Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 11, November
2022
1Ihsan Ainurrofiq, 2Muhammad Tri Andika Kurniawan
Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial, Universitas Bakrie
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Diplomasi parlemen adalah kegiatan internasional yang dilakukan oleh parlemen dan Diplomasi Parlemen tidak menduplikasi diplomasi pemerintah karena merupakan bagian dari bentuk multi-track diplomacy. Secara khusus, keterlibatan langsung parlemen nasional dalam urusan luar negeri telah meningkat pesat. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagai parlemen Indonesia telah melaksanakan diplomasi parlemen yang menjadi komponen penting dalam pembentukan kebijakan luar negeri Indonesia. Melalui diplomasi parlemen, parlemen nasional mendiskusikan isu-isu internasional yang beredar mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau pengaruh dan Implikasi diplomasi parlemen Indonesia terhadap pelanggaran HAM yang terjadi kepada kaum Rohingya di Myanmar. Menggunakan metodologi kualitatif penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran diplomasi parlemen dalam mempengaruhi penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi pada kaum Rohingya di Myanmar. dengan Teknik Pengumpulan Data wawancara dengan menanyakan kepada ahli dan Studi kepustakaan (Library Research) yang bersumber dari buku, artikel, jurnal, dokumen, tabloid, analisis video dan website yang valid. Penulis menggunakan teknik analisis Kualitatif dengan penulisan deduktif.
Kata kunci: Diplomasi Parlemen; Rohingya; DPR-RI
Abstract
Parliament Diplomacy are international
activities carried out by parliament, Parliament
diplomacy do not duplicate the executive diplomacy because is part of a
multi-track diplomacy. Nowadays involvement of parliament on international
affairs has increasing. The House of Representatives of the Republic of
Indonesia (DPR-RI) as a parliament of Indonesia already adopted parliament
diplomacy as an important component in the formation of Indonesia's foreign
policy. Through Parliament Diplomacy, international issue such as political,
economic, and socio-culture will be discussed. This research purposed for
observe influence and implications from Parliament Diplomacy of Indonesia
towards Human Rights Violation against Rohingya people in Myanmar. Using
qualitative methodology and deductive writing types aims of this research are
observe how Parliament Diplomacy of Indonesia affected to conflict resolution
on Rohingya conflict in Myanmar.� Data
collection technique with interview, and library research from valid books,
articles, journals, documents, tabloids, video analysis and websites.
Keywords: Parliamentary Diplomacy; Rohingya; DPR-RI
Pendahuluan
Perlakuan buruk yang terjadi
terhadap kaum Rohingya sebenarnya sudah dialami sejak tahun
1962 pada saat pemerintahan
presiden U Nay Win. Presiden
U Nay Win membentuk operasi-operasi
hingga menyebabkan orang
Rohingya terusir paksa dari negara Myanmar. Perlakuan tersebut memuncak ketika pada bulan Juni 2012, dimana penduduk dari kelompok
etnis Rakhine menyerang bis
dan membunuh 10 orang muslim
yang diduga oleh etnis
Rakhine sebagai Rohingya yang berada
di dalam bis. Tuduhan tersebut dikarenakan 3 orang muslim Rohingya telah memperkosa dan membunuh perempuan yang berasal dari kelompok etnis
Rakhine. Permasalahan tersebut
meluas hingga menyebabkan ratusan korban kelompok etnis Rohingya, puluhan ribu rumah
dibakar, ratusan orang ditangkap dan ditahan secara paksa yang dituangkan oleh (Tanjung, 2020).
Setidaknya terdapat beberapa
peristiwa terjadi kepada kaum rohingya
pasca kemerdekaan Myanmar
1948 yang uraikan dalam Kurniawan (2018)
sebagai berikut:
1.� Upaya mengintimidasi kaum Rohingya dan memaksa mereka keluar dari
wilayah Aakan dengan melakukan operasi King Dragon
pada tahun 1978;
2.� Tidak diakuinya kewarganegaraan kaum Rohingya sebagai bagian dari 135 kelompok etnis resmi di Myanmar pada tahun 1982;
3.� Pengembalian secara paksa para pengungsi Rohingya
yang telah melarikan diri ke Bangladesh akibat tidak mampu
bertahan dalam situasi konflik yang berkepanjangan pada tahun 1990, serta pemusnahan rumah ibadah (Masjid) dan sekolah
pada tahun 2001;
4.� Munculnya gerakan Rohingya
elimination group yang didalangi oleh kelompok ekstrimis yang menamakan dirinya 969. Gerakan ini bertujuan untuk
menghapus kaum Rohingya dari bumi Arakan.
Akibat dilakukannya gerakan ini, sekitar
140.000 orang dipaksa tinggal
di kamp konsentrasi yang menyebabkan 200 orang tewas;
5.� Terjadinya eksodus besar-besaran warga Rohingya dengan menggunakan kapal untuk mengungsi
ke Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Eksodus ini menyebabkan
ribuan orang terkatung-katung
di lautan dan banyak diantaranya meninggal dalam perjalanan. UNHCR memperkirakan setidaknya terdapat 150.000 orang melarikan diri dari perbatasan
Myanmar-Bangladesh sejak Januari
2012 � 2015;
6.� Pembantaian terhadap muslim Rohingya yang terjadi pada
bulan Oktober 2016 yang menewaskan 150 orang dan 3 desa
yang hangus dibakar.
Kemudian peristiwa pelanggaran
HAM yang diuraikan Hamzah (2018)
ini kembali terjadi secara besar-besaran pada hari Jum�at tanggal 25 Agustus 2017 setelah terjadi serangan yang mematikan dari kelompok pemerintah Militer Myanmar melawan kelompok pembela Rohingya atau ARSA (Arakhan
Rohingya Salvation Army) atau Haraqah
Al-Yaqin. Tindakan diskriminasi,
kekerasan, pembantaian, pembunuhan, pembasmian massal / genocide, dan pengusiran
yang terjadi pada etnis
Rohingya mutlak tindakan pelangaran HAM berat. Pelanggaran ini muncul ke permukaan
publik internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merespon
kasus pelanggaran HAM di
Myanmar dengan merekomendasikan
agar United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dilibatkan dalam memperjelas apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar (Khamsiani, 2018). Selain itu, PBB juga menyerukan supaya Myanmar sebagai negara yang merdeka segera menyelesaikan persoalan secara damai dan tidak melibatkan kekerasan dalam penyelesaian konflik ini. Dalam
hal ini, berbagai elemen aktor Internasional diminta untuk terlibat
bertanggungjawab dalam mencegah berbagai tragedi kemanusiaan di Myanmar.
Dalam Triono (2014)
menjelaskan Myanmar sebagai
salah satu negara anggota Association
of Southeast Asian Nations (ASEAN), namun ASEAN sebagai sebuah organisasi regional di Asia Tenggara merespon
kasus konflik Rohingnya secara hati-hati. Karena ASEAN menganut prinsip non-intervensi atau prinsip yang menyatakan bahwa masalah setiap negara harus diurus masing-masing tanpa adanya campur
tangan dari pihak luar termasuk
campur tangan dari organisasi ASEAN. Sebagai sesama anggota ASEAN Malaysia dan Indonesia pada tanggal 20 Mei 2015 menyatakan siap menerima pengungsi
Rohingya yang terkatung-katung di tengah
laut di daerah perairan kedua negara tersebut. Hal itu disampaikan oleh Menteri Luar
Negeri kedua negara setelah
melakukan konsultasi dengan menlu Thailand di
Putrajaya, Malaysia. Namun upaya
proaktif terus dilancarkan untuk menyelesaikan konflik Rohingnya terutama oleh Indonesia
sebagai negara senior di ASEAN. Indonesia secara aktif mengirimkan
misi-misi diplomasi ke Myanmar untuk membantu menyelesaikan kasus yang terjadi melalui berbagai aktor, mulai dari
aktor pemerintahan sampai aktor individu.��
Fenomena yang terjadi dalam
konflik Rohingya ini, hadirnya tanggapan-tanggapan lain
dari berbagai pihak salah satunya adalah para parlemen di berbagai negara. Tanggapan tersebut adalah bagian dari Diplomasi
Parlemen. Diplomasi Parlemen adalah aktifitas hubungan internasional legislatif dan
legislator, yang dilakukan secara
bilateral dan melalui forum multilateral (Gandryani & Hadi, 2021). Dalam konteks untuk
menyelesaikan konflik
intra-negara dengan proses yang damai.
Diplomasi parlemen dilakukan oleh banyak negara seperti Belanda, negara-negara Eropa,
dan juga negara-negara di Asia seperti Brunei Darusalam, Filipina, Vietnam, Kamboja,
Malaysia, Indonesia, dan negara-negara lainnya.
Indonesia sebagai negara yang memiliki
parlemen juga melakukan kegiatan diplomasi parlemen.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia disingkat
DPR-RI sebagai salah satu
badan formal parlemen Indonesia yang mewakili suara rakyat Indonesia menjadikan peristiwa pelanggaran HAM ini menjadi salah satu agenda dalam melakukan diplomasi bersama parlemen luar negeri lainnya. Dalam menjalankan kegiatan diplomasi parlemennya DPR-RI menjadikan komisi 1 yang memiliki ruang lingkup tugas
di bidang:
1.���� Pertahanan
2.���� Luar Negeri
3.���� Komunikasi dan Informatika
4.���� Intelijen
DPR-RI juga membentuk suatu alat kelengkapan
dewan yang berfungsi untuk membantu kegiatan diplomasi parlemennya yaitu Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) yang mempunyai fungsi untuk membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara
DPR-RI dan parlemen negara lain, baik
secara bilateral maupun
multilateral, termasuk berbagai
organisasi internasional
yang menghimpun parlemen
dan anggota parlemen (DPR & RI, 2014). BKSAP juga menyampaikan saran atau rekomendasi kepada Pimpinan DPR terkait masalah kerja sama
antar-parlemen.
Dalam sidang ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA)
ke-38 pada tahun 2017 DPR-RI mengusulkan
masalah krisis kemanusiaan di Rakhine State, Myanmar agar mendapat perhatian dan dapat diselesaikan, pengusulan masalah ini diajukan karena
rakyat Indonesia melihat konflik yang terjadi sebagai konflik agam;a, dan konflik yang terjadi mempengaruhi
negara-negara disekitar Myanmar termasuk
Indonesia yang kedatangan para pengungsi
kaum rohingya tersebut (Ainurrofiq, 2019).
Juga dilihat dari aspek pendekatan kemanusiaan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi kepada kaum Rohingya tidak sejalan dengan aturan dan hukum mengenai perlindungan HAM.
Namun dalam Rosyid (2019)
sidang tersebut pernyataan dari DPR-RI mendapat respon yang beragam seperti parlemen Myanmar yang menolak untuk membahas hal tersebut dikarenakan
kasus tersebut adalah urusan dalam
negeri Myanmar. Lalu Delegasi Brunei Darussalam yang mengusulkan adanya reses bagi Indonesia dan Myanmar. Mereka
disarankan membicarakan hal ini bersama
pimpinan AIPA. Sama dengan respon Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Malaysia menyepakati
usulan tersebut. Delegasi Malaysia mengatakan krisis yang terjadi di Rakhine tidak hanya masalah
Myanmar namun lebih baik jika Indonesia dan Myanmar mengadakan perbincangan yang mendalam antara keduabelah pihak. Sementara itu Singapura dan Laos setuju dengan pimpinan
AIPA untuk mengesampingkan isu dari kasus
rohingya tersebut. Sedangkan respon dari Thailand yang mengusulkan masalah ini harus
dibicarakan dalam isu kemanusiaan secara spesifik, dan mengeluarkannya dari isu politik seperti
yang diusulkan Indonesia.
Respon lain atas kasus pelanggaran
HAM yang terjadi kepada kaum Rohingya juga ditunjukkan
oleh masyarakat Indonesia yang melakukan
unjuk rasa di Kedutaan Besar Myanmar di Indonesia yang bertempat
di Jakarta Pusat pada 25 November 2016 (Pradityo, 2020).
Mereka mendesak Pemerintah Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar serta menuntut agar hadiah Nobel Perdamaian yang telah diterima Suu Kyi dari Komite Nobel Perdamaian di tahun 1991 dicabut (Rahma, 2012).
Seruan tersebut juga dinyatakan oleh Komnas HAM
Indonesia karena Suu Kyi dianggap
tidak melakukan upaya optimal dalam mendukung terciptanya perdamaian dan persaudaraan antar-sesama mengingat ia memegang posisi
yang cukup strategis di Pemerintahan Myanmar sebagai State
Counsellor atau Penasihat
Negara (Kurniawati, 2018).
Merujuk pada latar belakang diatas maka, penulis
menganggap bahwa peristiwa pelanggaran HAM yang menimpa kaum rohingya
yang msaat ini menjadi perhatian publik internasional dan DPR-RI sebagai parlemen Indonesia juga menjadikan peristiwa ini sebagai agenda diplomasi parlemennya kemudian menarik dan penting untuk di angkat dalam karya
ilmiah Skripsi ini, dengan mengangkat
judul �Pengaruh Diplomasi Parlemen DPR-RI terhadap Pelanggaran HAM Kaum Rohingya di Myanmar (2017-2018)�.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan pencarian jenis dan sumber data yang berupa data primer yang bisa didapatkan dengan wawancara kepada pihak-pihak yang ahli dalam bidang yang diteliti, juga studi literature
yang menjadi data sekunder
yang dapat dikumpulkan dari dokumen-dokumen, laporan, dan pemberitaan media
masa.
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian
ini adalah:
1.� Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah wawancara one on one, karena
dengan adanya wawancara terhadap aktor atau pihak
yang terlibat langsung dalam kegiatan diplomasi parlemen akan membuat penelitian
ini memiliki kebenaran yang lebih actual
bagaimana dan isu apa saja yang menjadi
isu penting dalam diplomasi parlemen.
2.� Studi literature dan dokumen
akan digunakan sebagai tinjauan yang lebih spesifik untuk menunjang validasi dari data primer. Data
yang dikumpulkan berupa buku, artikel, dokumen dari parlemen,
hasil riset yang terkait dengan topik yang diteliti, laporan kegiatan parlemen, dan pemberitaan media massa baik cetak
maupun online.
3.� Focus
Group Discussion atau diskusi
terfokus dari suatu kelompok yang membahas secara spesifik mengenai suatu fenomena yang ada, dalam diskusi
ini menghadirkan minimal 8
orang terakreditasi didalamnya
mengenai fenomena yang akan dibahas.
Penelitian ini akan
menggunakan konsep diplomasi parlemen Malamud dan Stavridis dari Malamud & Stavridis (2016)
yang mendefinisikan diplomasi
parlemen sebagai �berbagai kegiatan internasional yang dilakukan oleh
anggota Parlemen untuk meningkatkan saling pengertian antar negara, untuk saling membantu dalam meningkatkan kontrol pemerintah dan representasi dari orang-orang,
dan untuk meningkatkan legitimasi demokratis lembaga antar pemerintah.
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi Konflik Rohingya
Menurut bapak Heru Susetyo,
dosen fakultas hokum
Universitas Indonesia, advokat, aktifis
HAM dan relawan kemanusiaan,
juga pengamat Rohingya. Menyatakan
dalam Ainurrofiq (2019)
bahwa alasan kaum Rohingya tidak diakui oleh Myanmar adalah belum terselesaikannya proses national
building dari negara tersebut.
Meskipun sudah merdeka dari tahun
1948, Myanmar belum selesai
melakukan proses pembangunan
karakter bangsanya. Dalam pandangan sejarah, kaum Rohingya memang menempati tempat yang bernama Arakan tetapi karena
adanya penentuan border dari negara-negara British-India, Kawasan Arakan menjadi bagian dari Myanmar yang bersebrangan dengan Kawasan
Bangladesh. Selain itu, dalam banyak aspek
memang kaum Rohingya lebih dekat dan banyak kemiripan dengan orang-orang Bangladesh seperti
fisik, dan kepercayaan (sesama muslim). Akan tetapi, karena penentuan batas maka Arakan yang menjadi tempat tinggal dari kaum
Rohingya menjadi bagian dari Myanmar yang bermayoritaskan
kaum Burma yang memeluk
agama Budha.
Alasan. Populasi etnis Rohingnya pun berkembang sangat pesat (seorang pria Rohingnya rata2 memiliki lebih dari satu orang isteri dan memegang prinsip banyak anak lebih baik),
sehingga menimbulkan kekhawatiran. Salah seorang anggota parlemen negara Bagian
Rakhine juga menyatakan adanya
kekhawatiran pertambahan etnis rohingnya yang sedemikian pesat (saat ini sekitar
1,2 juta jiwa) dan dapat menimbulkan konflik sosial. Konflik Rohingya bereskalasi. Hal
ini ditandai peristiwa 25 Agustus 2017.� Pada peristiwa tersebut terjadi serangan yang mematikan dari kelompok pemerintah
Militer Myanmar melawan kelompok pembela Rohingya atau ARSA (Arakhan
Rohingya Salvation Army) atau Haraqah
Al-Yaqin (Hamzah, 2018). Tindakan diskriminasi, kekerasan, pembantaian, pembunuhan, pembasmian massal / genocide,
dan pengusiran yang terjadi
pada etnis Rohingya mutlak adalah tindakan pelangaran HAM berat.
PBB
dengan menugaskan pencari fakta, telah mengumpulkan bukti-bukti bahwa militer Myanmar telah melakukan kekerasan terhadap warga muslim Rohingya tersebut dan PBB menetapkan kejadian tersebut sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan pembersihan etnis (genosida) (Siregar, 2018).
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), sampai pada tanggal 8 September
2017 konflik Rohingya telah
menewaskan lebih dari 1.000 orang dan menyebabkan lebih dari 313.000 orang Rohingya
mengungsi ke Bangladesh (Rosyid, 2019).
Para pengungsi Rohingya tersebut
tidak mempunyai tempat tinggal karena militer Myamar membakar rumah mereka di Rakhine.
Penyebab dari konflik bersenjata
pada tanggal 25 Agustus ini dapat diidentifikasi
dari sejarah bahwa, kaum Rohingya merupakan salah satu etnis yang mendapatkan tindakan represif dari militer atau
aparat pemerintah Myanmar (Pradana, 2018).
Tindakan represif ini disahkan juga di dalam Undang-Undang The
Emergency Immigration Act pada tahun 1974 dan The
Burmese Citizenship Law pada tahun 1982.� Undang-undang ini menyatakan bahwa semua penduduk
wajib memiliki kartu identitas nasional. Dan sampai saat peristiwa 25 Agustus terjadi kaum Rohingya masih dianggap sebagai orang asing dan bukan sebagai warga negara
Myanmar.�
Konflik Rohingya di Mata Global (Negara Tetangga
dan ASEAN)
Pada bagian ini
akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana posisi negara-negara
ASEAN dan negara DK PBB terhadap konflik
Rohingya. Hal ini penting dipahami untuk mengetahui bagaimana posisi Indonesia terhadap negara
lain dalam isu ini. Tanggapan dibagi menjadi 2 yaitu:
a.
Pro Rohingya Kontra Myanmar (tanggapan seperti ini berarti negara tersebut
mendukung kaum Rohingya dan mengecam tindakan Myanmar)
b.
Pro Myanmar Kontra Rohingya (tanggapan seperti ini berarti negara tersebut
lebih mendukung pemerintah Myanmar dan tidak terlalu mendukung para kaum
Rohingya)
Pemetaan Posisi terhadap
isu Rohingya
Negara |
Posisi terhadap isu
Rohingya |
Pro / Kontra |
Bangladesh |
Bangladesh sebagai negara paling dekat dengan Myanmar,
dan sebagai negara yang paling banyak terkena dampak pengungsi. Posisi dari
negara Bangladesh dapat dilihat pro terhadap Isu Rohingya dan menginginkan
keadilan bagi para kaum Rohingya. |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Malaysia |
Negara Malaysia juga terkena dampak dari pengungsi
Rohingya, dari kecaman-kecaman yang terjadi dari Malaysia terhadap Myanmar,
posisi dari Malaysia pro terhadap Isu Rohingya dan menentang perbuatan
Myanmar |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Thailand |
Tanggapan dari Thailand yang menyediakan kamp pengungsi
bagi para kaum Rohingya, dan pada sidang AIPA ke-38 yang mendukung Indonesia agar konflik
Rohingya masuk menjadi
agenda internasional. Menandakan
posisi Thailand sebagai
pro terhadap kaum
Rohingya |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Brunei |
Brunei sebagai negara kerajaan yang mayoritas penduduk
nya adalah Islam jga mendukung sesama kaum muslim yaitu kaum Rohingya. |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Kamboja |
Salah satu negara yang menolak rancangan resolusi PBB
mengenai konflik Rohingya adalah Kamboja, hal ini dikarenakan Kamboja
berpendapat bahwa konflik ini adalah masalah internal dari Myanmar. Maka
Kamboja memiliki tanggapan kontra dalam mendukung konflik Rohingya, dan Pro
terhadap Myanmar |
Pro Myanmar Kontra Rohingya |
Laos |
Demikian dengan Laos yang sama seperti Kamboja dengan
menentang resolusi dari PBB, posisi Laos kontra terhadap knflik Rohingya dan
pro terhadap Myanmar |
Pro Myanmar Kontra Rohingya |
Filipina |
Filipina berpendapat bahwa konflik Rohingya adalah masalah
internal Myanmar dan bukan isu internasional. Meskipun pemerintah Filipina
membantu Rohingya itu karena atas dasar kemanusiaan dan tidak mau ikut campur
dengan masalah internal Myanmar. Posisi dari Filipina cenderung Pro terhadap
pemerintah Myanmar |
Pro Myanmar Kontra Rohingya |
Singapura |
Tanggapan Singapura mengenai konflik Rohingya lebih pro
terhadap kaum Rohingya dan mendesak pemerintah Myanmar untuk lebih banyak
menerapkan rekomendasi dari PBB. |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Vietnam |
Sama seperti Filipina, tanggapan dari Vietnam
menyatakan bahwa konflik tersebut adalah masalah internal Myanmar yang
menjadaikan posisi Vietnam pro terhadap pemerintah Myanmar. |
Pro Myanmar Kontra Rohingya |
Konflik Rohingya di Mata Global (PBB dan DK PBB)
Sebagai organisasi perdamaian
dunia PBB adalah pihak yang
harus menjadi mediator dan pihak yang memberi insiatif dalam penanggulangan konflik Rohingya
yang berkelanjutan ini. Berikut Pemetaan
tanggapan negara-negara global. Tanggapan dibagi menjadi 2 yaitu:�
a.
Pro Rohingya Kontra Myanmar (tanggapan seperti ini berarti negara tersebut
mendukung kaum Rohingya dan mengecam tindakan Myanmar)
b.
Pro Myanmar Kontra Rohingya (tanggapan seperti ini berarti negara tersebut
lebih mendukung pemerintah Myanmar dan tidak terlalu mendukung para kaum
Rohingya)
Pemetaan Posisi terhadap
isu Rohingya 2
Negara |
Posisi terhadap isu
Rohingya |
Pro/Kontra |
Cina |
Cina sebagai salahsatu Dewan Keamanan PBB yang menolak
resolusi PBB mengenai Rohingya, dengan alasan menghormati Myanmar dengan 3
aspek; kedaulatan, Integritas, dan keterlibatan komunitas internasional. |
Pro Myanmar Kontra Rohingya |
Prancis |
Prancis yang melakukan embargo terhadap Myanmar dari
aspek militer (senjata) juga dari aspek ekonomi (pembekuan asset bank)
menunjukan bahwa Prancis mengecam perbuatan Myanmar kepada kaum Rohingya |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Russia |
Dewan Keamanan PBB lainnya yang menolak resolusi PBB
adalah Russia dengan alasan konflik tersebut harus diselesaikan dengan
diplomasi bilateral bukan dengan pengecaman secara Bersama |
Pro Myanmar Kontra Rohingya |
Inggris |
Inggris merespon konflik Rohingya sebagai krisis
kemanusiaan, dan harus diadili agar kaum Rohingya dapat merasakan keadilan
sama seperti masyarakat internasional lainnya. |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Amerika Serikat |
Sebagai salah satu negara yang mempunyai kekuatan lebih
di tatanan internasional, Amerika Serikat juga mendukung kaum Rohingya dan
mengecam perbuatan Myanmar karena tidak sesuai dengan hokum-hukum
internasional yang berlaku |
Pro Rohingya Kontra Myanmar |
Tanggapan Indonesia yang terkena dampak Konflik Rohingya
Indonesia sebagai salah satu
negara yang terdampak oleh konflik Rohingya karena tidak sedikit para pengungsi
Rohingya masuk ke wilayah teritori Indonesia. Hal ini mendapat respon yang
beragam dari pemerintah Indonesia karena memberikan dampak bagi kehidupan
bermasyarakat di Indonesia.
Dampak keberadaan Kaum Rohingya di Indonesia
1. Keamanan Nasional
Keberadaan kaum Rohingya di
Indonesia berdampak ke keamanan nasional negara Indonesia. Saat ini Indonesia
memiliki sejarahnya sendiri yang memiliki gerakan-gerakan separatis karena
adanya keberagaman diantara warga negara Indonesia. Jika ditambah dengan adanya
suatu etnis yang mempunyai sejarah tersendiri tidak dipungkiri kedepannya bisa
terjadi kemungkinan gerakan-gerakan separatis kembali.
2. Keamanan Manusia
Seperti yang diketahui
kebutuhan premier dari semua manusia adalah sandang, pangan dan papan. Saat
ini, Indonesia yang memiliki warga negara sekitar 260 juta jiwa dan tidak
sedikit penduduk yang masing tergolong di bawah tingkat kemiskinan. Jika
ditambah dengan para pengungsi Rohingya, hal ini akan menambah keamanan manusia
yaitu tidak tercukupi kebutuan premier untuk seluruh penduduk di Indonesia.
Tanggapan Pemerintah Indonesia
Menanggapi konflik Rohingya,
pemerintah Indonesia lebih memilih untuk mendorong pemerintah Myanmar agar
menyelesaikan masalah tersebut, karena dianggap sebagai masalah internal negara
Myanmar dan sebagai bentuk penghargaan dari piagam charter ASEAN. Hal ini juga
ditegaskan dengan paparan dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI,
Arrmanatha Nasir, yang menyatakan bahwa �posisi Indonesia dalam konflik
Rohingya adalah untuk terus mendorong Myanmar memperhatikan isu ini. Indonesia
juga menekannkan kembai bahwa formula 4+1 bisa membantu masalah ini�.
Presiden Indonesia Joko Widodo
(Jokowi) menyampaikan keprihatinannya atas terjadinya konflik yang terjadi di
Rakhine State, Myanmar yang menimpa kaum Rohingya, di Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) ASEAN ke-31. Presiden Jokowi juga mengingatkan bahwa, ASEAN tidak
dapat berdiam diri atas terjadinya konflik tersebut, karena konflik ini tidak
saja menjadi perhatian negara-negara anggota ASEAN namun juga dunia. Indonesia
menurut Presiden Jokowi, juga membantu mengatasi konflik tersebut� dengan berkontribusi memberikan bantuan
kemanusiaan. Indonesia bahkan menyampaikan usulan formula 4+1 untuk Rohingya,
termasuk mendukung implementasi rekomendasi untuk Myanmar dari mantan
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Kofi Annan (Zulfani, 2019).
Keberadaan orang-orang Rohingya di
Indonesia tersebar di beberapa daerah yaitu Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Batam
(Kepulauan Riau), dan ada juga yang ditemukan dan ditangkap di Kupang, Banten,
dan Banyuwangi. Namun dari beberapa wilayah tersebut, Aceh merupakan daerah
yang paling banyak kedatangan pengungsi Rohingya. Para pengungsi ini datang menggunakan perahu tradisional yang seadanya dan
dalam 1 perahu terdapat 121 penumpang di dalamnya. Mereka sampai di Aceh dengan
menempuh perjalanan sekitar 23 hari lamanya. Sebelum berlabuh di Aceh, kapal
tersebut sebelumnya sudah melintas di perairan Thailand, namun sayangnya para
penjaga perairan Thailand tidak menghendaki kedatangan dari para pengungsi maka
digiring kembali ke perairan lepas dan sampai akhirnya berlabuh di perairan
Indonesia.
Pada 2015 pemerintah Indonesia
menyiapkan lokasi bagi para pengungsi Mynamar di Aceh, penyiapan lokasi ini
agar para masyarakat sekitar tidak merasa terganggu dan memudahkan pemerintah
dalam memantau keadaan para pengungsi tersebut. Tempat yang disiapkan oleh
pemerintah berada di Lhokseumawe, Aceh Utara dan Aceh Timur. Selain itu
pemerintah juga sedang mengerjakan draf Peraturan Presiden (Perpres) mengenai
penanganan pengungsi imigran yang terdampar di Indonesia. Perpres tersebut akan
mengatur mekanisme penyediaan anggaran bagi pemerintah daerah yang ditugaskan
mengurus para pengungsi dan menjadi paying hokum dalam pelaksanaan tugas
tersebut.
Pada 31 Desember 2016, Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo menandatangani Peraturan Prsiden (Perpres) Nomor
125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (Anggorono, 2018). Peraturan Presiden tersebut
berisi tentang deteksi awal pengungsi, penampungan, serta perlindungan pencari
suaka dan pengungsi. Hal ini akan membuat Pemerintah Indonesia dan UNHCR terus
bekerjasama dalam menanggulangi pengungsi yang datang ke Indonesia termasuk
Rohingya.�
Indonesia sebagai negara yang
mayoritas warga negaranya beragama Islam menjadikan peristiwa ini ramai
diperbincangkan oleh warga negara Indonesia yang merasa memiliki kesamaan
identitas dan mendesak pemerintah Indonesia untuk turut menyelesaikan
pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Luar Negeri menggelar pertemuan dengan pemerintah Myanmar pada
September 2017 (Rosyid, 2019). Pertemuan ini dilakukan oleh
Menteri Luar Negeri Indonesia, ibu Retno Marsudi. Beliau menyampaikan bahwa
�Misi ke Myanmar dan paling tidak telah mencapai dua hal. Pertama, menyampaikan
perhatian besar masyarakat Indonesia kepada situasi kemanusiaan di Rakhine State
dan adanya komitmen otoritas Myanmar untuk segera mengatasi krisis kemanusiaan
tersebut,".
Sejak konflik Rohingya pada 2016,
Indonesia telah membantu Myanmar untuk menyelesaikan konflik tersebut. Peran
tersebut terlihat dengan pemberian bantuan kemanusiaan yang berupa pembangunan
fasilitas sekolah, rumah sakit dan juga menjembatani Myanmar dengan Bangladesh
untuk bertemu dan menyepakati nota kesepahaman tentang repatriasi para
pengungsi Rohingya.� Pemerintah Indonesia
pada 2017 mengirimkan bantuan kemanusiaan menggunakan dua pesawat Hercules yang
diberangkatkan dari pangkalan TNI AU Sultan Iskandar Muda, Aceh. Bantuan ini
berisi 20 ton yang diantaranya makanan tambahan untuk ibu hamil dan anak-anak,
paket makanan instan, tangki air, tenda, kain sarung, dan obat-obatan.
Dalam menanggapi kasus ini pemerintah
Indonesia menyampaikan empat usulan solusi bagi penyelesaian kasus yang terjadi
kepada kaum Rohingya yang disebut dengan �Formula 4+1� untuk Rakhine. Empat
elemen formula tersebut yaitu:�
(1)�� Mengembalikan stabilitas dan keamanan;
(2)�� Menahan diri secara maksimal dan tidak
menggunakan kekerasan;
(3)�� Perlindungan kepada semua orang yang berada
di Rakhine tanpa memandang suku dan agama; dan
(4)�� Pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan
kemanusiaan.
Satu elemen lainnya yaitu agar
rekomendasi Laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine State dari PBB yang dipimpin
Mantan Sekjen PBB Kofi Annan dapat segera diimplementasikan. Namun pemerintah
Indonesia yang masih menghormati hukum internasional yang disepakati oleh
seluruh negara:
In (a) issue areas involving the conflict of collective interest and core
values, and (b) between states that ordinarily maintain friendly relations,
governments will attempt to organize their acions to make them consistent with
legal obligations. However, perceptions of threat (definition of the
situation), the demands of public opinion, and the personal needs of decision
makers may require that legal norms be violated, or at least interpreted
arbitrarily.
Demi menjaga kepentingan
Bersama dan juga menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Myanmar, maka
pemerintah Indonesia cenderung kurang menampung aspirasi mengenai konflik
Rohingya ini. Dipertegas dengan pendapat Heru Susetyo yang melihat bahwa
Indonesia dalam menanggapi konflik Rohingya menjadi safety player dan sebagai
bentuk menghargai prinsip ASEAN yang berpegang teguh dengan prinsip
non-intervention. Dalam sesi diskusi Heru Susetyo, beliau menyayangkan
tanggapan Indonesia, sebagai pelopor ASEAN dan negara yang mempunyai relasi
baik dengan Myanmar, Indonesia harusnya bisa mengambil prakarsa untuk
menghentikan konflik berkelanjutan ini.
Indonesia memang menjadi
negara yang lebih didengarkan oleh Myanmar karena terjalinnya komunikasi yang
baik antara kedua negara, tetapi respon dari pemerintah Indonesia dirasa kurang
untuk konflik ini. Dalam hal ini Indonesia sebenarnya dapat menggunakan prinsip
R2P �Responsibility to Protect�, sebuah prinsip yang telah berkembang
sejak sepuluh tahun terakhir dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pemusnahan
massal (genocide) dan berbagai kejahatan massal lainnya.
Diplomasi Parlemen Indonesia dalam Isu Rohingya
Pemerintah Indonesia dianggap kurang dalam menanggapi
konflik Rohingya, hal ini terindikasi dengan 2 indikator:
1.� Pemerintah Indonesia menangapi konflik Rohingya, tidak seperti menanggapi konflik Palestina, dalam konflik Palestina
Indonesia sangat keras dan mengecam
perbuatan Israel. Namun dalam konflik Rohingya tanggapan Indonesia terhadap
Myanmar dianggap dengan
safety player.�
2.� Meskipun sudah menyampaikan empat usulan solusi yang disebut dengan �Formula 4+1� namun desakan dari
pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan usulan solusi tersebut belum terlihat kembali.
Dari kekurangan
tersebut, parlemen
Indonesia hadir untuk mencoba menutupi kelemahan dari tanggapan pemerintah dengan 2 indikator yaitu:
1.� Parlemen Indonesia menanggapi konflik Rohingya dengan sangat keras dan menjadikannya sebagai agenda utama dalam berdiplomasi, hal ini menjadi
indikator bahwa parlemen Indonesia mencoba menutupi anggapan mengenai pemerintah Indonesia sebagai safety player.
2.� Selain menjadikan konflik Rohingya sebagai agenda utama, parlemen Indonesia juga mengusulkan resolusi konflik untuk penyelesaian
konflik tersebut dibeberapa forum. Dan desakan
yang dilakukan oleh parlemen
Indonesia cukup keras salah
satunya saat sidang umum AIPA parlemen Indonesia menolak semua usulan jika
usulan mengenai Rohingya tidak dibahas.
Menurut Bapak Fadli Zon, diplomasi
itu tidak hanya tugas pemerintah
tapi juga tugas parlemen sehingga menjadi bagian dari satu first track diplomacy bukan multi track diplomacy. Sebagai
Wakil Ketua DPR-RI Bidang Korpolkam (A-347) beliau juga menyatakan bahwa, DPR RI sebagai lembaga demokrasi Indonesia tentu saja tidak dapat
tinggal diam. Masyarakat Indonesia mendesak pemerintah berperan aktif menyelesaikan krisis kemanusiaan Rohingya. Karena Isu
Rohingya bukan merupakan isu agama, tetapi isu kemanusiaan, dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Sebagai
pendiri dan negara senior ASEAN, Indonesia harus bersikap tegas dan proaktif.
Dalam sesi interview Bersama Ibu Endah Tjahjani Dwirini, Kepala Biro Kerja Sama Antar Parlemen DPR RI, menyatakan bahwa DPR RI sebagai perwakilan rakyat Indonesia berperan aktif dalam menyoroti
isu Rohingya yang didalamnya
terdapat krisis kemanusiaan dan juga karena
Indonesia sebagai negara yang mayoritas
islam sehingga merasa memiliki kesamaan identitas dengan kaum Rohingya. DPR RI selalu memantau perkembangan dunia internasional
dan membawa isu Rohingya ini ke forum-forum internasional.
Menurut Dr. H. Sukamta, Anggota Komisi I DPR RI, Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri, Direktur Crisis Center For Rohingya
DPP PKS dalam sesi Round
Table Discussion �Solusi Malasah Rohingya� menyatakan bahwa dengan landasan konstitusi Indonesia yang anti terhadap
segala bentuk penindasa, bangsa Indonesia telah menunjukkan kepedulian terhadap nasib Rohingya. Masyarakat Indonesia melalui
lembaga-lembaga kemanusiaan
dan pemerintah selama 10 tahun terakhir telah membantu meringankan derita Rohingya dengan membangun sekolah, klinik kesehatan dan pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan. Krisis Rohingya yang
terjadi kali ini perlu dijadikan momentum untuk menuntaskan persoalan Rohingya agar tidak lagi terulang.
Pada
pertemuan Sidang Umum IPU ke-137 di St. Petersburg, Rusia
yang berlangsung pada tanggal
14-18 Oktober 2017. Delegasi
Indonesia dihadiri oleh Ketua
Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Nurhayati Ali Assegaf, Wakil Ketua BKSAP Siti Hediati Soeharto, Anggota BKSAP Dwi Aroem Hadiatie dan Amelia Anggraini. Pada sesi Pertemuan Asia Pacific Group memperdebatkan
mengenai �emergency item� yang akan diusung regional APG.
Indonesia, Bangladesh dan Iran mengajukan isu Rohingya; Jepang mengajukan isu nuklir Korea Utara; sementara
India mengajukan isu terorisme. Ketua BKSAP dalam kesempatan itu sempat mengkritik
sikap dan pendapat dari parlemen India yang menyebut masyarakat Rohingya sebagai teroris.
Nurhayati lebih jauh menyebut
Rohingya sebagai korban state terrorist.� Setelah melalui perdebatan panjang, DPR RI bersama tujuh negara lainnya berhasil meloloskan Resolusi berjudul �Ending the
grave human crisis, persecution and violent attacks on the Rohingyas as a
threat to international peace and security and ensuring their unconditional and
safe return to their homeland in Myanmar� yang diadopsi
melalui voting di Sidang
IPU ke-137.�
Dalam pembuatan resolusi konflik, ada beberapa
tahapan yang harus dilalui sampai menjadi suatu resolusi
konflik yang disetujui oleh
semua pihak terkait. Dari hasil interview dan
diskusi dengan anggota BKSAP, langkah-langkah dalam pembuatan resolusi konflik dari DPR-RI sebagai berikut:
Diagram 1.�Langkah-langkah
pembuatan resolusi konflik
Dari langkah-langkah diatas, BKSAP berhasil membuat rancangan tersebut yang berisi:
Since its founding in 1889, the Inter-Parliamentary Union
(IPU) has continuously promoted peace and cooperation for the firm
establishment of democracy. In October 2016, the IPU adopted its 2017-2021
Strategy entitled Better parliaments, stronger
democracy. Hence, with regard to the conflict escalation in the Rakhine State
of Myanmar, it is timely to exercise a constructive approach in addressing the
grave humanitarian issues.
The
Rohingya crisis is a violation of human rights with serious humanitarian
consequences. The Myanmar authorities apply restrictions to the Rohingya and
deny them their rights of citizenship. In the Rakhine State, community
segregation is institutionalized. Due to restrictions on the number of children
families can have, thousands of children are left with no birth certificates,
thus limiting their access to basic services. The 1982 Citizenship Law denied
the Rohingya their citizenship rights.
It
is crucial for the IPU, as the global assembly of people�s representatives, to
ensure that the basic necessities of the affected population are being met
while encouraging long-term solutions to ensure sustainable and inclusive
development for all communities in Myanmar. Unfettered access to the Rohingya
population should be granted for humanitarian assistance, including in other
countries where the Rohingya seek asylum and protection.
The
Rohingya case has to do with displacement, refugee and statelessness issues, as
well as peace, security and democracy. It also has strong correlations with the
long-term sustainable development of a country and the protection of human
rights irrespective of race, gender, sex, age, nationality. The IPU has
sufficient resources to address these issues within its committees, including
the Committee to Promote Respect for International Humanitarian Law (IHL). The
Committee is mandated to promote the full observance by IPU member countries of
the IHL, the fundamental law for the protection of civilians during conflicts.
According
to the United Nations, to date, more than 400,000 Rohingyas, mostly Muslims,
have fled Myanmar to Bangladesh, adding pressure to the Rohingya camps that
house 300,000 people from the earlier waves of refugees, most of whom are
children. In 2013, Myanmar rejected a UN resolution calling for the Myanmar
authorities to grant citizenship to the Rohingya. In November 2015, the
Rohingya were banned from voting in the general elections, leaving them with no
political representation. Abusive and violent measures against the Rohingya
continued, which resulted in grave casualties among the Rohingya Muslims.
With
regard to this issue, the President of the Committee to Promote Respect for
International Humanitarian Law of the Inter-Parliamentary Union Ms. Nurhayati Ali Assegaf
communicated with the Secretary General of the IPU Mr. Martin Chungong, and recommended that the IPU conduct a further
assessment of the situation of the Rohingya and take the necessary
inter-parliamentary actions for a peaceful solution to the conflict, including
sending a fact finding mission.
The
Myanmar Parliament rejected the IPU�s proposal to have an exchange of views on
internal conflicts arguing that the Myanmar authorities had formed an internal
Investigation Commission, where the Parliament was involved. Later, Myanmar
also denied access to an international fact-finding mission of the UN Human
Rights Council. In September 2017, the United Nations High Commissioner for
Human Rights Zeid Ra�ad
al-Hussein accused Myanmar of carrying out "a textbook example of ethnic
cleansing" against the Rohingya Muslims and of the military�s
"brutal" security campaign that was in clear violation of
international law. During the World Parliamentary Forum on Sustainable Development
held in Bali in 2017, the global parliamentary community called for the
restoration and stability and respect for human rights of all people in the
Rakhine State regardless of their faith and ethnicity.
The
involvement of security forces in the atrocities against the Rohingya posed a
significant threat to global stability and democracy. The international
community should reaffirm its commitment and take responsibility to ensure
respect for the numerous international instruments and global governance. The
IPU and the UN should collaborate to intervene while developing a long-term
solution for the Rohingya.
It
is with due consideration that the parliamentary delegation of the Republic of
Indonesia to the Inter- Parliamentary Union, led by the Vice Speaker of the
House of Representatives of the Republic of Indonesia, H.E. Mr. Fadli Zon, requests that the
emergency item entitled Strengthening efforts to end the violent attacks on the
Rohingya and the humanitarian crisis in Myanmar be included in the agenda of
the 137th IPU Assembly.
Dalam resolusi ini, parlemen
Indonesia dengan keras menyatakan bahwa krisis Rohingya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan
konsekuensi kemanusiaan
yang serius. Pemerintah
Myanmar memberikan pembatasan
pada Rohingya dan menolak hak
kewarganegaraan mereka. Selain itu, terdapat
pembatasan jumlah anak yang dapat dimiliki keluarga, ribuan anak tidak
memiliki akta kelahiran, sehingga membatasi akses mereka ke layanan
dasar. Dengan adanya Undang-undang Kewarganegaraan 1982 yang menolak
Rohingya hak kewarganegaraan
mereka (Rohingya), menjadikan
pemerintah Myanmar sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas krisis yang terjadi. Resolusi ini berhasil
diadopsi melalui voting sidang di IPU ke-137 dengan beberapa penambahan dari parlemen-parlemen lain yang menjadi anggota. Hal ini adalah buah
dari inisiatif dan ketegasan parlemen Indonesia dalam mengangkat konflik Rohingya agar segera diselesaikan.
Kasus Rohingya berkaitan dengan masalah perpindahan, pengungsi dan kewarganegaraan, serta perdamaian, keamanan dan demokrasi. Ini juga memiliki korelasi kuat dengan
pembangunan berkelanjutan jangka panjang suatu negara dan perlindungan hak asasi manusia
terlepas dari ras, jenis kelamin,
jenis kelamin, usia, kebangsaan. Menurut bapak Heru
Susetyo advokat, aktifis HAM dan relawan kemanusiaan yang juga berprofesi sebagai staf pengajar
tetap di Fakultas Hukum UI serta sebagai advokat/
pengacara publik di PAHAM
Indonesia. Myanmar sebagai negara yang sudah merdeka dari
tahun 1948 tetapi national building� dari
negara Myanmar belum selesai
sampai sekarang dan karakter negara Myanmar juga belum
terbentuk dengan baik.
Pada
Sidang Umum IPU ke-138 dengan tema �Strengthening the
Global Regime for Migrants and Refugees: the Need for
Evidence-Based Policy Solutions� ketua DPR-RI,
Bambang Soesatyo, MBA menyampaikan
bahwa Indonesia telah menunjukan komitmen dan kesungguhannya terhadap permasalahan pengungsi terutama terkait isu Rohingya di Myanmar. Beliau
juga memaparkan bahwa kekerasan terhadap kaum Rohingya dalam segala bentuk dan manifestasinya merupakan ancaman serius bagi keamanan perdamaian
dunia, juga mendorong agar sidang
IPU tidak hanya menghasilkan resolusi saja, tetapi memberi
dampak langsung pada kesejahteraan masyarakat dan perdamaian dunia.
Keterlibatan
Myanmar pada sidang umum
IPU ke-139 dalam dialog yang kontruktif
dalam penyelesaian masalah Rohingya. Sidang tersebut juga membuka kesempatan untuk Myanmar agar bertukar informasi mengenai langkah-langkah yang sudah dan akan diambil untuk mengatasi
situasi tersebut dan memungkinkan agar para pengungsi
Rohingya dapat kembali ke Myanmar dengan aman. Delegasi DPR-RI secara gigih memperjuangkan
agar isu Rohingya dapat masuk sebagai agenda topik Sidang Umum
AIPA ke-38. Namun, rancangan
resolusi usulan dari Indonesia yang berjudul �Violent
Attacks on Rohingya and Humanitarian Crisis in Myanmar� ditolak
oleh Myanmar pada pertemuan tersebut.
Setelah melalui sesi reses dan pertemuan khusus antara Indonesia dan
Myanmar yang difasilitasi Presiden
AIPA dan Sekjen AIPA, maka rancangan resolusi tersebut diubah judul menjadi �Strengthening
Parliamentary Efforts in Addressing Humanitarian Issues in Southeast Asia�.
Delegasi parlemen Indonesia dalam Sidang ke-39 AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) akhirnya memutuskan untuk mencabut dukungan terhadap seluruh resolusi politik yang telah dibahas dan diajukan dalam sidang Komite
Politik, karena Myanmar menolak untuk membahas
resolusi bersama atas tragedi kemanusiaan
yang menimpa kaum Rohingya
di Myanmar.� Delegasi
DPR-RI menjelaskan, apa yang
terjadi di Provinsi Rakhine
bukan hanya masalah domestik Myanmar sebagaimana yang selalu diklaim delegasi Myanmar. Masalah itu sudah
jadi masalah kawasan dan masalah internasional baik Indonesia dan
Malaysia sudah terkena dampaknya, terkait urusan pengungsi dari kaum Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar. Begitu juga dengan Bangladesh, yang sekarang jadi tempat pengungsian
Rohingya terbesar di dunia.
Kesimpulan
Dalam konflik Rohingya yang menjadi sorotan dunia karena adanya pelanggaran HAM, juga tindakan-tindakan yang mengacu terhadap Genosida tanggapann yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terkesan menjadi safety player hal ini penulis identifikasi
karena adanya ASEAN Charter
Article 2 Principles point 2 sub point (e) non-interference in
the internal affairs of ASEAN Member States, dimana
Indonesia menghargai Myanmar sebagai
negara berdaulat maka pemerintah Indonesia cenderung berhati-hati dalam menanggapi konflik Rohingya ini. Aktifitas diplomasi yang dilakukan oleh parlemen Indonesia dalam menanggapi konflik Rohingya mengalami banyak tantangan dan rintangan, seperti pada sidang umum AIPA ke-38. Usulan dari parlemen Indonesia sempat ditolak dan tidak dijadikan agenda pertemuan, tetapi dengan sikap keras
maka Indonesia juga menolak
semua usulan dari negara-negara lain sampai isu mengenai konflik
Rohingya dijadikan agenda pertemuan.
Pada sidang umum IPU ke-137 di St. Petersburg, Rusia. Parlemen Indonesia sebagai salahsatu Asia Pacific Group (APG) memperdebatkan mengenai �emergency item� yang akan diusung regional APG. Di mana Indonesia mengusung konflik Rohingya sebagai Emergency Item namun beberapa dari grup asia pasifik mempunyai pendapat yang berbeda. Sampai Ketua BKSAP dalam kesempatan itu sempat mengkritik sikap dan pendapat dari parlemen India yang menyebut masyarakat Rohingya sebagai teroris. Secara kelembagaan hal ini sangat bagus dimana, satu sama lain Lembaga Indonesia dalam hal ini eksekutif dan legislative berperan aktif dalam kancah Internasional dan menutupi kelemahan satu sama lain.
Ainurrofiq, Ihsan. (2019). Peran Diplomasi Parlemen
Dpr-Ri Periode 2017-2018 Dalam Isu Pelanggaran Ham Kaum Rohingya Di Myanmar.
UNIVERSITAS BAKRIE. Google Scholar.
Anggorono, Prabowo.
(2018). Analisis Kebijakan Indonesia Dalam Menangani Pengungsi Rohingya Pada
Masa Pemerintahan Joko Widodo (2014-2016). Google
Scholar.
DPR, Badan Kerja Sama
Antar Parlemen, & RI, Badan Kerja Sama Antar Parlemen D. P. R. (2014). Kaleidoskop
Dinamika BKSAP Periode 2009-2014. Google
Scholar.
Gandryani, Farina,
& Hadi, Fikri. (2021). Kedudukan Diplomasi Parlemen Dalam Rangka Pemulihan
Ekonomi Nasional Pasca COVID-19 Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Dunia Hukum,
6(1), 38�51. Google
Scholar.
Hamzah, Arbi. (2018).
Pengaruh Diplomasi Kemanusiaan Indonesia Terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya
Di Myanmar. Skripsi Universitas Hassanudin. Google
Scholar.
Khamsiani, Yuana.
(2018). Peran organisasi kerjasama islam dalam upaya mengatasi tindakan
islamophobia di Perancis Pasca tragedi serangan Paris 13 November 2015 (Periode
2015-2017). Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah. Google
Scholar.
Kurniawan, Nalom.
(2018). Kasus Rohingya dan Tanggung Jawab Negara dalam Penegakan Hak Asasi
Manusia. Jurnal Konstitusi, 14(4), 880�905. Google Scholar.
Kurniawati, Deni.
(2018). Kebijakan Pemerintah RI terhadap pengungsi Etnik Rohingya menurut
perspektif politik Islam (2014-2017). Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah. Google
Scholar.
Malamud, Andr�s, &
Stavridis, Stelios. (2016). Parliaments and parliamentarians as international
actors. In The Ashgate research companion to non-state actors (pp.
113�128). Routledge. Google
Scholar.
Pradana, Emmelia
Pasca. (2018). Pelaksanaan dan Hambatan Perlindungan Hukum terhadap
Pengungsi Rohingya oleh The United Nations High Commissioner for Refugees.
UAJY. Google
Scholar.
Pradityo, Rahmadanu.
(2020). Indonesia di Antara Masalah Etnis Rohingya dan Etnis Uighur, 2014-2019.
Indonesian Perspective, 5(2), 138�158. Google
Scholar.
Rahma, Awalia. (2012).
Muslim Rohingya dan HAM pasca kemerdekaan Myanmar 1962-2008: Analisis
pelanggaran hak beragama. Google Scholar.
Rosyid, Moh. (2019).
Peran Indonesia Dalam Menangani Etnis Muslim Rohingya Di Myanmar. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 49(3), 613�635. Google Scholar.
Siregar, Fakhrur Rozi
H. (2018). Kewajiban Masyarakat Internasional Terhadap Penyelesaian Kasus
Etnis Rohingya Di Myanmar Menurut Hukum Internasional. Google Scholar.
Tanjung, Syawal.
(2020). Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat terhadap Etnis Minoritas
Rohingya di Myanmar Berdasarkan Hukum HAM Internasional. MINORITAS DALAM
PANDANGAN SYARIAH DAN HAM Narasi Kaum Muda Muslim, 61. Google Scholar.
Triono, Triono.
(2014). Peran Asean Dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingnya. Jurnal
Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, 10(2), 1�11. Google Scholar.
Zulfani, Achmad.
(2019). Alasan Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia Terkait Konflik Rohingya
Periode 2015-2017. FISIP UIN Jakarta. Google Scholar.
Copyright holder: Ihsan Ainurrofiq, Muhammad
Tri Andika Kurniawan (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |