Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 eISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

URGENSI KONSTITUSIONALISASI PANGAN DALAM UUD 1945

Endang Hadrian
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak

Pangan menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi umat manusia. Pangan menjadi salah satu sumber kehidupan yang memiliki arti penting dalam keberlangsungan peradaban manusia. Maka persoalan hak untuk mendapatkan pangan dapat dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, Indonesia yang merupakan negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional, saatnya memasukkan isu pangan dalam perspektif HAM. Indonesia berkewajiban memikul, menghormati serta memenuhi HAM atas pangan. Meski dalam kenyataannya, Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan atas tidak terpenuhinya kebutuhan pangan sebagai kebutuhan primer. Sehingga perlunya hak pangan secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi konstitusionalisasi pangan dalam UUD 1945. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi penelitian yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa terjadinya disharmonisasi menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menahan laju pertumbuhan masyarakat Indonesia. Menimbulkan tidak terwujudnya lahan pertanian yang berkelanjutan. Jika lahan pertanian berkelanjutan gagal diterapkan. Tentu akan mengakibatkan Indonesia akan bergantung pada impor.

 

Kata kunci : Pangan, konstitusional, HAM, UUD 1945

 

Abstract

Food is one of the basic needs for human beings. Food is one of the sources of life that has an important meaning in the sustainability of human civilization. So the issue of the right to food can be seen from the perspective of Human Rights (HAM). Therefore, it is time for Indonesia, which is a country that adheres to a constitutional democratic system, to include food issues in the perspective of human rights. Indonesia is obliged to bear, respect and fulfill human rights over food. Even though in reality, Indonesia is still facing various problems due to the unfulfillment of food needs as a primary need. So that the need for food rights is explicitly stated in the 1945 Constitution. This study aims to determine the urgency of the constitutionalization of food in the 1945 Constitution. The type of research used in this research is a normative juridical research study. The results of this study indicate that the occurrence of disharmony indicates the failure of the government to restrain the growth rate of Indonesian society. Leads to the non-realization of sustainable agricultural land. If sustainable agricultural land fails to apply. Of course, this will result in Indonesia being dependent on imports.

 

Keywords: Food, constitutional, human rights, the 1945 Constitution

 

Pendahuluan

Pangan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia sehingga pangan bersifat primer. Adapun upaya memenuhi kebutuhan primer tersebut, manusia pada mulanya melakukan Food Gathering dan Food Hunting untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Seiring berjalannya waktu, jumlah manusia yang kian meningkat, sehingga pemenuhan tersbut beralih kepada kegiatan pertanian. Jika dalam tatanan negara, pangan menjadi salah satu penetap hidup matinya masyarakat di suatu negara. Seperti Uni Soviet, negara yang bubar karena disebabkan oleh embargo pangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Di sisi lain, Kuba menjadi suatu negara yang dapat bertahan karena pemerintahan Kuba dapat memberi makan yang higienis bagi masyarakatnya, tanpa perlu melakukan impor. Hal tersebut, menunjukkan bahwa pangan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia (Saifulloh, 2021).

Pangan yang saat ini masih sekadar sebagai komoditas dagang semata, perlu ditingkatkan kadarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari HAM. Akses publik terhadap pangan menjadi salah satu HAM yang tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Pangan dapat dikategorikan dalam isu kesejahteraan. Karena itu, setiap jiwa manusia memiliki hak untuk sejahtera, dan sudah menjadi kewajiban negara dalam menjamin dan melindunginya. (Soetaprawiro, 2021)

Hak untuk mengakses pangan dapat dikategorikan ke dalam hak ekonomi. Sosial dan budaya (Ekosob), dimana ekosob ini tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu, dibutuhkan peran negara dan canpur tangan pemerintah secara aktif dalam pemenuhannya. (Agustine, 2020)

Terlebih, bila disandingkan dengan praktik hukum di Indonesia bila diklasifikasikan masuk dalam kategori negara hukum kesejahteraan (welfare state), dimana negara memiliki peran penting dalam urusan warganya. Negara memiliki andil untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.(Oman, 2015) Sehingga, dalam hal ini negara wajib bertanggungjawab dalam meningkatkan kesejahteraan demi terciptanya kehidupan yang layak bagi warga negaranya. Pemerintah dapat peningkatan kualitas pelayanan publik dan pengembangan kebijakan dalam rumpun kesejahteraan rakyat melalui konstitusionalisasi persoalan pangan ke dalam UUD 1945.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan konsep penelitian yang berdasarkan pada bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

 

Hasil dan pembahasan

1.   Apakah di Indonesia regulasi tentang hak pangan dapat mencapai kedaulatan pangan?

Daulat Pangan

����������� Kedaulatan pangan sudah menjadi hak bagi seluruh kalangan masyarakat dalam upaya mengembangkan keahlian dalam bidang produksi. Kedaulatan pangan berlaku bagi masyarakat, baik yang berasal dari suatu komunitas, maupun suatu negara yang bertujuan untuk mendeskripsikan pertanian/pangan sesuai dengan kreasi yang timbul dari hasil pemikiran masing-masing pribadi, yang berlandaskan darisisi sosial dan juga ekonomi dengan menyesuaikan dengan keadaan. Penjelasan tersebut berkaitan dengan hak atas memproduksi pangan dengan memperhatikan sisi keamanan dan gizi guna mempertahankan mereka dan lingkungannya. Kedaulatan pangan, menitikberatkan kepada hak pangan. Pendekatan yang dapat dilakuan ialah adanya inisiatif untuk membentuk kedaulatan atas pangan melalui agribisnis yang berasaskan kerakyatan dan berhenti, sebisa mungkin tidak mengkonsumsi bahan pangan impor, memperhatikan bidang agraria, dan juga menyintas kemiskinan.

Regulasi

Negara Indonesia memiliki Undang-Undang No.18 Tahun 2012 Tentang Pangan atas perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996. Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012, ditujukan untuk menggapai 3 (tiga) hal yaitu tentang kedaultan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Sebagaiman tercantum dalam Pasal 1 ayat (2-4) Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, yakni :

Ayat (2)

�Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. ��

Ayat (3)

��Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.��

Ayat (4)

��Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.��

Sehingga regulasi ini menjadi suatu identitas bagi pembangunan para petani Indonesia. �Ketahanan Pangan�� ialah sutau paradigma yang selama ini digunakan oleh pemerintah dalam upaya pemenuhan pangan bagi masyarakat dan pertanian di Indonesia. Akan tetapi, regulasi tentang pangan juga menggadopsi ��Kedaulatan Pangan�� guna melengkapi tindakan penyempurnaan guna mencapai ketahanan pangan. Dari regulasi tersebut, apakah hak pangan dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia? The State of Food Security and Nutrition In The World menguraikan tentang masyarakat Indonesia yang belum terpenuhi hak atas pangannya, Pada tahun 2013, terdapat 15 Provinsi yang melaporkan bahwa stunting termasuk kedalam isu yang serius. Stunting merupakan konsidisi dimana anak memiliki tubuh yang lebih pendek dibandingkan anak yang seusianya. Perlamabatan perkembangan ini disebabkan oleh faktor gizi dan kesehatan. Dilanjut pada tahun 2016, Populasi masyarakat Indonesia sebanyak 7,9% mengalami kelaparan pangan, dan terdapat kesenjangan wilayah yang mengakibatkan gizi buruk. Di tahun 2018, wilayah Papua terdapat 6 Kabupaten di Asmat serta 80 juta penduduk Indoenesaikerawanan Pangan. Kemudian tahun 2017-2019, sebanyak 4,5 juta anak dibawah lima tahun mengalami mal nutrisi. Malnutrisi yang yang prevalensinya tinggi, kerap dialami oleh anak-anak indonesia ialah sebanyak 36,4% mengalami stunting, sebanyak 13,5% menderita wasted, serta sebanyak 11,5% mengalami obesitas.

Dari data atas menunjukkan bahwa regulasi tentang hak pangan belum berdampak pada pemenuhan hak pangan dalam bidang ketersediaan dan akseptabilitas pangan yang sejatinya harus dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.��� Selain itu, dari keterangan kebijakan yang diterapkan oleh ketujuh presiden, menggambarkan bahwa kebijakan-kebijakan tersbut tidak memilki arah yang jelas. Hal ini disebabkan karena hak pangan tidak tercantum secara spesifik dalam konstitusi tertinggi di Indonesia. Padahal seharusnya, diperlukannya konstitusi yang dapat memberi arahan untuk tiap-tiap kebijkan yang hendak dikeluarkan oleh para presiden, agar landasan yang digunakan jelas dan adanya suatu kesinambungan.

Hak atas pangan harus tercantum dalam konstitusi, agar warga negara memiliki kekuatan hak konstitusional. Sebab, hak pangan belum tercantum secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka hal tersebut dapat mengundung kelemahan yang nantinya akan membuat eksistensi negara menjai lemah. Kelemahan tersebut perlu mengalami perbaikan, yang dimana perbaikan tersebut dilakukan melalui amandemen UUD 1945. Pengamandemanan dapat dilakukan secara keseluruhan maupun hanya pada substansi tertentu, agar dapat menyudahi implikasi yang tak terarah dalam bidang ketatanegaraan (Huda, 2008). Karena amandemen merupakan suatu cara dalam mengubah konstitusi. K.C Wheare mengatakan, tiga upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengamandemenkan konstitusi, yaitu:

1.     Formal

Amandemen formal merupakan pengamandemanan kontitusi melalui peraturan dan tata cara yang telah ditetapkan. Mekanisme pengamandemenan di Indonesia tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945.

2.     Membumikan kebiasaan ketatanegaraan

Memaknai amandemen konstitusi tak hanya dalam lingkup amandemen formal. Memaknai amandemen juga dapat diupayakan melalui konvensi ketatanegaraan.

3.     Penafsiran Hakim

Yakni hakim mengamandemen dalam bidang tekstual konstitusi, ialah mengaamandemenkan arti yang terkandunf dalam konstitusi.����������

Kondisi negara yang tidak memberikan jaminan hak atas pangan secara eksplisit dalam konstitusi menjadi persoalan serius bagi bangsa ini memunculkan persepsi mendasar bahwa norma hukum yang mengatur seputar hak atas pangan belum sepenuhnya sempurna yang menyebabkan terjadinya problem dari ketidaktegasan pengaturan dalam konstitusi. Hal tersebut dikarenakan konstitusi menjadi sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi merupakan aturan implementatif dari amanat konstitusi. Untuk itu adalah beralasan jika pemenuhan hak atas pangan akan lebih terjamin jika hak tersebut diatur dalam UUD 1945 (Muwaffiq, 2017).

2.               Aspek terpenuhinya kedaulatan pangan apabila ketahanan pangan dan ketersediaan lahan dapat terpenuhi

Ketahanan Pangan

����������� Dapat dikatakan berhasil dalam upaya ketahanan pangan, dapat dilihat dari kecukupan serta kelayakan mutu pangan yang tentunya berkaitan dengan ketersediaan pangan. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan pangan ialah mayoritas masyarakat bergantung kepada satu jenis pangan yaitu beras. Sehingga apabila persediaan pangan tidak terpenuhi, maka terjadi kemiskinan pada masyarakat yang bergantung pada satu jenis pangan tersebut. Empat pilar dalam bidang ketahana pangan meliputi ketersediaan pangan yang cukup, kestabilan pangan, adanya akses dan pemanfaatan. Pemerintah dapat dikatakan sukses dalam upaya ketahanan pangan apabila rumah tangga telah tercukupi pangannya baik dari segi jumlah ataupun kualitas, dan penyebaran pangan merata keseluruh bagian di wilayah Indonesia. Perlunya pemenuhan pangan yang adil dan merata untuk menghindari kerawanan pangan. Kerawanan pangan merupakan situasi masyarakat yang tingat ketersedian pangannya tidak tercukupi dalam memenuhi standar pertumbuhan kesehatan. Terjadinya kerawanan pangan dapat dilihat dari segi sifatnya, yakni :

1.     Kronis, ialah gejala kekurangan makan dalam kuran waktu yang cukup lama, disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh pangan sesuai dengan mestinya. Tidak dapat membeli juga tidak dapat memproduksi sendiri, karena keterbatasan kemampuan dan mengakibatkan timbulnya penyakit.

2.     Transiem, ialah situasi yang diluar dugaan masyarakat, seperti terjadinya ketidakstabilan produk sehingga membuat harga pangan melonjak, terjadinya bencana alam yang mengakibatkan pasokan pangan yang rendah, juga dapat terjadi karena konflik sosial.

Di Indonesia, tahun 2018 Indoneisa mengalami stunting hingga menyentuh angka 30,8% yang mana pada garis yang telah ditentukan WHO adalah sebanyak 20%. Angka stuting yang tinggi bukan bermula pada tahun 2018, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya angka stunting sudah dalam kategori yang tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) pada tahun 2010 mengungkapkan stunting menyentuh angka 35,16% dilanjut ke tahun 2013 yang mencapai 37,2%, pada tahun 2015 stunting mengalami sedikit penurunan yakni berada pada 29%, dan kembali naik ke angka 29,6%. Fakta tersebut, tentu menghadirkan kekecawaan karena sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, nyatanya belum mampu dalam mengatasi ketahanan pangan untuk para masyarakatnya. Indonesia belum dapat memenuhi karakter hak atas pangan sesuai standarisasi Food and Agriculture Organization (FAO), yang meliputi kapasitas, pemerataan, kemandiriran, keandalaan dan keberlanjutan (Jafar, 2019). Selain stunting, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2018 menyatakan bahwa terdapat 3,8%balita mengalami keadaan gizi buruk. Dampak yang tidak baik dari stunting dan gizi buruk, mengakibatkan penurunan kualitas usmber daya manusia, menurunyya daya saing bangsa karena disebabkan oleh perkembangan otak yang mekambat, kemudian akan berpengaruh kepada cara berpikir, dan akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan sistem kekebalan tubuh. Dari penjelasan di atas, maka diperlukannya suatu pengakuan secara kontitusional atas pangan, karena hak pangan yang tercantum dalam kontitusi memberikan mandat kepada masyarakat dalam mengawal kebijakan-kebijakan terkait hak pangan. Bukan hanya itu, dengan adanya konstitusi maka akan memberikan rasa aman kepada masyarakat atas hak pangan, karena konstitusi bersifat rigid. Jika hak atas pangan menjadi salah satu substansi yang akan dicantumkan dalam UUD 1945, potensi untuk mengabaikan dan mengurangi hak pangan akan menjadi sulit untuk direalisasikan oleh para pembuat kebijakan.

 

Ketersediaan Lahan

����������� Undang-Undang No.41 tahun 2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, merupakan landasan hukum yang dibentuk guna meningkatkan cadangan pangan. Tercatat oleh Badan Ketahanan Pangan, sampai tahun 2016 telah membangunlahan pertanian sebesar 3.826. Namun sayangnya undang-undang ini hanya dapat mengatasi ketersediaan lahan secara normatif, sementara disisi lain berdasarkan UU No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, eksistensi lahan peratanian tersebut mengalami ancaman kebijakan untuk pembangunan yang akan ditujukan kepada kepentingan umum.

Terjadinya disharmonisasi menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menahan laju pertumbuhan masyarakat Indonesia. Adapun perkiraan pada tahun 2035 Indoneisa akan mengalami peningkatan penduduk sebesar 1,3-1,5% per tahun. Perkiraan tersebut akan bertolak belakang dengan prinsip utama perlindungan dan larangan alih fungsi, karena tidak terwujudnya lahan pertanian yang berkelanjutan.

Meskipun sudah ada peraturan Undang-Undang No.41 Tahun 2009, alih fungsi lahan menjadi non lahan terus meningkat. Presentase di Pulau Jawa, lahan sawah 58,7% beralih menjadi perumahan, pengalihan lahan sawah menjadi non perumahan mengalami peningkatan menjadi 35,3%. Di luar Pulau Jawa ahli fungsi lahan sawah menyentuh 16,1% dan alih fungsi sawah menjadi non perumahan sebesar 35,3% (Raihan, 2013).

Jika lahan pertanian berkelanjutan gagal diterapkan. Tentu akan mengakibatkan Indonesia akan bergantung pada impor. Dalam menangani hal tersebut, agar dapat mewujudkan lahan pertanian yang berkelanjutan diharapakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memiliki acuan yang jelas, sehingga tidak mengeluarkan kebijakan yang berbeda-beda pada setiap masanya. Urgenisasi ketersedian lahan pangan perlu termuat dalam konstitusi, sebagai wujud mengsinkronisasi kebijakan agar tidak keluar dari jalur konstitusi yang telah ditetapkan. Persoalan diatas menunjukkan adanya disharmoniasasi kebijakan pemerintah karena didorong dengan ego sektoral yang tumbuh antara Kementerian dan Lembaga. Dua, stop impor pangan khusus untuk beras, jagung, dan daging sapi

 

Kesimpulan

Pangan menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi umat manusia. Pangan menjadi salah satu sumber kehidupan yang memiliki arti penting dalam keberlangsungan peradaban manusia. Pangan yang saat ini masih sekadar sebagai komoditas dagang semata, perlu ditingkatkan kadarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari HAM. regulasi ini menjadi suatu identitas bagi pembangunan para petani Indonesia. �Ketahanan Pangan�� ialah sutau paradigma yang selama ini digunakan oleh pemerintah dalam upaya pemenuhan pangan bagi masyarakat dan pertanian di Indonesia. Kondisi negara yang tidak memberikan jaminan hak atas pangan secara eksplisit dalam konstitusi menjadi persoalan serius bagi bangsa ini memunculkan persepsi mendasar bahwa norma hukum yang mengatur seputar hak atas pangan belum sepenuhnya sempurna yang menyebabkan terjadinya problem dari ketidaktegasan pengaturan dalam konstitusi. Ketahanan Pangan, Dapat dikatakan berhasil dalam upaya ketahanan pangan, dapat dilihat dari kecukupan serta kelayakan mutu pangan yang tentunya berkaitan dengan ketersediaan pangan. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan pangan ialah mayoritas masyarakat bergantung kepada satu jenis pangan yaitu beras. Sehingga apabila persediaan pangan tidak terpenuhi, maka terjadi kemiskinan pada masyarakat yang bergantung pada satu jenis pangan tersebut.

Di Indonesia, tahun 2018 Indoneisa mengalami stunting hingga menyentuh angka 30,8% yang mana pada garis yang telah ditentukan WHO adalah sebanyak 20%. Angka stuting yang tinggi bukan bermula pada tahun 2018, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya angka stunting sudah dalam kategori yang tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) pada tahun 2010 mengungkapkan stunting menyentuh angka 35,16% dilanjut ke tahun 2013 yang mencapai 37,2%, pada tahun 2015 stunting mengalami sedikit penurunan yakni berada pada 29%, dan kembali naik ke angka 29,6%. Fakta tersebut, tentu menghadirkan kekecawaan karena sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, nyatanya belum mampu dalam mengatasi ketahanan pangan untuk para masyarakatnya. Ketersedian lahan, Undang-Undang No.41 tahun 2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, merupakan landasan hukum yang dibentuk guna meningkatkan cadangan pangan. Tercatat oleh Badan Ketahanan Pangan, sampai tahun 2016 telah membangunlahan pertanian sebesar 3.826. Namun sayangnya undang-undang ini hanya dapat mengatasi ketersediaan lahan secara normatif, sementara disisi lain berdasarkan UU No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, eksistensi lahan peratanian tersebut mengalami ancaman kebijakan untuk pembangunan yang akan ditujukan kepada kepentingan umum.

Terjadinya disharmonisasi menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menahan laju pertumbuhan masyarakat Indonesia. Menimbulkan tidak terwujudnya lahan pertanian yang berkelanjutan. Jika lahan pertanian berkelanjutan gagal diterapkan. Tentu akan mengakibatkan Indonesia akan bergantung pada impor.

 


 

BIBLIOGRAFI

 

JURNAL

Hafshah, Mohammad Jafar. (2019). �Peranan Kedaulatan Pangan Terhadap Ketahanan Nasional,� Jurnal Ketatanegaraan Volume 14. Google Scholar.

 

Huda Ni�matul. (2008). Gagasan Amandemen (Ulang) UUD 1945 (Usulan Penguatan DPD dan Kekuasaan Kehakiman). Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Volume 15. Nomor 3. Google Scholar.

 

Jufri Muwaffiq. 2017. Perbandingan Hak Kebebasan Beragama Antara Indonesia dan Majapahit. Jurnal Konstitusi. Volume 14. Nomor 2. Google Scholar.

 

Saifulloh, P. P. A. (2021). Gagasan Konstitusi Pangan: Urgensi Pengaturan Hak Atas Pangan Warga Negara dalam Amandemen Kelima UUD 1945. Jurnal HAM, 12(2), 227. Google Scholar.

 

BUKU

Soetaprawiro Koerniatmanto. 2016. ��Hukum Agribisinis Dan Agroindustri: Pengaturan Dan Perlindungan Hukum Atas Produk-Produk Pertanian��. UNPAR Press.

 

Agustine Olly Viana dan Muhammad Reza Winata. 2020. , ��Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya: Perlindungan Melalui Peradilan Konstitusional��. Depok: PT. Rajagrafindo Persada.

 

Sukmana Oman , Luthfi J. Kurniawan, Masuki, dan Abdussalam. 2015. ��Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial�. Malang: Intrans Publishing

 

 

Copyright holder:

Endang Hadrian (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: