Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 8, Agustus 2020
PERAN KUNJUNGAN KELUARGA TERHADAP
KONDISI PSIKOLOGIS NARAPIDANA DI LAPAS KELAS IIB
PANGAKALAN BUN
Bahtiyar Mandala Sutra
Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
Depok, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The research focuses on the benefits of conducting
family visits in Lapas Kelas IIB Pangkalan
Bun because each Correctional Technical Service Unit has a different culture.
As for research is descriptive analysis with a qualitative approach. Based on
the result of the research conducted, it is known that the implementation of family
visits for prisoners in Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun has a positive influence on the psychological
condition of prisoners if compared to prisoners who are rarely or never
visited. Other than that, the conduct of family visits is also a means of
entertainment for prisoners, among other things, the prisoners become more confident
and enthusiastic about life. It also functions as an effort to anticipate the
emergence of chaos or the possibility of escape. But in carrying out family
visits there are several obstacles, that is: time factor, domicile, and
economy, the tendency for a feeling of shame and careless attitude from the
prisoner�s family. Various problems were found in carrying out family visits,
some alternative solutions to problems can be done in a way: 1) extension of
time when visit, 2) the participation of officers is further enhanced in
following the development of prisoners so that early prevention can be done on
matters that can affect the psychological condition of prisoners, and it needs
to be done individually (personal approach) towards prisoners who experience
psychological disorders due to never being visited, 3) it is necessary to have
a mass visit on a particular day, such as on the anniversary of the Republic of
Indonesia independence day by giving an invitation to each family of prisoners.
Keywords: family visits; psychological condition of prisoners.
Abstrak
Penelitian ini
berfokus pada manfaat dalam pelaksanaan kunjungan keluarga di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun karena setiap Unit Pelayanan Teknis Pemasyarakatan memiliki budaya yang berbeda. Adapun
metode penelitian yang digunakan adalah analisis yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa pelaksanaan kunjungan keluarga
bagi narapidana di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun membawa
pengaruh positif bagi kondisi psikologis narapidana jika dibandingkan dengan
narapidana yang jarang ataupun tidak pernah dikunjungi. Selain itu, pelaksanaan
kunjungan keluarga juga sebagai sarana hiburan bagi narapidana, antara
lain narapidana menjadi lebih percaya diri dan mempunyai semangat hidup. Hal ini pula berfungsi sebagai upaya
antisipasi timbulnya kekacauan atau terjadinya kemungkinan pelarian. Namun
dalam pelaksanaan kunjungan keluarga terdapat beberapa kendala, yaitu:
faktor waktu, domisili dan ekonomi, kecenderungan adanya perasaan malu dan
sikap kurang peduli dari keluarga narapidana. Berbagai
permasalahan ditemukan dalam pelaksanaan kunjungan keluarga, beberapa
alternatif pemecahan masalah dapat dilakukan dengan cara : 1) perpanjangan
waktu ketika kunjungan, 2) peran serta petugas lebih ditingkatkan dalam
mengikuti perkembangan narapidana, sehingga dapat dilakukan pencegahan dini
terhadap hal-hal yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis narapidana, serta
perlu dilakukan pendekatan secara individual (personal approach)
terhadap
narapidana yang mengalami gangguan psikologis akibat tidak pernah dikunjungi, 3) perlu diadakan
kunjungan massal pada hari tertentu, seperti pada Hari Besar Peringatan Kemerdekaan�
RI dengan memberikan undangan pada setiap keluarga narapidana.
Kata
kunci : Kunjungan
Keluarga; Kondisi Psikologis Narapidana
Pendahuluan
Akhir masa pemerintahan
Orde Baru memunculkan harapan bahwa Indonesia akan berkembang menjadi negara
hukum demokratis yang menghormati dan menjunjung tinggi rule of law. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut telah diambil berbagai langkah formal, antara lain,
menambahkan Bab XA ke dalam konstitusi (UUD 1945) dan menandatangani instrumen
hak asasi manusia internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik (ICCPR). Dengan itu semua Indonesia baik secara eksternal
maupun internal mengikatkan diri untuk bertindak sejalan dengan (tuntutan) rule of law. Kewajiban serupa juga
muncul berkenaan dengan (pengembangan dan penegakan) hukum pidana di Indonesia.
Kewajiban yang disebut terakhir mencakup dua hal: pertama kewajiban untuk
mengembangkan hukum pidana yang fungsional, dan kedua, kewajiban untuk
memberikan jaminan (dan perlindungan) hak (dasar) kepada setiap orang, tanpa
kecuali dan tanpa memandang perbedaan-perbedaan di antara mereka (Pohan et al., 2012).
Dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara Hukum.
Dalam kehidupan bernegara, salah satu yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan
hukum di dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan ini diyakini tidak hanya
disebabkan dianutnya paham negara hukum, melainkan lebih melihat secara kritis
kecenderungan yang terjadi di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berkembang
kearah masyarakat modern (Harefa, 2019). Dalam negara hukum setiap warga negara
akan mendapatkan perlindungan dari negara atau pemerintah dari setiap tindakan
atau perbuatan yang berdampak terhadap ketidakstabilan dalam masyarakat.
Ketidakstabilan dalam masyarakat adalah akibat dari perilaku menyimpang dari oknum masyarakat.
Perilaku menyimpang tersebut dimaknai sebagai sebuah kejahatan. Kejahatan akan
selalu ada dan ditemukan di dalam masyarakat manapun juga, meskipun masyarakat
itu sendiri tidak pernah mengharapkan kehadirannya (Devilla & Tarmizi, 2018).
Eksistensi pemasyarakatan
sebagai instansi penegak hukum telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Videbeck, 2008). Dalam Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa petugas
pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan
tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan harus dilandaskan
pada aturan hukum yang berlaku agar pemenuhan dan perlindungan HAM dapat
direalisasikan (Datunsolang, 2013). Lembaga Pemasyarakatan
merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang mengarah pada tujuan
resosialisasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang�undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan: �Sistem pemasyarakatan berfungsi
menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab�. (Utami, 2017).
Secara
filosofis pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak
meninggalkan filosofis retributive
(pembalasan), deterrence (penjeraan)
dan resosialiasi. Dengan kata lain pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita
sebagai bentuk pembalasan, tidak juga ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan serta
tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya (Dwiatmojo, 2014). Selain itu, perlu diketahui
bahwa fungsi
Lembaga Pemasyarakatan, yang secara filosofis berbeda dengan penjara, merupakan
upaya untuk menghindari terjadinya proses penghukuman yang tidak manusiawi.
Salah satu upaya tersebut adalah mencegah terjadinya prisonisasi atau proses
belajar kejahatan serta meminimalisir penderitaan dalam pemenjaraan. Menurut
Didin Sudirman, adanya hak-hak Narapidana yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan upaya untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya prisonisasi dan stigmatisasi masyarakat (Michael, 2015).
Kehidupan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan merupakan bentuk dari konsekuensi hukuman atas perilaku
melanggar hukum yang pernah dilakukan (Pratama, 2016). Perlu diketahui di dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana
menghadapi sejumlah permasalahan yang sangat berpengaruh terhadap psikologis
mereka. Kehidupan yang dijalani seorang narapidana selama berada di penjara,
membuat dirinya menghadapi berbagai masalah psikologis antara lain kehilangan
keluarga, kehilangan kontrol diri, kehilangan model, dan kehilangan dukungan.
Selain itu tembok lapas juga merenggut kebebasan atau kemerdekaan bergerak.
Narapidana juga akan mengalami kehidupan yang lain dengan kehidupan yang
sebelumnya antara lain kehilangan hubungan dengan lawan jenis, kehilangan hak
untuk menentukan segala sesuatunya sendiri, kehilangan hak memiliki barang,
kehilangan hak mendapat pelayanan dan kehilangan rasa aman. Berbagai
permasalahan tersebut merupakan
gangguan yang akan mempengaruhi narapidana baik secara fisik maupun psikologis (Meilina, 2013).
Sebuah studi oleh Wuryansari
dan Subandi
menjabarkan mengenai faktor-faktor risiko apa saja yang memengaruhi rendahnya
kesehatan mental narapidana di lingkungan Lapas. Faktor-faktor tersebut antara
lain kondisi kepadatan atau kesesakan (overcrowding),
bentuk-bentuk kekerasan, kurangnya privasi, kurangnya aktivitas yang berarti,
isolasi dari jaringan sosial, ketidakamanan tentang prospek masa depan dan
pelayanan kesehatan yang tidak memadai, terutama layanan kesehatan mental di
Lapas (Wuryansari &
Subandi, 2019). Penelitian lain dari (Wati, 2014) turut mengungkap bahwa status narapidana
(residivis atau non-residivis), menjadi pengaruh faktor risiko narapidana
mengalami depresi. Perubahan
hidup, hilangnya kebebasan dan hak-hak yang semakin terbatas serta kehidupan
yang membuat mereka harus terpisah dari keluarga dan hidup bersama narapidana
lain, hal ini tentunya akan memicu timbulnya stres.
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe menguatkan bahwa kehidupan di
dalam lembaga permasyarakatan memang tidak mudah dan terdapat berbagai
permasalahan. Terbukti hukuman penjara menempati urutan keempat dalam skala
urutan pengalaman hidup yang menimbulkan stres. Bahkan menurut Cohen dan Taylor
menyebut kehidupan di dalam lembaga permasyarakatan atau penjara sebagai
keruntuhan hidup menyeluruh (massive life
disruption) (Hairina & Komalasari, 2017). Oleh sebab itu, adanya kunjungan
keluarga merupakan salah satu hak narapidana, seperti tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 1 Butir (h) yaitu �Narapidana berhak
menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya� (UU Nomor, 12 C.E.). Pelaksanaan kunjungan tersebut merupakan suatu hal yang
terkait erat dengan pemulihan atau rehabilitasi kondisi psikologis narapidana
atas dampak dari pemidanaan yang ia alami.
Sistem
pemasyarakatan bertujuan untuk mengendalikan Warga Binaan Pemasyarakatan
sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya lagi tindak pidana, maka pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan ini
menitik beratkan pada usaha-usaha perawatan, pembinaan, pendidikan dan bimbingan
bagi warga binaan. Adapun hak-hak yang dimiliki oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 salah satunya berkaitan dengan hak menerima kunjungan keluarga. Ini
berarti narapidana berhak menerima kunjungan keluarga di dalam Lembaga
Pemasyarakatan yang di fasilitasi oleh Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri dan
hak untuk menerima kunjungan keluarga ini juga termasuk salah satu dari asas
pembinaan pemasyarakatan yang sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa narapidana harus tetap
didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat serta tidak boleh diasingkan dari
masyarakat (Hilton, 2019). Selama mengalami
pemidanaan narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh
diasingkan. Tujuan di atas dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali di masyarakat. Selain itu
narapidana diharapkan juga dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab (Permana & Rudatyo,
2017).
Narapidana
merupakan populasi yang rentan terhadap timbulnya berbagai permasalahan
psikologis. Narapidana yang sedang menjalani hukuman pidana tidak hanya
mengalami hukuman secara fisik, namun juga mengalami hukuman secara psikologis.
Dampak fisik dan psikologis yang dialami oleh narapidana dapat membuat
narapidana merasakan perasaan tidak bermakna (meaningless), yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, bosan
dan penuh dengan keputusasaan (Nurrahma, 2013). Menjadi
narapidana adalah stresor kehidupan yang berat bagi pelakunya. Perasaan sedih
pada narapidana setelah menerima hukuman serta berbagai hal lainnya seperti
rasa bersalah, hilangnya kebebasan, perasaan malu, sangsi ekonomi dan sosial
serta kehidupan dalam penjara yang penuh dengan tekanan psikologis dapat
memperburuk dan mengintensifkan stresor sebelumnya. Keadaan tersebut bukan saja
mempengaruhi penyesuaian fisik tetapi juga psikologis individu (Hairina & Komalasari, 2017).
Berdasarkan uraian diatas,
Peneliti melakukan pengamatan mengenai manfaat
pelaksanaan kunjungan keluarga di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun, karena
pelaksanaan kunjungan
keluarga dianggap sangat penting sebagai
suatu sarana yang menghubungkan narapidana dengan keluarganya. Dengan segala
keterbatasan yang dialami oleh para pelanggar hukum, maka akan mudah ditemui
narapidana dengan kondisi psikologis yang menyedihkan. Namun, hal ini dapat
diatasi dengan adanya program kunjungan bagi narapidana. Dengan tujuan
pelaksanaan
kunjungan keluarga dapat diaplikasikan dan
membawa pengaruh positif bagi kondisi psikologis narapidana agar keamanan dan ketertiban di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun selalu kondusif.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu
menggambarkan secara langsung pelaksanaan untuk mendapatkan informasi mengenai
pelaksanaan kunjungan keluarga, manfaat serta perannya terhadap kondisi
psikologis narapidana
di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun.
Untuk
mendapatkan data yang akurat penulis melakukan peninjauan dan pengamatan secara
langsung kelapangan dengan melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (K2N) dan Pengabdian Masyarakat
di
Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun,
serta meninjau secara langsung bidang yang berhubungan dengan penulisan ini.
Selain
melakukan pengamatan langsung, penulis melakukan wawancara secara langsung dan
mendalam kepada informan yaitu narapidana dan keluarga sebagai penunjang data
yang diperlukan.
Penulis
menggunakan berbagai media bacaan sebagai sumber data untuk menambah pemahaman
serta pendalaman teori terhadap permasalahan yang akan dibahas.
Hasil
dan Pembahasan
A.
Manfaat
Kunjungan Keluarga
Pelaksanaan
program kunjungan keluarga merupakan suatu upaya dalam mewujudkan Reintegrasi
Sosial warga binaan pemasyarakatan (WBP), yaitu pulihnya kesatuan hubungan
warga binaan pemasyarakatan baik secara pribadi, anggota masyarakat, maupun
sebagai insan Tuhan. Dalam pelaksanaan kunjungan keluarga tentunya terdapat
pengaruh positif dan negatif. Adapun pengaruh positif tersebut dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat
Bagi Narapidana
a. Mendapatkan
buah tangan dari keluarga yang berkunjung
Pada saat pelaksanaan kunjungan, pihak Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun
memperbolehkan
keluarga yang mengunjungi untuk membawakan buah tangan atau oleh-oleh bagi
narapidana karena pada umumnya buah tangan yang diterima oleh narapidana yaitu
berupa makanan, snack, buah-buahan atau suplemen lain sebagai penambah kualitas
makanan dan tentunya sesuai dengan aturan yang berlaku.
b. Mengurangi beban psikis
akibat hilang kemerdekaan
Pidana
penjara merupakan pidana hilang kemerdekaan atau lebih tepatnya adalah pidana
pencabutan kemerdekan terhadap seseorang disebabkan oleh tindakan kriminal atau
kejahatan yang telah dilakukannya. Hal tersebut mengakibatkan terampasnya
sebagian hak-hak narapidana sebagai seorang individu dimana mereka akan
merasakan kehilangan hak dan kebebasan untuk mengatur diri sendiri, kehilangan
hubungan sosial dengan masyarakat dan keluarganya, serta kehilangan mata
pencahariannya. Semua itu akan menimbulkan beban penderitaan psikis bagi
narapidana. Akibat dari adanya beban penderitaan narapidana dapat menimbulkan kecemasan,
stres, depresi ataupun kegelisahan yang berlebihan terhadap hal-hal yang tidak
pasti.
Walaupun
pidana penjara merupakan sebuah konsekuensi dari tindak pidana atau kejahatan
yang telah dilakukannya, namun hal itu tetap saja akan menimbulkan konflik
batin yang sangat parah bagi narapidana karena segala keterbatasannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Konflik tersebut terjadi karena adanya pertentangan batin dalam beradaptasi
dengan pola kehidupan baru yang tidak menyenangkan yang sangat berbeda dengan
pola kehidupan narapidana sebelum masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan
terlebih bagi seseorang yang baru pertama kali masuk penjara pasti menimbulkan
goyangan kejiwaan yang lebih.
Terpisah
dengan keluarga dan teman-teman dekat merupakan salah satu luka yang sangat
parah dari sebuah pidana penjara. Oleh sebab itu, manfaat dari pelaksanaan
kunjungan keluarga ini sangat tampak jelas karena keluarga sebagai orang yang
paling dekat dengan narapidana akan menciptakan suasana baru dan perlahan dapat
mengobati luka tersebut dimana mereka dapat mencurahkan isi hatinya dan segala
keluh kesah, melepas rasa rindu, mendapatkan nasihat-nasihat serta dorongan
semangat sehingga narapidana merasa terhibur dan dapat mengurangi beban psikis
yang dirasakan akibat pemidanaan yang dijalaninya.
c.
Menumbuhkan
rasa percaya diri dan harga diri narapidana
Adanya
penilaian atau citra yang cenderung negatif dari keterlibatan seseorang dengan
hukum adalah pengaruh sosial dari masyarakat. Banyak masyarakat yang masih
menilai bahwa seorang narapidana adalah sampah masyarakat yang patut dijauhi
dan diasingkan dari masyarakat supaya tidak lagi mengganggu keamanan dan
ketertiban umum. Ketika narapidana harus menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan
sekaligus mendapat celaan dari masyarakat dan lingkungannya, otomatis mereka
akan merasa tidak berharga, berdosa dan tidak berguna bahkan merasa benci
terhadap dirinya sendiri yang pada akhirnya akan mengakibatkan narapidana
merasa sangat terpuruk dan hilangnya harga diri serta rasa kepercayaan terhadap
diri sendiri. Selain itu bentuk-bentuk perlakuan� narapidana yang didapat di dalam Lembaga Pemasyarakatan
membuat narapidana merasa terampas harga dirinya, misalnya penyediaan tempat
mandi yang terbuka untuk mandi bersama-sama, WC yang terbuka, kamar tidur (sel)
yang hanya berpintu dari besi dan lain sebagainya.
Pada
saat kunjungan keluarga bagi narapidana dimana terjadi suatu kontak fisik
karena pada ruang kunjungan tidak terdapat pembatas/sekat apapun, hal tersebut
akan membentuk sebuah jalinan hubungan sosial yang positif antara narapidana
dengan keluarganya sebagai komunitas terkecil dari masyarakat. Hal ini
menandakan bahwa keluarga narapidana masih peduli dan memberikan perhatian
serta kasih sayang, sehingga dapat membawa pengaruh baik bagi kondisi psikis
narapidana. Bagi narapidana yang sudah menikah dan berkeluarga, tentunya
memiliki kebutuhan dan harapan untuk masih mendapatkan pengakuan dari
suami/istri dan anak-anaknya tentang peranannya dalam kehidupan rumah tangga.
Oleh sebab itu, pelaksanaan kunjungan keluarga sangat penting karena narapidana
merasa harga dirinya terangkat kembali karena mereka masih diakui, terikat
serta dapat berperan sebagai suami/istri ataupun ayah/ibu dari anak-anaknya
walaupun mereka tidak berada di tengah-tengah keluarganya.
d.
Dapat mengetahui keadaan
dan perkembangan keluarganya dan masyarakat luar
Salah
satu manfaat kunjungan keluarga adalah alat atau sarana bagi narapidana untuk
bertemu dengan keluarga. Program kunjungan keluarga adalah waktu yang diberikan
bagi narapidana untuk berhubungan, berkomunikasi dan mengadakan kontak fisik
secara langsung dengan anggota keluarganya. Pada saat inilah mereka dapat
mengetahui dan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi baik
dalam keluarganya maupun masyarakat umum di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan.
Hal ini akan bermanfaat sebagai bekal narapidana untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarganya ataupun
masyarakat luar ketika pada akhirnya mereka kembali ke dalam masyarakat.
2. Manfaat
bagi keluarga narapidana
a.
Dapat memberikan dukungan
moral kepada narapidana
Kehilangan
sebagian hak-hak narapidana sebagai seorang individu dimana mereka akan
merasakan salah satunya kehilangan kebebasan bergerak. Semua itu akan
menimbulkan beban penderitaan psikis bagi narapidana. Hal ini merupakan suatu
pukulan yang berat dan berakibat menurunnya tingkat kepercayaan diri pada
narapidana. Dalam hal ini, keluarga sebagai salah satu elemen pendukung dalam
sistem pemasyarakatan berfungsi mendorong narapidana agar tetap tegar dan dapat
berperan aktif dalam menjalani program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Dengan adanya kunjungan dari keluarga narapidana, maka
keluarga dapat secara langsung bertemu untuk memberikan dukungan moral dan semangat kepada narapidana supaya narapidana merasa
tenang menjalani masa pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
b.
Dapat mengetahui keadaan
dan perkembangan narapidana
Masih
banyak masyarakat yang menganggap bahwa penjara adalah tempat menyeramkan yang
identik dengan kekerasan dan penyiksaan. Sebagian masyarakat dan keluarga
narapidana menganggap bahwa petugas pemasyarakatan adalah tukang pukul, tukang
peras, kejam yang selalu mengeksploitasi dan mendiskriminasi serta
memperlakukan narapidana dengan sikap sewenang-wenang. Penilaian dan anggapan
miring seperti ini merupakan stigma masyarakat berdasarkan adanya pengalaman
realistis seseorang yang telah merasakan hal tersebut, tentunya jauh sebelum
terwujudnya sistem pemasyarakatan. Hal ini beredar dari mulut ke mulut,
sehingga menjadikan citra yang buruk terhadap diri seorang petugas di Lembaga Pemasyarakatan.
Namun dengan adanya kunjungan keluarga memungkinkan pihak keluarga
berkomunikasi secara langsung dengan narapidana untuk dapat menilai seberapa
baik tugas perawatan dan pembinaan yang diberikan kepada narapidana sehingga
dapat menghapus penilaian dan anggapan negatif sebagian masyarakat tentang
kondisi narapidana selama berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
c.
Dapat memelihara tali
silaturahmi dengan narapidana
Pengakuan
dan perhatian dari keluarga merupakan salah satu poin yang sangat penting bagi
narapidana selama ia menjalani masa pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Sekalipun latar belakang terjadinya sebagian tindak
pidana adalah karena adanya pola asuh keluarga yang salah dan terjadinya
ketidakharmonisan di lingkungan keluarga, keluarga tetap memiliki kewajiban
moral untuk tetap memberikan perhatian dan mengakui keberadaan narapidana
sebagai bagian dari keluarganya. Dengan demikian, tali
silaturahmi dan hubungan keluarga tetap dapat terjalin sehingga keluarga tidak
merasa kehilangan salah satu anggota keluarga. Demikian juga dengan narapidana
tetap merasa mempunyai keluarga yang masih peduli dan perhatian terhadap
dirinya.
3. Manfaat
bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan
a.
Dapat
mengurangi pikiran-pikiran negatif narapidana dan hasrat untuk melarikan diri dari
Lembaga Pemasyarakatan.
Hidup dalam kondisi
yang serba dibatasi oleh tembok dan aturan-aturan yang mendetail menyebabkan
narapidana merasa terkekang dan menderita. Semakin banyak dan besarnya
pembatasan tersebut, maka ketidakmampuan narapidana yang bersangkutan untuk
menanggung derita tersebut juga menjadi semakin tinggi. Akibatnya,� keinginan dan hasratnya untuk melepaskan
ketegangan dan gejolak pertentangan dalam jiwanya melalui berbagai tindakan, di
antaranya seperti melakukan percobaan bunuh diri, bahkan
melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan akan menjadi semakin besar pula.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa kunjungan keluarga akan membawa
ketenangan jiwa maupun mengurangi gejolak pertentangan dalam hatinya, maka hal
ini dapat dijadikan sebagai salah satu unsur pendukung dalam mencegah hasrat
dan keinginan mereka untuk melakukan tindakan-tindakan negatif tersebut.
b.
Dapat
mengurangi tingkat pelanggaran narapidana sehingga dapat menciptakan suasana yang tertib, aman dan kondusif
di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Pada umumnya narapidana merasa berdosa, tidak berguna dan
menyesal kepada keluarga mereka atas perbuatan melanggar hukum yang telah
dilakukannya. Oleh karena itu, dengan adanya kunjungan dari keluarga narapidana
akan tercipta suatu hubungan timbal balik yang membawa pengaruh positif yaitu
ketenangan batin bagi narapidana. Jika mereka dapat mengatasi konflik batin itu
melalui komunikasi secara langsung dengan keluarganya maka untuk menebus rasa
bersalahnya itu mereka akan berusaha bertanggung jawab atas semua perbuatannya
dengan menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan dan mematuhi
peraturan yang ada dengan sebaik mungkin walaupun dengan rasa terpaksa, sedih
dan malu sehingga dapat meminimalisir tingkat pelanggaran yang mungkin mereka
lakukan.
Narapidana pada umumnya merupakan pihak yang
berseberangan dengan kepentingan pengamanan. Adapun petugas dalam fungsinya sebagai
tenaga pengamanan selalu merasa sewaktu-waktu mudah untuk diserang, dikelabui,
diperdayakan oleh narapidana sehingga dapat mengancam secara langsung baik
terhadap karir maupun terhadap keselamatan jiwanya.
Oleh karenanya, ketika anggapan negatif terhadap
narapidana semacam itu dapat dihapuskan dalam setiap diri petugas dan toleransi
terhadap hal-hal yang bersifat kondisional tetap dilaksanakan, salah satunya
dengan adanya kunjungan dari keluarga narapidana, maka suasana di Lembaga Pemasyarakatan akan tertib,
aman dan kondusif bagi terlaksananya program pembinaan dan bimbingan pekerjaan
dalam rangka menciptakan sosok manusia yang berguna dan bertanggung jawab.
B.
Pengaruh Psikologis Narapidana Berkaitan dengan Kunjungan Keluarga
Perbedaan perilaku dan kondisi psikologis pada narapidana
yang jarang dikunjungi pun tampak jelas. Narapidana yang jarang dikunjungi
seringkali terlihat murung atau melamun, bersikap penyendiri dan narapidana
yang tidak pernah dikunjungi terlihat tertutup, susah bergaul dan berkomunikasi
dengan narapidana yang lain. Bahkan mereka seringkali merasa rendah diri dan
merasa iri terhadap narapidana yang sering dikunjungi, serta menunjukkan sikap
yang kurang antusias terhadap aturan yang ada. Terkadang dapat ditemukan
perilaku hiperaktif, hal ini terkadang mereka tampilkan sebagai sarana untuk
mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekelilingnya.
Pada umumnya�
narapidana yang tidak pernah dikunjungi adalah karena faktor jarak yang
jauh antara tempat domisili keluarga narapidana (terkadang narapidana bukanlah
warga asli kota Pangkalan Bun atau terkadang
karena minimnya faktor ekonomi. Adapula kecenderungan adanya perasan malu dari
keluarga narapidana karena adanya stigmatisasi dari masyarakat dan adanya
anggapan bahwa nama baik keluarga telah tercoreng akibat perilaku anggota
keluarga mereka yang akhirnya menjadi narapidana.
Dari pengamatan akan kenyataan yang sesungguhnya terjadi
dalam Lapas
Kelas IIB Pangkalan Bun timbul
kecenderungan bahwa semakin sering narapidana dikunjungi, maka ia menunjukan
sikap yang mengarah pada keteraturan dan ketertiban perilaku dan perubahan
kepercayaan diri narapidana tersebut. Hal ini didukung pula dengan pendapat
para petugas yang lebih memahami sifat dan perilaku narapidana. Mereka sangat
setuju dengan adanya kunjungan keluarga, karena selain sebagai sarana hiburan
bagi narapidana, hal ini pula berfungsi sebagai upaya antisipasi timbulnya
kekacauan atau terjadinya kemungkinan pelarian. Demikian pengaruh positif yang
didapat dari pelaksanaan kunjungan keluarga.
C.
Kendala
Dalam Pelaksanaan Kunjungan Keluarga
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Balikpapan, terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala
pelaksanaan kunjungan keluarga. Adapun yang menjadi kendala dalam kaitannya
dengan kondisi psikologis narapidana adalah sebagai berikut :
1.
Faktor
waktu, domisili dan ekonomi dari pihak keluarga narapidana
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Pangkalan Bun �berada di tengah-tengah kota Pangkalan Bun, namun banyak narapidana dan keluarganya
narapidana berasal dari kota di luar Pangkalan Bun seperti
Sukamara, Lamandau, Sungai Rangit dan sekitarnya yang memerlukan jarak tempuh cukup jauh dari
kota Pangkalan Bun. Sehingga untuk datang mengunjungi keluarganya
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Pangkalan Bun �memerlukan waktu yang cukup banyak. Selain
itu, banyak pula narapidana yang berasal dari keluarga kurang mampu, dengan
domisili mereka yang jauh dan dengan keadaan ekonomi yang kurang memadai mereka
memilih hanya sesekali saja bahkan tidak pernah mengunjungi keluarganya,
dikarenakan selain memerlukan waktu dan tenaga yang banyak juga memerlukan
biaya yang banyak.
2. Kecenderungan adanya perasan malu dan sikap kurang peduli
dari keluarga narapidana
Kekecewaan yang dirasakan oleh keluarga narapidana akibat
dari perbuatan yang dilakukan oleh anggota keluarganya merupakan hal yang tidak
dapat dipungkiri. Adanya stigmatisasi dari masyarakat dan adanya anggapan bahwa
nama baik keluarga telah tercoreng akibat perilaku anggota keluarga mereka yang
akhirnya menjadi narapidana membuat adanya perasaan malu untuk mengakui dan
menerima kenyataan bahwa anggota keluarga mereka berada di Lembaga
Pemasyarakatan Negara. Selain itu juga, adanya sikap tidak peduli bahkan sampai
tidak mau menganggap mereka sebagai bagian dari anggota keluarga lagi. Menurut hasil pengamatan penulis dari sikap, perasaan dan
keterangan yang diungkapkan oleh narapidana yang tidak pernah dikunjungi
keluarganya itu, mereka cenderung bersikap masa bodoh dan acuh tak acuh
terhadap keadaan narapidana yang lain. Namun dibalik sikap mereka tersebut, sebenarnya
mereka sedang merasakan kegelisahan karena tidak pernah dikunjungi keluarganya.
Walaupun mereka tetap mengikuti kegiatan pembinaan yang diselenggarakan oleh
pihak Lembaga Pemasyarakatan dan
tidak bertingkah laku aneh, namun kegelisahan itu tetap terlihat pada raut muka
narapidana ketika diajukan pertanyaan mengenai kunjungan keluarga.
Hal tersebut dapat membuat narapidana gelisah, cemas, kecewa
dan sedih karena walaupun jarak tempuh dari rumah ke Lembaga Pemasyarakatan
tidak terlalu jauh namun keluarganya tidak pernah menyempatkan diri untuk
membesuk mereka.
D.
Analisa Pemecahan
Masalah
Pemasyarakatan diartikan sebagai suatu sistem yang merupakan
rangkaian penegakkan hukum yang bertujuan agar WBP menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima
kembali dilingkungan masyarakat, serta dapat berperan aktif dalam pembangunan
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Hal
ini dapat terwujud tentunya perlu didukung oleh elemen-elemen
Pemasyarakatan yaitu, warga binaan pemasyarakatan (WBP), petugas Pemasyarakatan
dan masyarakat sendiri, karena hanya melalui kerjasama dari ketiga
unsur/elemen� tersebut tugas pemasyarakatan
dapat dikatakan berhasil.
Dari
permasalahan yang penulis kemukakan di atas, penulis mencoba menganalisa
permasalahan tersebut untuk kemudian dikembangkan menjadi sebuah pemecahan
masalah.
Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa jika perasaan
tidak nyaman dan gelisah yang dialami narapidana terus berakumulasi dan tidak
dapat dikendalikan lagi maka akan dikhawatirkan terjadinya gangguan psikologis
yang sifatnya destruktif bagi
kejiwaan narapidana. Oleh karena itu, pelaksanaan
kunjungan ini adalah salah satu solusi untuk mengobati rasa sakit akibat pidana
yang di alaminya.
Pelaksanaan
kunjungan di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun
telah berjalan dengan baik yaitu dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu dan Sabtu untuk tahanan
dan Selasa, Kamis, serta Jumat untuk
Narapidana. Namun mengingat faktor
waktu, jarak dan ekonomi menjadi kendala, hendaknya dengan kebijakan pihak Lapas Kelas IIB Pangkaan Bun
menambah waktu kunjungan agar banyak kesempatan bagi keluarga yang bekerja,
sekolah ataupun berdomisili jauh dari Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun
untuk mengunjungi mendapatkan
kepuasan setelah kesulitan bercengkrama dengan
keluarga.
Bagi
narapidana yang tidak dikunjungi peran petugas sangat dibutuhkan untuk dapat
menjadi pengganti keluarga mereka dengan menjadi teman bicara untuk
mengungkapkan curahan hati mereka. Dalam situasi seperti ini seorang petugas
harus bisa menempatkan diri sebagai seorang orang tua, guru serta teman, karena
jelas bahwa mereka harus berbicara
dengan seseorang tentang masalahnya yang dialaminya, namun berkomunikasi akan menjadi sulit bagi narapidana terlebih
apabila narapidana tidak mempercayai siapapun yang berada di Lembaga Pemasyarakatan.
Petugas juga tidak boleh bersikap diskriminatif antara narapidana satu dengan
lainnya, dengan kata lain petugas harus menunjukkan sikap merangkul dan
bersahabat agar narapidana tidak merasa segan ataupun takut untuk mengungkapkan
apa yang mereka rasakan, sehingga sekaligus diharapkan dapat mengantisipasi dan
meredam tekanan dan kecemasan yang dialami narapidana karena tidak pernah
mendapat kunjungan dari keluarganya. Selain itu juga, seharusnya narapidana memiliki kesempatan untuk bercerita
pada ahli profesional (psikolog/pekerja sosial) tentang masalah yang sedang
dihadapinya. Namun pada kenyataannya kondisi sebenarnya yang terjadi di lapangan, tenaga
psikolog ataupun pekerja sosial tidak selalu ada di setiap unit
pelayanan teknis (UPT). Oleh
karena itu,
sangat penting bagi narapidana untuk diberikan kesempatan berbicara secara pribadi dengan petugas
Rumah Tahanan Negara.
Pelaksanaan
kunjungan keluarga ini membawa pengaruh yang positif bagi kondisi psikologis
narapidana selama mereka berada di Lembaga Pemasyarakatan.
Namun pada kenyataannya pada saat penulis mengamati keadaan di lapangan, ada
narapidana yang justru tidak suka ataupun tidak mau dikunjungi. Hal tersebut
karena beberapa alasan seperti pada saat keluarga mereka datang mengunjungi
selalu menunjukkan sikap kekecewaan, belum bisa menerima jika keluarganya
berada di penjara dan terkadang masih suka menyalahkan narapidana atas
kesalahan yang mereka perbuat. Hal lain juga di karenakan suami/istri mereka
datang untuk meminta/membawa surat cerai karena tidak dapat menerima bahwa
suami/istri mereka di penjara. Kejadian seperti itu menuntut petugas agar lebih
memperhatikan dan peduli keadaan yang sedang terjadi pada diri narapidana dan
hubungannya dengan keluarganya. Sehingga petugas dapat menyarankan kepada
keluarga pada saat kunjungan mereka tidak menunjukkan sikap yang dapat membuat
narapidana tidak nyaman dan tidak menyampaikan berita kurang baik pada saat
kondisi psikologis narapidana tidak memungkinkan untuk menerimanya.
Kesimpulan
Pelaksanaan kunjungan keluarga membawa pengaruh terhadap
kondisi psikologis narapidana. Terpisah dengan keluarga
dan teman-teman dekat merupakan salah satu luka yang sangat parah dari sebuah
pidana penjara. Oleh sebab itu, manfaat dari pelaksanaan kunjungan keluarga ini
sangat tampak jelas karena keluarga sebagai orang yang paling dekat dengan
narapidana akan menciptakan suasana baru dan perlahan dapat mengobati luka
tersebut dimana mereka dapat mencurahkan isi hatinya dan segala keluh kesah,
melepas rasa rindu, mendapatkan nasihat-nasihat serta dorongan semangat
sehingga narapidana merasa terhibur dan dapat mengurangi beban psikis yang
dirasakan akibat pemidanaan yang dijalaninya.
Adanya pengaruh yang tampak bagi kondisi psikologis
narapidana yang sering, jarang dan tidak pernah dikunjungi sebagai pengaruh
dari kunjungan keluarga. Narapidana yang sering dikunjungi relatif lebih tenang
dalam menjalani masa pidananya. Selain itu, narapidana tersebut lebih mudah
bersosialisasi dengan sesama warga binaan pemasyarakatan (WBP) maupun petugas
sedangkan narapidana yang jarang atau tidak pernah dikunjungi umumnya
berperilaku menyendiri dan pemurung. Bahkan ada pula yang pernah berpikiran
untuk melarikan diri.
Kunjungan keluarga yang dilakukan di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun telah berjalan dengan cukup baik jika dilihat dari berbagai
kendala yang ada. Kendala tersebut adalah keterbatasan tempat pelaksanaan
kunjungan yang kurang optimal, faktor waktu, domisili serta keadaan ekonomi
keluarga narapidana yang sangat berpengaruh terhadap frekuensi kunjungan yang
dilakukan. Selain itu, adanya kecenderungan adanya perasan malu dan sikap kurang
peduli dari keluarga narapidana.
Pelaksanaan
kunjungan di Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun
telah berjalan, namun mengingat faktor waktu, jarak dan ekonomi menjadi
kendala, hendaknya dengan kebijakan pihak Lapas Kelas IIB Pangkalan Bun
menambah
waktu kunjungan. Bagi narapidana yang tidak dikunjungi peran petugas sangat dibutuhkan,
seorang petugas harus bisa menempatkan diri sebagai seorang orang tua, guru
serta teman. Selain itu, mendatangkan dan memberikan kesempatan untuk bercerita pada ahli
profesional (psikolog/pekerja
sosial) tentang masalah yang sedang dihadapinya.
BIBLIOGRAFI
Datunsolang, A. (2013). Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana
Dalam Sistem Pemasyarakatan (Studi Kasus Lembaga Pemasyatakatan Kelas II A
Manado). Hukum, 21(4), 111�123.
Devilla, F. A., & Tarmizi, T. (2018). Penerapan Sanksi Pidana Terhadap
Kendaraan Yang Tidak Laik Jalan Karena Telah Dimodifikasi. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Bidang Hukum Pidana, 2(4), 735�745.
Dwiatmojo, H. (2014). Community Base Treatment Dalam Pembinaan Narapidana
Narkotika (Studi Terhadap Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas IIA Yogyakarta). Jurnal Dinamika Hukum, 14(1), 110�122.
Hairina, Y., & Komalasari, S. (2017). Kondisi Psikologis Narapidana
Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II Karang Intan, Martapura,
Kalimantan Selatan. Jurnal Studia Insania, 5(1), 94�104.
Harefa, S. (2019). Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Indonesia
Melaui Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam. University Of Bengkulu
Law Journal, 4(1), 35�58.
Hilton, N. (2019). Pemenuhan Hak Asasi Narapidana Dan Tahanan Dalam
Menerima Kunjungan Keluarga (Studi Di Lembaga Permasyarakatan Klass II A Padang).
Abstract of Undergraduate Research, Faculty of Law, Bung Hatta University,
10(1).
Meilina, C. P. (2013). Dampak Psikologis Bagi Narapidana Wanita yang
Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan dan Upaya Penanggulangannya. Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya, 1�15.
Michael, D. (2015). Penerapan Hak-Hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IA Tanjung Gusta, Sumatera Utara Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
Manusia. Jurnal HAM, 6(740), 91�104.
Nomor, U.-U. (12 C.E.). tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Videbeck, SL
(2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Renata Komalasari & Alfrina Hany,
Penerjemah). Jakarta: EGC.
Nurrahma, E. (2013). Perbedaan Self Eteem Pada Narapidana Baru dan
Residivis Di Lemabaga Pemasyarakatan Klas I Malang. Program Studi Psikologi
Universitas Brawijaya Malang, 1�12.
Permana, R. A., & Rudatyo, H. M. (2017). Pelaksanaan Sistem Layanan
Kunjungan Bagi Warga Binaan Dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Kepada Publik
Berdasarkan UU No 12 Tahun
1995. Universitas Islam Batik Surakarta, 106�117.
Pohan, A., Santoso, T., & Moerings, M. (2012). Hukum pidana dalam
perspektif. Bali: Pustaka Larasan.
Pratama, F. A. (2016). Kesejahteraan Psikologis Pada Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Sragen. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1�15.
Utami, P. N. (2017). Keadilan Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, 17(3), 381.
Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: Egc, 45,
2010�2011.
Wati, R. S. (2014). Perbandingan tingkat depresi antara narapidana non-residivis
dan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Banceuy.
Wuryansari, R., & Subandi, S. (2019). Program Mindfulness for
Prisoners (Mindfulners) untuk Menurunkan Depresi pada Narapidana. Gadjah
Mada Journal of Professional Psychology (GamaJPP), 5(2), 196.