Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pemilikan dan Pengedaran Obat Keras Tanpa Resep Dokter
Abstract
Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan pada pelayanan kesehatan. Obat dapat merugikan kesehatan, bila digunakan secara tidak tepat atau bila disalah gunakan. Terkait dengan adanya penggolongan obat maka pemberian obat kepada konsumen ada aturan-aturan yang harus diterapkan. Seperti kasus pelanggaran atas pemilikan dan pengedaran obat keras yang dilakukan tanpa resep dokter dan telah diputus oleh Pengadilan dengan putusan Nomor: 59/Pid.Sus/2018/PN.Cbi, dan pelakunya diganjar dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode yuridis normatif yaitu menganalisis kaitan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas. Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa Tanggungjawab hukum terhadap pengedaran obat keras tanpa resep dokter, dapat dijerat dengan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa : Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Namun dalam Putusan Pengadilan Nomor: 59/Pid.Sus/2018/PN.Cbi terdakwa Zainal Abidin Bin Basyah (Alm) oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Downloads
Copyright (c) 2021 Stevanus Miharso
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.