Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 eISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 11, November 2022
URGENSI
KONSTITUSIONALISASI PANGAN DALAM UUD 1945
Endang Hadrian
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Pangan menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi umat
manusia. Pangan menjadi salah satu sumber kehidupan yang memiliki arti penting
dalam keberlangsungan peradaban manusia. Maka persoalan hak untuk mendapatkan pangan dapat
dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, Indonesia
yang merupakan negara yang menganut sistem demokrasi
konstitusional, saatnya memasukkan isu pangan dalam perspektif HAM. Indonesia berkewajiban memikul,
menghormati serta memenuhi HAM atas pangan.
Meski dalam kenyataannya, Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan atas tidak terpenuhinya
kebutuhan pangan sebagai kebutuhan primer. Sehingga perlunya hak pangan secara
eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi konstitusionalisasi pangan dalam UUD 1945. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
penelitian yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa terjadinya disharmonisasi
menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menahan laju pertumbuhan
masyarakat Indonesia. Menimbulkan
tidak terwujudnya lahan pertanian yang berkelanjutan. Jika lahan pertanian berkelanjutan gagal diterapkan. Tentu akan mengakibatkan
Indonesia akan bergantung
pada impor.
Kata kunci : Pangan, konstitusional, HAM, UUD
1945
Abstract
Food
is one of the basic needs for human beings. Food is one of the sources of life
that has an important meaning in the sustainability of human civilization. So the issue of the right to food can be seen from the
perspective of Human Rights (HAM). Therefore, it is time for Indonesia, which
is a country that adheres to a constitutional democratic system, to include
food issues in the perspective of human rights. Indonesia is obliged to bear,
respect and fulfill human rights over food. Even
though in reality, Indonesia is still facing various problems due to the unfulfillment
of food needs as a primary need. So that the need for food rights is explicitly
stated in the 1945 Constitution. This study aims to determine the urgency of
the constitutionalization of food in the 1945
Constitution. The type of research used in this research is a normative
juridical research study. The results of this study indicate that the
occurrence of disharmony indicates the failure of the government to restrain
the growth rate of Indonesian society. Leads to the non-realization of sustainable
agricultural land. If sustainable agricultural land fails to apply. Of course,
this will result in Indonesia being dependent on imports.
Keywords:
Food, constitutional, human rights, the 1945 Constitution
Pendahuluan
Pangan
merupakan suatu kebutuhan pokok manusia sehingga pangan bersifat primer. Adapun upaya memenuhi kebutuhan primer tersebut, manusia pada mulanya melakukan Food Gathering dan Food Hunting untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Seiring berjalannya waktu, jumlah manusia
yang kian meningkat, sehingga pemenuhan tersbut beralih kepada kegiatan pertanian. Jika dalam tatanan negara, pangan menjadi salah satu penetap hidup matinya
masyarakat di suatu
negara. Seperti Uni Soviet, negara yang bubar karena disebabkan
oleh embargo pangan yang dilakukan
oleh Amerika Serikat. Di sisi
lain, Kuba menjadi suatu negara yang dapat bertahan karena pemerintahan Kuba dapat memberi makan
yang higienis bagi masyarakatnya, tanpa perlu melakukan
impor. Hal tersebut, menunjukkan bahwa pangan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia (Saifulloh, 2021).
Pangan yang saat ini masih sekadar sebagai komoditas dagang semata, perlu
ditingkatkan kadarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari HAM. Akses publik
terhadap pangan menjadi salah satu HAM yang tidak dapat dilepaskan dari diri
manusia. Pangan dapat dikategorikan dalam isu kesejahteraan. Karena itu, setiap jiwa manusia
memiliki hak untuk sejahtera, dan sudah menjadi kewajiban
negara dalam menjamin dan melindunginya. (Soetaprawiro, 2021)
Hak untuk mengakses
pangan dapat dikategorikan ke
dalam hak ekonomi. Sosial dan budaya (Ekosob), dimana ekosob ini tidak
dapat berdiri sendiri.
Karena itu, dibutuhkan peran negara dan canpur
tangan pemerintah secara aktif dalam
pemenuhannya. (Agustine, 2020)
Terlebih, bila
disandingkan dengan praktik hukum di Indonesia bila diklasifikasikan masuk
dalam kategori negara hukum kesejahteraan (welfare state), dimana
negara memiliki peran penting dalam urusan warganya. Negara memiliki andil
untuk mewujudkan kesejahteraan
warganya.(Oman, 2015)
Sehingga, dalam hal ini negara wajib bertanggungjawab dalam meningkatkan kesejahteraan demi terciptanya kehidupan yang layak bagi warga negaranya.
Pemerintah dapat peningkatan kualitas pelayanan publik dan pengembangan kebijakan dalam rumpun kesejahteraan
rakyat
melalui konstitusionalisasi persoalan pangan ke dalam
UUD 1945.
Metode
Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan konsep penelitian yang berdasarkan pada bahan hukum utama
dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan
dengan penelitian ini.
Hasil dan pembahasan
1.
Apakah di Indonesia regulasi
tentang hak pangan dapat mencapai
kedaulatan pangan?
Daulat Pangan
����������� Kedaulatan pangan sudah menjadi hak
bagi seluruh kalangan masyarakat dalam upaya mengembangkan
keahlian dalam bidang produksi. Kedaulatan pangan berlaku bagi masyarakat,
baik yang berasal dari suatu komunitas,
maupun suatu negara yang bertujuan untuk mendeskripsikan pertanian/pangan sesuai dengan
kreasi yang timbul dari hasil pemikiran
masing-masing pribadi, yang berlandaskan
darisisi sosial dan juga ekonomi dengan menyesuaikan dengan keadaan. Penjelasan tersebut berkaitan dengan hak atas
memproduksi pangan dengan memperhatikan sisi keamanan dan gizi guna mempertahankan
mereka dan lingkungannya. Kedaulatan pangan, menitikberatkan kepada hak pangan. Pendekatan
yang dapat dilakuan ialah adanya inisiatif
untuk membentuk kedaulatan atas pangan melalui agribisnis yang berasaskan kerakyatan dan berhenti, sebisa mungkin tidak mengkonsumsi bahan pangan impor,
memperhatikan bidang agraria, dan juga menyintas kemiskinan.
Regulasi
Negara
Indonesia memiliki Undang-Undang
No.18 Tahun 2012 Tentang Pangan atas perubahan
Undang-Undang No. 7 Tahun
1996. Dalam Undang-Undang
No. 18 Tahun 2012, ditujukan
untuk menggapai 3 (tiga) hal yaitu
tentang kedaultan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan.
Sebagaiman tercantum dalam Pasal 1 ayat
(2-4) Undang-Undang No. 18 Tahun
2012 Tentang Pangan, yakni :
Ayat (2)
�Kedaulatan Pangan adalah hak
negara dan bangsa yang secara
mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas
Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat
untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal. ��
Ayat (3)
��Kemandirian Pangan adalah kemampuan
negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.��
Ayat (4)
��Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.��
Sehingga regulasi
ini menjadi suatu identitas bagi pembangunan para petani Indonesia. �Ketahanan Pangan�� ialah sutau paradigma yang selama ini digunakan
oleh pemerintah dalam upaya pemenuhan pangan bagi masyarakat
dan pertanian di Indonesia. Akan
tetapi, regulasi tentang pangan juga menggadopsi ��Kedaulatan Pangan�� guna melengkapi
tindakan penyempurnaan guna mencapai ketahanan
pangan. Dari regulasi tersebut, apakah hak pangan dapat
dirasakan oleh masyarakat
Indonesia? The State of Food Security and Nutrition In
The World menguraikan tentang
masyarakat Indonesia yang belum
terpenuhi hak atas pangannya, Pada tahun 2013, terdapat 15 Provinsi yang melaporkan bahwa stunting termasuk kedalam isu yang serius. Stunting merupakan konsidisi dimana anak memiliki tubuh
yang lebih pendek dibandingkan anak yang seusianya. Perlamabatan perkembangan ini disebabkan oleh faktor gizi dan kesehatan. Dilanjut pada tahun 2016, Populasi masyarakat Indonesia sebanyak 7,9% mengalami kelaparan pangan, dan terdapat kesenjangan wilayah yang
mengakibatkan gizi buruk. Di tahun 2018, wilayah
Papua terdapat 6 Kabupaten di Asmat serta 80 juta penduduk
Indoenesaikerawanan Pangan.
Kemudian
tahun 2017-2019, sebanyak
4,5 juta anak dibawah lima tahun mengalami mal nutrisi. Malnutrisi yang yang prevalensinya tinggi, kerap dialami oleh anak-anak indonesia ialah sebanyak 36,4% mengalami stunting, sebanyak
13,5% menderita wasted, serta
sebanyak 11,5% mengalami obesitas.
Dari data atas
menunjukkan bahwa regulasi tentang hak pangan belum
berdampak pada pemenuhan hak pangan dalam
bidang ketersediaan dan akseptabilitas pangan yang sejatinya harus dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.��� Selain itu, dari
keterangan kebijakan yang diterapkan oleh ketujuh presiden, menggambarkan bahwa kebijakan-kebijakan tersbut tidak memilki
arah yang jelas. Hal ini disebabkan karena hak pangan
tidak tercantum secara spesifik dalam konstitusi tertinggi di Indonesia. Padahal seharusnya,
diperlukannya konstitusi
yang dapat memberi arahan untuk tiap-tiap
kebijkan yang hendak dikeluarkan oleh para presiden,
agar landasan yang digunakan
jelas dan adanya suatu kesinambungan.
Hak
atas pangan harus tercantum dalam konstitusi, agar warga negara memiliki kekuatan hak konstitusional.
Sebab, hak pangan belum tercantum
secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka hal tersebut
dapat mengundung kelemahan yang nantinya akan membuat eksistensi
negara menjai lemah. Kelemahan tersebut perlu mengalami perbaikan, yang dimana perbaikan tersebut dilakukan melalui amandemen UUD 1945. Pengamandemanan
dapat dilakukan secara keseluruhan maupun hanya pada substansi tertentu, agar dapat menyudahi implikasi
yang tak terarah dalam bidang ketatanegaraan
(Huda, 2008).
Karena amandemen merupakan suatu cara dalam
mengubah konstitusi. K.C Wheare mengatakan, tiga upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengamandemenkan konstitusi, yaitu:
1. Formal
Amandemen
formal merupakan pengamandemanan
kontitusi melalui peraturan dan tata cara yang telah ditetapkan. Mekanisme pengamandemenan di
Indonesia tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945.
2. Membumikan kebiasaan ketatanegaraan
Memaknai
amandemen konstitusi tak hanya dalam
lingkup amandemen formal. Memaknai amandemen juga dapat diupayakan melalui konvensi ketatanegaraan.
3. Penafsiran
Hakim
Yakni
hakim mengamandemen dalam bidang tekstual konstitusi, ialah mengaamandemenkan arti yang terkandunf
dalam konstitusi.����������
Kondisi negara yang tidak memberikan jaminan hak atas
pangan secara eksplisit dalam konstitusi menjadi persoalan serius bagi bangsa ini
memunculkan persepsi mendasar bahwa norma hukum yang mengatur seputar hak atas pangan
belum sepenuhnya sempurna yang menyebabkan terjadinya problem dari ketidaktegasan pengaturan dalam konstitusi. Hal
tersebut dikarenakan konstitusi menjadi sumber dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan,
dan materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi merupakan aturan implementatif dari amanat konstitusi. Untuk itu adalah
beralasan jika pemenuhan hak atas
pangan akan lebih terjamin jika hak tersebut
diatur dalam UUD 1945 (Muwaffiq, 2017).
2.
Aspek
terpenuhinya kedaulatan pangan apabila ketahanan pangan dan ketersediaan lahan dapat terpenuhi
Ketahanan
Pangan
����������� Dapat dikatakan
berhasil dalam upaya ketahanan pangan, dapat dilihat
dari kecukupan serta kelayakan mutu pangan yang tentunya berkaitan dengan ketersediaan pangan. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan pangan ialah mayoritas
masyarakat bergantung kepada satu jenis
pangan yaitu beras. Sehingga apabila persediaan pangan tidak terpenuhi,
maka terjadi kemiskinan pada masyarakat yang bergantung pada satu jenis pangan tersebut.
Empat pilar dalam bidang ketahana pangan meliputi ketersediaan
pangan yang cukup, kestabilan pangan, adanya akses dan pemanfaatan. Pemerintah dapat dikatakan sukses dalam upaya
ketahanan pangan apabila rumah tangga
telah tercukupi pangannya baik dari segi jumlah
ataupun kualitas, dan penyebaran pangan merata keseluruh bagian di wilayah Indonesia. Perlunya
pemenuhan pangan yang adil dan merata untuk menghindari kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan situasi masyarakat yang tingat ketersedian pangannya tidak tercukupi dalam memenuhi standar pertumbuhan kesehatan. Terjadinya kerawanan pangan dapat dilihat dari
segi sifatnya, yakni :
1. Kronis,
ialah gejala kekurangan makan dalam kuran waktu
yang cukup lama, disebabkan
oleh ketidakmampuan masyarakat
untuk memperoleh pangan sesuai dengan
mestinya. Tidak dapat membeli juga tidak dapat memproduksi
sendiri, karena keterbatasan kemampuan dan mengakibatkan timbulnya penyakit.
2. Transiem,
ialah situasi yang diluar dugaan masyarakat,
seperti terjadinya ketidakstabilan produk sehingga membuat harga pangan melonjak,
terjadinya bencana alam yang mengakibatkan pasokan pangan yang rendah, juga dapat terjadi karena konflik sosial.
Di
Indonesia, tahun 2018 Indoneisa
mengalami stunting hingga menyentuh angka 30,8% yang mana
pada garis yang telah ditentukan
WHO adalah sebanyak 20%.
Angka stuting yang tinggi bukan bermula pada tahun 2018, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya angka stunting sudah dalam kategori yang tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) pada tahun 2010 mengungkapkan
stunting
menyentuh angka 35,16% dilanjut ke tahun
2013 yang mencapai 37,2%, pada tahun
2015 stunting mengalami sedikit
penurunan yakni berada pada 29%, dan kembali naik
ke angka 29,6%. Fakta tersebut, tentu menghadirkan kekecawaan karena sebagai negeri yang kaya akan sumber daya
alam, nyatanya belum mampu dalam
mengatasi ketahanan pangan untuk para masyarakatnya. Indonesia
belum dapat memenuhi karakter hak atas pangan
sesuai standarisasi Food and Agriculture Organization (FAO), yang meliputi
kapasitas, pemerataan, kemandiriran, keandalaan dan keberlanjutan (Jafar, 2019). Selain
stunting, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2018 menyatakan bahwa terdapat 3,8%balita mengalami keadaan gizi buruk. Dampak
yang tidak baik dari stunting dan gizi buruk, mengakibatkan penurunan kualitas usmber daya manusia,
menurunyya daya saing bangsa karena
disebabkan oleh perkembangan
otak yang mekambat, kemudian akan berpengaruh
kepada cara berpikir, dan akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan sistem kekebalan tubuh. Dari penjelasan
di atas, maka diperlukannya suatu pengakuan secara kontitusional atas pangan, karena
hak pangan yang tercantum dalam kontitusi memberikan mandat kepada masyarakat
dalam mengawal kebijakan-kebijakan terkait hak pangan. Bukan
hanya itu, dengan adanya konstitusi
maka akan memberikan rasa aman kepada masyarakat atas hak pangan,
karena konstitusi bersifat rigid. Jika hak atas pangan menjadi
salah satu substansi yang akan dicantumkan dalam UUD 1945, potensi untuk mengabaikan dan mengurangi hak pangan akan menjadi
sulit untuk direalisasikan oleh para pembuat kebijakan.
����������� Undang-Undang No.41 tahun 2009 Tentang
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, merupakan landasan hukum yang dibentuk guna meningkatkan cadangan pangan. Tercatat oleh Badan Ketahanan Pangan, sampai tahun 2016 telah membangunlahan pertanian sebesar 3.826. Namun sayangnya undang-undang ini hanya dapat
mengatasi ketersediaan lahan secara normatif,
sementara disisi lain berdasarkan UU
No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, eksistensi lahan peratanian tersebut mengalami ancaman kebijakan untuk pembangunan yang akan ditujukan kepada kepentingan umum.
Terjadinya disharmonisasi menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menahan laju pertumbuhan
masyarakat Indonesia. Adapun perkiraan
pada tahun 2035 Indoneisa akan mengalami peningkatan penduduk sebesar 1,3-1,5% per tahun. Perkiraan tersebut akan bertolak belakang
dengan prinsip utama perlindungan dan larangan alih fungsi,
karena tidak terwujudnya lahan pertanian yang berkelanjutan.
Meskipun sudah ada peraturan Undang-Undang
No.41 Tahun 2009, alih fungsi lahan menjadi
non lahan terus meningkat. Presentase di Pulau Jawa, lahan
sawah 58,7% beralih menjadi
perumahan, pengalihan lahan sawah menjadi non perumahan mengalami peningkatan menjadi 35,3%. Di luar Pulau Jawa
ahli fungsi lahan sawah menyentuh 16,1% dan alih fungsi sawah menjadi non perumahan sebesar 35,3% (Raihan, 2013).
Jika lahan pertanian berkelanjutan gagal diterapkan. Tentu akan mengakibatkan Indonesia akan bergantung pada impor. Dalam menangani hal tersebut, agar dapat mewujudkan lahan pertanian yang berkelanjutan diharapakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memiliki acuan yang jelas, sehingga tidak mengeluarkan kebijakan yang berbeda-beda pada setiap masanya. Urgenisasi ketersedian lahan pangan perlu termuat
dalam konstitusi, sebagai wujud mengsinkronisasi
kebijakan agar tidak keluar dari jalur
konstitusi yang telah ditetapkan. Persoalan diatas menunjukkan adanya disharmoniasasi kebijakan pemerintah karena didorong dengan ego sektoral yang tumbuh antara Kementerian dan
Lembaga. Dua,
stop impor pangan khusus untuk beras,
jagung, dan daging sapi
Kesimpulan
Pangan menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi umat
manusia. Pangan menjadi salah satu sumber kehidupan yang memiliki arti penting dalam
keberlangsungan peradaban manusia.
Pangan yang saat ini masih sekadar sebagai komoditas
dagang semata, perlu ditingkatkan kadarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari
HAM. regulasi
ini menjadi suatu identitas bagi pembangunan para petani Indonesia. �Ketahanan Pangan�� ialah sutau paradigma yang selama ini digunakan
oleh pemerintah dalam upaya pemenuhan pangan bagi masyarakat
dan pertanian di Indonesia. Kondisi
negara yang tidak memberikan
jaminan hak atas pangan secara
eksplisit dalam konstitusi menjadi persoalan serius bagi bangsa ini
memunculkan persepsi mendasar bahwa norma hukum yang mengatur seputar hak atas pangan
belum sepenuhnya sempurna yang menyebabkan terjadinya problem dari ketidaktegasan pengaturan dalam konstitusi. Ketahanan Pangan, Dapat dikatakan berhasil dalam upaya ketahanan pangan, dapat dilihat
dari kecukupan serta kelayakan mutu pangan yang tentunya berkaitan dengan ketersediaan pangan. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan pangan ialah mayoritas
masyarakat bergantung kepada satu jenis
pangan yaitu beras. Sehingga apabila persediaan pangan tidak terpenuhi,
maka terjadi kemiskinan pada masyarakat yang bergantung pada satu jenis pangan tersebut.
Di
Indonesia, tahun 2018 Indoneisa
mengalami stunting hingga menyentuh angka 30,8% yang mana
pada garis yang telah ditentukan
WHO adalah sebanyak 20%.
Angka stuting yang tinggi bukan bermula pada tahun 2018, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya angka stunting sudah dalam kategori yang tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) pada tahun 2010 mengungkapkan stunting menyentuh angka 35,16% dilanjut ke tahun
2013 yang mencapai 37,2%, pada tahun
2015 stunting mengalami sedikit
penurunan yakni berada pada 29%, dan kembali naik
ke angka 29,6%. Fakta tersebut, tentu menghadirkan kekecawaan karena sebagai negeri yang kaya akan sumber daya
alam, nyatanya belum mampu dalam
mengatasi ketahanan pangan untuk para masyarakatnya. Ketersedian lahan, Undang-Undang No.41 tahun 2009 Tentang Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan, merupakan landasan hukum yang dibentuk guna meningkatkan cadangan pangan. Tercatat oleh Badan Ketahanan Pangan, sampai tahun 2016 telah membangunlahan pertanian sebesar 3.826. Namun sayangnya undang-undang ini hanya dapat
mengatasi ketersediaan lahan secara normatif,
sementara disisi lain berdasarkan UU No.2 Tahun
2012 Tentang Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum, eksistensi lahan peratanian tersebut mengalami ancaman kebijakan untuk pembangunan yang akan ditujukan kepada kepentingan umum.
Terjadinya disharmonisasi menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menahan laju pertumbuhan
masyarakat Indonesia. Menimbulkan
tidak terwujudnya lahan pertanian yang berkelanjutan. Jika lahan pertanian berkelanjutan gagal diterapkan. Tentu akan mengakibatkan
Indonesia akan bergantung
pada impor.
JURNAL
Hafshah, Mohammad Jafar. (2019). �Peranan
Kedaulatan Pangan Terhadap Ketahanan Nasional,�
Jurnal Ketatanegaraan
Volume 14. Google Scholar.
Huda Ni�matul.
(2008). Gagasan Amandemen
(Ulang) UUD 1945 (Usulan Penguatan DPD dan Kekuasaan Kehakiman). Jurnal Hukum Ius Quia Iustum.
Volume 15. Nomor 3. Google Scholar.
Jufri Muwaffiq.
2017. Perbandingan Hak Kebebasan Beragama Antara
Indonesia dan Majapahit. Jurnal
Konstitusi. Volume 14. Nomor
2. Google Scholar.
Saifulloh,
P. P. A. (2021). Gagasan Konstitusi Pangan: Urgensi Pengaturan Hak Atas Pangan
Warga Negara dalam Amandemen Kelima UUD 1945. Jurnal HAM, 12(2),
227. Google Scholar.
BUKU
Soetaprawiro
Koerniatmanto. 2016. ��Hukum Agribisinis Dan Agroindustri: Pengaturan Dan Perlindungan Hukum
Atas Produk-Produk Pertanian��.
UNPAR Press.
Agustine
Olly Viana dan Muhammad Reza Winata. 2020. , ��Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya: Perlindungan Melalui Peradilan Konstitusional��. Depok:
PT. Rajagrafindo Persada.
Sukmana Oman , Luthfi J. Kurniawan, Masuki, dan Abdussalam. 2015. ��Negara
Kesejahteraan dan Pelayanan
Sosial�. Malang: Intrans Publishing
Copyright holder: Endang
Hadrian (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |