Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia� p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 3, Maret 2023
Tanggung Jawab Negara Terhadap Tindak Pidana Orang Dengan Gangguan Jiwa
Willy Andrian, Elfrida Ratnawati
Magister
Ilmu Hukum Universtas Trisakti
Email : [email protected], [email protected]
Abstrak
Suatu tindak pidana tidak
hanya dilakukan oleh pelaku yang sempurna akalnya, tetapi dapat pula dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Pada praktiknya,
hakim pada putusannya kerap
hanya terbatas kepada menjatuhkan putusan kepada terdakwa ODGJ dengan tidak dijatuhi pidana dan lepas dari segala tuntutan
karena tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akhirnya, ODGJ dilepas begitu saja, sedangkan ia membutuhkan perawatan mental khususnya. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan jenis dan sumber bahan hukum
diperoleh dari data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hak asasi bagi
ODGJ yang melakukan tindak pidana sama halnya
dengan manusia yang akalnya sempurna sebagai warga Negara. Perlindungan hukum bagi ODGJ yang melakukan tindak pidana secara
normatif adalah baginya tidak dipidana
atas alasan pemaaf karena tidak
dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Pengaturan tanggung jawab negara pasca pemidanaan ODGJ tidak tercantum khususnya pada KUHP, karena pada praktiknya putusan hakim hanya terbatas kepada amar bahwa terdakwa
ODGJ tidak dijatuhi pidana karena tidak
dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan lepas dari segala tuntutan
atas alasan pemaaf termasuk terbatas hanya kepada apa yang dituntut Jaksa Penuntut Umum. Dalam pengaturannya kedepan, KUHP perlu direformulasi terkait subjek pelaku tindak
pidana perseorangan yang menderita gangguan jiwa dan sanksi tindakan bagi ODGJ.
Kata Kunci : Orang Dengan Gangguan Jiwa; Perlindungan
Hukum; Tanggung Jawab Negara.
��������������������������������������������������������������������������������������������
Abstract
A criminal act is not only committed by a
perfectly intellect offender, but can also be committed by a person with a
mental disorder (ODGJ). In practice, judges in their rulings are often limited
to passing judgments on ODGJ defendants by not being sentenced and free from
all charges because they cannot account for their actions. Eventually, ODGJ was
simply taken off, whereas he needed his special mental treatment. This research
is normative legal research with the types and sources of legal material obtained
from secondary data collected through literature studies. The results of this
study show that the human rights for ODGJs who commit criminal acts are the
same as human beings whose reason is perfect as citizens. The legal protection
for ODGJ who commits criminal acts normatively is that for him not to be
convicted on forgiving grounds for not being able to account for his actions.
The regulation of state responsibility after the conviction of ODGJ is not
stated in particular in the Criminal Code, because in practice the judge's
decision is limited to the amar that the ODGJ defendant is not sentenced
because he cannot account for his actions and escapes all charges on forgiving
grounds including being limited only to what the Public Prosecutor demands. In its
future arrangements, the Criminal Code needs to be reformulated regarding the
subject of individual criminal offenders suffering from mental disorders and
action sanctions for ODGJ.
Keywords : People With Mental Disorders; Legal Protection;
State Responsibility.
Pendahuluan
Orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan kelompok yang rentan terhadap stigmatisasi dan diskriminasi, terutama dalam konteks sistem
hukum dan pidana (Lesmana, 2019).
Di banyak negara, masih ada ketidakpastian dan perdebatan tentang tanggung jawab negara dalam menangani tindakan pidana yang dilakukan oleh ODGJ (Ohoiwutun et al., 2019).
Beberapa negara telah mengadopsi pendekatan khusus untuk menangani
tindakan pidana ODGJ, seperti penggunaan jalur hukum dan penanganan kasus yang berbeda dari kasus
tindakan pidana yang dilakukan oleh orang biasa (Ananda, 2021).
Namun,
ada juga negara yang masih belum memiliki regulasi yang jelas dan konsisten dalam menangani tindakan pidana ODGJ (Irfani & Arif, 2022).
Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah, termasuk ketidakadilan dan ketidakpastian bagi ODGJ dan keluarga mereka, serta potensi
risiko keamanan bagi masyarakat umum (Rachman, 2022).
Suatu
tindak pidana secara sosiologis tidak hanya dilakukan
oleh pelaku yang sempurna akalnya, tetapi dapat pula dilakukan oleh penderita dengan kelainan jiwa (Rokhmantono, 2018).
Tindak pidana yang dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah masalah yang kompleks dan memerlukan perhatian khusus. Meskipun sebagian besar orang dengan gangguan jiwa tidak
melakukan tindakan kriminal, ada beberapa
kasus di mana orang dengan gangguan jiwa melakukan
tindakan kriminal yang serius. Dalam kasus
seperti itu, muncul pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab atas tindakan kriminal
yang dilakukan oleh ODGJ (Firdaus, 2016).
Apakah ODGJ harus dipertanggungjawabkan secara hukum seperti orang biasa atau apakah
negara harus mempertimbangkan
keadaan khusus ODGJ dalam menangani kasus tersebut (Alfiatin & Firmansyah, 2021).
�Isu tanggung jawab negara terhadap tindak pidana ODGJ merupakan isu global yang memengaruhi banyak negara di seluruh dunia (Buana et al., 2019).
Berbagai kasus tindak pidana yang dilakukan oleh ODGJ seringkali menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran tentang apakah mereka mampu
bertanggung jawab atas tindakan mereka
atau apakah mereka membutuhkan perlindungan khusus dari negara (Zainal et al., 2017).
Di
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (selanjutnya
disebut UU Kesehatan Jiwa), penderita
kelainan jiwa dibagi atas Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), yang mana pengertiannya
disebutkan dalam pasal 1 huruf b dan huruf c UU Kesehatan Jiwa (Esem, 2019).
Pasal 1 huruf b UU
Kesehatan Jiwa memberi pengertian
bahwa :
�Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa�.
Berdasarkan
pasal diatas dapat kita simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan ODMK ialah orang yang memiliki masalah baik secara fisik,
mental, dan sebagainya yang menyebabkan
ia berpotensi untuk memiliki gangguan jiwa dikarenakan
kelainannya tersebut.
Di
dalam Pasal 1 huruf c UU Kesehatan Jiwa kemudian
menyatakan bahwa :
�Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.�
Menurut
ketentuan diatas, maka ODGJ, benar-benar tidak dapat lagi
mengendalikan diri dan kejiwaannya.
Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), pada ketentuan Pasal
44 KUHP, ODGJ tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya
dan dihukum karena kurang sempurna akalnya atau karena
sakit berubah akal. Artinya, apabila ODGJ melakukan tindak pidana, maka baginya tidak
dapat dihukum sebagaimana pelaku yang sempurna akalnya. Hal demikian menurut Simons, seseorang tidak mampu bertanggung jawab adalah ketika
seseorang (Maramis, 2013):
1. Tidak mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum.
2. Dengan ketiadaan penginsyafan maka seseorang itu tidak dapat
menentukan kehendaknya.
Artinya,
menurut Umar (2017) seseorang diangap dapat bertanggung jawab ketika ia
menyadari apa yang dia lakukan dan tahu akibat dari
perbuatannya serta dalam keadaan dia
memiliki pilihan apa untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatannya. Sedangkan bagi ODGJ adalah sebaliknya.
Oleh
karena itu, penelitian tentang tanggung jawab negara terhadap tindakan pidana ODGJ sangat penting untuk membantu mengidentifikasi masalah dan tantangan dalam menangani kasus-kasus ini (Depkes RI, 2018).
Penelitian juga dapat membantu mengidentifikasi kebijakan dan praktik terbaik dalam menangani
tindakan pidana ODGJ dan memberikan rekomendasi bagi negara-negara yang masih belum memiliki regulasi yang jelas dalam hal ini
(Lestari, 2022).
Pada
praktiknya, ODGJ setelah menjalani pemidanaan hingga berakhir pada penjatuhan putusan, kerap diperlakukan tidak manusiawi khususnya oleh keluarganya dengan cara dipasung,
sedangkan termasuk ODGJ seharusnya dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan hakim pada putusannya
kerap hanya terbatas kepada menjatuhkan putusan berdasarkan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan terdakwa ODGJ tidak dijatuhi pidana dan lepas dari segala tuntutan
karena tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akhirnya, ODGJ dilepas begitu saja, terlebih apabila terdakwa tidak diketahui keberadaan keluarganya, sedangkan ia membutuhkan
perawatan mental khususnya.
Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
(1) Bagaimana hak asasi dan perlindungan hukum bagi orang dengan gangguan jiwa yang melakukan tindak pidana? (2) Bagaimana pengaturan tanggung jawab negara pasca pemidanaan orang dengan gangguan jiwa ?
Metode Penelitian
Penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan
kasus. Jenis dan sumber bahan hukum
diperoleh dari data sekunder, yang dianalisis secara kualitatif, dengan teknik pengumpulan
bahan hukum melalui studi kepustakaan.
Hasil dan Pembahasan
Seorang
ODGJ para praktikya dalam beberapa kasus umum kerap dipasung
baik oleh keluarga bahkan masyarakat yang tidak mengetahui dimana keberadaan kerabata ODGJ, sedangkan yang demikian selain dipahami sebagai bentuk untuk mengamankan
ODGJ dari perilaku yang tidak bias diprediksi yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, tetapi hal ini
tentu juga bertentangan dengan hak asasi
manusia bagi ODGJ untuk diperlakukan layaknya seorang manusia yang bermartabat. Dalam tataran hukum,
seorang ODGJ �tidak dapat dipidana
atas alasan pemaaf karena tidak
dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Pada praktiknya ODGJ dalam
pemeriksaan perkara di pengadilan dilepas dari segala tuntutan
atas alasan pemaaf, tetapi yang perlu diperhatikan adalah pasca diadili,
ODGJ membutuhkan tindakan perawatan pasca pemidanaan oleh negara agar tidak
kembali menimbulkan ketidaktentraman dan tindak pidana lainnya di tengah-tengah masyarakat.
Hak Asasi dan Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa yang Melakukan Tindak Pidana
Pada
umumnya ODGJ baik tidak melakukan tindak pidana atau
pasca bebas dari pemidanaan kerap oleh keluarganya dikurung atau dipasung.
Mengenai perlakuan terhadap ODGJ ini dapat dianggap sebagai perbuatan penyiksaan yang melanggar hak asasi manusia,
karena bertentangan dengan hak setiap
manusia sebagaimana yang termaktub dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain :
1. � Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), yang menyatakan :
�Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.�
2. � Pasal 28I ayat (1) UUD
1945, yang menyatakan :
�Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun.�
3. � Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU
HAM), yang menyatakan :
� (1) ��� Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) ��� Setiap orang berhak hidup tenteram,
aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) ��� Setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat.�
Dari bunyi pasal-pasal
di atas jelas kiranya diketahui bahwa hak untuk
hidup bebas merupakan hak asasi
manusia. Selain itu, bagi penderita
cacat mental, diatur hak-haknya dalam Pasal 42 UU HAM yang berbunyi:
�Setiap warga
negara yang berusia lanjut,
cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya
negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan
rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.�
ODGJ
dapat dikatakan cacat mental. Hal ini dikarenakan berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia,
cacat berarti kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya
kurang baik atau kurang sempurna
(yang terdapat pada badan, benda,
batin, atau akhlak)(Wicaksono
& SUSILOWATI, 2019). Sedangkan
mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga (Rubini,
2019). Kemudian
jika kita melihat arti dari �gila�, yaitu sakit
ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya
terganggu atau pikirannya tidak normal). Ini berarti �gila�
dapat berarti cacat mental karena adanya kekurangan pada batin atau jiwanya
(yang berhubungan dengan pikiran).
Dari
ketentuan-ketentuan diatas dapat kita ketahui
bahwa ODGJ pun dilindungi
oleh undang-undang untuk memperoleh perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya. Tidak sepantasnya keluarganya memperlakukan ODGJ tersebut dengan cara mengurung
atau memasungnya.
Mengenai hak-hak penderita gangguan jiwa juga dirumuskan dalam Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU
Kesehatan) yang
masing-masing berbunyi:
�Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai
warga negara.�
�Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum
wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.�
Pengurungan atau pemasungan
ODGJ, sekalipun dilakukan
oleh keluarganya dengan tujuan keamanan untuk dirinya sendiri
dan orang-orang sekitar, menurut
hemat peneliti merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perampasan hak untuk hidup secara
layak, yang berarti melanggar hak asasi
manusia. Disamping itu, mengacu pada pasal diatas, hal
yang dapat dilakukan oleh keluarganya demi tercapainya kehidupan layak bagi orang gila tersebut adalah dengan melakukan upaya kesehatan jiwa, yakni mengupayakan
pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Selain melanggar hak asasi manusia,
keluarga yang melakukan pengurungan atau pemasungan terhadap ODGJ dapat terjerat Pasal 333 KUHP dan Pasal
304 KUHP karena menelantarkan
atau menimbulkan kesengsaraan bagi ODGJ, sebagaimana kedua ketentuan tersebut masing-masing menyatakan :
�(1) �� Barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara
paling lama delapan tahun.
(2) ��� Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) ��� Jika mengakibatkan
mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
(4) ��� Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan
juga bagi orang yang dengan
sengaja dan melawan hukum memberi tempat
untuk perampasan kemerdekaan.�
�Barangsiapa
dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seserang dalam keadaan sengsara,
sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.�
Mengenai Pasal 333 KUHP, menurut S.R. Sianturi, yang
dimaksud dengan merampas kemerdekaan adalah meniadakan atau membatasi kebebasan seseorang bergerak meninggalkan suatu tempat untuk
pergi ke tempat lainnya yang dia inginkan. Perampasan
kemerdekaan itu dapat terjadi dengan
mengurung seseorang di suatu ruangan tertutup,
dengan mengikat kaki atau anggota tubuh
lainnya dari seseorang sehingga tidak dapat memindahkan
diri, menempatkan seseorang di suatu tempat di mana ia tidak mungkin pergi
dari tempat itu, dan mungkin juga dengan cara psychis (hipotis)
sehingga ia kehilangan kemampuan untuk pergi dari
suatu tempat dan lain-lain (Khadafi,
2017).
Walaupun tidak boleh dikurung atau dipasung, akan tetapi bukan
berarti keluarga dapat membiarkan orang gila tersebut berkeliaran
secara bebas. Karena jika keluarga membiarkan
orang gila tersebut berkeliaran secara bebas, keluarga dapat juga dijerat dengan Pasal 491 butir 1 KUHP:
�Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan
orang itu berkeliaran tanpa dijaga.�
Dalam
ilmu hukum pidana yaitu dalam
KUHP dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar
dan alasan pemaaf, sebagaimana diuraikan yaitu :
1. Alasan pembenar, berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana.
Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya
(objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana
mati (Pasal 50 KUHP).
2. Alasan pemaaf, adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku
suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf
dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau
gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat
dari bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP:
�Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit
berubah akal.�
Kemudian, Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi :
�Jika nyata perbuatan
itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit
berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah
sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.�
Menurut R. Soesilo
sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena (Ramadhan, 2020):
1. Kurang
sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan �akal� disini ialah kekuatan
pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya :
idiot, imbicil, buta-tuli,
dan bisu mulai lahir. Tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya
tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya
sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.
2. Sakit
berubah akalnya. Yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya : sakit gila,
histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Dalam
contoh kasus konkrit, seorang ODGJ atas nama Imam Safi�I bin Lukaswari dihentikan penyidikannya atas dugaan tindak
pidana penganiayaan menggunakan senjata tajam yang mengakibatkan korban mengalami luka-luka (Pasal 351 ayat (2) KUHP)) akibat mengalami gangguan jiwa berupa
Skizofrenia Paranoid. Berdasarkan
kesimpulan hasil Visum Et Repertum Psychiatricum Nomor : 441.3/08475/RS.ERBA.06/2021 yang dikeluarkan
oleh Rumah Sakit Ernaldi Bahar Paalembang
tertanggal 3 Mei 2021 dengan
tim pemeriksa yaitu dr. Abdullah Sahab, S.p. KJ
MARS. (dokter spesialis kedo kteran jiwa),
Juniar Diwi Astuti, M.Psi. (Psikolog
RS Ernaldi Bahar), dan Ns.
Sri Sundari, S. Kep. (Perawat
RS Ernaldi Bahar), terperiksa (tersangka) mengalami gangguan jiwa berat berupa
Skizofrenia Paranoid yaitu
tidak mampu memaksudkan tujuan tindakannya secara sadar dan terperiksa tidak mampu mengarahkan
kemampuan dan perbuatannya saat melakukan peristiwa dugaan tindak pidana tersebut.
Atas dasar kesimpulan hasil visum diatas serta
ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, Kepala Polsek Mesuji Makmur menerbitkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor : SPPP/01/IV/2021/Sumsel/Re
Oki/Sek. Mesuji Makmur tertanggal 7 Mei 2021 dan
Surat Ketetapan Nomor : SK/01/IV/2021/Res Oki/Sek. Mesuji Makmur tentang Penghentian Penyidikan tertanggal 7 Mei 2021,
terhadap Laporan Polisi Nomor Polisi : LP/B-05/III/2021/Sumsel/Res Oki/sek. Mesuji Makmur
tertanggal 18 Maret 2021 tentang Tindak Pidana Penganiayaan.
Pada tanggal
10 Mei 2021, Kepala Polsek
Mesuji Makmur menerbitkan Surat Pemberitahuan
Pemberhentian Penyidikan Nomor : SP3/01/IV/2021/Reskrim tertanggal 19 Mei 2021 yang ditujukan
kepada Kepala Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Jaksa Penuntut Umum melalui Nota Pendapat Nomor :
ND-01/I.6.12/Eoh.1/4/2021 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan
Negeri Ogan Komering Ilir yang pada pokoknya akan mengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor :
SPDP/03/IV/2021/Reskrim tertanggal
7 April 2021 atas nama tersangka Imam Safi�I bin Lukaswari kepada Penyidik Polsek Mesuji Makmur.
Dalam
contoh kasus konkrit berikutnya, seorang ODGJ atas nama Iwan bin Sioni dihentikan penyidikannya atas dugaan tindak
pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga))
terhadap anak kandungnya akibat mengalami gangguan jiwa berupa Skizofrenia Paranoid melalui P17 dalam
hal ini didasarkan
pada surat dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Nomor
: B-759/L.6.12/Eku.1/7/2021 perihal Permintaan Perkembangan Hasil Penyidikan terhadap tersangka tertanggal 5 Juli 2021.
Berdasarkan
kesimpulan hasil Visum Et Repertum Psychiatricum Nomor : 441.3/11336/RS.ERBA.06/2021 yang dikeluarkan
oleh Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang tertanggal 17 Juni 2021 dengan tim pemeriksa
diantaranya adalah dr. RA Mulya Liansari, S.p. KJ. (psikiater) dan Ilwan Mulyawan, M.Psi. (Psikolog),
terperiksa (tersangka) mengalami gangguan jiwa berat berupa
Skizofrenia Paranoid dengan
diagnosis lain berupa gangguan
mental organic karena trauma kepala.
Terdapat gejala berupa gangguan pengendalian emosi dan gangguan persepsi yang mempengarushi terperiksa dalam berhubungan dengan lingkungannya di dunia nyata.
Pengaturan Tanggung
Jawab Negara Pasca Pemidanaan
Orang Dengan Gangguan Jiwa
Berdasarkan
ketentuan 44 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, menunjukkan bahwa apakah perbuatan
itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena pelakunya mengalami gangguan jiwa merupakan wewenang hakim saat memeriksa dan memutus perkaranya. Akan tetapi, tentu hakim menentukannya dengan berdasar pada bukti-bukti yang ada yang menerangkan pelaku memang benar memiliki
gangguan jiwa sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal serupa
juga dijelaskan oleh R. Soesilo, bahwa dalam praktiknya
jika polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia
tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah
yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya
terdakwa dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya itu, meskipun ia
dapat pula meminta nasihat dari dokter
penyakit jiwa (Puspitasari, 2016).
Pada praktiknya di persidangan,
untuk membuktikan seseorang mengalami gangguan kejiwaan, dihadirkan saksi ahli terkait masalah
tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 120 ayat (1) KUHAP yang menyatakan : "Dalam hal
penyidik menganggap perlu, is dapat meminta pendapat orang ahli yang memiliki keahlian khusus".
Pembuktian
juga tidak berasal dari ahli yang dihadirkan di persidangan, akan tetapi melalui
keterangan dari rumah sakit (Trisnadi, 2013). Hal
ini dapat ditemukan dalam kasus seorang terdakwa
yang melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap hewan sapi di Makassar, sebagaimana diputus berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005.
Di dalam perkara ini, Hakim Mahkamah Agung mendapatkan informasi mengenai status kejiwaan terdakwa berdasarkan Surat dari Rumah Sakit
Jiwa Dadi Makassar yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang kurang waras (kurang mampu
berpikir secara baik), bukan berasal
dari keterangan ahli kejiwaan di persidangan. Berdasarkan pertimbangan itu, terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tetapi
oleh karena terdakwa adalah orang kurang waras berdasarkan Surat dari Rumah Sakit
tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 44 KUHP, terdakwa tidak dapat dijatuhi
pidana dan dilepas dari tuntutan hukum.
Selain itu, majelis hakim dapat juga memberikan kesempatan kepada jaksa untuk
menghadirkan ahli psikologi forensik untuk didengar keterangannya mengenai status kejiwaan terdakwa (Siregar, 2017).
Ketidakwenangan penyidik kepolisian untuk melepaskan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan juga dapat dilihat dari
kewenangan yang dimiliki
oleh penyidik dalam menghentikan penyidikan. Mengenai penyidik salah satunya adalah polisi, dapat dilihat
dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi:
�Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.�
Penyidik dalam hal
ini adalah kepolisian tidaklah berwenang menentukan kejiwaan seorang pelaku tindak pidana
kemudian melepaskannya begitu saja. Hal ini berkaitan dengan
tugas tugas penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
KUHAP yaitu:
1. menerima laporan atau pengaduan
dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. mengadakan penghentian penyidikan;
10.� mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Terkait tugas penyidik
mengadakan penghentian penyidikan, harus dilihat kembali apa saja syarat
untuk dilakukannya penghentian penyidikan sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP:
a. �� tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk
menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk
membuktikan kesalahan tersangka;
b. � peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana; atau
c. �� penyidikan dihentikan demi hukum.
Ketiga alasan diatas
dapat dipakai apabila ada alasan-alasan
hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara
lain karena ne bis in idem, tersangka
meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.
Dari
beberapa hal di atas soal penghentian
penyidikan dapat kita ketahui bahwa
penghentian penyidikan tidak dilakukan dalam hal pelaku
tindak pidana ternyata mengalami gangguan kejiwaan. Dengan demikian, hal tersebut semakin
menegaskan bahwa penyidik kepolisian tidak berwenang melepaskan pelaku tindak pidana yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, hakimlah yang berwenang untuk menentukan apakah pelaku mengalami
gangguan kejiwaan berdasarkan bukti yang ada melalui pemeriksaan
di pengadilan.
Menurut
ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHP, jika nyata perbuatan itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya
sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah
akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan terdakwa ke rumah sakit
jiwa selama-lamanya satu tahun untuk
diperiksa. Namun pada praktiknya, pada
umumnya hakim akan menjatuhkan putusan berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan tuntutan
yang melekat didalamnya. Bagi ODGJ, maka kembali pada umumnya hakim akan memutus terdakwa
tidak dapat dijatuhi pidana dan dilepas dari tuntutan
hukum didasarkan pada fakta bahwa pelaku
menderita gangguan jiwa. Permasalahannya adalah, bagi terdakwa
ODGJ kemudian dilepas dan dikembalikan kepada keluarganya, tetapi tidak semua ODGJ memiliki keluarga baik karena ODGJ selama ini memang
terlantar sendirian, ketiadaan informasi dimana keluarga ODGJ tersebut, dan keluarga sendiri tidak mengetahui
dimana keberadaan anggota keluarganya tersebut. Akhirnya, baik dengan atau
tanpa keluarganya, ODGJ dilepas tetap dengan
potensi menimbulkan ketidaktentraman dan tindk pidana serupa atau
lainnya di tengah-tengah masyarakat, termasuk potensi dipasungnya ODGJ oleh keluarganya atau masyarakat pasca peradilan.
Atas hak asasi dan perlindungan hukum yang sama dan setara dengan orang dengan akal sempurna,
harapannya adalah ODGJ pasca peradilan memperoleh hak-hak asasi khususnya perawatan dan perlindungan dari negara di rumah sakit jiwa. Tetapi
tidak demikian, karena negara sendiri tidak dapat bertindak
karena ketiadaan pengaturan. Hal demikian, bahwa hakim akan memutus hanya sebatas
terdakwa ODGJ tidak dapat dijatuhi pidana dan dilepas dari tuntutan hukum.
Artinya, tidak terdapat putusan perihal tindakan bagi ODGJ tersebut agar dapat dilindungi dan dirawat. Sejalan dengan itu pula, dalam KUHP mengatur bahwa pidana dibedakan
menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP yang menyatakan bawah pidana terdiri
atas :
1. pidana pokok yaitu:
a. pidana mati,
b. pidana penjara,
c. pidana kurungan,
d. pidana denda,
e. pidana tutupan.
2. pidana tambahan yaitu:
a. pencabutan beberapa hak tertentu,
b. perampasan barang yang tertentu,
c. pengumuman putusan hakim.
Berdasarkan
ketentuan diatas maka jelas negara secara normatif tidak mengakomodasi pidana tindakan bagi ODGJ demi perlindungan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.
Sejalan
dengan kondisi diatas, menurut S.R. Sianturi,
walaupun pada Pasal 10 Reglemen tentang orang gila Stb 97/54, 4 Februari 1897 di Indonesia diatur
ada kewenangan keluarga dekat dari seorang gila
untuk memohon kepada Ketua Pengadilan
Negeri agar orang gila itu dirawat di lembaga perawatan orang gila demi ketentraman dan ketertiban umum atau demi penyembuhan orang gila itu sendiri, namun
dalam praktiknya sulit dapat diharapkan
kemampuan pemerintah untuk merawat semua
orang gila (Khadafi,
2017).
Dimasa
mendatang, negara perlu bertanggung jawab seutuhnya terhadap ODGJ pasca pemidanaan, melalui pengaturan pidana tindakan bagi ODGJ. Sanksi tindakan selama ini hanya berlaku
bagi Anak Yang Menjadi pelaku Tindak Pidana
(Anak) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana
Anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan dan Pidana. Sanksi tindakan diatur dalam ketentuan Pasal 69 juncto Pasal 82 UU SPPA yang
masing-masing menyatakan :
Pasal 69 UU SPPA :
� (1)
��� Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai
tindakan berdasarkan ketentuan dalam UndangUndang ini.
(2)
��� Anak yang belum
berusia 14 (empat belas) tahun hanya
dapat dikenai tindakan.�
Pasal 82 UU SPPA :
� (1)
��� Tindakan yang dapat
dikenakan kepada Anak meliputi:
a.
����� pengembalian
kepada orang tua/Wali;
b.
����� penyerahan
kepada seseorang;
c.
����� perawatan
di rumah sakit jiwa;
d.
����� perawatan
di LPKS;
e.
����� kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f.
����� pencabutan
surat izin mengemudi; dan/atau
g.
����� perbaikan akibat tindak pidana.
(2)
��� Tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun.
(3)
��� Tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam
dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.
(4)
��� Ketentuan lebih lanjut mengenai
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.�
Pengaturan
penjatuhan pidana tindakan bagi Anak sebagaimana ketentuan Pasal 69 juncto Pasal
82 UU SPPA diatas apabila dianalogikan dapat diterapkan pada pengaturan pengaturan pidana tindakan bagi ODGJ. Secara konsep dapat
diatur bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang
dapat dipertanggungjawabkan
karena menderita ganguan jiwa, penyakit
jiwa, atau retardasi mental, tidak dipidana, tetapi dapat diberikan tindakan. Tindakan tersebut dapat berupa perawatan
di lembaga rehabilitasi medis, atau sosial,
baik milik pemerintah maupun swasta, yang mana pula harus melalui putusan hakim. Oleh karena itu, demi hak-hak asasi ODGJ untuk dilidungi perkembangan fisik dan mentalnya, serta agar ia kembali diterima
di tengah-tengah masyarakat
pasca pemidanaan, maka negara perlu bertanggung jawab dengan terlebih dahulu mengakomodasi sanksi tindakan bagi pelaku tindak
pidana yang terbukti merupakan ODGJ oleh saksi ahli atau surat
keterangan dari rumah sakit, melalui
pengaturan dalam bentuk norma atau
peraturan perundang-undangan.
Norma yang dimaksud dapat berupa judicial
review KUHP terkait subjek
tindak pidana perseorangan yang merupakan ODGJ
dan sanksi pidana tindakan bagi ODGJ.
Kesimpulan
Hak asasi bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang melakukan tindak pidana sama halnya
dengan manusia yang akalnya sempurna sebagai warga negara, sedangkan secara sosiologis apabila melakukan atau tidak melakukan tindak pidana, ODGJ kerap mengalami pengurungan atau pemasungan oleh keluarganya. Perbuaan tersebut bertentangan dengan hak asasi ODGJ yaitu hak untuk
bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabatnya, hak diakui pribadi dihadapan hukum, hak atas hidup
sejahtera lahir batin, hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak memperoleh perawatan, hak atas bantuan khusus
atas biaya negara. Perlindungan hukum bagi ODGJ yang melakukan tindak pidana secara
normatif adalah baginya tidak dipidana
atas alasan pemaaf karena tidak
dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Pengaturan
tanggung jawab negara pasca pemidanaan ODGJ tidak tercantum khususnya pada KUHP, karena pada praktiknya putusan hakim hanya terbatas kepada amar bahwa
terdakwa ODGJ tidak dijatuhi pidana karena tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya
dan lepas dari segala tuntutan atas alasan pemaaf
termasuk terbatas hanya kepada apa
yang dituntut Jaksa Penuntut Umum. Disisi lain ODGJ membutuhkan tindakan perawatan pasca pemidanaan yang diakomodir oleh negara melalui norma agar tidak kembali menimbulkan ketidaktentraman dan tindak pidana lainnya di tengah-tengah masyarakat, tetapi norma hanya
mengenal pidana pokok dan pidana tambahan bagi pelaku
dewasa dengan akal sempurna dan pidana tindakan bagi pelaku Anak. Oleh karena itu, dalam
pengaturannya kedepan, KUHP
perlu direformulasi terkait subjek pelaku tindak pidana
perseorangan yang menderita
gangguan jiwa dan sanksi tindakan bagi ODGJ, karena melalui sanksi tindakan hakim dapat memutus pula terdakwa ODGJ untuk dirawat di lembaga rehabilitasi medis, atau sosial,
baik milik pemerintah maupun swasta dalam jangka
waktu tertentu atau selama-lamanya.
BIBLIOGRAFI
Alfiatin, S., & Firmansyah, H. (2021). Keadilan Hukum
Dalam Mempertimbangkan Post Traumatic Syndrome Disorder Pada Penjatuhan Pidana
Dalam Pengadilan Tinggi Nomor 9/Pid. SusAnak//2020/PT DKI. Jurnal Hukum
Adigama, 4(2), 336�357.
Ananda, K. R. (2021). Peran Dinas Sosial Kota Bima Dalam
Penanganan Masalah Pemasungan Terhadap Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Universitas_Muhammadiyah_Mataram.
Buana, M. S., Hadin, A. F., & Firdaus, A. (2019). Analisis
dan Evaluasi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa
bedasarkan nilai-nilai pancasila.
Depkes RI. (2018). InfoDatin Tuberculosis 2018. Kementerian
Kesehatan RI.
Esem, O. (2019). Perlindungan Hak Atas Pelayanan Kesehatan
Bagi Orang dengan Gangguan Jiwa di Daerah Istimewa YOGYAKARTA Berdasarkan
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. CHMK Health
Journal, 3(2), 40�50.
Firdaus, F. (2016). Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi
Penyandang Skizofrenia di Daerah Istimewa Yogyakarta (rights fulfillment on
health of people with Schizophrenia in special region of Yogyakarta). Jurnal
Ilmiah Kebijakan Hukum, 10(1), 87�103.
Irfani, K., & Arif, L. (2022). Strategi Membangun Kepercayaan
Publik Dalam Penanganan Covid-19 di Kota Surabaya. Jurnal Ilmiah Manajemen
Publik Dan Kebijakan Sosial, 6(1), 69�86.
Khadafi, A. (2017). Kebijakan Hukum Pidana Terhadap
Pemasungan Orang Yang Menderita Skizofrenia di Indonesia. Jurnal Hukum
Samudra Keadilan, 12(1), 44�61.
Lesmana, B. (2019). Penerapan Aspek Rasionalitas Dalam Pemilu
2019 (Studi Terhadap Tingkat Partisipasi Politik ODGJ di Kabupaten Hulu Sungai
Utara). Al�iidara Balad, 1(1), 1�43.
Lestari, N. R. (2022). Gambaran Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) dan Kesehatan Mental di Indonesia. Bahaya Dan Paradigma Tindakan
Pasung, 37.
Maramis, F. (2013). Hukum pidana: umum dan tertulis di
Indonesia.
Ohoiwutun, Y. A. T., Nugroho, F. M., Samosir, S. S. M., &
Setiyoargo, A. (2019). Fungsionalisasi Pasal 44 Kuhp Dalam Penyidikan Tindak
Pidana Pembunuhan (Suatu Re-Orientasi & Re-Evaluasi Menuju Reformulasi). Veritas
et Justitia, 5(2), 352�373.
Puspitasari, I. A. I. (2016). Pertanggungjawaban Pelaku
Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Mutilasi Yang Mengidap Gangguan Jiwa
Skizofrenia (Studi Putusan No 144/PID. B/2014/PN. CJ). Jurnal Hukum Pidana
Dan Penanggulangan Kejahatan, 5(3), 369�387.
Rachman, P. A. (2022). Mental Baik Saat Pandemi. Jejak
Pemikiran Pemuda Indonesia Tentang Kesehatan Mental Dan Covid-19, 54.
Ramadhan, G. (2020). Child Grooming Melalui Aplikasi
Online Sebagai Tindak Pidana.
Rokhmantono, R. (2018). Kondisi Kejiwaan Sakit Berubah Akal
Pelaku Tindak Pidana Sebagai Alasan Penghentian Penyidikan (Studi Kasus di
Polres Brebes). Jurnal Idea Hukum, 4(1).
Rubini, R. (2019). Internalisasi Revolusi Mental Dalam
Pendidikan Islam. AL-MANAR: Jurnal Komunikasi Dan Pendidikan Islam, 8(2),
210�229.
Siregar, Y. M. (2017). Analisis Efektivitas Penerimaan
Pajak Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Padang
Sidempuan.
Trisnadi, S. (2013). Scope of Visum Et Repertum as a Legal
Mean of Proof in Crime Related to Human Body in Rumah Sakit Bhayangkara
Semarang. Sains Medika: Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 5(2),
121�127.
Umar, M. N., & Zias, Z. (2017). Studi Hukum Pidana Islam
dan Hukum Pidana Positif tentang Sanksi Pidana bagi Pelaku Pembantu Tindak
Pidana Pembunuhan. Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana Dan Politik Hukum, 6(1),
128�155.
Wicaksono, M. A. S., & SUSILOWATI, I. F. (2019).
Perlindungan Hukum Hak Penyandang Gangguan Jiwa yang Menggelandang di Kabupaten
Jombang. NOVUM: Jurnal Hukum, 6(1).
Zainal, A. Z., Ikhsan, M., & Danial, D. (2017). Stigma
terhadap Perempuan Sebab Sepotong Kain: Studi Kasus Mahasiswi Bercadar di IAIN
Kendari.
Copyright holder: Willy Andrian,
Elfrida Ratnawati
(2023) |
First publication
right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |