Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

Representasi Ide-Ide Feminisme dalam Lagu dan Pidato Taylor Swift

 

Paula Rita Wijayanti, Asri Saraswati

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Taylor Swift merupakan musisi perempuan asal Amerika yang dikenal sebagai ikon feminisme setelah berganti genre musik dari country ke pop pada album 1989. Lirik lagu Taylor Swift yang dahulu berfokus pada hubungan percintaan, kini lebih menyoroti permasalahan perempuan, seperti standar ganda, seksisme, dan misogini. Di samping itu, Swift juga mendukung Equality Act dan menjadi simpatisan untuk kaum LGBTQIA+. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan memberikan pemahaman mengenai representasi ide-ide feminisme dalam lirik lagu dan pidato Taylor Swift, serta mencermati pengaruh ide-ide tersebut dalam wacana white feminism di Amerika. Penelitan ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik analisis tekstual menggunakan lensa Representasi dan White Feminism. Hasil pengamatan lirik lagu dan pidato Taylor Swift menunjukkan bahwa terdapat ide-ide feminisme, seperti pemberdayaan diri dan perjuangan kesetaraan, terutama dalam dukungannya terhadap kaum LGBTQIA+. Namun demikian, ide-ide feminisme yang diperlihatkan Taylor Swift melalui karya-karyanya masih bersifat heteronormatif dan berciri feminisme kulit putih. �

 

Kata kunci: Taylor Swift, Feminisme, White Feminism.

 

Abstract

Taylor Swift is a female musician from America who is known as a feminist icon after switching music genres from country to pop on her 1989 album. Taylor Swift's song lyrics, which used to focus on romantic relationships, now focus more on women's issues, such as double standards, sexism, and misogyny. Furthermore, Swift also supports the Equality Act and becomes an ally for LGBTQIA+. This study aims to examine and provide an understanding of the representation of feminist ideas in Taylor Swift's song lyrics and speeches, as well as to examine the influence of these ideas on white feminism in America. This research uses qualitative research methods, with textual analysis techniques using the lens of Representation and White Feminism. The results of the research is Taylor Swift's song lyrics and speeches show some feminist ideas, such as self-empowerment and the struggle for equality, especially in its support for LGBTQIA+ people. However, Taylor Swift�s feminism ideas which shows through her works are still heteronormative and characterized by white feminism.

 

Keywords: Taylor Swift, Feminism, White Feminism.

 

Pendahuluan

Pada masa kini, video musik dapat diakses dari berbagai sumber, seperti televisi atau media berbasis internet, misalnya Youtube. Video musik merupakan bentuk budaya populer kontemporer yang tersebar luas, penting dan kompleks. Bahkan, banyak kritikus mengatakan bahwa video musik hanya merupakan suatu produk yang dihasilkan oleh praktik bisnis kapitalis. Terkadang video musik juga digunakan sebagai betook promosi atau iklan produk lain. Karena itu, semua video musik selalu memiliki agenda komersial dan merupakan bagian dari produk konsumen; musik itu sendiri �(Railton, 2011). Video musik sering digunakan dalam industri musik populer karena menggabungkan musik, gambar, dan suara dengan menggunakan teknologi mutakhir dan estetika audiovisual, seperti gerakan, lirik lagu, melodi, ritme, kostum, dan perlengkapan. Unsur estetika dalam video musik mudah menarik perhatian, sehingga membuatnya dapat ditonton berulang kali, serta membuka berbagai interpretasi dari penonton (Vernallis, 2013).

Dari sekian banyak penyanyi yang merilis video musik, Taylor Swift merupakan salah satu penyanyi Amerika Serikat yang sukses menghasilkan banyak album dari genre musik country, maupun pop. Bermula dari tampil dengan membawakan lagu penyanyi country, seperti Faith Hill, Taylor mulai mencintai musik country dan pindah ke Nashville, rumah musik country, untuk mengejar kariernya sebagai penyanyi. Di Nashville, Taylor Swift berhasil merilis album pertamanya dengan single berjudul �Tim McGraw� pada usia 14 tahun, dan mengembangkan karier di industri musik Amerika� (Spencer, 2010). Usai menghasilkan album country selama 10 tahun, Swift mengubah genre musiknya menjadi pop, dengan memasukkan unsur rap dan hip-hop. Pada tahun 2014, Swift merilis album pop pertamanya, 1989, dengan lagu pertama berjudul �Shake It Off�.� Swift menghasilkan banyak album dan berkembang menjadi penyanyi pop paling terkenal saat ini. Keberhasilan Swift dalam genre musik country dan pop terbukti dengan lagu-lagunya yang menduduki deretan tangga lagu teratas, menghasilkan banyak penggemar, dan menjual dua juta kopi untuk salah satu albumnya, Reputation, di Amerika Serikat saja (Donella, 2018).

Berganti genre musik pop, Swift mulai dianggap sebagai ikon feminisme. Dalam wawancara majalah Maxim (2014), Swift menyoroti standar ganda yang dialami perempuan, serta berusaha memerangi misogini dalam karier bermusiknya (Kreps, 2015). Swift juga menggunakan video musik ini sebagai bentuk dukukan terhadap petisi Equality Act dan komunitas LGBTQIA+ (McDermott, 2019). Tidak hanya itu, Swift juga memberikan donasi pada Tennessee Equality Project dan GLAAD, serta mendukung wakil negara bagian Tennessee untuk Partai Demokrat (Aguirre, 2019). Swift juga menampilkan dirinya sebagai artis perempuan yang berjuang atas hak-haknya di sebuah industri yang didominasi laki-laki, terutama dalam kasus perebutan master rekaman antara dirinya melawan Scooter Braun, manajer studio Big Machine tempat Swift merekam keenam albumnya (Yee, 2020). Fakta tersebut menarik untuk dikaji dalam melihat citra feminisme dan pemikiran feminisme seperti apa yang ingin ditawarkan oleh Taylor Swift melalui karya-karyanya, serta signifikansinya dalam ranah Kajian Amerika.

Taylor Swift menampilkan citra wanita dengan autentisitas dan ide kulit putih yang konservatif dan kental dalam dunia hiburan Amerika Serikat. Taylor Swift secara alami menampilkan autentisitas yang normatif sebagai gadis baik, polos, dan dengan feminitas yang �pantas� karena penampilan dan gaya bicaranya mempertahankan citra perempuan yang pasif, manis, dan non-sensual (Pollock, 2014). Dubrofsky juga menyoroti identitas kulit putih Swift yang menunjukkan ekspresi dan kesadaran diri dengan autentisitas wanita kulit putih yang humoris, serta menunjukkan bahwa keaslian dan kebebasan berekspresi merupakan hak istimewa yang dimanfaatkan oleh kulit putih (Dubrofsky, 2016). Pollock dan Dubrofsky sama-sama menekankan hak istimewa yang dimiliki Swift karena ia berkulit putih sehingga dapat mencapai kesuksesan dalam kariernya. Swift tidak menampilkan perlawanan norma, seperti menggunakan lirik lagu yang kasar atau berpenampilan tidak senonoh, ia menunjukkan bahwa tidak ada stereotipe tertentu bagi seorang wanita untuk menjadi feminis (Pollock, 2014); (Dubrofsky, 2016).

Taylor Swift berubah dari artis yang tidak pernah menunjukkan kecenderungan atau menyuarakan pendapat politiknya hingga berani bersuara dan menyatakan dukungan politiknya. Prins mengamati kulit putih Taylor Swift yang disalahgunakan sebagai penanda identitas politiknya dalam berbagai meme Taylor Swift yang muncul dengan istilah �Taydolf Swiftler�. Meme ini pada awalnya muncul pada media Pinterest, lalu menyebar ke media lain seperti 4 Chan dan Reddit dengan judul �Taylor Swift for a Fascist Europe�. Andrew Anglin, seorang aktivis nasionalis kulit putih dan pengelola The Daily Stromer, menerbitkan artikel dengan menyebut Swift sebagai �Dewi Arya�, atas figur sempurna untuk bangsa Arya yang berkulit putih. Artikel Anglin membahas rasisme dan anti-Semit yang fokus pada kualitas ras kulit putih yang berbeda dari ras lain. Karena artikel tersebut, Swift dianggap sebagai pendukung kaum nasionalis dan supremasi kulit putih. Prins menilai penyalahgunaan tersebut disebabkan karena sikap Swift yang apolitis. Selanjutnya, Swift tidak lagi bersikap apolitis dan menyatakan diri sebagai pendukung Partai Demokrat pada Oktober 2018. Meskipun demikian, dukungan Swift dinilai tidak sesuai dengan nilai konservatif kulit putih yang lebih condong ke Republik (Prins, 2020). Tahun 2018, Swift mulai menyatakan posisi politiknya dengan mengunggah pernyataan dukungan kepada kandidat Demokrat untuk Senat dan House untuk negara bagian Tennessee dan mengajak 112 juta pengikut Instagram-nya untuk mendaftar dan menggunakan hak pilihnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada keterlibatan naratif lebih berpengaruh daripada interaksi parasosial dalam memproses pesan dan memengaruhi perubahan perilaku (Nisbett & Schartel Dunn, 2021).

Usai beralih genre musik menjadi pop, Swift semakin dilihat sebagai musisi selebritis yang feminis. Dalam penelitiannya, O�Neill membahas mengenai identitas kulit putih Taylor Swift yang dibandingkan dengan Miley Cyrus. Swift dan Cyrus menunjukkan individu yang kompleks dan saling bertentangan, namun mampu memilih menampilkan citra diri dan seksualitas seperti keinginan mereka. Keduanya menampilkan representasi musisi posfeminis yang terus berkembang dan tidak terbatas dalam satu definisi, serta menunjukkan identitas feminis yang berbeda dari feminisme tradisional (O�Neill, 2015). Sebagai ikon feminisme, Swift juga mendukung kaum marginal. Melissa K. Avdeff mengamati dukungan Swift pada LGBTQAI+ melalui lagu �You Need to Calm Down�. Avdeff menemukan ada upaya cancel culture oleh publik guna �membungkam� pesan pro-LGBTQAI+ Taylor Swift. Namun demikian, pengguna TikTok mampu memvalidasi pesan tersebut melalui pengalaman pribadi sehingga mereka mampu menentukan pendapat melalui tantangan �You Need to Calm Down�.� Respons Twitter menunjukkan respon yang positif terhadap dukungan Swift pada pesan LGBTQAI+ sejak awal (Avdeeff, 2021). Studi Griffith menunjukan bahwa sekalipun tampil sebagai simpatisan LGBTQAI+, Taylor Swift juga dikritik dan dianggap melakukan komodifikasi feminisme. Griffith melihat bahwa Swift memposisikan diri untuk mendapatkan keuntungan dan memuaskan keinginan publik dengan menunjukkan keberpihakkan politik. Kesuksesan Swift dinilai berasal dari menulis dan bicara tentang nilai-nilai feminisme dan pengalamannya sebagai penulis lagu perempuan dalam industri musik (Griffith, 2020).

Dari pemaparan tinjauan pustaka di atas, beberapa isu telah dibahas dalam penelitian terdahulu, mulai dari identitas kulit putih Swift yang kental, keterkaitannya dengan politik, serta sosok Taylor Swift yang menunjukkan identitas feminisme. Berbagai isu terkait Taylor Swift yang diangkat dari analisis lagu, lirik, video musik, serta representasi Taylor Swift telah menunjukkan pro dan kontra mengenai terkait feminisme Swift, terutama karena Swift berkulit putih. Dari berbagai pandangan mengenai feminisme yang direpresentasikan Taylor Swift melalui karya-karyanya, penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan pengaruh feminisme yang dipromosikan oleh Swift dan menunjukkan posisi Swift dalam wacana feminisme kulit putih (white feminism) di Amerika.

 

Metode Penelitian

����������� Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang memfokuskan pada proses yang terjadi dalam penelitian, bahwa tidak ada batasan untuk penelitian kualitatif. Penelitian ini menelaah ide-ide feminisme yang ditunjukkan Taylor Swift melalui lagu dan pidatonya, serta pengaruhnya terhadap wacana white feminism di Amerika. Data primer yang digunakan terdiri dari tiga lagu Taylor Swift dan lima transkrip piato penghargaan Taylor Swift. Data lirik lagu diambil dari situs www.genius.com dan potongan pidato kemenangan Swift diambil dari situs www.billboards.com dan transkrip pidato dari www.youtube.com. Data sekunder dalam penelitian ini digunakan dengan tujuan untuk melengkapi data primer. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan yang bersumber dari berbagai jurnal ilmiah, buku, dan situs internet yang bertujuan demi menunjang analisis penulis. Penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan satu instrumen atau alat bantu dalam mencari informasi atau data yang digunakan dalam penelitian. Hasil pengamatan lirik lagu dan pidato pendek Swift ditelaah menggunakan metode analisis tekstual dengan menggunakan lensa Representasi dan White Feminism.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Sejarah Singkat White Feminism

Feminisme menuntut persamaan hak dan kesetaraan gender, menentang objektifikasi tubuh wanita, diskriminasi, melawan ketidakadilan dan kekerasan, dan menyuarakan kebebasan, termasuk kebebasan atas tubuh dan reproduksi (Tong & Botts, 2018). Feminisme berawal dari pemikiran bahwa pria dan wanita harus diperlakukan sama, meskipun berbeda secara biologis. Di samping menekankan persamaan hak dan kesempatan yang sama bagi semua orang, feminisme berfokus pada aksi yang dapat membawa perubahan positif dalam kehidupan sosial. Feminis tidak menginginkan dominasi atas pria, melainkan ingin melepaskan pria dan wanita dari peran gender yang represif.

Di Amerika, feminisme terbagi ke dalam tiga gelombang besar dengan agenda dan tujuannya masing-masing.� Feminisme gelombang pertama lebih fokus pada perjuangan hak pilih wanita dalam pemilu (emansipasi politik) (Susilawati, 2017). Dimulai dari Seneca Falls Woman�s Rights Convention pada tahun 1848, wanita menyatakan keinginan agar memilih dalam pemilu untuk pertama kalinya. Hasil tuntutan mereka terbukti dengan perubahan Amandemen Ke-19 Konstitusi Amerika Serikat atas hak pilih bagi wanita. Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony menjadi pelopor perjuangan hak pilih wanita dan menuangkan pencapaiannya dalam buku History of Woman Suffrage (Zarnow & Hewitt, 2010). Perjuangan hak pilih wanita mulai menyebar dari Amerika Serikat ke negara lain, seperti New Zealand, Australia, Finlandia, dan Inggris. Di Amerika Serikat, selain memperoleh hak pilih, representasi kesetaraan ditandai dengan peran wanita yang ikut bekerja, terutama pada masa Perang Dunia I, masa Great Depression dan Perang Dunia II. Meskipun awalnya bekerja dengan upah rendah, wanita berusaha memperjuangkan posisi mereka di tempat kerja dan mendapatkan upah yang setara dengan pekerjaan mereka (Olson, 2021).

Berselang 72 tahun sejak feminisme gelombang pertama pada tahun 1884-1920, feminisme gelombang kedua berkembang pada tahun 1960-1970-an (Hewitt, 2010). Feminisme gelombang kedua dipelopori oleh Betty Friedan yang menulis buku The Feminine Mystique (1963). Friedan mengatakan wanita masih berstatus lebih rendah karena peran mengurus rumah tangga dan mengasuh anak (Olson, 2021). Karena itu, feminisme gelombang kedua lebih fokus kepada gerakan Women Liberation (pembebasan wanita). Kaum feminis menyuarakan pertentangan terhadap semua praktik diskriminasi yang tidak terealisasi dalam gelombang pertama (Susilawati, 2017). Feminis gelombang kedua berupaya mencari kesetaraan hukum bagi wanita dan memperjuangkan hak aborsi di level Mahkamah Agung dan amandemen Konstitusi AS untuk menjamin hak yang sama bagi wanita (Zarnow & Hewitt, 2010).

Namun, perjuangan �hak yang sama� pada gelombang dua dinilai terlalu eksklusif dan didominasi oleh kulit putih yang pada praktiknya dianggap tidak mengindahkan etnisitas dan wanita kulit berwarna. Akibatnya, kontra wacana bertumbuh dan menyerang hegemoni feminisme kulit putih. Dari sini, wacana baru yang muncul dalam feminisme gelombang ketiga mulai menyuarakan model feminisme yang lebih beragam, serta merangkul kaum marginal dan tidak termasuk dalam gelombang dua. Feminisme gelombang ketiga ini bertujuan mendekonstruksi dan memusatkan kembali ide-ide gelombang dua, serta menghasilkan cara-cara baru untuk memahami hubungan antar gender (Mann & Huffman, 2005).

B.  Analisis Ide-Ide Feminisme Taylor Swift

Taylor Swift mulai dikenal sebagai ikon feminisme yang ditandai dengan perubahan genre musik dari country ke pop pada tahun 2014 dengan lagu pertama berjudul �Shake It Off� dalam album 1989. Swift menyampaikan pesan pemberdayaan diri melalui sikap positif dan optimis dalam menghadapi berbagai kritik yang menimpa dirinya. Frasa �shake it off� sendiri dapat berarti mengalahkan atau membebaskan diri dari sesuatu atau seseorang yang membatasi diri atau dapat berarti menyingkirkan sesuatu yang buruk atau negatif. Melalui lagu ini, Swift berusaha membebaskan diri dari pengharapan orang lain mengenai bagaimana ia harus bersikap dan berekspresi, serta menginginkan kebebasan yang sebelumnya tidak ia dapatkan, terutama dalam menulis lagu.

Dalam pidato-pidato kemenangannya, Swift juga menyampaikan pesan semangat pemberdayaan, khususnya bagi orang yang sedang meniti karier bermusik atau pekerjaan lain. Swift ingin menunjukkan bahwa penghargaan-penghargaan yang dia terima menjadi simbol pembuktian kepada orang yang berusaha menjegal kariernya dan rasa terima kasih kepada orang-orang yang membawanya pada kesuksesan. Swift juga menekankan akan semangat kerja keras dalam mengembangkan kariernya dan berusaha untuk lebih baik lagi dalam berkarya. Berselang sekitar tiga tahun sejak rilis lagu �Shake It Off� dari album 1989, melalui lagu �Look What You Made Me Do�, Swift menunjukkan perlawanan terhadap orang-orang yang mengkritik dan merundung dirinya. Swift juga menentang seksisme dan misogini yang mewarnai kariernya, terutama saat ia disebut sebagai �snake� yang berarti hinaan dan cacian terhadapnya. Ia mengungkapkan perlawanan tersebut melalui berbagai komponen dalam lirik dan video musiknya.

Kiprah Swift dalam industri musik Amerika membuatnya menjadi bahan salah satu mata kuliah di New York University (NYU) di mana ia menerima gelar Doctor of Fine Arts, honoris causa dan mendapat kehormatan menyampaikan sambutan atas penerimaan gelar tersebut pada 18 Mei 2022 di Yankee Stadium. Melalui sambutan ini, Swift ingin menunjukkan semangat pemberdayaan diri, khususnya bagi para lulusan NYU, angkatan tahun 2022. Swift juga menceritakan perjalanan karier dan pengalaman hidupnya yang dialami sebagian besar wanita kulit putih kelas menengah-atas. Lebih lanjut dalam pidatonya, Swift mengakui bahwa dirinya terdengar sangat optimis, namun sebenarnya ia beberapa kali merasa rentan dan hampa. Swift juga menujukkan sikap positif lain bahwa kita tidak perlu takut akan kegagalan karena itu akan menjadi pelajaran yang memperkaya hidup kita.

Taylor Swift juga memperjuangkan keseteraan dengan mendukung kaum LGBTQAI+ dan mengkritik homofobia. Dalam lirik lagu �You Need to Calm Down� ini, sengaja menyisipkan kata GLAAD (Gay & Lesbian Alliance Against Defamation) dan mengganti kata �I� dengan �we� untuk menunjukkan solidaritas pada kaum LGBTQAI+ yang disebut Swift sebagai teman-temannya.

 

�You are somebody that we don't know

But you're comin' at my friends like a missile

Why are you mad when you could be GLAAD? (You could be GLAAD)

Sunshine on the street at the parade

But you would rather be in the dark ages

Makin' that sign must've taken all night�

(Swift, You Need to Calm Down, 2019).

 

Lebih lanjut, Swift juga menentang dan mengkritik homofobia yang ia gambarkan sebagai orang yang pemarah dalam video musiknya padahal mereka bisa merasa senang (dalam bahasa Inggris �glad�) atau mendukung organisasi GLAAD. Swift juga menyebutkan kata �parade� yang dapat berarti lambang keberagaman atau parade Pride Month yang biasanya diadakan sebagai peringatan perayaan kaum LGBTQAI+. Swift juga memainkan kata �sunshine� dan �dark� untuk membedakan orang yang mendukung kaum LGBTQAI+ sebagai orang yang berpikiran luas, sementara kaum homofobia berpikiran sempit seperti pada Abad Kegelapan. Kaum homofobia menentang hubungan sesama jenis dan dalam video musik �You Need to Calm Down�, Swift menggambarkannya seolah terlihat marah, penampilan mereka berantakan, rata-rata berkulit putih dan berambut merah. Pada papan tanda yang mereka buat, tertulis �Adam dan Eve (Hawa), bukan Adam dan Steve� di mana sesuai doktrin agama, hubungan yang sah menurut agama adalah hubungan pria dan wanita sesuai contoh Adam dan Hawa pada Gambar 1.

Dari lagu berjudul �You Need to Calm Down� tersebut, Swift juga mendapat penghargaan MTV Video Music Awards 2019, kategori Video of the Year. Dalam pidato kemenangannya, Swift juga menegaskan dukungannya pada kaum LGBTQAI+ dengan menyinggung mengenai hak azazi manusia di mana semua orang ingin diperlakukan setara tanpa memandang identitas diri. Swift juga membuat petisi berisi 500.000 tanda tangan untuk Equality Act yang merupakan bentuk dukungannya atas hak-hak yang sama sebagai warga negara Amerika. Swift juga berterima kasih atas semua orang yang terlibat dalam pembuatan video musiknya, ia mengatakan bahwa semua aktor dalam video musiknya hidup selayaknya terlihat di video �You Need to Calm Down�.

 

 

Gambar 1. Kaum Homofobia dalam Video �You Need to Calm Down�

(Swift, Taylor Swift - You Need To Calm Down [Video], 2019)

 

Gambar 2. Gambaran Heteronormatif dalam Video �You Need to Calm Down�

(Swift, Taylor Swift - You Need To Calm Down [Video], 2019)

 

 

Gambar 3. Gambaran Heteronormatif dalam Video �You Need to Calm Down�

(Swift, Taylor Swift - You Need To Calm Down [Video], 2019).

 

Pada potongan video musik �You Need to Calm Down� pada Gambar 2, terlihat orang yang berpenampilan seperti waria. Swift bahkan menyunting wajahnya hingga terlihat seperti waria pada Gambar 3 seolah ingin menyamakan dirinya dengan kaum LGBTQAI+. Penggambaran seperti ini seolah mengeneralisasi penampilan sehari-hari kaum LGBTQAI+ yang eksentrik, padahal kenyataannya belum tentu seperti demikian. Potongan video musik tersebut juga memperlihatkan penggambaran Swift terhadap kaum LGBTQAI+ yang masih bersifat heteronormatif. Heteronormatif berarti segala hal yang berkaitan dengan perilaku dan pandangan bahwa heteroseksualitas merupakan satu-satunya ekspresi seksualitas yang normal dan alami. Artinya cara pandang Swift masih mengikuti aturan orang yang heteroseksual, misalnya aturan berpakaian atau sikap seorang wanita dan pria harus seperti apa.

Cara pandang Swift terhadap kaum LGBTQAI+ dan pemikirannya terhadap kesetaraan, serta permasalahan perempuan, seperti seksisme dan misogini masih terlihat dari pemikiran feminisme kulit putih. Feminisme kulit putih sangat fokus terhadap pengalaman perempuan kulit putih kelas menengah-atas yang heteroseksual bahwa hanya ada satu keadilan dan kesetaraan yang universal bagi perempuan. Pemikiran feminisme kulit putih sangat dipengaruhi oleh karya Betty Friedan, Feminine Mystique. Karya Friedan menunjukkan diskriminasi kelas, rasisme, dan seksisme terhadap wanita Amerika karena tidak memikirkan bahwa sebenarnya ada sebagian besar wanita yang sudah bekerja demi bertahan hidup, maupun bertahan melawan diskriminasi ras dan etnis. Feminine Mystique menjadi berdampak negatif apabila kondisi wanita kulit putih yang berpendidikan dari kelas menengah-atas dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat seksisme terhadap wanita di Amerika (Hooks, 1984).

Karya-karya Taylor Swift merepresentasikan ide-ide feminisme, seperti pemberdayaan diri dan mempromosikan kesetaraan, khususnya pada kaum LGBTQAI+, akan tetapi ide feminisme Taylor Swift masih melihat permasalahan seksisme dan misogini dari kacamata perempuan kulit putih sehingga mengecualikan pengalaman kulit berwarna. Swift juga masih melihat pola hubungan pria dan wanita secara heteronormatif atau cara pandang berdasarkan orang yang heteroseksual. Meskipun aktif menyuarakan pemberdayaan, menurut Griffith, aktivisme Swift dinilai sebagai �pemberdayaan semu� karena Swift berada pada posisi menguntungkan sebagai wanita kulit putih sehingga kurang dapat bersuara mengenai ketidakadilan kelas sosial (Griffith, 2020). Pidato Swift juga menunjukkan bahwa ia sedang berada di puncak kariernya karena mampu menjual banyak album dan memperoleh banyak penghargaan sepanjang kariernya.

Posisi Swift sebagai musisi perempuan papan seolah ingin menunjukkan bahwa dengan memecah batasan gender dalam posisi penting di masyarakat dan dianggap setara oleh laki-laki atau �breaking glass ceiling� maka akan ada semacam efek �trickle down� yang pada akhirnya akan memengaruhi kelas bawah, wanita miskin, dan anak-anak. Perubahan sosial baru dapat terwujud melalui penghapusan diskriminasi sistemik, tanpa ada pengecualian (Moraga & Anzald�a, 2015). Istilah �glass ceiling� diperkenalkan pada tahun 1980-an untuk menggambarkan hambatan yang mencegah perkembangan karier wanita dan kaum minoritas lain di tempat kerja terutama di dunia politik di mana kepemimpinan wanita diragukan (Dinkins, 2016). Meskipun istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi perempuan dalam dunia politik, pesan pemberdayaan Swift juga seolah ingin memecah batasan gender dalam dunia musik. Namun demikian, posisi dan pengalaman Swift sebagai perempuan kulit putih yang memiliki hak istimewa dalam masyarakat Amerika tidak dapat disamakan dengan perempuan kulit berwarna, khususnya artis kulit berwarna yang sedang meniti karier.

Pemikiran feminisme kulit putih yang sudah terinternalisasi dalam masyarakat heteronormatif terlihat jelas dalam karya-karya Taylor Swift. Namun demikian, perjuangan Swift untuk menentang seksisme dan misogini dalam kariernya patut diapresiasi, meskipun belum menyentuh permasalahan yang dihadapi perempuan kulit berwarna. Berbagai ahli feminisme kulit putih juga menawarkan solusi atas pemikiran feminisme kulit putih sebagai feminisme mainstream. Kimberl� Crenshaw (1989), seorang profesor fakultas hukum sebagai teori feminisme di Amerika Serikat mengembangkan konsep interseksionalisme memberi pemahaman bahwa ada hubungan antara gender atau jenis kelamin dengan kategorisasi sosiokultural lain, seperti ras dan kelas (Lykke, 2010). Kyla Schuller menawarkan feminisme interseksionalitas sebagai solusi terhadap white feminism karena dapat membangun kekuatan dan kuasa, serta menjadi model bagi wanita yang tidak memiliki kuasa. Feminisme interseksionalitas dinilai dapat mengatasi ketimpangan sistemik di masa depan. Interseksionalitas bukanlah alat untuk menghancurkan white feminism, namun bertujuan mentransformasi dan membarui struktur yang menindas manusia (Schuller, 2021).

 

Kesimpulan

Taylor Swift merupakan salah satu musisi perempuan yang sangat berpengaruh. Melalui karya-karya lagu dan pidatornya, Taylor Swift menyampaikan ide-ide feminisme, seperti pemberdayaan diri dan kesetaraan, khususnya dukungan terhadap kaum LGBTQAI+. Swift juga menentang seksisme dan misogini sepanjang kariernya. Dibesarkan dari keluarga yang heteroseksual membuat cara pandangan Swift dalam karya-karyanya bersifat heteronormatif dan berciri feminisme kulit putih. Ide-ide feminisme Swift berkarakter seperti feminisme kulit putih karena mengecualikan pengalaman kulit berwarna karena Swift menyuarakan feminismenya melalui pengalaman pribadinya sebagai perempuan heteroseksual kelas menengah-atas. Meskipun Swift berusaha memecah batasan gender, namun pengalamannya tidak dapat disamakan dengan perempuan kulit berwarna, sehingga keadilan atau kesetaraan secara universal merupakan suatu hal yang semu. Perjuangan Swift patut dihargai dan didukung, meskipun belum mencakup pengalaman seluruh perempuan. Untuk itu, ahli-ahli feminisme mengusung konsep interseksionalitas sebagai solusi yang mengatasi ketimpangan sistemik di masa depan.

 


BIBLIOGRAFI

 

Avdeeff, M. K. (2021). TikTok, Twitter, and Platform-Specific Technocultural Discourse in Response to Taylor Swift�s LGBTQ+ Allyship in �You Need to Calm Down.� Contemporary Music Review, 40(1), 78�98. https://doi.org/10.1080/07494467.2021.1945225. Google Scholar

 

Dinkins, R. (2016). Clinton Can�t Break Every Glass Ceiling. Usnews.Com.

 

Donella, L. (2018). Taylor Swift Is The 21st Century�s Most Disorienting Pop Star. Npr.Org.

 

Dubrofsky, R. E. (2016). A vernacular of surveillance: Taylor Swift and Miley Cyrus perform white authenticity. Surveillance & Society, 14(2), 184�196. https://doi.org/10.24908/ss.v14i2.6022. Google Scholar

 

Griffith, J. (2020). �If I Was a Man, Then I�d Be the Man�: Understandings of Gender, Race, and Social Class in Postfeminist Popular Culture. University of Rhode Island. Google Scholar

 

Hooks, B. (1984). Feminist theory: From margin to center Boston. MA: SAGE Publications. Google Scholar

 

Kreps, D. (2015). Taylor Swift Talks Feminism, Misogyny in Maxim. Rollingstone.Com.

 

Lykke, N. (2010). Feminist studies: A guide to intersectional theory, methodology and writing. Routledge. Google Scholar

 

Mann, S. A., & Huffman, D. J. (2005). The decentering of second wave feminism and the rise of the third wave. Science & Society, 69(1), 56�91. Google Scholar

 

Moraga, C., & Anzald�a, G. (2015). Introduction, 1981. any: SUNY Press. Google Scholar

 

Nisbett, G., & Schartel Dunn, S. (2021). Reputation matters: Parasocial attachment, narrative engagement, and the 2018 Taylor Swift political endorsement. Atlantic Journal of Communication, 29(1), 26�38. https://doi.org/10.1080/15456870.2019.1704758. Google Scholar

 

O�Neill, L. (2015). The representation of Miley Cyrus and Taylor Swift as postfeminist celebrity musicians: Image, Text and Audiences. Murdoch University. Google Scholar

 

Olson, J. (2021). Feminism. History.Com.

 

Pollock, V. (2014). Forever adolescence: Taylor Swift, eroticized innocence, and performing normativity. Georgia State University. Google Scholar

 

Prins, A. (2020). From awkward teen girl to Aryan goddess meme: Taylor Swift and the hijacking of star texts. Celebrity Studies, 11(1), 144�148. https://doi.org/10.1080/19392397.2020.1704431. Google Scholar

 

Railton, D. (2011). Music video and the politics of representation. Edinburgh University Press. Google Scholar

 

Schuller, K. (2021). The trouble with white women: A counterhistory of feminism. New York: Hachette Book Group. Google Scholar

 

Spencer, L. (2010). Taylor Swift. Toronto: EWC Press. Google Scholar

 

Susilawati. (2017). Feminisme Gelombang Ketiga. Jurnalperempuan.Org.

 

Tong, R., & Botts, T. F. (2018). Feminist thought: A more comprehensive introduction. Routledge. Google Scholar

 

Vernallis, C. (2013). Unruly media: YouTube, music video, and the new digital cinema. Oxford University Press. Google Scholar

 

Yee, H. R. (2020). Taylor Swift vs Scooter Braun: why the battle for her back catalogue matters much more than you think. Stylist.Co.Uk.

 

Zarnow, L., & Hewitt, N. (2010). No Permanent Waves: Recasting Histories of US Feminism. Rutgers University Press. Google Scholar

 

Copyright holder:

Nama Author (Tahun Terbit)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: