Syntax Literate
: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�����
e-ISSN : 2548-1398
�����
Vol. 5
No. 3 Maret 2020
FENOMENA
KETERBUKAAN KELOMPOK MINORITAS DALAM BERKOMUNIKASI DI MEDIA SOSIAL (STUDI PADA
KELOMPOK MINORITAS LGBT DI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM)
Agus Salim
Universitas Nasional (UNAS) Jakarta
Email: [email protected]
Abstract
Social media start from
facebook, youtube, instagram or whatsapp and many more, has became a part of
daily life in the public, starts sharing information even just establishing
communication. But impact of the rise of social media as information exchange
who circulating sometimes is doubted the truth, even social media is used as a
place to make utterances of hatred towards certain minority groups, namely
LGBT. Teori Spiral of
Silence or Spiral silence that has been felt by minority groups, their existence was silent
without being able to issue opinions to avoid the fear of being isolated from
the majority group. For minority groups, the majority opinion does not need to
be refuted, because it can create debate to cause violence on minority groups.
Now, Social media can be used by minority groups to voice their aspirations,
which have so far only been buried. Although the impact they will receive
blasphemy, but because through social media, they can understand the blasphemy because
for minority groups like LGBT, express opinions and channel his voice is more
important.
Keywords: Social Media, LGBT, Minority
Group Openness.
Abstrak
Media sosial mulai dari facebook, youtube,
instagram maupun whatsapp dan banyak lagi, sudah menjadi bagian dalam kehidupan
sehari-hari bermasyarakat, mulai saling berbagi informasi bahkan hanya sekedar
menjalin komunikasi. Namun dampak dari maraknya media sosial sebagai pertukaran
informasi yang cepat membuat informasi yang beredar kadang diragukan
kebenarannya, bahkan media sosial dijadikan tempat untuk membuat ujaran
kebencian terhadap kelompok minoritas tertentu, yakni LGBT. Teori Spiral of
Silence, atau Spiral keheningan yang selama ini dirasakan oleh kelompok
minoritas, dimana keberadaan mereka hanya diam saja tanpa bisa mengeluarkan
pendapat untuk menghindari rasa ketakutan akan terisolasi dari kelompok
mayoritas. Bagi kelompok minoritas pendapat mayoritas tidak perlu disanggah,
karena dapat menciptakan perdebatan hingga menimbulkan kekerasan pada kelompok
minoritas. Media sosial kini dapat dimanfaatkan oleh kelompok minoritas untuk
menyuarakan aspirasinya yang selama ini hanya di pendam. Walau dapaknya mereka
akan menerima hujatan, namun karena melalui media sosial, hujatan tersebut
dapat mereka maklumi karena bagi kelompok minoritas seperti LGBT, menyampaikan
pendapat dan menyaluran suaranya adalah hal yang lebih penting.
Kata kunci: Media Sosial,
LGBT, Keterbukaan Kelompok Minoritas.
Pendahuluan
Media massa berkembang begitu cepat (Nuruzzaman,
2018), salah satunya adalah media sosial. Media
sosial sudah menjadi bagian dalam kehidupan dan tidak bisa terpisahkan dari
setiap kegiatan sehari-hari. Semua kalangan mulai dari anak-anak, remaja,
hingga dewasa menjadikan media sosial sebagai alat komunikasi yang efektif,
rasanya tidak ada orang yang tidak memiliki akun di media sosial, walau hanya
dalam bentuk email pun bisa dikategorikan bahwa media sosial memiliki peranan
yang penting dan menjadi satu kebutuhan dalam kehidupan bersosial di
masyarakat, maupun dalam sebuah kelompok-kelompok.
Facebook, twitter, instagram,
youtube, whatsapp dan masih banyak lagi aplikasi-aplikasi media sosial yang
menjadi perantara sebagai alat dalam menjalin komunikasi. Dikutip dari
websindo.com jumlah pengguna media sosial aktif per januari 2019 mencapai
seratus lima puluh juta pengguna, dan jika di persentasekan mencapai 56 %
pengguna dengan mengakses melalui mobile
phone sekitar seratus tiga puluh juta dan jika di persentasikan maka
mencapai 48% pengguna media sosial yang aktif mengakses memalui mobile phone.
Gambar
1 persentase jumlah pengguna media sosial
Persentase jumlah pengguna media
sosial akan terus meningkat seiring makin meningkatnya kebutuhan seseorang
dalam menjalin komunikasi ke lingkungan sosialnya. Mudahnya penggunaan serta
akses internet yang belakang ini menjamurnya hotspot-hotspot gratis yang
bertebaran di lingkungan sekolah, pusat perbelanjaan serta sarana umum dimana
banyak orang-orang berkumpul.
Meningkatnya jumlah pengguna media
sosial maka tidak heran jika semua platform penyedia jasa media sosial lebih
fokus untuk meningatkan performa serta tampilan media sosial dari masing-masing
platform tersebut agar makin mudah dan pengguna tetap menggunakan aplikasinya.
Jumlah aplikasi media sosial yang
semakin beragam, memungkinkan pengguna untuk memilih media sosial yang sesuai
dan banyak digunakan oleh kelompoknya, misal pada whatsapp yang merupakan
aplikasi wajib dan sudah pasti tersedia di setiap smartphone, serta penggunaan
yang mudah dan dengan biaya yang cukup murah membuat aplikasi ini begitu
digandrungi oleh setiap orang dalam melakukan komunikasi dengan teman atau
kelompoknya, namun berdasarkan data yang penulis ambil dari websindo.com per
Januari 2019, aplikasi yang banyak penggunanya adalah youtube, karena youtube
merupakan media sosial yang lebih menggunggulkan tampilan dengan
video-videonya. Selain itu pengguna yang menjadi kontribusi tetap video-video
di youtube maka akan mendapatkan imbalan sejumlah uang, untuk itu banyak
anak-anak remaja saat ini berlomba-lomba menjadi seorang youtuber yakni sebutan bagi pengguna aplikasi youtube yang turut
berkontribusi membagikan video yang mereka buat.
Gambar 2 most active
social media platforms
Menjadikan media sosial sebagai
sarana berbagi informasi dan menjalin komunikasi, menjadikan media sosial
sebagai sarana menyebar berita bohong (hoax),
menebar kebencian dan menjadi alat provokasi yang paling efektif karena
jangkauannya yang cukup luas ke lapisan masyarakat. Beberapa kelompok minoritas
yang sebelum munculnya media sosial hanya bungkam jika ada informasi yang tidak
sesuai karena merasa takut dan merasa kecil dan hanya mengikuti suara
mayoritas, kali ini turut bersuara menyampaikan ketidak setujuannya.
Kelompok yang selama ini hanya diam
dan tidak berani menyampaikan pendapatnya atau dalam teori komunikasi disebut
sebagai spiral of silence, merupakan
kelompok minoritas, mereka hanya akan diam dan setuju saja dengan apa yang
disampaikan oleh kalangan mayoritas, karena jika menyampaikan ketidak setujuan
maka akan mendapat tekanan-tekanan.
Media sosial saat ini dijadikan
sebagai tempat kelompok minoritas yang selama ini hanya diam, turut serta
menyuarakan suaranya, sehingga dalam media sosial kelompok minoritas menjadi
samar, karena dalam media sosial yang terjadi hanyalah kelompok pro dan kontra
saat menyampaikan pendapatnya. Terjadi pergeseran dari pola komunikasi sejak
media sosial dijadikan sebagai sarana berkomunikasi, menyampaikan pendapat
serta berbagi informasi.
Seperti screenshot dari akun
instagram bernama @fellfel yang membahas LGBT, terlihat dari komentar mayoritas
yang tidak mendukung LGBT, namun ada salah satu komentar seperti memberi
dukungan dari topik yang diangkat akun tersebut, lantas saja komentar yang memberikan
dukungan akan eksistensi LGBT tidak lepas dari hujatan akun lain yang mengikuti
diskusi tersebut.
Gambar
3 screenshot komentar pada Instagram
Kelompok minoritas sebelum adanya
media sosial hanya diam dan mengikuti apa yang mayoritas sampaikan, walau ada
ketidaksetujuan dari minoritas, hanya dapat menyampaikan ke sesamanya saja,
namun setelah adanya media sosial kaum minoritas tidak diam, dan berani
mengutarakan pendapatnya, walau mereka sadari akan mendapat hujatan dan
kalimat-kalimat tidak pantas dari kelompok mayoritas.
Kelompok minoritas merupakan
kelompok dimasyarakat yang keberadaannya kadang menjadi sebuah pertentangan
karena memiliki perbedaan dari kelompok mayoritas di masyarakat, kelompok
minoritas kadang termarjinalkan di lingkungaannya sendiri. Adanya perbedaan
sudut pandang, sikap maupun prilaku dikehidupan bermasyarakat.
Kelompok minoritas yang dimaksudkan
disini adalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau disingkat LGBT.
Keberadaan mereka sangat bertentangan di masyarakat terkait orientasi seksual
yang mereka miliki berbeda dengan masyarakat pada umumnya, stigma negatif yang
melekat terhadap keberadaan mereka sehingga sebagian besar masyarakat di
Indonesia memandang bahwa LGBT adalah acaman bagi masyarakat yang lebih di
dominasi oleh heteroseksual.
BBC News Indonesia mengungkapkan
berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkait
Kontroversi Publik mengenai LGBT di Indonesia yang dilakukan sebanyak tiga
kali, yaitu pada Maret 2016 dan Desember 2017, masyarakat yang memandang
kelompok LGBT sebagai ancaman meningkat. Pada periode survei terakhir, sekitar
46,2% responden menganggap LGBT cukup mengancam, sementara 41,4% lainnya
menyatakan sangat mengancam. Bahkan dalam kategori lainnya, 41,1% responden
menilai kelompok LGBT tidak berhak hidup di Indonesia. (bbc.com 4 April 2019). LGBT
di sangat ditentang keberadaannya di Indonesia, mereka diperlakukan seperti
kriminal, seperti yang terjadi di wilayah Aceh, seorang LGBT di pangkas
rambutnya karena melakukan kegiatan LGBT.
Survei diatas cukup menjelaskan
mengapa kelompok minoritas seperti LGBT lebih memilih diam, dan lebih menuruti
pendapat dari kelompok mayoritas, dalam lingkungan masyarakat keberadaan LGBT
tidak terlalu mencolok, lain halnya jika di media sosial, banyak para pelaku LGBT
secara terang-terangan mengakui bahwa dirinya menjadi bagian dalam kelompok LGBT.
Berdasarkan fenomena munculnya
sikap kelompok minoritas untuk menunjukkan eksistensinya di dorong oleh
merebaknya aplikasi-aplikasi sosial media di berbagai kalangan untuk
berkomunikasi dan berbagi informasi, maka penulis mencoba mengungkap fenomena
dimana kelompok minoritas seperti LGBT tidak hanya diam, namun dapat
mengungkapkan pendapatnya walau hanya melalui media sosial seperti di
Instagram.
Metode
Penelitian
Dalam mencari jawaban atas fenomena
yang penulis angkat, maka penulis� akan
menggunakan Metode Penelitian kualitatif karena memerlukan data yang dikumpulkan
untuk menjawab fenomena keterbukaan kelompok minoritas dalam berkomunikasi di Media Sosial. Adapun
jenis penelitian yang peneliti gunakan untuk mengungkap fenomena ini adalah
penelitian deskriptif.
Peneliti menggunakan model penelitian
deskriptif yang mengemukakan bahwa ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki,
teknik dan alat yang digunakan, serta tempat dan waktu (Nazir, 1988).
Jenis penelitian deskriptif yang peneliti gunakan berupa kajian pustaka,
menurut� (Kartono, 1980)
bahwa tujuan penelitian perpustakaan adalah untuk mengumpulkan data dan
informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang ada di perpusatakaan,
hasilnya dijadikan fungsi dasar dan alat utama pagi praktek penelitian di
lapangan. Sehingga untuk mengetahui timbulnya sebuah fenomena yang terjadi di
kelompok minoritas yakni kelompok minoritas LGBT dalam menyampaikan pendapat di
media sosial terkait ketidaksetujuannya yang selama ini hanya terdiam, kini
berani terbuka dalam menyampaikan eksistensi mereka.
Hasil dan
Pembahasan
1.
Fenomena
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan bahwa fenomena merupakan hal-hal yang
dapat disaksikan dengan pancaindra, dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah,
seperti fenomena alam; gejala; lalu dalam KBBI juga menerangkan bahwa fenomena
adalah orang (kejadian, benda, dsb) yang menarik perhatian atau luar biasa sifatnya;
sesuatu yg lain dp yg lain; fakta; kenyataan.
Menurut
(Ilmawati Fahmi Imron dan Aka, 2018)
fenomena sosial adalah
semua prilaku yang dipengaruhi atau mempengaruhi dilakukan oleh seseorang
maupun kelompok tertentu dari/atau terhadap seseorang atau kelompok lain. Fenomena
sosial dapat diartikan sebagai peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam
kehidupan bermasyarakat. Fenomena sosial terjadi ketika manusia menganggap segala
sesuatu yang dialaminya adalah sebuah kebenaran mutlak. Menurut Soekanto dalam (Ilmawati Fahmi Imron dan Aka, 2018)
mendefinisikan bahwa fenomena sosial merupakan masalah sosial yang berupa
ketidaksesuaian antara masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang membahayakan
suatu kehidupan kelompok sosial.
Bertolak
dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa fenomena merupakan sebuah peristiwa
yang terjadi di lingkungan sosial dimana hal tersebut dapat mempengaruhi
seseorang atau kelompok tertentu dan dapat diamati di lingkungan sosial. Bila
dikaitkan dengan permasalahan yang penulis angkat, maka pengungkapan
ketidaksetujuan dari kelompok minoritas merupakan sebuah fenomena dalam
lingkungan sosial. Awalnya keberadaan kelompok minoritas LGBT di masyarakat
sangat ditentang, bahkan hingga saat ini, namun media sosial yang berkembang di
era ini memfasilitasi kelompok minoritas tersebut untuk bersuara.
Meskipun
penyampaian tersebut disampaikan melalui media sosial, setidaknya telah terjadi
pergeseran nilai terhadap teori spiral of
silence yang selama ini diartikan sebagai kelompok sunyi atau diam dan
hanya menuruti pendapat kelompok mayoritas, namun faktanya saat ini dimana
media sosial telah menjadi bagian kehidupan di masyarakat, kelompok minoritas
dapat menyampaikan pendapatnya yang mereka sadari bertentangan dengan pendapat kelompok
mayoritas di masyarakat.
2.
Media
Sosial
Media
sosial bisa dilihat dari perkembangan bagaimana hubungan individu dengan
perangkat media. Karakteristik kerja komputer dalam Web 1.0 berdasarkan
pengenalan individu terhadap individu lain (human
cognition) yang berada dalam sebuah sistem jaringan, sedangkan Web 2.0 berdasarkan
bagaimana individu berkomunikasi (human
communication) dalam jaringan antarindividu. Dalam Web 3.0 karakteristik
teknologi dan relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana manusia (users) bekerja sama (human co-operation), Fuch dalam (Nasrullah, 2017).
Media
sosial dapat dikatakan sebagai munculnya media baru untuk menyampaikan pesan
dari komunikator ke komunikan, yang sebelumnya menggunakan media konvensional
seperti pesawat telepon ataupun kertas surat, kini penyampaian pesan bisa
dilakukan dengan menggunakan media sosial sebagai dampak munculnya teknologi
internet yang membuat setiap orang dapat berkomunikasi secara global tanpa
batas.
Walther
dalam (Ibrahim & Akhmad, 2014)
menggunakan istilah bagi seseorang yang merasa komunikasi melalui media sosial
lebih menarik dari pada komunikasi langsung tatap muka (face to face communication) dengan menggunakan istilah komunikasi
hiperpersonal (hyperpersonal
communication), untuk menunjukkan aktivitas komunikasi sosial dengan
perantaraan komputer atau smartphone
yang dianggap lebih memikat daripada komunikasi langsung. Tanpa ada batasan inilah
sehingga penyampaian informasi kadang bersifat menghasut, sehingga media sosial
digunakan juga sebagai media penyampaian berita palsu atau hoax serta digunakan
sebagai media untuk menyebar hasutan dan provokasi yang menyulut kebencian antar
kelompok satu dengan kelompok lain.
Walau
di Indonesia memiliki Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), yang
mengatur lalu lintas komunikasi dan informasi yang tersebar di media sosial namun
tidak akan membuat jera seseorang untuk menyebar berita palsu dan menebar
kebencian. Protes dan cacian kerap mengisi ruang-ruang komentar di media sosial
mengenai eksistensi kelompok minoritas yakni LGBT. Seperti yang tercantum dalam
UU ITE Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 yang berbunyi
�Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 Miliar�.
Meskipun
pemerintah telah menerapkan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE)
untuk menjerat pengguna media sosial agar tidak menyebarkan kebencian terhadap
golongan tertentu, namun komentar-komentar di media sosial yang berisi cacian
dan ujaran kebencian tetap saja mewarnai topik yang membahas mengenai LGBT.
Namun, munculnya media sosial juga dimanfaatkan beberapa kelompok minoritas yang
selama ini bungkam, berani menyampaiakan aspirasinya, walau mereka tahu akan
mendapat cercaan dan kata-kata tidak pantas dari kelompok mayoritas, namun hal
tersebut tidak menghancurkan tekad mereka untuk menyatakan eksistensinya, dalam
hal ini kelompok minoritas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau
disingkat LGBT.
Instagram
merupakan aplikasi media sosial yang peneliti gunakan untuk mendapatkan sample
penelitian, peneliti dapat melakukan tangkapan layar (Screenshot) yang sesuai dengan permasalahan yang peniliti angkat,
karena instagram merupakan salah satu aplikasi yang paling diminati oleh
pengguna internet untuk membuktikan bahwa media sosial kini sudah menjadi media
efektif kelompok minoritas yang selama ini hanya diam dan mengikuti pendapat
mayoritas saja, namun kali ini kelompok minoritas dapat menunjukkan
eksistensinya ke khalayak mengenai keberadaan mereka, yang bangga menjadi
bagian LGBT.
Seperti
tangkapan layar berikut, yang meng-gambarkan
eksistensi kelompok minoritas LGBT menyampaikan aspirasinya bahwa mereka juga
punya hak, gambar tersebut peneliti ambil dari akun instagram @generasipelangi:
Sumber: Instagram akun @generasipelangi
Gambar 4 screenshot postingan pada Instagram
3.
Kelompok
Minoritas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT)
Singkatan
LGBT merupakan istilah yang digunakan pada awal tahun 90-an sampai sekarang. LGBT
diambil dari singkatan LGB yang awal mulanya digunakan sebagai pengganti ungkapan
�gay community� (Komunitas Gay).
Dewasa ini LGBT dipakai untuk menunjukkan seseorang atau siapapun yang memiliki
perbedaan orientasi seksual dan indentitas gender berdasarkan kultur
tradisional, yaitu:
heteroseksual (Sinyo, 2014).
Ramainya
pemberitaan selebritis Lucinta Luna yang menolak dikabarkan sebagai wanita
transeksual sempat menghebohkan pemberitaan di media sosial maupun media
konvensional, meskipun bukti-bukti kuat yang membenarkan bahwa Lucinta Luna
adalah wanita transeksual namun tetap menolak sehingga muncullah
hujatan-hujatan kebencian yang berimbas kepada kelompok LGBT.
�����������
Sumber: Akun Instagram @tribunstyle
Gambar 5 screenshot
komentar terhadap seorang artis
Tidak
hanya sebatas pemberitaan yang terkait penolakan Lucinta Luna sebagai wanita
transeksual, namun juga tindakan-tindakan kriminal yang jika dilakukan oleh
kelompok LGBT maka masyarakat pun beramai-ramai menghujat bukan hanya kepada
tindakan pelaku namun juga ke orientasi seksual pelaku, meskipun orientasi
heteroseksual pun juga melakukan tindakan keriminal. Seperti komentar terhadap
kasus pembunuhan guru tari Budi Hartanto yang melibatkan asmara sesama jenis.
Munculnya
hinaan serta cacian yang diterima oleh kelompok minoritas LGBT semakin
menyudutkan keberadaan mereka, sehingga kelompok minoritas LGBT merasa perlu
untuk berpendapat dan mengungkapkan eksistensi mereka, dan menjelaskan perasaan
yang mereka rasakan sebagai LGBT, walau mereka sadari mereka tetap akan di
sudutkan.
�������������������������������������������������������������
�����������
Sumber:
Instagram akun @generasipelangi �������������� Sumber:
cnnindonesia.com
Gambar 6 screenshot bulliying kasus LGBT
Diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti LGBT saat ini masih tetap terjadi, walaupun mereka sudah berani buka suara dan menyatakan orientasi seksualnya, namun bukan berarti masyarakat Indonesia bisa menerima keberadaan mereka, seperti yang terjadi saat ini dimana banyak larangan LGBT ikut serta dalam mengikuti tes masuk sebagai Calon Pengawai Negeri Sipil (CPNS), seperti yang dilansir dari CNN Indonesia tanggal 22 November 2019, bahwa Kejaksaan Agung Menolak Pelamar CPNS LGBT.
4.
Teori
Spiral of Silence
Teori
spiral of silence merupakan teori yang digunakan untuk menggambarkan kelompok
minoritas yang hanya terdiam saat ada pendapat atau sesuatu yang bertentangan
dengan pandangan atau hati nurani mereka, kelompok minoritas terpaksa diam
karena merasa tidak ada dukungan, dan hanya menjadi pengikut saja terhadap
kelompok mayoritas. Berikut
gambaran Spiral of Silence menurut
Neumann dalam (Rusliana, Poppy dan Lestari, 2019)
Gambar 7 Spiral of Silence
Berdasarkan gambar di atas dapat terlihat
bahwa menurut pendapat minoritas: seseorang yang tadi ingin beropini, menjadi
menahan opini itu, karena terpaku pendapat dari publik yang mayoritas dan media
massa yang berbeda dengannya. Jika tetap memaksakan maka ada kemungkinan akan
terisolasi dari kelompok sosialnya.
Spiral of
Silence merupakan sebuah teori media yang
memberikan perhatiannya lebih pada pandangan kelompok mayoritas dan menekan
pandangan minoritas, (West, Richard dan Turner, 2013)
menyatakan bahwa media akan berfokus lebih pada pandangan kelompok mayoritas,
dan meremehkan pandangan kelompok minoritas. Mereka yang minoritas akan menjadi
lebih tidak asertif dalam mengkomunikasikan opini mereka, dan karenanya
menyebabkan munculnya sebuah spiral komunikasi yang bergerak ke bawah.
Teori
ini menjelaskan bahwa setiap orang memiliki pendapat masing-masing tentang
suatu isu, tetapi setiap orang memiliki rasa takut untuk mengemukakan
pendapatnya. Dalam teori keheningan ini kita akan tahu bahwa suara mayoritas
akan membungkam suara minoritas hingga tidak mampu berkata-kata (Oktarina & Abdullah, 2017).
Perlahan
tapi pasti suara LGBT yang selama ini tertutup oleh suara kelompok mayoritas
telah bergeser secara perlahan sejak maraknya media sosial, banyaknya akun-akun
dimana pemilik akun tersebut merupakan seorang LGBT sudah mulai berani
menunjukkan eksistensinya dan memiliki banyak pengikut (followers). Seperti akun @mimiperi, atau @lucintaluna selain itu
akun-akun komunitas LGBT pun marak di media-media sosial khususnya instagram
seperti akun @generasipelangi, @beranibangga dan lain sebagainya.
Gambar 8 screenshot postingan selebgram
Potongan-potongan
gambar hasil screenshot tersebut
merupakan akun-akun seorang LGBT dan juga akun
komunitas LGBT di instagram. Hal ini merupakan bukti bahwa kelompok minoritas
LGBT saat ini sudah berani untuk mengaktualisasikan diri mereka di tengah
masyarakat yang lebih mengakui orientasi heteroseksual. Teori Spiral of Silence belakangan ini menjadi
samar karena dalam media sosial dimana kelompok minoritas yang sepatutnya hanya
diam, kini berani bersuara. Setiap komentar bahkan hanya terjadi perdebatan antara
pihak yang pro dan kontra akan eksistensi LGBT, kelompok minoritas LGBT tidak
lagi mengikuti suara kelompok mayoritas di masyarakat, kali ini mereka berusaha
memperjuangkan hak mereka atas keberadaannya di tengah masyarakat.
Kesimpulan
����������� Media
sosial telah menjadi bagian dari kehidupan di masyarakat, setiap orang
dipastikan memiliki akun di media sosial bahkan berdasarkan data statistik
pengguna media sosial aktif per januari 2019 mencapai seratus lima puluh juta
pengguna. Tingginya pengunaan media sosial sehingga penggunaan media sosial
kadang tidak terkontrol dalam menjalin komunikasi, apalagi dalam kolom komentar
dimana pembahasan kadang menyinggung sebuah kelompok minoritas, dalam hal ini
LGBT.
Teori Spiral of Silence menggambarkan bahwa kelompok minoritas akan
bungkam dan tidak berani mengutarakan pendapat sehingga hanya mengikuti suara
mayoritas di masyarakat, hal ini dilakukan agar mereka terhindar dari konflik. Seiring
perkembangan teknologi komunikasi, dimana media sosial makin menjamur membuat
jalinan komunikasi semakin mudah. Media sosial yang semakin menjamur di gunakan
oleh kelompok minoritas untuk mengaktualisasikan diri mereka yang selama ini
hanya bungkam dan menuruti apa yang dikehendaki oleh kelompok mayoritas.
Saat ini di media sosial seperti
instagram menjadi salah satu media untuk kelompok minoritas yakni LGBT dalam mengaktualisasikan
keberadaan mereka. Walaupun dalam kolom komentar dimana setiap topik yang
membahas LGBT selalu mendapat pertentangan dari kelompok mayoritas, namun
kelompok LGBT sudah bisa membuka suara dan berupaya membela hak mereka walau
disadari akan mendapat pertentangan.
Hal ini membuktikan bahwa kelompok minoritas
mulai berani bersuara, berbeda saat media sosial belum ada. Eksistensi
keberadaan kelompok LGBT walau masih mendapat berbagai pertentangan dari kelompok
mayoritas, namun saat ini mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka di media
sosial. Segala macam pertentangan dan penolakan akan keberadaan kelompok LGBT masih
tetap ada, namun kelompok LGBT berusaha menunjukkan eksistensinya, sehingga
terkadang menjadi pro dan kontra mengenai keberadaan kelompok minoritas seperti
LGBT ini sehingga mengaburkan arti dari kelompok minoritas yang hanya diam dan
menuruti pendapat kelompok mayoritas agar terhindar konflik dan terisolasi dari
kelompok mayoritas seperti dalam teori komunikasi yakni Spiral of Silence.
BIBLIOGRAFI
Ibrahim, I. S., & Akhmad, B. A. (2014). Komunikasi dan
Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Ilmawati Fahmi Imron dan Aka, K. A. (2018). Fenomena
Sosial.
Kartono, K. (1980). Pengantar metodologi research sosial.
Alumni.
Nasrullah, R. (2017). Peer Riview Etnografi Virtual Riset
Komunikasi Budaya Sosioteknologi Di Internet (Reviewer 1). Simbiosa
Rekatama Media.
Nazir, M. (1988). Metode Penelitian Hukum. Cet ke-3.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nuruzzaman, M. (2018). Terorisme dan Media Sosial Sisi Gelap
Berkembangnya Teknologi Informasi Komunikasi. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 3(9), 61�76.
Oktarina, Y., & Abdullah, Y. (2017). Komunikasi Dalam
Perspektif Teori Dan Praktik. Deepublish.
Rusliana, Poppy dan Lestari, P. (2019). Teori Komunikasi.
PT. RajaGrafindo Persada.
Sinyo. (2014). Anakku Bertanya Tentang LGBT, Jakarta. In PT.
Elex Media Koputindo, Kompas Gramedia.
West, Richard dan Turner, L. H. (2013). Pengantar Teori
Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika.