Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
EFEK UMUR SIMPAN TERHADAP KUALITAS TELUR
LAYER PASAR TRADISIONAL KOTA AMBON
Muhammad Juraid Wattiheluw, Lily Joris, Fatma Wati
Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Indonesia
Email: muhammadjuraidw@gmail.com
Abstrak
Telur
merupakan makanan sumber protein yang lengkap. Di samping itu, telur sangat
mudah diperoleh baik di kota maupun di desa dan telur selalu tersedia setiap
saat tanpa mengenal musim serta harganya terjangkau. Ketersediaan yang tidak
mengenal musim, ini ternyata sering kali tidak diikuti dengan penyimpanan yang
memadai. Kandungan gizi telur yang tinggi dan penanganan yang tidak memadai
akan mempercepat terjadinya pembusukan sehingga nilai gizinya akan menurun. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efek umur simpan terhadap kualitas telur layer
di pasar tradisional Kota Ambon. Metode yang digunakan ialah metode analisa
statistik deskriptif dengan melihat nilai rata-rata dan standar deviasi. Hasil
pengamatan menunjukkan tidak ada perbedaan dari ketiga sumber dilihat dari
susut bobot telur, nilai Haugh Unit, Indeks putih telur, indeks kuning
telur, pH telur dan ukuran rongga udara. Penyusutan bobot telur tertinggi
terjadi pada telur yang disimpan selama 6 minggu, nilai Haugh Unit
tertinggi pada telur segar dan ukuran rongga udara terbesar adalah telur yang
disimpan selama 6 minggu. Kesimpulan Kualitas telur ayam ras dipasar
tradisional Kota Ambon mengalami penurunan mulai pada hari ke 14.
Kata Kunci: Telur Ayam
Layer, Umur Simpan, Kualitas Telur.
Abstract
Eggs are a complete source of protein. In addition,
eggs are very easy to obtain both in cities and villages and eggs are always available
at any time regardless of the season and the price is affordable. Availability
that knows no season, this is often not followed by adequate storage. The high
nutritional content of eggs and inadequate handling will accelerate the
occurrence of spoilage so that the nutritional value will decrease. This study
aims to determine effect the length of storage time on the quality of layer
eggs traditional market Ambon City. The method is using descriptive statistical
analysis by looking at the average value, standard deviation and graphed. The
results showed no differences from the third source of shrinkage seen egg
weight, Haugh unit value, index egg white, egg yolk index, egg and measure pH
airspaces. Depreciation egg weight was highest in eggs stored for 6 weeks, the
highest value of Haugh units on fresh eggs and the size of the largest air
cavity is eggs stored for 6 weeks. Conclusion The quality of eggs traditional
market decreased Ambon start at day 14
Keywords: Layer Chicken Egg, Shelf Life, Quality of Eggs.
Pendahuluan
Telur merupakan
makanan sumber protein yang lengkap. Di samping itu, telur sangat
mudah diperoleh baik di kota maupun di desa dan telur selalu tersedia setiap
saat tanpa mengenal musim
serta harganya terjangkau. Ketersediaan yang tidak mengenal musim, ini ternyata
sering kali tidak diikuti dengan penyimpanan yang memadai. Kandungan gizi telur yang tinggi dan
penanganan yang tidak memadai akan mempercepat terjadinya pembusukan sehingga
nilai gizinya akan menurun (Yanti,
2020).
Telur memiliki
kandungan nilai gizi yang tinggi sehingga telur mudah rusak akibat
mikroorganisme, benturan atau gesekan. Umumnya telur akan mengalami kerusakan
setelah di simpan lebih dari 2 minggu di ruang terbuka. Kerusakan tersebut
meliputi kerusakan yang nampak dari luar dan kerusakan yang baru dapat di
ketahui setelah telur pecah (Retnaningsih, 2021).
Sebagai bahan
pangan yang murah dan memiliki nilai protein yang tinggi telur sangat diminati
oleh berbagai kalangan masyarakat. Di kota Ambon telur banyak diminati oleh
masyarakat namun minimnya jumlah peternakan ayam layer sehingga
mempengaruhi jumlah pasokan telur yang harus dipenuhi dipasar karena tidak
dapat memenuhi kebutuhan pasar maka banyak didatangkan telur-telur dari luar pulau Ambon (Herlina,
Syarifudin, & Yulia, 2019). Telur-telur di kota Ambon kebanyakan didatangkan dari daerah Surabaya dan
Jakarta dengan menggunakan kapal pengangkut barang yang lama waktu
perjalanan kurang lebih satu minggu.
Penyimpanan
telur memegang peranan yang penting dalam menjaga kualitas telur, bila
dilakukan dengan cara yang salah maka telur akan cepat menjadi rusak. Cara
penyimpanan yang dilakukan pada agen telur di kota Ambon pada waktu pasaran
sepi tidak dengan cara yang tepat, dalam hal ini tidak ada ruangan khusus untuk
menyimpan telur-telur yang belum habis terjual (Fararen,
2021). Mereka
menyimpan dengan barang - barang dagangan yang lain, juga tidak memperhatikan
suhu dan kelembaban yang optimal untuk penyimpanan telur. Telur yang
mengalami penyimpanan tentunya mengalami perubahan aroma sehingga kualitas telur menurun, dimana kualitas yang
terbaik berada pada saat ditelurkan. Telur akan mengalami
perubahan seiring
dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan akan mengakibatkan
terjadinya penguapan cairan dan gas dari dalam telur semakin banyak (Jaya,
2018).
Telur yang
beredar di pasar tradisional kota Ambon saat ini selain yang berasal dari
peternakan yang ada di kota Ambon, menurut Dinas Perindustrian Dan Perdagangan
kota Ambon sebagian besar telur berasal dari kota Surabaya yang didatangkan
sebanyak 5-7 kontainer per minggu (880-890 ikat) dengan jumlah 180 butir/ikat.
Ada dua kualitas yang berbeda pada telur yang didatangkan dari kota Surabaya
yakni telur dengan kualitas standar dan telur Surabaya cap jangkar yang dianggap
memiliki kualitas paling baik, selain dari Surabaya ada juga yang berasal dari
Makassar tetapi dengan jumlah yang kecil sehingga peredaraannya tidak diketahui (Zainol,
Ronasari, & Ninin Khoirunnisa, 2019).
Berdasarkan
berbagai penelitian pengawetan telur yang telah dilakukan dengan tujuan untuk
memperpanjang umur simpan telur agar dapat dikonsumsi kapan saja dan tidak
mengalami penurunan kualitas. Kualitas telur ditentukan oleh banyak faktor salah
satunya lama penyimpanan telur itu sendiri, semakin lama telur disimpan maka
kualitas telur menurun.
Berdasarkan
uraian diatas maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui efek umur simpan
terhadap kualitas telur layer dari pasar
tradisional yang bersumber di dalam dan luar kota Ambon.
Metode Penelitian
Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu telur ayam layer (Ras konsumsi) yang berada di pasar tradisional Kota
Ambon sebanyak 105 butir (Yoris
& Fredriksz, 2019).
Pengumpulan telur dari para pedagang
atau agen penjual telur yang berada di pasar tradisional kota Ambon dengan seleksi telur yang tidak pecah dan retak, kerabang telur bersih,
berat dan warna telur hampir sama. Kemudian telur yang digunakan sebanyak 105 butir, selanjutnya dilakukan
penyimpanan telur pada suhu ruang pada rak telur dan penelitian di lakukan 7 tahap pengamatan
dan penilaian yakni: tahap I hari ke 1, tahap ke II hari ke 7, tahap ke III
hari ke 14, tahap ke IV hari ke 21, tahap ke V hari 28, tahap ke VI hari ke 36
dan tahap ke VII hari ke 42.
Pengukuran suhu menggunakan
termometer dan kelembaban menggunakan hygrometer, pengamatan dilakukan tiga
kali sehari yakni pagi pukul 08.00-09.00 WIT, siang pukul 12.00-13.00 WIT dan
sore pukul 16.00-17.00 WIT.
Variabel yang
diamati pada penelitian ini adalah penyusutan bobot telur (Fajriana,
Djaelani, & Gunawan, 2020). Haugh Unit (Silversides dan
Villeneuve, 1994), indeks putih telur (Fibrianti
et al., 2012), indeks kuning telur
(Yuwanta, 2008), pH, rongga udara (Djaelani, 2016). Metode yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Menggunakan analisis
data secara statistik deskriptif dengan menghitung rata-rata dan standar
deviasi.
Rumus : X = |
|
keterangan :
x = rata-rata hitung
x,= nilai sampel ke-i
n = jumlah sampel
Hasil dan Pembahasan
Telur merupakan
salah satu produk peternakan unggas yang memiliki kandungan gizi lengkap dan
mudah dicerna. Meskipun
telur terbungkus oleh kerabang yang relatif tebal tetapi kerabang tersebut
mempunyai banyak pori-pori yang memungkinkan bakteri masuk ke dalam telur, atau
terjadi pertukaran gas dari luar ke dalam telur sehingga mengubah kualitas internal telur. Telur dapat mengalami
perubahan kualitas ketika disimpan, seperti penyusutan bobot telur, Haugh Unit (HU), Indeks Putih Telur (IPT), Indeks Kuning Telur (IKT), pH telur, dan rongga
udara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa telur ayam layer
yang diperoleh dari pasar tradisional di Kota Ambon memiliki kualitas, seperti
Tabel di bawah ini:
Tabel 1.
hasil rata-rata
penyusutan berat telur, nilai HU, IPT, IKT, pH telur dan
kedalaman rongga udara
Asal
Telur |
Umur Simpan (hari) |
Jumlah |
Rata-rata |
||||||
0 |
7 |
14 |
21 |
28 |
36 |
42 |
|||
Penyusutan Bobot Telur (%) |
|||||||||
P1 |
0 |
1,008 |
4,212 |
3,120 |
5,152 |
6,186 |
8,088 |
27,767 |
3,967 |
P2 |
0 |
0,901 |
1,574 |
2,842 |
3,535 |
4,676 |
5,624 |
19,150 |
2,736 |
P3 |
0 |
1,122 |
1,627 |
2,959 |
3,166 |
4,475 |
6,348 |
19,700 |
2,814 |
Haugh
Unit |
|||||||||
P1 |
67,523 |
42,666 |
3,425 |
0 |
-25,470 |
-9,816 |
0 |
78,332 |
11,190 |
P2 |
65,529 |
46,962 |
7,946 |
-1,925 |
-65,668 |
-87,859 |
-43,919 |
-78,935 |
-11,276 |
P3 |
47,685 |
47,842 |
-0,814 |
-11,930 |
-49,930 |
-75,140 |
-77,930 |
-120,2 |
-17,171 |
Indeks
Putih |
|||||||||
P1 |
0,012 |
0,095 |
0,054 |
0,042 |
0,038 |
0,056 |
0,022 |
0,319 |
0,045 |
P2 |
0,013 |
0,058 |
0,054 |
0,050 |
0,076 |
0,052 |
0,020 |
0,324 |
0,046 |
P3 |
0,008 |
0,068 |
0,069 |
0,024 |
0,038 |
0,035 |
0,022 |
0,264 |
0,037 |
Indeks
Kuning |
|||||||||
P1 |
0,083 |
0,007 |
0,003 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0,093 |
0,013 |
P2 |
0,072 |
0,007 |
0,007 |
0,005 |
0 |
0 |
0 |
0,091 |
0,013 |
P3 |
0,072 |
0,007 |
0,003 |
0,003 |
0 |
0,002 |
0 |
0,086 |
0,012 |
pH
telur |
|||||||||
P1 |
8,800 |
8,200 |
8,300 |
8,400 |
8,000 |
7,800 |
8,600 |
58,000 |
8,286 |
P2 |
8,700 |
9,000 |
8,000 |
7,800 |
8,600 |
8,200 |
7,800 |
58,000 |
8,286 |
P3 |
9,000 |
8,400 |
8,000 |
8,000 |
7,600 |
8,000 |
8,200 |
57,200 |
8,171 |
Rongga Udara (mm) |
|||||||||
P1 |
1,390 |
4,780 |
7,180 |
9,070 |
9,450 |
10,970 |
14,260 |
57,100 |
8,160 |
P2 |
2,220 |
6,970 |
6,730 |
9,350 |
12,620 |
11,370 |
12,370 |
61,630 |
8,800 |
P3 |
2,620 |
6,840 |
6,970 |
9,280 |
9,910 |
11,780 |
10,800 |
58,200 |
8,310 |
Keterangan :
P1��������� : Telur layer Ambon
P2��������������������� : Telur layer Surabaya (merek jangkar)
P2��������������������� : Telur layer Surabaya (merek luky)
A.
Penyusutan
Bobot telur
Penurunan
bobot telur selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan
kelembaban. Selama penyimpanan suhu rata-rata ruangan adalah 27,62�C dengan
kelembaban 79,07%. Hasil penelitian telur layer P1
adalah telur yang masih segar dan memiliki bobot telur rata-rata 62-70 gr
sedangkan telur P2 dan P3 adalah telur yang sudah berumur lebih dari 1 minggu
dengan berat rata-rata 52-60 gr. Hasil penimbangan bobot pada telur dilakukan
setiap minggu di dapat rata-rata penyusutan bobot telur adalah P1 (3,967%), P2
(2,736%) dan P3 (2,814%) (Prasetia,
Nova, Riyanti, & Septinova, 2022).
Suhu dan
kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan penurunan bobot telur semakin cepat (Saputra,
Septinova, & Kurtini, 2015). Suhu penyimpanan
25�C dengan kelembaban relatif 70% akan menyebabkan telur kehilangan berat
0,8gr/minggu/butir dan pada suhu 30�C telur akan kehilangan berat sebesar
2gr/minggu/butir. Apabila kelembaban relatif meningkat menjadi 80%, maka penurunan
berat air dalam telur bertambah sebesar 20 mg/hari/butir pada bobot telur 60gr.
Penyusutan
bobot telur yang
terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh penguapan air
dan pelepasan gas CO2 dari dalam isi telur melalui pori-pori
kerabang. Penguapan dan pelepasan gas ini terjadi secara terus menerus selama
penyimpanan sehingga semakin lama telur disimpan bobot telur akan semakin
berkurang (Astuti,
Nova, Sutrisna, & Septinova, 2022).
Meskipun
penurunan rata-rata per minggu tidak menunjukan perbedaan yang besar akan tetapi dari
hasil penelitian penyusutan bobot telur per minggu terdapat perbedaan dari
ketiga perlakuan yakni pada minggu pertama penyusutan tertinggi terjadi pada P3
(1,122%�0,28)
diikuti dengan P2 (1,008%�2,83)
kemudian P1 (0,901%�0,30), pada minggu
kedua penyusutan tertinggi terjadi pada P1 (4,212%�0,46) diikuti dengan P3 (1,627%�0,64) kemudian P2
(1,574%�0,95). Hal
ini dapat diasumsikan bahwa meskipun telur P1 merupakan telur segar tetapi
besar telur juga mempengaruhi penyusutan bobot telur sesuai dengan hasil
penelitian Widiyanto (2003) yang menyatakan selain faktor penyimpanan, besar
telur juga berperan penting dalam menentukan kualitas internal telur. Telur
yang besar memiliki pori-pori yang banyak sehingga pengeluaran CO2
melalui pori-pori telur selama penyimpanan bertambah dan mempercepat penurunan
kualitas isi telur. Semakin berat telur tersebut,
maka jumlah putih
telur yang ada juga semakin tinggi (Sihombing,
Kurtini, & Nova, 2014).
Suhu dan
kelembaban yang cukup tinggi akan menyebabkan penurunan berat semakin cepat. Salah satu
penyebab penyusutan bobot telur P2 dan P3 tidak sebesar penyusutan P1
diasumsikan sebelum dilakukan proses pengiriman dari Surabaya (P2 dan P3) dan
beredar dipasaran kota Ambon telur P2 dan P3 sudah mendapatkan penanganan awal
seperti membersihkan telur supaya telur bisa bertahan lebih lama berbeda halnya
dengan telur yang berasal dari peternakan yang berada di kota Ambon (P1) yang
langsung dipasarkan tanpa mendapatkan penanganan awal terlebih dahulu (Adijaya,
2018).
Dari
hasil penimbangan pada minggu ke 6 bobot telur P1 (67,151gr), P2 (58,357gr) dan
P3 (55,092gr) berdasarkan bobot telur akhir diketahui bahwa telur dengan berat
tersebut masih layak untuk dipasarkan akan tetapi telah terjadi penurunan
kualitas telur yaitu ditandai dengan terjadinya penyusutan bobot telur.
Konsumen diharapkan tidak hanya membeli telur berdasarkan berat dan besarnya
telur tetapi konsumen harus bisa membedakan antara telur yang sudah banyak
mengalami penyusutan dan penurunan kualitas dengan cara melihat bobot dan besar telur
harus sesuai.
B.
Haugt
Unit (HU)
HU adalah
satuan yang dipakai untuk mengukur kualitas telur dengan melihat kesegaran
isinya. Semakin tinggi nilai HU telur, semakin baik kualitas telur tersebut,
semakin rendah nilai HU maka putih telur
akan sangat encer dan meluas. Meluasnya putih telur ini terutama disebabkan
oleh bertambahnya usia telur dan meningkatnya pencairan diakibatkan oleh suhu
penyimpanan yang tinggi dan kelembaban rendah. Faktor-faktor seperti perubahan
suhu dan meningkatnya kelembaban menghilangkan CO2 dari telur yang
diperparah dengan lama penyimpanan. Hasilnya adalah gangguan dalam struktur
putih yang menyebabkan putih telur menjadi transparan dan semakin berair (Worang, Sondakh, Palar, Rumondor, & Wahyuni,
2022).
Hasil
penelitian nilai HU telur layer pada hari pertama rata-rata P1 (67,523�8,94), P2 (65,529�28,44) dan P3
(47,685�17,76) setelah
disimpan selama 1 minggu memiliki nilai HU P1 (42,666�10,06), P2 (46,962�12,59) dan P3 (47,842�16,25) dan telur dengan lama penyimpanan 2 minggu hanya
telur P1 (3,425�23,60) dan P2
(7,946�6,10) yang masih
dapat dihitung nilai HU,
sedangkan telur P3 sudah tidak bisa dihitung. Hal ini menunjukan bahwa
telur-telur tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi bila lebih dari 2
minggu berada dipasar karena tidak adanya upaya pengawetan terhadap telur.
Meskipun
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata akan tetapi dilihat dari rata-rata
penurunan per minggu P1 dan P2 mengalami penurunan nilai HU yang tinggi jika
dibandingkan dengan P3. Rata-rata nilai HU telur layer cenderung
menurun dengan meningkatnya lama penyimpanan. Hal ini dimungkinkan akibat
adanya penguapan CO2 dari dalam telur, sehingga pH meningkat dan
merusak lapisan ovomucin akibatnya putih telur akan semakin encer. Hasil
tersebut menunjukkan semakin lama penyimpanan nilai HU akan semakin
menurun akibat
adanya penguapan air dan gas seperti CO2 yang menyebabkan putih
telur kental semakin encer. Kenaikan
pH putih telur menyebabkan kerusakan serabut serabut ovomucin (yang memberikan
tekstur kental) menyebabkan kekentalan putih telur menurun (Djaelani,
2016). Pengenceran bagian putih telur kental disebabkan
oleh adanya kerusakan fisikokimia dari serabut ovomucin. Ovomucin
merupakan glikoprotein yang berbentuk serabut atau jala-jala yang dapat
mengikat cairan telur untuk dibentuk menjadi struktur gel pada putih telur (Andika,
Anwar, & Jiyanto, 2021).
C. Indeks Putih Telur (IPT)
Hasil
penelitian pengaruh sumber telur yang berbeda selama penyimpanan dalam suhu
ruang terhadap rata-rata nilai IPT pada hari pertama P1 (0,012�0,00), P2 (0,013�0,01) dan P3 (0,008�0,01). Sedangkan nilai
rata-rata dari IPT pada
masing-masing perlakuan yaitu P1 (0,045), P2 (0,046) dan P3 (0,037).
Penurunan nilai IPT rata-rata per
minggu tidak memiliki perbedaan akan tetapi dilihat dari data penurunan per
minggu terdapat perbedaan antara P1, P2 dan P3 yaitu di mana pada minggu
pertama nilai IPT
tertinggi ada pada P1 (0,095�0,01) diikuti oleh P3 (0,068�0,01) kemudian P2
(0,058�0,01). Pada minggu kedua nilai tertinggi IPT pada P2 (0,069)
sedangkan minggu ketiga nilai terendah IPT ada pada P3 yaitu (0,024) dengan P1 dan P2
memiliki nilai IPT yang sama yaitu (0,054). Pada minggu keempat nilai IPT tertinggi
terdapat pada perlakuan P2 (0,076), minggu kelima nilai terendah diperoleh dari perlakuan P3 (0,035), minggu terakhir
terdapat sedikit perbedaan pada nilai IPT dari ketiga perlakuan terlihat pada Tabel.
Nilai IPT sangat
bervariasi karena perbedaan kualitas telur. Rataan nilai indeks telur pada hari
pertama masing-masing P1 (0,0119) P2 (0,0132) dan P3 (0,0083) nilai tersebut
dibawah nilai kisaran normal. Semakin lama umur telur, IPT semakin
menurun, sesuai dengan menurunnya tinggi putih telur. Dengan bertambahnya waktu
penyimpanan, maka tinggi lapisan kental akan menurun. Hal ini disebabkan
permukaan putih telur semakin meluas akibat bertambah encernya putih telur
karena penguapan CO2 dari putih telur dan perubahan pH
dari asam menjadi basa. Menurut BSN (2008) telur yang masih
segar nilai IPT berkisar antara
0,050-0,174. IPT menurun karena
penyimpanan, karena pemecahan ovomucin yang dipercepat pada pH yang tinggi. Hasil
penelitian dapat diasumsikan perbedaan penurunan kualitas telur yang bervariasi
dari masing-masing pelakuan pada setiap minggunya disebabkan telur-telur
tesebut memiliki umur yang berbeda sebelum dipasarkan.
Penurunan
nilai IPT
disebabkan penguapan yang terjadi terhadap telur selama proses penyimpanan yang
menyebabkan putih menjadi encer. Menurut Cornelia et al., (2014) penguapan
air selama penyimpanan, terutama pada bagian putih telur dan sebagian kecil
oleh penguapan gas-gas seperti CO2, NH3, N2 dan H2 akibat degradasi komponen
organik telur. Hal ini terjadi sejak
telur keluar dari tubuh ayam melalui pori-pori kerabang telur dan berlangsung
secara terus menerus sehingga menyebabkan penurunan kualitas putih telur.
Keadaan
ini karena tidak
tertutupnya pori-pori kulit telur dengan sempurna dan temperatur lingkungan
cukup tinggi sehingga terjadinya penguapan H2O dan CO2.
Putih telur selama penyimpanan dapat mengalami berbagai perubahan yang
disebabkan oleh sifat fisiko-kimia telur. Kehilangan CO2 melalui pori-pori
kulit dari albumen menyebabkan perubahan fisik dan kimia. Selama beberapa jam
pertama setelah ditelurkan, telur tersebut akan kehilangan banyak CO2 dan
di dalam albumen akan terkandung juga asam karbonat dalam keseimbangan dengan
jumlah CO2. Pembebasan karbondioksida dapat menyebabkan pemecahan asam karbonat
menjadi karbondioksida dan air (Hardianto, 2017).
Pada
penelitian ini dapat dilihat bahwa penurunan kualitas kekentalan putih telur
sebagian besar terjadi pada penyimpanan selama 2 minggu dimana putih telur
sudah semakin encer. Hal ini disebabkan oleh penurunan kekentalan putih telur
terutama disebabkan oleh terjadinya kerusakan fisiko kimia dari serabut ovomucin yang berakibat keluarnya air
dari jala-jala yang telah dibentuknya (Tooy,
Lontaan, Karisoh, & Wahyuni, 2021).
D. Indeks Kuning Telur (IKT)
Hasil
penelitian pengaruh sumber telur yang berbeda selama penyimpanan dalam suhu
ruang terhadap rata-rata nilai IKT pada hari pertama ialah P1 (0,0825�0,01), P2 (0,0723�0,02) dan P3
(0,0716�0,00) dengan
nilai rata-rata pada setiap perlakuan P1 (0,013), P2(0,013) dan P3 (0,012).
Rata-rata nilai IKT
menunjukkan bahwa dari manapun sumber telur tersebut maka penurunan nilai
indeks kuning tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kuning
telur yang berasal dari luar kota Ambon memiliki kualitas yang sama dengan
telur yang berasal dari peternakan ayam petelur yang berada di kota Ambon.
Meskipun
rata-rata per minggu
tidak menunjukan adanya perbedaan
yang besar antara
ketiga perlakuan akan tetapi dari pengamatan pada hari pertama IKT rata-rata ialah
P1 (0,0825), P2 (0,0723) dan P3 (0,0716). Pada penyimpanan minggu pertama pada suhu ruang
telur mengalami penurunan yang cukup drastis yakni menjadi 0,007 (P1, P2 dan
P3) dan pada minggu kedua nilai tertinggi terdapat ada pada P2 (0,007) dan diikuti P1
dan P3 (0,003) sama
halnya dengan minggu ketiga nilai tertinggi ada pada P2 (0,005) yang diikuti
oleh P3 (0,003)
sedangkan untuk P1 sudah tidak bisa diukur lagi dan pada pengamatan minggu
keempat nilai IKT tidak
bisa diukur pada semua perlakuan. Menurut Tarigan (2003) telur segar mempunyai
indeks telur antara 0,30-0,50 dengan rata-rata 0,39-0,45.
Dari
hasil penelitian diketahui bahwa dari semua perlakuan tidak ada telur yang
masih segar karena nilai IKT sudah
mengalami penyusutan dan jauh dari IKT segar. Jika ditinjau dari umur telur, telur yang
berasal dari luar kota Ambon (P2 dan P3) harusnya memiliki nilai IKT lebih rendah
dari telur yang berasal dari kota Ambon karena telah mengalami proses
penyimpanan yang lebih lama dari P1. Akan tetapi justru telur yang berasal dari
kota Ambon mengalami penyusutan nilai IKT lebih cepat dari P2 dan P3 hal ini diasumsikan
bahwa telur-telur yang berasal dari luar kota Ambon (P2 dan P3) telah mengalami
penanganan atau perlakuan tertentu sebelum dilakukan proses pengiriman yang
membutuhkan waktu berhari-hari dan bahkan membutuhkan proses penyimpanan yang
cukup lama sebelum telur jual kepada konsumen.
IKT
merupakan indeks kesegaran mutu telur yang diukur dari tinggi dan diameternya.
Perubahan IKT
disebabkan adanya penurunan elastisitas membran vitelina akibat tejadinya
perbedaan tekanan osmotik sebesar 1,8 atmosfir oleh adanya penguapan air dari
putih telur. Adanya perbedaan tekanan tersebut akan menyebabkan terjadinya
aliran air secara kontinu dari bagian kuning melewati membran vitelina. Proses
ini dapat menyebabkan penurunan elastisitas membran vitelina dan memberasnya
bagian kuning telur (Tarigan, 2003).
E.
pH Telur
Hasil
penelitian menunjukan bahwa rata-rata pH telur pada hari pertama yaitu P1 (8,8�0,84) P2 (8,7�1,64) dan P3 (9�0,87) selanjutnya
pada minggu pertama perlakuan P1(8,2�1,26), P2 (9�1,26), dan P3(8,4�1,29) sedangkan Pada minggu ke
dua P1(8,3�0,84), P2(8�0,71), dan P3(8�0,00) begitupun pada minggu selanjutnya
yang terlihat pada Tabel. Dari hasil tersebut maka diperoleh rata-rata
setiap perlakuan P1 (8,28), P2 (8,28) dan P3 (8,17) sesuai dengan hasil tersebut dapat dilihat tidak adanya
perbedaan nilai pH terlalu besar antara perlakuan. Hajrawat dan Answar (2011) menyatakan
bahwa pH akan naik karena telur kehilangan CO2. Kadar air pada telur akan
hilang akibat lama penyimpanan yang mempercepat terjadinya reaksi metabolisme.
Telur yang baru dikeluarkan pH nya berkisar 7,6-7,93 dan meningkat sampai nilai
maksimal 9,7. Peningkatan pH menjadi basa karena disebabkan oleh lepasnya O2
melalui pori cangkang (Rizal et al., 2012).
Perubahan
kandungan CO2 dalam telur akan mengkibatkan perubahan pH telur
menjadi basa. Selama penyimpanan pH telur semakin meningkat akibat dari
kenaikan pH putih telur menjadi semakin encer, tinggi putih telur kental
menurun dan nilai Haugh unit semakin kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwaningsih et al., (2016) bahwa telur akan
mengalami perubahan seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama waktu
penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya banyak penguapan cairan dan gas dalam
telur. Indikasi rusaknya telur selama penyimpanan adalah penurunan kualitas
telur meliputi penurunan kekentalan putih telur, peningkatan pH, besarnya
kantung udara, dan aroma isi telur. Hal tersebut menjadikan putih telur
bersifat basa dan pH telur naik yang diikuti dengan kerusakan serabut-serabut ovomucin (yang memberikan tekstur kental),
sehingga kekentalan putih telur menurun.
F.
Rongga
Udara
Hasil
penelitian pengaruh sumber telur yang berbeda selama penyimpanan dalam suhu
ruang terhadap rata-rata kedalaman rongga udara telur pada hari pertama ialah
P1 (1,390�0,03), P2
(2,220�0,12) dan P3
(2,620�0,16)
setelah penyimpanan 1 minggu kedalaman rongga udara P1 (4,780�0,12), P2 (6,970�0,18) kemudian P3
(6,840�0,10) dan
minggu kedua P1 (7,18�0,19), P2 (6,73�0,22) kemudian P3
(6,97�0,16) dan
semakin besar pada minggu-minggu berikutnya terlihat pada Tabel.
Rongga
udara pada telur terbentuk sesaat setelah peneluran akibat adanya perbedaan
suhu ruang yang lebih rendah dari suhu tubuh induk, kemudian isi telur menjadi lebih
dingin dan mengkerut sehingga memisahkan membran kerabang bagian dalam dan luar,
terpisahnya membran ini biasanya terjadi pada bagian tumpul telur. Semakin lama
penyimpanan telur maka akan semakin besar kedalaman rongga udaranya. Hal ini
disebabkan oleh penyusutan bobot telur yang diakibatkan penguapan air dan pelepasan
gas yang terjadi selama penyimpanan. Sesuai dengan pendapat Gary et al., (2009) yang
menyatakan kantung udara merupakan indikator umur atau mutu telur, karena
ukurannya akan membesar dengan meningkatnya umur simpan. Perubahan suhu
lingkungan dalam telur ketika berada dalam tubuh induk (sekitar 40�C) dan suhu
luar (sekitar 27�C) akan mengakibatkan lapisan membran bagian luar dan dalam
tidak melekat satu sama lain. Penguapan air meningkat diantara
membran luar yang menempel pada kerabang sedangkan membran dalam penempel
pada putih yang mengkerut dan menyebabkan kantung udara membesar.
Telur
segar memiliki rata-rata kedalaman rongga udara sebesar
0,90mm yang berarti telur tersebut menurut BSN (2008) tergolong dalam telur
dengan mutu I. Setelah 1 minggu penyimpanan kedalaman rongga udara menjadi
1,06mm (mutu II) dan bertambah besar pada minggu kedua penyimpanan menjadi 1,43mm
(mutu III). Dikaitkan dengan pendapat BSN (2008) dapat dilihat bahwa
telur-telur yang diedarkan atau dijual dipasar sudah bukan lagi telur segar
akan tetapi telah mengalami proses penyimpanan lebih dari 2 minggu jika dilihat
dari kedalaman rongga udaranya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas telur yang
berada didalam kota Ambon (P1) berbeda dengan kualitas telur yang berasal dari
Surabaya (P2 dan P3) karena telur yang berasal dari Ambon diduga berumur satu
hari (telur segar) sama dengan kualitas telur dari Surabaya yang sudah beredar
dipasar tradisional Ambon.
Semakin lama
penyimpanan ukuran rongga udara semakin bertambah besar (Djaelani,
2016).
Peningkatan ukuran rongga udara disebabkan oleh penyusutan berat telur yang
diakibatkan penguapan air dan pelepasan gas yang terjadi selama penyimpanan.
Seiring bertambahnya umur, telur akan kehilangan cairan dan isinya semakin
menyusut sehingga memperbesar rongga udara (Kamaruddin,
Monim, Mulyadi, & Sambodo, 2020). Ketebalan
kerabang telur memiliki hubungan yang sangat dekat dengan panjang pori-pori. Kerabang
telur yang lebih tipis relatif berpori lebih banyak dan besar sehingga
mempercepat turunnya kualitas telur akibat penguapan.
Jika
dilihat dari hasil dan pembahasan diatas baik dari penyusutan bobot telur,
nilai HU, IPT, IKT, pH telur
maupun rongga udara menunjukkan bahwa telur ayam ras konsumsi yang dijual
dipasar tradisional Ambon darimanapun asalnya telah mengalami proses
penyimpanan yang cukup lama sebelum dipasarkan atau dijual ke konsumen sehingga
kualitas telur sudah banyak mengalami penyusutan. Telur-telur tersebut
sebaiknya tidak dikonsumsi apabila sudah lebih dari 2 minggu berada dipasar.
Dalam hal ini yang dirugikan ialah konsumen karena konsumen membeli telur
dengan harga telur segar tetapi telur yang didapatkan merupakan telur yang
sudah lama yang kualitasnya sudah tidak layak. Dari masalah tersebut konsumen
dituntut untuk lebih cermat dalam memilih telur yang akan dibeli, baik yang
berasal dari pasar maupun yang dibeli langsung pada peternakan ayam petelur
karena pada faktanya peternak ayam petelur juga menyimpan telur-telur yang
belum habis terjual untuk dijual kembali kepada konsumen.
Dalam
memilih telur konsumen harus memperhatikan kebersihan kerabang karena telur
yang kotor bila disimpan pada suhu ruang tanpa pengawetan kerusakan telur lebih
cepat terjadi dibandingkan dengan telur yang kerabangnya bersih hal ini
disebabkan oleh mikroorganisme yang ada pada kotoran bisa masuk melalui
pori-pori kerabang dan menyebabkan kerusakkan pada isi telur, selain itu pula
telur yang sudah lama pada kerabang biasanya terdapat kapang (jamur) berwarna
putih seperti tepung berada pada permukaan kerabang.
Konsumen
lebih cenderung memilih telur dengan bentuk yang besar tanpa memikirkan
kualitas dari isi telur tersebut tanpa disadari telur yang besar mengalami
penyusutan isi telur lebih cepat dibandingkan telur yang kecil oleh karena itu
konsumen apabila membeli telur dipasar sebaiknya memilih telur yang tidak
terlalu besar atau telur yang normal dan jika ingin membeli telur dengan ukuran
yang besar ada baiknya memperhatikan kesesuaian antara besar telur dengan bobot
telur tersebut dalam hal ini sebaiknya telur yang dibeli dilakukan penimbangan
untuk mengetahui bobot telur.
Kesimpulan
Semua telur yang
dijual kepada konsumen baik yang dipasar maupun telur yang dibeli pada
peternakan ayam petelur langsung merupakan telur yang sudah mengalami proses
penyimpanan lebih dari 1 minggu sehingga telah mengalami penyusutan kualitas
yang cukup tinggi
diilihat dari bobot telur, HU, IPT, IKT, pH telur, dan rongga udara. Kualitas telur layer di
pasar tradisional Kota Ambon mengalami penurunan mulai dari hari ke 14.
Adijaya, I. Nyoman. (2018). Keragaan Produktivitas Ubi
Kayu Varietas Gajah Di Lokasi Pengembangan Model Pertanian Bio Industri Desa
Antapan Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Buletin Teknologi Dan
Informasi Pertanian, 16(49), 2018156.
Andika, Pebri, Anwar, Pajri, & Jiyanto, Jiyanto.
(2021). Pengaruh Cairan Kapur (CaCO3) Terhadap Kualitas Dan Daya Tahan Telur
Asin. Green Swarnadwipa: Jurnal Pengembangan Ilmu Pertanian, 10(3),
422�430.
Astuti, Diana Widi, Nova, Khaira, Sutrisna, Rudy,
& Septinova, Dian. (2022). Pengaruh Lama Penyimpanan Telur Herbal Ayam Ras
Fase Pertama di Refrigerator terhadap Penurunan Berat Telur, Diameter Rongga
Udara, dan Indeks Albumen. Jurnal Riset Dan Inovasi Peternakan (Journal of
Research and Innovation of Animals), 6(1), 15�21.
Djaelani, Muhammad Anwar. (2016). Ukuran rongga udara,
pH telur dan diameter putih telur, ayam ras (Gallus L.) setelah pencelupan
dalam larutan rumput laut dan disimpanan beberapa waktu. Buletin Anatomi Dan
Fisiologi (Bulletin Anatomy and Physiology), 1(1), 19�23.
Fajriana, Eva, Djaelani, Achmad, & Gunawan, Aam.
(2020). Pengaruh media pengasapan terhadap kualitas eksterior dan organoleptik
telur asin asap. Rawa Sains: Jurnal Sains STIPER Amuntai, 10(1),
26�37.
Fararen, Jein Aulia. (2021). Gambaran Angka Lempeng
Total (Alt) Bakteri Pada Kelapa Parut Yang Dijual Di Pasar Di Kota Kendari.
Poltekkes Kemenkes Kendari.
Hardianto, Hardianto. (2017). Pengaruh Cairan Kapur
(CaCO3) terhadap Kualitas dan Daya Simpan Telur Asin. Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.
Herlina, Elin, Syarifudin, Deden, & Yulia, Lia.
(2019). Pemetaan Ekonomi Kreatif Dalam Perspektif Pemberdayaan Masyarakat
Miskin Di Kabupaten Ciamis.
Jaya, Hapsar. (2018). Analisis etika bisnis Islam
terhadap strategi pemasaran produk roti mantao (studi Toko Sinar Terang
Parepare). STAIN Parepare.
Kamaruddin, Ahmad, Monim, Hanike, Mulyadi, Mulyadi,
& Sambodo, Priyo. (2020). Kualitas Fisik Telur Ayam Petelur pada Tingkat
Pelaku Usaha di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat: Physical Quality of
Layer Eggs Supply at the Level of Local Business in Manokwari Regency West
Papua Province. Jurnal Ilmu Peternakan Dan Veteriner Tropis (Journal of
Tropical Animal and Veterinary Science), 10(2), 128-�.
Prasetia, Berly Tenica, Nova, Khaira, Riyanti,
Riyanti, & Septinova, Dian. (2022). Kualitas Internal Telur Ayam Ras
Konsumsi dan Telur Ayam Ras Tetas pada Lama Simpan yang Berbeda. Jurnal
Riset Dan Inovasi Peternakan (Journal of Research and Innovation of Animals),
6(3), 242�251.
Retnaningsih, Budi. (2021). Hubungan Pemenuhan Gizi
Ibu Nifas Dengan Pemulihan Luka Perineum Di Klinik Pratama Kedaton Bantul 2021.
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Saputra, Rangga, Septinova, Dian, & Kurtini,
Tintin. (2015). Pengaruh lama penyimpanan dan warna kerabang terhadap kualitas
internal telur ayam ras. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(1).
Sihombing, Repilina, Kurtini, Tintin, & Nova,
Khaira. (2014). Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas internal telur ayam
ras pada fase kedua. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 2(2).
Tooy, M. D., Lontaan, N. N., Karisoh, L. C. M., &
Wahyuni, I. (2021). Kualitas fisik telur ayam ras yang direndam dalam larutan
teh hijau (Camellia Sinensis) komersial. ZOOTEC, 41(1), 283�290.
Worang, P., Sondakh, E. H. B., Palar, C. K. M., Rumondor,
D. B. J., & Wahyuni, I. (2022). Kualitas telur ayam ras yang dijual di
pasar tradisional dan pasar modern Kota Manado. ZOOTEC, 42(1),
138�143.
Yanti, Rina. (2020). Manajemen risiko produksi
peternakan ayam ras petelur dalam meningkatkan pendapatan usaha di Desa Banyu
Urip Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah. UIN Mataram.
Yoris, Lili, & Fredriksz, S. (2019). Pemanfaatan
Gula Merah dan Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. Jurnal Hutan
Pulau-Pulau Kecil, 3(1), 97�106.
Zainol, Arifin, Ronasari, Mahadji Putri, & Ninin
Khoirunnisa, Ninin. (2019). Similarity Jamu Tradisional Ditinjau dari Aspek
Ekonomi dan Kesehatan.
Copyright holder: Muhammad Juraid Wattiheluw, Lily Joris, Fatma
Wati (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |