Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

Peran Oligark Partai Politik Dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Anggota DPRD: Studi Kasus Proses Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2020 Oleh DPRD

 

Alfitra Akbar, Meidi Kosandi

Universitas Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses dan dinamika politik yang terjadi dalam proses pemilihan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta oleh DPRD dengan memfokuskan bahasan ke dalam dua aspek. Pertama, yaitu keterlibatan, peran dan pengaruh aktor politik, dalam hal ini bagaimana peran oligark partai politik dalam mempengaruhi perilaku memilih anggota fraksi dalam mengambil keputusan pada proses voting pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD. Kedua, bagaimana proses tawar menawar yang terjadi antar fraksi dalam proses pembahasan sampai proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD yang meliputi strategi, negosiasi dan komunikasi antar aktor politik terkait. Hasil penelitian yang diperoleh jurnal ini menemukan terdapat peran dari elit-elit politik yang terdefinisikan sebagai oligark dalam penelitian ini untuk menentukan beberapa sikap dan pengambilan keputusan tidak dapat dihindari oleh para anggota fraksi dalam menentukan pilihan kandidat wakil gubernur. Dalam kasus penelitian ini, proses tawar menawar politik antar fraksi di DPRD dipengaruhi oleh beberapa hal, pertama faktor lobi-lobi yang dilakukan oleh masing-masing elit partai politik yang terdefinisikan sebagai oligark, kedua faktor kesamaan ideologis partai, ketiga memperhitungkan faktor konstelasi politik dan untung rugi partai di tingkat nasional dan lokal.

 

Kata Kunci : peran oligark partai politik, perilaku pemilihan, DPRD

 

Abstract

This study aims to explain the process and political dynamics that occur in the process of selecting the Deputy Governor of DKI Jakarta Province by the DPRD by focusing the discussion into two aspects. First, namely the involvement, role and influence of political actors, in this case how is the role of political party oligarchs in influencing the voting behavior of faction members in making decisions in the voting process for the election of the Deputy Governor of DKI Jakarta by the DPRD. Second, how is the bargaining process that occurs between factions in the discussion process until the process of selecting the Deputy Governor of DKI Jakarta by the DPRD which includes strategy, negotiation and communication between related political actors. The results of the research obtained by this journal found that there was a role of political elites defined as oligarchs in this study to determine some attitudes and decision making cannot be avoided by faction members in determining the choice of deputy governor candidate. In the case of this study, the political bargaining process between factions in the DPRD is influenced by several things, first the lobbying factor carried out by each political party elite defined as an oligarch, the second factor is the ideological similarity of the party, the third taking into account the political constellation factor and cost and benefit effect at the national and local levels.

 

Keyword : the role of political party oligarchs, electoral behavior, DPRD

 

Pendahuluan

Dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah memegang peranan penting. Peran dan fungsi wakil kepala daerah sangat penting dalam pemerintahan lokal, sehingga jika terjadi kekosongan kepala daerah ataupun wakil kepala daerah, maka jabatan tersebut harus segara diisi. Dalam pelaksanaannya, mekanisme pengisian jabatan untuk wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 176 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada),

UU Nomor 10 Tahun 2016 pada Pasal 176 ayat 1 mengamanatkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah, dalam hal ini wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota yang berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian jabatan dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung. Dengan kata lain, UU Nomor 10 Tahun 2016 membuka kembali peran bagi partai politik dan DPRD terlibat dalam proses ini. Pelibatan partai politik dan DPRD dalam pengisian jabatan kepala daerah bukanlah hal yang baru, praktik seperti ini lazim dilakukan di masa pemerintahan Orde Baru. Namun, setelah reformasi hal ini sejatinya telah dihapus dengan kehadiran UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh rakyat secara langsung.

Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2020 yang dilakukan oleh DPRD menarik untuk diteliti karena beberapa alasan. Pertama, dari segi status wilayah. Provinsi DKI Jakarta merupakan ibu kota negara. Kedua, dari segi politik, Provinsi DKI Jakarta merupakan barometer politik di tingkat nasional. Ketiga, pentingnya posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Keempat, dari segi proses pemilihan. Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2020 dilaksanakan ditengah masa jabatan gubernur periode 2022-2027 dengan cara pemilihan secara tertutup oleh anggota DPRD. Aturan baru terkait pengisian jabatan kepala daerah yang kembali dilakukan oleh DPRD dinilai problematis karena beberapa alasan. Pertama, pengisian jabatan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD ini dinilai bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam UU Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis. Seperti yang diketahui, dalam aturan pengisian jabatan kepala daerah saat ini, diatur pemilihan sepenuhnya dilakukan oleh gabungan partai politik pengusung dan legislatif (DPRD) tanpa ada ruang bagi publik untuk berpartisipasi. Sehingga kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih dengan mekanisme ini dikhawatirkan akan mendapat legitimasi yang rendah dari masyarakat.

Kedua, dengan pelibatan penuh partai politik dan DPRD dalam proses pengisian jabatan kepala daerah ini berpotensi menimbulkan lebih banyak ruang bagi politik transaksional dan strategi klientelistik, hal ini diperkuat oleh sistem pemilihan yang bersifat tertutup. Dalam sistem pemilihan tertutup oleh DPRD ini tidak ada fungsi pengawasan yang lazim dilakukan seperti dalam sistem pemilu secara langsung baik yang dilakukan langsung oleh masyarakat maupun oleh lembaga pengawas pemilu terkait.

Dalam kasus penelitian ini, mundurnya Sandiaga Salahuddin Uno dari jabatan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta menimbulkan suatu polemik baru mengenai siapa yang akan mengisi jabatan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Dalam hal ini, dikarenakan alasan pengunduran diri Sandiaga Salahudin Uno masuk dalam kategori permintaan sendirimaka merujuk pada dasar hukum yang berlaku pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta pengganti dilakukan berdasarkan Pasal 1 UU No 10 Tahun 2016.

Merujuk pada penjelasan pada pasal tersebut, Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai pengusung pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Provinsi DKI Jakarta dalam Pilkada, berhak memberikan masing-masing satu nama dan/atau menyepakati satu nama untuk ditetapkan oleh DPRD DKI Jakarta dalam rapat paripurna guna mengisi kekosongan kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Permasalahan awal muncul ketika kedua partai pengusung tersebut mempunyai persepsi yang berbeda perihal siapa yang akan mengisi jabatan wakil gubernur, sehingga menyebabkan tarik menarik kepentingan antar kedua partai yang berlangsung selama proses pembahasan. Hal ini berimbas pada kosongnya kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta selama 18 bulan.

Puncak dari perseteruan ini adalah, ketika kedua partai tidak kunjung menemukan kata sepakat, hingga pada akhirnya masing-masing partai mengajukan satu nama sehingga proses pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta harus ditentukan melalui mekanisme voting pada rapat paripurna. Sehingga, penentu siapa suksesor Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak mutlak ada di tangan partai pengusung melainkan diserahkan kepada seluruh anggota DPRD DKI periode 2019-2024 melalui proses voting secara tertutup.

Terkait hal ini, penelitian terkait sebelumnya yang dilakukan Burhanudin Muhtadi (2020) mengungkap sistem pengambilan suara secara tertutup oleh para anggota DPRD yang lazim dilakukan pada zaman Orde Baru ini akan kembali menimbulkan celah yang berpotensi menghadirkan lebih banyak ruang bagi politik transaksional dan strategi klientelistik yang dilakukan oleh para aktor politik (Muhtadi, 2020). Perubahan desain pemilihan seperti ini mendukung terbukanya ruang bagi politik transaksional. Hal ini dikarenakan, dalam pemilihan tertutup oleh DPRD ini tidak ada fungsi pengawasan yang dilakukan, baik dari masyarakat langsung maupun oleh lembaga pengawas pemilu terkait (Muhtadi, 2020).

Temuan lain yang dilakukan Lembaga Kajian Strategis Pembangunan (LKSP) mengungkap 68 persen responden warga Jakarta percaya ada potensi politik transaksional dalam proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Menurut LKSP, hal ini disebabkan karena pemilihan Wakil Gubernur DKI tidak melibatkan partisipasi publi. Hal ini beralasan, jika merujuk pada tata tertib pemilihan yang disahkan DPRD proses pemilihan wakil gubernur memang sepenuhnya dilakukan oleh para anggota DPRD tanpa ada ruang bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya dan melakukan pengawasan terhadap pemilihan wakil gubernur (Pembangunan, 2020).

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan kasus pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD ini memberikan petunjuk pada dua hal. Pertama, bahwa ada indikasi kuatnya kepentingan aktor-aktor politik dalam proses pemilihan. Kedua, adanya indikasi politik transaksional yang terjadi sepanjang proses pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD. Dalam hal yang pertama, indikasi kuatnya kepentingan aktor-aktor politik dalam proses ini terlihat dari masifnya keterlibatan para elite politik dalam tiap tahapan proses pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Temuan yang dilaporkan Hidayat (2020) mengungkap, keterlibatan elite dalam proses ini bahkan sudah terlihat sejak tahapan kandidasi calon yang akan dimajukan masing-masing partai (Hidayat, 2020).

Dalam kasus penelitian ini, aktor politik yang dimaksud adalah para oligark. Dalam temuan awal, merujuk pada penelitian terkait sebelumnya yang dilakukan oleh Endang (2018) ditemukan kondisi partai politik saat ini, secara internal dikuasai oleh oligark, yaitu sekelompok kecil orang dalam partai politik yang memiliki kekuasaan atas dasar kekuasaan modal, birokrasi dan sumber daya (Endang, 2018). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses dan dinamika politik yang terjadi dalam proses pemilihan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta oleh DPRD dengan memfokuskan bahasan ke dalam dua aspek. Pertama, yaitu keterlibatan, peran dan pengaruh aktor politik, dalam hal ini bagaimana peran oligark partai politik dalam mempengaruhi perilaku memilih anggota fraksi dalam mengambil keputusan pada proses voting pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD. Kedua, bagaimana proses tawar menawar yang terjadi antar fraksi dalam proses pembahasan sampai proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD yang meliputi strategi, negosiasi dan komunikasi antar aktor politik terkait.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian kualitatif (Qualitative research) menurut Sukmadinata, (2012) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, perspesi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Penelitian kualitatif memiliki keunggulan dalam melihat suatu gejala sosial yang mendalam, mengamati prosesnya lalu menarik kesimpulan (Sukmadinata, 2012).

Terkait dengan teknik pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap sejumlah informan yang dianggap memiliki kompetensi yang cukup dan relevan dengan fokus permasalahan penelitian ini, sehingga output yang diperoleh nantinya termasuk dalam jenis data primer.Kemudian, dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder berupa dokumen resmi lembaga seperti berkas-berkas berbagai rapat yang terdiri dari rapat badan legislasi (Baleg), rapat pansus dan sidang paripurna pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD. Fungsi dari studi dokumen adalah sebagai data awal yang merupakan data formal. Pendalaman dari data awal dari studi dokumen ini akan dilakukan melalui metode wawancara. Dalam menganalisis data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, dimana teknik ini penulis gunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang telah penulis peroleh dari hasil metode pengumpulan data.

 

Hasil dan Pembahasan

Kasus pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD tahun 2020 merupakan puncak dari perebutan kekuasaan antar partai politik. Dalam kasus ini, pemilihan wakil gubernur dinilai melampaui dua figur calon dari dua partai politik pengusung yaitu Gerindra dan PKS yang bertanding dalam kontestasi, melainkan melibatkan dinamika dan kekuatan politik di tingkat pusat. Hal ini disebabkan, status Provinsi DKI Jakarta yang dianggap menjadi barometer politik di tingkat nasional membuat partai-partai lain pun dinilai turut berhitung terkait kepada siapa dukungan tersebut akan diberikan, karena siapapun yang akan terpilih nantinya dianggap akan mempengaruhi konstelasi politik di tingkat nasional. Ditambah, ada kekhawatiran bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan suatu saat akan maju dalam kontestasi Pilpres mendatang, jika hal tersebut terjadi tentu wakil gubernur yang akan menggantikan posisi gubernur yang ditinggalkan tersebut.

Dari observasi awal yang dilakukan, terdapat beberapa aktor yang terindikasi masuk dalam kategori sebagai aktor kunci yang terlibat dalam Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2020. Dalam penelitian ini, aktor tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu aktor internal yang terdiri dari para tokoh, elit dan pengurus partai politik baik itu partai pengusung calon wakil gubernur dki secara khusus maupun partai yang memiliki kursi di DPRD Provinsi DKI Jakarta dan aktor eksternal yaitu para tokoh, elit dan pengusaha di luar partai politik yang memiliki kendali atas partai politik dan memiliki kepentingan dalam pemilihan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta.

Aktor kunci yang teridentifikasi terlibat secara langsung dalam proses ini adalah para pimpinan partai politik baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah Provinsi DKI Jakarta. Pertama, adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Sebagai ketua umum Partai Gerindra, Prabowo dinilai mempunyai keterlibatan langsung dalam proses ini, diantaranya pada bulan September 2018 dicapai kesepakatan antara ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dengan Presiden DPP PKS, Muhamad Sohibul Iman dimana posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan oleh Sandiaga Uno dapat diberikan kepada PKS. Namun dalam perkembangannya, Prabowo dalam salah satu acara resmi kepartaian kembali mengeluarkan pernyataan berbeda, dihadapan para kader Partai Gerindra, Ia menyerahkan urusan wakil gubernur kepada M. Taufik selaku Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, Prabowo juga diindikasikan terlibat dalam lobi-lobi politik yang dilakukan di tataran elit partai politik. Terkait hal ini, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan beberapa fraksi partai politik di DPRD mengakui bahwa ada arahan dari masing-masing elit partai politiknya di tangkat nasional untuk mengarahkan dukunganya kepada calon yang diusung Partai Gerindra, instruksi tersebut terjadi tepat setelah pertemuan anta relit kedua partai

Aktor kunci kedua yang teridentifikasi memegang peran kunci dalam proses pemilihan wakil gubernur adalah M. Taufik sebagai Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi DKI Jakarta. Sebagai pimpinan Partai Gerindra di tingkat DKI Jakarta, M Taufik dinilai mempunyai keterlibatan yang cukup kuat dalam proses pengisian jabatan wakil gubernur. Sebagai salah satu aktor kunci dalam proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta, M Taufik berperan sebagai pengambil keputusan dan mediator antara elit pimpinan pusat dan pimpinan daerah Gerindra. Ia juga diindikasikan memiliki kedekatan dengan beberapa elit Gerindra yang mempunyai latar belakang pengusaha seperti Hashim Djodjohadikusumo dan Prabowo Subianto. Dalam proses ini, M. Taufik dinilai berhasil mengubah dan menyusun scenario baru terkait proses pemilihan wakil gubernur yang dianggap menghambat calon wakil gubernur yang diusung PKS. Dalam perkembangannya, M. Taufik mengusulkan penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan fit n proper test terhadap kandidat calon wakil gubernur yang akan diusulkan oleh PKS. Kebijakan ini berdampak pada perubahan komposisi kandidat wakil gubernur dimana semula keduanya berasal dari PKS, namun berganti menjadi satu orang dari PKS dan satu orang dari Partai Gerindra. Hingga akhirnya, terpilihlah dua kandidat calon baru yang kemudian disepakati untuk diajukan sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, yakni Nurmansjah Lubis (dari PKS) dan Ahmad Riza Patria (dari Gerindra)

Aktor kunci ketiga yang teridentifikasi adalah Hashim Djodjohadikusumo. Ia adalah seorang pengusaha sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra. Edward Aspinall dalam penelitian yang berjudul Oligarchic Populism: Prabowo Subianto's Challenge to Indonesian Democracy menyebut Hashim sebagai sosok oligarki di balik Partai Gerindra. Hashim sendiri merupakan sosok pengusaha sukses yang mendapati puncak karirnya pada masa pemerintahan Orde Baru dibawah Presiden Soeharto. Tercatat, salah satu unit perusahaannya bernama Tirta Mas Group mempunyai nilai keuntungan sebesar US$ 7 Milliar menjelang tumbangnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998 (Edward, 2015).

Setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, Hashim bersama sang kakak yang telah lebih dulu terjun ke dunia politik secara bersama-sama mendirikan sebuah Partai Gerindra. Dalam penelitan sama Aspinal menyebut Hashim merupakan sosok pendukung utama ambisi politik Prabowo dan Partai Gerindra dalam segala hal dan kepentingan sejak Ia turun ke dunia politik. Hal ini bahkan telah diakui langsung oleh Hashim, dalam wawancara yang dilakukan oleh Asian Wall Street (1993) Hashim mengungkap �Jika Prabowo membutuhkan dana, maka sebagai saudara yang setia dan berbakti, saya akan menyediakannya.�. Dalam penelitiannya, Aspinall juga menyebutkan bahwa Hashim menghabiskan sekitar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun jika dihitung berdasarkan kurs hari ini, untuk mendanai pendirian Partai Gerindra pada 2008-2009. Hal itu dinilai belum terhitung oleh pendanaan kampanye besar-besaran yang dilakukan Partai Gerindra dan Prabowo yang dikeluarkan oleh Hashim pribadi, dalam penelitian ini juga terungkap bahwa Hashim merupakan sosok pendonor utama bagi beberapa kader potensial dan calon yang diusung Partai Gerindra sejak berdiri hingga tahun 2019. Dikutip dari laporan Forbes pada tahun 2011, Hashim merupakan orang terkaya nomor 32 di Indonesia dengan perkiraan total kekayaan $790 juta lalu pada tahun 2014 laporan yang sama menyebut total kekayaan Hashim turun menjadi $700 juta. Beberapa sumber berita Indonesia berspekulasi bahwa jatuhnya kekayaan Hasim antara tahun tersebut adalah imbas dari besarnya sumber daya yang dikeluarkan Hashim untuk mendanai Partai Gerindra dan Prabowo. Berdasarkan hal tersebut, Aspinal menyebut Partai Gerindra raclientelist party �

Terkait hal ini, penelitian yang dilakukan Robison dan Hadiz membantu penulis untuk melihat bahwa ada faktor kunci bagi oligarki dalam keterlibatannya dalam peta politik lokal pasca Orde Baru, yaitu dengan cara memegang kontrol atas institusi politik yang demokratis. Oligarki terbukti bisa tumbuh dalam sebuah sistem pemilihan umum yang demokratis dengan cara memegang kontrol yang kuat melalui lembaga dan institusi politik yang demokratis. Maka, menjadi masuk akal ketika dalam konteks penelitian ini para oligark diduga memanfaatkan institusi politik berupa partai politik melalui akses yang mereka miliki terhadap para elit dan pimpinan partai politik untuk dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan partai termasuk dalam pemilu dengan tujuan akhir pertahanan kekayaan dan kekuasaan pribadi. (Hadiz, 2014)

Dalam konteks penelitian ini, temuan sebelumnya dari penelitian yang dilakukan Azyumardi, (2020) Luthfi(2020) semakin menegaskan bahwa bagaimana perilaku oligarki bekerja dalam tubuh partai politik khususnya pada masa pasca reformasi yaitu dengan upaya penguasaan atas posisi kekuasaan dalam lembaga-lembaga politik baik melalui legislatif maupun eksekutif. Penguasaan kaum oligark terhadap partai membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan �leading�, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal.

Berdasarkan dari temuan tersebut, dalam konteks proses pemilihan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta oleh DPRD para oligark juga diduga kuat menjalankan peranannya dalam melalui penguasaan terhadap lembaga-lembaga politik seperti partai politik dan legislatif yang dalam konteks penelitian ini adalah DPRD untuk mempengaruhi perilaku memilih dari para anggota DPRD demi memenangkan calon yang didukung dalam proses pemilihan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta oleh DPRD.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Endang (2019) penguasaan atas proses pemilu yang dilakukan oleh para oligark partai politik tersebut bertujuan demi mengamankan kepentingan jangka panjang oligark tersebut baik secara politik maupun ekonomi kelompoknya yaitu kelompok pendiri/pemilik partai politik seperti dalam kasus penelitian ini yaitu Prabowo Subianto dan Hasyim pada partai Gerindra. Namun kelompok oligark partai juga didapatkan pada pemilik kekayaan/ sumberdaya ekonomi yang bermaksud mempertahankan kekayaannya melalui kekuasaan di legislatif. Oleh karenanya oligark partai politik dalam disertasi ini meliputi aliansi antara elit pengurus pusat dan para pemilik sumberdaya ekonomi. Mereka berkolaborasi untuk kepentingan mereka mendapatkan kekuasaan legislatif maupun eksekutif (presiden dan kabinetnya) dengan tujuan pertahanan kekayaan (Endang, 2019).

Dalam penelitian ini mekanisme bekerjanya oligarki partai politik akan dilihat dari tiga arena tahapan pemilu yang terkait dalam konteks penelitian ini, yaitu proses kandidasi, proses kampanye dan puncaknya penelitian ini akan menjawab bagaimana peran oligark partai politik dalam mempengaruhi perilaku memilih anggota fraksi dalam pengambilan keputusan pada proses voting pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD.

Dalam menjalankan kebijakannya, partai politik kemudian mempunyai kepanjangan tangan berupa fraksi di parlemen sebagai elemen disiplin partai yang mempunyai otoritas dalam pengambilan keputusan bernegara. Ini setidaknya dapat dilihat dari ketentuan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) pada masing-masing partai, di mana pengangkatan susunan/komposisi kepengurusan fraksi yang diangkat oleh ketua partai sesuai dengan tingkatannya.

Gambaran relasi fraksi dan partai politik ini, menegaskan pada sebuah realita bahwa petarungan kekuasaan antar fraksi di DPRD dalam hal ini juga merepresentasikan pertarungan partai politik dalam rangka proyeksi kepentingannya pada Pemilu serentak tahun 2019. Implikasi dari tarik-menarik kepentingan ini, maka sejumlah isu krusial dalam proses pemilihan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta menjadi objek bahasan yang strategis. Hal ini dikarenakan kesuksesan memasukkan kepentingan partai dalam kebijakan sistem Pemilu, dapat dikategorikan sebagai parameter awal eksistensi partai politik dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan pada Pemilu 2024.

Pada proses pemilihan sebagai satu tahapan akhir dalam proses politik pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh DPRD sekaligus tahapan yang akan diteliti secara mendalam pada penelitian ini perilaku oligarkis dilihat dari sejauhmana peran oligark dapat mempengaruhi perilaku memilih para anggota DPRD. Terkait hal ini, perilaku voting anggota legislatif dalam pembuatan kebijakan publik banyak diamati melalui berbagai pendekatan dan teori.

Dalam konteks Indonesia, penelitian Maswardi (2010) memaparkan bahwa perilaku memilih anggota fraksi tergantung kepada sistem pemilu yang dianut. Sistem proporsional seperti yang dianut Indonesia saat ini menghasilkan partai dan fraksi yang mencekram anggota fraksi, hal ini dikarenakan wakil rakyat dipilih oleh rakyat melalui partai politik maka dalam waktu bersamaan mereka adalah wakil rakyat sekaligus. Hal tersebut dikhawatirkan mengakibatkan anggota fraksi lebih terikat kepada elit partai politik di banding terhadap konstituennya (Rauf, 2010).

Penelitian terkait dilakukan oleh Bilal Menurutnya keberadaan elit partai politik dalam sistem proporsional multi partai walau sangat dominan atas pendapat individu anggota fraksi namun hal itu dianggap penting untuk melakukan agregasi kepentingan antar para anggota DPR dalam mengambil keputusan (Dewansyah, 2010). Dalam penelitian lain yang terkait, Michels (1988) memaparkan terdapat faktor eksternal yang dapat mengendalikan partai dalam hal pengambilan keputusan yaitu para elit pimpinan partai politik bersama para oligarki (Dewansyah, 2010) Argumen yang sama disampaikan Robert Putnam (1993) dalam teori elit, menurut Putnam semakin ke atas posisi seseorang atau kelompok dalam stratifikasi politik menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki kekuasaan yang semakin besar dalam menentukan kebijakan politik dalam konteks pengambilan kebijakan termasuk pengambilan keputusan politik di parlemen (Putnam, 1993) Hal ini dipertegas oleh Anderson (2003), terkait dengan implementasi dari teori elit diatas dalam pengambilan kebijakan di parlemen Anderson berkesimpulan bahwa aktor penentu kebijakan di parlemen merupakan anggota partai yang tunduk pada elite partai, sehingga dalam hal ini anggota fraksi sebagai manifestasi dari partai politik akan selalu tunduk pada arahan elite partai.

Temuan yang dilaporkan Hidayat (2020) mengungkap, keterlibatan elite dalam proses ini bahkan sudah terlihat sejak tahapan kandidasi calon yang akan dimajukan masing-masing partai. Hal ini dibenarkan oleh Wakil Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, M.Syarif. Dalam wawancara yang dilakukan M. Syarif mengakui bahwa di balik nama-nama awal calon wakil gubernur yang akan diajukan oleh partainya ada nama elit Gerindra yang menyokongnya, lebih lanjut, Ia mencontohkan misalnya Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menjagokan Ahmad Riza Patria, Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Gerindra Sandiaga Uno menjagokan Arnes Lukman, dan Muhammad Taufik menjagokan Saefullah (Hidayat, 2020).

Dalam tahap kampanye Indikasi keterlibatan elite politik juga terlihat dalam proses interaksi politik berupa negosiasi dan komunikasi antar partai politik yang terjadi selama proses pembahasan sampai proses pemilihan. Hal ini salah satunya diungkap oleh Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Mohammad Arifin. Menurut Arifin, beberapa elit Gerindra selama ini turun langsung untuk melakukan lobi politik kepada unsur pimpinan DPRD dan kepada fraksi partai lain untuk terus menunda proses pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan secara aktif melobi fraksi partai lain untuk mendukung calon yang diusung Partai Gerindra.

Hal serupa juga diungkap Ketua Fraksi PDIP, Gembong Warsono. Menurut Gembong, ada pengaruh dari elit pimpinan partai di tingkat pusat dalam terbitnya surat berupa instruksi langsung secara tertulis bagi semua anggota Fraksi PDIP untuk memilih calon yang diusung Gerindra. Terkait hal ini, kedekatan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto disertai lobi-lobi antar kedua elit partai yang terjadi diyakini berpengaruh kepada sikap Fraksi PDIP yang sedari awal mendukung calon dari Gerindra.

 

Tawar Menawar dan Lobi Politik Fraksi DPRD dalam Pemilihan Wakil Gubernur DKI

DPRD Provinsi DKI Jakarta periode 2019-2024 mempunyai total anggota sebanyak 106 orang yang berasal dari 10 partai politik dan terbagi kedalam 9 fraksi. Pimpinan DPRD DKI Jakarta terdiri dari 1 Ketua dan 4 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik pemilik jumlah kursi dan suara terbanyak dengan komposisi Ketua DPRD dijabat oleh Prasetyo Edi Marsudi dari PDI Perjuangan, selanjutnya Muhammad Taufik dari Partai Gerindra, Abdurrahman Suhaimi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Misan Samsuri dari Fraksi Partai Demokrat dan Zita Anjani dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta. Berikut jumlah anggota dprd dki jakarta periode 2019-2024 berdasarkan partain yang disajikan dengan grafik dapat dilihat di gambar 1.

Gambar.1 Jumlah Anggota DPRD DKI Jakarta Periode 2019-2024 Berdasarkan Partain

Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta (2020)

Merujuk pada skenario konstelasi politik di tingkat nasional, terdapat dua poros partai di parlemen yaitu partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah (PDIP, Gerindra, Nasdem, Golkar, PKB, PPP, PSI, PAN) dengan total 80 kursi di DPRD dan partai yang berada diluar pemerintah (PKS, Demokrat) dengan total 26 kursi di DPRD. Dengan pemilihan yang dilakukan secara voting, Partai Gerindra sebagai partai yang berada dalam koalisi pemerintah di tingkat pusat diprediksi bisa unggul atas PKS.

Akan tetapi skenario tersebut belum tentu terjadi dalam kasus ini. Analisis dari Harris (2019) memaparkan bahwa selama ini konstelasi politik di DPRD DKI Jakarta relatif lebih cair. Koalisi yang terbentuk seringkali berbasis pada isu dan kebijakan bukan berbasis pada koalisi partai di tingkat nasional. Ditambah, dalam proses politik pemilihan wakil gubernur kali ini digunakan mekanisme voting tertutup sehingga seharusnya para anggota fraksi bisa lebih leluasa dalam mengambil sikap (Harris, 2019). Menurut Hadiz (2014) konstelasi politik yang cair di tingkat lokal seperti yang terjadi di DPRD DKI didasari oleh pragmatisme untuk mendapatkan sumber daya material di tingkat lokal. Dari perebutan sumber daya itulah kemudian koalisi atau konflik elite di tingkat lokal terbentuk sehingga koalisi di tingkat lokal seringkali lebih dinamis dan cair. Hal ini didukung oleh mekanisme sistem voting tertutup dalam menentukan berbagai keputusan. Sistem ini dinilai dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti adanya potensi transaksi-transaksi yang terjadi di luar kepentingan publik antar elit politik dalam rangka memenangkan kandidatnya (Hadiz, 2014).

Fraksi PDI Perjuangan merupakan fraksi terbesar di DPRD DKI Jakarta dengan jumlah anggota fraksi sebanyak 20 orang. Atas dasar hal tersebut pandangan fraksi dan dukungan yang diberikan Fraksi PDIP dalam proses pemilihan wakil gubernur ini dinilai akan sangat vital. Ketua Fraksi PDIP DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, dalam proses pemilihan wakil gubernur pada dasarnya posisi PDIP adalah pasif. Artinya, PDIP lebih menunggu gerakan pro-aktif dari partai pengusung pasangan wakil gubernur dalam hal ini Gerindra dan PKS untuk memainkan peran kunci dalam melakukan lobi-lobi yang diperlukan demi memenangkan calon yang diusung sebagai wakil gubernur.

Posisi sentral PDIP dalam proses pemilihan wakil gubernur ini juga diakui oleh kedua partai pengusung calon wakil gubernur yaitu Partai Gerindra dan PKS. Terkait hal ini, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra M. Taufik mengungkap dukungan PDIP memiliki pengaruh yang besar. Bahkan menurutnya, PDIP menjadi kunci kemenangan bagi pemilihan wagub DKI ini.

Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 6 April 2020 atau tepat setelah pemilihan wakil gubernur dilaksanakan Gembong mengungkap bahwa Fraksi PDIP pada akhirnya secara utuh memberikan dukungan kepada calon yang diusung Partai Gerindra yaitu Ahmad Riza Patria. Gembong mengatakan salah satu faktor kunci partainya memberikan dukungan kepada Riza adalah faktor kedekatan ideologi. Selain itu, menurut Gembong, ada pengaruh dari elit pimpinan partai di tingkat pusat dalam terbitnya surat berupa instruksi langsung secara tertulis bagi semua anggota Fraksi PDIP untuk memilih calon yang diusung Gerindra. Terkait hal ini, kedekatan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto disertai lobi-lobi antar kedua elit partai yang terjadi diyakini berpengaruh kepada sikap Fraksi PDIP yang pada akhirnya mendukung calon dari Gerindra.

Seperti yang diketahui beberapa saat sebelum pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta Partai Gerindra lewat sang Ketua Umum Prabowo Subianto memang sangat intensif membangun komunikasi langsung dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Terkait hal ini, Harry S. Truman dalam Hans-Dieter Klingeman menyatakan bahwa derajat kesesuaian tertentu antara apa yang ditulis oleh partai politik dalam program-program formal (flatform) mereka sebelum pemilu dengan kebijakan yang diberlakukan setelah pemilu dapat diukur dan dinilai kedalam bentuk-bentuk model kebijakan partai politik. Mengutip pemikiran Hans-Dieter Klingemann, khususnya dalam konteks model kebijakan partai politik yakni model agenda, manda dan ideologi. Maka, Sikap Fraksi PDI Perjuangan didalam proses memutuskan kebijakan terkait kepada siapa dukungan diberikan dalam proses pemilihan wakil gubernur dapat dikategorisasikan sebagai model kebijakan politik ideologi. Hal ini dapat diuraikan berdasarkan pola-pola pengambilan keputusan Fraksi PDI yang berangkat dari diskursus mengenai orientasi ideologisnya dan sejarah partai yang telah berlangsung lama sehingga bisa memberikan alasan kuat kepada para pemilih untuk mengharapkan tercerminkannya suara, harapan, serta gagasan mereka masuk kedalam formula kebijakan.

Dalam konteks ini, Partai Gerindra dinilai lebih mempunyai kedekatan ideologis dengan PDIP ketimbang PKS. Seperti yang diketahui, PKS dan Gerindra merupakan dua partai yang memiliki haluan ideologi berbeda.PKS, dalam ulasan M. Imdadun Rahmat dalam buku Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen adalah partai yang telah menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai acuan utama gerakan politik mereka. Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan Islam politik yang berasal dari Mesir. Di AD/ART PKS pun disebutkan bahwa asas partai tersebut adalah Islam, bukan Pancasila. Sementara itu, AD/ART Partai Gerindra menyebutkan bahwa partai tersebut berhaluan nasionalis dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar ideologi partai sama dengan PDIP (Imdadun, 2008).

Sementara itu, Fraksi Partai Golkar merupakan salah satu fraksi yang sejak awal secara terbuka sudah menyatakan sikap dan dukungannya terhadap calon wakil gubernur yang akan dipilih. Hal ini diungkap langsung oleh Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Basri Baco yang secara terbuka mendeklarasikan bahwa seluruh anggota fraksinya solid untuk mendukung calon yang diusung Partai Gerindra Ahmad Riza Patria dalam voting pemilihan wakil gubernur. Basri mengungkapkan ada beberapa faktor yang mendasari mengapa Fraksi Golkar memberikan sikap untuk mendukung mendukung Riza. Pertama, faktor kondisi politik di tingkat nasional, Basri mengungkap bahwa masuknya Partai Gerindra ke dalam koalisi pendukung pemerintah menjadi salah satu faktor kunci dibalik dukungan Fraksi Golkar terhadap Riza. Kedua, faktor kesamaan Ideologi, Basri mengungkap bahwa Golkar lebih mempunyai kedekatan ideologis dengan Partai Gerindra sebagai partai nasionalos ketimbang PKS yang berazaskan Islam. Ketiga, Basri mengaku ada arahan dari elit partai Golkar di tingkat pusat (DPP) dibalik sikap partainya yang sedari awal memberikan dukungan kepada Riza. Ia mengaku bahwa seluruh anggota Fraksi Golkar mendapatkan instruksi langsung berupa perintah dari Ketua Umum DPP Partai Golkar untuk memberikan dukungannya terhadap Riza dalam proses pemilihan wakil gubernur. Meski begitu, Basri tidak mengungkapkan secara detail terkait bentuk instruksi dari elit Partai Golkar tersebut apakah berupa surat perintah berupa rekomendasi tertulis atau hanya perintah secara lisan. Namun, merujuk pada AD/ART partai seluruh anggota fraksi yang merupakan kepanjangan tangan partai di DPRD dianggap wajib mengikuti arahan tersebut.

"Solid, karena ini arahan juga dari ketua umum dan ini hasil konsultasi kita dengan DPP, dan langsung mendapatkan arahan dari ketua umum,"

Langkah politik fraksi Golkar ini menegaskan teori elit Robert Putnam sebagai stratifikasi politik yang diuraikan secara detail menjadi piramida yang membentuk 6 lapisan sesuai dengan besaran pengaruhnya didalam kehidupan politik, yakni: (1) Kelompok Pembuat Keputusan; (2) Kaum Berpengaruh; (3) Aktivis; (4) Publik Peminat Politik; (5) Kaum Pemilih, dan (6) Non-Partisan. Menurut Putnam, didalam stratifikasi politik, individu-individu atau kelompok yang berada pada lapisan atas, karena keunggulan yang dimilikinya, mempunyai lebih besar kemampuan untuk menggenggam dan menjalankan kekuasaan, sementara itu individu-individu atau kelompok yang berada pada lapis bawah stratifikasi dapat dinyatakan sedikit atau bahkan tidak mempunyai sama sekali kemampuan untuk menjalankan hal yang sama.

Oleh karenanya menurut Putnam, semakin ke atas posisi seseorang atau kelompok dalam startifikasi menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki kekuasaan yang semakin besar, demikian pula sebaliknya semakin ke bawah posisi seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan yang semakin kecil atau bahkan tidak memiliki sama sekali. Dalam konteks proses pemilihan wakil gubernur ini, elit parpol di tingkat pusat bersama oligark dan pimpinan fraksi menjadi satu kesatuan identitas yang mampu melegitimasi dirinya untuk mengambil keputusan perdasarkan prinsip delegasi kekuasaan kepada seluruh anggota fraksinya (Putnam, 2013).

Selanjutnya, fraksi yang memiliki posisi strategis dalam proses pemilihan wakil gubernur ini adalah Fraksi Demokrat. Suara dari anggota fraksi Demokrat sendiri dinilai berperan sangat vital dalam proses ini khususnya bagi PKS. Hal ini disebabkan oleh dua hal pertama, fraksi Demokrat merupakan fraksi terbesar keempat di DPRD dengan raihan 10 kursi, secara jumlah kursi ini bisa sangat menentukan bagi kemenangan calon wakil gubernur yang diusung. Kedua, secara positioning Partai Demokrat merupakan partai yang berada di luar koalisi pendukung pemerintah bersama PKS. Dalam hal ini, PKS tentu sangat berharap Fraksi Demokrat dapat mendukung calon yang akan diusungnya dalam proses pemilihan wakil gubernur. Meski begitu, hal ini tidak menjadi jaminan utama Fraksi Demokrat akan mendukung calon wakil gubernur yang diusulkan PKS yaitu Nurmansjah Lubis.

Terkait kepada siapa dukungan diberikan dalam proses pemilihan wakil gubernur, Fraksi Demokrat melalui pernyataan Ketua Fraksi Demokrat Desie Christyana Sari mengungkap bahwa partainya akan menunggu rekomendasi dari DPP Partai Demokrat untuk memberikan arahan terkait kepada siapa suara anggota fraksi Demokrat akan diberikan dalam proses voting pemilihan wakil gubernur. Lebih lanjut, Desie mengungkap mekanisme yang ada di Partai Demokrat, menurutnya pertama fraksi Demokrat di DPRD akan terlebih dahulu memberikan rekomendasi terkait kedua kandidat calon gubernur berdasarkan hasil lobi politik dan komunikasi yang dilakukan di tingkat fraksi. Kemudian, hasil rekomendasi tersebut akan diserahkan kepada elit di tingkat DPP untuk kemudian diberi keputusan kepada siapa suara akan diberikan. Terkait hal ini, mengingat pentingnya proses pemilihan wakil gubernur ini Desie menjelaskan bahwa dalam kasus ini segala keputusan fraksi akan direkomendasikan langsung oleh para pengurus elite di tingkat DPP Partai Demokrat.

Dalam kasus penelitian ini, terkait koalisi politik di tingkat lokal yang tidak mempertimbangkan koalisi dan konstelasi politik di tingkat nasional Syamsudin Haris (2018) menilai fenomena itu wajar terjadi di Indonesia pada setiap penyelenggaraan pilkada hal ini disebabkan salah satunya oleh faktor pragmatism politik (Harris, 2018). Lebih lanjut, Ia menilai koalisi di daerah cenderung lebih cair, karena berbasis pada pragmatisme-pragmatisme politik dan ekonomi jangka pendek di daerah tersebut. Pasalnya, semua agenda politik di tingkat lokal seringkali belum mampu mendorong perubahan hal yang bersifat pragmatis menjadi ideologis 4 karena lemahnya pelembagaan partai di tingkat lokal (Asrinaldi, 2016). Argumen ini didukung dengan fakta yang terjadi pada masa-masa pra-pemilu, dimana menguatnya pragmatisme dalam pembentukan koalisi antar partai politik. Hal ini bisa saja terjadi karena beberapa faktor, antara lain, lemahnya pelembagaan partai, mahalnya biaya politik, money politik, popularitas seseorang, serta orientasi jabatan atau kekuasaan.

Terkait pragmatisme politik yang menjadi pertimbangan utama partai dalam menentukan pilihan, Lili Romli (2018) menyatakan bahwa adanya kecenderungan konflik internal dalam partai politik di Indonesia bukan disebabkan oleh adanya perbedaan mengenai visi/misi, platform dan ideologi, melainkan lebih dipengaruhi oleh adanya pragmatisme atas pilihan koalisi partai politik untuk mendukung pemerintahan serta kepentingan untuk meraih kekuasaan (Romli, 2018). Selain itu, penelitian tersebut juga menyatakan bahwa faktor pilihan koalisi atau menjadi oposisi juga turut menjadi variabel penting dalam menjelaskan konflik dalam internal partai politik.

Sementara itu, fraksi Nasdem, fraksi PSI, fraksi PKB+PPP tidak memberikan keterangan resmi terkait dukungan kepada salah satu calon yang akan diusung dalam proses voting pemilihan wakil gubernur. Ketiga fraksi tersebut sampai dengan hari pemungutan suara menyerahkan semua keputusan pada masing-masing anggota fraksi mereka di parlemen. Beberapa partai tersebut diketahui membebaskan para anggota fraksi nya untuk melakukan komunikasi politik secara langsung dengan para kandidat. Temuan-temuan inilah yang menguatkan indikasi adanya politik transaksional yang terjadi sepanjang proses pengisian jabatan wakil gubernur DKI Jakarta oleh DPRD. Fraksi PSI misalnya lewat keterangan Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Muhammad Idris hanya berpesan agar wakil gubernur yang terpilih nantinya dapat bekerja secara maksimal dan menuntaskan janji kampanye dan program kerja gubernur dan wakil gubernur sebelumnya. Selebihnya, Fraksi PSI hanya menekankan agar proses pemilihan berjalan secara transparan dan terbuka bagi masyarakat.

 

Kesimpulan

Didalam proses pengisian jabatan wakil gubernur ini terbukti terdapat peran dari elit-elit politik yang terdefinisikan sebagai oligark dalam penelitian ini untuk menentukan beberapa sikap dan pengambilan keputusan tidak dapat dihindari oleh para anggota fraksi dalam menentukan pilihan kandidat wakil gubernur. Menegaskan mengenai hal tersebut, dalam kasus penelitian ini terbukti elit politik di tingkat nasional dan pimpinan fraksi di DPRD berperan aktif dalam melakukan lobi kepada masing-masing partai politik demi memenangkan calon yang diusung dalam pemilihan wakil gubernur ini. Dalam penelitian ini juga terlihat bentuk proses tawar menawar politik yang terjadi yaitu lobi-lobi politik dan komunikasi yang berbentuk top down artinya bagaimana keputusan politik masing-masing anggota fraksi dalam memilih diarahkan langsung kepada keputusan elit pimpinan masing-masing partai politik. Hal ini sesuai dengan kondisi yang disampaikan Michels (2014) dalam teori oligarki partai politik Menurut Michels, kondisi partai cenderung mengembangkan struktur birokrasi yaitu sistem organisasi yang diperkirakan rasional dan terorganisasi secara hirarkis. Setiap organisasi partai yang telah mencapai tingkat kerumitan tertentu menuntut adanya sejumlah orang tertentu yang mengabdikan semua aktivitas mereka kepada tugas partai. Konsekuensinya adalah meningkatnya konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elit pimpinan partai dan berkurangnya pengaruh anggota biasa, pemimpin memiliki banyak sumberdaya yang sangat bermanfaat dan sulit ditandingi oleh anggota yang berusaha ikut ambil bagian dalam kebijakan.

Dalam kasus penelitian ini, proses tawar menawar politik antar fraksi di DPRD dipengaruhi oleh beberapa hal, pertama faktor lobi-lobi yang dilakukan oleh masing-masing elit partai politik yang terdefinisikan sebagai oligark, kedua faktor kesamaan ideologis partai, ketiga memperhitungkan faktor konstelasi politik dan untung rugi partai di tingkat nasional dan lokal. Sistem pemilihan wakil gubernur secara tertutup lewat voting oleh anggota DPRD juga semakin memudahkan dan melegitimasi peran para elit oligark dalam mengendalikan tujuannya. Penelitian ini memberikan satu titik terang terkait dengan bagaimana perilaku oligarki bekerja dalam tubuh partai politik yaitu dengan upaya penguasaan atas posisi kekuasaan dalam lembaga-lembaga politik baik melalui legislatif maupun eksekutif. Penguasaan kaum oligark terhadap partai membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan �leading�, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualisme oligark, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung, menyebabkan kehadiran oligark semakin legitimate, karena mendapat dukungan dari demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, cara pandang masing-masing fraksi didalam keputusan akhir mengenai kepada siapa dukungan diberikan dalam proses pemilihan wakil gubernur dapat ditarik kesimpulan sebagai pandangan yang pragmatis dan berorientasi kepada kepentingan jangka pendek sebagaimana diungkap oleh Roy C Macridis mengenai ciri-ciri partai politik modern dan demokratis yaitu sumber-sumber dukungan partai harus komprehensif, berorientasi klien, berorientasi isu, dan pragmatis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Asrinaldi, A. (2016). Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial di Indonesia. Jurnal Penelitian Politik, 10(2), 15. Google Scholar.

 

Azyumardi Azra. (2021). Artikel: Membendung Oligarki. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ( https://www.uinjkt.ac.id/membendung-oligarki-2/). Google Scholar.

 

Dewansyah, B. (2010). Implikasi Pergeseran Hasil Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat dan Konstituen.Jurnal Konstitusi Vol 3 No 2 2010. Google Scholar.

 

Edward Aspinall. 2015. Oligarchic Populism: Prabowo Subianto's Challenge to Indonesian Democracy. Cornell University Press. Google Scholar.

 

Hadiz, V. R., & Robison, R. (2013). The political economy of oligarchy and the reorganization of power in Indonesia. I. Google Scholar.

 

Hidayat, R. � Di Balik Terpilihnya Riza Patria Menjadi Cawagub DKI�. Post 11 Februari 2020. https://tirto.id/di-balik-terpilihnya-riza-patria-menjadi-cawagub-dki-eygE. Google Scholar.

 

Juniar, A. (2021). Redesain Demokrasi Internal Partai Politik: Upaya Mencegah Oligarki dan Korupsi Partai Politik. Jurnal Politikom Indonesiana6(1), 17-39.

 

Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan. (2020). Laporan Hasil Survey Persepsi Warga DKI terhadap Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Google Scholar.

 

Luthfi Hasanal Bolkiah. (2020). Dominasi Oligarki dan Ketidakhadiran Partai Politik Hijau di Indonesia. Nahkoda:Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol 19 No2 Tahun 2020. Google Scholar.

 

Maswadi Rauf. (2010). Jurnal Ilmu Politik: Konsensus Konflik Politik. Pustaka Pelajar. Google Scholar.

 

Michels, R. (1949) Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, The Free Press, Glencoe, Illinois, first published in 1915, reprinted in 1949. Google Scholar.

 

M. Imdadun Rahmat. (2008). Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Penerbit LKIS Yogyakarta. Google Scholar.

 

Muhtadi, Burhannudin. (2020). Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru. Jakarta. Kepustaan Populer Gramedia. Google Scholar.

 

Nana Syaodih, Sukmadinata. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung.PT. Remaja Rosdakarya. Google Scholar.

 

Nge, H. J. (2018). Oligarki Partai Politik dalam Rekrutmen Calon Kepala Daerah. Jurnal Academia Praja1(01), 59-84. Google Scholar.

 

Putnam, R. D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. New Jersey: Princeton University Press. Google Scholar.

 

Sulastri, Endang. (2017). Representasi Perempuan dalam Oligarki Partai Politik. Jurnal Universitas Muhammadiyah Jember. Google Scholar.

 

Syamsudin Harris. (2018). Konstelasi Politik di Tahun Elektoral: Personalisasi Partai Politik Indonesia di Era Reformasi. Jurnal Politik LIPI Vol 15 No 2 (2018). Google Scholar.

 

Copyright holder:

Alfitra Akbar, Meidi Kosandi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: