Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
ANALISIS PENCAPAIAN INDIKATOR PENGELOLAAN OBAT DI
INSTALASI FARMASI KOTA JAMBI TAHUN 2021
Hisran Hamad, Salmah
Poltekkes Kemenkes Jambi, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Latar Belakang,
Pembiayaan obat pelayanan Kesehatan dasar di Kota
Jambi belum memenuhi
minimal biaya yang di syaratkan.
Penilitian ini bermaksud melakukan analisis indicator pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Kota Jambi khusus terkait dengan pembiayaan. �Masalah penelitian adalah belum tersedianya data analisis pencapaian indicator pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Kota Jambi tahun 2021, dengan analisis ini diharapkan Target khusus yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah meningkatnya dana obat sehingga ketersediaan obat dalam jenis
yang lengkap, jumlah yang cukup, terjamin khasiatnya, aman, efektif, dan bermutu di puskesmas dan jaringannya. Metode, Desain penelitian adalah deskriptif kuantitatif dengan pendekatan observatif dan
evaluative terhadap indicator pengelolaan obat Instalasi Farmasi
Kota Jambi. Data yang dikumpulkan berupa
data kuantitatif melalui observasi dokumen pengelolaan obat kemudian dilakukan analisis pencapaian pada
indicator yang dipilih.� Data kualitatif dikumpulkan dari wawancara terstruktur dengan apoteker tingkat puskesmas dan Kepala Instalasi Farmasi. Hasil: kesesuaian alokasi dana oengadaan obat 79.6%, biaya obat per kunjungan resep Rp. 3.016, biaya obat per penduduk Rp. 3.161, persentase
dana alokasi pengadaan obat 1.42%, Ratio kunjungan resep terhadap jumlah penduduk 1.05, kesesuaian item obat dengan DOEN 61.4%, kesesuaia item
obat dengan Fornas 49.3%, peresepan obat belum mengikuti
permenkes nomor 5 tahun 2014, kontribusi APBD dalam pendanaan obat rendah.
Kata Kunci: indicator obat; instalasi farmasi kota jambi; biaya
obat
Abstract
Background, Funding for drugs for basic health services in Jambi City has
not met the minimum required costs. This research intends to analyze the
indicators of drug management at the Jambi City Pharmacy Installation
specifically related to financing. The research problem is the unavailability
of analytical data on the achievement of drug management indicators at the
Jambi City Pharmacy Installation in 2021, with this analysis it is hoped that
the specific target to be achieved in this research is to increase drug funds
so the availability of drugs in complete types, in sufficient quantities,
guaranteed efficacy, safe, effective, and quality health centers and their
networks. Method. The research design is quantitative descriptive with an
observative and evaluative approach to the indicators of drug management at the
Jambi City Pharmacy Installation. The data was collected in the form of
quantitative data through the observation of drug management documents and then
analyzed the achievements of the selected indicators. Qualitative data were
collected from structured interviews with pharmacists at the puskesmas level and the Head of the Pharmacy Installation.
Result: suitability of drug procurement fund allocation 79.6%, drug cost per
prescription visit Rp. 3,016, the cost of medicine per
resident is Rp. 3.161, percentage of funds allocated for drug procurement
1.42%, a ratio of prescription visits to population 1.05, suitability of drug
items with DOEN 61.4%, compliance of drug items with National Formation 49.3%,
drug prescribing has not followed Minister of Health number 5 of 2014, the
contribution of APBD in drug funding is low.
Keywords: drug indicator; jambi
city pharmacy installation; drug cost
Pendahuluan
Instalasi Farmasi kabupaten/Kota merupakan institusi yang bertugas mengelola obat sektor publik
(Depkes, 2016) di kabupaten dan Kota. Kinerja Instalasi Farmasi diukur salah satunya dari pencapaian indicator pengelolaan obat yaitu sampai seberapa
jauh tujuan atau sasaran indicator telah berhasil dicapai dibandingkan standar. Selama ini pencapaian indikator belum berkaitan dengan kebijakan dan penentuan prioritas dalam anggaran di daerah. Contohnya Indikator yang terkait kebijakan seperti Indikator biaya obat perkapita.
WHO merekomendasikan biaya obat sektor publik
sebesar $ 2 per kapita (Departemen Kesehatan RI, n.d.-a) atau sekitar
Rp. 30.000. Dengan jumlah penduduk kota jambi
tahun 2019 (BPS, n.d.) sebesar 604.738 jiwa alokasi dana obat seharusnya sebesar Rp. 18,2 M. Pada tahun
2019, Kota Jambi mendapatkan dana alokasi
obat dari DAU (Jambi, n.d.) sebesar Rp. 2.9M atau 16% dari ideal.
Puskesmas sebagai pelaksanan pelayanan akan menerima obat sebanyak
alokasi yang ada tergantung persediaan di Instalasi Farmasi. Dan pada kenyataannya puskesmas tidak merasa kekurangan
obat, yang ditunjukan dengan tidak adanya
keluhan masyarakat. Pola peresepan belum sesuai dengan Permenkes
nomor 5 tahun 2014 (Departemen Kesehatan RI, n.d.-b) tentang pola
peresepan. Umumnya pasien hanya mendapat
obat setiap jenisnya untuk pemakaian 3 hari dari 5 hari seharusnya.
Dengan akses pelayanan kesehatan di Kota Jambi
sudah baik, seharusnya terjadi peningkatan dalam jumlah kunjungan yang pada akhirnya akan merubah
angka indikator yang sudah ada. Artinya
akan terjadi kekurangan obat dipuskesmas, karena peningkatan pemakaian jumlah obat. Seharusnya
ada kebijakan dari Dinas Kesehatan untuk mengikuti Permenkes sebagai standar pengobatan di puskesmas. Penilitian ini perlu dilakukan sebagai masukan dalam penganggaran obat, bahwa kondisi
sekarang ini masih dibawah angka
yang seharusnya. Indikator pengelolaan obat yang lain banyak diturunkan dari indikator biaya obat perkapita
seperti indikator biaya per resep, ketepatan perencanaan, kesesuaian dengan formularium, DOEN.
Hasil
penelitian Tiekha Kencabasari (Suwarto & Fudholi, 2012), berjudul �Evaluasi
Pengelolaan Obat di Dinas
Kesehatan Kabupaten Cilacap
tahun 2008, 2009 dan 2010 menyatakan
bahwa Hasil evaluasi menunjukkan bahwa selama tahun 2008, 2009, dan 2010
terdapat adanya indikator yang tidak sesuai dengan indikator
yang ditetapkan yaitu indikator ketepatan perencanaan obat masing-masing
(147%, 108%, 145%), biaya obat
per penduduk (Rp.3.142, Rp. 2.000, Rp. 4.615), kesesuaian item obat dengan DOEN 52,4%, persentase dana
pengadaan obat (24,8%,
14,3%, 49%). Indikator yang sudah
sesuai dengan indikator yang ditetapkan berupa tingkat ketersediaan obat (16, 5 dan 7 bulan), alokasi dana pengadaan obat (94,60%, 95,04%,
98,30%), pengadaan obat generik (89,6%, 79,1%, 88,2%), ketepatan
waktu distribusi ob at 100% selama 2008, 2009 dan
2010, ketepatan waktu pengiriman LPLPO, ketersediaan obat program sesuai dengan kebutuhan (109%, 160%,
167%), dan biaya obat per kunjungan resep (Rp.7.512, Rp.
8.180, Rp. 7.536) juga mengenai sistem
penunjang yang terkait belum sesuai dengan.
Kemudian hasil penelitian (Pramukantoro & ., 2019) tantang Manajemen
persediaan obat di Instalasi Farmasi Kota Surakarta sesuai standar WHO dan
Kementerian Kesehatan (2010) adalah sebagai berikut: Ketersediaan obat sesuai kebutuhan (102,84%), pengadaan obat esensial (86,87%), pengadaan obat generik (100%), obat tersedia dibandingkan
to DOEN (60.22%) dan ketepatan perencanaan
(88.94%). Tingkat ketersediaan obat
(100%), mencukupi kebutuhan
obat di masyarakat. Kemudian Risca Purwo Choirunnisa Aprilliani (Tikirik et al., 2022). tentang �Evaluasi
Pengelolaan Obat pada Tahap Perencanaan Obat di Puskesmas Karanganyar 1 Kabupaten Demak dengan menggunakan
data LP-LPO puskesmas menyatakan
bahwa nilai ratarata ketepatan perencanaan 20% menunjukkan TIDAK
efektif, pada nilai
rata-rata ketersediaan obat
11,08 bulan termasuk kurang aman, ketetapan
permintaan /kecukupan obat dengan nilai
rata-rata 104,48% efektif dan kesesuaian
item tersedia dengan DOEN
43,10%. Masalah pada penelitian
ini adalah belum tersedianya data analisis pencapaian indicator pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Kota Jambi tahun 2021. Tujuan Penilitian ini adalah meningkatnya dana obat sehingga ketersediaan
obat dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup, terjamin khasiatnya, aman, efektif, dan bermutu di puskesmas dan jaringannya.
1. Indikator Pengelolaan Obat Di Instalasi Farmasi
Indikator adalah alat ukur
untuk dapat membandingkan kinerja yang sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapajauh tujuan atau sasaran telah
berhasil dicapai. Hasil pengujian dapat digunakan oleh penentu kebijakan untuk meninjau Kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat. Indikator pengelolaan obat di tingkat Instalasi Farmasi kabupaten kota adalah sebagai
berikut :
1) Alokasi Dana Pengadaan Obat
Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memenuhi kebutuhan obat pelayanan kesehatan dasar di wilayah tersebut. Pada indikator ini jumlah
dana anggaran pengadaan obat yang disediakan pemerintah daerah dibandingkan dengan jumlah kebituhan dana obat. Rumusan alokasi
dana pengadaan obat adalah.
2) Peosentase Alokasi Dana Pengadaan Obat
Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mendukung program Kesehatan
di daerah kabupaten/kota dibandingkan dengan jumlah alokasi
dana bidang Kesehatan. Rumusan
sebagai berikut :
Persentase dana alokasi pengadaan obat =
3) Biaya obat per penduduk
Biaya obat perpenduduk adalah besarnya dana yang tersedia untuk masing-masing penduduk dan besaran dana yang tersedia utnuk masing-masing penduduk.
4) Ketersediaan obat sesuai kebutuhan
Ketersediaan obat sesuai kebutuhan
adalah jumlah obat yang mampu disediakan pemerintah dibandingkan dengan jumlah obat yang dibutuhkan rakyat dalam pelayanan Kesehatan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah.
5) Biaya obat per kunjungan resep
Biaya obat perkunjungan resep dalah besaran
dana yang dibutuhkan untuk setiap resep dan besaran dana yang tersedia untuk setiap resep.
6) Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN dan FORNAS
Definisi : Total jenis obat yang termasuk dalam DOEN� dibagi dengan total jenis obat yang tersedia di puskesmas
Perhitungan :
7) Kesesuaian dengan Fornas
Metode Penelitian
Desain Penilitian adalah deskriptif kuantitatif dengan pendekatan observatif dan
evaluative terhadap indicator pengelolaan
obat� Instalasi Farmasi Kota Jambi. Data yang dikumpulkan
berupa data kuantitatif melalui observasi dokumen pengelolaan obat kemudian dilakukan
analisis pencapaian pada indicator
yang dipilih. Data kualitatif
dikumpulkan dari wawancara terstruktur dengan apoteker tingkat puskesmas dan Kepala Instalasi Farmasi.
Hasil dan Pembahasan
1. Pencapaian Indikator Pengelolaan Obat
Indikator Kesesuaian
dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang dialokasi oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan kebutuhan obat. Jumlah Dana pengadaan obat yang tertera dalam dokumen
resmi� harusnya sama dengan jumlah
kebutuhan dana obat.
Kesesuaian dana alokasi obat =� �x 100% = 79.6 %
Tabel 1
Alokasi Dana Pengadaan Obat
No |
Jenis Anggaran |
Alokasi (Rp.) /tahun |
|
2020 |
2021 |
||
A |
Pengadaan obat |
|
|
1 |
DAK |
1.683.273.000 |
2.146.110.000 |
2 |
APBD Murni |
2.009.361.955 |
199.980.000 |
|
Jumlah |
3.692.634.955 |
2.346.090.000 |
B |
Kebutuhan |
|
2.946.652.534 |
Pencapaian indicator kesesuian
alokasi dana pengadaan obat sebesar 79.6%, artinya persentase yang dapat dipenuhi oleh APBD terhadap kebutuhan obat sebesar 79.6%. Angka ini dibawah kebutuhan
puskesmas sebesar 100%. Dian
K. Ta�aun (Ta�au, Pareta, Kanter, & Tumbel, 2020) dkk dalam Evaluasi Perencanaan Dan Pengadaan Obat Di
Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Sulawesi Utara tahun
2020 mendapatkan angka
96,49%, lebih baik dari Kota Jambi. Kurangnya dana ini berakibat kepada
masih terdapat beberapa obat yang kurang. Dari penjelasan kepala puskesmas, kekurangan obat-obatan dipenuhi dari dana BLUD yang bervariasi besarnya antara satu puskesman
dengan yang lain.
2. Pencapaian Indikator Persentase Alokasi Dana Pengadaan Obat
Obat merupakan pendukung utama
program Kesehatan. Oleh karena itu dana obat yang dialokasikan Pemda haruslah
proporsional dengan anggaran Kesehatan secara keseluruhan. APBD
Kota Jambi tahun 20213 Rp. 1.655.334.439.926, sementara anggaran Kesehatan
termasuk rumah sakit dll totalnya berjumlah Rp. 287.329.308.026, sehingga
persentase anggaran Kesehatan terhadap APBD sebesar 17.36%, Persentase anggaran
obat terhadap APBD sebesar 0.14%.
Alokasi Dana Pengadaan obat = (Total dana pengadaan obat)/(Total
kebutuhan dana pengadaan obat) �100%.
Persentase dana alokasi pengadaan obat = (Total dana pengadaan obat)/(Total Dana untuk bidang kesehatan)� x 100 %.
Tabel 2
Dana Pengadaan
Obat Dan Kesehatan Tahun 2021
No |
Variabel |
Anggaran (Rp) |
1 |
Total dana pengadaan
obat |
2.346.090.000 |
2 |
Total Dana untuk bidang kesehatan |
Persentase dana alokasi pengadaan obat = �x 100 %
= 1.42 %
Persentase anggaran obat
terhadap APBD hanya 0.14%. WHO menyarankan anggaran obat terhadap APBD sebesar
$2 atau Rp. 30.000 perkapita setara dengan 18.64 M. Beberapa Daerah menyepakati
anggaran obat Rp. 5.000 perkapita9. Jika Kota Jambi menggunakan angka ini ,
maka minimal anggaran obat di APBD sebesar 3.1 M, masih jauh dari angka
sekarang.� Dengan demikian pemenuhan obat
baru tercapai 10.3% dari kebutuhan yang disarankan WHO.
3. Biaya Obat Perkunjungan Resep
Biaya obat per kunjungan resep adalah besaran
dana yang dibutuhkan untuk setiap resep dan besaran dan yang tersedia untuk setiap resep.
Besaran dana ini sangat tergantung dengan dana penggunaan obat. jumlah kunjungan total seluruh unit dan sub unit pelayanan
Kesehatan.
Biaya obat per kunjungan resep = (Total dana penggunaan obat)/(Jml
kunjungan resep) rupiah.
Tabel 3
Biaya Obat Per Kunjungan Resep
No |
Variabel |
Anggaran (Rp) |
1 |
Total dana penggunaan
obat |
1.964.435.023 |
2 |
Jumlah kunjungan resep |
651.200 |
���� Biaya obat per kunjungan resep = � = Rp. 3.016
Total dana penggunaan obat adalah total dana penggunaan obat seluruh unit
. Ini sangat dipengaruhi
oleh pola peresepan. Saat ini pola
peresepan yang dipakai adalah untuk lama tretmen 3 hari, dari seharusnya 5 hari sesuai permenkes
no 5 tahun 2014 (Departemen Kesehatan RI, n.d.-b). Kemudian
pada tahun 2021 adalah puncak pandemic yang meyebabkan penurunan kunjungan (Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, n.d.) yang selanjutnya
berpengaruh kepada menurunnya penggunaan obat. Ratio kunjungan resep dengan jumlah
penduduk sebelum pandemic
1.4 dan tahun 2021 ini rationya turun sebesar 1.05.
4. Biaya Obat Perpenduduk
Biaya obat per penduduk adalah besarnya dana yang tersedia untuk masing-masing penduduk. Seharusnya Kab/kota telah
memasukkan parameter jumlah
penduduk dalam mengalokasian dana obat dalam APBD. Secara nasional besarannya adalah US $ 2 perkapita.
Biaya obat per penduduk = (Total dana penggunaan obat)/(Jml penduduk)
rupiah
Tabel 4
Biaya Obat Per Penduduk
No |
Variabel |
Anggaran (Rp) |
1 |
Total dana penggunaan
obat |
1.964.435.023 |
2 |
Jumlah penduduk |
621.365
jiwa |
�����������
������������ Biaya obat per jumlah penduduk = � = Rp. 3.161
Biaya obat
per jumlah penduduk Rp.
3.161. Angka ini lebih kecil dari angka
yang disarakan Rp. 5.000. Persentase
Anggaran Kesehatan terhadap
APBD Kota Jambi tahun 2021 telah
melampaui batas yang ditetapkan konstitusi sebesar 10 %. Namun persentase anggaran biaya obat masih
rendah. Biaya obat perkapita, dari jumlah penduduk
rata-rata biaya obat perkapita sebesar Rp. 3.161.� Rp. 3.016. Biaya obat perkapita berhubungan dengan akses masyarakat akan obat. Data WHO merekomendasikan minimal biaya obat perkapita sekitar Rp. 30.000. Dengan demikian akses masyarakat akan obat melalui puskesmas
belum sesuai.
5. Kesesuaian Item Obat Yang Tersedia Dengan DOEN
Kesesuaian obat yang tersedia = (jumlah obat yang termasuk dalam DOEN)/(Jumlah jenis
obat yang tersedia)�100%.
Tabel 5
Kesesuaian Item Obat Yang Tersedia Dengan DOEN
No |
Variabel |
item |
1 |
Jumlah jenis obat dalam
DOEN |
337 |
2 |
Jumlah jenis obat tersedia |
207 |
Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN = � x
100 %= 61.4%
6. Kesesuaian Item Obat Yang Tersedia Dengan FORNAS
Kesesuaian obat yang tersedia = (jumlah obat yang termasuk dalam FORNAS)/(Jumlah jenis
obat yang tersedia) �100%.
Tabel 6
Kesesuaian Item Obat Yang Tersedia
Dengan FORNAS
No |
Variabel |
Item |
1 |
Jumlah jenis obat dalam
FORNAS |
420 |
2 |
Jumlah jenis obat tersedia |
207 |
Kesesuaian item obat
yang tersedia dengan Fornas = 207/420 x 100 %= 49.3%, Pencapaian
indicator Kesesuaian DOEN11 dan FORNAS12 di Instalasi Farmasi kota Jambi tahun 2021, pada Kesesuaian dengan DOEN sebesar 61.4%% dan FORNAS sebesar
49.3%, Dibandingkan dengan angka standar seharusnya
100%. Ketidaksesuaian disebabkan
karena adanya beberapa obat yang berasal dari dana BLUD tidak sesuai dengan
DOEN dan FORNAS. Pengadaan obat
diluar ini merupakan kesepakatan dari Dinas Kesehatan dan Kepala puskesmas, karena memang dibutuhkan, contohnya OBH, gliseril guaikolat, salep 2,4. Jika dihitung dari daftar obat yang ada di DOEN dan FORNAS,
sesungguhnya pemanfaatan obat masih rendah.
Dari jenis obat yang tersedia obat diluar
Fornas dan Doen masih cukup tinggi
ada 36 (8.6%) item obat tidak tercantum dalam Fornas dan 51 item obat (15.1%) tidak tercantum dalam DOEN. Indikator ini berbeda
untuk puskesmas, karena adanya BLUD. Penilitian13 untuk puskesmas memberikan angka Pencapaian indicator pada Kesesuaian
dengan DOEN dan FORNAS, pencapaian
rata-rata sebesar 87,8% sesuai.
Dibandingkan dengan angka standar seharusnya
100%. Ketidaksesuaian disebabkan
karena adanya beberapa obat yang berasal dari dana BLUD tidak sesuai dengan
DOEN dan FORNAS.
Panduan klinik untuk pemberian
obat dalam resep belum diterapkan.
Kepala puskesmas menyebutkan bahwa karena sudah rutin,
di poliklinik tidak lagi melihat pedoman.
Dari observasi resep diketahui bahwa pemberian obat diberikan dengan frekuensi 3 hari dan untuk tablet berjumlah 10 tablet.
Menurut Panduan klinik frekuensi seharusnya 5 hari atau jumlah
obat 15 tablet. Jika pemberian
obat sesuai pedoman, maka akan
terjadi peningkatan penggunaan obat sebesar 50% dari sekarang ini. Ini
mengakibatkan kekurangan obat di semua fasilitas
pelayanan Kesehatan.
Kepala instalasi
menyebutkan bahwa 91.5% dari obat bersumber
dari dana DAK. Kontribusi
APBD murni masih sangat kecil. Kemungkinan menaikkan dana obat dari sumber lain kecil. Mengandalkan APBD sulit. Ketika ditanyakan bahwa pola peresepan
di puskesmas belum sesuai standar dan jika mengikuti standar maka akan
terjadi kekurangan obat, maka akan
sulit untuk mengatasinya. Dijelaskan juga bahwa kondisi ini
telah berlangsung sejak lama dan pendanaan obat akan berkisar
sekitar itu.
Kesimpulan
1.
Dari pencapaian indicator yang terkait
Dana obat di Instalasi Farmasi Kota Jambi tahun 2021 dibawah standar. Walaupun demikian dengan dana yang tersedia ketersediaan obat mencukupi dan tidak terjadi kekurangan obat.
2.
Pola peresepan di puskesmas belum sesuai pedoman. Jika dilakukan sesuai pedoman, maka akan
terjadi peningkatan pemakaian obat. Dan obat yang sekarang tidk lagi mencukupi.
Oleh karena itu perlu perlu peningkatan
dana obat.
3.
Kesesuaian pengadaan obat dengan DOEN dan FORNAS masih belum sesuai.
Obat-obatan diluar DOEN dan
FORNAS masih cukup besar.
BPS. (n.d.). BPS Kota Jambi. Google
Scholar
Departemen Kesehatan RI. (n.d.-a). Pedoman
Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Google
Scholar
Departemen Kesehatan RI. Permenkes
nomor 5 tahun 2014 Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Google
Scholar
Depkes, R. I. (2016). Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Farmakope Indonesia. Google
Scholar
Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, MKes.
(n.d.). Dampak Pandemi Covid-19 terhadap pelayanan kesehatan dan imunisasi. KMK
UGM. Google
Scholar
Handayani, Rini Sasanti, Herman, Max J.,
& Siahaan, Selma. (n.d.). Pola Pembiayaan Obat di 10 Kabupaten/kota di
Indonesia (Pattern Of Drug Financing In Ten Districts In Indonesia). None,
13(4), 21317. Google
Scholar
Hisran, H., & Salmah, Salmah. (2022). Pengaruh
Ketersediaan Sumber Daya Kefarmasian Terhadap Pencapaian Indikator Pengelolaan
Obat Puskesmas Kota Jambi Tahun 2020. Journals of Ners Community, 13(3),
329�339. Google Scholar
Indonesia, Kemenkes Republik. (2014). Peraturan
Menteri Kesehatan Ri No 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Google
Scholar
Jambi, Data Kota. (n.d.). APBD Kota Jambi
(lampiran). Google
Scholar
Pramukantoro, Ganet Eko, & . Sunarti.
(2019). Evaluasi Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota
Surakarta Tahun 2015. Jurnal Farmasi Indonesia, 15(1), 50�59.
https://doi.org/10.31001/jfi.v15i1.354. Google
Scholar
RI, Departemen Kesehatan. (2019). Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor HK.01.07/MENKES/813/2019
Tentang Formularium Nasional. Google Scholar
Suwarto, Tiekha Kencanasari. (2012). Evaluasi
Pengelolaan Obat Di Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap Tahun 2008, 2009 Dan 2010.
Universitas Gadjah Mada. Google
Scholar
Suwarto, Tiekha Kencanasari, &
Fudholi, Prof Achmad. (2012). Evaluasi Pengelolaan Obat Di Dinas Kesehatan.
2009�2010. Google
Scholar
Ta�au, Dian K., Pareta, Douglas N.,
Kanter, Jabes W., & Tumbel, Silvana L. (2020).
Evaluasi Perencanaan Dan Pengadaan Obat Di
Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Biofarmasetikal Tropis, 3(2), 72�76.
https://doi.org/10.55724/j.biofar.trop.v3i2.287. Google
Scholar
Tikirik, Wita Oileri, Sahrianti, Nini,
Luaran, Jenis, et al. (2022). Gambaran pengelolaan manajemen logistik obat dan
alkes di instalasi farmasi Kabupaten Mamuju Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan, 5(2) 72�76.
https://doi.org/10.55724/j.biofar.trop.v3i2.28. Google
Scholar
Copyright holder: Hisran Hamad, Salmah (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |