Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 5, No. 9, September 2020

�

IMPLEMENTASI PEMBINAAN NARAPIDANA TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM KERANGKA DERADIKALISASI

 

Indra Rukmana

Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Depok Jawa Barat, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstract

The study of "Implementation of Terrorist Prisoners Development in Corrections Institutions" aims to describe the implementation of fostering carried out in Penitentiaries against perpetrators of criminal acts of terrorism; as well as identifying what things need to be done to improve the quality of guidance for terrorist prisoners in prison. The method used in this study is a qualitative method. Data collection techniques using literature study and in-depth interviews. The results of the study showed that ineffective guidance for inmates in correctional facilities was caused by the following things: lack of integration in handling the perpetrators of terrorism crimes, inadequate implementation of existing coaching standards, lack of existing facilities and infrastructure, passive prisoners themselves, lack of training for officers prison, as well as the culture of the people who are still relatively difficult to accept former terrorists after they left the Suppliers Institute. Suggestions that can be given include that the government, especially the Directorate General of Corrections and the BNPT (National Agency for Terrorism Prevention) to make a training program and develop a special training model for terrorist prisoners who are systematically comprehensive, humanist, and sustainable. In addition, BNPT and the Directorate General of Corrections need to improve training for correctional officers to improve their understanding of various specific aspects of fostering terrorism inmates.

 

Keywords: Deradicalization; Terrorist Prisoners; Development

 

Abstrak

Pengkajian �Implementasi Pembinaan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan� bertujuan untuk menggambarkan implementasi pembinaan yang di selenggarakan di Lembaga Pemasyarakatan terhadap pelaku tindak pidana terorisme; serta mengidentifikasi hal-hal apa saja yang yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembinaan bagi narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan. Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi pustaka dan wawancara mendalam� (in-depth interview). Hasil pengkajian menunjukan belum efektifnya pembinaan terhadap narapidana dalam pemasyarakatan disebabkan oleh hal-hal berikut: belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme, belum optimalnya pelaksanaan standar pembinaan yang telah ada, minimnya sarana dan prasarana yang ada, pasifnya narapidana itu sendiri, kurangnya pelatihan bagi petugas lapas, serta budaya masyarakat yang masih relatif sulit menerima mantan teroris setelah mereka keluar dari Lembaga Pemasysrakatan. Saran yang dapat diberikan antara lain adalah agar pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) untuk membuat program pembinaan dan menyusun model pembinaan khusus bagi narapidana teroris yang sistematis komprehensif, humanis, dan dan berkesinambungan. Selain itu, BNPT dan Ditjen Pemasyarakatan perlu meningkatkan pelatihan bagi petugas pemasyarakatan untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap berbagai aspek khusus dari pembinaan narapidana terorisme.

 

Kata kunci: Deradikalisasi; Narapidana Teroris; Pembinaan


 

Pendahuluan

Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjen Pas) memiliki peran yang sangat strategis dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Ditjen PAS memiliki fungsi dalam proses pembinaan narapidana termasuk narapidana teroris agar pada saat bebas nanti napi tidak mengulangi lagi tindak pidananya dan menjadi warga negara yang baik yang berlaku sesuai norma dan peraturan yang berlaku. Upaya Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjen Pas) terhadap narapidana teroris antara lain adalah dilakukannya profiling, assesment dan Penelitian Kemasyarakatan untuk menentukan penempatan serta penentuan program pembinaan yang tepat bagi narapidana terorisme. Selain itu, Ditjen PAS juga telah melakukan pemisahan narapidana teroris di blok khusus, serta melakukan program deradikalisasi, yang mencakup penyuluhan agama, conflict managemen trainning, life skill,serta pembinaan nasionalisme.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dengan dikeluarkannya undang-undang ini tentang pencegahan dan pemberantasan terorisme tersebut maka akan membuat para aparat penegak hukum dalam melawan terorisme lebih mudah. Dalam pencegahan terhadap teroris perlu dilakukan dengan cara melawan gagasan pemikiran mereka yang mana hal tersebut menjadi senjata mereka dalam melawan aparat penegak hokum. Menyikapi hal tersebut Pembinaan narapidana kasus terorisme di indonesia memang dihadapkan pada banyak tantangan mulai dari over kapasitas sampai dengan permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM). Masalah over kapasitas dengan tempat hunian yang sangat terbatas mempersulit penempatan sekaligus meningkatkan ketegangan. Implikasi lainnya adalah penempatan narapidana teroris di lapas yang sama dengan narapidana lainnya juga beresiko menimbulkan gesekan dengan antar narapidana, sebagaimana terjadi pada kericuhan yang melibatkan narapidana kasus terorisme di Lapas Lowokwaru Malang pada 8 Agustus 2015. Ada indikasi bahwa narapidana teroris yang ditempatkan di Lapas Lowokwaru tidak mau bersosialisasi dengan narapidana lain selama menghuni lapas tersebut. Tantangan selanjutnya ialah kurangnya kulitas maupun kuntitas SDM di Lapas. Untuk membina narapidana kasus biasa saja petugas masih kurang baik kualitas maupun kuntitasnya, apalagi untuk narapidana khusus seperti terorisme, narkoba, dan korupsi. Tantangan lainnya belum adanya program pembinaan khusus, keterbatasan data, dan informasi tentang terpidana terorisme. Serta sarana dan prasarana yang kurang memadai. Kondisi tersebut memberi satu pemikiran bagi kita bahwa narapidana kasus terorisme harus medapatkan perlakuan yang bersifat khusus, dalam arti bahwa perlakuan terhadap naraidana kasus terorisme tidak dapat disamakan dengan perlakuan terhadap narapidana kasus lainnya.

Penanganan terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) memerluan usaha ekstra keras (extra ordinary efforts). Setiap instansi penegak hukum memiliki informasi yang bervariasi sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Kerjasama antar instansi terkait akan sangat mendukung keberhasilan pemasyarakatan. Kerjasama semua pihak terkait mutlak diperlukan agar terorisme di indonesia maupun di negara manapun dapat segera di berantas. Sejak tahun 2005, BNPT telah berupaya mengadakan kerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM RI melalui penandatanganan MoU dengan Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Kerjasama ini difokuskan pada upaya deradikalisasi di dalam lapas, deradikalisasi di luar lapas pembinaan kemampuan petugas lapas, dan perlindungan terhadap aparat penegak hukum. Menjadi menarik untuk dilihat sejauh mana kerjasama antara stakeholder semacam ini mampu mendukung upaya deradikalisasi narapidana teroris yang di tematkan di Lembaga Pemasyarakatan (dan HAM, 2016).

Penelitian ini, menghimpun data dan informasi mengenai pembinaan di lapas saat ini terhadap tindak pidana terorisme, sehingga memunculkan pertanyaan a) Bagaimana implementasi pembinaan terhadap tindak pidana terorisme yang diselenggarakan di Lembaga Pemasyarakatan?, b) Hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembinaan bagi narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan?

 

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif dan� kajian pustaka atau studi kepustakaan. Pendekatan kualitatif yaitu sebuah konsep yang meliputi beberapa bentuk penyelidikan dalam memberikan pemahaman kepada peneliti dan menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Penelitian kualitatif ini digunakan dimana peneliti sangat bergantung pada informasi dari partisipan/objek dalam ruang lingkup yang luas, pertanyaan yang bersifat umum, pengumpulan data yang sebagian besar terdiri atas kata-kata atau teks dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan melakukan penelitian secara subjektif.

Sebagaimana Keputusan Ditjenpas Nomor: Pas-172.PK.01.06.01 Tahun 2015 Tentang Standar Pembinaan Narapidana Teroris pada keputusan ditjenpas menjelaskan tentang standar pemidanaan narapidana yang mana hal ini perlu dilakukan pengkajian lebih dalam dan tentunya pasti diperlukan berbagai macam referensi buku dan jurnal yang lebih dalam lagi Sedangkan kajian pustaka atau studi kepustakaan yaitu dilakukannya pengkajian yang berisi teori-teori yang relevan dengan masalah-masalah peneliti dari berbagai sumber baik dari buku-buku, artikel-artikel yang di publikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah.

O0 Kajian pustaka ini berfungsi untuk membangun konsep atau kerangka berfikir yang menjadi dasar studi dalam penelitian. Kajian pustaka merupakan kegiatan yang wajib dalam penelitian, khususnya penelitian akademik, sehingga dengan memnggunakan metode penelitian ini penulis dapat dengan mudah menyelesaikan masalah yang hendak di teliti.

 

Hasil dan Pembahasan

Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyatakan �Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan...� (RI, 1995). adalah suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (RI, 1995).

Tujuan sistem Pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan �Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab�. Yang artinya bahwa tujuan akhir sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, senbagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakata nantinya dihaapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.

Kebijakan dan managemen lapas berada dibawah Ditjen PAS Kementerian Hukum dan HAM RI. Direktorat Jendral Pemasyarakatan memiliki wewenang dalam manajemen Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara dan Balai Pemasyarakatan. Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kalapas adalah pegawai negeri, yang bertugas melaksanakan program perawatan dan rehabilitasi tahanan, mengatur tata tertib, menjatuhkan dan memberikan hukuman disiplin bagi tahanan yang melanggar peraturan tata tertib serta menjaga agar tahanan tidak melarikan diri. Bapas mengatur persiapan dan program asimilasi (proses pembinaan napi yang dilaksanakan dengan membaurkan napi dala kehidupan masyarakat), mengawasi Cuti Menjelang Bebas (CMB), Pembebasan Bersyarat, dan Pembebasan penuh (Manik, 2020).

Berkembangnya pola dan jenis kejahatan di Indonesia seperti narkoba, korupsi, terorisme, dan kejahatan lainnya secara langsung memengaruhi pelaksanaan sistem Pemasyarakatan. Tentunya kondisi tersebut langsung diantisipasi oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan dengan melakukan langkah strategis, teknis, dan sistematis, yakni dengan membuat prosedur tetap (Protap) Narapidana Resiko Tinggi. Narapidana yang di identifikasi sebagai Narapidana Resiko Tinggi dalam protap tersebut adalah narapidana yang dipidana karena kejahatan terorisme, narkoba, dan korupsi atau berdasarkan penetapan dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Upaya pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana kasus terorisme perlu pembinaan yang khusus (Septian, 2012). Penanganan terorisme sebenarnya suatu perlawanan yang ditujukan kepada ideologi yang dianut teroris beserta penyebarannya. Progam deradikalisasi menjadi penting karena memiliki peran untuk melepaskan ideologi yang dianut oleh radikalis-teroris dengan menggantikannya dengan ideologi Pancasila (Febriyansah, Khodriah, & Kusuma, 2017). Identifikasi ini dimaksudkan untuk mempermudah perlakuan pembinaan dan pengamanan yang akan diterapkan, termasuk bagaimana merumuskan tindakan yang perlu dilakukan apabila ada narapidana yang terindikasi Resiko Tinggi akan melarikan diri, melakukan pelanggaran, dan/atau mengidap penyakit menular. Protap tersebut secara umum berpedoman pada keputusan Direktur Jendral Pemasyarakatan Nomor: E.22.PR.08.03 Tahun 2001 Tentang Prosedur Tetap Pemasyarakatan. Oleh karena itu, hal-hal yang diatur dalam protap ini bersifat khusus terkait dengan Narapidana Resiko Tinggi, sedangkan hal-hal lain tetap berlaku (Golose, 2009).

Untuk menangani risiko tinggi Ditjen Pemasyarakatan telah menetapkan Peraturan Dirjen Pemasyarakatan Nomor PAS- 58.OT.03.01 Tahun 2010 tentang Prosedur Tetap Perlakuan Narapidana Risiko Tinggi (Protap Pelakuan Narapidana Risiko Tinggi). Narapidana risiko tinggi harus mendapatkan perlakuan khusus untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan risiko yang ditimbulkan (Haryono, 2017a).

�      Narapidana adalah terpidana yang menjalani hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. �

�      Narapidana Resiko Tinggi adalah Narapidana yang melalui penilaian memenuhi kualifikasi A dan kualifikasi B.

�      Kualifikasi A adalah penilaian terhadap narapidana tertentu yang memuat penilaian memenuhi salah satu hal yang berhubungan dengan jaringan yang masih aktif, kemampuan mengakses senjata dan bahan peledak , memiliki catatan melarikan diri, memiliki akses dan pengaruh di dalam Lembaga Pemasyarakatan.�

�      Pembinaan adalah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kepribadian dan kemandirian narapidana.

�      Perawatan adalah semua usaha yang ditujukan untuk memberikan pelayanan yang berhubungan dengan kesehatan narapidana.

�      Pengamanan adalah segala usaha dan kegiatan dalam rangka memberikan perlakuan, perlindungan, dan pengayoman kepada narapidana serta penegak hukum terhadap setiap ancaman dan gangguan.

Sebagai panduan bagi UPT Pemasyarakatan dalam menyelenggarakan pembinaan narapidana teroris, pada tahun 2015 Ditjen PAS telah mengeluarkan Keputusan Ditjenpas Nomor: Pas-172.PK.01.06.01 Tahun 2015 Tentang Standar Pembinaan Narapidana Teroris tersebut secara umum terdiri dari sejumlah program yaitu:

�      Program Masa Pengenalan Lingkungan

�      Program Profiling

�      Program Assesment Resiko

�      Program Litmas Bapas

�      Program Kesadaran Beragama

�      Program Kesadaran Hukum

�      Program Kemampuan Intelektual

�      Program Kesadaran Berbangsa dan Bernegara

�      Program Konseling

�      Program Kesehatan Jasmani

�      Program Pembinaan Kemandirian

Merujuk pada Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02- PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, disebutkan bahwasanya agar pembinaan warga binaan pemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan lancar, tertib dan mencapai tujuan yang diharapkan, maka diperlukan sarana yang memadai baik fisik maupun non fisik. Bahan-bahan pendukung itu meliputi buku-buku pelajaran, alat-alat bantu pengajaran, perlengkapan latihan keterampilan, buku-buku pegangan atau petunjuk, dan lain sebagainya yang sesuai dengan jenis kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan.Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas pembinaan dan pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar menyadari kesalahannya dan tidak lagi melakukan perbuatan melanggar hukum serta dapat aktif dan produktif dalam pembangunan (Mareta, 2018). Proses pemasyarakatan bagi narapidana teroris bertujuan untuk membina dan mendidik mereka menjadi orang yang lebih baik. Pemidanaan terhadap para pelaku terorisme merupakan kajian penting dalam menjaga kestabilan keamanan dikemudian hari. Hal ini menjadikan pemasyarakatan sebagai tempat yang memiliki peranan dalam upaya untuk melakukan pembinaan khusus terhadap narapidana teroris agar tidak mengulangi perbuatannya. Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman yang merupakan tempat untuk mencapai sistem pemasyarakatan melalui rehabilitasi dan reintegrasi. Program pembinaan di Lapas bertumpu pada konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsep rehabilitasi dilakukan di lembaga pemasyarakatan sedangkan konsep reintegrasi sosial dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan maupun di luar lembaga pemasyarakatan. Program ini� program ini bagi narapidana teroris bertujuan untuk memutus mata rantai kejahatan melalui internalisasi nilai-nilai yang di lakukan di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga ketika mantan narapidana teroris kembali ke masyarakat tidak melakukan aksi-aksi terorisme (Rini & Kurniawan, 2019). Pembinaan narapidana terorisme juga bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur radikal dari ajaran yang di anut oleh teroris (HAM, 2016).

Istilah teroris �pelaku� dan terorisme �dan aksi berasal dari kata latin terere yang kurang lebih memiliki arti menggetarkan atau membuat getar. Sebagaimana dalam Black Laws Dictionary yang dikemukakan oleh muladi �Tindak Pidana terorisme adalah suatu kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas untuk mengintimidasi masyarakat sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah,mempengaruhi penyelenggaran negara dengan cara melakukan pembunuhan dan penculikan�.

�Pembinaan narapidana terorisme bertujuan� agar narapidana sadar akan perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akan menjadi baik, baik dari segi keagamaan, sosial budaya maupun moral sehingga akan tercipta keserasian dan keseimbangan di tengah-tenah masyarakat (Haryono, 2017b). secara umum pembinaan tetap mengacu pada 10 prinsip pemasyarakatandan dan ruang lingkupnya tetap mengacu pada PP Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Warga Binaan Pemasyarakatan. Adapun pembinaan yang di lakukan meliputi:

�      Pembinaan Kepribadian

�      Pembinaan Kemaandirian

�      Pembinaan kesadaran berbangsa dan Bernegara

Untuk pembinaan napi teroris petugas harus paham bahwa perlakuan terhadap mereka juga ada perlakuan khusus baik dalam pengawasan maupun pembinaan perlakuan terhadap mereka lebih bersifat persuasif namun tidak mengesampingkan kewaspadaan pengamanan. Dalam pelaksanaan program pembinaan di lembaga pemasyarakatan, terdapat perlakuan khusus bagi narapidana terorisme. Perlakuan khusus antara lain:

�      Mendapatkan pengawasan langsung dari petugas

�      Ditempatkan dalam sel/kamar atau one man one sel khusus yang terpisah dari narpidana yang lain

�      Mendapatkan bantuan secara khusus dari BNN

�      Relatif sulit mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 1 Jumlah Narapidana Teroris di Kantor Wilayah

No

Kantor Wilayah

Narapidana Teroris

1

Banten

73

2

Jawa Tengah

73

3

Jawa Barat

42

4

Jawa Timur

35

5

Sulawesi Selatan

11

6

Lampung

3

7

Nusa Tenggara Timur

3

8

DKI

2

9

Riau

2

10

Sulawesi Tengah

2

11

Sumatra Selatan

2

12

D.I.Y

1

13

Gorontalo

1

14

Jambi

1

15

Kalimantan Barat

1

16

Kalimantan Tengah

1

17

Sulawesi Barat

1

18

Sulawesi Tenggara

1

19

Sumatera Barat

1

 

 

 

 

Jumlah

256

 

Berdasarkan data Ditjenpas narapidana teroris sampai dengan Maret 2017 berjumlah 256 orang yang tersebar di 19 Kantor Wilayah (SDP, 2017). Penyebaran narapidana teroris terbanyak terdapat di pulau jawa yaitu 226 narapidana teroris yang tersebar di 6 Kantor Wilayah (Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.Y, Jawa Timur) sedangkan selebihnya 30 narapidana teroris tersebar di 13 Kantor Wilayah seluruh Indonesia (SDP, 2017).

Di indonesia sendiri proses pembinaan terhadap narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan dilaksanakan sebagai bagian dari upaya deradikalisasi narapidana terorisme. Deradikalisasi merupakan suatu proses atau upaya untuk menghilangkan radikalisme atau segala� upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan disipliner seperti hukum, agama psikologi, dan sosial budaya bagi mereka yang diengaruhi paham radikal dan/atau pro kekerasan (Rochmawanto, 2018).

Program deradikalisasi bagi narapidana terorisme di indonesia di pilih sebagai strategi soft approch yakni pendekatan yang komprehensif, persuasive, penuh kelembutan dan kasih sayang. Program deradikalisasi ditujukan sebagai usaha �harm reduction� yang ditujukan bagi segelintir anak bangsa yang telah terpapar dan tergabung secara aktif dalam melakukan aksi terorisme baik secara individu maupun kelompok dan mengatasnamakan agama (Asrori, 2019).

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga non kementerian yang bertanggungjawab dalam penanggulangan terorisme di indonesia, pun menggunakan strategi deradikalisasi dalam melaksanakan tugasnya, yang bekerjassama dengan berbagai pihak seperti Polisi, Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkosesra, Ormas dan lain sebagainya (Zuhri, 2017). Program deradikalisasi terdiri dari:

�      Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang paham radikal sehingga tidak terjadi� pembiaran berkembangnya paham tersebut. Bagi para terpidana kasus terorisme, reedukasidilakukan dengan memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri bukanlah jihad yang diidentikan dengan aksi terorisme.

�      Rehabilitasi memiliki dua makna. pertama, pembinaan kemandirian yang artinya pembinaan ini guna melatih dan membina mantan narapidana dengan mempersiapkan keahlian dan keterampilannya agar setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka sudah memiliki keahlian dan bisa membuka lapangan pekerjaan. Kedua, Pembinaan kepribadian adalah melakukan pendekatan dengan berdialog kepada para napi teroris agar mindset mereka bisa diluruskan serta memiliki pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak yang berbedadengan mereka.

�      Kemudian, untuk memudahkan mantan narapidana dan narapidana teroris kembali dan berbaur ke tengah masyarakat, BNPT juga membimbing mereka dalam bersosialisasi dan menyatu kembali dengan masyarakat (resosialisasi dan reintegrasi) (Febriyansah et al., 2017).

Tetapi pada pelaksanaannya konsep pembinaan berbasis rehabilitasi dan reintegrasi sosial hingga saat ini belum menunjukan hasil yang optimal. ketidakkeberhasilan pembinaan terhadap narapidana teroris dapat dilihat pada banyak residivis yang mengulangi kembali perbuatannya. Doktrin yang di anut oleh narapidana teroris ini sulit dihilangkan meskipun ia telah menjalani pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan (Wicaksono & Putrajaya, 2020). Contohnya saja seperti kasus bom bali yang terjadi pada tahun 2002,yang mana pihak kepolisian telah menahan dan mengadili sekitar 700 tersangka teroris, kebanyakan dari mereka diadili karena terbukti bersalah dan terlibat dalam kasus terorisme. Dari 270 narapidana yang dibebaskan setelah menjalani masa hukuman mereka, 28 di antaranya kembali di tangkap atau ditembak mati dalam operasi polisi. Angka 10% ini sebenarnya masih dapat terus meningkat jika kita menyertakan kelompok besar residivis terkait dengan terorisme, 8 diantaranya direkrut disaat mereka di penjara. Dan 3 residivis lainnya yang merupakan pengedar narkotik yang direkrut oleh imam Samudra dan Amrozi di Lapas Kerobokan Bali pada tahun 2004 yang kemudian pada tahun 2012 di tangkap dalam kasus perencanaan bom bali 3.

Secara umum, pola perlakuan terhadap narapidana terorisme selama ini memang belum bersifat spesifik. Pola perlakuan terhadap mereka masih dipersamakan dengan pola perlakuan terhadap narapidana kasus yang lain. Deradikalisasi dalam konteks pembinaan bagi narapidana terorisme di lembaga pemasyarakatan selama ini memang belum memiliki format yang baku. Misalnya saja, program deradikalisasi yang tampaknya baru haya sebatas ikrar tertulis untuk tidak mengulangi perbuatan dan mengakui NKRI sebagai negaranya. Pernyataan-pernyataan tersebut biasanya hanya disampaikan sebatas persyaratan administrasi untuk mengajukan remisi. Ikrar ini hanya memiliki kekuatan moral tanpa ada kekuatan hukum yang mengikatbagi mereka. Selain itu, masih ada ketidaksamaam kebijakan disetiap lembaga pemasyarakata yang membina narapidana terorisme. Walaupun sebenarnya direktorat Jendral Pemasyarakatan telah menetapkan standar perlakuan (Prosedur Tetap) terhadap narapidana resiko tinggi (termasuk di dalamnya narapidana terorisme). Dalam pelaksanaannya memang protap ini belum dapat Di implementasikan secara efektif karena beberapa kendala seperti kurangnya sosialisasi, belum adanya pelatihan bagi petugas tentang adanya protap ini, dan belum memadainya sarana pendukung (Isnawan, 2018).

Selanjutnya, belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku tindak kejahatan terorisme, yang arti bahwa penanganan terhadap pelaku terorisme seakan berhenti pada saat mereka telah tertangkap atau dijatuhi pidana. Perhatian terhadap bagaimana memperlakukan pelaku kejahatan terorisme yang telah di jatuhi pidana (di dalam penjara) sering terabaikan. Dan seakan-akan penanganan terhadap mereka semata-mata menjadi tanggungjawab petugas pemasyarakatan.

Dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah belum adanya petugas khusus untuk membina narapidana terorisme. Petugas khusus sangat di perlukan untuk memaksimalkan pembinaan bagi narapidana terorisme. Petugas khusus harus memenuhi syarat berupa kecakapan untuk memimpin dan membina narapidana terorisme dan kelebihan dibidang agama yang mana hal ini untuk menyeamakan persepsi tentang agama khususnya islam sebagai ajaran yang damai dan menurunkan akidah dari narapidana terorisme. Pelatihan terhadap petugas lapas dalam membina narapidana teroris memang diperlukan perhatian khusus mengingat karakteristik kejahatan terorisme itu sendiri, diperlukan perhatian deradikalisasi secara khusus bagi petugas lapas yang menjadi garis depan dalam pembinaan narapidana terorisme. Deradikalisasi adalah suatu proses yang terencana, terpadu, dan berkesinambungan yang dilaksanakan utnuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.

Deradikalisasi adalah suatu proses yang terencana, terpadu, dan berkesinambungan yang dilaksanakan utnuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi. Program deradikalisasi yang selama ini dilakukan oleh Ditjen PAS dalam membina napi teroris masih belum mampu menjalankan prosedur yang sesuai bagi pembinaan narapidana teroris, khususnya narapidana yang digolongkan sebagai �garis keras� dengan derajat pemikiran radikal yang relatif tinggi. Misalnya, dalam proses awal assesment napi teroris yang baru masuk ke lapas sesungguhnya menjadi kunci awal untuk mengenali sekaligus menggali profil dari napi teroris itu.hal ini sdah sesuai dengan Permenkumham no.12 Tahun 2013 Tentang Assesment Resiko dan Assesment Kebutuhan Bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan yang menjadi panduan bagi pegawai lapas.

 

Kesimpulan

Secara umum, pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan tidak berjalan optimal karena adanya konsep pembinaan yang umumnya tidak dibedakan dengan narapidana non teroris, belum optimalnya pelaksanaan standar pembinaan yang telah ada, minimnya sarana dan prasarana yang ada, pasifnya narapidana itu sendiri, belum terintegrasinya penanganan terhadap pelaku kejahatan terorisme, kurangnya pelatihan bagi petugas lapas, serta budaya masyarakat yang terkadang masih relatif sulit menerima mantan napi teroris setelah mereka keluar dari lapas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Asrori, Saifudin. (2019). Disengagement Dari Jebakan Terorisme; Analisis Proses Deradikalisasi Mantan Napi Teroris. Kordinat. Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam, 18(2), 314�338.

 

Febriyansah, Mochamad Nurhuda, Khodriah, Lailatul, & Kusuma, Raka. (2017). Upaya Deradikalisasi Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedung Pane Semarang. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 3(1), 91�108.

 

Golose, Petrus Reinhard. (2009). Deradikalisasi terorisme: humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

 

HAM, Balitbang Hukum dan. (2016). Pembinaan Narapidana Teroris Dalam Upaya Deradikalisasi di Lembaga Pemasyarakatan. Jakarta: Percetakan Pohon Cahaya.

 

Haryono. (2017a). Kebijakan Perlakuan Khusus Terhadap Narapidana Risiko Pemasyarakatan Kls Iii Gn. Sindur). Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol.11 No.(Jakarta), 231�247.

 

Haryono, Haryono. (2017b). Kebijakan Perlakuan Khusus terhadap Narapidana Risiko Tinggi di Lembaga Pemasyarakatan (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kls III Gn. Sindur). Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 11(3), 231�247.

 

Isnawan, Fuadi. (2018). Program Deradikalisasi Radikalisme dan Terorisme Melalui Nilai-Nilai Luhur Pancasila. FIKRI: Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 3(1), 1�28.

 

Manik, Ruth Elisabeth. (2020). Peran Pembinaan Dan Perlakuan Khusus Narpidana High Risk (Terorisme) Pada Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Ilmiah Pemasyarakatan.

 

Mareta, Josefhin. (2018). Rehabilitasi Dalam Upaya Deradikalisasi Narapidana Terorisme. Masalah-Masalah Hukum, 47(4), 338�356.

 

RI, Departement Direktorat Jenderal Hukum dan Kehakiman. (1995). Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (pp. 1�22). pp. 1�22.

 

Rini, Dian Eko, & Kurniawan, Teguh. (2019). Deradikalisasi Teroris melalui Lapas Supermaksimum Security dari Perpective Implementasi Kebijakan. Publikauma: Jurnal Administrasi Publik Universitas Medan Area, 7(2), 42�57.

 

Rochmawanto, Munif. (2018). Sistem Pembinaan Narapidana Terorisme Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Lamongan. Jurnal Independent, 6(1), 109�112.

 

SDP. (2017). Sistem Database Pemasyarakatan. Retrieved from http://smslap.ditjenpas.go.id/

 

Septian, Farid. (2012). Pelaksanaan Deradikalisasi Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Jurnal Kriminologi Indonesia, 7(1).

 

Wicaksono, Reki, & Putrajaya, Nyoman Serikat. (2020). Tinjauan Yuridis Pasal 43d UU No 5 Tahun 2018 Pelaksanaan Dan Kendala Deradikalisasi Sebagai Upaya Penanggulangan Terorisme. Jurnal Spektrum Hukum, 17(1), 49�58.

 

Zuhri, Saefudin. (2017). Kebijakan Deradikalisasi Terorisme oleh BNPT: Perspektif Spektrum Politik. Jurnal Ilmu Kepolisian, 11(2), 7.