penyakit lainnya.
Masih menurut Abdurrahman� langkah-langkah yang harus di tempuh dalam
kasus-kasus seperti ini adalah sebagai berikut:
1) Sedapat mungkin segera menguburkannya
dengan cara apapun dengan mengerahkan alat-alat berat.
2) Menutup dengan apa saja yang memungkinkan
jenazah terlindungi.
3) Disemprot dengan obat penghilang bau dan pembunuh kuman.
4) Di masukkan ke kantong-kantong plastik
untuk dievakuasi
Jadi, pembakaran harus dihindari mengingat
berbagai aspek yang ada, seperti akidah dan syariah, psikologis,
sosiologis-antropologis, dan yuridis. Bahwa sulit menguburkan, mungkin terjadi,
tetapi bukan berarti tidak bisa. Maka selama ada bumi dan tanah jenazah agar
dikuburkan sedapat mungkin. Dilihat dari unsur teologis dan syari�ah pembakaran
jenazah merupakan tidakan yang �tampaknya� menentang agama (Islam). Dilihat
dari unsur psikologi jasad manusia mestinya dihormati secara baik karena ada
hadis yang menerangkan tentang larangan mencederai mayat dan mematahkan anggota
badannya, apalagi dengan dibakar. Secara sosiologis nilai-nilai dasar
kemanusiaan harus menjadi perhatian, sebagaimana dari
aspek antropologis yang akan menyinggung �perasaan� kemanusiaan jika mayat di
bakar.
Tuntutan nash menurut Abdurrahman bahwa jenazah
muslim harus dikuburkan sebagai penghormatan. Sebagaimana dalam hadis-hadis
berikut ini:
عَنْ
ابْنِ
عَبَّاسٍ
قَالَ:
بَيْنَمَا
رَجُلٌ
وَاقِفٌ مَعَ
الرَّسُولِ
اللهِ r
بِعَرَفَةَ
إِذْ وَقَعَ
عَنْ
رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ.
فَذُكِّرَ
ذَلِكَ لِلنَّبِيِ� r
فَقَالَ:
إِغْسِلُوهُ
بِمَاءٍ
وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ
فِي
ثَوْبَيْهِ
وَلاَتُخَنِّطُوهُ
وَلاَتُحَمِّرُوهُ
رَأْسَهُ
فَإِنَّ
اللهَ
تَعَالَى
يَبْعَثُهُ
يَوْمَ القِيَامَةِ
مَلَبِّياً -
رواه الجماعه
Dari Ibnu Abas, ia berkata, �Tatkala seorang laki-laki
wukuf bersama Rasulullah saw. di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari untanya sampai
patah lehernya. Maka hal itu diterangkan kepada Nabi saw.,� beliau bersabda, �Mandikanlah ia dengan air
dan daun bidara, dan kafanilah ia dengan pakainnya (pakain ihramnya) itu.
Janganlah kalian mewangikannya serta janganlah menutupi kepalanya. karena
sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat sambil
bertalbiyah��.� H.R. Al-Jama�ah.
عَنْ
عَائِشَةَ
أَنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قَالَ كَسْرُ عَظْمِ
الْمَيِّتِ
كَكَسْرِهِ
حَيًّا
Dari
Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda,�Mematahkan tulang mayit
sama dengan mematahkan tulang yang masih hidup. H.r.
Abu Daud.
Senada dengan fatwa Ali Mustafa Yaqub imam masjid Istiqlal
Jakarta bahwa pembakaran jenazah korban bencana alam seperti korban musibah
tsunami Aceh tidak diperbolehkan karena tidak menghormati kemanusiaan selain
memang dilarang berdasarkan hadis (seperti hadis di atas) juga membakar mayat
menurutnya rentan menimbulkan kerusakan seperti menimbulkan penyakit.
Adapun bolehnya membakar
mayat korban bencana alam menurut Abdurrahman apabila� berbagai macam cara pemeliharaan jenazah
menjalani kebuntuan, maka hukum terakhir diserahkan kepada mujtahid untuk
meneliti kerajihan dan kemajruhannya, dengan pembakaran atau dibiarkan, padahal
jenazah manusia memerlukan perhatian khusus sebagai mana disebutkan diatas dengan
memperhatikan kaidah-kaida fiqh� berikut:
الضَّرُوْرَةُ
تُبِيْحُ
الْمَحْظُوْرَاتِ
Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang
مَا
أُبِيْحَ
لِلضَّرُوْرَةِ
بِقَدْرِ تَعَذُّرِهَا
Sesuatu yang
diperbolehkan karena terpaksa, adalah menurut kadar halangannya
إِرْتِكَابُ
أَخَفِّ
الضَّرُوْرَيْنِ
وَاجِبٌ
Menempuh salah satu tindakan yanglebih
ringan dari dua hal yang berbahaya itu wajib
الضَّرَرُ
لاَ يُزَالُ
بِالضَّرَرِ
Menghilangkan kemadaratan tidak boleh
dilakukan dengan cara yang mendatangkan madarat (lainnya)
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ
عَلَى جَلْبِ
الْمَصَالِحِ
Menghindari madarat
atau bahaya harus didahulukan atas mencari maslahat atau kebaikan
Dengan demikian fatwa
Dewan Hisbah masih mengutamakan penggunaan nash yakni� tetap harus diusahakan� penguburan jebazah korban bencana alam.
Namun, bila dalam kondisi darurat tidak dimunghkinkan untuk dikuburkan maka
membakar mayat adalah pintu terakhir.
B.
Aborsi
Korban Pemerkosaan
Aborsi
berasal dari bahasa Inggris, yaitu abortion, yang berarti gugur
kandungan atau keguguran, dalam bahasa Arab disebut isqatu al-hamili
al-jihad. Sedangkan secara terminologis, menurut Sardikin Gina Putra, dalam
makalahnya tentang Pembaruan Hukum Pengguguran Kandungan, aborsi
adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi itu dapat
lahir secara alamiah dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi tersebut.
Para
fukaha telah sepakat mengatakan bahwa pengguguran kandungan (aborsi) sesudah
ditiupkan ruh adalah haram, tidak boleh dilakukan, karena perbuatan tersebut
merupakan kejahatan terhadap nyawa, oleh karena
itu diwajibkan kepada pelakunya untuk membayar diyat jika janin keluar dalam
keadaan hidup dan membayar gurrah jika ia keluar dalam keadaan mati.
Ulama
yang membolehkan aborsi sebelum janin berumur 4 bulan adalah Muhammad Ramli
dalam kitabnya al-Nihayah, dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Adapun ulama yang mengundang hukumnya makruh, alasannya adalah karena
janin masih sedang mengalami pertumbuhan. Ulama yang mengharamkan aborsi
sebelum ditiupkan ruh antara lain, Ibnu Hajar dalam kitabnya At-Tuhfah,
Al-Gazali dalam kitabnya Ihya �Ulim al-Din, Syekh Syaltut dalam kitab Al-Fatwa,
mereka mengharamkan pengguguran kandungan (aborsi) sebelum ditiupkan ruh karena
sesungguhnya janin (embrio) pada saat itu sudah ada kehidupan yang patut dihormati.
Berdasakan
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sejak bertemunya sel sperma dan
ovum dan telah terjadi pembuahan maka aborsi dipandang sebagai suatu
kejahatan� dan haram hukumnya, meskipun
janin belum benyawa, sebab sudah ada kehiduan (hayat) pada janin (embrio) yang
sedang mengalami pertumbuhan.
Berkenan
dengan hukum aborsi tersebut, Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan secara
rinci pada tahun 2005 yang intinya:
1. Darurat adalah suatu� keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan
sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mati atau hampir mati, seperti halnya perempuan hamil menderita sakit fisik berat
dimana kehamilannya mengancam nyawa si ibu, contoh lainnya adalah janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik
yang kalau lahir kelak, sulit disembuhkan.
2. Hajat adalah suatu keadaan dimana seseorang
apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mengalami
kesulitan berat.
Demikian paparan tentang beberapa pokok-pokok pikiran mengenai hukum aborsi
beberapa pertimbangan yaitu:
Pertama: Pertimbangan nash,
seperti firman Allah swt. dan hadis-hadis Rasulullah berkenaan dengan masalah
pembunuhan anak, antara lain antara lain:
تَعَالَوْا
أَتْلُ مَا
حَرَّمَ
رَبُّكُمْ
عَلَيْكُمْ
أَلَّا
تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا
وَلَا تَقْتُلُوا
أَوْلَادَكُمْ
مِنْ
إِمْلَاقٍ نَحْنُ
نَرْزُقُكُمْ
وَإِيَّاهُمْ
وَلَا تَقْرَبُوا
الْفَوَاحِشَ
مَا ظَهَرَ
مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ
وَلَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ
الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ
إِلَّا
بِالْحَقِّ
ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ
بِهِ
لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ
Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan�
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.� Kami akan�
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya� maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang� benar". Demikian itu
yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Q.s.
Al-An�an:151
وَإِذَا
تَوَلَّى
سَعَى فِي
الْأَرْضِ
لِيُفْسِدَ
فِيهَا
وَيُهْلِكَ
الْحَرْثَ
وَالنَّسْلَ
وَاللَّهُ
لَا يُحِبُّ
الْفَسَادَ
وَإِذَا
الْمَوْءُودَةُ
سُئِلَتْ� بِأَيِّ
ذَنْبٍ
قُتِلَتْ
Apabila bayi � bayi perempuan yang
dikubur hidup � hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.
Q.s. At Takwir 8 � 9
عَنِ
ابْنِ
مَسْعُوْدٍ
قَالَ
سَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّ
الذَّنْبِ
أَعْظَمُ
عِنْدَ
اللَّهِ قَالَ
أَنْ
تَجْعَلَ
لِلَّهِ
نِدًّا وَهُوَ
خَلَقَكَ
قُلْتُ إِنَّ
ذَلِكَ
لَعَظِيمٌ قُلْتُ
ثُمَّ أَيُّ
قَالَ وَأَنْ
تَقْتُلَ وَلَدَكَ
تَخَافُ أَنْ
يَطْعَمَ
مَعَكَ قُلْتُ
ثُمَّ أَيُّ
قَالَ أَنْ
تُزَانِيَ
حَلِيلَةَ
جَارِكَ �
متفق عليه
Dari
Ibnu Mas`ud ia berkata; " Aku bertanya kepada Rasulullah saw., `Dosa
apakah yang paling besar dalam pandangan Allah` ? Beliau menjawab, `Engkau
menyekutukan Allah padahal Ia telah menciptakanmu`, aku bertanya kembali, `Lalu
apalagi` ? Beliau menjawab, `Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia akan
ikut makan bersamamu`, aku bertanya kembali, `Kemudian apalagi` ? Beliau
menjawab, `Engkau berzina dengan istri tetanggamu`
". Muttafaq A`laih
Kedua, kaidah-kaidah fiqhiyyah,
antara lain:
الضَّرُوْرَةُ
تُبِيْحُ
الْمَحْظُوْرَاتِ
�Keadaan darurat itu membolehkan
hal-hal yang dilarang�
مَا
أُبِيْحَ
لِلضَّرُوْرَةِ
بِقَدْرِ تَعَذُّرِهَا
�Sesuatu yang diperbolehkan karena terpaksa, adalah menurut
kadar halangannya�
إِرْتِكَابُ
أَخَفِّ
الضَّرُوْرَيْنِ
وَاجِبٌ
�Menempuh
salah satu tindakan yanglebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu wajib�
الضَّرَرُ
لاَ يُزَالُ
بِالضَّرَر
�Menghilangkan
kemadaratan tidak boleh dilakukan dengan cara yang mendatangkan madarat
(lainnya)�
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ
عَلَى جَلْبِ
الْمَصَالِحِ
�Menghindari
madarat atau bahaya harus didahulukan atas mencari maslahat atau kebaikan�
Jadi, Islam membolehkan
untuk melakukan aborsi dengan mengorbankan janin karena untuk menyelamatkan
nyawa calon ibu. Nyawa seorang ibu diutamakan mengingat dia merupakan sendi
keluarga dan telah mempunyai kewajiban, baik terhadap tuhan maupun terhadap
sesama makhluk, sedangkan si janin, sebelum ia lahir dalam keadaan hidupm ia
belum mempunyai hak, seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun.
Hukum tersebut dapat pula berlaku bagi perempuan hamil korban
perkosaan yang mengakibatkan stres berat, kalau tidak digugurkan kandungannya,
maka ia akan sakit jiwa atau gila.
C.
Plasenta
untuk Bahan Kosmetik
Plasenta berasal dari bahasa latin placenta yang berarti Kue
datar/kempis. Dalam bahasa sehari-hari disebut plasenta atau tembuni muncul keluar
pada saat bayi dilahirkan. Seperti diuraikan dalam kamus al-Maurid, plasenta
adalah penutup janin yang keluar bersama janin ketika persalinan. Berbentuk kue
cakram dan mempunyai garis tengah kira-kira 20 cm, dan tebal kira-kira 3 cm,
beratnya kurang lebih 500 gram. Plasenta merupakan bagian organ tubuh yang menghubungkan
antara ibu dan bayi.
Seiring dengan
perkembangan zaman, melalui riset intensif di Swiss, Plasenta bisa dijadikan sebagai bahan kosmetik dan
obat-obatan. Obat-obatan dan kosmetik dari Plasenta tersebut ada produk yang
bahan bakunya dari plasenta binatang, ada juga yang dari plasenta manusia.
Adapun dalam pemakaiannya, ada yang dimakan, diminum dan dioles pada kulit
seperti bedak dan krim.
Produk obat-obatan
dan kosmetik dari plasenta sangat diminati kaum hawa karena bermanfaat untuk
kesehatan kulit, kelembutan dan kehalusan kulit serta menjaga kekenyalan kulit
dan kelembaban. Selain itu juga dapat mengurangi kerutan, menjaga ketahanan
tubuh, mengurangi ketegangan saat haid, dapat menunda menopause sindrom dan
menstabilkan berat badan. Tidak mengherankan, bila produk obat-obatan dan
kosmetik dari Placenta banyak digunakan oleh kaum muslimin di Indonesia.
Sehubungan dengan
hal tersebut, maka para ulama Hisbah PERSIS pada sidangnya yang ke VII tanggal
14 Agustus 2005 di PC Persis Lembang telah melakukan kajian mendalam, apakah
umat Islam boleh menggunakan obat-obatan dan kosmetik dari plasenta, atau
tidak.
Setelah melakukan
kajian mendalam tentang berbagai aspek terkait dengan obat-obatan dan kosmetik
dari plasenta, para ulama Hisbah mengemukakan kesimpulan-kesimpulan, bahwa;
1)
Kosmetik
dan obat-obatan dari plasenta binatang yang halal hukumnya halal.
2)
Kosmetik
dan obat-obatan dari plasenta binatang yang haram hukumnya haram.
3)
Kosmetik
dan obat-obatan dari plasenta manusia hukumnya haram.
Dalam pembahasan
makalahnya, Taufiq Rahman Azhar, menegaskan bahwa selama pengamatan yang
dilakukannya, belum ada para sahabat, para tabi�in dan para imam yang
menyatakan plasenta najis. Sebab, plasenta merupakan jaringan yang terbentuk bersama janin
yang merupakan barang sisa klinis, dan bukan darah nifas. Karenanya, jika plasenta
dimanfaatkan untuk kepentingan kosmetika hukumnya boleh. Istinbathnya tersebut
didasarkan pada kaidah fiqih; �Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh
dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram�
(Taufiq Rahman Azhar,
2005).
Adapun plasenta
manusia, demikian Rahman, yang dikonsumsi dengan cara dimakan dan diminum
hukumnya haram. Hal tersebut didasarkan pada temuan penelitian yang memasukkan
plasenta sebagai suatu endrocrine
organ tubuh. Karenanya, memakan plasenta sama dengan memakan janin/bayi.
Sedangkan jika hanya dimanfaatkan dengan tidak dimakan (dioles atau
digosokkan), hukumnya boleh. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits Nabi;
�Mengapakah tidak kalian ambil kulitnya, lalu kalian samak, lalu kalian
manfaatkan?� mereka menjawab: Kambing itu sudah menjadi bangkai. Nabi bersabda:
yang diharamkan hanyalah memakannya�. (H.R. Jama�ah).
Kesimpulan Ulama
Hisbah yang ketiga, seperti disebutkan di atas, bersifat umum. Plasenta manusia yang dijadikan obat atau kosmetik, baik
digunakannya dengan cara dioles atau digosok, maupun dengan cara diminum dan
dimakan, hukumnya haram. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah dan
diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Kesimpulan ini berdasarkan nash al-Qur�an yang menunjukan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang mulia:�
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا
بَنِي
ءَادَمَ
وَحَمَلْنَاهُمْ
فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ
وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ
الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَّلْنَاهُمْ
عَلَى
كَثِيرٍ
مِمَّنْ
خَلَقْنَا
تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan� Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan. Q.s. Al-Isra:70
Bahkan, dalam beberapa
riwayat hadits, kemuliaan manusia mencakup darah, kehormatan dan hartanya.
عَنِ
ابْنِ
عَبَّاسٍ
أَنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّه
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قَالَ فَإِنَّ
دِمَاءَكُمْ
وَأَمْوَالَكُمْ
وَأَعْرَاضَكُمْ
عَلَيْكُمْ
حَرَامٌ �
Dari Ibnu Abas sesungguhnya Rasulullah
saw. bersabda, �Maka sesungguhnya darah-darah, harta-harta, dan kehormatan
kamu, haram atas kamu (wajib kamu pelihara).
H.R. Al-Bukhari
Menurut
Taufiq Azhar, Firman Allah dan hadis-hadis Rasulullah saw. Mengenai larangan
memakan dan memanfaatkan barang yang haram, antara lain:
إِنَّمَا
حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ
وَلَحْمَ
الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ
اللهِ بِهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ
وَلاَ عَادٍ
فَإِنَّ اللهَ
غَفُورٌ
رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan
tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Q.S. An-Nahl:115.
Dengan
nash-nash di atas dijadikan dalil
oleh ulama Dewan Hisbah bahwa menjadikan organ tubuh manusia sebagai obat,
kosmetika atau penguat hubungan seksual adalah hukumnya haram, karena merupakan
bentuk penodaan terhadap kemuliaan manusia. Karena bagaimana pun penodaan organ
tubuh manusia baik selama hidup atau mati hukumnya sama-sama dilarang.
Pengharaman keputusan
Dewan Hisbah kosmetika dari bahan plasenta�
merupakan kesimpulan dari nash
baik al-Qur�an dan hadis juga menimbang aspek maslahat dimana dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan jiwa (hifdzu nafs) dan mencegahnya dari
perbuatan yang merusak jiwa termasuk tubuh manusia, walaupun plasenta
mengandung manfaat namun nilai dan kedudkan manusia lebih utama.
Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan di
atas tentang Hubungan antara Penggunaan Nash dan
Tuntutan Maslahah akhirnya
dapat disimpulkan hasil penelitian dan sekaligus menjawab pertanyaan masalah
sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan dalam membuat
keputusan-keputusan hukum Islam� yang
berhubungan antara penggunaan nash
dan tuntutan mashlahah adalah berkaitan dengan pertimbangan pemeliharaan agama
(hifdz ad-din), pemeliharaan jiwa (hifdz nafs) dan pemeliharaan
akal (hifdz 'aql).
2. Dalam bidang mu'ammalah
Dewan Hisbah Persis berprinsip pada kaidah "antum a'lamu bi umuri
dunyakum" (kalian lebih mengetahui dalam urusan keduniaan/mu'ammalah).
Dalam hal ini, Dewan Hisbah Persis lebih fleksibel
dalam mengambil keputusan hukumnya. Ruang metode mashlahah lebih luas sebagai
bahan pertimbangan dalam istinbaht hukumnya. Akan tetapi, maslahah yang
berorientasi pada menjaga agama (hifdz ad-din) yang lebih diutamakan
ketimbang menjaga jiwa (hifdz nafs) dan menjaga akal (hifdz 'aql).
3. Dalam kasus membakar mayat korban bencana alam, dasar
pertimbangan dari istinbath ini
adalah aspek syariat, psikologis, sosiologis-antropologis, dan yuridis yaitu
membakar mayat hukumnya haram kecuali bila tidak didapat jalan lain.
4. Untuk aborsi korban pemerkosaan kecendrungan dalam istinbath
ini pada prinsipnya bahwa nash
mengharamkan untuk memutuskan nyawa manusia termasuk janin. Dewan Hisbah
Persis, mengambil istinbath yaitu
Aborsi provocatus criminalis
(pengakhiran kehamilan bukan atas dasar indikasi medis) sejak terjadi konsepsi
(pembuahan) hukumnya haram, aborsi provocatus
terapeuticum (pengakhiran kehamilan atas dasar indikasi medis) hukumnya
boleh dan aborsi akibat perkosaan sejak terjadi konsepsi hukumnya haram.
Penggunaan nash lebih diprioritaskan
dalam dalam mengambil istinbath ini.
Dan apabila ada indikasi yang mafsadat baik bagi anak dan ibu, maka
diperbolehkan untuk melakukan aborsi.
5. Kasus terkhir yaitu menjadikan plasenta sebagai bahan
kosmetik, ada katagori plesenta yang katakan
halal dan haram bagi penggunaan bahan kosmetik dan obat-obatan yaitu kosmetik
dan obat-obatan dari plesenta binatang yang halal hukumnya halal dan kosmetik
dan obat-obatan dari plasenta binatang yang haram dan plesenta manusia adalah
hukumnya haram. Secara umum, kecendrungan istinbath ini adalah tuntutan
maslahah diprioritaskan karena dalam upaya pengobatan tetapi plasenta yang
dijadikan kosmetik dan obat-obatan berasal dari binatang yang halal. Namun, apabila plesenta dari binatang haram dan manusia
maka plasenta tersebut haram untuk bahan kosmetik atau obat-obatan.
BIBLIOGRAFI
Al-Qur�an dan Terjemahannya, Depag RI
Masyhur Amin, Dinamika Islam, Yogyakarta:
LKPSM, 1995.
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, tt.,
Nasrun Harun, Ushul Fiqih I, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Abd al-Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul alFiqh,
Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Raddu
'ala Man Akhlada ila al-Ardi wa Jahila 'an al-Ijtihad fi Kulli 'Asrin Fardhun, Beirut:
Dar al-Fikr, 1983
Jalaludin al-Suyuthi, Taisir �An-Islam, Makkah:
Dar al-Fikr, tt.
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious In
Islam, New Delhi: Lahore Fine Arts Press, 1981.
Abd al-Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri al-Islami, Kuwait: Dar
al-Qalam, 1971
.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqih, Beirut:
Dar al-Fikr al-Arabi, tt.
Al-Ghazali,
Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutb, 1971.
Al-Syaukani,
Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min �Ilm al-Ushul, Surabaya:� Maktab Sa�ad bin Nabhaa, tt.), h. 250
Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari�ah, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1975.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, A'lam
al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-Alamin, Beirut: Dar al-Jail, tt.
Fathi
Ridwan, Min Falsafah al-Tasyri' al-Islami, Kairo: Dar al-Kutub
al-�Arabi, 1969
Abu
Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, tt:
Dar al-Fikr, tth.
Wael
B Hallaq, (History of Islamic Law Theory) Sejarah Teori Hukum Islam, alih
bahasa E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahib, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000),
Juhaya
S. Praja, "Filsafat Hukum Islam", dalam Ujun Sujarman (ed.), Hukum
Islam di Indonesia : Pemikiran dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1991
Muhammad
Rawwas Qal'aji, Mausu'ah Fiqih Umar Ibn Khattab, Kairo: Jami al-Huquq
al-Mahfuzhah, 1981
M.
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberalisasi, Yogyakarta:
Penerbit Titian Ilahi Press, 1998
Hasbi
ash-Shidieqy, Syari�at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan
Bintang, 1996.
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta:
UII Press, 2002.
Dede Rosyada, Metode Kajian
Hukum Dewan Hisbah Persis, Disertasi Doctor, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1998.
Abdul Halim �Uways, Al-Fiqh al-Islami bayn ath-Thawwur
wa ats-Tsabat) Fiqih Statis dan�
Dinamis, alih bahasa: A. Zarkasyi Chumaidy, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998.
Soejono, dan�
Abdurrahman,� Metode
Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Asep Saeful Muhtadi dan Agus
Ahmad Safe�i, Metode Penelitian Dakwah, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitain Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996
Masdar F. Mas�udi, Melektakan
Kembali Maslahat sebagai Acuan Syariah, Ulumul Qur�an. No. 3, vol VI,
Jakarta, 1995
Abu Ishak al-Syathiby, Mufaqat
fi Ushul al-Syari�ah, Jilid I, Das al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tt.
Muhamad Imarah, Hal al-Islam
Hua al-Hal, Kaifa Walimazda, Dar al-Sharauok, Mesir, 1996
Mamadiou Dia, Islam dan
Humanisme, dalam Charles kurzaman (Ed), Wacana Islam, Jakarta:
Paramadina, 2001
Muhamad Anis Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami
Fi�ahd al-Nubuwah wa al-Shahabat wa al-Tabi�in Mesir: dar al-Thiba�ah,
1980.
Muhammad Hasan al-Hajwi, Al-Fikr
al-Sami fi Tarik al-Fiqh al-Islami, Madinah al-Munawaroh: tp., 1977
Sir
Muhammad Iqbal, The Rekontruktion of Religius Thought in Islam I Lahore
: Ashraf, 1965.
William
C. Schutz dalam Encyclopedia of the Sceince, 9 New York: The
Macmillan�� Company and the free, 72.
Vol. Ke-7
�William Friendman, Law in a Changing
Society, London : Pelican Press, 1964
Noram J.
Coulson, A Historis of Islamic Law, Edinburgh : University Press,
1964
Asaf A.A. Fyzee,
Outlines of Muhammad Law, Oxford University Press, 1964.
Ibnu Hazm, al-Hikam
fi Ushul al-Ahkam, Kairo : Dar al-Kutub, t.th.
Ibnu
Hajaj, sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (kitab al-Aqdiyat hadis nomor
1716), Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyat, t.th.
Ahmad
Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal, (hadis nomor 17842,
17843) Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyat, 1993
��
Thaha
Jabir al-Awani, Ushul al-Fiqh al-Islam Source Methidology in Islamic
Jurisfrudence Methodology for Research and Knowledge, Herdon : The
International Institut of Islamic Thought, 1990
Mohamad
�Ali al-Sais, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Maktabah wa al-Mathba�ah
Mohamad �Ali Subaih wa Awladuhu, 1957
Mohammad
Faruq Nubhan, al-Mudkhal li Tasyri� al-Islami, Beirut: Dar al-qalam,
1977
Abdul
Mun�in al-Nammr, Al-Ijtihd,, Mesir : Al-Harakah al-Meshriyah al�`Ammah li al-Kitab, 1987
�
Hadhari Beik, al-Tarikh al-Tasrri� al-Islam. Beirut
: Dar al-Filer. 1967
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzabin al-Islamyah,, Beirut : Dar
al-Filer. 1976
Zakariya
al-Barry, Alahsadir al-Ahkam al-Islami'vah. Mesir : Dar
al--Arabi li al-Thiba'ah, t.th.
Abu Rawwas Wal'ah jig. Mcnisuatfifiqhll; U'.;;a;
1,51711 al-Khattab. (t.tp..t.p 1981), Ibnu Rajih al-Rahili. Fiqhu
'Umar Ibnu al-Khattab Muwazzan bi Fiqh
al-Asyhar al-AIqitahfdin,'(Mak-k-ah al-MunawNvarah : al-Jami'ah Ummu al-Qura,
t.th)
Syarifudin al-Musanni. AI-Nash
fi al Iijtihad, Beirut : Muassasah al-Qura, t.th.
Ahmad
Ibnul Hanbal, Alus-nad Ahmad
IbiwHanhal, Vol. Islam.
Ibnu Qoyyim al-Jauziat,
dalam "Ilmut al-Muagi'in'an Rabb al-Amin, Beirut: Dar al-Jalil 1973.
Mohammad Bin Idris
al-Safi',� al-Um (Kairo: Dar
al-Kutub, 1332 H.), Vol.
11.
Subhi Mahmassani, Falsafat al-Tasyri� al-Islami, Baeirur:
Dar al-�Ilm al-Malayin, 1980.
Ahmad
Hasan The Early Develovment of Islamic Jurusprudence, Pakistan: Islamic
Research Instutut 1970
Muahammad
Faruq Nabhan Al-Madkhal li Tasyri� al-Ismai Beirut: Dar al-Qalam, 1981
Shiddiq
Amim (editor), Kumpulan Keputusan Keputusan Dewan Hisbah Persatuan Islam, (Bandung;
Persis Press) 2001
Dadan
Wildan, Pasang Surut Gerakan Pembaharuan di Indonesia, Bandung: Persis
Press 2000.
Dede Rosyada, Metode
Kajian Hukum Dewan Hisbah PERSIS, Logos: Jakarta 1999.
A.
Latief Mukhtar, Gerakan Kembali ke Islam, lihat dalam Warisan Terkhir
A. Latief Mukhtar Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999
Qanun Asasi
Persatuan Islam
Dewan
Hisbah Persis, Metodologi Pengambilan Keputusan Hukum Islam Bandung: PP
Persis, 1412 H.