Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol.
5, No.
3 Maret 2020
����������
COLLABORATIVE
GOVERNANCE DALAM PELAYANAN TRANSPORTASI PUBLIK
(STUDY BRT TRANS SEMARANG)
Agung Nurul
Falaq Adi Wibowo
Program Studi Magister
Administrasi Publik Universitas
Diponegoro Semarang
Email: [email protected]
Abstract
One of the strategies of Semarang city government to
overcome congestion is by establishing a mass transit system that cooperates
with various parties. Collaboration carried out some problems that resulted in
the decline in Trans Semarang services so that complaints arising from service
users. For this, it is necessary to analyze the collaboration process and to
find a collaborative blocking factor in the Trans Semarang service. The purpose
of this research is to analyze the cooperation process conducted by UPTD Trans
Semarang with the operators of BRT Trans Semarang Public transport service in
Semarang and to identify various factors that impede collaborative governance
in BRT Trans Semarang Public transportation services in Semarang. The results
showed that in the phase of Trust development of the internal conflict BLU UPTD
Trans Semarang, where some parties refused to carry out the leadership policy.
In the phase of Share Understanding, there is a difference between operator
desires and policies set by the BLU UPTD Trans Semarang. While the factors that
inhibit collaboration in public transport services are cultural factors and
institutional factors. Therefore, the level of Trust Building for training,
re-test, and re-selection of employees is recommended. While the Share
Understanding stage is performed coordination of meetings to unite the wishes
of operators and governments.
Keywords: Collaborative Governance, public
administration, public transportation
Abstrak
Salah satu strategi Pemerintah
Kota Semarang untuk mengatasi kemacetan
adalah dengan membangun sistem Transportasi massal berkolaborasi dengan
berbagai pihak. Kolaborasi yang dilaksanakan terdapat beberapa permasalahan
yang berakibat pelayanan Trans Semarang menurun sehingga muncul keluhan-keluhan
pengguna jasa. Untuk itulah perlu dilakukan
analisis terhadap proses kolaborasi dan untuk mencari faktor-faktor
penghambat kolaborasi dalam pelayanan Trans Semarang. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis proses kolaborasi
yang dilakukan UPTD Trans Semarang dengan operator-operator dalam pelayanan transportasi publik
BRT Trans Semarang di Kota Semarang dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang menghambat collaborative governance dalam pelayanan transportasi publik BRT Trans Semarang di Kota
Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
tahap Trust building terjadi
konflik internal BLU UPTD Trans Semarang,dimana sebagian pihak menolak
melaksanakan kebijakan pimpinan. Sedangkan
pada tahap Share Understanding terjadi
ketidaksesuaian antara keinginan operator dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
BLU UPTD Trans Semarang. Sedangkan faktor-faktor
yang menghambat kolaborasi dalam pelayanan transportasi publik ini adalah
faktor budaya dan faktor institusi. Untuk
itu disarankan, pada tahap Trust building
untuk melakukan pelatihan-pelatihan, test ulang dan seleksi ulang
pada karyawan. Sedangkan pada tahap Share
Understanding dilakukan
rapat koordinasi untuk menyatukan keinginan operator dan Pemerintah.
Kata kunci :Collaborative Governance, Administrasi Publik, Transportasi Publik
Pendahuluan
Sebagai
salah satu kota yang mengalami kemajuan yang pesat Semarang pasti memiliki
beberapa masalah perkotaan, salah satu diantaranya adalah masalah kemacetan
lalu lintas di jalan raya dan banyaknya aksi demonstrasi, blokir jalan dan tuntutan agar transportasi
online dibubarkan (Suhaeri,
2018).
Kemacetan ini timbul karena semakin tingginya volume kendaraan pribadi yang
tidak seimbang dengan pembangunan infrastruktur yang cepat, dan kurang
disiplinnya para pengendara dalam menggunakan kendaraannya. Di Kota Semarang
jumlah kendaraan roda 2 meningkat 13-14 persen per tahun dan roda 4 meningkat
8-10 persen per tahun. Jumlah kendaraan roda dua maupun roda empat mencapai 2,4
juta (1,1 juta motor dan 1,3 juta mobil) lebih tinggi dari jumlah penduduk Kota
Semarang sebanyak 1,7 juta jiwa. Jika tidak ada upaya pembenahan Pola
Transportasi, pada tahun 2017 Semarang akan mengalami kemacetan total (Pusat
Data dan Informasi Kementerian Perhubungan, 2016).
Melihat kondisi
sekarang ini, Kota Semarang semakin hari semakin macet, penataan sistem
transportasi harus dilakukan secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem
transportasi nasional agar mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang
seimbang dengan tingkat kebutuhan permintaan pelanggan, yang layak dengan biaya
murah sehingga dapat terjangkau oleh seluruh rakyat. Salah satu aspek
transportasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah angkutan umum.
Pengembangan angkutan umum massal berbasis jalan di wilayah perkotaan di
Indonesia diarahkan untuk menciptakan pelayanan yang handal dan pada jangka
panjang, diharapkan keberadaan pelayanan angkutan umum yang handal akan mampu
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan kendaraan pribadi.
Transportasi
darat merupakan sarana angkutan penumpang umum yang memegang peranan penting
dalam menunjang aktifitas dan mobilitas mayarakat. Tanpa sarana angkutan umum,
masyarakat akan menggunakan angkutan pribadi yang akan membuat kemacetan lalu
lintas akan sangat parah. Melihat pentingnya angkutan umum dalam menunjang aktifitas
dan mobilitas masyarakat serta amanat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan inilah maka pada tahun 2010 Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia membuat program revitalisasi angkutan umum perkotaan.
Program Revitalisasi
Angkutan Umum yang dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan ini adalah
menstimulasi Pemerintah Daerah untuk melaksakan perbaikan pelayanan angkutan
umum. Stimulasi yang dilaksanakan Kementerian Perhubungan adalah dengan
memberikan bantuan armada Bus Rapid
Transit, dengan adanya bantuan armada ini maka diharapkan Pemerintah Daerah
akan memperbaiki pelayanan angkutan umum. Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 dinyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
angkutan umum yang selamat, aman, nyaman dan terjangkau.
Berdasarkan
amanat Undang-Undang
tersebut serta stimulasi dari Kementerian Perhubungan maka mulai 9 Oktober 2009
Pemerintah Kota Semarang mulai mengembangkan Transportasi Publik yaitu Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang.
BRT Trans Semarang adalah sebuah sistem transportasi bus cepat, murah dan
ber-AC yang dioperasikan oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
Kota Semarang. BRT Trans Semarang pada awalnya ditujukan untuk membenahi system
layanan angkutan umum di Kota Semarang yang telah ada selama ini dan kemudian
dikembangkan menjadi satu sistem transportasi publik yang memiliki keunggulan
berupa kenyamanan, keteraturan, keamanan, dan harga ekonomis.
Pemerintah Kota
Semarang sebagai wakil Pemerintah Pusat yang berada di Daerah wajib memberikan
pelayanan publik (public service)
yang berkualitas. Bentuk birokrasi pemerintah yang hierarki yang selama ini
menjadi model dalam menjalankan layanan publik perlu diubah dengan pendekatan
baru, yaitu sistem pemerintahan responsif dengan melibatkan pemerintah,
masyarakat sipil dan sektor swasta. Dalam literatur administrasi publik
keterlibatan pemerintah, swasta dan masyarakat disebut governmence. Konsep governmence
menekankan gagasan bahwa tidak ada organisasi tunggal dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik. Untuk memenuhi kebutuhan publik, tujuan dan
sasaran bersama dapat dicapai secara efektif melalui proses kolaborasi. Aktor-aktor yang terlibat
dalam proses kolaborasi harus mengembangkan struktur kerja dalam rangka
menjamin penyelenggaraan layanan publik yang efektif, akuntabel, transparan dan
responsif.
Untuk mengatasi
semakin meningkatnya kemacetan dan mengatasi buruknya sistem transportasi yang
ada di Kota Semarang, maka pemerintah membangun sistem BRT (Bus Rapid Transit) Trans Semarang di
Kota Semarang. Saat ini BRT Trans Semarang telah membuka 7 Koridor, yaitu
Koridor 1 jurusan Mangkang-Penggaron, Koridor 2 jurusan Terboyo-Sisemut
Ungaran, Koridor 3 jurusan Pelabuhan Tanjung Emas-Akpol, Koridor 4 Terminal Cangkiran
- Bandara Ahmad Yani-Stasiun Tawang, Koridor 5 Meteseh-PRPP, Koridor 6 UNDIP Tembalang-UNNES Sekaran dan Koridor 7
Terboyo-Pemuda.
BRT
Trans Semarang mengoptimalisasi pengangkutan dalam jumlah massal dengan
penggunaan bus berukuran besar dan sedang yang dinilai sesuai dengan keadaan
jalanan Semarang. BRT Trans Semarang menjadi salah satu daya tarik bagi
wisatawan dan memudahkan warga Semarang mengelilingi Kota Semarang. Hal
tersebut dapat dilihat melalui tabel 1 jumlah pengguna/penumpang BRT di Kota
Semarang yang mengalami peningkatan sebagai berikut :
Tabel
1
Jumlah
Penumpang BRT Trans Semarang Tahun 2011-2018
Tahun |
Jumlah |
Realisasi
Penumpang |
||
Koridor |
Umum |
Pelajar |
Total
Penumpang |
|
2011 |
1 ( KOR I) |
1.195.436 |
483.106 |
1.678.542 |
2012 |
2 ( KOR I & II) |
1.476.979 |
533.722 |
2.010.701 |
2013 |
3 (KOR I, II,& IV) |
3.116.157 |
702.421 |
3.818.578 |
2014 |
4 (KOR I, II, III & IV) |
4.232.891 |
1.588.984 |
5.821.875 |
2015 |
4 (KOR I, II, III & IV) |
5.931.699 |
2.092.170 |
8.023.869 |
2016 |
4 (KOR I, II, III & IV) |
5.851.425 |
1.874.065 |
7.725.490 |
2017 |
6 (KOR I, II, III, IV, V dan VI) |
6.541.592 |
2.583.880 |
9.125.472 |
2018 |
7 (KOR I, II, III, IV, V dan VII) |
7.066.264 |
3.144.032 |
10.210.296 |
Sumber
: DISHUB Kota Semarang
Pelaksanaan
operasional Trans Semarang ini dilaksanakan oleh UPTD Trans Semarang yang
bekerja sama dengan Operator dalam menjalankan Bus Trans Semarang. Pemilihan
operator dilakukan melalui lelang Operasional Trans Semarang melalui lelang di
Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kota Semarang. Pelayanan publik dalam bidang
transportasi Trans Semarang ini merupakan pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh Pemerintah bekerja sama dengan pihak ketiga selaku operator dan masyarakat
selaku pengguna layanan.
Alasan
utama diperlukan kolaborasi antara Pemerintah dan Pihak Swasta adalah agar
berbagai masalah terkait penyelenggaraan transportasi umum dapat terharmonisasi
dengan baik. Peran pemerintah sebagai regulator kebijakan, perlu melakukan kerjasama dengan pihak swasta, sehingga dapat
mengatasi masalah keterbatasan dana, efisiensi dan efektivitas pemerintahan,
dan pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat. Oleh karena itu Pemerintah
perlu menarik pihak swasta untuk melakukan investasi tidak hanya dalam bentuk
dana tetapi juga peningkatan skill sumber daya manusia untuk
membangun dan memelihara infrastruktur yang belum dan sudah tersedia dalam
rangka mensejahterakan masyarakat.
Pelaksanaan
operasional BRT Trans Semarang merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Kota
Semarang yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Badan Layanan Umum Unit Pelaksana
Teknis Daerah (BLU UPTD) Trans Semarang. Dalam pelaksanaan operasional BRT
Trans Semarang tersebut UPTD Trans Semarang memiliki beberapa kendala yang
tidak dapat mengelola dengan swakelola sehingga harus bekerja sama dengan pihak
lain. Proses kerja sama dengan pihak lain dilakukan dengan pemilihan pihak lain
melalui proses lelang. Setelah dilakukan proses lelang tersebut didapat
pemenang lelang yang akan bekerja sama dengan UPTD Trans Semarang. Dalam kerja
sama atau kolaborasi ini terdapat pembagian tugas dalam melaksanakan
operasional BRT Trans Semarang.
Perspektif collaborative governance juga telah
banyak digunakan untuk pemecahan masalah daerah lokal karena adanya
keterbatasan pemerintah lokal dalam menjalankan pemerintahan di daerahnya.
Karena perspektif collaborative
governance merupakan proses yang melibatkan banyak aktor kebijakan untuk
dapat dikatakan sebagai tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance.
Berdasarkan
uraian tersebut, maka penulis memiliki ketertarikan untuk melakukan penelitian
dengan judul �Collaborative Governance dalam Pelayanan Transportasi Publik (Studi
BRT Trans Semarang)�.
Metode
Penelitian
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mana
penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menggunakan data
yang objektif dan tepat dengan permasalahan yang ada. Metode penelitian
kolaborasi yang dijalin antara pemerintah dengan pihak ketiga dalam penyediaan
transportasi publik BRT (Bus Rapid Transit) Trans Semarang, yang sesuai dengan
rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, akan lebih lengkap, lebih
mendalam, kredibel, dan memiliki kredibiltas sehingga tujuan penelitian dapat
tercapai. Data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis
secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas.
Tipe
penelitian yang digunakan yaitu tipe penelitian deskriptif dengan metode
kualitatif, dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai masalah
yang diteliti, mengidentifikasi dan menjelaskan data yang ada secara sistematis.
Tipe deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterprestasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi (Mardalis, n.d.).
Dengan melakukan pengambilan data secara langsung di lapangan baik dengan
metode wawancara langsung, kemudian hasil data tersebut akan di analisis dan di
deskripsikan kemudian disimpulkan apakah pelayanan yang dilakukan oleh
pengelola BRT Trans Semarang dalam hal ini Pemerintah dan pihak ketiga tersebut
sudah efektif ataukah belum.
Pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi yang mengarah pada
penemuan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti serta melengkapi
data-data pendukung yang menunjukkan kemaksimalan dalam penelitian. Dalam
memperoleh data-data ada empat Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan
yaitu:
1) Observasi
(pengamatan)
Sutrisno Hadi dalam (Sugiyono, 2016) mengemukakan:
�Observasi merupakan
suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses
biologis dan psikologis. Dua diantara nya yang terpenting adalah proses
pengamatan dan ingatan.�
Dalam
penelitian ini, observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung pada
lapangan.
2)
Wawancara
Sumber
data utama melalui wawancara terstruktur (Moleong, 2005) adalah wawancara yang
pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur yaitu peneliti
sudah memiliki panduan wawancara tentang hal-hal yang akan ditanyakan sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan.
3)
Dokumentasi
Dokumentasi yaitu cara
pengumpulan data dan telaah pustaka dimana dokumen-dokumen yang dianggap
menunjang dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil
Penelitian
1. Penyajian Data
Kolaborasi dilakukan antara Pemerintah
Daerah Kota Semarang dengan Operator bus dan Pemerintah Kota Toyama Jepang
dalam pelayanan transportasi publik. Kolaborasi penting dilakukan untuk saling
membantu antara instansi pemerintah dengan institusi lainnya dengan peran
mereka masing-masing
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam pelayanan
transportasi publik seperti :
1)
Keterbatasan sarana transportasi
seperti Armada Bus,
2)
Keterbatasan sumber
daya manusia untuk operasional bus seperti pengemudi dan petugas lapangan,
3)
Keterbatasan kemampuan
dalam operasional dan perawatan kendaraan,
4)
Polusi udara yang dihasilkan
oleh emisi gas buang
Oleh karena itu,
pemerintah memberikan repon dengan menjalin kerjasama dengan stakeholders untuk
menghadapi permasalahan atau keterbatasan yang dihadapi oleh pemerintah dengan
melakukan upaya sebagai berikut :
1)
Lelang operasional bus
Operasinal
Bus Trans Semarang pada tahun 2008 adalah dengan menggunakan bus bantuan
pemerintah pusat sejumlah 20 kendaraan. Seiiring dengan perkembangan kota
Semarang maka koridor bus trans Semarang bertambah yang berakibat pada
kebutuhan jumlah armada juga bertambah. Pemerintah pusat melalui Kementerian
Perhubungan telah memberi bantuan armada bus kepada pemerintah kota Semarang
namun bantuan bus tersebut tidak bisa mencukupi kebutuhan untuk penambahan
sejumlah 7 koridor sehingga pemerintah Kota Semarang melakukan kerjasama dengan
pihak konsorsium pengusaha angkutan untuk pengadaan dan mengoperasionalkan bus
milik swasta.
2) Menjalin
kerjasama dengan sesama instansi yang terkait dengan pelayanan Trans Semarang
untuk membangun sarana dan prasarana.
2. Analisis data
Analisis
data mengenai Collaborative Governance
dalam Pelayanan Transportasi Publik (Studi BRT Trans Semarang) yaitu meliputi Face to face, trust building, comitment
to prosses, share understanding dan intermediate outcomes.
Pada
kolaborasi pelayanan transportasi publik ini yang menjadi leading sector adalah Dinas Perhubungan melalui BLU UPTD Trans
Semarang.
B. Pembahasan
1.
Face to Face (Dialog Tatap Muka)
Semua
tata kelola kolaboratif dibangun berdasarkan dialog tatap muka antara para stakeholder, dialog tatap muka lebih
dari sekedar media negosiasi namun ini adalah inti dari proses meruntuhkan
stereotip dan hambatan komunikasi lainnya yang mencegah eksplorasi saling
menguntungkan. Dialog tatap muka adalah jantung dari proses membangun
kepercayaan, saling menghormati, saling pengertian dan komitmen untuk proses (Plummer, Ryan, 2004). Dialog tatatp muka
adalah syarat yang diperlukan tapi tidak cukup untuk kolaborasi dibutuhkan 4
proses lainnya agar kolaborasi berjalan dengan baik.� BLU UPTD Trans Semarang selaku leading sector telah melaksanakan dialog
face to face dengan masing-masing stakholder secara rutin. Media
komunikasi yang digunakan untuk berkomunikasi antar stakeholder adalah rapat koordinasi dan pertemuan informal. BAPPEDA
lebih sering melakukan komunikasi dengan cara informal melalui pertemuan di
restoran atau cafe agar suasana rapat lebih santai dan mengurangi ketegangan
antar stakeholder jika terjadi
perbedaan pendapat.
Selain
pertemuan antar stakeholder, BLU UPTD
Trans Semarang juga rutin mengadakan pengarahan kepada karyawannya dan
pengemudi yang merupakan karyawan dari operator bus Trans Semarang. Pengarahan
dilakukan untuk menyelaraskan visi dan misi dalam pelayanan transportasi publik
ini.
Komunikasi
yang sering dilakukan oleh BLU UPTD Trans Semarang ini menunjukkan bahwa
kolaborasi dalam proses face to face �ini berjalan dengan baik. Dengan komunikasi
yang baik akan terjalin kesepahaman dalam melaksanakan kolaborasi untuk
mencapai tujuan bersama.
Pertemuan
rutin yang dilakukan oleh pihak-pihak
dalam stake holder seharusnya membuat
segala permasalahan bisa diselesaikan dengan cepat dan baik serta tidak
terulang di masa yang akan datang. Proses kolaborasi pada tahap face to face ini berjalan dengan baik
terbukti dengan seringnya dilakukan pertemuan baik secara formal maupun secara
informal yang selanjutnya akan memberikan dampak kepada kualitas kolaborasi
yang sejalan antara misi dan visi antar stakeholder.
2.
Trust
Building (Membangun Kepercayaan)
Kurangnya kepercayaan diantara stakholder adalah titik awal yang umum
untuk tatat kelola kolaborasi
(Weech-Maldonado &
Merrill, 2000).
Proses kolaborasi tak hanya tentang negosiasi tetapi juga tentang membangun
kepercayaan diantara stakeholder,
meski sudah ada konlik masa lalu diantara para stakeholder, penulis menemukan bahwa membangun kepercayaan sering
menjadi yang paling menonjol dalam aspek proses kolaborasi awal dan bisa sangat
sulit untuk ditumbuhkan (Murdock, Wiessner,
& Sexton, 2005).
Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa membangun kepercayaan adalah fase terpisah
dari dialog tatap muka dan negosiasi tentang masalah-masalah substantif,
tapi pemimpin kolaboratif yang baik harus membangun� kepercayaan diantara para penentang. Jika
konflik masa lalu sangat antagonis, maka para stakeholder harus menganggarkan waktu untuk membangun kepercayaan
yang efektif agar tidak mengganggu jalannya kolaborasi.
Pengaruh konflik masa lalu dalam
membangun kepercayaan diakui oleh kepala BLU UPTD Trans Semarang msh ada.
Seperti yang beliau sampaikan sebagai berikut :
�Ada beberapa orang yang berharap agar
system digitalisasi yang kami dan teman-teman
(BLU UPTD Trans) bangun tidak diberlakukan, sudahlah kembali ke system yang
seperti biasa dengan pencatatan manual dan lain sebagainya.�
Tahun
ini BLU UPTD Trans Semarang melakukan perubahan dalam pelayanan yaitu
digitalisasi pelayanan. Perubahan pelayanan menjadi digital ini bagi sebagian
orang sangat menyulitkan. Hal inilah yang membuat beberapa orang ingin agar
pelayanan tetap berjalan dengan cara tradisional atau sesuai dengan kebiasaan
yang lalu. Pertentangan dari sebagian orang ini mungkin yang membuat pelayanan
Trans Semarang terganggu dengan munculnya keluhan-keluhan pelayanan trans Semarang terkait
pelaksanaan pelayanan digital. Hasil pengamatan peneliti
menyatakan bahwa pelayanan
petugas tiketing mendapat keluhan tertinggi dibidang pelayanan yang dilakukan
oleh BLU UPTD Trans Semarang yaitu 93 keluhan selama tahun 2018.
Petugas tiketing merupakan ujung tombak pelayanan Trans Semarang kepada
pengguna jasa. Pelayanan petugas tiketing sudah menggunakan pembayaran
elektronik atau digitalisasi pembayaran sehingga dengan adanya sebagian orang
yang tidak mau beralih ke digitalisasi pelayanan akan mempengaruhi pelayanan
petugas tiketing tersebut.
Menurut goverment of �Canada mengenai
terhambatnya jalannya suatu kolaborasi dan juga partisipasi adalah karena
disebabkan oleh banyak faktor, terutama faktor-faktor budaya, faktor-faktor institusi-institusi dan faktor-faktor politik.
Permasalahan di internal BLU UPTD Trans
Semarang adalah masih ada pihak-pihak yang menolak untuk mengikuti kebijakan
dari Kepala BLU UPTD Trans Semarang yang menerapkan sistem digitalisasi dimana
pihak-pihak tersebut tidak mau mengikuti perkembangan teknologi yang diterapkan
karena kesulitan dalam penerapannya.�
Dalam proses ini ada faktor budaya yang menghambat kolaborasi.
Untuk terciptanya kolaborasi yang
efektif mensyaratkan para pelayan publik untuk memiliki ketrampilan dan
kesediaan untuk masuk ke kemitraan yang sukarela dan berorientasi pada hasil.
Pada permasalahan ini terlihat bahwa internal BLU UPTD Trans Semarang masih ada
pihak-pihak yang belum
memilliki ketrampilan dan kesediaan untuk melaksanakan kebijakan pimpinan
berupa penerapan sistem digitalisasi pada pelayanan transportasi publik.
sebagian kecil pihak tersebut belum memahami sistem digitalisasi yang
diterapkan dan belum mempunyai ketrampilan untuk melaksanakan sistem
digitalisasi tersebut.
Dalam proses Trust Building (Membangun
Kepercayaan) ini ada kendala dalam melaksanakan kolaborasi yaitu faktor budaya
dan faktor politik.
Dari segi budaya, kolaborasi seringkali
gagal karena partisipasi dari kelompok kepentingan atau stakeholder lainnya
selama ini sering kali masih dipandang bukan hal utama dan tidak diperlukan,
tidak penting dan didominasi oleh kelompok dominan/pihak pemerintah melalui
pendekatan top down. Kolaborasi
juga bisa gagal karena strategi pecah belah dengan cara mengakomodasi
kepentingan kelompok-kelompok yang pro kebijakan pemerintah dan mengabaikan
kelompok yang anti kebijakan pemerintah (Sudarmo, 2009)
Di internal BLU UPTD Trans Semarang
masih terdapat kelompok-kelompok
yang masih anti kebijakan pemerintah. Kebijakan digitalisasi merupakan salah
satu strategi dari pimpinan BLU UPTD Trans Semarang untuk mengurangi kebocoran
pendapatan dan alam rangka transparansi informasi kepada publik. Pihak-pihak yang menolak
melaksanakan sistem digitalisasi beranggapan bahwa sistem tersebut ribet dan
bisa menghambat mereka untuk berbuat tidak baik dalam proses penarikan
pendapatan. Sistem laporan yang transparan dan dengan proses digital tanpa uang
cash ini memang tidak memberikan celah untuk berbuat curang bagi pencuri-pencuri pendapatan
Trans Semarang sehingga pihak tersebut tidak dapat melakukan kecurangan lagi.
Terkait dengan faktor politik,
kolaborasi bisa terhambat, jika para pemimpin dari kelompok-kelompok yang
berkolaborasi kurang atau tidak inovatif dalam mencapai tujuan-tujuan politik
yang cenderung kompleks dan berpeluang menimbulkan konflik satu sama lain.
Melalui kolaborasi ini konflik tujuan yang sering terpresentasikan sebagai
tujuan masing-masing kelompok kepentingan bisa diminimalisir. Namun yang
terjadi di internal BLU UPTD Trans Semarang, pimpinan BLU UPTD Trans Semarang
belum bisa menyatukan tujuan dari beberapa pihak, hal ini terbukti dari adanya
pihak yang masih belum mau melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh kepala
BLU UPTD Trans Semarang.
3.
Commitment To Process (Komitmen Pada Proses)
Komitmen
pada proses yang dimaksud adalah Komitmen dari para stakeholder dalam
melakukan kolaborasi menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan proses
kolaborasi. Meskipun demikian dalam melaksanakan komitmen ini terkadang penuh
dengan dilema. Misalnya stakeholder harus mematuhi hasil musyawarah
sebagai bentuk komitmen walaupun keputusan tersebut mengharuskan bergabung
dengan stakeholder yang berbeda pandangan. Oleh sebab itu maka komitmen
memerlukan kepercayaan agar tanggung jawab masing-masing stakeholder dapat
dijalankan dengan baik. Dalam konteks ini, komitmen pada proses merupakan
konsekuensi atas keterlibatan dari masing-masing anggota dalam pelayanan Trans
Semarang. Musyawarah yang dilakukan dalam kolaborasi ini terjadi karena adanya
masalah dalam pelayanan Trans Semarang dan adanya keluhan dari pengguna jasa
terhadap pelayanan yang dirasa kurang baik. Berdasarkan wawancara terhadap stake holder yang terlibat diketahui
bahwa masalah yang masuk diidentifikasi, digolongkan untuk mengetahui tupoksi
masing-masing yang menangani kemudian
diserahkan ke masing-masing
tupoksi yang menangani. �
Setiap
pembahasan masalah yang terkait dengan beberapa stakeholder dilakukan dengan musyawarah atau rapat koordinasi antar
stakeholder, hal ini dilakukan karena
masing-masing stakeholder memiliki peran dan fungsi
yang berbeda. Dengan rapat koordinasi maka diharapkan permasalahan yang ada
bisa segera diselesaikan secara bersama-sama.
Musyawarah dilakukan oleh BLU UPTD Trans Semarang untuk menyatukan visi dan
misi setiap stakeholder agar sepaham
untuk peningkatan pelayanan Trans Semarang.
Dalam
setiap rapat koordinasi hasil rapat tersebut dipatuhi oleh setiap stakeholder. Dari hasil wawancara
terhadap 5 orang narasumber, semua menyatakan bahwa hasil rapat koordinasi
selalu dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap stakeholder. Semua perbedaan pendapat diselesaikan didalam rapat.
Commitment to process
menurut Ansell and Gash adalah mutual
recognition of interdependence, shared ownership of process, openess to
exploring mutual gains. Mutual recognition
of interdependence adalah pengakuan atas saling ketergantungan dalam hal
ini adalah pengakuan ketergantungan dalam melaksanakan kolaborasi. dalam
pelaksanaan pelayanan transportasi publik Trans Semarang ini masing-masing stakeholder
saling bergantung satu sama lain. Sebagai leading
sector BLU UPTD Trans Semarang bergantung kepada stakeolder lain dalam menjalankan kolaborasi. BLU UPTD Trans
Semarang, membutuhkan BAPPEDA Kota Semarang untuk merencanakan pengembangan
pelayanan Trans Semarang, BLU UPTD Trans Semarang juga tidak bisa menjalankan
operasional bus Trans Semarang tanpa melibatkan pengusaha selaku operator bus
dan pelayanan trans Semarang tidak dapat dilaksanakan secara maksimal tanpa
peran dari Dinas Pekerjaan Umum yang membangun dan merawat prasarana jalan
seperti Shelter dan jalan untuk operasional bus. �
Shared ownership of
process berarti saling berbagi dalam proses
kolaborasi. Dalam berkolaborasi masing-masing
stakeholder dituntut untuk saling
terbuka satu sama lain, jujur dan saling berbagi. Saling berbagi dalam proses
sangat diperlukan karena masing-masing
stakeholder saling terlibat dalam
proses kolaborasi pelayanan transportasi publik ini. Karena semua stakeholder terlibat maka semua harus
mengetahui proses yang dilaksanakan oleh masing-masing stakeholder dengan cara saling berbagi antar stakeholder. Dengan saling berbagi proses identifikasi permasalahan
menjadi lebih mudah dan cepat karena masing-masing
stakeholder sudah berbagi proses
sehingga BLU UPTD Trans Semarang sebagai leading
sector lebih mudah mengidentifikasi masalah karena sudah memiliki data yang
di shared oleh masing-masing stakeholder. �
Openess to exploring
mutual gains adalah keterbukaan untuk mengexplorasi
keuntungan bersama. Dalam berkolaborasi ini tujuan utama adalah untuk
melaksanakan pelayanan transportasi publik, namun disamping tujuan utama terdapat
juga tujuan bagi masing-masing
stakeholder. Bagi stakeholder dari pihak pemerintah tujuan dari melakukan kolaborasi
ini adalah memberikan pelayanan transportasi bagi masyarakat, meningkatkan
perekonomian masyarakat dengan cara�
membantu mobilitas masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui bidang transportasi. Bagi operator tujuan dari kolaborasi ini adalah
untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka. Keuntungan yang diharapkan oleh
operator adalah keuntungan dari segi ekonomi bagi operator, penyerapan tenaga
kerja serta pengembangan usaha bagi operator.
Setiap
stakeholder yang bergabung dalam
kolaborasi sudah mengetahui tujuan utama dalam kolaborasi ini, yaitu untuk
memberikan pelayanan transportasi bagi masyarakat semarang yang aman, nyaman
dan murah. selain itu setiap stakeholder
juga wajib mengetahui tujuan personal dari masing-masing stakeholder dalam menjalankan kolaborasi tersebut.� Pencapain tujuan personal dari masing-masing stakeholder berguna untuk memotivasi
masing-masing stakeholder untuk mencapai tujuan
bersama.
Dari
hasil wawancara dengan operator yaitu�
PT. Minas dan PT. Matra Semar tujuan personal yang sudah dicapai oleh
para operator ini yaitu :
1) Omset
dan aset perusahaan yang meningkat.
2) Perusahaan
dapat membuka lapangan kerja
3) Pengusaha
angkutan kota dapat beralih profesi menjadi operator bus Trans Semarang.
4) Kondisi
armada bus Trans yang lebih baik
5) Sistem
transportasi yang lebih tertib dan teratur
Bagi
pemerintah dalam hal ini BLU UPTD Trans Semarang, BAPPEDA dan DPU kolaborasi
ini telah mencapai apa yang menjadi tujuan personal pemerintah yaitu :
1) jangkauan
pelayanan transportasi bertambah luas,
2) masyarakat
lebih mudah dalam mendapatkan pelayanan transportasi.
3) jumlah
prasarana seperti shelter dan juga inovasi dalam bidang teknologi� juga bertambah,
4) jumlah
penumpang meningkat sehingga pendapataan daerah juga ikut meningkat.
5) Sedangkan
bagi Pemerintah Kota Toyama sebagai negara donor, hasil yang dicapai adalah
menurunnya emisis gas buang dari 31,6 5 menjadi 17.85 %.
Dengan
tercapainya tujuan utama dan tujuan personal dalam kolaborasi pelayanan
transportasi publik ini yang berarti masing-masing
stakeholder sudah saling berbagi
dalam keterbukaan untuk mengexplorasi keuntungan bersama maka Openess to exploring mutual gains telah
terlaksana dalam proses commitment to
process (komitmen pada proses) ini.
4.
Share
Understanding (Pemahaman Bersama)
Share Understanding
menurut Ansell and Gash adalah meliputi : clear
mission, common problem definition dan identification
of common value.
Clear mission
yang berarti visi dan misi yang jelas. Pelayanan transportasi publik Trans Semarang
ini telah memiliki visi dan misi yang jelas yaitu adalah sebagai berikut :�
Visi
dari kolaborasi pelayanan transportasi publik ini adalah Menciptakan Pelayanan BRT yang Profesional, Mandiri,
Dapat Diandalkan, Berkesinambungan dan Terjangkau.
Common problem definition
berarti mendifinisikan permasalahan yang sering terjadi didalam kolaborasi
pelayanan transportasi publik ini.� Masalah yang masuk
diidentifikasi kemudian didefinisikan dan dikelompokkan sesuai dengan tanggung
jawab masing-masing
stakeholder.� Common
problem definition berkaitan erat dengan identification of common value yang berarti identifikasi nilai-nilai
umum, proses ini berurutan. Permasalahan yang masuk didefinisikan kemudian
diidentifikasi. Yang telah terjadi didalam kolaborasi pelayanan transportasi
publik ini setiap keluhan pelanggan dan permasalahan yang terjadi dalam
pelayanan Trans Semarang semuanya masuk ke BLU UPTD Trans Semarang. Oleh BLU
UPTD Trans Semarang semua permasalahan tersebut diidentifikasi dan
didefinisikan untuk diketahui stakeholder
mana yang akan menyelesaikannya.
Dalam
kolaborasi penyelenggaraan transportasi publik ini, masing-masing Stakeholder sudah sepaham dalam
menjalankan peran masing-masing.
Hal ini sudah penulis sampaikan di Analisis data penelitian, namun masih ada
ketidaksesuaian antara keinginan pengusaha selaku operator dan BLU UPTD Trans
Semarang selaku leading sector yang
mengatur anggaran dalam pelayanan transportasi publik ini.
5.
Intermediate Out Comes (dampak sementara)
Dalam proses kolaborasi dalam pelayanan
transportasi publik ini, selain tujuan untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat tentunya masing-masing
aktor memiliki tujuan masing-masing
untuk mendapatkan manfaat dari kolaborasi tersebut. Intermediate out comes bisa diartikan juga sebagai.
Intermediate
out comes menurut Ansell and Gash adalah small wins, strategic plan and joint fact finding. Small wins yang berarti kemenangan kecil sebelum mencapai
kemenangan besar. Kemenangan kecil ini adalah tujuan antara sebelum mencapai
tujuan akhir dalam kolaborasi pelayanan transportasi publik� ini. Jika tujuan utama dari kolaborasi adalah
untuk memberikan pelayanan transportasi publik bagi masyarakat, maka tujuan
antara adalah manfaat bagi masing-masing
stakeholder. �
Small
wins bagi pemerintah dalam hal ini Dinas
Perhubungan melalui BLU UPTD Trans Semarang, BAPPEDA dan Dinas Pekerjaan Umum
adalah :
1) Meningkatnya
pelayanan kepada masyarakat dalam bidang transportasi umum, jumlah koridor yang
bertambah berarti menambah luas cakupan layanan Trans Semarang,
2) Meningkatnya
kesejahteraan bagi karyawan BLU UPTD Trans Semarang,
3) Bertambahnya
lapangan pekerjaan dalam sektor transportasi dimana BLU UPTD Trans Semarang
tiap tahun membutuhkan sekitar 200 orang karyawan,
4) Bertambah
jumlah dan kualitas sarana prasarana dalam bidang transportasi publik ini
seperti halte bertambah banyak dan bertambah indah, pedestrian atau trotoar
sekitar halte Trans Semarang ikut menjadi lebih indah,
5) Kemacetan
lalu lintas ikut berkurang dengan banyaknya pengguna bus Trans Semarang,
6) Subsidi
pada tarif pelajar membuat jumlah penumpang dari pelajar meningkat, sehingga
permasalahan lalu lintas yang diakibatkan oleh pemakaian sepeda motor oleh
pelajar ikut berkurang.
7) Program
Bahan Bakar Gas yang diterapkan oleh pemerintah Kota Semarang juga ikut
mnyumbang turunnya emisi gas buang yang disebabkan oleh bus-bus Trans Semarang.
Sedangkan
Bagi operator bus Trans Semarang, small
wins yang telah dicapai adalah:
1) Keuntungan
financial bagi perusahaan.
2) Perusahaan
dapat membuka lapangan kerja
3) Pengusaha
angkutan kota dapat beralih profesi menjadi operator bus Trans Semarang.
4) Kondisi
armada bus Trans juga lebih baik
Dengan
banyaknya small wins yang telah
dicapai menunjukkan bahwa kolaborasi pada proses Intermediate Out Comes telah tercapai.
Strategic
plan adalah perencanaan strategis yang akan
dilakukan untuk meningkatkan kualitas kolaborasi dengan cara memperbaiki
layanan dengan melakukan inovasi pada pelayanan.�
Masing-masing stakeholder dalam pelayanan
transportasi publik ini sudah berinisiatif untuk melakukan inovasi untuk
meningkatkan pelayanan transportasi publik ini.
Pihak BLU UPTD Trans Semarang dan
Bapppeda selaku pemerintah telah melakukan inovasi berupa :
1)
BBG bagi bahan bakar
bus yang bertujuan untuk menekan emisi gas buang agar lebih ramah lingkungan,
2)
Program Customer Care yang membuat petugas
dilapangan lebih ramah dan lebih perduli terhadap penumpang.
3)
Halte-halte dibuat lebih
bagus agar penumpang lebih nyaman dalam menunggu kedatangan armada Trans
Semarang.
4)
Passenger
Information System yaitu sistem informasi bagi
penumpang untuk mengetahui posisi bus dan waktu tunggu bus.
5)
Dedicated
line yaitu sistem Bus Way atau lajur khusus bus Trans Semarang yang bertujuan agar
perjalanan bus tidak bercampur dan terganggu dengan lalu lintas lain.
Pihak operator bus juga
tidak kalah dalam berinovasi, beberapa inovasi telah diterapkan dan beberapa
telah disiapkan untuk meningkatkan pelayanan Trans Semarang. Inovasi yang telah
diterapkan oleh operator busa adalah :
1)
Melaksanakan pelatihan
bagi karyawan, yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas SDM dari karyawan,
2)
Uji kelayakan karyawan,
3)
Pemasangan GPS di
armada bus agar kecepatan dan posisi bus bisa dipantau.
Joint fact finding adalah sebuah proses untuk mengenali dan
mendefinisikan masalah yang dihadapi oleh organisasi sebagai dasar acuan untuk
penyusunan langkah selanjutnya bagi stakeholder
dan� sebagai masukan kebijakan bagi pihak
manajemen. Hal lazim yang dilakukan dalam tahap joint fact finding adalah
kegiatan research. Joint Fact Finding ini menjadi tugas dari BLU UPTD Trans
Semarang� selaku leading sector dan BAPPEDA selaku stakeholders yang mempunyai tupoksi perencanaan. Stakeholders dari pihak pemerintah sudah
mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi dalam pelayanan transportasi publik ini
serta telah menyusun rencana-rencana strategis untuk meningkatkan pelayanan Trans
Semarang. Banyak rencana strategis sudah dikaji dan disiapkan oleh pemerintah
antara lain :
1)
Dedicated
line, jalur khusus bus agar tidak bercampur
dengan lalulintas angkutan lain sehingga waktu tempuh lebih cepat dan rute
perjalanan bus lebih aman.�
2)
Program bahan bakar gas
pada seluruh armada bus Trans Semarang.
3)
Full
digitalisasi system pada semua aspek pelayanan Trans
Semarang mulai dari pembayaran, informasi penumpang hingga pelaporan pelayanan
trans Semarang.
4)
Uji coba bus tipe low deck, selama ini semua bus trans
Semarang bertipe high deck yaitu bus
yang memiliki tinggi lantai 50 cm dari atas tanah, sehingga bus hanya bisa
menaikkan dan menurunkan penumpang di halte khusus Trans Semarang. Pada tahun
2019 ini Dinas Perhubungan Kota Semarang mendapat bantuan 2 unit bus tipe low deck dari Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia dan sudah mulai diuji coba pada bulan November 2019. Tujuan
uji coba bus low deck ini adalah
untuk menguji konektifitas antara Trans Semarang dengan angkutan umum lain yang
bertipe low deck.
Pencapaian hasil sementara pada small wins, strategic plan and joint fact finding seperti yang telah penulis
uraikan diatas menunjukkan bahwa kolaborasi pada proses Intermediate Out Comes berjalan dengan baik.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian
disimpulkan bahwa :
1. Proses
Kolaborasi dalam pelayanan Transportasi publik
a. Face To Face
(Dialog Tatap Muka)
-
Komunikasi terjalin
dengan baik, rapat koordinasi antar stakeholder
membahas evaluasi dan rencana dalam pelayanan transportasi Trans Semarang
diselenggarakan secara rutin.
-
Komunikasi kepada
karyawan yang melakukan pelayanan juga terjalin dengan baik, pengarahan-pengarahan terhadap
karyawan dan pengemudi yang diadakan minimal 1 kali dalam sebulan.
b. Trust Building (Membangun
Kepercayaan)
-
Terjadi konflik masa
lalu antar stakeholder, namun konflik bisa diselesaikan dengan
mengadakan sosialisasi dan pendekatan persuasif ke masing-masing stakeholder.
-
Konflik yang terjadi
antar stakeholder ini tidak
mempengaruhi proses kolaborasi karena telah berhasil diselesaikan.
-
Selain konflik antar stakeholder, terjadi konflik internal
BLU UPTD Trans Semarang. Konflik terjadi karena sebagian pihak menolak melaksanakan
kebijakan pimpinan. Konflik menghambat proses kolaborasi karena pertentangan
dari sebagian orang ini membuat pelayanan Trans Semarang terganggu dengan
munculnya keluhan-keluhan
pelayanan trans Semarang terkait pelaksanaan pelayanan digital khususnya
tiketing. Proses membangun kepercayaan di internal UPTD Trans Semarang belum
berhasil.
c. Comitment To Prosses (Komitmen
Pada Proses)
-
Sudah ada prosedur
dalam penanganan masalah.
-
Penyelesaian masalah
melalui musyawarah atau rapat koordinasi antar stakeholder.
-
Hasil musyawarah atau
rapat koordinasi dipatuhi secara bersama-sama.
Dalam proses ini, kolaborasi berjalan dengan baik.
d. Share Understanding (Pemahaman
Bersama)
-
Terjadi
ketidaksesuaian antara keinginan operator terhadap pembayaran biaya operasional
kendaraan dengan besaran biaya operasional kendaraan yang dibayarkan oleh BLU UPTD
Trans Semarang,
-
Keinginan operator
untuk menambah operasional kendaraan melebihi ketentuan di perjanjian kontrak
untuk menutupi jarak (kilometer) tempuh yang tidak tercapai karena kendala lalu
lintas.
-
Operator melakukan
efisiensi terhadap operasional busnya dengan cara : menambah jam kerja
pengemudi melebihi ketentuan perundang-undangan
dan memperlambat pergantian spare part
kendaraan. Efisiensi yang dilakukan oleh operator ini lah yang membuat
pelayanan Trans Semarang menurun sehingga menimbulkan keluhan dari pengguna
jasa.
e. Intermediate Outcomes (Dampak
Sementara) �
Adapun dampak sementara yang telah
dihasilkan dari kolaborasi ini adalah :
-
Pelayanan Trans
Semarang semakin bertambah luas dan bertambah banyak sehingga lebih luas
menjangkau kepada masyarakat,
-
Meningkatnya jumlah
penumpang yang berarti mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi di jalan
sehingga ikut mengurangi tingkat kemacetan dan tingkat kecelakaan di jalan,
-
Membantu mengurangi
pencemaran lingkungan dengan penggunaan bahan bakar gas,
-
Memberikan peluang
usaha bagi pengusaha angkutan kota untuk beralih profesi sebagai operator bus
Trans Semarang,
-
Membuka lapangan kerja
bagi masyarakat untuk bergabung sebagai karyawan Trans Semarang maupun karyawan
perusahaan operator.
2. Faktor
penghambat dalam pelayanan transportasi publik
a. Budaya
-
Budaya �top down� oleh pemerintah menjadi
faktor penghambat dalam proses kolaborasi pelayanan transportasi publik ini,
semua kebijakan berasal dari pihak pemerintah, operator hanya sebagai
pelaksana.
-
Dalam tahap Share Understanding penetapan besaran
biaya operasional kendaraan yang ditetapkan oleh BLU UPTD Trans Semarang tidak
sesuai dengan yang diharapkan oleh operator.
b. Institusi
-
Kecenderungan
stakeholder yang terlibat dalam
kolaborasi cenderung menerapkan struktur hirarkis terhadap stakeholder lain yang ikut terlibat dalam
kolaborasi pelayanan transportasi publik ini telah membuat kolaborasi
terhambat.�
-
Penerapan
kebijakan yang hirarkhis tentang penerapan sistem digitalisasi dan penerapan
harga Biaya operasional kendaraan yang sepihak oleh BLU UPTD Trans Semarang
telah menghambat proses kolaborasi.
BIBLIOGRAFI
Mardalis. (n.d.). Metode Penelitian Suatu Pendekatan
Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, Lexy. (2005). Metode Penelitian Kualitatif, edisi
revisi, Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Murdock, Barbara Scott, Wiessner, Carol, & Sexton, Ken.
(2005). Stakeholder participation in voluntary environmental agreements:
Analysis of 10 Project XL case studies. Science, Technology, & Human
Values, 30(2), 223�250.
Plummer, Ryan, and John Fitzgibbon. (2004). Co-management
of natural resources: A proposed framework (33rd ed.). Environmental
Management.
Sudarmo. (2009). Elemen-Elemen Collaborative Leadership dan
Hambatan-Hambatan Bagi Pencapaian Efektivitas Collaborative Governance. . ,
No.2,ISSN 1907-0489. Jurnal Spirit Publik, Vol.5, 117�132.
Sugiyono, Metode Penelitian. (2016). Pengembangan Research
and Development. Bandung: Alvabeta.
Suhaeri, Suhaeri. (2018). Strategi Komunikasi Inovasi Dalam
Meminimalisir Konflik Horizontal Pengemudi Taksi Online Dan Konvensional Di
Kota Bandung. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(2),
122�131.
Weech-Maldonado, Robert, & Merrill, Sonya B. (2000).
Building partnerships with the community: lessons from the Camden Health
Improvement Learning Collaborative. Journal of Healthcare Management, 45(3),
189�205.