Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�����
e-ISSN : 2548-1398
�����
Vol. 5 No. 3 Maret 2020
STEREOTYPE PEREMPUAN DI MEDIA
FILM: OBYEK, CITRA DAN KOMODITI
Dwi Kartikawati
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta
Email: [email protected] �
Abstract
Women and films. Film
as a media still places women full of stereotypes. This research focuses on the
stereotypes of women in film media who studied was the film Love For Sale. This
purpose of research is to knoww the signs and messages that stereotype women in
the film. The research approach used is qualitative by the Roland Barthes
Semiotics method which analyzes using two-graded meaning, that is� the meaning of denotation, connotation and
myth. The results showed that the signs of the female stereotype in the film
Love For Sale were signs as objects that is, the object of men's desire for
satisfaction, then as an image, such as: image frames,
image fusion, dish images and social images. And the third as a commodity that
is realized through physical commodities, and behavior. Thus the stereotype
reinforces the myth of women are subordinate parties which leads women as
objects, images and commodities which strengthen the inauguration of men's
hegemony on women.
Keywords: Stereotype, Woman,
Media
Abstrak
Perempuan dan film. Film sebagai
media masih menempatkan posisi perempuan penuh dengan� stereotype.�
Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana stereotype perempuan di media
Film yang dikaji adalah Film Love For Sale. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanda-tanda
dan pesan pesan yang mestereotipekan perempuan dalam film tersebut.� Pendekatan�
penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode Semiotika Roland Barthes, yang menganalisis menggunakan dua pemaknaan
bertingkat, yaitu makna denotasi, makna konotasi dan mitos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanda-tanda
stereotype perempuan dalam Film Love For Sale ini adalah tanda sebagai obyek
yaitu obyek hasrat kepuasan laki-laki, kemudian sebagai citra, antara
lain:� citra pigura, citra peraduan,
citra pinggan dan citra pergaulan. Ketiga adalah sebagai komoditi yang diwujudkan melalui komoditi fisik, dan
perilaku. Dengan demikian stereotype tersebut menguatkan mitos perempuan adalah
pihak yang subordinate yang menggiring perempuan sebagai obyek, citra dan
komoditi yang menguatkan pengukuhan hegemoni laki-laki atas perempuan.
Kata kunci: Stereotype, Perempuan, Media
Pendahuluan
Ketika berbicara mengenai gender, maka gender merupakan sifat
yang melekat pada laki-laki ataupun perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial dan budaya. Pada kasus
ini seseorang trans gender khawatir akan terkena virus AIDS akan cenderung peka
terhadap berbagai infeksi kuman apapun karena kekebalan tubuh yang melemah (Pratama, 2018). Perempuan masih distereotipkan sebagai perempuan yang indah
yang membawa keindahan itu ke dalam sifat-sifat di sekitar keindahan tersebut, seperti perempuan harus
tampil menawan, pintar mengurus rumah tangga, memasak, dapat menyenangkan pria,
pantas diajak ke berbagai acara, cerdas dan sosok ideal lainnya. Stereotype ini menjadi ide dan citra
sekaligus eksploitasi perempuan dan itu ditampilkan melalui media.
Stereotype distandarisasi pada konsepsi orang,
terutama didasarkan pada individu yang termasuk dalam kategori (biasanya ras,
bangsa, peran profesional, kelas sosial, atau gender) atau kepemilikan
ciri-ciri karakteristik melambangkan salah satu kategori ini (Schweinitz, 2011). Karakteristik Stereotip dianggap:�
(1) relatif permanen sebagai alat mental individu (stabilitas); (2)
didistribusikan secara intersubjektif di dalam formasi sosial tertentu, yang
mereka anggap berfungsi membangun konsensus dan standardisasi (kesesuaian); oleh
karena itu, (3) mereka tidak jarang mengandalkan pengalaman pribadi tetapi
terutama dikomunikasikan secara sosial; selain itu, (4) mereka terbatas pada
kombinasi sederhana dari beberapa karakteristik (reduksi) dan (5) disertai
dengan perasaan kuat (pewarnaan afektif). Akhirnya, (6) berfungsi secara
otomatis, stereotip dianggap secara substansial mengganggu proses persepsi dan
penilaian, yang mempengaruhi� dan bahkan
menentukan (memiliki efek klise). Oleh karena itu umumnya terkait dengan
membuat penilaian, dan (7) stereotip sering menganggap status penilaian yang
tidak pantas (tidak memadai) terhadap sesuatu. Stereotype yang di makud dalam penelitian ini adalah stereotype
perempuan di media. Stereotype muncul
di media yang dimaksud, �bisa di media
iklan, media televisi, media film dan lain-lain.
Film umumnya
dibangun dengan banyak tanda-tanda yang bekerja dengan sistem tanda dalam upaya
menghasilkan efek, dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun
edukatif, bahkan persuasif (Ardianto & Komala, 2004). Isi pesan dari film tersebut dipercaya memiliki efek dan
mempengaruhi audience-nya. Pada
realita yang ada media film justru seringkali memunculkan� jurang pemisah yang lebar antara berbagai hal
yang ditampilkan dalam media dengan realita yang benar-benar dirasakan. Sayangnya
gambaran perempuan di dunia perfilman baik nasional atau internasional lebih
sering mendapatkan stereotype yang
negatif. Perempuan dianggap hanya menjual kecantikan yang dimilikinya,
keseksian yang terpancar dari dirinya dan tingkah laku yang di inginkan oleh
para lelaki saat tampil di media perfilman tersebut. Kehadiran perempuan yang
begitu lama dalam sejarah film ternyata belum bisa menghapus gambaran perempuan
dalam stereotype yang negatif
tersebut. Tampilan perempuan masih�
kurang berimbang antara�
menunjukkan perempuan dalam sosok yang pintar dan karier yang baik, atau
menjadi pemimpin yang berhak mendapat penghormatan atas keberadaannya. Pandangan
masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang
selama ini digambarkan melalui film. Film menjadi alat untuk memenuhi
kesenangan kaum lelaki. Film memang mampu membentuk konstruksi masyarakat
temtang suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur Alex, 2013). Secara definisi �film
adalah gambar bergerak. Secara esensial dan substansial film memiliki power yang akan berimplikasi terhadap
komunikan masyarakat (Sutanto, 2017). Film
secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yaitu unsur naratif (cerita)
dan unsur sinematik. Dua unsur tersebut saling berinteraksi dan
berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film� (Pratista, 2008).
Unsur naratif adalah aspek-aspek
ceritanya. Sementara unsur sinematik adalah aspek-aspek teknisnya, seperti
kostum, make-up, atau tata cahaya.
Kedua unsur tersebut harus dapat berjalan seimbang agar dapat menghasilkan film
yang bagus dan menarik. Dalam film ada teknik pengambilan gambar, yang dilihat
dari �dimensi jarak kamera terhadap objek
menurut (Sobur Alex, 2013) yaitu:� Extreme Long Shot, Long Shot, Medium Long
Shot, Medium Close-up, Close-up, Extreme Close Up. Dengan kekuatan film
sebagai media komunikasi, maka film sangat berpotensi sebagai agen dalam pembentukan
stereotip terhadap perempuan, sebagaimana yang dinyatakan dalam riset dari �(Perdana, 2014) bahwa apa yang disosialisasikan oleh media akan
membentuk stereotip tertentu. Stereotip merupakan bagian dari budaya yang
diteruskan dan dipercayai oleh masyarakat tertentu, dalam hal ini film adalah
medianya.
Tinjauan pada penelusuran
penelitian-penelitian mengenai perempuan yang menunjukkan perempuan distereotipkan
�negatif di media,� dapat kita lihat dari Penelitian (Anggraini, 2016). Yang Berjudul �Stereotip Perempuan Dalam Film Get Married�. Dalam penelitian ini, film menjadi suatu pelajaran
agar dapat memaknai kesetiaan dari persahabatan dan perilaku pada seorang
perempuan tomboi. Menurut mitos perempuan di film ini menunjukkan sifat
perempuan Betawi yang asli karena meskipun menyukai lelaki dia tetap menunggu
lelaki itu yang datang bukan mengejar duluan.�
Kemudian� penelitian dari (Ghassani & Ghassani, 2010). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Diponegoro Semarang. Dengan judul �Kekerasan Terhadap Perempuan
(Analisis Semiotika Film Jamila dan Sang Presiden). Hasil penelitian (Ghassani & Ghassani,
2010) menyimpulkan bahwa kekerasan
terhadap perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti kekerasan
fisik, seksual, ekonomi, perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, dan
psikologis. Kemudian penelitian dari �(Irawan, 2014), berjudul: �Representasi Perempuan dalam Industri Sinema. Hasil
penelitian (Irawan, 2014) menggambarkan lamanya perempuan hadir
dan berperan serta kuantitas jumlah mereka yang berimbang dengan laki-laki
dalam industri sinema belum banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan
kualitas industri perfilman.
Pada riset penulis
ini dengan tujuan untuk �mengetahui bagaimana
stereotype perempuan digambarkan
dalam media Film Love for Sale. Film
ini di sutradarai Andibachtiar
Yusuf, yang ditonton di awal pemutaran tahun 2018 mencapai 174 ribu penonton. Film Love for Sale pada Festival Film Bandung
(FFB) 2018, meraih lima nominasi, yaitu untuk: Kategori Film Terpuji,
Pemeran Utama Pria Terpuji (Gading Marten), Pemeran Pembantu Pria Terpuji (Verdi
Solaiman), Penulis Skenario Terpuji (Andibachtiar Yusuf dan M. Irfan Ramli),
dan Penata Artistik Terpuji (Adam Faozan Sudrajat).
Sekilas cerita film
Love For Sale menggambarkan bagaimana
tokoh Arini yang memiliki posisi tawar yang tinggi ketika �bekerja� untuk
Richard. Yang di maksud bekerja di sini,�
Arini bekerja �sebagai �teman kencan, teman untuk di ajak datang ke
pernikahan, dan lain-lain, namun pada kenyataannya justru melalui film ini
semakin menguatkan strereotype negatif
pada pihak perempuan. Kontrak kerja
Arini untuk menemani Richard sebanyak 45 hari. �
Perempuan seolah-olah menjadi alat pendukung kesuksesan
sebuah film. Gambaran seorang wanita dalam media massa hanya sering dijadikan sebagai
bahan eksploitasi semata tanpa mengindahkan etika atau keberadaannya dalam
masyarakat, hal tersebut menjadikan wanita dalam media massa hanya sebagai
stereotip yang identik pada tubuh dan seksualitas semata. Keterlibatan perempuan
�dalam film �di percaya mampu menguatkan isi pesan dalam film.
Dalam kacatama
feminisme, yang memandang� ketimpangan
posisi perempuan dibandingkan posisi pria di masyarakat. Pria digambarkan
sebagai sosok yang mendominasi (suferior) dan perempuan sebagai sosok
yang didominasi (inferior). Maka riset ini akan membedah tanda-tanda stereotip
perempuan melalui analisis semiotika Roland Barthes yang mengarah pada adanya
stereotip yang muncul yaitu sebagai obyek, citra dan komoditas. Analisis
semiotika Roland Barthes merupakan
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka Fokus dalam penelitian ini
adalah �Bagaimana stereotipe perempuan yang ditampilkan dalam Film Love for Sale?. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan stereotpe
dan mengetahui posisi perempuan dalam Film
Love for Sale. Sedangkan manfaat penelitian secara akademis dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan memperkaya pembendaharaan kepustakaan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kajian semiotika. Manfaat praktisnya
adalah diharapkan ditujukan pada pihak produser film, masyarakat menjadi bahan
pertimbangan dalam memilih dan menikmati film agar tidak terjebak memilih film
yang tidak memiliki manfaat yang justru menguatkan stereotype negatif pada perempuan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam Studi
ini menggunakan metode deskriptif analitik yang bertujuan untuk menggambarkan
bentuk-bentuk stereotype perempuan
dalam Film Love for Sale dengan
metode analisis semiotika Roland Barthes. Hubungan antara petanda dan penanda
tidak terbetuk secara alamiah, tetapi bersifat arbitrer yakni hubungan yang
terbentuk berdasarkan konvensi. Maka dengan paradigma konstruktivisme peneliti
menginterpretasikan stereotype perempuan
dalam media Film Love For Sale yang
merupakan hasi dari konstruksi realitas yang dibangun melalui simbol dan tanda
yang konotatif dan denotatif. Penanda pasa dasarnya memberi peluang petandan
sehingga bersifat subyektifis.
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani,
Semeion yang berarti �tanda� (Wibowo, 2011). Tanda itu sendiri di definisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain. Secara terminologis, semiotik dapat di definisikan sebagai ilmu
yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa serta seluruh
kebudayaan sebagai tanda.
Barthes ini terdapat istilah mitos. Mitos
bukanlah tanda yang netral, melainkan menjadi penanda untuk memainkan
pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya.
Walaupun� demikian, kandungan makna
mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah, namun dapat diartikan
bahwa penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks
membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga
politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi
tambahan yang disebut naturalisasi. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah
pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sausure
mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes
menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi
Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos
ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif tidak
hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya.
language |
2 signified |
|
|
3
|
II SIGNIFIED |
||
MITHHHHH |
�������������
���������� ���������Gambar
1 Model Semiologi Roland Barthes
Pada tingkatan
pertama (Language) Barthes
memperkenalkan signifier (1) dan signified (2), yang gabungan keduanya
menghasilkan sign (3) pada tingkatan
pertama. Pada tingkatan kedua, sign
(3) kembali menjadi SIGNIFIER (I) dan
digabungkan dengan SIGNIFIED (II) dan
menjadi SIGN (III). Sign yang ada ditingkatan ke dua inilah
yang berupa MYTH (mitos) disebut juga
sebagai metalanguage.
Hasil
dan Pembahasan
Pada hasil penelitian ini, Peneliti mendeskripsikan
terlebih dahulu sinopsis singkat dari cerita film ini. Film Love for Sale merupakan film
drama romantis Indonesia yang dirilis pada 15
Maret 2018 dan disutradarai oleh Andibachtiar Yusuf.
Film ini dibintangi oleh Gading
Marten dan Della
Dartyan. Film ini
merupakan film debut bagi Della Dartyan dan film pertama Gading Marten sebagai
pemeran utama. Love For Sale juga
hadir dalam bentuk novel yang ditulis oleh Endik
Koeswoyo.
Gading Marten memenangkan Piala
Citra untuk Aktor Terbaik
untuk performanya di film ini, sementara Della
Dartyan mendapatkan
nominasi Aktris
Terbaik dan filmnya
sendiri mendapat nominasi Skenario Asli
Terbaik.
1.
Sinopsis Film Love For
Sale
Richard Achmad dijuluki jomblo akut karena terlalu lama hidup sendiri.
Suatu ketika teman-temannya memberi tantangan padanya: �Dua minggu lagi aku
akan menikah, bawa pacarmu atau harga dirimu yang kami pertaruhkan.� Maka
segala cara diupayakan, sampai kemudian sebuah situs kencan mempertemukan
dirinya dengan Arini Kusuma. Kesalahan administrasi membuat Richard terpaksa
membiarkan Arini berlama bersamanya, setidaknya selama 45 hari sesuai masa
kontrak. Perlahan benih asmara pun tumbuh hingga berhubungan intim. Richard
terkesan dengan pemahaman Arini pada dirinya, pada hobinya bahkan pada selera
makannya. Ia pun jatuh cinta pada Arini. Sesuatu yang tak pernah terjadi selama
20 tahun terakhir. Richard pun melamar Arini untuk selamanya bersamanya. Namun
45 hari berlalu dan Arini hilang tanpa pesan. Dan Richard pun sedih dan kecewa.
2.
Hasil analisis semiotika
Pada hasil analisis, memfokuskan identifikasi tanda pada three order of
signification, yaitu denotasi yaitu makna yang terlihat, kemudian konotasi
sebagai perasaan dibalik makna yang terlihat, dan mitos sebagai justifikasi
yang bersifat kekal. Adapun hasil temuan dan analisis sebagai berikut:
a)
Sebagai Obyek
1)
Scene menit ke 24.38: Penampilan Perempuan adalah Obyek hasrat
kepuasan Laki-laki
Tabel 1 Perempuan� sebagai
Obyek Hasrat Kepuasan laki-laki
Visual |
Verbal |
Teknik Kamera |
|
Richard menerima telpon dari pihak aplikasi dan menurut
pihak alikasi mengatakan: �menurut catatan kami. Bapak sudah menginstall
aplikasi 9.01, �nah kami ingin melanjutkan
apakah bapak mencari teman kencan, atau sekedar menemani pernikahan. Nah
gimana?., kemudian Richard menjawab: �yang menarik sih�. Untuk tujuan kencan
semalam aja sih.� Katanya. |
Close Up |
Denotasi
|
Richard menerima telpon sambil meilih-nilih foto-foto
cantik dari aplikasi sambil minum kopi yang berasal dari aplikasi kencan. |
|
Konotasi
|
Richard membutuhkan perempuan sebagai obyek �kencan� atau
menemani dia yang sudah lama sendiri (menduda) |
|
Mitos
|
Stereotype perempuan menjadi obyek hasrat kepuasan bagi laki-laki
menguatkan mitos �perempuan yang menarik yang melayani� pria adalah yang cantik, muda, menarik. Konstruksi sosial tentang
seksualitas tersebut menyebabkan perempuan adalah subordinate. |
Sebagai Obyek
Scene menit ke 55.15: Tubuh perempuan adalah obyek seksual pria
Tabel 2 Perempuan� sebagai Obyek
Seksual
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Suara musik saja |
Medium Close Up |
Denotasi |
Richard dan Arini sedang ditempat tidur berciuman, tanpa
busana. |
|
Konotasi |
Arini dan Richard berhubungan intim layaknya suami istri |
|
Mitos |
Perempuan menjadi obyek seksual laki-laki---ideologi
patriarki |
b) Sebagai
Citra
a.
Scene menit ke 54.16: Citra Pigura adalah citra perempuan
sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh ideal, perempuan digambarkan sebagai
makhluk yang harus memikat, sebagai makhluk yang cantik dan harus selalu
menjaga kecantikannya.
Tabel 3: Perempuan� sebagai Citra
Pigura
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Richard mengajak Arini ke pernikahan temennya yang bernama
Rudi. Arini secara fisik cantik, tinggi, langsing. Kata Richard ke
teman-temannya: �Kan aku udah bilang aku punya pacar�. Richard sambil memperlihatkan Arini ke teman-teman dengan
merangkul mesra. . |
Medium Long Shot |
Denotasi
|
Richard memeluk Arini yang tubuhnya langsing dan cantik
untuk dikenalkan ke teman temannya |
|
Konotasi
|
Arini sebagai �pacar� yang memikat dari tampilan fisiknya |
|
Mitos
|
Perempuan bercitra pigura bagi laki-laki perempuan untuk
tampil dengan memikat, karenanya tuntutan cantik,� muda, langsing dan wajah yang menarik |
b.
Scene menit ke 47.34: Citra pilar yaitu citra di mana perempuan memiliki tanggungjawab lebih
besar dalam urusan domestik, pengurus utama keluarga.
Tabel 4: Perempuan� sebagai Citra Pilar
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Arini: �Hei udah pulang?�, Mau teh?� Richard: (mengangguk), tadi seharian ngapain aja Arini: Aku Nonton teve Richard: Sabtu ini mau nonton bareng ga sama anak- anak?�, Biar
kamu ga disini sini aja. Arini: Oke, Kalau ga repot |
Long Shot |
Denotasi
|
Arini selalu siap menyiapkan makanan, mengurusi dapur dan
menawarkan minuman teh ke Richard Arini melakukan pekerjaan domestik di rumah |
|
Konotasi
|
Citra bahwa seorang perempuan yang penuh� kasih sayang serta perhatian bagi si
laki-laki, memperhatikan kebutuhan pasangannya |
|
Mitos
|
Perempuan bercitra pilar, siap selalu melayani laki-laki
dalam urusan domestik. |
c.
Scene menit ke 55.16. Citra peraduan: perempuan sebagai objek seksual.� Citra dimana perempuan ditonjolkan dalam aspek seks
dan seksualitasnya. Yang menganggap perempuan adalah objek pemuas lelaki.
Tabel 5: Perempuan� sebagai Citra Peraduan
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Richard dan Arini sama sama telanjang tanpa suara sedang
memadu kasih sebagaimana suami istri |
Medium Close Up |
Denotasi
|
Richard dan Arini berpelukan dengan punggung belakang Arini
kelihatan tidak menggunakan pakaian |
|
Konotasi
|
Richard dan Arini berhubungan intim di tempat tidur |
|
Mitos
|
Perempuan adalah obyek seksual di tempat tidur |
d.
Scene menit ke: 44.17 : citra pinggan: perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur.
Tabel 6: Perempuan� sebagai Citra Pinggan
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Karakter Arini, meski hadir untuk bikin Richard jatuh hati
dengan kemampuannya �melayani� makan siang. Arini: Ayuk makan, enak kan� Richard: enak, sambil memandang Arini. |
Medium Long Shot |
Denotasi
|
Arini menyiapkan makan siang Richard di rumah pas pulang
kantor |
|
Konotasi
|
Arini adalah perempuan yang mampu melayani laki-laki
(Richard) dalam kebutuhan dasar makanan bergisi. |
|
Mitos
|
Perempuan adalah lekat dengan pekerjaan domestik- ideologi patriarki |
e.
Scene menit ke 34.17 adalah citra pergaulan: perempuan digambarkan sebagai
makhluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat atau tampil menawan.
Tabel 7: Perempuan� sebagai Citra Pergaulan
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Arini: �Aku arini, oh ini temen
temen mas Richard ya?.� Teman-temannya: saling salam dan
senyum |
Medium close up |
Denotasi
|
Richard dan Arini berdua menghadiri pesta pernikahan
kawannya Richard. |
|
Konotasi
|
Arini sebagai sosok pacar yang bisa bergaul di mana saja. |
|
Mitos
|
Perempuan secara ideologis harus mampu berada dalam situasi
yang diinginkan laki-laki termasuk dalam pergaulan. |
c) Sebagai
komoditi
Tubuh perempuan
melalui pesona kecantikan fisik tubuhnya �dimanfaatkan� dalam berbagai
aktivitas ekonomi.
a.
Scene menit ke: 54.08 komoditi fisik
Tabel 8. Perempuan sebagai komoditi �fisik
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Richard dan Arini hanya saling pandang dan membuka pakaian
masing-masing untuk berhubungan badan |
Medium close up |
Denotasi
|
Arini berhadapan dengan Richard dalam kondisi tanpa busana
dan memperlihatkan fisiknya |
|
Konotasi
|
Tubuh Arini menjadi obyek sasaran laki laki yaitu Richard
untuk berhubungan badan |
|
Mitos
|
Tubuh perempuan adalah komoditi milik laki-laki |
b.
Scene menit ke 35.29:�
komoditi� perilaku
Tabel 9. Perempuan sebagai komoditi� perilaku
Visual |
Verbal |
Teknik kamera |
|
Richard memberikan uang ke Arini untuk membayar jasa telah
menemaninya. Arini: �Maksudnya apa ya mas?, Richard: � buat ongkos taksi, sisanya buat kamu Arini: : Mas ikatan kerja kita 45 hari, kalau sekarang udah
saya bilang apa ke kantor Richard: Bilang aja kerjaan udah beres Arini: Ada teman saya, �dia dikontrak selama 15 hari. Pada hari ke
tujuh dia dipulangkan, dia dipecat oleh kantor. Bapak saya itu sakit sakitan
mas, matanya udah ga bagus. Keluarga sangat mengandalkan saya untuk cari uang.
Kemudian Arini menangis. Akhirnya Richard membawa ke rumahnya untuk tinggal
bersama selama 45 hari sesuai kontrak kencan di awal. |
Close up |
Denotasi
|
Arini berhadapan dengan Richard di mobil yang menunjukkan
gerak gerik perempuan yang lemah lembut menarik hati Richard. |
|
Konotasi
|
Tubuh Arini menjadi obyek ketertarikan laki laki melalui
perlaku lemah lembut, keibuan, dan konsisten melayani, dan lain lain |
|
Mitos
|
Perempuan adalah komoditi melalui gerak gerik tubuhnya.
Yang menjual jasa sebagai teman kencan di aplikasi kencan. |
Pada hasil temuan keseluruhan bahwa perempuan dijadikan objek
utama dalam film ini, dan dilakukan dengan dengan eksploitasi dalam bentuk
tubuh, wajah, rambut, suara dan seluruh tubuhnya. Bentuk eksploitasi tersebut
dapat kita lihat dalam media film yang kerap kali perempuan dijadikan objek
seksual, dimana tubuh perempuan dijadikan alat untuk memancing daya tarik.
Serta mengeksplorasi �sensualitas tubuh
perempuan guna memanfaatkannya sebagai alat saja.
Pada hasil temuan citra, inilah
citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam media massa: a) Citra Pigura:
perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh yang ideal. b) Citra
Pilar: perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga. c) Citra
Peraduan: perempuan sebagai objek seksual. d) Citra Pinggan: perempuan sebagai
sosok yang identik dengan dunia dapur. e) Citra pergaulan.� Karena itu, gambaran perempuan dalam media
massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Bias jender yang
terjadi dalam reproduksi citra perempuan di media film.
Perempuan menjadi komoditi di
media film, telah menjadi sarana legimitasi daya tarik terhadap aktualisasi
nilai film� melalui fisik tubuh dan
perilaku. Faktor utama dalam menentukan �nilai jual�, karena tubuh diyakini sebagai
sarana untuk menikmati kesenangan, kenikmatan dan ekspresi diri. �Film
merupakan salah satu media komunikasi massa, di satu sisi merefleksikan
kehidupan masyarakat beserta nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku di
masyarakat. Namun, di sisi lain, film juga memiliki kuasa untuk menetapkan
nilai-nilai budaya yang penting dan perlu diikuti oleh masyarakat menurut
prespektif pembuatnya. Realitas sosial yang dihadirkan dalam film ini tidak
terlepas dari ideology dan
kepentingan pembuatnya. Peran media dalam melalui film ini mengkuhkan
hegemoni laki-laki atas perempunan. Bagi
para audience media� terutama perempuan, tulisan ini diharapkan
mampu memberikan wacana dan kesadaran yang lebih baik terkait dengan posisi dan
perannya sebagai perempuan, sebagaimana yang telah diperjuangkan melalui
emansipasi perempuan, yaitu persamaan hak dan posisi dengan pria. Dan juga
menumbuhkan kesadaran, bahwa perempuan sekarang juga harus jeli dan kritis
dalam melihat tampilan atau isi yang dimuat di media, apabila hana sebagai
obyek eksploitasi dari kaum laki-laki. Perempuan dalam media digambarkan penuh
stereotype mengakibatkan perempuan menjadi anggota masyarakat
yang terhegemoni. Perempuan terhegemoni dalam dunia laki-laki, dalam dunia
patriarkis Perempuan dengan bentuk fisiknya, tubuhnya� dipandang tak lebih hanya sebagai barang
bernilai komersil. �
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Film Love For Sale� menggambarkan perempuan lekat dengan stereotype di media film yaitu sebagai
obyek, citra dan komoditi. Sebagai obyek dalam bentuk eksploitasi dalam bentuk
tubuh sebagai� objek kepuasan dan obyek
seksual laki-laki. Sebagai citra muncul dalam bentuk �Citra Pigura, Citra Pilar, Citra Peraduan,
Citra Pinggan dan Citra pergaulan. Bias jender yang terjadi dalam reproduksi
citra perempuan di media Film Love for
Sale ini. Kemudian perempuan menjadi komoditi di media film, melalui
komoditi� fisik tubuh dan perilaku
perempuan. Hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan wacana dan kesadaran yang lebih baik terkait dengan posisi dan
perannya sebagai perempuan, dan mengkritisi dalam melihat tampilan/ isi yang
dimuat di media, terutama dalam hal ini �media memandang perempuan semata-mata sebagai
obyek eksploitasi dari kaum laki-laki. Perempuan dalam media digambarkan penuh stereotype mengakibatkan
perempuan menjadi anggota masyarakat yang terhegemoni. Perempuan terhegemoni
dalam dunia laki-laki, dalam dunia patriarki. Dengan demikian stereotype tersebut menguatkan mitos perempuan
adalah pihak yang subordinate yang menggiring perempuan sebagai obyek,
citra dan komoditi yang menguatkan pengukuhan hegemoni laki-laki atas perempuan.
BIBLIOGRAFI
Anggraini, D. (2016). Stereotip Perempuan Dalam Film Get
Married Analisis Semiotika Roland Bhartes. EJournal Ilmu Administrasi Bisnis.
Ardianto, E., & Komala, L. (2004). Komunikasi massa:
suatu pengantar. Simbiosa Rekatama Media.
Ghassani, H., & Ghassani, H. (2010). Kekerasan Terhadap
Perempuan: Analisis Semiotika Film Jamila dan Sang Presiden. Diponegoro
University.
Irawan, R. E. (2014). Representasi perempuan dalam industri
sinema. Humaniora, 5(1), 1�8.
Perdana, D. D. (2014). Stereotip Gender Dalam Film Anna
Karenina. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(2), 123�130.
Pratama, F. (2018). Implementasi Kebijakan Dalam
Penanggulangan Virus Hiv Dan Aids Di Kabupaten Kuningan. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(2), 26�34.
Pratista, H. (2008). Memahami film. Homerian Pustaka.
Schweinitz, J. (2011). Film and stereotype: A challenge
for cinema and theory. Columbia University Press.
Sobur Alex. (2013). Semiotika Komunikasi . Remaja
Rosdakarya.
Sutanto, O. (2017). Representasi Feminisme Dalam Film �Spy.� Jurnal
E-Komunikasi, 5(1).
Wibowo, I. S. W. (2011). Semiotika Komunikasi: Aplikasi
praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.