FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM MENETAPKAN KERUGIAN NEGARA PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Abstract
Penelitian ini bertujuan guna mengkaji ulang untuk memberantas korupsi yang berimplikasi dengan tugas, fungsi dan wewenang antara (SAI) ke (BFDC) dalam menilai dan menetapkan kerugian menurut undang-undang dan peraturan negara. Penelitian ini menerapkan hukum normatif dengan rancangan deskriptif dan evaluatif. Ini Hukum, konsep dan pendekatan historis yang terapan. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah materi hukum primer dan materi hukum sekunder. Data penelitian dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan. Hasil penelitian berdasarkan prinsip hukum, kewenangan, teori hirarki hukum, dan teori rule of law menunjukkan bahwa kewenangan BFDC bertentangan dengan SAI berdasarkan Undang-Undang KPK (ACC) dan UU tentang tindakan pidana korupsi. Kontradiksi tersebut muncul karena ada ketidaksesuaian antara undang-undang ACC dan SAI dalam menentukan institusi yang berwenang dalam mengkoordinasikan pemberantasan korupsi. Hukum SAI secara eksplisit menyatakan bahwa SAI merupkan badan yang mempunyai wewenang untuk menetapkan atau menilai kerugian negara, sedangkan peraturan ACC mengatur bahwa selain SAI ada juga institusi yang berwenang bahwa BFDC. Kewenangan sebaliknya BFDC juga muncul dalam menentukan institusi yang berwenang di negara tersebut dalam menghitung kerugian. Ketidakjelasan Pasal 6 (a) peraturan ACC dan Pasal 32 UU Pemberantasan Kasus Korupsi dalam memonitor dan/atau mengatur instansi yang memiliki wewenang dalam penghitungan kerugian keuangan negara yang digunakan oleh BDFC sebagai "senjata" untuk melaksanakan kewenangannya. Ketidakjelasan menyebabkan masalah pihak berwajib dalam penggunaan hasil audit dari SAI atau BFDC. Masalah itu muncul ketika hasil audit yang digunakan oleh pihak berwajibadalah hasil audit oleh BFDC, sedangkan peraturan SAI secara eksplisit menyatakan bahwa BPK adalah satu-satunya instansi yang berwenang.