MIME-Version: 1.0 Content-Type: multipart/related; boundary="----=_NextPart_01D9B4BF.0DE20610" ------=_NextPart_01D9B4BF.0DE20610 Content-Location: file:///C:/F057B2C8/Hardian,siappublish.htm Content-Transfer-Encoding: quoted-printable Content-Type: text/html; charset="us-ascii"
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 7, Juli 2023
TANGGUNG JAWAB NEG=
ARA DALAM
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENYALAHGUNA NARKOTIKA
Hardian Ardy Sengkey¹, Tomy Michael²
Ilmu Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Indonesia
Email: ardisengkey@gmail.com1,
Abstrak
Dalam kasus anak y= ang telah penyalahguna narkotika bukan hanya di anggap sebagai pelaku tindak pi= dana melainkan sebagai korban dari tindak pidana itu sendiri. Dalam Undang-Undang perlindungan anak juga di atur bahwa anak korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan perlindungan khusus. Kelemahan mendasar dalam penegakan hukum adalah sering terabaikannya hak dari anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika karena tidak mendapat pengaturan yang memadai. Perlindungan hukum terhadap anak penyalahgunaan narkotika selama ini baru mencapai tingkat pro= sedural dan belum mencapaai keadialan substansial. Penegakan hukum anak penyalahguna narkotika hanya semata-mata ditujukan untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku kejahatan tanpa mempertimbangkan aspek kerugian yang diderita oleh anak penyalahguna narkotika. Penjatuhan sanksi semata-mata untuk pembalasan terh= adap pelaku tanpa memulihkan kerugian yang diderita oleh anak itu sendiri. Beber= apa undang-undang di Indonesia sebenarnya telah menguraikan beberapa hal yang menjadi hak anak korban penyalahguna narkotia, namun hak-hak tersebut hanya diatur secara normatif dan memuat hak-hak korban yang berbeda satu dengan y= ang lain, baik sisi penyelenggarannya maupun pelaksanaanya, salah satunya terka= it rehabilitasi medis dan sosial, maupun ganti kerugian (restitusi). Untuk memberikan artikulasi makna bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban penyalahguna narkotika, maka diperl= ukan rekonstruksi terhadap Undang-Undang Nomor UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Si= stem Peradilan Pidana Anak, dengan menambahkan klausa tentang besaran nilai rehabilitasi dan menetapkan restitusi sebagai pidana tambahan bagi pelaku pengedar narkotika terhadap anak kedalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Kor= ban Tindak Pidana.
Kata kunci<= /b>: Tanggung Jawab Negara, Anak, Penyalahguna Narkotika.<= /p>
Abstract
In the case of children wh=
o have
abused narcotics, they are not only considered as perpetrators of crimes bu=
t as
victims of the crime itself. The Child Protection Act also stipulates that
child victims of narcotics abuse receive special protection. The fundamental
weakness in law enforcement is that the rights of children who are victims =
of
narcotics abuse are often neglected because they do not receive adequate
regulation. Legal protection for children who abuse narcotics so far has on=
ly
reached the procedural level and has not achieved substantial justice. Law
enforcement for children who abuse narcotics is solely aimed at imposing
sanctions on the perpetrators of crimes without considering aspects of the
losses suffered by children who abuse narcotics. The imposition of sanction=
s is
solely for revenge against the perpetrator without recovering the losses
suffered by the child himself. Several laws in Indonesia have actually outl=
ined
several things that are the rights of children who are victims of narcotics
abuse, but these rights are only regulated normatively and contain the righ=
ts
of victims that are different from one another, both in terms of implementa=
tion
and implementation, one of which is related to medical and social
rehabilitation, as well as compensation (restitution). In order to provide =
an
articulation of the meaning of the form of state responsibility in providing
legal protection for child victims of narcotics abuse, it is necessary to
reconstruct Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice
System, by adding a clause regarding the amount of rehabilitation value and
stipulating restitution as an additional punishment. for perpetrators of
narcotics dealers against children into the Government Regulation of the
Republic of Indonesia Number 43 concerning the Implementation of Restitution
for Children Who Become Victims of Crime.
Keywords: State Responsibility, Chil=
dren,
Narcotics Abusers. =
Pendahuluan
Negara Republik Indonesia adalah negara yang memiliki
landasan hukum yang mana Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Imdonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) Indonesia adalah negara hukum
Penyalahgunaan narkotika sudah merak terjadi dimana-m=
ana,
korbannya tidak hanya orang dewasa saja, tetapi juga terhadap anak dengan
berbagai macam modus atau cara dilakukan agar anak bisa mengonsumsi narkoti=
ka
tersebut misalkan saja dalam lingkungan pergaulannya melalui teman-temannya,
atau dikarenakan coba-coba untuk menghilangkan stres, depresi dan juga mela=
lui
pengasuhnya, dikarenakan orang tuanya yang sibuk bekerja sehingga kesibukan=
tersebut
mengakibatkan anak tidak mendapat pengawasan dari orangtuannya dan dampak
terjadi penyalahgunaan narkotika oleh anak
Tujuan dan dasar pemikiran perlindungan hukum terhada=
p anak
tidak dapat dilepaskan dari tujuan bagaimana mewujudkan kesejahteraan anak
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari mewujudkan kesejahteraan sosial
secara menyeluruh, sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 28 B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bah=
wa
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta ber=
hak
atas perlindungan dan diskriminasi
UUNRI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pi=
dana
anak pasal 1 angka 4 menyatakan anak yang menjadi korban tindak pidana yang
selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebab=
kan
oleh tindak pidana. Berdasarkan UU sistem peradilan pidana anak bahwa anak =
ini
bukan hanya menjadi pelaku tindak pidana melainkan anak korban tindak pidan=
a. Korban
penyalahgunaan narkotik=
a adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika
Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor: 18/PID.SUS-An=
ak-2021/PN.MND
berakibat hukum kepada anak penyalahgunaan narkotika dan menjadi bagian dari
perederan narkotika yang dimana seharusnya anak ini menjadi korban dari
peredaran narkotika dan semestinya di lindungi oleh negara
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu orang t=
ua
dari anak korban pengguna narkotika pada bulan februari 2022, menujukkan ti=
dak
adanya tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada anak
korban penyalahgunaan narkotika pasca putusan pengadilan. Perlindungan hukum
yang dimaksud adalah tidak dilakukannya rehabilitasi medis dan non medis ya=
ng
biayanya ditanggung oleh negara, melainkan justru menjadi tambahan beban hi=
dup
bagi keluarga korban penyalahgunaan narkotika, termasuk tidak adanya pember=
ian
restitusi oleh pelaku, baik sejak dari proses penyidikan di kepolisian,
penuntutan di kejaksaan hingga putusan pengadilan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian=
tesis
ini bermaksud untuk atau telaah hukum bentuk tanggung jawab negara dalam
memberikan perlindungan terhadap anak pennyalahguna narkotika.
Metode
Penelitian
Penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelit=
ian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan terkait permasalahan yang dibahas guna menjawab isu huk=
um
yang dihadapi dalam aspek yuridis dan implementasinya (Laia 2022).
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini
terbagi dalam tiga bagian, diantaranya yaitu pendekatan perundang-undangan,
pendekatan konseptual dan pendekatan studi kasus.
Sumber bahan hukum utama adalah kepustakaan, yaitu do=
kumen-dokumen
tertulis berupa perundang-undangan, jurnal-jurnal ilmiah, dokumen-dokumen,
buku-buku, tesis dan berbagai referensi yang relevan dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum, diantaranya yaitu pertama
bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
diuraikan berdasarkan hirarki dan putusan pengadilan. Kedua bahan hukum
sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Dan ketiga bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekun=
der,
misalnya kamus atau artikel.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini melalui
prosedur inventarisasi, wawancara dan identifikasi peraturan
perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistimatisasi bahan hukum sesuai
permasalahan penelitian. Oleh karena itu, teknik pengumpulan bahan hukum ya=
ng
digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Setelah bahan hukum
terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan bahan hukum dengan melalui bebe=
rapa
tahapan yaitu editing, sistimatisasi dan deskripsi.
Analisis penelitian ini dilakukan dengan cara mengkri=
tisi,
mendukung, atau memberi komentar, kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap
hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan kajian pustaka. Metode
untuk jenis penelitian hukum normatif berupa metode prespektif yang merupak=
an
metode analisis untuk memberikan penelian (justifikasi) tentang objek yang
diteliti apakah sudah benar atau masih salah atau yang seharusnya menurut
hukum.
Hasil dan Pembahasan
Bentuk Tanggung Jawab Dalam Memberikan Perlindungan H=
ukum
Terhadap Anak Penyalahguna Narkotika
Pengaturan yang berkaitan dengan kesejahteraan anak,
perlindungan HAM anak dan perlindungan anak merupakan pelaksanaan dari land=
asan
konstitusional terkait dengan hak anak
Keseriusan negara untuk melindungi segenap warganya
sebagaimana yang termaktub didalam alinea ke-IV Pembukaan UUDNRI 1945,
selanjutnya dijabarkan dalam BAB XA UUDNRI 1945 tentang Hak Asasi Manusia.
Khusus untuk perlindungan terhadap anak, Pasal 28B ayat 2 UUD NRI 1945
mengatakan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak untuk perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Berdasarkan Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Anak
menyatakan bahwa: “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan mart=
abat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. UU Perlindungan Anak meletakkan kewajiban untuk member=
ikan
perlindungan terhadap anak berdasarkan asas-asas non-diskriminasi, kepentin=
gan
terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan
penghargaan terhadap pendapat anak sebagaiman termuat dalam ketentuan Pasal=
2
UU Perlindungan Anak yang menentukan: “Penyelenggaraan perlindungan a=
nak
berdasarkan Pancasila dan berlandaskan UUDNRI Tahun 1945 serta prinsip-prin=
sip
dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi non-diskriminasi, kepentingan terbaik
bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan
terhadap pendapat anak”.
Ketentuan Pasal 23 UU Perlindungan Anak tersebut dapat
dikatakan sebagai pelaksanaan Pasal 28 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menempa=
tkan
Negara, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk menjamin
perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak =
dan
kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab
terhadap anak. Disamping berkewajiban untuk menjamin perlindungan, pemeliha=
raan
dan kesejahteraan anak, Negara, pemerintah dan pemerintah daerah mengawasi
penyelenggaraan perlindungan anak. Ketentuan pasal tersebut menegaskan bahwa
permasalahan perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, akan
tetapi juga menjadi tanggung jawab negara, pemerintah pusat maupun pemerint=
ah
daerah. Tanggung jawab terhadap anak bukan sebatas pada jaminan perlindunga=
n,
pemeliharaan dan kesejahteraan anak semata, akan tetapi juga meliputi
pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak dikenal
dengan prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik bagi ana=
k),
diadopsi dari article 3, The Convention on The Right of The Child yang
menentukan (Unicef 2007):
Kedudukan Restitusi Dalam Perlindungan Hukum Terhadap=
Anak
Korban Penyalahguna Narkotika
Dalam penyelesaian perkara pidana masih ditemukan anak
penylahguna narkotika kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, ba=
ik
perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil. Hal demikian memuncu=
lkan
persoalan klasik, bahwa peradilan pidana sebagai basis penyelesaian perkara
pidana kurang mengakui eksistensi korban kejahatan selaku pencari keadilan =
Menurut Andi Hamzah, dalam perkara tindak pidana korb=
an
kejahatan sebenarnya merupakan pihak yang paling menderita
Tindak pidana terhadap anak bukan hanya menimbulkan
penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualit=
as
hidup anak namun juga menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi
pihak keluarga
Restitusi yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pi=
dana
dimaksudkan selain untuk mengganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti
kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian
biaya perawatan medis, dan/atau psikologis sebagai bentuk tanggung jawab ti=
ndak
pidana yang dilakukan, juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan
menegakkan keadilan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai aki=
bat
terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 Tentang
Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana adalah
merupakan amanat dari Pasal 59 dan Pasal 71 D UU Perlindungan Anak, dimana
Peraturan Pemerintah ini mengatur secara khusus tentang tata cara pengajuan
restitusi kepada pelaku melalui pengadilan. Peraturan pemerintah ini terdiri
dari 4 (empat) Bab 23 (dua puluh tiga) Pasal yaitu: BAB I Ketentuan Umum ya=
ng
terdiri dari 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 1; BAB II Tata Cara Pengajuan
Permohonan Restitusi yang terdiri dari 17 (tujuh belas) pasal yaitu dari Pa=
sal
2 sampai dengan Pasal 18; BAB III Tata Cara Pemberian Restitusi yang terdiri
dari 4 (empat) pasal yaitu dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22; dan BAB IV.
Ketentuan Penutup yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 23. Adapun pasal ya=
ng
mengatur restitusi bagi korban tindak pidana adalah Pasal 2 ayat (1) yang
menyebutkan “Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak
memperoleh restitusi”. Dan ketentan Pasal 3 mengatur bentuk dari
restitusi yang akan diterima oleh korban yang mengajukan permohonan restitu=
si.
Meskipun sudah ada peraturan terkait yang merumuskan
mengenai kewajiban pelaku pengedar narkotika untuk membayar restitusi terse=
but
kepada korban, maupun hak korban untuk mendapatkan rehabitasi medis maupun
sosial, namun pada prakteknya putusan pengadilan dengan memberikan ganti ru=
gi
kepada Anak korban penylahguna narkotika tidak dilakukan, seperti kasus anak
penyalaguna narkotia di Manado pada 23 dalam Putusan Pengadilan Negeri Mana=
do
Nomor: 18/Pid.Sus/2021/PN.Mnd pada
tanggal 23juli 2021 yang telah
berkekuatan hukum tetap ini berakibat hukum yang hanya beriorientasi pada
tindak pidana semata dan mengabaikan hak-haknya yang telah diatur dalam
perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaannya.
Restitusi merupakan bentuk dari tanggung jawab negara=
dalam
memberikan perlindungan hukum bagi anak korban penyalahguna narkotika.
Pelaksanaan restitusi tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tah=
un
2017. Meski demikian, masih ditemukan beberapa faktor yang menjadi hambatan
dalam pelaksaannya. Adapun yang menjadi faktor penghambat.
Hambatan Pelaksanaan Restitusi Dalam Kasus Penyalaguna
Narkotika Terhadap Anak
Persyaratan administratif pengajuan atau permohonan
restitusi dalam PP No. 43 Tahun 2017 memberikan beban baru bagi pihak korba=
n.
Dalam Pasal 7 PP No. 43 Tahun 2017 diatur bahwa pengajuan permohonan restit=
usi
yang diajukan oleh pihak korban.
Pengaturan Dalam PP No. 43 Tahun 2017 Belum Memuat At= uran Apabila Restitusi Tidak Dibayarkan. Pada kenyataannya, sangat jarang pelaku yang mau membayar ganti rugi atau restitusi tersebut kecuali dalam kasus Ti= ndak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disingkat TPPO), yang dikarenakan ada= nya mekanisme “memaksa” yang diberikan kepada pelaku seperti peramp= asan aset apabila pelaku tindak membayar restitusi tersebut. Sedangkan restitusi diluar kasus TPPO, umumnya pelaku tidak mau membayar karena adanya pidana subsider penjara 2 sampai 3 bulan, sehingga korban tetap tidak dapat memper= oleh ganti kerugian secara finansial. Kemudian di dalam Peraturan Pemerintah No.= 43 Tahun 2017 ini, tidak adanya aturan lebih lanjut tentang konsekuensi apabila restitusi ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana. Sehingga membuat pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 ini tidak efektif.<= o:p>
Pembuktian Nilai Materil Dalam Permohonan Restitusi.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 disebutkan bahwa dalam mengajukan
permohonan restitusi, korban dapat meminta perhitungan kerugian kepada LPSK.
Pembuktian kerugian nilai materil tersebut terkadang tidak dimiliki oleh pi=
hak
korban. Pihak korban mengalami masalah pembuktian formil, dimana mereka
menanggung biaya bagi korban namun tidak dapat membuktikannya. Penelitian
restitusi dilakukan melalui perhitungan biaya pengobatan, kerusakan harta
benda, atau biaya dari proses hukum yang dilakukan oleh pihak korban. Kemud=
ian
muncul persoalan baru, dimana pengabulan restitusi ini tetap bergantung pada
aparat penegak hukum. Biaya yang sudah dihitung oleh LPSK, tetapi Jaksa
Penuntut Umum tidak bersedia memasukkan ke dalam surat dakwaan
Kurangnya Kesadaran dari Aparat Penegak Hukum. Dalam =
PP No.
43 Tahun 2017 ini telah diatur bahwa permohonan restitusi dapat Di diajukan
pada saat proses penyidikan dan penuntutan. Namun yang terjadi dilapangan, =
dari
hasil penelitian penulis, didapati bahwa baik dari penyidik maupun jaksa
penuntut umum belum berperan aktif dalam melaksanakan hak restitusi ini. Da=
lam
pasal 9 dan pasal 14 diatur bahwa penyidik dan penuntut umum dapat memberit=
ahukan
adanya hak restitusi kepada korban. Seharusnya aturan tersebut mewajibkan
penyidik dan penuntut umum untuk memberitahukan kepada korban tentang adanya
hak restitusi beserta tata cara pengajuannya. Namun dalam kenyataannya,
penyidik dan penuntut umum tidak memberikan informasi atau pengetahuan tent=
ang
adanya hak restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana kepada pih=
ak
korban, dengan dalil bahwa restitusi ini hanya berlaku bagi korban tindak
pidana perdagangan orang (TPPO), sehingga penyidik dan penuntut umum belum
mengetahui adanya PP No. 43 Tahun 2017 tentang hak restitusi bagi anak yang
menjadi korban tindak pidana.
Konsep Kepastian Hukum Dalam Pemberian Restitusi Kepa=
da
Anak Korban Penyalahguna Narkotika
Terjaminnya kepastian hukum adalah merupakan salah sa=
tu
tujuan dari hukum itu sendiri disamping kemanfaatan dan keadilan, karena
bagaimana keadilan bisa tercapai jika kepastian hukumnya tidak jelas, dan
bagaimana kemanfataan hukum itu dapat dirasakan jika kepastian dan keadilan=
nya
tidak jelas. Dengan telah terjaminya kepastian hukum terhadap pelaksanaan
pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dalam bentuk
peraturan pemerintah maka diharapkan keadilan dapat dirasakan oleh anak yang
menjadi korban tindak pidana tersebut. Dan diharapkan dapat menjadi pedoman
bagi para jaksa untuk menuntut di dalam tuntutan pidana dan pedoman bagi ha=
kim
untuk menjatuhkan pidana berupa pemberian restitusi terhadap terdakwa yang
diserahkan kepada korban di dalam amar putusannya.
Penjatuhan pidana berupa pemberian restitusi bagi ana=
k yang
menjadi korban tindak pidana di dalam putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap juga merupakan amanat dari Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan d=
asar
si korban mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi. Adapun bentuk putusan h=
akim
terhadap pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
tersebut kedepannya adalah berupa pidana tambahan, dimana pidana pokoknya a=
dalah
pidana badan dan pidana denda sebagaimana yang tercantum dalam Pasal yang
menjadi pokok permasalahan,sementara pemberian retitusi ini akan menjadi pi=
dana
tambahan di dalam tuntutan pidana dan putusan hakim, bukan lagi sebagai pid=
ana
bersyarat bagi terdakwa atau pelaku yang apabila telah membayar maka pidana
pokoknya tidak perlu lagi dijalankan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal=
14c
KUHP.
Inilah yang menjadi pembeda antara Pasal 14c KUHP den=
gan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi
Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, dimana Pasal 14c KUHP menjadikan
pemberian restitusi sebagai syarat untuk dapat dilaksanakannya pidana
bersyarat, sehingga pidana pokoknya tidak perlu dijalankan jika pemberian
restitusi telah dilakukan, hal ini lebih menitikberatkan atau menekankan at=
au
berorientasi kepada kepentingan si pelaku atau terdakwa. Sementara itu
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 akan memposisikan dirinya sebagai
pidana tambahan yang mana apabila pemberian restitusi telah dilaksanakan,
pidana pokok tidak akan hilang atau dengan kata tetap dijalani oleh pelaku =
atau
terdakwa.
Menjadikannya pidana tambahan disamping pidana pokok =
yang
dijatuhkan kepada pelaku diharapkan keadilan bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana terutama tindak pidana perederan narkotika kedepannya dapat
memberikan kepastian hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana untuk
menuntut haknya kepada pelaku dan bagi masyarakat juga dapat menjadi
pertimbangan untuk berbuat karena ada pidana yang berlapis-lapis yang
dijatuhkan untuk kejahatan ini. Sanksi terhadap pelaku yang ingkar melaksan=
akan
kewajibannya membayar atau memberikan restitusi kepada korban atau ahli
warisnya masih menjadi ganjalan, karena sebagaimana layaknya sebuah pidana
tambahan yang tercantum dalam amar putusan hakim biasanya ada di sertai pid=
ana
pengganti jika pidana tambahan tidak dilaksanakan apakah berupa penjara yang
lama pidana pengganti tersebut tidak melebihi pidana pokoknya.
Kesimpulan
Tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan h=
ukum
terhadap anak penyalahguna narkotika secara filosofis dilaksanakan dengan m=
odel
restorative justice yang dalam hal ini merupakan tanggung jawab negara guna
mencapai kemanusiaan dan keadilan sosial. Secara yuridis, terdapat norma sa=
mar
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak.
Sehingga diperlukan pengaturan secara eksplisit yang menitikberatkan kepada
korban dari tindak pidana agar diharapkan dapat terjawab perihal adanya atu=
ran
tentang besaran nilai biaya rehabilitasi dan ganti kerugian (restitusi) dari
pelaku pengedar narkotika, sementara secara sosiologis masih belum memberik=
an
kepastian hukum dalam tataran pelaksanaannya. Bentuk tanggung jawab negara
dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban penyalahguna narko=
tika
adalah dalam bentuk yaitu menetapkan aturan tentang besaran nilai pembiayaan
rehabilitasi didalam penjelasan Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menetapkan restitusi sebagai pidana
tambahan bagi pelaku pengedar narkotika terhadap anak kedalaam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun Tentang Pelaksanaan Restitusi =
Bagi
Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
BIBLIOGRAFI
Al Munawwar, T. A. ,
& M. I. S. H. (2018). Implementasi Penggabungan Perkara Gugatan Gan=
ti
Kerugian Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Study Kasus Di Kejaksaan Negeri
Surakarta) (Doctoral dissertation). Universitas Muhammadiyah Surakarta=
.
Anggreini, R., Ablisar, M., Ekaput= ra, M., & Bariah, C. (2018). Pemberian Restitusi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Ariyanti, V. (2017). Kedudukan Kor= ban Penyalahgunaan Narkotika dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Isl= am. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 11(2), 247–262.
Ariyulinda, N. (2013). Penanganan Kekerasan Terhadap Anak Melalui UU tentang Sistem Pendidikan Nasional dan = UU tentang Perlindungan Anak. Jurnal Rechts Vinding Online Media Pembinaan Hukum Nasional. Https://Rechtsvinding. Bphn. Go. Id/Jurnal_online/Penangan= an% 20Kekerasan% 20Terhadap% 20Anak. Pdf.
Data, P. (n.d.). Kekerasan seks= ual terhadap anak (sexual abuse) merupakan kejahatan kemanusiaan yang masuk da= lam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).—= span>Dalam ketentuan Konvensi Hak Anak Pasal.
Haling, S., Halim, P., Badruddin, = S., & Djanggih, H. (2018). Perlindungan hak asasi anak jalanan dalam bidang pendidikan menurut hukum nasional dan konvensi internasional. Jurnal Hu= kum & Pembangunan, 48(2), 361–378.
Hamzah, A. (2022). Kejahatan di Bidang Ekonomi: Economic Crimes. Sinar Grafika.
Putri, D. D. M. (2018). Disfungsi Keluarga Pada Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba di Badan Narkotika Nasi= onal Provinsi Kalimantan Timur. EJournal Sosiatri/Sosiologi, 6(1), 133–144.
Rachmawati, L. D. (2021). Rekonseptualisasi Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Syariati: Jurnal S= tudi Al-Qur’an Dan Hukum, 7(1), 117–128.
Rosana, E. (2014). Kepatuhan hukum sebagai wujud kesadaran hukum masyarakat. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, 10(1), 61–84.
Saimima, I. D. S., & Eleanora,= F. N. (2020). Restitusi Bagi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika. Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum Dan Keadilan, 4(2).
Sibuea, H. Y. P. (2017). Persoalan= Hukum atas Restitusi Terhadap Anak Korban Tindak Pidana. Majalah Info Singkat Hukum, 21.
Simamora, J. (2014). Tafsir Makna = Negara Hukum dalam Perspektif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal Dinamika Hukum, 14(3), 547–561.
Suhari, D. (2022). Kebijakan Kr= iminal Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dikaitkan Dengan Semakin Meningkatnya Jumlah Pengguna Narkotika Di Provinsi Riau (Doctoral dissertation). Universitas Islam Riau.
Sumardi, D. (2016). Islam, Plurali= sme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum, 50(2), 481–504.
Yuliartini, N. P. R. (2015). Kedud= ukan Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Berdasarkan Ki= tab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jurnal Komunikasi Hukum (JKH)= , 1(1).
Copyright holder: Nama Author <=
/span>(Tahun Terbit) |
First publication right: Syntax Lit=
erate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |
Hardian Ardy
Sengkey¹, Tomy Michael²
Tanggung Jawab Negara dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Anak Penyalahguna Narkotika
2=
&=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; Syntax
Literate, Vol. 8, No. 7, Juli 2023
Syntax Literate, Vol. 8, No. 7, Juli 2023 &nbs=
p; 3
How
to cite: |
Hardi=
an Ardy
Sengkey¹, Tomy Michael² (2023) Tanggung Jawab Negara Dalam
Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Penyalahguna Narkotika, (8) 7,=
http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i6=
span> |
E-ISSN: |
|
Published
by: |