Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
TELEREHABILITASI PADA PENDERITA SINDROMA PASKA COVID-19
Fitri Dwi
Anggraini1, Yaslis Ilyas2
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Para penyintas COVID-19 dapat mengalami gejala sisa COVID-19 yang dikenal sebagai Sindroma Paska COVID-19. Namun, kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia menjadi salah satu kendala bagi mereka untuk berobat ke rumah sakit, sehingga dibutuhkan solusi untuk permasalahan ini, salah satunya dengan program Telerehabilitasi. Artikel ini bertujuan sebagai pembelajaran dan pengembangan program Telerehabilitasi untuk kasus Sindroma Paska COVID-19 di Indonesia. Tinjauan sistematis dilakukan dengan menggunakan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Review (and Meta-Analyses)/PRIS(MA). Literatur dicari melalui Pubmed, Proquest, dan Google Scholar, serta terbatas sejak tahun 2019 sampai 2021. Ditemukan 6 artikel yang kemudian dianalisis, terdiri dari 2 studi serial kasus, 1 studi laporan kasus, 1 Randomized Clinical Trial/RCT, dan 2 literatur abu-abu. Pada beberapa negara, Telerehabilitasi telah terbukti dapat menjadi solusi untuk penanganan kasus Sindroma Paska COVID-19.
Kata kunci: Digital Rehabilitasi, Penyintas COVID-19, Rumah sakit, Sindroma Paska COVID-19, Telerehabilitasi.
Abstract
The COVID-19 survivors could experience the sequelae of COVID-19, known
as Post COVID-19 Syndrome. However, the condition of the COVID-19 pandemic in
Indonesia was an obstacle for them to go to the hospital, so that solution for
this problem was needed, such as the Telerehabilitation program. This article
aimed to learn and develop the Telerehabilitation program for Post COVID-19
Syndrome cases in Indonesia. �The
systematic review was conducted using Preferred Reporting Items for Systematic
Reviews (and Meta-Analyses)/PRIS(MA) guidelines. The
literature was searched through Pubmed, Proquest, and Google Scholar, and
limited from 2019 until 2021. There were 6 articles which were then analyzed,
consisting of 2 case series studies, 1 case report study, 1 Randomized Clinical
Trial/RCT, and 2 gray literatures. In several countries, Telerehabilitation had
proven to be a solution for handling cases of Post COVID-19 Syndrome.
Keywords:
Digital Rehabilitation, COVID-19 Survivors, Hospital, Post COVID-19 Syndrome, Telerehabilitation.
Pendahuluan
Penyakit Coronavirus (Coronavirus Disease 2019/COVID-19) terus memberikan dampak buruk bagi kehidupan manusia, terutama dari aspek kesehatan. Masalah yang ditimbulkan dari COVID-19 tidak berhenti pada masa akut penyakit tersebut saja. Setelah guncangan pertama pada perawatan masa akut pasien COVID-19, kini fasilitas pelayanan kesehatan dihadapkan pada peningkatan proporsi pasien sembuh dari COVID-19 dengan segala dampaknya, baik secara fisik maupun mental. (Carda et al., 2020) Para pasien yang telah sembuh dari COVID-19, disebut sebagai penyintas COVID-19, masih dapat mengalami gejala sisa yang berhubungan dengan pernapasan, kardiovaskular, neurologis, metabolik, dan psikososial. (Xiong et al., 2021) Gejala sisa tersebut dikenal sebagai Sindroma Paska COVID-19, dimana hal ini merupakan kumpulan dari gejala yang didapatkan pada individu yang telah sembuh dari COVID-19 yang berlangsung 3 bulan paska sembuh. (Go�rtz et al., 2020) Gejala dapat berupa gejala ringan hingga berat, bahkan bisa sampai menyebabkan kematian. Hal ini memerlukan perhatian dan respon cepat dari segala pihak, termasuk pemberi pelayanan kesehatan, salah satunya rumah sakit (Carda et al., 2020).
Pada penyintas COVID-19 yang sebelumnya mengalami gejala ringan dan sedang, mereka dapat pulih sepenuhnya tanpa dampak jangka panjang. (Carda et al., 2020) Namun, pada penyintas COVID-19 yang sebelumnya mengalami gejala berat ataupun kritis, gejala sisa dapat bertahan lebih lama. Apa yang terjadi setelah fase akut COVID-19 bergantung pada perluasan dan tingkat keparahan serangan virus SARS-CoV-2 pada jenis sel dan organ yang berbeda. (Landi et al., 2020) Hal ini pun dapat menimbulkan dampak jangka panjang. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, pada penyintas COVID-19 yang sebelumnya dirawat di ruang Intensive Care Unit/ICU di beberapa negara di Eropa dan Amerika Utara, diketahui bahwa terdapat konsekuensi jangka panjang yang disebut sebagai Post Intensive Care Syndrome/PICS, antara lain berupa gejala sisa pada sistem pernapasan, gejala sisa pada sistem saraf, deconditioning syndrome, miopati dan neuropati terkait penyakit kritis, gangguan menelan, kekakuan dan nyeri sendi, serta masalah kejiwaan. (Carda et al., 2020) (Agostini et al., 2021)
Meskipun COVID-19 adalah penyakit menular yang pada dasarnya menyerang paru, namun penyakit ini memiliki dampak yang melibatkan banyak organ. (Landi et al., 2020) Oleh sebab itu, dalam rangka pemulihan kondisi para penyintas COVID-19 ini, maka diperlukan penanganan yang baik dan tepat. Pemulihan ini harus mencakup seluruh aspek kesehatan, baik dari fisik, mental, sosial, maupun spiritual, sehingga diperlukan penanganan multidisiplin. Namun, sampai dengan saat ini rumah sakit di Indonesia masih banyak yang berfokus pada upaya kuratif. Sedangkan, gejala dari Sindroma Paska COVID-19 ini dapat bertahan lama, sehingga diperlukan upaya rehabilitatif untuk menangani efek jangka panjang COVID-19. Program rehabilitasi pada pasien dengan gejala ringan setelah keluar dari perawatan di rumah sakit memiliki tujuan utama memulihkan kinerja fisik dan adaptasi psikologis. Hal ini dapat dilakukan melalui latihan aerobik secara bertahap untuk memulihkan keterampilan motorik pasien dan meningkatkan reintegrasi sosial. Sedangkan, untuk pasien berat dan kritis yang telah keluar dari perawatan di rumah sakit dapat dilakukan rehabilitasi pernapasan yang terdiri dari latihan aerobik, keseimbangan, resistensi dan pelatihan pernapasan. (Agostini et al., 2021) Namun, kondisi pandemi COVID-19 yang belum tuntas tertangani, menjadi permasalahan bagi para penderita Sindroma Paska COVID-19 untuk datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit. Peningkatan kasus COVID-19 dan munculnya varian baru dari COVID-19 membuat masyarakat khawatir untuk berobat langsung ke rumah sakit. Mereka khawatir akan terpapar COVID-19 kembali. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi untuk mempermudah akses pasien yang mengalami Sindroma Paska COVID-19 ini untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai, salah satunya adalah dengan menyelenggarakan program Telerehabilitasi. Telerehabilitasi adalah salah satu jenis dari Telemedicine, dimana Telemedicine adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat. (Kemenkes, 2019) Telemedicine dapat dilakukan dalam bentuk daring (online) baik tulisan, suara, maupun video secara langsung untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. (Putri, 2020) Sedangkan, Telerehabilitasi itu sendiri adalah penyediaan layanan rehabilitasi menggunakan teknologi komunikasi elektronik. (Ghodge et al., 2020) Media elektronik yang digunakan seperti handphone, laptop, dan lainnya. Sebagai bagian dari Telemedicine, Telerehabilitasi adalah teknologi baru yang menggunakan sarana elektronik dalam melakukan evaluasi jarak jauh, konsultasi, terapi, dan pemantauan untuk memberikan rehabilitasi pasien di berbagai lokasi, seperti rumah, komunitas, fasilitas kesehatan terdekat, dan tempat kerja. (Leochico et al., 2020) Sehingga, pasien lebih mudah mendapatkan pelayanan kesehatan dimanapun mereka berada. Telerehabilitasi dapat disediakan dalam berbagai cara, antara lain kunjungan dua arah secara real-time (dengan audio, video, atau keduanya), asynchronous e-visits, virtual check-ins, evaluasi jarak jauh dari rekaman video atau gambar, serta dengan penilaian melalui telepon (Tsutsui, Gerayeli and Sin, 2021).
Walaupun Telerehabilitasi dapat mempermudah pasien dengan Sindroma Paska COVID-19 untuk mendapatkan pelayanan yang mereka butuhkan dari rumah sakit, namun masih belum banyak rumah sakit di Indonesia yang menyelenggarakan layanan Telerehabilitasi ini. Kondisi ini sangatlah berbeda apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dalam artikel ini akan ditinjau secara sistematis artikel-artikel terdahulu mengenai pelayanan Telerehabilitasi pada penderita Sindroma Paska COVID-19. Diharapkan artikel ini dapat menjadi sarana pembelajaran dunia kesehatan di Indonesia dalam memberikan dan mengembangkan layanan Telerehabilitasi di rumah sakit pada penderita Sindroma Paska COVID-19.
Metode
Artikel ini merupakan suatu tinjauan
sistematis. Pencarian
literatur dilakukan sesuai dengan prinsip yang direkomendasikan, yaitu dengan
pedoman PRIS(MA) atau Preferred Reporting Items for
Systematic Reviews (and Meta-Analyses) guidelines. Diawali
dengan pencarian literatur secara sistematis yang dilakukan menggunakan
database seperti Pubmed, ProQuest, dan Google Scholar.
Penelusuran tersebut mencakup semua istilah yang terkait
dengan Telerehabilitasi, Penyintas COVID-19, Sindroma Paska COVID-19, dan rumah
sakit. Kata kunci dan sinonim yang digunakan untuk penelusuran terkait
dengan Telerehabilitasi antara lain "Telerehabilitation�, �Tele-rehabilitation�,
�e-rehabilitation�, Digital rehabilitation�, �Telehealth�, �Telemedicine�, dan
�Digital health�. Terkait dengan Sindroma Paska-COVID-19 antara lain �Post COVID-19 syndrome�, �Survivor
COVID-19�, �Long COVID syndrome�, dan �Long SARS-CoV-2
syndrome�. Serta, terkait dengan rumah sakit termasuk
kata kunci seperti �Hospital� dan �Outpatient clinic�.
Setelah dilakukan penelusuran artikel, artikel duplikasi akan
dihapus. Setelah itu, artikel yang berpotensi akan
diskrining melalui judul dan abstrak untuk mencari sumber yang relevan. Teks lengkap dari artikel yang sesuai kemudian diulas berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian, pada artikel yang sudah diulas akan diperiksa menggunakan ceklis penilaian kritis (critical
appraisal). Artikel yang sesuai kemudian dianalisis.
Kriteria inklusi pada artikel ini ditentukan menggunakan Population,
Intervention, Comparison, Outcome, Study Design/PICOS guidelines (Tabel
1), serta artikel yang diambil merupakan artikel berbahasa Indonesia atau Inggris
sejak tahun 2019 hingga tahun 2021. Berkenaan dengan
populasi (population), penulis memasukkan studi yang melibatkan
penyintas COVID-19 dengan Sindroma Paska COVID-19. Terkait intervensi (intervention),
penulis memasukkan studi yang melibatkan program Telerehabilitasi. Mengenai perbandingan (comparison), penulis memasukkan
Telerehabilitasi dengan Rehabilitasi tatap muka (baik datang ke rumah
sakit maupun kunjungan ke rumah pasien). Terkait
dengan hasil (outcome), penulis memasukkan studi yang melibatkan tingkat
mortalitas, rehospitalisasi, dan kualitas hidup. Serta,
berkenaan dengan desain studi (study design) penulis memasukkan seluruh
desain studi. Sedangkan, kriteria eksklusi pada artikel ini antara lain
tinjauan pustaka dan protokol Telerehabilitasi pada pasien non penyintas
COVID-19, serta artikel ataupun manuskrip yang tidak dapat diakses atau hanya
berupa abstrak.
Tabel 1.
Metode PICOS
No. |
PICOS |
Keterangan |
1. |
Population |
Penyintas COVID-19 dengan Sindroma Paska-COVID-19. |
2. |
Intervention |
Telerehabilitasi. |
3. |
Comparison |
Rehabilitasi tatap muka. |
4. |
Outcome |
Tingkat mortalitas, rehospitalisasi, kualitas hidup. |
5. |
Study
design |
Seluruh
studi, |
(Keterangan
tabel: PICOS adalah Population, Intervention, Comparison, Outcome, Study
Design guidelines)
Hasil dan
Pembahasan
Gambar 1. Bagan PRIS(MA)
(Keterangan
gambar: PRIS(MA) adalah Preferred Reporting Items
for Systematic Reviews (and Meta-Analyses) guidelines)
Pada awal pencarian sesuai dengan kata
kunci dan sinonim yang telah ditentukan, didapatkan sebanyak 53 artikel. Kemudian setelah
dilakukan seleksi duplikasi, didapatkan hasil sebanyak 51 artikel. Lalu, dilakukan skrining sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi, serta dengan menganalisis kesimpulan dari tiap-tiap artikel, sehingga
didapatkan 9 artikel yang sesuai. Dari 9 artikel
tersebut, dilakukan critical appraisal dan didapatkan 6 artikel yang
dapat dimasukkan dalam tinjauan sistematis ini. Keenam
artikel ini kemudian dianalisis.
Pada suatu artikel yang membahas mengenai suatu studi serial kasus (case
series) yang dilakukan oleh Siddhi Ghodge, dkk pada tahun 2020 di Mumbai, India yang
bertujuan untuk melihat efek Telerehabilitasi Paru (Pulmonary
Telerehabilitation) pada kapasitas fungsional penyintas COVID-19, diketahui
bahwa sebanyak 10 peserta (8 laki-laki, 2 perempuan) yang dipilih dalam
penelitian ini, berdasarkan kriteria inklusi penyintas COVID-19 dengan gangguan
sistem pernapasan, menjalani minimal 6 minggu Telerehabilitasi Paru (setidaknya
3 hari per minggu). Telerehabilitasi Paru diberikan dalam
bentuk latihan pernapasan, spirometer insentif, variasi aerobik dan latihan
penguatan, serta edukasi pasien. Pra dan paska 6 minggu menjalani
Telerehabilitasi akan dicatat hasil dalam ukuran Visual Analogue Scale/VAS
untuk fatigue, pulse oximeter untuk menilai saturasi O2, single
breath count, tes satu menit duduk ke berdiri, serta tes satu menit
jongkok. Perbandingan antara pra dan paska Telerehabilitasi menunjukkan
perubahan yang signifikan secara statistik dalam satu menit tes duduk-berdiri
(p=0,005), satu menit tes jongkok (p=0,007), saturasi O2 saat istirahat
(p=0,025), saturasi O2 setelah latihan (p=0,003), serta VAS paska latihan untuk
fatigue (p=0,017). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik
pada tes hitungan napas tunggal (p= 0,415). Selain itu,
terdapat perubahan yang signifikan secara klinis dengan ukuran efek yang besar
pada istirahat (resting), saturasi O2 paska latihan, dan VAS untuk fatigue. Dari studi ini diketahui bahwa
Telerehabilitasi, terutama Telerehabilitasi Paru, menunjukkan peningkatan yang
signifikan secara statistik dan klinis dalam perbaikan kapasitas fungsional
penyintas COVID-19 (Ghodge et al., 2020).
Pada artikel lain diketahui
bahwa telah dilakukan suatu studi
serial kasus di Sydney, Australia oleh Sally L. Wootton, dkk pada tahun
2020, yang bertujuan untuk membahas
mengenai program Telehealth Rehabilitasi COVID-19, yang disampaikan dengan
pengaturan Pulmonary Rehabilitation/PR, dan didiskusikan pengelolaannya
pada tiga kasus yang ada. Semua peserta pada penelitian ini berjenis
kelamin laki-laki, dengan usia rata-rata 73 tahun. Peserta adalah pasien yang telah keluar dari rumah sakit, namun
dengan keterbatasan dan/atau gejala yang persisten (misalnya sesak napas,
kelelahan, dan penurunan kapasitas latihan) membutuhkan rehabilitasi berbasis
masyarakat. Pasien dinilai dan diberikan program
rehabilitasi selama enam minggu awal melalui Telehealth. Dari studi ini diketahui bahwa dokter
Rehabilitasi Paru dapat dipersiapkan dengan baik dan mampu memberikan program
rehabilitasi individual untuk penyintas COVID-19 dengan menggunakan Telehealth (Wootton et al., 2020).
Selain itu, pada tahun 2020
Monica Pinto, dkk membuat suatu artikel proposal mengenai Post-Acute COVID-19 Rehabilitation
Network, yang bertujuan
untuk menyajikan proposal berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola klinis,
manajemen kesehatan dan sistem Informasi Teknologi/IT, serta untuk menanggapi
kebutuhan akan struktur model organisasi untuk rehabilitasi Paska Akut
COVID-19. Dalam proposal tersebut, disajikan model
organisasi berbasis regional dari koneksi dokter dan manajer layanan kesehatan
yang menggunakan platform IT khusus untuk mencapai tujuan efektivitas
dan efisiensi, serta untuk memastikan koordinasi sumber daya yang tersedia dan
pengobatan rehabilitatif yang paling tepat untuk pasien. Usulan koneksi
rehabilitasi untuk pasien paska akut COVID-19 telah dirancang sesuai dengan
model proyek manajemen klinis dalam sistem perawatan kesehatan nasional di
Italia, dan konteksnya adalah model yang mudah disesuaikan untuk sistem
kesehatan di Eropa. Dalam
proposal ini diketahui bahwa proyek ini dapat memiliki dampak perawatan
kesehatan yang signifikan, yang memastikan manajemen dari kebutuhan
rehabilitasi pada pasien paska akut COVID-19 yang lebih efisien dan efektif
dengan menggunakan IT, memperluas keterampilan profesional anggota tim
rehabilitasi, serta meningkatkan data klinis dan proses, di samping alokasi
optimal sumber daya ekonomi yang tersedia (Pinto et al., 2020).
Pada tahun 2021, Fanuel
Meckson Bickton, dkk membuat suatu
laporan kasus di Malawi yang membahas mengenai penentuan program rehabilitasi
untuk pasien Paska Akut COVID-19, berdasarkan pada algoritma Rehabilitasi Paru
yang ada untuk penyakit pernapasan kronis. Pada laporan kasus ini,
program Telerehabilitasi paru selama 3 minggu berhasil diberikan kepada pasien
paska akut COVID-19 di Malawi. Untuk mengidentifikasi
kebutuhan rehabilitasi pasien, dilakukan asesmen awal melalui video call pada
hari kelima isolasi mandiri di rumah setelah pasien pulang dari Rumah sakit.
Yang dinilai adalah gangguan pernapasan yang dirasakan pasien
karena sesak nafas dengan menggunakan Medical Research Council/mMRC dyspnea
scale yang dimodifikasi, gangguan status kesehatan dengan menggunakan Chronic
Obstructive Pulmonary Disease Assessment Test/CAT, serta rasa kelelahan
dengan menggunakan Checklist Individual Strength fatigue
subscale/CIS-Fatigue. Secara total, program
Telerehabilitasi ini berjalan selama 3 minggu, mencapai total 9 sesi atau
lebih. Selama penilaian akhir, semua skor keparahan
pernapasan telah turun lebih banyak dari ambang batas mereka untuk signifikansi
klinis. Pada titik ini, pasien melaporkan tidak ada
keluhan lanjutan atau baru, serta mengatakan bahwa latihan ini sangat membantu.� Pasien sudah bisa berjalan lebih jauh, telah
kembali bekerja, dan selesai dari pemantauan untuk mempertahankan gaya hidupnya yang aktif secara fisik. Dari laporan kasus ini diketahui bahwa
Telerehabilitasi dapat dijadikan alternatif yang sesuai untuk intervensi
rehabilitasi tradisional dengan tatap muka. Pada kasus ini
diketahui bahwa improvisasi program Telerehabilitasi Paru untuk pasien Pasca
Akut COVID-19 mungkin layak dan dapat diterima. Selain membantu
mengurangi risiko penularan dan penggunaan alat pelindung diri,
Telerehabilitasi akan membuat penggunaan yang efisien dari kumpulan profesional
rehabilitasi yang jumlahnya sangat terbatas (Bickton et al., 2021).
Pada tahun 2021, Jose-Manuel
Pastora-Bernal, dkk melakukan suatu
penelitian Randomized Clinical Trial/RCT di Spanyol, yang bertujuan
untuk mengevaluasi efektivitas intervensi Telerehabilitasi pada pasien yang
didiagnosis dengan COVID-19 setelah keluar dari rumah sakit, serta untuk
mengidentifikasi kepuasan dan persepsi pasien dengan mengenai intervensi
Telerehabilitasi ini dan hambatan dalam pelaksanaannya. Penelitian ini
dilakukan dengan metode single blind multicenter randomized
clinical trial. Peserta adalah pasien di Andalucia (Spanyol bagian Selatan) dengan
diagnosis COVID-19 yang telah pulang dari perawatan di rumah sakit. Penelitian ini menggunakan
pedoman Quality Improvement and Excellence in Reporting/SQUIRE, dan
dilakukan sesuai dengan kriteria Consolidated Standards of reporting
Tools/CONSORT. Dari
penelitian ini diketahui bahwa penerapan program Telerehabilitasi pada pasien
dengan COVID-19 setelah keluar dari rumah sakit memungkinkan untuk dilakukan. Dengan mengidentifikasi sumber daya
kesehatan, dan biaya yang dialokasikan, akan memungkinkan munculnya kebijakan
intervensi baru pada kelompok pasien ini (Pastora-Bernal
et al., 2021).
Selain itu, pada tahu 2021
Jian�an Li, dkk juga melakukan
suatu penelitian RCT yang bertujuan untuk menyelidiki keunggulan program
Telerehabilitasi untuk COVID-19 (TERECO) dibandingkan tanpa rehabilitasi,
berkaitan dengan kapasitas latihan fungsional, kekuatan otot tungkai bawah,
fungsi paru, kualitas hidup terkait kesehatan, dan sesak nafas yang
dirasakan. Penelitian ini menggunakan metode parallel-group
randomised controlled-trial dengan 1:1 block-randomization. Penelitian ini dilakukan pada 3 rumah sakit besar di provinsi
Jiangsu dan Hubei, China. Peserta pada penelitian ini
sebanyak 120 orang penyintas COVID-19. Kemudian,
sebanyak 61 peserta dialokasikan untuk kelompok kontrol dan 59 peserta untuk
kelompok TERECO. Kelompok kontrol menerima instruksi.
Kelompok TERECO berpartisipasi dalam program Rehabilitasi
Paru berbasis rumah selama 6 minggu yang disampaikan melalui smartphone
dan dipantau dengan Telemetri detak jantung yang dikenakan di dada. Jenis latihan terdiri dari kontrol pernapasan dan ekspansi dada,
latihan aerobik, dan latihan kekuatan otot tungkai bawah. Dari 120
peserta yang diacak, 15 (12,5%) keluar pada akhir
penelitian. Tidak ada efek samping serius yang terjadi.
Sebanyak 38 peserta dalam kelompok TERECO mengikuti protokol latihan (64,41% dari acak). Perbedaan antar grup yang disesuaikan dalam
perubahan dalam 6-minute walking
distance/6MWD dari baseline adalah 65,45
meter (95% CI 43,8-87,1, p<0,001) pada paska perawatan dan 68,62 meter (95%
CI 46,39-90,85, p<0,001) pada pemantauan. Efek terapi untuk kekuatan otot tungkai bawah adalah
20,12 detik (95% CI 12,34-27,9, p<0,001) paska
perawatan dan 22,23 detik (95% CI 14,24-30,21, p<0,001) saat tindak lanjut.
Peningkatan SF-12 Physical
Component Score/SF-12 PCS lebih besar pada kelompok TERECO dengan
efek pengobatan diperkirakan 3,79 (95% CI 1,24-6,35,
p=0,004) pada paska perawatan dan 2,69 (95% CI 0,06-5,32, p=0,045) pada saat
pemantauan. Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok
yang ditemukan untuk perbaikan pada SF-12 Mental Component
Score/SF-12 MCS. Pada paska pengobatan, 90,4%
mendukung hasil yang menguntungkan untuk mMRC dyspnea pada kelompok
TERECO vs 61,7% pada kontrol (RR 1,46 disesuaikan, 1,17-1,82, p = 0,001). Penelitian ini
menunjukkan keunggulan TERECO dibandingkan tanpa rehabilitasi pada tes 6 menit
berjalan kaki (6-minute walking distance/6MWD), kekuatan otot tungkai
bawah (lower-limb muscle strength/LMS), dan kualitas hidup terkait
kesehatan yang diukur dengan SF-12 Physical Component Score/SF-12 PCS. Serta, tidak ditemukan adanya efek
persisten pada fungsi paru, kualitas hidup terkait kesehatan yang diukur dengan
SF-12 Mental Component Score/SF-12 MCS, dan sesak nafas (dyspnea) yang dirasakan (Li et al., 2021).
Dari seluruh artikel di atas,
dapat diketahui bahwa program Telerehabilitasi ini dapat membantu tidak hanya
pasien, tetapi juga klinisi dalam memberikan pelayanan rehabilitasi yang sesuai
bagi para penderita Sindroma Paska COVID-19 melalui media komunikasi berbasis
IT. Para penyelenggara pelayanan kesehatan di Indonesia dapat mengadopsi sistem
penyelenggaraan program Telerehabilitasi dari hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan di negara lain tersebut, seperti pelaksanaan program Telerehabilitasi
Paru. Tentunya diperlukan perencanaan yang matang dalam
penyelenggaraan Telerehabilitasi di Indonesia. Penyelenggaraan
program ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai sektor. Dengan semakin berkembangnya dunia IT di Indonesia, sudah banyak platform
yang dapat menunjang penyelenggaraan Telerehabilitasi ini. Rumah
sakit dapat membuat sistem IT sendiri beserta alurnya untuk penyelenggaraan
program ini ataupun bekerja sama dengan pihak ketiga. Hal penting lainnya adalah kebijakan rumah sakit terkait
Telerehabilitasi harus dibuat, terutama terkait aspek legal dan etik. Para profesional pemberi
asuhan yang melakukan pelayanan Telerehabilitasi
harus dilindungi oleh hukum dalam melakukan praktek Telerehabilitasi ini,
begitu pula dengan pasien, demi tetap terjaganya mutu pelayanan dan
keselamatan pasien. Alur pelayanan harus dipersiapkan
dengan baik. Selain itu, tim profesional pemberi
asuhan pelayanan Telerehabilitasi ini pun harus dipersiapkan dengan matang
karena pelayanan Telerehabilitasi ini tentunya akan memakan waktu yang cukup
lama. Selain itu, diperlukan evaluasi kembali efektifitas
dari Telerehabilitsi ini, terutama bagi masyarakat Indonesia. Sistem pembiayaan pun harus dipikirkan, karena Sindroma Paska
COVID-19 ini tidak hanya dialami oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke
atas saja, tetapi juga dapat dialami oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke
bawah. Pembiayaan tentu saja menjadi permasalahan
utama bagi mereka, terutama karena penyelenggaraan Telerehabilitasi ini tidak
cukup hanya sekali saja, tetapi berkelanjutan. Hal ini tentunya akan memakan biaya yang cukup besar. Oleh
sebab itu, Pemerintah Indonesia harus memikirkan pendanaan yang baik untuk
program Telerehabilitasi ini.
Kesimpulan
Pada penyintas COVID-19, dapat terjadi
gejala sisa yang disebut dengan Sindroma Paska COVID-19. Pada pasien yang
mengalaminya, gejala dapat bertahan cukup lama. Diperlukan
peran rumah sakit untuk memberikan suatu upaya dalam menangani hal ini. Tidak hanya upaya promotif, preventif, dan kuratif saja, tetapi
upaya rehabilitatif juga harus dilakukan. Upaya
rehabilitatif yang penting untuk dilakukan salah satunya adalah Rehabilitasi Paru.
Namun, kondisi pandemi ini membuat masyarakat takut untuk
berobat ke rumah sakit. Oleh sebab itu, dibutuhkan
suatu inovasi untuk membantu mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan. Untuk mengatasi hal ini, rumah sakit dapat menyelenggarakan
program Telemedicine, salah satunya Telerehabilitasi. Pada beberapa negara,
telah dilakukan penelitian mengenai penanganan kasus Sindroma Paska COVID-19
dengan program Telerehabilitasi. Dari artikel-artikel tersebut, diketahui bahwa
Telerehabilitasi, salah satunya program Telerehabilitasi Paru, menunjukkan
peningkatan yang signifikan secara statistik dan klinis dalam perbaikan
kapasitas fungsional penyintas COVID-19. Telerehabilitasi dapat membantu
mengurangi risiko penularan dan penggunaan alat pelindung diri, Selain itu,
Telerehabilitasi akan membuat penggunaan yang efisien
dari kumpulan profesional rehabilitasi yang jumlahnya sangat terbatas.
Dalam penyelenggaraan Telerehabilitasi
sebagai salah satu program rumah sakit, dibutuhkan pengkajian lebih jauh,
terutama mengenai regulasi yang mengatur. Aspek legal dan etik dari Telerehabilitasi harus
diperjelas. Para profesional pemberi asuhan yang
melakukan pelayanan Telerehabilitasi harus dilindungi oleh hukum dalam
melakukan praktek Telerehabilitasi ini, begitu pula dengan pasien.
Selain itu, hal lainnya yang perlu ditinjau dalam perencanaan
penyelenggaraan program Telerehabilitasi ini antara lain prinsip-prinsip tata kelola klinis dan
manajemen Kesehatan terkait Telerehabilitasi, sistem IT yang akan
digunakan, persiapan sumber daya kesehatan, sistem pembiayaan, dan lainnya. Dibutuhkan persiapan yang matang baik dari Pemerintah maupun pihak
rumah sakit dalam menyelenggarakan program Telerehabilitasi ini.
Tentunya dibutuhkan penelitian yang lebih banyak lagi terkait program
Telerehabilitasi ini, terutama mengenai penyelenggaraannya di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Agostini, F. et al. (2021) �Rehabilitation
settings during and after covid-19: an overview of recommendations�, Journal
of rehabilitation medicine, 53(1).
Bickton,
F.M. et al. (2021) �An improvised pulmonary telerehabilitation program
for postacute COVID-19 patients would be feasible and acceptable in a
low-resource setting�, American journal of physical medicine &
rehabilitation, 100(3), p. 209.
Carda,
S. et al. (2020) �COVID-19 pandemic. What should Physical and
Rehabilitation Medicine specialists do? A clinician�s perspective.�, European
journal of physical and rehabilitation medicine, 56(4), pp. 515�524.
Ghodge,
S. et al. (2020) �Effect of pulmonary telerehabilitation on functional
capacity in COVID survivors; an initial evidence�, Int J Health Sci Res,
10(10), pp. 123�129.
Go�rtz,
Y.M.J. et al. (2020) �Persistent symptoms 3 months after a SARS-CoV-2
infection: the post-COVID-19 syndrome?�, ERJ open research, 6(4).
Kemenkes,
K. (2019) �Petunjuk teknis pelaksanaan bulan kapsul vitamin A terintegrasi
program kecacingan dan crash program campak�. STIKES PERINTIS.
Landi,
F. et al. (2020) �Post-COVID-19 global health strategies: the need for
an interdisciplinary approach�.
Leochico,
C.F.D. et al. (2020) �Challenges to the emergence of telerehabilitation
in a developing country: a systematic review�, Frontiers in neurology,
p. 1007.
Li,
J. et al. (2021) �Effectiveness of a telerehabilitation program for
COVID-19 survivors (TERECO) on exercise capacity, pulmonary function, lower
limb muscle strength, and quality of life: a randomized controlled trial�, medRxiv
[Preprint].
Pastora-Bernal,
J.-M. et al. (2021) �Telerehabilitation intervention in patients with
covid-19 after hospital discharge to improve functional capacity and quality of
life. study protocol for a multicenter randomized clinical trial�, International
journal of environmental research and public health, 18(6), p. 2924.
Pinto,
M. et al. (2020) �Post-acute COVID-19 rehabilitation network proposal:
from intensive to extensive and home-based IT supported services�, International
Journal of Environmental Research and Public Health, 17(24), p. 9335.
Putri,
R.N. (2020) �Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19�, Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 20(2), pp. 705�709. Available at:
https://doi.org/10.33087/jiubj.v20i2.1010.
Tsutsui,
M., Gerayeli, F. and Sin, D.D. (2021) �Pulmonary rehabilitation in a
post-COVID-19 world: telerehabilitation as a new standard in patients with
COPD�, International journal of chronic obstructive pulmonary disease,
16, p. 379.
Wootton,
S.L. et al. (2020) �COVID‐19 rehabilitation delivered via a
telehealth pulmonary rehabilitation model: a case series�, Respirology Case
Reports, 8(8), p. e00669.
Xiong,
Q. et al. (2021) �Clinical sequelae of COVID-19 survivors in Wuhan,
China: a single-centre longitudinal study�, Clinical Microbiology and
Infection, 27(1), pp. 89�95.
������
Copyright holder: Fitri Dwi
Anggraini, Yaslis Ilyas 2022 |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |