Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 eISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 11, November 2022
PERBANDINGAN PENGATURAN PERMOHONAN FIKTIF POSITIF PADA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA INDONESIA DAN BELANDA
Siti Rahmaniah Jamaluddin1, Anna Erliyana2
1Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak
Fiktif positif merupakan suatu konsep keadaan sikap diam
atau pengabaian badan/pejabat pemerintahan yang dalam hitungan waktu tertentu tidak
menerbitkan keputusan dan/atau tindakan yang merupakan kewajibannya. Sehingga,
badan/ pejabat pemerintahan tersebut dianggap telah mengabulkan permohonan yang
diajukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis dua permasalahan utama, pertama mengenai pengaturan permohonan fiktif positif pada Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia berdasarkan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017, kedua mengenai pengaturan permohonan fiktif positif pada Peradilan tata Usaha
Negara Belanda berdasarkan General Administrative Law
Act (GALA). Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pengaturan permohonan fiktif positif pada Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia dan Belanda mengenai objek permohonan fiktif positif, tenggat waktu pengajuan permohonan, pemeriksaan dan pembuktian serta upaya hukum terhadap
keputusan fiktif positif.
Kata kunci: Fiktif
Positif; Peradilan
Tata Usaha Negara; Keputusan Tata Usaha Negara.
Abstract
Tacit authorization is a concept of administrative
silence that failure on the
part of the
administrative authority to take a decision
within the given time limit. So, administrative considered has been granted the application
tacitly. The purpose of this article is to analyze about two research
questions, first about the regulation of tacit authorization in Administrative
Court of Indonesia based on Law of Administration and Supreme Court Rules No. 8
of 2017, Second about the regulation of tacit authorization in Administrative
Court of Netherlands based on General Administrative Law Act (GALA). The
research method used is a normative legal research
with a statute approach and a comparative approach. The results show that there
are some different regulation about tacit
authorization application in Administrative Court of Indonesia and Netherlands
about the object application of tacit authorization, time limit for submit the
tacit authorization application, examination and verification, also about legal
effort against the decision of tacit authorization.
Keywords: Tacit
Authorization; Administrative Court; Administrative Decision.
Pendahuluan
Undang-undang Administrasi
Pemerintahan memberikan perubahan besar dalam konfigurasi hukum acara Peradilan Tata Usaha
Negara yang disebabkan penormaan
fiksi hukum fiktif positif. Sebelumnya, eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara merupakan
perwujudan dari negara hukum (rechtsstaat). Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut sistem civil law. Menurut Freidrich Julius Stahl, rechtsstaat memiliki empat unsur yaitu
perlindungan hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintahan yang berdasar pada peraturan perundang-undangan, dan adanya peradilan administrasi (Dragos et al., 2020).
Peradilan Tata Usaha Negara tidak bisa dilepaskan
dari tujuannya mencegah
dan mengawasi terjadinya penyimpangan kekuasaan oleh para aparatur pemerintahan. Pemerintahan yang berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai unsur rechtsstaat menjadi konsekuensi logis dari peran
peradilan administrasi
negara sebagai lembaga yang
mengawasi atau mengontrol tindakan hukum pemerintah agar tetap berada dalam batas-batas
kekuasaannya sehingga warga negara terlindung dari penyalahangunaan wewenang atau kesewenang-wenangan
aparatur pemerintahan.
Sejarah lahirnya sistem Peradilan Administrasi dalam sistem hukum Indonesia sesungguhnya telah bermula dari zaman
Hindia Belanda meskipun
pada waktu itu Peradilan
Tata Usaha Negara belum dikenal sebagai suatu peradilan administrasi yang kini
melembaga dalam sistem hukum negara Indonesia (Simanjuntak., 2018).
Untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, pemerintah Indonesia melakukan upaya dengan cara mempelajari sumber utama rezim administratif
yaitu Negara Perancis. Selain Perancis, pemerintah Indonesia juga mempelajari sistem peradilan administrasi di Belanda
(Danusaputro, 1977).
Lahirnya Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan tindak lanjut dari
ketentuan Pasal 10 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan disahkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Urgensi
dibentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara tersebut sebagai
langkah untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan timbulnya benturan kepentingan hingga menyebabkan
perselisihan atau bahkan sengketa antara Badan atau Pejabat TUN dengan warga
masyarakat.
Tahun 2014, dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, memberikan paradigma baru terkait penormaan fiksi hukum fiktif
positif yakni diam berarti setuju. Fiktif positif ini merupakan antitesa
dari konsep fiktif negatif yang dianut dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang menganggap sikap
diam badan atau pejabat pemerintahan sebagai suatu penolakan (Ahmad, 2017).
Fiktif bermakna bahwa keputusan TUN yang digugat sebenarnya tidak berwujud, melainkan fiktif
merupakan pengertian dari sikap diam Badan atau Pejabat TUN yang disamakan dengan keputusan TUN yang nyata tertulis (Setiabudhi, 2018).
Adapun Pasal 53 Undang-undang
Administrasi Pemerintahan mengatur: �apabila dalam batas waktu
yang ditentukan, badan atau
pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau mengabulkan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum�. Ketentuan itulah yang dimaknai sebagai keputusan fiktif positif. Keputusan fiktif ini dimaksudkan sebagai sarana dalam memberikan
ruang bagi masyarakat untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan sekaligus sebagai sarana dalam melindungi
hak pemohon dari akibat sikap
diam pemerintah terhadap permohonan yang diajukan (Wicaksono, 2021).
Untuk memberikan keputusan konkret terhadap permohonan yang sifatnya fiktif, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 mengatur mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seseorang,
badan hukum perdata atau badan hukum pemerintahan agar mendapatkan putusan penerimaan permohonan akibat permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum karena diterapkannya
Keputusan dan/atau tidak dilakukannya tindakan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan.
Sebagai perbandingan,
di negara-negara yang menerapkan sistem
hukum civil law dan memiliki
Peradilan Tata Usaha Negara seperi
Belanda, pengaturan tentang
fiktif positif juga dimuat di dalam ketentuan-ketentuan General Administrative Law Act
(GALA). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan permohonan fiktif positif pada Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang
Administrasi Pemerintahan
dan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 8 Tahun 2017, serta untuk menganalisis
pengaturan permohonan fiktif positif pada Peradilan Tata Usaha Negara Belanda Berdasarkan
General Administrative Law Act (GALA).
Metode Penelitian
Penulisan artikel ini merupakan penelitian
hukum. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan
komparatif. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah dan menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan administrasi pemerintahan. Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan pengaturan permohonan fiktif positif pada Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia dan Peradilan Tata Usaha Negara Belanda.
Berkaitan dengan
data sekunder dalam penelitian ini, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang diperoleh dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan.
Bahan hukum primer digunakan untuk mencari landasan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penelitian ini seperti Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017, dan General Administrative Law Act
Belanda. Adapun bahan hukum
sekunder yang digunakan adalah jurnal, buku, artikel ilmiah,
dan makalah yang relevan dengan penelitian ini. Terhadap data yang ada, dilakukan analisis secara kualitatif.
Hasil
dan Pembahasan
Peradilan
atau Judiciary dalam
bahasa Inggris diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan penegakan hukum
dan keadilan.
Peradilan merupakan penetapan
berlakunya suatu aturan hukum terhadap suatu
peristiwa yang konkrit sehubungan dengan timbulnya suatu persengketaan. Dengan demikian, peradilan merupakan instansi
yang netral terhadap suatu
peristiwa hukum konkrit dalam
melakukan proses pemeriksaan dan proses penentuan terhadap peristiwa konkrit tersebut ke
dalam suatu norma hukum yang abstrak dan menuangkannya kemudian ke
dalam suatu
putusan.
Riawan Tjandra mendefinisikan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai: �keseluruhan
proses atau aktivitas hakim
tata usaha negara yang didukung
oleh seluruh fungsionaris pengadilan dalam melaksanakan fungsi mengadili baik di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara maupun di Mahkamah Agung.�
(Riawan, 2009). Sementara
Prajudi Atmosudirjo membedakan pengertian Peradilan Administrasi Negara menjadi Peradilan Administrasi Negara dalam arti luas dan Peradilan Administrasi Negara dalam arti sempit.
Peradilan
Administrasi Negara dalam
arti luas merupakan peradilan yang berkaitan
dengan pejabat-pejabat
dan instansi-instansi Administrasi
Negara, baik yang bersifat perkara pidana, perdata, agama, adat hingga perkara
administrasi negara murni. Dalam arti sempit, Prajudi Atmosudirjo mendefinisikan Peradilan Administrasi Negara sebagai Peradilan yang hanya
menyelesaikan
perkara-perkara administrasi
negara murni semata, yakni perkara yang tidak memuat
pelanggaran hukum pidana ataupun perdata
melainkan
perkara yang berkisar atau berpangkal pada suatu hal
mengenai interpretasi atas suatu pasal
atau ketentuan Undang-undang dalam arti luas.
Keberadaan
Peradilan Tata Usaha Negara memberi
ruang kepada masyarakat untuk memperoleh keadilan atas keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat tata usaha negara. Tindakan hukum publik yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara di antaranya adalah tindakan hukum pemerintah yang ditujukan untuk masyarakat luas dengan menggunakan instrumen hukum peraturan bersama (gemeenschappelijk regeling), tindakan hukum sepihak yang bersifat pengaturan dengan instrumen hukum keputusan yang bersifat umum (besluit van algemene strekking), dan tindakan hukum penetapan dengan menggunakan instrumen hukum ketetapan-ketetapan (beschikkingen). (Eka, 2021)
Dalam perkembangan, kelahiran UU 30 Tahun 2014 memberikan berbagai bentuk perluasan kompetensi
pada Peradilan TUN. Salah satu kompetensi Peradilan TUN
yang diatur dalam undang-undang ini adalah
menguji objek sengketa perkara fiktif positif, yang mana pengujian perkara fiktif positif tersebut merupakan paradigma baru berkaitan dengan kompetensi
absolut Peradilan TUN.
Terminologi fiktif
positif dalam literatur hukum Indonesia sejajar dengan istilah lex silencio
yang merupakan terminologi campuran antara Bahasa Latin (lex) dengan Bahasa Spanyol
(Silencio), yang dalam terminologi
hukum berbahasa Inggris disamakan dengan istilah fictious
approval atau tacit authorization (Simanjuntak, 2017). Fiktif
positif merupakan sebuah aturan hukum
yang mensyaratkan otoritas administrasi untuk menanggapi atau mengeluarkan permohonan keputusan dan/atau tindakan yang diajukan kepadanya dalam limit waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan,
yang apabila prasyarat tersebut tidak dipenuhi maka otoritas
administrasi dengan sendirinya dianggap telah mengabulkan permohonan penerbitan keputusan dan/atau tindakan tersebut.
Konsep fiktif
positif digunakan dan dikembangkan dari suatu kondisi atau
keadaan ketika otoritas administrasi bersikap tidak sebagaimana seharusnya yakni mengabaikan sesuatu permohonan yang ditujukan kepadanya (administrative
inaction), tidak melayani
secara optimal (unprofessional), bersikap tidak responsif (unresponsive), memproses
suatu permohonan secara berlarut-larut (delaying
services) dan lain sebagainya yang identik dengan hal-hal yang sifatnya termasuk dalam kategori maladministrasi (Simanjuntak, 2017). Fiktif
positif merupakan suatu konsep keadaan sikap diam
atau pengabaian badan atau pejabat pemerintahan
yang tidak menerbitkan keputusan dan/atau tindakan dalam hitungan waktu tertentu, yang mana hal tersebut merupakan kewajibannya, sehingga badan atau pejabat pemerintahan
tersebut dianggap telah mengabulkan permohonan yang diajukan (Simanjuntak, 2017).
Pengaturan Permohonan Fiktif Positif pada Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia Berdasarkan Undang-undang
Administrasi Pemerintahan
dan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 8 Tahun 2017
1)
Kriteria
Fiktif Positif Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
Indonesia
Pasal 53 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menentukan: �apabila sampai dengan batas waktu
yang telah ditentukan,
Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan keputusan dan/atau tindakan yang telah dimohonkan, atau dalam hal
Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak melakukan keputusan dan/atau tindakan maka
permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.� Ketentuan itulah yang dimaknai sebagai fiktif positif.
2)
Permohonan
Fiktif Positif
Permohonan fiktif positif merupakan permintaan yang diajukan oleh
pemohon kepada Pengadilan Tata Usaha Negara secara
tertulis, dalam hal permohonan dianggap dikabulkan secara hukum karena Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan Keputusan dan/atau melakukan Tindakan. Dalam hal permohonan
dianggap dikabulkan secara hukum, maka
Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
memperoleh putusan penerimaan permohonan fiktif positif yang wajib diputuskan oleh pengadilan paling lama 21 hari kerja sejak permohonan
diajukan.
a)
Objek
Permohonan Fiktif Positif
Dalam rangka mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan,
yang menjadi objek permohonan adalah kewajiban badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan administrasi pemerintahan yang dimohonkan. Adapun kriteria objek permohonan fiktif positif yang dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu permohonan dalam lingkup kewenangan
badan dan/atau pejabat pemerintahan, permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan, permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh
badan/atau pejabat pemerintahan, serta permohonan untuk kepentingan Pemohon secara langsung. Berdasarkan kriteria tersebut, tidak semua permohonan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat dijadikan objek permohonan fiktif positif.
b)
Tenggat
Waktu Pengajuan Permohonan
Pengajuan permohonan
fiktif positif hanya dapat diajukan
90 hari sejak batas waktu kewajiban
badan atau pejabat pemerintahan untuk menetapkan Keputusan dan/atau
Tindakan, atau sejak batas waktu kewajiban
badan atau pejabat pemerintahan untuk melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terlampaui. Jangka waktu 90 hari untuk mengajukan
permohonan fiktif positif menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena apabila jangka waktu tersebut
terlewatkan maka pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah KTUN yang bersifat fiktif positif tidak dapat
mengajukan permohonan ke PTUN untuk mendapatkan
putusan penerimaan permohonan (Marvin., 2017).
Selain itu, jika batas waktu
kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Kep utusan
dan/atau Tindakan tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, maka tenggat waktu pengajuan
permohonan fiktif positif adalah paling lama 10 hari kerja dengan
syarat permohonan diterima secara lengkap oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan.
c)
Pemeriksaan
dan Pembuktian Permohonan
Dalam permohonan
fiktif positif, pemeriksaan persidangan dilakukan oleh Majelis Hakim tanpa melalui proses dismissal maupun pemeriksaan persiapan, melainkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Alur pemeriksaan persidangan
perkara permohonan fiktif positif akan dimuat dalam
jadwal persidangan dengan 6 alur pemeriksaan
persidangan (Dewi, 2019).
Dimulai dengan pemeriksaan pokok Permohonan, yakni memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk menyampaikan pokok Permohonan. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan tanggapan Termohon di mana Termohon diberi kesempatan untuk menyampaikan pokok tanggapan Termohon.
Setelah itu, pemeriksaan bukti surat atau tulisan, Majelis Hakim mendengarkan keterangan saksi dan keterangan ahli, dan yang terakhir yaitu pemeriksaan alat-alat bukti lain berupa informasi elektronik maupun dokumen elektronik. Adapun alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik
dapat berupa rekaman data tau informasi yang dilihat, dibaca, dan/atau didengar, baik yang tertuang di atas kertas, benda
fisik selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, atau angka
yang memiliki makna.
d)
Upaya
Hukum
Upaya hukum terhadap putusan pengadilan merupakan upaya untuk mencari
keadilan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi dari pengadilan
yang menjatuhkan putusan tersebut. Upaya hukum menjadi sarana
bagi Pemohon ataupun Termohon untuk mengajukan gugatan perlawanan terhadap putusan pengadilan, dibedakan antara upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa.
Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara atas penerimaan
permohonan fiktif positif bersifat final dan mengikat. Sehingga, terhadap putusan permohonan fiktif positif seharusnya tidak tersedia upaya hukum lebih
lanjut (Simanjuntak, 2018).
Namun, Putusan Mahkamah Agung Nomor
175/PK/TUN/2016 yang membatalkan Putusan
PTUN Palangkaraya Nomor
19/FP/2016/PTUN.PLK mengenai permohonan
fiktif positif, membuka ruang bagi
pengajuan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan permohonan fiktif positif yang bersifat final dan mengikat (Indra, 2020).
Peninjauan kembali terhadap permohonan fiktif positif yang telah berkekuatan hukum tetap tidak
diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017. Namun, Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan tertinggi, dalam pertimbangan hukumnya membuka ruang dilakukannya
pengajuan upaya hukum terhadap putusan permohonan fiktif positif yang bersifat final dan mengikat, atas dasar corrective justice.
Pengaturan Permohonan Fiktif Positif pada Peradilan Tata Usaha
Negara Belanda Berdasarkan General Administrative
Law Act (GALA)
Di Belanda, keputusan
fiktif positif dapat digugat di pengadilan dan di pengadilan tingkat banding dalam masalah administrasi di Dewan
Negara, namun gugatan semacam ini hanya
dapat diajukan oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh akibat keluarnya keputusan fiktif positif. Otoritas administrasi perlu memberikan notifikasi tentang dikeluarkannya keputusan fiktif positif dalam dua
minggu setelah habis limit waktu untuk penerbitan keputusan. Notifikasi dan batas waktu tersebut
untuk memberikan kesempatan bagi pihak ketiga ketika
ingin mengajukan upaya hukum. Pihak
ketiga harus menunggu notifikasi sebelum mereka dapat mengajukan upaya keberatan atau gugatan terhadap
keputusan fiktif positif.
Dalam hal Pengadilan administrasi dapat membatalkan seluruh atau sebagian
keputusan fiktif positif, otoritas administrasi harus membuat keputusan baru. Tidak dipatuhinya
putusan pengadilan tidak dapat dijadikan
sebagai dasar untuk membuat keputuan
fiktif positif yang lain.
1) Kriteria
Fiktif Positif Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
Belanda
Bab 4.1.3.3 General Administrastive Law Act (GALA) Belanda memuat pengaturan tentang fiktif positif di mana apabila Badan atau Pejabat Pemerintahan
tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan dalam batas waktu
yang ditentukan menurut hukum, maka keputusan
terhadap permohonan tersebut dianggap diberikan secara hukum. Ketentuan inilah yang dimaknai sebagai fiktif positif. Terhadap ketentuan fiktif positif tersebut, ditetapkan berlaku pada hari ketiga setelah
berakhirnya batas waktu untuk pemberian
keputusan. Sistem fiktif positif di Belanda di terapkan secara terbatas yakni fiktif positif hanya berlaku sepanjang
diatur lebih spesifik dalam peraturan terkait.
Model Belanda menerapkan
keputusan fiktif positif secara terbatas di mana keputusan fiktif positif diterapkan sepanjang peraturan dasarnya mengatur demikian. Ketentuan hukum di Belanda yang memungkinkan penerapan keputusan fiktif positif adalah pasal 28 Undang-undang Pelayanan Publik (Dienstenwet)
Belanda (Simanjuntak, 2017).
Batas waktu
yang ditentukan menurut
GALA terhadap Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan suatu keputusan adalah delapan minggu sejak diterimanya
permohonan. Jika dalam batas waktu delapan
minggu keputusan belum juga dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Pemerintahan, maka penting bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan
untuk menginformasikan kepada pemohon mengenai keterlambatan tersebut dengan menetapkan batas waktu pemberian keputusan terhadap permohonan tersebut. Apabila dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan itu, Badan atau Pejabat Pemerintahan
belum juga mengeluarkan keputusan terhadap permohonan maka berlaku fiktif positif (Nicole, 2020).
Badan atau Pejabat Pemerintahan wajib mengeluarkan notifikasi (notification) dan/atau
konfirmasi batas waktu setelah habis
limit waktu untuk penerbitan keputusan dalam jangka waktu
dua minggu terhadap permohonan yang dianggap diberikan secara hukum disebabkan
Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak mengeluarkan keputusan tepat waktu. Notifikasi
dan/atau konfirmasi batas waktu ini
penting karena berkaitan sebagai dasar perhitungan waktu pengajuan upaya hukum baik
oleh pihak pemohon maupun perlawanan bagi pihak ketiga
(Simanjuntak, 2017).
Dalam hal Badan atau Pejabat Pemerintahan
belum mengeluarkan notifikasi terhadap keputusan fiktif positif, maka Badan atau Pejabat Pemerintahan
dikenakan denda untuk setiap hari
atas kelalaiannya dalam memberikan notifikasi keputusan tersebut.
Jumlah
pembayaran denda tergantung pada jumlah hari Badan atau Pejabat Pemerintahan belum mengeluarkan notifikasi dan/atau konfirmasi batas waktu terhadap keputusan fiktif positif dalam jangka
waktu dua minggu, dengan jumlah hari maksimal
adalah 42 hari. Pembayaran denda dilakukan dengan ketentuan 23 Euro perhari untuk 14 hari pertama,
35 Euro perhari untuk 14 hari kedua, dan kemudian 45 Euro perhari untuk 14 hari berikutnya.
Instrumen hukum berupa
denda ini merupakan sanksi
bagi Badan atau pejabat Pemerintahan karena keputusan belum diberikan
setelah
batas waktu yang ditentukan.
Dalam hal pemberian fiktif positif diberikan, Badan atau Pejabat Pemerintahan
masih memiliki kewenangan untuk mengubah ketentuan yang terdapat dalam fiktif positif atau mencabutnya jika diperlukan untuk mencegah timbulnya dampak yang serius bagi kepentingan
umum. Pasal 4:20f GALA menentukan jangka waktu enam minggu
untuk melakukan pencabutan atau perubahan pada fiktif positif setela pemberian fiktif positif oleh Badan atau Pejabat pemerintahan.
Badan atau Pejabat Pemerintahan akan mengganti kerugian yang disebabkan oleh perubahan atau pencabutan fiktif positif. Namun, hanya kerugian yang diakibatkan dari perubahan atau pencabutan fiktif positif yang menjadi ganti rugi Badan atau Pejabat Pemerintahan,
bukan kerugian yang mungkin timbul setelah keputusan dikeluarkan.
2) Permohonan
Fiktif Positif
Dalam hal fiktif positif diberikan terhadap suatu permohonan, namun Badan atau Pejabat Pemerintahan belum juga mengeluarkan keputusan terhadap pemberian fiktif positif tersebut maka Pemohon dapat
mengajukan permohonan
banding kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara untuk memperoleh
putusan fiktif positif. Pengadilan memberi putusan yang memerintahkan Badan atau Pejabat Pemerintahan untuk mengeluarkan keputusan fiktif positif (Nicole, 2020).
Pejabat Pemerintahan
perlu memberikan notifikasi perihal dikeluarkannya keputusan fiktif positif dalam dua minggu
setelah habis limit waktu untuk penerbitan
keputusan. Notifikasi dan batas waktu tersebut
untuk memberikan kesempatan bagi pihak ketiga ketika
ingin mengajukan upaya hukum. Sehingga,
pihak ketiga harus menunggu notifikasi dahulu sebelum dapat mengajukan
upaya keberatan atau gugatan terhadap
keputusan fiktif positif.
a) Objek
Permohonan Fiktif Positif
Objek permohonan
banding yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah
kegagalan badan atau pejabat pemerintahan
dalam menetapkan keputusan pada
waktunya atau terhadap kegagalan badan atau pejabat
pemerintahan dalam memberitahu
bahwa keputusan fiktif positif telah diberikan
sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 6:12 GALA bahwa banding dapat diajukan pada saat Badan atau Pejabat Pemerintahan
gagal memberikan keputusan pada
waktunya atau gagal memberitahukan bahwa keputusan fiktif positif telah diberikan.
b) Tenggat
Waktu Pengajuan Permohonan
Pengajuan permohonan
banding untuk memperoleh keputusan fiktif positif dapat dilakukan
setelah Badan atau Pejabat Pemerintahan belum juga mengeluarkan keputusan terhadap pemberian fiktif positif tanpa tenggat
waktu pengajuan permohonan.
c) Pemeriksaan
dan Pembuktian Permohonan
Terhadap permohonan
banding untuk memperoleh keputusan fiktif positif yang diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara Belanda, hakim akan mengeluarkan
putusan dalam waktu 8 minggu setelah permohonan banding diterima dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan banding. Jika banding tersebut beralasan
dan badan atau pejabat pemerintahan
masih belum memberikan keputusan pada saat itu, pengadilan akan
menetapkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan
akan mengambil keputusan dalam waktu dua minggu. Pengadilan akan
melampirkan denda pada keputusan ini untuk setiap hari dimana badan atau pejabat pemerintahan gagal dalam memenuhi
keputusan tersebut (biasanya
dendanya dari 100 euro hingga maksimum 15.000 euro).
Namun, apabila
hakim memutuskan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka dengar
pendapat pemohon dan termohon, maka hakim Pengadilan Tata Usaha Negara akan
mengeluarkan putusan dalam waktu 13 minggu. Para pihak dapat menyampaikan pandangan mereka terhadap permohonan tersebut secara tertulis sejak tanggal pengajuan laporan sampai dengan jangka waktu
yang ditetapkan oleh pengadilan.
Para pihak juga dapat mengajukan dokumen tambah untuk keterangan
lebih lanjut dalam jangka waktu
yang ditentukan sebelum persidangan.
d) Upaya
Hukum
Di Belanda, keputusan fiktif positif dapat digugat
banding ke Yurisdiksi Administratif Dewan Negara (gugatan
masalah administrasi di
Dewan Negara diajukan di pengadilan
tingkat banding), namun gugatan semacam ini hanya dapat
diajukan oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan fiktif positif (Dacian, 2020).
Pihak ketiga harus menunggu sampai pemberitahuan putusan fiktif positif untuk melakukan
gugatan terhadap keputusan fiktif positif yang dikeluarkan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, dengan jangka waktu pengajuan
gugatan hanya enam minggu setelah
pemberitahuan putusan telah diberikan.
Tabel Perbandingan
Pengaturan Permohonan Fiktif Positif pada Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia dan Belanda
Aspek Perbandingan |
Permohonan Fiktif
Positif (Indonesia) |
Permohonan Fiktif
Positif (Belanda) |
Objek Permohonan |
Kewajiban badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan administrasi pemerintahan yang dimohonkan. |
Pengajuan banding terhadap kegagalan badan atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan keputusan
pada waktunya atau terhadap kegagalan badan atau pejabat pemerintahan dalam memberitahu
bahwa keputusan fiktif
positif telah diberikan. |
Tenggat Waktu Pengajuan |
-
90 hari sejak batas waktu
kewajiban menerbitkan keputusan dan/atau melakukan tindakan administrasi -
10 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan |
Setelah Badan atau Pejabat Pemerintahan belum juga memberikan notifikasi perihal dikeluarkannya keputusan fiktif positif dalam waktu dua minggu
setelah habis limit waktu untuk penerbitan
keputusan, tanpa adanya tenggat waktu pengajuan permohonan. |
Pemeriksaan dan Pembuktian |
-
Pemeriksaan persidangan
dimulai dengan pemeriksaan pokok Permohonan, yakni memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk menyampaikan pokok Permohonan. -
Selanjutnya, dilakukan
pemeriksaan tanggapan Termohon di mana Termohon diberi kesempatan untuk menyampaikan pokok tanggapan Termohon. -
Setelah itu,
pemeriksaan bukti surat atau tulisan di mana Majelis Hakim mendengarkan keterangan saksi dan keterangan ahli, dan pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi elektronik maupun dokumen elektronik. |
-
Hakim memutuskan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka dengar pendapat permohon dan termohon. -
Para pihak dapat menyampaikan pandangan mereka terhadap permohonan tersebut secara tertulis sejak tanggal pengajuan laporan sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh pengadilan. -
Para pihak juga dapat mengajukan dokumen tambahan untuk keterangan lebih lanjut dalam jangka waktu yang ditentukan sebelum persidangan. |
Upaya Hukum |
Membuka ruang
bagi pengajuan upaya hukum peninjauan
kembali terhadap putusan permohonan fiktif positif yang bersifat final dan mengikat. |
Membuka pengajuan
gugatan terhadap keputusan fiktif positif oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan fiktif positif. |
Dari tabel di atas, dapat diketahui perbedaan pengaturan pengajuan permohonan fiktif positif pada Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia dan Belanda berdasarkan objek permohonannya, tenggat waktu pengajuan, pemeriksaan dan pembuktian, serta upaya hukum
terhadap keputusan fiktif positif. Objek permohonan fiktif positif di Indonesia berupa kewajiban badan dan/atau pejabat pemerintahan
untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan administrasi pemerintahan, sedangkan objek permohonan fiktif positif di Belanda berupa pengajuan banding terhadap kegagalan badan atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan keputusan pada waktunya atau kegagalan memberitahu bahwa keputusan fiktif positif telah diberikan.
Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia menetapkan tenggat waktu 90 hari dan 10 hari terhadap objek
permohonan fiktif positif sedangkan di Belanda tidak menetapkan tenggat waktu pengajuan
permohonan. Terhadap putusan permohonan fiktif positif, di Indonesia masih dibuka ruang
untuk pengajuan upaya hukum. Adapun di Belanda, Peradilan Tata Usaha Negara membuka
pengajuan gugatan terhadap keputusan fiktif positif oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan.
Kesimpulan
Permohonan fiktif positif di Indonesia diatur dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan dan
juga Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 8 Tahun 2017,
yang mengatur apabila dalam batas waktu
yang telah ditentukan,
Badan atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan atau tidak melakukan keputusan dan/atau tindakan yang telah dimohonkan maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Terhadap
hal tersebut, dapat diajukan permohonan fiktif positif dengan tenggat waktu 90 hari atau 10 hari
kerja apabila permohonan telah diterima secara lengkap oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Untuk upaya hukum,
peradilan administrasi
Indonesia membuka pengajuan
upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan permohonan fiktif positif yang bersifat final dan mengikat.
Sementara itu, permohonan fiktif positif Belanda diatur dalam General Administrative Law Act Belanda,
yang mengatur apabila Badan
atau Pejabat Pemerintahan tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan dalam batas waktu yang ditentukan, maka keputusan tersebut dianggap diberikan secara hukum. Pengajuan
banding terhadap kegagalan
Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan keputusan tepat waktu dapat
dilakukan setelah Badan atau Pejabat tidak
memberi notifikasi dalam waktu dua
minggu atas dikeluarkannya keputusan fiktif positif, tanpa adanya tenggat
waktu pengajuan permohonan. Untuk upaya hukum, peradilan
administrasi Belanda membuka
pengajuan gugatan terhadap keputusan fiktif positif oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan.
Dragos, D. C.,
Kovač, P., & Tolsma, H. D. (2020). The Sound of Silence in European
Administrative Law. Springer. Google Scolar.
Graaf,
K.J.D., Hoggstra, N.G., & Marseille, A.T. Remedies
Against Administrative Silence in the Netherlands dalam
The Sounds of Silence in European Administrative Law. Cham: Palgrave
Macmillan, 2020. Google Scolar.
Lotulung, P.E. �Peradilan Tata Usaha Negara
dalam Kaitannya dengan Rechtsstaat Republik Indonesia.� Disampaikan
pada Seminar Ketatanegaraan dalam
Rangka Memperingati Hari Lahirnya Prof. Djokosoetono, S.H.
(Desember 1991). Google Scolar.
Mahkamah Agung. Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok-pokok
Hukum Tata Usaha Negara Dilihat dari
Beberapa Sudut Pandang.
Jakarta: Mahkamah Agung, 2011. Google Scolar.
Marvin,
R.A., Erliya.A. �Polemik Jangka Waktu Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.�
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 no. 4
(Oktober-Desember 2019): 942-958. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no4.2350.
Google Scolar.
Nainggolan,
I.L. �Peninjauan Kembali Permohonan
Fiktif Positif Kajian Putusan Nomor 175 PK/TUN/2016.� Jurnal Yudisial 13 no.
2 (Agustus 2020): hal.
225-244. 10.29123/jy.v13i2.353 Setiabudhi,
D.O. �Keputusan Fiktif Negatif
Sebagai Dasar Pengajuan Gugatan dalam Sengketa
Tata Usaha Negara yang Berkaitan dengan
Pelayanan dalam Bidang Pertanahan.� Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas
Hukum Universitas Sam Ratulangi (Manado: 2016):
1-25. Google Scolar.
Simanjuntak, E. Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika,
2018. Google Scolar.
�
Simanjuntak, E. �Perkara Fiktif
Positif dan Permasalahan Hukumnya.� Jurnal Hukum
dan Peradilan 6 no. 3 (November 2017): 379-398. http://dx.doi.org/10.25216/jhp.6.3.2017.379-398. Google Scolar.
Tjandra, R. Peradilan Tata Usaha
Negara Mendorong Terwujudnya
Pemerintahan Yang Bersih
dan Berwibawa. Yogyakarta :
Liberty, 2009. Google Scolar.
�
Wicaksono, D.A., Hantoro, B.F., &
Kurniawan, D. �Quo Vadis Pengaturan Kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam Penerimaan Permohonan Fiktif Positif Pasca Penataan
Regulasi dalam Undang-undang Cipta Kerja.� Jurnal Rechtsvinding 10 no. 2 (Agustus
2021): 323-337. http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v10i2.715. Google Scolar.
Wulandari, D. �Pengujian Keputusan Fiktif Positif di Pengadilan Tata Usaha Negara.� Lex Renaissance 5 no.
1 (Januari 2020): 32-56. Google Scolar.
Yuniza, M.E., Inggarwati, M.P. �Peluang
dan Tantangan Keputusan Fiktif
Positfi Setelah Undang-undang Cipta Kerja Diundangkan.� Jurnal de Jure 13 no. 2 (Oktober
2021): 1-21. 10.36277/jurnaldejure.v13i2.539 Google Scolar.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia.
Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan. UU
No. 30 Tahun 2014. LN No. 292 Tahun
2014. TLN 5601.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan
Permohonan Guna Mendapatkan
Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau
Pejabat Pemerintahan. Perma No. 8 Tahun 2017. Berita Negara No. 1751 Tahun
2017.
Belanda.
General Administrative Law Act.
Copyright holder: Nabila Rizqi
Oktavia (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |