MIME-Version: 1.0 Content-Type: multipart/related; boundary="----=_NextPart_01D9BF08.7B495F70" ------=_NextPart_01D9BF08.7B495F70 Content-Location: file:///C:/F057B2C8/Melssy,siappublish.htm Content-Transfer-Encoding: quoted-printable Content-Type: text/html; charset="us-ascii"
Syntax Literate: Jurnal <=
span
class=3DSpellE>Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548=
-1398
Vol. 8, No. 7, Juli 2023
IMPLEMENTASI PELEP=
ASAN
BERSYARAT DALAM SISTEM PEMBINAAN PEMASYARAKATAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG=
HUKUM PIDANA
Melssy Dinda Nursyahfitri1, <=
span
class=3DSpellE>Feny Windiyastuti2
Sekolah = Tinggi Ilmu Hukum IBLAM, Jakarta, Indonesia
Email: melsydinda99@gmail.com, feny@iblam.ac.id,
Abstrak
Pembebasan bersyarat adalah proses <=
span
class=3DSpellE>pembinaan Narapidana di <=
span
class=3DSpellE>luar Rumah Tahanan/Lembaga
Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3
(duaper tiga) masa =
pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembebasan bersyarat dapat diimplemantasikan <=
span
class=3DSpellE>dengan memperhatikan beberapa ketentuan yang <=
span
class=3DSpellE>tercantum dalam Pasal 15a dan Pasal
15b Kitab Undang-Undang Hu=
kum
Pidana, selanjutnya=
Pasal 14 ayat (1) huruf (k) Undang-Undang <=
span
class=3DSpellE>Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ju=
ga menyebutkan bahwa Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Terkait syarat dan tata cara pelaksanaan hak dan warga
binaan pemasyarakatan diatur dalam Pasal
43 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan=
Hak dan Warga
Binaan Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya,
Kata kunci: Pelepasan Bersayarat, Lem= baga Pemasyarakatan, Narapidana.
Abstract
Conditional release is the=
process
of fostering prisoners outside the Detention Center/ Correctional Instituti=
on
after serving at least 2/3 (two thirds) of their criminal period with the
provision that 2/3 (two thirds) of the criminal period is at least 9 (nine)
months. The research method used is the normative juridical method. The res=
ults
of the study indicate that parole can be implemented by taking
into account several provisions contained in Article 15a and Article=
15b
of the Criminal Code, then Article 14 paragraph (1) letter (k) of Law Numbe=
r 12
of 1995 concerning Corrections also states that Prisoners are entitled to
parole. Regarding the requirements and procedures for the implementation of=
the
rights and the prisoners in prison, it is regulated in Article 43 of the
Government Regulation Number 32 of 1999 concerning the Terms and Procedures=
for
the Implementation of the Rights and the Correctional Inmates. In its
implementation, the guidance and mentoring of Correctional Inmates is carri=
ed
out by the Minister and carried out by Correctional Officers. The
implementation of the correctional development system is carried out based =
on
the principles of protection, equality of treatment and service, education =
and
guidance, respect for human dignity, loss of independence is the only suffe=
ring
and guarantee of the right to keep in touch with family and certain people.=
The
concept of conditional release in the Correctional Guidance System is carri=
ed
out by an official authorized to carry out conditional release of prisoners,
namely the Minister of Justice or an official appointed for that purpose by=
taking into account the substantive requirements and
administrative requirements as referred to in Article 7 paragraph (2) and
Article 8 of the Decree of the Minister of Justice. Number: M. 01. PK. 04-1=
0 of
1999, as well as paying attention to the procedures for obtaining parole as
described in the discussion above.
Keywords: Conditional Release, Corre=
ctional
Institution, Prisoners.
Pendahuluan
Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa : “Negara Indonesia adalah nega=
ra
hukum”. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional ba=
hwa
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan seba=
gai
satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, hu=
kum
merupakan salah satu perantara yang dibutuhkan untuk mengantisipasi
perkembangan dalam kehidupan manusia. Selain itu hukum juga diperlukan untuk
mengantisipasi penyimpangan penyimpangan
yang terjadi. Salah satu bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat
misalnya munculnya suatu tindak pidana yang menyebabkan terganggunya kenyam=
anan
dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa: “hukum yaitu
keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-k=
aedah
dalam suatu kehidupan bersama/ keseluruhan peraturan tentang tingkah laku y=
ang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya
dengan suatu sanksi”. Hal ini berarti setiap individu harus mentaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan ol=
eh
pemerintah di dalam berlangsungnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara .
Dalam memberantas tindak pidana yang muncul dalam kehidupan masyarakat saat
ini, fungsi hukum menjadi sangat penting, karena seperti yang dikemukakan o=
leh Prodjodikoro bahwa “tujuan dari hukum yaitu
mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib di dalam
masyarakat”. Untuk mencapai tujuan hukum tersebut, pemerintah berusaha
untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan berbagai alat yang=
ada
padanya
“Hukum
pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan un=
tuk
menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilara=
ng,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut”.
Dalam
hukum pidana pasti tidak akan terlepas dari permasalahan-permasalahan pokok ya=
ng
merupakan salah satu bagian penting dalam proses berjalannya hukum pidana=
span>
“Segala
pengaturan mengenai hukum pidana ini pada akhirnya akan berpuncak
pada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan seseorang, kejahatan, penj=
ahat
(pembuat kejahatan) dan pidana, serta merupakan syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk memungkinkan penjatuhan pidana. Maka masalah pemidanaan dan
pidana merupakan masalah yang sama sekali tidak boleh dilupakan”.
Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapa=
t dua
jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terbukti telah
melanggar hokum “Sistem
pemenjaraan yang sangat berangsur-angsur dipand=
ang
sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilita=
si
dan reintegrasi sosial agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi
berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyara=
kat
yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungannya”=
. Dalam
perkembangannya muncul suatu Lembaga Pemasyarakatan yang didirikan dengan
harapan akan dapat mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sebagai
warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungk=
inan
diulanginya tindak pidana oleh WBP “Sistem
Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanak=
an
secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatk=
an
kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali ol=
eh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hi=
dup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. Adapun
hak-hak dari Narapidana diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyaraka=
tan,
yang menyebutkan bahwa: <=
span
lang=3DEN-GB style=3D'font-size:12.0pt;line-height:115%;font-family:"Times =
New Roman",serif;
mso-ansi-language:EN-GB'>
Narapidana
berhak:
1.&n=
bsp;
Menerima kunjungan
keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
2.&n=
bsp;
Mendapatkan pengurang=
an
masa pidana (remisi);
3.&n=
bsp;
Mendapatkan kesempatan
berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; dan
4.&n=
bsp;
Mendapatkan pembebasan
bersyarat.
Terkait
dengan hak pembebasan bersyarat, pemberian hak tersebut diberikan kepada
narapidana yang betul-betul sudah berperilaku baik dan mematuhi semua aturan
yang telah diberlakukan di rumah tahanan/ lembaga permasyarakatan selama ma=
sa
penahanan berlangsung <=
span
lang=3DEN-GB style=3D'font-size:12.0pt;line-height:115%;font-family:"Times =
New Roman",serif;
color:black;mso-ansi-language:EN-GB'>
Metode Pene=
litian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif (normative legal resear= ch) dengan pendekatan perundang-undangan. Metode penelitian yuridis normatif ad= alah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelit= ian normatif seringkali disebut penelitian kepustak= aan, karena objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka. Pendekatan undang-undang digunakan untuk mengkaji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomo= r 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah= Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan= Hak dan Warga Binaan Pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Implementasi Pelepasan
Bersyarat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pid=
ana
Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan
Narapidana di luar Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani
sekurang-kurangnya 2/3 (duaper tiga) masa pidan=
anya
dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembila=
n)
bulan. Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari fungsi Rumah
Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem
peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan isti=
lah
pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dib=
uat
berdasarkan We=
tboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.
Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht=
span> voor Nederlandsch-Indie=
i>
terpengaruh olehs istem
pidana penjara di Inggris (progressive system), =
dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa
pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarak=
at.
Pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk
menjalankan pidana penjara dalam suatu Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan
seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setel=
ah diaturdalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb Nomor 749 yang juga dikenal sebagai ordonansi de voorwardelijjke invrijheidstelli=
ng
atau peraturan mengenai Pembebasan bersyarat.
b. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk
mendapatkan pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan suatu Negara sepertiyang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasa=
l 69
ayat (1) dari ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb
nomor 741 yangjuga dikenal sebagai dwangopveding regeling<=
/i> atau
peraturan mengenai pendidikan paksa.
Adapun dasar hukum tentang pemberian bebas bersy=
arat
bagi Narapidana di lembaga Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :
(1)&=
nbsp;
Jika
terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia
dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa
pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
(2)&=
nbsp;
Ketika
memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3)&=
nbsp;
Masa
percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum
dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, m=
aka
waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Pembebasan
bersyarat dapat diimplemantasikan dengan
memperhatikan beberapa ketentuan yang tercantum dalam Pasal 15a dan Pasal 1=
5b
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi=
:
Pasal 1=
5a
(1)&=
nbsp;
Pelepasan
bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan
tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
(2)&=
nbsp;
Selain
itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidan=
a,
asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.=
(3)&=
nbsp;
Yang
diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dal=
am
pasal 14d ayat 1.
(4)&=
nbsp;
Agar
supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang
semata-mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
(5)&=
nbsp;
Selama
masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan
syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus.
Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang
semula diserahi.
(6)&=
nbsp;
Orang
yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat
yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas
dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.
Pasal 1=
5b
(1)&=
nbsp;
Jika
orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-h=
al
yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan
bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas
dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut
untuk sementara waktu.
(2)&=
nbsp;
Waktu
selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai
menjalani pidana lagi, tidak termasuk waktu pidananya.
(3)&=
nbsp;
Jika
tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat
dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana
dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan
berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih
dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam wa=
ktu
tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa
terpidana melakukan.
Dalam
Pasal 14 ayat (1) huruf (k) Undang-Undang Nomor=
12
tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga diterangkan bahwa Narapidana berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat. Selanjutnya, dalam Pasal 43 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak=
dan
Warga Binaan Pemasyarakatan, diterangkan bahwa:
(1)&=
nbsp;
Setiap
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapa=
tkan
pembebasan bersyarat.
(2)&=
nbsp;
Pembebasan
bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Narapidana dan Anak Pida=
na
setelah menjalani pidana sekurangkurangnya 2/3 =
(dua
pertiga) dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana
tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
(3)&=
nbsp;
Pembebasan
bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
Menurut
Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, maksud dan t=
ujuan
dari pada pembebasan bersyarat adalah untuk transisi atau memudahkan kembal=
inya
terpidana kemasyarakat dan pemberian pelepasan
bersyarat sebelum selesainya masa pidana itu juga dimaksudkan untuk mendoro=
ng
terpidana untuk berkelakuan baik dalam penjara. Supaya terpidana tidak
mengulangi kejahatan lagi, dan supaya terpidana yang diberikan pelepasan
bersyarat dari penjara itu diberi pertolongan untuk berbuat baik dengan ban=
tuan
Reklasering.
Dalam
pelaksanaannya, pembinaan dan pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh
petugas Pemasyarakatan. Yang dimaksud dengan Petugas Pemasyarakatan adalah
pegawai pemasyarakatan yang melaksanaka tugas
pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga B=
inaan
Pemasyarakatan. Petugas Pemasyarakatan tersebut merupakan Pejabat Fungsional
Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan =
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pejabat
Fungsional diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (sekarang Menteri Hukum =
dan
Hak Asasi Manusia dan Kehakiman) sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Adapun dalam pengangkatan Pejabat Fungsional tersebut harus
memenuhi beberapa persyaratan antara lain: mempunyai latar belakang pendidi=
kan
teknis di bidang pemasyarakatan, melakukan tugas yang bersifat khusus di
lingkungan Unit PelaksanaanTeknis Pemasyarakatan,dan
memenuhi persyaratan lain bagi fungsional sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Implementasi
sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas azas-azas sebagai berikut:
a.&n=
bsp;
Pengayoman
Pengayoman adalah
perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasayarakatan=
dalam
rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh
Warga Binaan Pemasyarakataan, juga memberikan b=
ekal
hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna=
di
dalam masyarakat.
b.&n=
bsp;
Persamaan perlakuan d=
an
pelayanan
Persamaan
perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama
kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membedabedaka=
n
orang.
c.&n=
bsp;
Pendidikan dan Pembimbingan
Pendidikan
dan pembimbingan adalah penyelenggaraan pendidi=
kan
dan pembimbingan yang dila=
ksakan
berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampila=
n,
pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
d.&n=
bsp;
Penghormatan harkat d=
an
martabat manusia
Penghormatan harkat d=
an
martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan
Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
e.&n=
bsp;
Kehilangan kemerdekaan
merupakan satu-satunya penderitaan
Yakni Warga Binaan
Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehing=
ga
mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Warga Bi=
naan
Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-hak nya yan=
g lain
seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi
seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat
tidur, latihan, keterampilan oleh raga, atau rekreasi).
f.&n=
bsp;
Terjaminnya hak untuk
tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Yakni
bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus di=
dekatkan
dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat,
antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke
dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul
bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.
Berdasarkan
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999 tentang
Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas, seseorang Narapid=
ana
dapat diberikan izin untuk memperoleh pembebasan bersyarat apabila memenuhi=
2
(dua) persyaratan pokok, yaitu persyaratan subtantif=
span>
dan persyaratan administratif. Adapun kedua persyaratan tersebut adalah seb=
agai
berikut:
a.&n=
bsp;
Persyaratan subtantif
Dalam Pasal 7 ayat (2)
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, menerangkan
bahwa persyaratan subtantif terdiri dari:
1)&n=
bsp;
Telah menunjukan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.
2)&n=
bsp;
Telah menunjukan
perkembangan budi pekerti dan moral yang positif.
3)&n=
bsp;
Berhasil mengikuti
program pembinaan dengan tekun dan bersemangat.
4)&n=
bsp;
Masyarakat telah dapat
menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan.
5)&n=
bsp;
Selama menjalankan
pidana, narapidana tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sekurang-kuran=
gnya
dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.
6)&n=
bsp;
Masa pidana yang telah
dijalani 2/3 dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang
dari 9 (sembilan) bulan.
b.&n=
bsp;
Persyaratan administr=
atif
Dalam Pasal 8 Keputus=
an
Menteri Kehakiman Nomor :M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, dinyatakan bahwa
persyaratan administratif terdiri dari:
1)&n=
bsp;
Salinan putusan
pengadilan.
2)&n=
bsp;
Surat keterangan asli
dari kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara a=
tau
tersangkut dengan tindak pidana lainnya.
3)&n=
bsp;
Laporan penelitian kemsyarakatan dari BAPAS tentang pihak keluarga yang =
akan
menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada
hubungannya dengan narapidana.
4)&n=
bsp;
Salinan daftar yang
memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama
menjalankan masa pidana dari kepala Lembaga Pemasyarakatan.
5)&n=
bsp;
Salinan daftar peruba=
han
atau pengurangan masa pidana seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepa=
la
Lembaga Pemasyarakatan.
6)&n=
bsp;
Surat pernyataan kesa=
nggupan
dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah,
instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah
7)&n=
bsp;
Surat keterangan
kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani
atau jiwanya dan apabila di lembaga tidak ada psikolog dan dokter, maka sur=
at
keterangan dapat diminta kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum.
8)&n=
bsp;
Bagi narapidana warga
negara asing diperlukan syarat tambahan berupa surat keterangan sanggup
menjamin Kedutaan Besar atau Konsulat negara orang asing yang bersangkutan =
dan
surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat.
Konsep pelepasan bersyarat dalam Sistem
Pembinaan Pemasyarakatan dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk melaku=
kan
pembebasan bersyarat terhadap narapidana, yaitu Menteri Kehakiman atau peja=
bat
yang dirunjuk untuk itu. Adapun tata cara untuk
memperoleh pembebasan bersyarat itu adalah sebagai berikut:
a.&n=
bsp;
Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) Lembaga Pemasyarakatan setelah mendengar pendapat angg=
ota
tim serta telah mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan dari Balai
Pemasyarakatan mengusulkan kepada kepala Lembaga Pemas=
arakatan
yang di tuangkan dalam formulir yang telah di tetapkan.
b.&n=
bsp;
Kepala Lembaga
Pemasyarakatan apabila menyetujui usulan tim pengamat Pemasyarakatan LAPAS
selanjutnya melanjutkan usul tersebut kepada Kepala Ka=
ntur
Wilayah Departemen Kehakiman setempat.
c.&n=
bsp;
Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman dapat menolak atau menyetujui usul Kepala LAPAS setelah
mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setem=
pat;
d.&n=
bsp;
Apabila Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, ma=
ka
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya us=
ul
tersebut memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala Lemba=
ga
Pemasyarakatan.
e.&n=
bsp;
Tetapi apabila Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan =
maka
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diterimanya usul tersebut dan meneruskan usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan
kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
f.&n=
bsp;
Direktur Jenderal
Pemasyarakatan dalam jangka paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejaktanggal diterimanya usul Kepala Lembaga
Pemasyarakatan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menetapkan penolakan atau
persetujuan terhadap usul tersebut.
g.&n=
bsp;
Apabila Direktur jend=
eral
Pemasyarakatan menolak usul tersebut, maka dalam jangka waktu paling lambat=
14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal penetapan memberitahu penolakan =
itu
beserta alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
h.&n=
bsp;
Tetapi sebaiknya apab=
ila
Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyaraka=
tan,
maka usul tersebut diteruskan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapat
persetujuan. Apabila Menteri kehakiman menyetujui usul tersebut maka
dikeluarkan keputusan Menteri Kehakiman mengenai pembebasan bersyarat.
Dalam
menjalankan masa pembebaasn bersyarat Narapidana
memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi. Adapun kewajiban-kewajiban
yang harus di penuhi oleh narapidana bebasa
bersyarat, yaitu:
a.&n=
bsp;
Tidak melanggar perat=
uran
hukum yang ada;
b.&n=
bsp;
Dalam bulan pertama, 1
(satu) kali seminggu narapidana bebas bersyarat wajib melapor ke Balai
Pemasyarakatan;
c.&n=
bsp;
Dalam bulan kedua, 2
(dua) kali seminggu narapidana bebas bersyarat wajib melapor ke Balai
Pemasyarakatan;
d.&n=
bsp;
Dan 1 (satu) bulan se=
kali
narapidana bebas bersyarat wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan.
Narapidana
bebas bersyarat wajib melapor, yang pelaksanaannya dilakukan dalam
bentuk-bentuk sendiri-sendiri atau secara individu, jika tidak melapor maka
petugas Balai Pemasyarakatan tersebut datang kerumah=
span>
narapidana bebas bersyarat tersebut. Dalam pemberian pembebasan bersyarat d=
apat
pula dicabut oleh direktur Jenderal Pemasyarakatan atas usul kepala Balai
Pemasyarakatan (BAPAS) melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman
setempat, apabila narapidana malas bekerja; mengulangi melakukan tindak pid=
ana;
menimbulkan keresahan dalam masyarakat; dan atau melanggar ketentuan mengen=
ai
pelaksanaan asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
Pencabutan pembebasan bersyarat dapat dijatuhkan sementara setelah diperole=
h informasi
mengenai alasan-alasan pencabutan tersebut. Kemudian Kepala lembaga
Pemasyarakatan berkewajiban melakukan pemeriksaan terhadap narapidana dan
apabila terdapat bukti-bukti yang kuat, maka pencabutan dujatuhkan
secara tetap. Kepala Lembaga Pemasyarakatan melaporkan pencabutan tersebut
kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang dilengkapi dengan alasan-alasa=
nnya
serta Berita Acara Pemeriksaan.
Kesimpulan
Pembebasan
bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana di luar Rumah Tahanan/Lembaga
Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (duaper
tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana terseb=
ut
minimal 9 (sembilan) bulan. Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan isti=
lah
pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Dasar hukum tentang pemberian bebas bersyarat bagi
Narapidana di lembaga Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun pembebasan
bersyarat dapat diimplemantasikan dengan
memperhatikan beberapa ketentuan yang tercantum dalam Pasal 15a dan Pasal 1=
5b
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, selanjutnya P=
asal
14 ayat (1) huruf (k) Undang-Undang Nomor 12 ta=
hun
1995 tentang Pemasyarakatan juga menyebutkan bahwa Narapidana berhak
mendapatkan pembebasan bersyarat. Terkiat syara=
t dan
tata cara pelaksanaan hak dan warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Pasa=
l 43
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelak=
sanaan
Hak dan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam
pelaksanaannya, pembinaan dan pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh
petugas Pemasyarakatan. Implementasi sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan atas azas-azas pengayo=
man,
persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan dan pemb=
imbingan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan serta terjaminnya hak untuk tetap berhubungan deng=
an keluarga
dan orang-orang tertentu. Konsep
pelepasan bersyarat dalam Sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilakukan oleh
pejabat yang berwenang untuk melakukan pembebasan bersyarat terhadap
narapidana, yaitu Menteri Kehakiman atau pejabat yang =
dirunjuk
untuk itu dengan memperhatikan syarat substantif dan syarat administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor :M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, serta memperhatikan tata cara
untuk memperoleh pembebasan bersyarat sebagaimana telah diuraikan pada
pembahasan di atas.
BIBLIOGRAFI
Aji, Galang Res=
woro.
(2022). Model Pembinaan N=
arapidana
Sebagai Upaya Pencegahan Residivis di =
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Magel=
ang.
Amnesti Jurnal<=
/span> Hukum, 4(1), 1–10.
Astuti= , Nabila Ratri Widya, & Dewi, Dinie = Anggraeni. (2021). Pentingnya= span> Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menghadapi Perkembangan= span> IPTEK. EduPsyCouns: Journal of Educa= tion, Psychology and Counseling, 3(1), 41–49.
Danil<=
/span>, Elwi. (2021). Korupsi:
Konsep, Tindak
DP, Sa= pto Handoyo. (2018). Pelaksan= aan pidana bersyarat <= span class=3DSpellE>dalam sistem pemidanaan di Indonesia. PALAR (Pakuan Law Review)= , 4(1).
Eryans=
yah, Andi Marwan, & IP, A. Md. (2021). =
Hakikat
Sistem Pemasyarakatan Sebagai Upaya Pemulihan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan:
Perspektif Hak
Moelja= tno, S. H. (2021). KUHP (Kitab undang-un= dang hukum pidana).= Bumi Aksara.
Nasip<=
/span>, Nasip, Yul=
iartini,
Ni Putu Rai, & Mangku, Dewa Gede
Sudika. (2020). Implement=
asi
Pasal 14 Ayat (1) Undang-=
Undang
Nomor 12 Tahun 199=
5 Tentang Pemsyarakatan Terkait Hak Narapidana
Mendapatkan Remisi=
Di
Lembaga Pemasyasrakatan Kelas II B Singaraja. Jurnal=
Komunikasi Hukum (JKH)=
i>, 6(2),
560–574.
Permata, P. D.
,. Hartanto, S. H. ,. &. Bambang
Purwan=
to, E. (2022). Tinjauan <=
span
class=3DSpellE>Yuridis Tentang Pemberian Remisi Terhadap Justice Collaborator D=
alam
Perkara Pidana
Ruba= 8217;i, Masruchin. (2021). Buku Ajar Hukum Pidana<= /i>. Media Nusa Creative (MNC Publishing).
Situmo=
rang, Victorio H., Ham, R., &
Sushan=
ty, Vera Rimbawani. (2019). Pornografi Dunia Maya Menurut=
span>
Kitab Undang-Undang Hukum=
Pidana, Undang-Undang Pornografi Dan Undang-Undang Informasi Elektronik. Jurnal Gagasan=
Hukum, 1(01), 109–129.
Swardh=
ana, Gde Made. (2020). Kebijakan
kriminal dalam
Wuland=
ari, Sri. (2015). Fungsi sistem
pemasyarakatan dalam merehabilitasi dan mereintegrasi sosial
Yanto<=
/span>, Yudi Hari. (2021). EFEktivitas
Pembebasan Bersyarat Terhadap Pembinaan Narapidana Narkotika (Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Dharma=
sraya).
UNES Law Review, 3(3), 241–249.
Copyright holder: Melssy Dinda Nurs=
yahfitri,
Feny Windiyastuti=
(=
2023) |
First publication right: Syntax Lit=
erate: Jurnal Ilm=
iah
Indonesia |
This article is licensed under: |
Melssy <=
span
class=3DSpellE>Dinda Nursyahfitri, Feny Windiyastuti<=
span
lang=3DEN-US style=3D'font-size:11.0pt;font-family:"Calibri",sans-serif;mso=
-fareast-font-family:
Calibri;color:black'>
Im=
plementasi Pelepasan=
Bersyarat dalam Sistem Pembinaan Pemasyarakatan Menurut Ki=
tab Undang-Undang Hukum Pidana
2=
&=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; &nbs=
p; &=
nbsp; Syntax
Literate, Vol. 8, No. 7, Juli 2023
Syntax Literate, Vol. 8, No. 7, Juli 202=
3 &=
nbsp; =
span>3
How
to cite: |
Mel=
ssy Dinda Nursyahfi=
tri,
Feny Windiyastuti (2023) Implementasi Pelepasan Bersya=
rat
dalam Sistem Pembinaan Pemasyarakatan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (8) 7, http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i6=
span> |
E-ISSN: |
|
Published
by: |