Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
PENGELOLAAN DUSUNG SEBAGAI BENTUK PEMANFAATAN LAHAN
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Lydia Riekie Parera, Aryanto Boreel
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Dusung merupakan salah satu bentuk
agroforestri tradisional yang dipraktikkkan sejak dahulu oleh masyarakat di
Maluku dan berperan penting dalam peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya
di negeri Hatu. Namun sistem pengelolaan dusung belum optimal, kerena keterbatasan
Sumber Daya Manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
sistem penguasaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui pola
pengelolaan dusung yang diterapkan oleh masyarakat di negeri Hatu, (2)
Mengetahui manfaat pengelolaan dusung (sosial ekonomi dan budaya) bagi
masyarakat negeri Hatu. Metode penelitian yang digunakan adalah: metode survei
langsung dan wawancara dengan masyarakat, sehingga diperoleh data melalui
pengamatan langsung di lapangan dan pengisian kuesioner. Metode analisis data
yang digunakan adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian ini
antara lain: (1) Pola pengelolaan dusung yang ditemui dan diterapkan oleh
masyarakat di negeri Hatu pada umumnya adalah pola pengelolaan dusung secara pribadi
atau perorangan (keluarga inti) yaitu masing-masing kepala keluarga beserta
anggota keluarganya secara sendiri, (2) Manfaaat pengelolaan dusung dari aspek sosial
budaya terlihat dengan adanya penggunaan sasi, kewang serta unsur-unsur
kekeluargaan, gotong royong serta kebersamaan dalam mengelola dusung, (3)
Kontribusi hasil dusung terbesar (manfaat ekonomi) terhadap pendapatan
masyarakat / keluarga pemilik dusung per tahun di negeri Hatu berasal dari
jenis usaha tani dusung yang di dalamnya terdapat tanaman pangan, tanaman
perkebunan, holtikultura buah-buahan serta hasil hutan kayu.
Kata Kunci: Dusung; Pengelolaan;
Masyarakat; Kearifan Lokal.
Abstract
Dusung is one of
the traditional forms of agroforestry practiced by people in Maluku and plays
an important role in increasing people's income, especially in the Hatu
country. But the management system of the dusung is not yet optimal, due to the
limitations of human resources in the mastery of science and technology, as
well as the land tenure system. This study aims to: (1) Determine the
pattern of dusung management applied by the people in Hatu country, (2) Know
the benefits of dusung management (socio-economic and cultural) for the people
of Hatu country. The method. used in this study is the method of direct
surveys and interviews with the community, so that data obtained through direct
observation in the field and filling out questionnaires. Data analysis methods
used are qualitative and quantitative. Based on research on the management of
dusung conducted in Hattu country, the following results were obtained: (1) The
pattern of dusung management that was found and applied by the people in Hatu
country in general was a personal or individual dusung management pattern
(nuclear family), namely each head family and family members individually, (2)
The benefits of managing dusung from the socio-cultural aspect can be seen from
the use of sasi, financial and family elements, cooperation and togetherness in
managing the dusung, (3) The largest contribution of dusung results (economic
benefits) to The annual income of the community / family of dusung owners in
Hatu country comes from the type of dusung farming business which includes food
crops, plantation crops, horticulture fruits and wood forest products.
Keywords: Dusung; Management; Community; Local Wisdom.
Pendahuluan
Hutan
merupakan Sumber Daya Alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan
manusia, baik manfaat secara langsung maupun manfaat tidak langsung (Rahmawaty & Pertanian, 2004); (Revitch, 1994). Manfaat langsung seperti produksi hasil hutan kayu dan
non kayu, serta perlindungan satwa, sedangkan manfaat tidak langsung seperti
manfaat perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi,
rekreasi alam, serta penyerapan karbon (Latifah, 2004); (Yulian et al., 2011).
Dalam
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya pada pasal 6, disebutkan bahwa
hutan memiliki 3 fungsi penting yakni fungsi konservasi, lindung dan produksi.
Selama ini ketergantungan masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup
terhadap kawasan hutan cukup besar, sehingga pelestarian hutan perlu diupayakan
sebaik mungkin demi menciptakan lingkungan hidup yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan memberikan dampak yang positif pada ekosistem (Tampubolon, 2021); (Windiani, 2010). Luas Kawasan Hutan di Propinsi Maluku, menurut Dinas
Kehutanan Propinsi Maluku seluas 4,3 juta hektar yang terbagi atas lima fungsi
hutan diantaranya, hutan konservasi dengan luas 406.569 Ha, hutan lindung dengan luas 618.744 Ha, hutan produksi terbatas dengan luas 926.533 Ha, hutan produksi dengan
luas 667.573 Ha serta hutan
produksi yang dapat dikonversi dengan luas 1.771.281 Ha (Kaya, 2002).
Negeri Hatu merupakan salah-satu negeri yang
masyarakatnya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, khususnya petani
hutan, ini terlihat dari luas kawasan hutan yang dimiliki negeri ini cukup
luas. Hal ini dapat dilihat dari luas lahan untuk kegiatan pertanian dan
perkebunan sebesar 7.615 Ha, tanah kering seluas 100 Ha serta hutan negara dan
hutan lindung seluas 6.425 Ha. Masyarakat negeri Hatu rata-rata memiliki dusung
per kepala keluarganya. Sehubungan dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan pemanfaatan lahan untuk
bercocok tanam maka ketersediaan lahan hutan semakin berkurang. Untuk itu
pemanfaatan lahan haruslah dilakukan seoptimal mungkin. Salah satu teknik
pemanfaatan lahan yang dapat berperan dalam menjaga kelestarian hutan adalah
sistem agroforestri. Sistem agroforestri ini merupakan wujud dari pola
pemanfaatan lahan yang mengintegrasikan antara pertanian (agriculture)
dan kehutanan (forestry) dalam satu ruang dan waktu yang sama (Mayrowani, 2011); (Ayawaila, 1996); (Wattimury, 2002).
Di
daerah Maluku sistem agroforestri dikenal dengan nama Dusung yang merupakan salah satu bentuk agroforestri
tradisional dan dipraktikkan sejak dahulu oleh masyarakat di daerah ini serta berperan
penting dalam peningkatan pendapatan masyarakat (Silaya, 2007); (Nurwidodo et al., 2018). Hasil produksi dari dusung telah terbukti memegang
peranan penting dalam pemenuhan sandang, pangan maupun papan bagi masyarakat di
Maluku khususnya di negeri Hatu. Namun sistem pengelolaan dusung belum optimal,
karena keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sistem penguasaan lahan, serta pemilihan jenis tanaman.
Faktor-faktor inilah yang menjadi kendala petani dalam mengembangkan usaha
tani, dimana mereka hanya mengandalkan kesuburan tanah alami untuk proses
produksi sehingga hasil produksi yang diperoleh belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup layak.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pola pengelolaan dusung yang diterapkan oleh masyarakat di negeri Hatu dan manfaat
pengelolaan dusung (sosial ekonomi dan budaya) bagi masyarakat di negeri Hatu.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengelolaan dusung
secara optimal dengan tetap menjaga kelestariannya.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di negeri Hatu Kecamatan Leihitu
Barat Kabupaten Maluku Tengah dan berlangsung selama 3 (tiga) bulan. Objek
dalam penelitian ini adalah masyarakat negeri Hatu yang memiliki dusung serta
areal dusung yang dikelola. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survei, dimana data yang diperoleh melalui pengamatan langsung di
lapangan dan pengisian kuesioner. Jumlah sampel yang diambil yaitu sebesar 32
KK. Penentuan sampel yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode purposive sampling dimana sampling yang
diambil didasarkan atas beberapa pertimbangan atau alasan yaitu sebagai pemilik
dusung dan merupakan tokoh masyarakat (raja negeri, staf negeri dan lain-lain). Analisa data dilakukan secara kualitatif dan disajikan
secara deskriptif, dimana analisa ini menggambarkan situasi-situasi atau
kejadian pada suatu kelompok manusia, objek atau suatu kondisi tertentu.
Hasil dan Pembahasan
A. Sistem Usaha Tani
Ditinjau dari jenis komoditas yang diusahakan,
sistem usaha tani yang ada di negeri Hatu terdiri dari 4 (empat) jenis
komoditas, yaitu : a). komoditas pertanian: pisang dan umbi-umbian, b).
Komoditas perkebunan: pala, kelapa, langsat, sagu, durian, rambutan, cengkih dan
coklat, c). komoditas hijauan: sayur-sayuran, d). Komoditas kehutanan: rotan,
jati dan hasil hutan lainnya. Jenis-jenis komoditas tersebut terutama
tanaman pertanian umumnya ditanam pada lahan yang sama secara bergiliran sesuai
musimnya. Pola bergiliran tanaman ini berlangsung dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun. Umumnya pisang dan ubi kayu ditanam pada awal musim penghujan
(Oktober-November), namun hal ini berlaku jika lahan yang ada kekurangan air.
Untuk lahan yang mudah dalam mendapatkan air tidak menggunakan pola pergiliran
karena setiap tahunnya hanya ditanami dengan pisang saja. Jumlah lahan yang
kekurangan air atau biasa disebut tanah kering atau kritis luasannya selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi karena pertambahan jumlah
penduduk, sehingga air lebih banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, dan
hal inipun sudah dirasakan oleh penduduk.
B. Pengelolaan Dusung oleh Masyarakat di
Negeri Hatu
Dusung yang sejatinya adalah suatu pengelolaan lahan secara
tradisional yang dilakukan oleh penduduk setempat, guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat bahkan juga dapat memperbaiki lingkungan ini merupakan
sistem pengelolaan lahan yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat di Maluku
khususnya di negeri Hatu (Ardianz, 1995).
Proses
terbentuknya dusung dimulai dengan menanam tanaman umur pendek (Umbi-umbian dan
sayur-sayuran) yang seterusnya berkembang dengan kombinasi dari tanaman
campuran (kayu-kayuan dan buah-buahan). Pola penanaman tanaman secara
tradisional pada lahan dusung ini, selanjutnya akan berkembang membentuk areal
hutan sekunder dengan ciri stratifikasi yakni strata bawah
(rerumputan/perdu/obat-obatan/rempah-rempah), strata menengah (buah-buahan)
serta strata atas (tanaman berkayu). Ada beberapa cara pengelolaan dusung yang umumnya dilakukan oleh masyarakat
diantaranya: pengelolaan secara pribadi/kelola
sendiri, pengelolaan secara mata
rumah, dan pengelolaan secara berkelompok.
Hasil
penelitian di lapangan menunjukan bahwa pola pengelolaan dusung yang diterapkan
oleh masyarakat negeri Hatu yakni �Pengelolaaan Secara Pribadi�. Pengelolaan dusung secara pribadi diketahui bahwa
status dusung tersebut jelas peruntukannya, artinya status dusung yang dimiliki
merupakan milik dari suatu keluarga yang sudah diberikan atau dibagi oleh orang
tua mereka. Dengan demikian mereka berhak atas dusung tersebut sehingga
pengelolaannya serta pengawasannya dilakukan secara pribadi atau sendiri oleh
pihak yang bersangkutan artinya masing-masing secara pribadi bertanggung jawab
penuh terhadap pengelolaan dusungnya mulai dari penanaman, pemeliharaan,
pemanenan sampai dengan pemasaran hasil.
C. Tahapan
Pengelolaan Dusung
1.
Persiapan Lahan
Untuk tahap ini, masyarakat biasanya membuka lahan
baru dengan membersihkan lahan yang sebelumnya merupakan bekas lahan lama yang
telah digunakan sebelumnya.
2. Penanaman
Setelah
tahap pesiapan lahan selesai, tahap selanjutnya ialah penanaman tanaman. Untuk
proses penanaman, terlebih dahulu membuat tempat untuk menanam jenis
tanaman-tanaman yang akan ditanam.
3.
Pemeliharaan
Dalam tahap
pemeliharaan, kegiatan yang dilakukan adalah pembersihan lahan dari tanaman
pengganggu yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman.
4. Pemanenan
Pada tahap ini dilakukan proses
pengambilan hasil panen dari dalam dusung, baik itu hasil tanaman pangan,
holtikultura, perkebunan maupun hutan.
5.
Pasca Panen
Setelah
masyarakat memanen hasil dusung yang mereka miliki, maka hasil dusung tersebut
mereka jual ke pasar atau ke pengumpul-pengumpul yang ada untuk memenuhi
kebutuhan sandang, pangan serta papan dan pendidikan dalam keluarga mereka.
Namun, tidak semua hasil panen dijual karena sebagian lagi masyarakat pakai
untuk konsumsi sehari-hari.
D. Aspek Sosial Budaya dalam Pengelolaan Dusung
1. Jenis Dusung
Dari
hasil penelitian diketahui bahwa negeri Hatu memiliki beberapa jenis dusung,
diantaranya:
2.
Dusung Dati
Dusung Dati merupakan dusung pewarisan keluarga untuk
anak lelaki yang membawa nama marga yang berada di atas atau di dalam tanah
dati. Dusung dati memiliki sertifikat, apabila dusung dati dipindah tangankan
kepada orang lain, maka ada aturan yang berlaku atasnya. Aturan yang
dimaksudkan adalah �Dati tidak boleh dipindah tangankan� dari anak dati ke
orang lain, tanpa persetujuan dari anak dati yang memperoleh hak atas dati
tersebut dan tidak boleh disertifikasi tanpa persetujuan dari anak dati.
Marga
asli Negeri Hatu yang berhak atas dusung Dati adalah : a). Marga dari Soa
Souhuat yakni, Hehamony, Salamahu, Tipawael dan Risteru; b). Marga dari Soa Hatulessy yakni, Hehalatu,
Picaulima, Manuputty dan Lenahatu dan c). Marga dari Soa Malupang (Pendatang) yakni
Risamasu.
3.
Dusung Pusaka
Dusung Pusaka adalah dusung milik bersama dan semua
kelompok ahli waris yang diperoleh berdasarkan pewarisan dari dusung tersebut
kemudian diwariskan secara turun temurun. Dengan kata lain, dusung pusaka tidak
memiliki pengecualian ahli waris artinya anak perempuan juga memiliki hak
bagian atas dusung tersebut.
4.
Dusung Negeri
Dusung Negeri merupakan dusung yang dimiliki oleh
negeri atau desa Hatu, dan siapa saja (masyarakat negeri Hatu) berhak atas
dusung tersebut. Apabila ada masyarakat yang ingin mengelola dusung tersebut,
maka dia berhak atas dusung tersebut dan akan menjadi milik mereka. Tapi ada
pertimbangan yang dilihat apabila ingin memberikan kepada orang yang mengelola
dusung ini, orang tersebut harus rajin dalam mengelola dusung tersebut sehingga
negeri tidak salah memberikan dusung untuk orang yang mengelolanya. Biasanya
dusung ini diberikan kepada pendatang yang tidak memiliki dusung. Apabila ada
masyarakat yang melanggar aturan terkait dengan pengelolaan dusung, maka mereka
akan diberikan sanksi. Hanya saja sanksi yang diberikan biasanya diselesaikan
secara kekeluargaan semata, karena belum ada aturan perundangan yang memuat
tentang larangan bagi orang yang melanggar terkait dengan pengelolaan dusung
sehingga sanksi yang diberikan terhadap masyarakat diselesaikan secara
kekeluargaan karena aturan ini sudah ada secara turun temurun.
Dusung
dati, dusung pusaka dan dusung perusahaan pengelolaannya sama, dimana
pengelolaannya dimulai dari pembukaan ewang (hutan primer) untuk
berladang, sehingga harus dilakukan pembersihan lahan terlebih dahulu dengan
menebang pohon-pohon yang ada di area yang akan dipakai untuk penananam
tanaman.
5.
Sasi
Kehidupan sosial masyarakat Negeri Hatu tidak
terlepas dari adat, kebiasaan/tradisi dan agama yang digunakan dalam upaya
pelestarian atau pengawetan Sumber Daya Alam hayati dan ekosistemnya. Dimana
kearifan lokal dalam bentuk penggunaan sasi, masih diberlakukan bagi tanaman
yang ingin keberlanjutan nilai dan kualitas sumber daya alam tetap terjaga.
Sasi sudah mulai diketahui secara umum sebagai
suatu larangan untuk mengambil dan merusak sumberdaya alam tertentu. Demi
menjaga kelestarian dan menjamin hasil yang berlipat ganda di masa depan (Rahail, 1996). Penggunaan sasi yang dipakai oleh
masyarakat Hatu yakni Sasi Gereja,
dimana apabila ada masyarakat yang mau menggunakan sasi untuk tanamannya, maka
mereka langsung berhubungan dengan pihak yang bersangkutan (dalam hal ini
Pendeta ataupun Majelis jemaat). Hanya saja untuk saat ini, masyarakat sudah
tidak lagi memakai sasi karena kebutuhan hidup yang membuat masyarakat sangat
menggantungkan hidup mereka lewat adanya hasil dusung. Pemakaian sasi paling
lambat biasanya selama 1 (satu) tahun. Selama waktu ini masyarakat tidak boleh
mengambil hasil dari tanaman itu sendiri, apabila melanggar mereka dapat
memperoleh ganjarannya. Setelah pemakaian sasi selesai barulah masyarakat sudah
bisa mengambil hasil tanaman mereka dan hasilnya bisa dibawa ke gereja sebagai
persembahan masyarakat kepada Tuhan.
Pemakaian
sasi memiliki manfaat yang begitu besar, dimana masyarakat diajarkan untuk
bersabar dan mampu menjaga kelestarian dari hasil Sumber Daya yang ada serta
dapat menjaga ketertiban dalam pengelolaan alam dan lingkungan hidup.
6.
Kewang
Kewang memiliki tugas dan fungsi untuk
menjaga sumberdaya alam/ hutan agar tidak diambil oleh orang lain. Kelompok
Kewang di negeri Hatu berjumlah 9 orang, mereka bertugas secara bergiliran.
Dengan demikian para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan
peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi atau
hukuman kepada masyarakat yang melanggarnya. Biasanya masyarakat yang ingin
mengambil pasir dan batu haruslah melaporkan diri ke kewang yang bertugas.
E. Manfaat Pengelolaan Dusung Terhadap Tingkat
Ekonomi Keluarga
Hutan
merupakan tempat hidup sekaligus sebagai sumber kehidupan yang dimiliki
berdasarkan hak-hak adat atau ulayat dari leluhurnya. Masyarakat yang terkesan
tradisional bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan tetapi sangat arif
dengan kekayaan budayanya, mendiami hutan dan memanfaatkan hutan untuk
keperluan hidupnya (Silaya, 2007).
Masyarakat
negeri Hatu yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, sangatlah
rajin dalam mengelola dusung mereka, hal ini terbukti dengan diperolehnya hasil
panen lewat tanaman yang diusahakan pada lahan garapan masyarakat yang setiap
panennya mencapai puluhan juta rupiah. Hasil panen inilah yang dipakai
masyarakat untuk membangun dan merenovasi rumah tempat tinggal mereka,
menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi, bahkan untuk
keperluan sandang maupun pangan mereka sendiri. Pendapatan masyarakat pada
suatu daerah bergantung pada mata pencaharian dari masyarakat tersebut, umumnya
masyarakat yang hidup di desa mempunyai jenis mata pencaharian yang sifatnya homogen, tergantung dari sumber daya
alam yang ada dan dimanfaatkan oleh masyarakat pada desa tersebut (Wahyudin, 2003). Pendekatan yang dilakukan untuk menentukan
pendapatan masyarakat (responden) adalah dengan menghitung jumlah pendapatan
yang diperoleh selama satu tahun. Berdasarkan parameter yang diukur, maka
sumber pendapatan masyarakat atau keluarga di lokasi penelitian terdiri dari
tanaman pangan (perladangan), tanaman perkebunan (tanaman umur panjang),
tanaman holtikultura, hasil hutan kayu serta pekerjaan sampingan masyarakat
seperti jasa (tukang kayu), tukang ojek, pedagang, buruh tela (batu bata),
tipar sageru serta nelayan.
Masyarakat
Negeri Hatu menanami lahan mereka dengan tanaman perkebunan sebagai tanaman
yang sangat dominan dalam menghasilkan pendapatan, yang mana hasil dari tanaman
inilah yang mengakibatkan penghasilan masyarakat menjadi meningkat. Tanaman
perkebunan tersebut adalah pala dan cengkeh, selain 2 (dua) tanaman tersebut
masyarakat juga menanam tanaman pangan seperti pisang, ubi kayu, dan kelapa.
Sedangkan untuk buah-buahan yang turut memberikan kontribusi terhadap pendapatan,
masyarakat menanam buah Mangga, durian dan langsat. Selain itu dari hasil hutan
kayu, terdapat beberapa keluarga yang menjual hasil hutan kayu diantaranya kayu
lenggua, dan kayu sengon.
Sumber
pendapatan penting lainnya bagi keluarga selain dusung bersumber dari
pendapatan sampingan masyarakat, yakni buruh tela. Masyarakat membuat tela
dengan jumlah yang lumayan banyak sesuai dengan pesanan yang ditentukan. Selain
itu ada pula masyarakat yang bermata pencaharian sebagai tukang ojek, nelayan,
serta pedagang (kios kecil). Selain pendapatan yang diterima masyarakat dari
adanya hasil dusung, masyarakat juga mengeluarkan biaya-biaya untuk keperluan
untuk kepentingan pengelolaan dusung. Jadi, masyarakat mengeluarkan biaya untuk
membeli keperluan-keperluan yang berhubungan dengan pengelolaan dusung.
Kegiatan pemasaran hasil dusung, biasanya masyarakat memasarkannya langsung ke
pasar tetapi untuk jenis pala dan cengkeh masyarakat sudah memiliki langganan
untuk dijual ke langganan tersebut yang bertempat di desa Hative Besar. Hal ini
dikarenakan untuk meminimalisir biaya transportasi yang dikeluarkan, karena
untuk menjual hasil dusung ke pasar lebih banyak mengeluarkan biaya
dibandingkan dengan menjualnya ke pengumpul. Inilah yang membuat masyarakat
lebih condong untuk menjual hasil dusung mereka ke pengumpul terdekat. Biasanya
juga pengumpul yang langsung datang menemui penjual untuk mengadakan transaksi
penjualan, sehingga masyarakat lebih diuntungkan untuk hal ini. Biaya yang
biasanya dikeluarkan untuk satu kali kegiatan pemasaran, apabila dipasarkan ke
pasar mencapai Rp. 35.000 pulang pergi sedangkan untuk biaya yang dikeluarkan
ke penadah hanya sekitar Rp. 20.000,-.
Tabel 1.
Rata-Rata Pendapatan Responden Selama 1 Tahun
Sumber Pendapatan Masyarakat |
Jumlah Pendapatan (Rp) |
Rata-rata Pendapatan (Rp) |
Presentase (%) |
Usaha Tani (Dusung) |
828.185.000 |
25.880.781,25 |
70,65 |
Bukan Usaha Tani (Pekerjaan Sampingan) |
304.350.000 |
9.514.062,5 |
25,95 |
Hasil Hutan Kayu |
40.000.000 |
1.250.000 |
3,4 |
Total |
1.172.635.000 |
36.644.843,7 |
100 |
Pada tabel 1.
terlihat bahwa pendapatan rata-rata pendapatan keluarga atau responden per
tahun di Negeri Hatu, berasal dari sumber pendapatan usaha tani (tanaman
pangan, perkebunan serta buah-buahan dan sayur-sayuran) adalah yang paling
tertinggi yaitu Rp.828.185.000,- atau sebesar 70.65 %. Kemudian disusul dengan
pendapatan yang bersumber dari pekerjaaan sampingan atau bukan hasil hutan
sebesar Rp.304.350.000,- atau sebesar 25,95 % dan yang paling terendah berasal
dari pendapatan yang bersumber dari hasil hutan yaitu hasil hutan kayu dengan
jumlah pendapatan sebesar Rp.40.000.000,- atau sebesar 3.4%. Dari pendapatan
yang diperoleh masyarakat di Hatu, ternyata sumber pendapatan dari usaha tani
(dusung) memberikan kontribusi yang sangat besar. Jenis tanaman yang memberikan
penghasilan yang cukup besar yaitu dari tanaman tahunan/perkebunan yakni pala
dan cengkeh. Selain ke-2 tanaman tersebut di dalam dusung juga terdapat tanaman
lain seperti durian, langsat, pisang serta umbi-umbian (banyak dikonsumsi oleh
masyarakat), tetapi bagi petani yang memiliki hasil panen yang banyak, mereka
pun menjualnya. Sumber pendapatan lain juga yaitu jenis pekerjaan
sampingan/ikutan. Kontribusi dari jenis pekerjaan sampingan ini berasal dari
buruh tela, wirausaha, nelayan, pedagang kecil (kios) dan tukang ojek. Sumber
pendapatan yang berasal dari hasil hutan yaitu penjualan kayu kepada pembeli
yang membutuhkan kayu untuk industri rumah tangga (pembuatan meubel), dan untuk
bahan ramuan rumah.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di negri
Hatu Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah, maka dapat diperoleh
beberapa kesimpulan : 1) Pola pengelolaan dusung yang ditemui dan diterapkan
oleh masyarakat di negeri Hatu adalah pola pengelolaan dusung secara pribadi
yaitu masing-masing keluarga bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan
dusungnya mulai dari tahap pembersihan lahan, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan sampai pemasaran hasil (pasca panen). 2) Manfaaat pengelolaan dusung
dari aspek sosial budaya terlihat dengan adanya penggunaan sasi, kewang serta
unsur-unsur kekeluargaan, gotong royong atau kebersamaan dalam mengelola
dusung. 3) Kontribusi hasil dusung terbesar (manfaat ekonomi) terhadap
pendapatan masyarakat/keluarga pemilik dusung per tahun di negeri Hatu berasal
dari jenis usaha tani yang di dalamnya terdapat tanaman pangan, tanaman
perkebunan, holtikultura buah-buahan serta hasil hutan kayu bernilai sebesar
Rp.828.185.000,- dari total pendapatan sebesar Rp.1.172.635.000,- atau sebesar
70,65%.
BIBLIOGRAFI
Ardianz. (1995). Identifikasi social Dusung yang
Merupakan Sistem Wanatani Tradisional Khas Maluku Tengah.
Ayawaila,
J. W. (1996). Tinjauan Sosial Budaya Agroforestry Dusung. Pusat Studi
Maluku. Universitas Pattimura, Ambon. Google
Scholar
Kaya,
M. (2002). Pengelolaan Lestari, Sumberdaya Alam dan Ekosistem Berbasis
Masyarakat di Maluku. Balai Taman Nasional Manusela. Google
Scholar
Latifah,
S. (2004). Penilaian Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu. Universitas Sumatera
Utara. Google
Scholar
Mayrowani,
H. (2011). Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan dan
pemberdayaan petani sekitar hutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Google
Scholar
Nurwidodo,
N., Rahardjanto, A., Husamah, H., Mas� odi, M. odi, & Hidayatullah, M. S.
(2018). Model pendampingan masyarakat kepulauan berbasis rumput laut (Best
practices program IbW-CSR di Kepulauan Sapeken Sumenep). Kota Tua. Google
Scholar
Rahail,
J. P. (1996). Adat society in the islands of Kei (EVAV), South-East Maluku:
Indigenous movements and forms of organisation. IWGIA Document, 80,
187�194. Google
Scholar
Rahmawaty,
S., & Pertanian, M. F. (2004). Hutan: Fungsi dan peranannya bagi
masyarakat (Vol. 13). Universitas Sumatera Utara. Google
Scholar
Revitch,
D. (1994). Hutan: Hakikat dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Google
Scholar
Silaya.
(2007). Peranan Sumber daya Hutan dan Lingkungan Terhadap Pendapatan dan
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. Ambon: Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian UNPATTI.
Tampubolon,
H. S. (2021). Efektivitas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 47 tentang
perlindungan hutan di Desa Sitaratoit Kecamatan Angkola Barat Kabupaten
Tapanuli Selatan. IAIN Padangsidimpuan. Google
Scholar
Wahyudin,
Y. (2003). Sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir. In Makalah
disampaikan pada pelatihan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (Vol.
5). Google
Scholar
Wattimury,
S. (2002). Studi Tentang Aspek Ekonomi Petani Agroforestri Tradisional
Dusung. Ambon: Universitas Pattimura.
Windiani,
W. (2010). Strategi Pemberdayaan Masyarakat Di Kawasan Hutan Sebagai Langkah
Antisipatif Dalam Penanganan Bencana Banjir Dan Tanah Longsor Di Kabupaten
Trenggalek. Jurnal Sosial Humaniora (JSH), 3(2), 148�161.
https://doi.org/10.12962/j24433527.v3i2.646. Google
Scholar
Yulian,
E. N., Syaufina, L., & Putri, E. I. K. (2011). Valuasi Ekonomi Sumberdaya
Alam Taman Hutan Raya Bukit Soeharto Di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and
Environmental Management), 1(1), 38.
https://doi.org/10.29244/jpsl.1.1.38. Google
Scholar
Copyright holder: Lydia Riekie Parera, Aryanto
Boreel (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |