Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
EKSISTENSI HUKUM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN DI
HADAPAN NOTARIS MENURUT KETENTUAN PASAL 147 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
(KUHPERDATA)
Hidayah Madaul, Rusdin Alauddin, Baharuddin
Fakultas Hukum, Universitas Khairun, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui hal-hal
apa saja yang dituangkan dalam perjanjian kawin yang dibuat dihadapan notaris
serta untuk menganalisis apakah akibat hukum jika perjanjian kawin yang telah
dibuat oleh notaris tidak dipatuhi dan dilanggar oleh salah satu pihak (suami
atau istri). Tipe penelitian ini adalah tipe Hukum empiris, yaitu suatu metode
penelitian yang mana dalam hal ini mengabungkan unsur hukum normatif yaitu
melihat unsur normatif didukung dengan penambahan data atau unsur empiris.
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, Aturan dalam UU
Perkawinan, UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hasil Penilitian menunjukan bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dengan ancaman
kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam
bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut
kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147 KUHPerdata juga menyebutkan,
perjanjian perkawinan harusdibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah
perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak
dapat diubah dan Akibat hukum jika perjanjian kawin yang telah dibuat oleh
notaris tidak dipatuhi dan dilanggar oleh salah satu pihak (suami atau istri)
perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan
perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Notaris, jika tidak dilakukan di
hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut batal. perjanjian tersebut dituangkan
dalam bentuk akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat:
Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-isteri atas harta
benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai akibat yang luas; Untuk
membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang yang benar-benar menguasai
hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan teliti.
Kata Kunci: Akta Perjanjian, Notaris, Pasal 147 KUHPERDATA.
Abstract
This study aims to find out what matters are contained in the marriage
agreement made before a notary and to analyze what the legal consequences are
if the marriage agreement made by a notary is not obeyed and violated by one of
the parties (husband or wife). This type of research is an empirical legal
type, which is a research method which in this case combines elements of
normative law, namely seeing normative elements supported by additional data or
empirical elements. This study uses a statutory approach, the Rules in the
Marriage Law, the 1945 Indonesian Constitution, Law Number 1 of 1974 concerning
Marriage, Law Number 2 of 2014 concerning the Office of a Notary and the Civil
Code. Research results show that the marriage agreement must be made with a
notarial deed with the threat of cancellation. This is intended so that the
marriage agreement is written in the form of an authentic deed, because it has
far-reaching consequences and can involve enormous financial interests. Article
147 of the Civil Code also states that a marriage agreement must be made before
the marriage takes place. After the marriage takes place, the marriage
agreement in any way cannot be changed and legal consequences if the marriage
agreement that has been made by a notary is not complied with and violated by
one of the parties (husband or wife) the marriage agreement must be made before
the marriage takes place and the agreement must be made before Notary, if it is
not done before a Notary, then the agreement is cancelled. the agreement is
stated in the form of an authentic deed that has strong evidentiary power:
Provides legal certainty regarding the rights and obligations of husband and
wife over their property, bearing in mind that marriage agreements have
far-reaching consequences; In order to conclude a marriage agreement, it is
necessary to have someone who is well versed in marital property law and can
formulate all the conditions carefully.
Keywords: Deed of Agreement, Notary Public, Article 147 of The
Civil Code.
Pendahuluan
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan�
disingkat UUP Nomor 1 Tahun 1974 merumuskan pengertian perkawinan
sebagai berikut �Perkawinan Ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai Suami Istri dengan tujuan membentuk keluarga
(Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian perkawinan bukan saja hanya dijumpai dalam UUP Nomor 1 Tahun 1974
namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)juga dirumuskan pengertian perkawinan
adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholidan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
(Pasal 2 KHI) selain itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan hubungannya perdata (Pasal 26
KUHPerdata) (Basyir, 1999).
Salah
satu dari asas dan prinsip dari UUP Nomor 1 Tahun 1974, bahwa tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal selamanya, dimana untuk
pasangan suami istri harus saling melengkapi saling membantu dan mencapai
kesejateraan dan mengembangkan kepribadian membantu dan mencapai
kesejejahteraan spritual dan materil, selain itu selain itu menikah merupakan
salah satu cara untuk menyempurnakan agama, karena dengan menikah maka separuh
agama telah terpenuhi. Jadi salah satu dari tujuan perkawinan ialah penyempurnakan agama yang belum
terpenuhi agar semakin kuat seorang dalam menjalankan ibadahnya, oleh karenanya
setiap perkawinan haruslah dilindungi dan dijaga oleh setiap pasangan suami
istri.
Bentuk
perlindungan bagi perkawinan adalah dengan mencatatkan perkawinan tersebut
seperti amanat Pasal 2 ayat (2) UUP Nomor 1 Tahun 1974 yaitu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena pencatatan perkawinan memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri
dalam masalah harta, hak dan kewajiban serta tanggungjawab serta perlindungan terhadap anak-anak yang
dilahirkan.
Pencatatan
perkawinan dilakukan dilembaga perkawinan yaitu bagi orang Islam, pada Kantor Urusan
Agama (KUA) oleh pegawai pencatat sesuai dengan
aturan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Nikah, Talak, Rujuk dan bagi yang selain Islam
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil oleh pegawai pencatat perkawinan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pengaturan
mengenai pentingnya pencatatan perkawinan yang diatur dalam� peraturan perundang-undangan yaitu dalam� Pasal 2 ayat (2) UUP, perkawinan juga sangat
penting dibuatkan perjanjian baik perjanjian pranikah sebelum perkawinan
dilaksanakan ataupun perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung karena
perkawinan yang dicatatakan kemudian dilengkapi dengan perjanjian pranikah atau
perjanjian kawin akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi
perkawinan itu sendiri jika dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Perjanjian
perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu dari adanya ikatan
perkawinan, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak
diberlakukannya KUH Perdata. Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian
dipertegas kembali dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Perjanjian
perkawinan merupakan bagian dari lapangan hukum keluarga diatur dalam Buku I
KUHPerdata (BW). Pengaturan perjanjian perkawinan dijelaskan pada Bab VII pasal
139 s/d 154.
Perjanjian
kawin dalam Pasal 139 KUHPerdata ialah perjanjian kawin (howelijksvorwaaerden)
sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur
akibat perkawinan terhadap
harta kekayaan mereka.Secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku dan
mengikat para pihak mempelai dalam perkawinan dalam perihal perjanjian
perkawinan ini kemudian dipertegas kembali dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun
1974, Perjanjian Perkawinan didapati dalam Bab V, berisi satu pasal, yaitu
pasal 29 yaitu; �Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga tersangkut�.
Perjanjian
perkawinan dalam Pasal 29 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas
tentang hal ini, sehingga secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian
perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai harta perkawinan
saja, namun juga hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan norma agama,
ketertiban umum dan kesusilaan. Esensi Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 lebih luas dari pada makna
perjanjian perkawinan yang terdapat dalam KUH Perdata (BW).
Perjanjian
perkawinan seperti telah diuraikan sebelumnya di atas yang diatur dalam
beberapa peraturan di Indonesia dibuat dalam bentuk perjanjian yang harus
dilegalisasi oleh Notaris dalam bentuk akte perjanjian kawin sebagaimana diatur
dalam pasal 147 KUHPerdata bahwa, perjanjian kawin harus dibuat dengan akta
notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan batal bila tidak dibuat
demikian. Perjanjian akan mulai berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan dan
tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu, berdasarkan hal tersebut pengaturan
tentang perjanjian perkawinan juga diatur dalam pasal 148 KUHperdata mengatur
bahwa: �Segala perubahan dalam perjanjian, yang sedianya pun boleh diadakan
sebelum perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan
dengan akta dan dalam bentuk yang sama, seperti akte perjanjian itu dulupun
dibuatnya. Selama daripada itu, tiada suatu perubahan pun boleh berlaku, jika
penyelenggaraanya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh segala mereka, yang
dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian (Jakarta, 2016).�
Hal
ini sangatlah berbeda dengan esensi dari pengertian perjanjian pada umunya yang
diatur dalam KUHPerdata yaitu pada pasal 1313, bahwa setiap perjanjian yang
telah dilakukan atau telah dibuat oleh para pihak bisa batal demi hukum atau
dapat dibatalkan, namun perjanjian perkawinan sangatlah berbeda berdasarkan
pasal 148 dan pasal 149 KUHPerdata, bahwa perjanjian yang telah dibuat sebelum
perkawinan tidak akan bisa diubah ketika perkawinan telah berlangsung.
Berdasarkan
hal tersebut di atas adanya perbedaan dalam perjanjian kawin yang berbeda
dengan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHperdata yaitu; perjanjian
adalah perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih. Perjanjian merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu
perbuatan hukum yaitu perikatan. Jadi perjanjian adalah merupakan suatu
hubungan hukum yang menjamin pihak-pihak yang bersangkutan haknya dijamin dan
dilindungi oleh hukum dan undang-undang sehingga apabila tidak dipenuhi secara
sukarela pihak yang lainnya berhak menuntut melalui pengadilan agar supaya
orang yang bersangkutan dipaksa untuk memenuhi atau menegakkan haknya.
Perjanjian
perkawinan sendiri dialur dalam Buku I Tentang orang. Jadi perjanjian
perkawinan menurul KUHPerdata berbeda dengan peljanjian yang dialur dalam Pasa
l 1313 KUHPerdala. Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal
139 yaitu. �Dengan mengadakan perjanjian perjanjian kawin, kedua calon suami
istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan
perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata
tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan.�
Berdasarkan
latarbelakang masalah di atas peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut tentang masalah perjanjian kawin yang dibuat dalam bentuk akte notaris
yang mana perjanjian perkawinan ini berbeda dengan bentuk perjanjian lainnya,
karena perjanjian perkawinan ini boleh menyimpangi peraturan
perundang-undangan, inilah yang menjadi dasar peneliti tertarik untuk mengkaji
hal tersebut dengan mengangkat judul penelitian �Eksistensi Hukum Pembuatan Akta
Perjanjian Perkawinan Dihadapan Notarismenurut Ketentuan Pasal 147 Kuhperdata.� sebagai tesis.
Metode Penelitian
A. Tipe
dan Sifat Penelitian
Tipe penelitian ini adalah tipe Hukum empiris, yaitu
suatu metode penelitian yang mana dalam hal ini mengabungkan unsur hukum
normatif yaitu melihat unsur normatif didukung dengan penambahan data atau
unsur empiris.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan, Aturan dalam UU Perkawinan, UUD RI 1945, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Jabatan Notaris dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menggunakan pendekatan
perundang-undangan serta pendekatan konsep dan juga kasus. Khususnya dalam hal
ini tentang analisis perjanjian kawin yang dibuat sebelum dan sesudah
perkawinan dilakukan.
B. Jenis dan Sumber Data
Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu :
1)
Data Primer (field
research) berupa data yang didapatkan langsung peneliti dilapangan dengan
cara wawancara ataupun dengan pihak terkait terutama kepada beberapa Notaris di
Kota Ternate, karena perjanjian kawin secara otentik dibuat oleh notaris.
2) Data Sekunder (library research) berupa literatur-literatur dan sumber pustaka
lainnya, yaitu UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan, KUHperdata dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris.
3)
Data Tersier, Berupa adalah bahan-bahan memberi
penjelasan terhadap data primer dan sekunder seperti bahan internet,
majalah varia peradilan.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data penelitian ini terdiri dari teknik pengumpulan data utama dan
teknik pengumpulan data penunjang. Teknik pengumpulan data utama adalah
peneliti sendiri sedangkan teknik pengumpulan data penunjang adalah daftar pertanyaan,
catatan lapangan dan rekaman tape recorder.
Pengumpulan
data lapangan akan dilakukan dengan cara wawancara, baik secara terstruktur.
Wawancara terstruktur dilakukan dengan pedoman pada daftar-daftar pertanyaan
yang sudah disediakan peneliti. Materi diharapkan berkembang sesuai dengan
jawaban informan dan situasi yang berkembang.
D. Teknik
Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara
kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis,
kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang
dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang
nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.Pengertian di analisis
disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterprestasian secara
logis, sistematis dengan pendekatan sosiologis.
Logis sistematis menunjukan cara berpikir deduktif
dengan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah, setelah
analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu
dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang
diteliti.� Hasil tersebut kemudian
ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
A. Hal-Hal
Apa Saja Yang Dituangkan Dalam Perjanjian Kawin Yang Dibuat Dihadapan Notaris
Adanya persetujuan dalam perkawinan juga penting
karena persetujuan perkawinan adalah hal yang penting karena merupakan
kesepakatan antara calon suami dan istri untuk mengikat dalam tali perkawinan
sebagaimana disebutkaan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 yang berbunyi:
�Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai. Persetujuan atau kata sepakat dari calon suami istri merupakan
unsur hakiki dari perkawinan karena mengandung suatu keharusan adanya sifat
akan berlangsungnya perkawinan yang langgeng�
Persetujuan tersebut haruslah berlandaskan kesadaran
dari pihak yang bersangkutan dan juga persetujuan itu harus bebas dari segala
pengaruh tertentu yang mengganggu kebebasan tersebut karena perkawinan pada
asasnya adalah untuk berlaku dan berlangsung langgeng selamanya atau seumur
hidup.
Perjanjian perkawinan atau lebih lebih dikenal
dengan istilah perjanjian pra nikah merupakan suatu perjanjian yang dibuat atas
kesepakatan pasangan yang akan menikah terkait dengan harta benda yang akan
dibawa kedalam perkawinan dan harta benda yang diperoleh dalam perkawinan.
Apakah harta-harta tersebut akan menjadi satu kesatuan ataukah terpisah dalam
penguasaan masing-masing. Selain itu, perjanjian pra nikah bisa juga berisi
hal-hal lain terkait dengan komitmen dalam menjalankan rumah tangga.
Dikalangan masyarakat Indonesia perjanjian pra nikah
merupakan suatu hal yang sensitif bahkan tabu untuk dibicarakan. Membicarakan
masalah harta benda akan membuat ketersinggungan bukan hanya bagi calon pasangan
tapi juga keluarga besar secara keseluruhan. Selain itu, secara psikologis
sangat tidak etis karena perjanjian pra nikah ini tujuannya mengantisipasi
apabila terjadi perceraian dikemudian hari. Pernikahan belum dilangsungkan
sudah menyinggung masalah perceraian. (Tavinayati, 2016) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak dikenal konsep harta bersama dan
harta bawaan yang ada adalah harta persatuan. Apabila tidak ada perjanjian pra
nikah tentang pemisahan harta perkawinan maka sejak perkawinan dilangsungkan
maka terjadilah persatuan bulat harta kekayaan tanpa melihat siapa yang membawa
harta itu kedalam perkawinan.
Apabila terjadi perceraian dikemudian hari maka
harta persatuan akan dibagi dua untuk masing-masing suami isteri. Oleh karena
itu, dalam sistem KUH Perdata perjanjian pra nikah ini menjadi sangat penting
dalam rangka mengesampingkan ketentuan hukum tentang persatuan bulat harta
kekayaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengadopsi
mengenai perjanjian perkawinan ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 29
Undang-Undang Perkawinan (UUP). Dengan demikian, UUP membuka ruang bagi
masyarakat Indonesia yang ingin membuat perjanjian pra nikah. Mengingat KUH
Perdata hanya berlaku untuk golongan masyarakat tertentu saja di Indonesia.
Misalkan untuk golongan masyarakat Indonesia yang muslim tentunya tidak mungkin
perjanjian pra nikahnya didasarkan pada KUHPerdata.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam
Pasal 119 Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita mengakibatkan
terjadi persatuan bulat harta kekayaan perkawinan dalam hal ini pada prinsipnya
dalam hubungan suami isteri tersebut hanya terdapat satu jenis kekayaan yaitu harta
persatuan. Penyimpangan terhadap prinsip persatuan harta dimungkinkan oleh
ketentuan Pasal 139 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan bahwa:
�Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua
calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan
undang-undang sekitar persatuan harta kekayan, asal perjanjian itu tidak
menyalahi tata susila yang baik atau tertib umum dan asalkan pula diindahkan
pula segala ketentuan yang diatur�.
Ketentuan Pasal di atas senyatanya memberi kesempatan
untuk suami dan isteri untuk membuat perjanjian kawin yang isinya mengatur
tersendiri harta kekayaan asal perjanjian tersebut tidak menyalahi tata susila
yang baik atau tata tertib umum. Dalam aspek hukum, perkawinan merupakan suatu
akad, yaitu perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami-istri untuk
membina rumah tangga bahagia. Sebagai ikatan dan perjanjian, kedua belah pihak
terikat dengan janji yang dibuatnya, karena itu, dengan akad nikah menimbulkan
hak dan kewajiban suami istri.
Pasal 149 KUHPerdata menyatakan: �setelah perkawinan
berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun, tidak boleh
diubah�. Dari Ketentuan Pasal 149 tersebut, KUHPerdata secara tegas menyatakan
perjanjian perkawinan tidak dapat diubah apapun alasannya. Dengan demikian,
KUHPerdata menutup kemungkinan untuk mengubah perjanjian perkawinan setelah
perkawinan dilangsungkan, biarpun mungkin para pihak sepakat untuk mengubahnya.
Ketentuan yang demikian sebenarnya tidaklah
mengherankan biarpun perjanjian perkawinan terletak dalam hukum keluarga, ia
tetaplah sebuah perjanjian. Sebagai sebuah perjanjian tentu harus tunduk pada
asas-asas hukum perjanjian. Asas hukum perjanjian yang wajib diperhatikan dalam
hal ini adalah asas kekuatan mengikat suatu perjanjian atau asas Pacta Sunt Servanda. Asas ini terdapat
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan semua persetujuan sepanjang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata mengisyaratkan
mengenai kekuatan mengikat suatu perjanjian. Apabila para pihak sudah memenuhi
syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak sebagaimana
kekuatan mengikat sebuah undang-undang. Calon suami-istri terikat yang membuat
perjanjian perkawinan harus tunduk dan terikat pada perjanjian yang dibuat
sebelum menikah. Dengan menyamakan kekuatan mengikat suatu perjanjian sama
dengan kekuatan mengikat sebuah undang-undang, pembentuk undang-undang bermaksud
untuk mengingatkan para pihak untuk tidak melanggar perjanjian yang sudah
disepakati.
Seandainya para pihak ingin mengubah perjanjian
perkawinan meskipun mereka sepakat untuk itu maka itu perjanjian perkawinan
yang isinya sudah diubah tersebut akan batal demi hukum karena bertentangan
dengan ketentuan Pasal 149 KUH Perdata. Dengan demikian, tetap perjanjian
pertama yang sah.
Berdasarkan uraian di atas, maka menurut hemat
penulis berdasarkan klausul atau ketetapan perjanjian perkawinan dalam
KUHPerdata tidak dapat diubah setelah perkawinan berlangsung maka pengaturannya
dibuat sedemikian rupa baik terkait isi dan prosedur pembuatannya. KUHPerdata
memberi kemungkinan untuk mengubah bila itu dilakukan sebelum perkawinan
dilangsungkan dan itupun dengan prosedur yang ketat. Pasal 148 KUHPerdata
menyatakan bahwa:
�segala perubahan dalam perjanjian, yang sedianya
pun boleh diadakan sebelum perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan dalam bentuk yang sama,
seperti akta perjanjian itu dulupun dibuatnya�.
Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan
: selama daripada itu, tiada suatu perubahan pun, boleh berlaku, jika
penyelenggaraannya tidak dihadiri dan disetujui oleh segala mereka, yang dulu
telah menghadiri dan menyetujui perjanjian�. Dengan demikian, apabila mau
diubah maka perubahannya tersebut harus dibuat dalam bentuk akta dan disetujui
oleh calon suami isteri dan dihadiri oleh para saksi yang sama dengan saksi
yang hadir pada waktu akta pertama dibuat. Sedangkan, menurut Ketentuan Pasal
147 KUHPerdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan syarat sebagai berikut :
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami
bahwa isi atau substansi dari perjanjian kawin yang dibuat berkorelasi dengan
apa saja yang dituangkan dalam perjanjian kawin yang dibuat dihadapan notaris.
Dengan demikian, terdapat dua hal mendasar yakni berkaitan dengan pertama, wewenang dan tanggung jawab
notaris dalam pembuatan akta perjanjian kawin. Kedua, kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian kawin.
1) Wewenang Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam
Pembuatan Akta Perjanjian Kawin
Berdasarkan
Pasal 147 KUHPerdata maka setiap perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung
dengan ancaman kebatalan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 29 UUP jo. 147
KUHPerdata maka perjanjian kawin harus dibuat sebelum atau pada waktu
pernikahan dilangsungkan dan dibuat dalam akta notaris dan disahkan oleh
pegawai pencatat pernikahan. Dan isi dari perubahan perjanjian perkawinan
tersebut adalah merubah apa yang menjadi obyek dari harta perkawinan serta
tanggungjawab kedua belah pihak (pasangan suami isteri) (Ardhiwisastra, 2000).
Sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 139 KUHPerdata, bahwa dalam perjanjian perkawinan
itu kedua calon suami istri dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dalam harta bersama, asal saja penyimpangan- penyimpangan tersebut
tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde) dengan mengindahkan pula isi ketentuan yang
disebutkan setelah Pasal 139 KUH Perdata itu (Prawirohamidjojo, 2002).
Pasangan
yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh
jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan
perkawinan berarti pula melanggar perjanjian maka merupakan hal yang sangat
jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum yang akan ditanggung/resiko bila
salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, biasanya ada
sanksi yang harus diberlakukan terhadap pihak yang melanggar perjanjian
perkawinan tersebut. Dalam KUHPerdata diberikan beberapa
larangan tentang isi perjanjian perkawinan, yaitu: (Djais, 2006)
a.
Perjanjian
tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 139);
b.
Perjanjian
tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPerdata diberikan kepada
suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa istri
akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat
(1);
c.
Dalam
perjanjian suami istri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta
peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141);
d.
Dalam
perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa dalam hal campur harta, apabila
milik bersama itu dihentikan, si suami atau si istri akan membayar bagian
hutang yang melebihi perimbangan dan keuntungan bersama (Pasal 142);
e.
Dalam
perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan
yang berlaku dalam suatu negara asing (Pasal 143).
Pada
dasarnya hukum memberikan beban tanggung gugat atau tanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukannya, namun demikian tidak berarti setiap kerugian
terhadap pihak ketiga seluruhnya menjadi tanggung gugat atau tanggung jawab
notaris. Hukum sendiri memberikan batas-batas dan rambu-rambu anggun gugat dan
tanggung jawab notaris, sehingga tidak semua kerugian menjadi tanggung gugat
dan tanggung jawab notaris. Hal inilah yang dalam ilmu hukum dikenal dengan
bentuk perlindungan hukum terhadap notaris sebagai pejabat umum yang bertugas
memberikan pelayanan masyarakat. Dengan
demikian, menjadi suatu hal logis bahwa perjanjian kawin menjadi sutau hal ini
dilakukan sebagai suatu bentuk keabsahan perjanjian perkawinan, juga untuk:
1)
Untuk
mencegah perbuatan yang tergesa-gesa oleh karena akibat daripada perjanjian ini
akan dipikul seumur hidup.
2)
Untuk
adanya kepastian hukum.
3)
Sebagai
alat bukti sah.
Syarat
ini diadakan dengan maksud agar setelah perkawinan
dilangsungkan dapat diketahui dengan pasti mengenai perjanjian
perkawinan berikut isi perjanjian perkawinan itu. Perjanjian
perkawinan berlaku sepanjang perkawinan berlangsung dan tidak
dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku satu macam hukum
harta perkawinan kecuali bila terjadi pisah harta
kekayaan. Tiga bentuk perjanjian kawin yang dapat dipilih calon suami isteri
tersebut yaitu:
1.
Perjanjian
Kawin dengan Kebersamaan Untung dan Rugi Dalam Pasal 115 KUHPerdata disebutkan
bahwa:
�Jika
dalam perjanjian perkawinan oleh kedua calon suami isteri
hanyalah diperjanjikan bahwa dalam persatuan untung dan rugi, maka berartilah
bahwa perjanjian yang demikian, dengan sama sekali tidak berlakunya persatuan
harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, setelah berakhirlah persatuan
suami isteri, segala keuntungan pada mereka yang diperoleh sepanjang perkawinan
harus dibagi antara mereka berdua, sepertipun segala kerugian harus mereka
pikul berdua�
Ketentuan
mengenai persatuan untung rugi ini tidak semua harta
kekayaan suami isteri dicampur menjadi harta persatuan, tetapi hanya
sebagian dari harta kekayaan suami isteri saja yang merupakan
keuntungan dan kerugian yang timbul selama perkawinan. Harta kekayaan (semua
laba dan hutang) suami isteri yang mereka bawa dalam perkawinan dan harta yang
mereka peroleh dengan cuma-Cuma (hadiah,warisan)
sepanjang perkawinan adalah modal tetap milik pribadi suami atau isteri dan
masing-masing tidak masuk dalam kebersamaan, sehingga terdapat tiga macam harta
kekayaan, yaitu:
a.
Milik
pribadi suami
b.
Milik
pribadi isteri
c.
Untung dan
rugi yang masuk dalam kebersamaan
2.
Perjanjian
Kawin Dengan Kebersamaan Hasil dan Pendapatan
Mengenai
kebersamaan hasil dan pendapatan (gameenschap
van vruchten en inkomsten) undang-undang hanya memuat satu pasal (Pasal 164
BW). Ketentuan dalam perjanjian kawin, menetukan antara suami dan isteri hanya
akan ada kebersamaan hasil dan pendapatan, sehingga berarti tidak akan ada
kebersamaan bulat atau menyeluruh menurut undang- undang dan tidak akan ada
pula kebersamaan untung dan rugi. Demikian halnya pada kebersamaan
hasil dan pendapatan, juga terdapat kemungkinan adanya tiga jenis harta
kekayaan yaitu: harta kekayaan suami, harta kekayaan isteri dan harta kekayaan
kebersamaan hasil dan pendapatan. Mengenai kebersamaan hasil dan pendaptan ini
dahulu terdapat banyak pendapat, tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa pada
umumnya orang berpendapat: kebersamaan tersebutdalam banyak hal sama dengan
kebersamaan untung rugi.
Perbedaannya,
apabila kebersamaan tersebut menujukkan kerugian (saldo negatif), maka suami
yang mengurusi kebersamaan itu. Dengan kata lain, suami harus memikul seluruh
kerugian. Apabila kebersamaan itu menimbulkan keuntungan, maka keuntungan ini
dibagi antara suami isteri. Hal ini sesuai dengan Pasal 105 KUHPerdata yang
menentukan bahwa, �setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami isteri. Ia
(suami) harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah tangga
yang baik, dan karenanyapun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam
pengurusan itu�.
Dari
pasal tersebut dapat dilihat bahwa KUHPerdata menempatkan suami berperan lebih
besar dalam keluarga, sehingga kerugian yang timbul dalam praktek perjanjian
perkawinan dalam bentuk persatuan hasil dan pendapatan menjadi tanggungan
suami.
Berbeda
dengan KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih
memberi ruang untuk mengubah perjanjian perkawinan setelah perkawinan
berlangsung meskipun dengan syarat yang ketat. Sebagaimana termaktub dalam
Pasal 29 ayat (4) menyatakan : �Selama perkawinan
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga�. Dengan demikian, perjanjian perkawinan masih dapat diubah setelah
perkawinan dengan dua syarat :
1.
Ada
perjanjian sebelumnya bahwa perjanjian perkawinan itu dapat diubah setelah
pasangan tersebut menikah; dan
2.
Perubahan
itu tidak merugikan pihak ketiga Kedua syarat ini merupakan satu kesatuan,
meskipun pasangan suami isteri itu sepakat bahwa perjanjian perkawinan dapat
diubah setelah mereka menikah tetapi perubahan tersebut tidak boleh merugikan
pihak ketiga.
Siapa
yang dimaksud dengan �tidak boleh merugikan pihak ketiga dan siapa pihak ketiga
yang dimaksud? Pihak ketiga yang dimaksud disini bisa kreditur atau ahli waris.
Bisa terjadi, pasangan suami isteri mengajukan pinjaman dan menjadikan harta
perkawinan sebagai jaminan. Sebelum menikah pasangan suami isteri itu telah
membuat perjanjian perkawinan bahwa harta yang mereka peroleh baik sebelum dan
sesudah perkawinan merupakan satu kesatuan. Untuk mengantisipasi, harta yang
dijaminkan tersebut akan disita untuk pelunasan hutang maka mereka sepakat
mengubah perjanjian perkawinan dari persatuan bulat harta kekayaan menjadi
pemisahan harta perkawinan.
Apabila
pinjaman tersebut atas nama suami maka harta
atas nama isteri tidak dapat disita untuk pelunasan hutang. Bisa juga pihak
ketiga disini adalah ahli waris. Perjanjian perkawinan yang tadinya merupakan
pemisahan harta perkawinan diubah menjadi persatuan harta perkawinan agar
pasangan nikahnya mendapat bagian dari harta perkawinan apabila terjadi
perceraian. Perbuatan yang demikian akan merugikan ahli waris dari perkawinan
sebelumnya.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 148 ayat (1) KUHPerdata mensyaratkan bahwa perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris. Bunyi
selengkapnya Pasal tersebut adalah Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan
berlangsung.Ketentuan harus dibuat dengan akta notaris merupakan syarat mutlak
karena kalau itu tidak dipenuhi maka ancaman kebatalan menanti. Dilihat dari jenis-jenis perjanjian, perjanjian kawin tergolong
sebagai perjanjian formil.Perjanjian formil adalah suatu perjanjian yang tidak
hanya mensyaratkan kata sepakat saja, tetapi juga mensyaratkan penuangan
perjanjian tersebut dalam suatu bentuk perjanjian tertentu atau disertai dengan
formalitas tertentu. Adakalanya untuk perjanjian-perjanjian tertentu
undang-undang menentukan bahwa suatu perjanjian baru sah selain harus memenuhi
syarat umum untuk sahnya perjanjian, tetapi juga harus dituangkan dalam akta
otentik).
Salah
satu contoh dari perjanjian formil adalah perjanjian kawin. Pasal 147 ayat (1)
dengan tegas menyebutkan perjanjian kawin harus dibuat dengan akta otentik
dengan ancaman kebatalan. Dengan kata lain, apabila perjanjian kawin tidak
dibuat dengan akta otentik maka perjanjian tersebut batal demi hukum karena
bertentangan dengan Pasal 147 ayat (1). Batal demi hukum berarti para pihak
dianggap tidak pernah membuat perjanjian perkawinan. Kalau demikian halnya maka
ketentuan Pasal 119 ayat (1) tentang persatuan bulat harta perkawinan yang
berlaku.� Undang-Undang Perkawinan� tidak
menyebutkan secara tegas apakah perjanjian perkawinan harus dalam bentuk akta
otentik . Pasal 29 ayat (1) hanya menekankan dalam bentuk tertulis. Oleh karena
itu, dapat ditafsirkan bahwa perjanjian kawin bisa dengan dengan akta otentik
ataupun akta dibawah tangan. Meskipun UUP membolehkan perjanjian kawin dalam
bentuk akta dibawah tangan tetapi dalam praktiknya tetaplah dalam bentuk akta
otentik yang dibuat dihadapan notaris. Sebagaimana KUH Perdata, perjanjian
perkawinan menurut UUP, juga memiliki prosedur yang ketat. Meskipun tidak
disebutkan secara tegas ancaman kebatalannya tetapi sudah jelas bahwa
perjanjian perkawinan tersebut batal demi hukum apabila tidak dibuat dalam
bentuk tertulis.
KUHPerdata
secara eksplisit menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan. Oleh karena itu lebih dikenal dengan istilah
perjanjian pra nikah. Prenuptial
Agreement) Dari istilahnya saja
sudah jelas bahwa tidak memungkinkan untuk membuat perjanjian setelah
perkawinan dilangsungkan. Demikian pula halnya dengan KUHPerdata, UU Perkawinan
dalam perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan. Dengan demikian sebagaimana halnya KUHPerdata, tidak
memungkinkan perjanjian perkawinan dibuat selama dalam perkawinan.
Menurut
KUHPerdata dalam Pasal 119 disebutkan bahwa perkawinan pada hakikatnya
menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila
pasangan menikah tersebut membuat sebuah Perjanjian Perkawinan yang mengatur
mengenai pemisahan harta. Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) bahwa dengan pembuatan Perjanjian Perkawinan calon
suami istri dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai ketentuan
harta bersama asalkan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan tata susila
atau tata tertib umum. Lebih spesifik, definisi atas Perjanjian Perkawinan
disebutkan pada Pasal 29 undang-undang yang sama. Ketentuan-ketentuan tersebut
merupakan dasar hukum pembuatan Perjanjian Perkawinan oleh calon suami-istri.
Pemutusan
perkawinan dengan jalan perceraian hanyalah diperkenankan atau diperbolehkan
dalam keadaan yang sangat terpaksa. Meskipun dimaksud untuk berlangsung kekal
dan abadi, tertuju pada suatu saat orang akan dapat mengalami bahwa perkawinan
berakhir, karena timbulnya keadaan tertentu baik berupa karena kematian maupun
perceraian. Perceraian yang merupakan pengecualian dari tujuan perkawinan
adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan, baik atas permintaan suami atau istri.
Menurut
R. Soebekti, Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan (dalam hal ini salah satu pihak
dimaksud adalah suami atau istri). Perceraian menurut agama Islam adalah suatu
perbuatan yang ditentang oleh Allah SWT tetapi dihalalkan. Undang-undang
memperkenankan kedua calon pasangan suami istri untuk membuat suatu sebagai
�perjanjian kawin� atau �perjanjian perkawinan�, yang umumnya hanya menyangkut
seputar pengaturan terhadap harta perkawinan, yang dimaksudkan untuk
mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin akan timbul apabila perkawinan
tersebut berakhir.
3.
Tentang
Pemisahan Harta
Perjanjian
perkawinan sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri
dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas
atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang. Di dalam kehidupan suatu keluarga
atau rumah tangga selain masalah hak dan kewajiban sebagai suami istri, maka
masalah harta benda juga merupakan salah satu faktor atau pokok pangkal yang
dapat menyebabkan timbulnya berbagai perselisihanatau ketegangan dalam suatu
perkawinan, bahkan dapat menghilangkan kerukunan antara suami-istri dalam
kehidupan suatu keluarga. Untuk menghindari hal tersebutdi atas, maka dibuatlah
Perjanjian Kawin antara pihak calon suami dan calon istri sebelum mereka
melangsungkan perkawinan.
Perjanjian
diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara
dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Perjanjian perkawinan tetap harus dibuat
dengan mendasarkan pada syarat-syarat umum yang berlaku untuk dapat sahnya
suatu perjanjian. Suatu perjanjian untuk dapat memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Isi
yang diatur di dalam Perjanjian Kawin tergantung pada pihak-pihak calon suami
dan calon istri, asal tidak bertentangan dengan dengan undang-undang, agama dan
kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi Perjanjian Kawin, sebagaimana halnya
dengan perjanjian pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan
atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan azas hukum �kebebasan
berkontrak�) asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan atau
tidak melanggar ketertiban umum Tidak ada definisi yang diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan mengenai perjanjian perkawinan; undang-undang
tersebut hanya mengatur dalam Pasal 29, sebagai berikut:
1.
Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2.
Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan.
3.
Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4.
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dirubah, kecuali bila kedua
belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga. 4.
Berdasarkan
KUHPerdata perubahan atas perjanjian perkawinan hanya mungkin dilakukan sebelum
berlangsungnya perkawinan Dalam hal terdapat perubahan maka perubahan tersebut
harus dilakukan dengan cara dan bentuk yang sama seperti pembuatan perjanjian
perkawinan tersebut. Perubahan tersebut juga hanya berlaku jika dihadiri dan
disetujui oleh semua orang yang dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian
tersebut.
Calon
mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita dapat menyelenggarakan perjanjian
perkawinan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian bersifat
notariil ataupun dibawah tangan. Perjanjian itu berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan dan dilekatkan pada akta surat nikah dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat dengan:
a)
Atas
persetujuan atau kehendak bersama,
b)
Dibuat
secara tertulis,
c)
Disahkan
oleh pegawai pencatatan nikah, dan
d)
Tidak
boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.
Perjanjian
perkawinan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, hukum dan agama. Perihal tidak melanggar batas-batas hukum dalam
hal ini diartikan dengan arti luas, yaitu tidak bertentangan dengan agama yang
dianut oleh para pihak yang mengadakan perjanjian perkawinan itu pada saat membuat
perjanjiannya dan pada saat perkawinan dilangsungkan.
Meskipun
tidak dinyatakan dalam Undang-undang Perkawinan, maksud dan tujuan perjanjian
perkawinan dimaksudkan perjanjian mengenai pengurusan harta kekayaan perkawinan
suami istri dalam perkawinan, hal mana dapat disimpulkan dengan melakukan
penafsiran istilah perjanjian perkawinan dalam pasal 29 Undang- undang
Perkawinan dihubungkan dengan KUHPerdata maupun perjanjian perkawinan menurut
Hukum Islam yang berlaku sebelumnya.
Perjanjian
perkawinan tidak boleh dibuat setelah perkawinan berlangsung apabila sebelum
atau pada saat perkawinan berlangsung tidak telah diadakan perjanjian
perkawinan. Perjanjian yang dibuat setelah perkawinan berlangsung hanyalah
merupakan perjanjian perkawinan yang merupakan perubahan dari perjanjian yang
sudah ada, hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (4)
Undang- undang Perkawinan yang pada pokoknya menyebutkan dalam ayat (1) bahwa
�perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan�.
Pasal
29 ayat (4) mengatakan bahwa, �perjanjian tidak dapat dirubah, kecuali ada
persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga�. Perjanjian
perkawinan diantara kedua calon suami isteri tersebut dibuat baik dalam bentuk
tulisan atau akta, baik dibawah tangan maupun dalam bentuk otentik yang dibuat
oleh seorang pejabat umum yang berwenang. Namun untuk memberikan perlindungan
yang maksimal dan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, perjanjian
kawin sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik. Suatu akta otentik adalah
akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang berwenang untuk itu, seperti misalnya
akta notariil yang dibuat oleh Notaris, merupakan alat bukti yang kuat.
4. Kendala-Kendala
Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kawin
Setelah perjanjian kawin dibuat dihadapan notaris,
adakalanya dalam pelaksanaan isi perjanjian kawin tersebut menghadapi
kendala-kendala. Pada umumnya kendala yang paling sering terjadi diantaranya yaitu :
1) Suami isteri
beritikad buruk dalam hal utang piutang terhadap pihak ketiga;
2) Selama
berlangsungnya pernikahan suami atau istri melanggar isi perjanjian;
3) Terjadi sengketa
perdata mengenai perjanjian kawin.
Kendala lainya komplain dari pihak keluarga mempelai
pada saat akad nikah dilangsungkan, karena mereka merasa tidak pernah diberi
tahu kalau telah ada perjanjian kawin yang dibuat oleh calon
suami isteri, atau adanya kecurigaan akan dikuasainya harta dalam perkawinan
oleh pihak calon suami atau isteri atau oleh
pihak ketiga. Sehingga bukan tidak mungkin dilakukan perubahan dalam perjanjian
atau sebaliknya perjanjian itu sendiri tidak dapat
dilaksanakan.
Ternyata dalam perjalanan perkawinan itu sendiri
salah satu pihak mempunyai hutang piutang atas harta bawaan yang semula diurus
masing-masing pihak, melebihi dari nilai harta yang ia bawa dalam perkawinan.
Hal ini bisa saja akan mempengaruhi hubungan para pihak dalam pengurusan harta
yang diperjanjikan.
Persoalan budaya, dan persoalan yang berkaitan
dengan keyakinan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sakral, suci, dan agung.
Oleh karenanya, setiap pasangan yang akan menjalani pernikahan harus menjaga
kesuciannya sejak dari proses menuju pernikahan dan terus sampai pada menjalani
pernikahan. Sebuah keluarga harus mempertahankan perkawinannya sekuat tenaga demi kesakralan, kesucian, dan keagungan
perkawinan tersebut.
Tragisnya, tidak jarang perempuan yang
memperjuangkan ikatan perkawinannya, meskipun dirinya terus-menerus mengalami
kekerasan oleh pasangannya. Tidak banyak orang yang bersedia menandatangani
perjanjian kawin/pranikah. Selama ini, perjanjian pranikah dianggap hanya untuk
memisahkan atau mencampurkan harta suami-istri.
Akibatnya pihak yang mengusulkan dinilai masyarakat
sebagai orang yang pelit, sampai saat ini khususnya di Indonesia dan mungkin
negara Timur lainnya, perjanjian pranikah menjadi sesuatu yang belum biasa
dilakukan dan bahkan menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon
pasangan mengajukan untuk membuat perjanjian.
Pada akhirnya masalah yang utama dalam pelaksanaan perjanjian
kawin adalah salah satu pihak atau kedua-duanya tidak memiliki itikad baik dan
berkelakuan jelek dalam melaksanakan perjanjian kawin. Dalam hal ini dapat
dilakukannya pembatalan pernikahan atau dapat dimintakan perceraian ke
Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri bagi mereka selaian beragama Islam.
Dalam hal terjadi sengketa perdata pada umumnya diselesaikan melalui
Pengadilan, padahal bisa saja dilakukan pilihan hukum dalam bentuk alternatif
penyelesaian sengketa seperti arbitrase, jasa-jasa baik, mediasi, hukum adat
atau secara hukum agama.
Apabila terjadi perceraian, bagaimana masalah
pengurusan harta begitu juga masalah perwalian anak ini perlu disikapi
hati-hati dan perhitungan matang bagi para pihak. Sehingga yang terpenting
dalam perjanjian kawin adanya keterbukaan, kejujuran dan saling percaya
diantara kedua belah pihak untuk merumuskan perjanjian yang akan dituangkan ke
dalam akta. Sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan nantinya di
kemudian hari.
Masyarakat Indonesia yang kuat budaya Timurnya,
dengan membuat perjanjian kawin dianggap sesuatu yang tabu bagi sebagian besar
calon suami isteri. Padahal dengan perjanjian kawin menunjukkan adanya itikad
baik untuk memahami hak dan kewajiban dalam masalah pengurusan harta dalam perkawinan,
termasuk juga pengurusan anak, karena tujuan perkawinan menurut Undang Undang
Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan uraian diatas, apabila di kontekskan
dengan Wierjono Rodjodikoro, perjanjian ialah suatu perhubungan hukum mengenai
harta benda antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan
pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.
Pada dasarnya perjanjian kawin yang di buat di
hadapan Notaris yang mana telah terpenuhinya unsur syarat perjanjian sehingga
perjanjian tersebut memiliki kepastian hukum. Perjanjian kawin ini sebagai akta
otentik yang bisa digunakan dalam pembiuktian kalau terjadi suatu sangketa
dalam perjanjian tersebut. Namun yang kita dapati kendala utama dalam
pelaksanaan perjanjian kawin, adalah kalau terjadi perceraian tidak ada
laporan. Hal ini dimaklumi, karena para pihak merasa ini masalah keluarga,
padahal dari sisi administrasi mereka perlu mendata ulang daftar catatan
perjanjian kawin yang mereka terima, guna mengetahui
perkembangan tingkat kesadaran masyarakat dalam membuat
perjanjian dan mencatat perjanjian kawin.
B. Akibat Hukum Jika Perjanjian Kawin Yang
Telah Dibuat Oleh Notaris Tidak Dipatuhi Dan Dilanggar Oleh Salah Satu Pihak
(Suami Atau Istri)
Konsepsi
perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian yang didasarkan atas kata
sepakat dan menimbulkan hak dan kewajiban tetapi perjanjian tersebut hanya
mempunyai akibat hukum dalam hukum keluarga saja dan hak serta kewajiban
tersebut ada di luar hukum kekayaan kecuali yang ada dalam lapangan hukum harta
perkawinan). (Satrio, Perjanjian, & Penerbit, 1992) Proses kehidupan yang nyata antara
manusia satu dengan manusia yang lain tentunya tidak mungkin dapat terpisahkan.
Sama halnya dengan hubungan suami istri yang harus dapat memenuhi kebutuhan
jasmani dan rohaninya satu sama lain dan juga di samping pemenuhan kebutuhan
jasmani dan rohani, tentunya terdapat hubungan harta kekayaan sebagai dasar
pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup manusia.
Masalah
harta kekayaan di lingkungan sosial selalu menjadi lingkup tersendiri bagi
setiap orang untuk dapat mengelolanya dengan baik dan benar, yaitu dengan cara
membentuk kesepakatan terkait pengelolaan harta kekayaan yang dimiliki. Hal ini
bisa berkaitan dengan harta kekayaan sebelum perkawinan dilangsungkan maupun
berkaitan dengan harta kekayaan setelah perkawinan. Lebih lanjut diatur dalam
Pasal 147 KUHPerdata bahwa Perjanjian
kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan
menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai
berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain
untuk itu (Wiki, 2002).
Hubungan
suami istri yang harus mengelola keuangan menjadi satu kesatuan, merupakan hak
setiap orang sebagai konsekuensi dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan
Pasal 28 B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah menjelaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
Penjelasan
Pasal tersebut secara tidak langsung menjelaskan terkait akibat hukum dari
adanya perkawinan, termasuk didalamnya adalah akibat hukum terhadap harta
kekayaan dan pihak ketiga dari pasangan suami istri tersebut. Akibat hukum
terkait pengelolaan harta kekayaan dari pasangan suami istri memiliki sistem,
bersama dengan prinsip satu kesatuan yang bulat atau menggunakan sistem
terpisah baik sebagian ataupun seluruhnya yang memberi jalan kepada suami istri
untuk dapat mengatur/membuat perjanjian mengenai pengelolaan harta kekayaan.
Perjanjian terkait pengelolaan harta kekayaan yang dilakukan oleh suami istri
disebut juga perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan telah diatur di dalam
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu yang
membahas terkait perjanjian pra nikah. Diprkuat dengan (Kenedi, 2020).
Berdasarkan
kedua peraturan tersebut, sebenarnya sudah sangat jelas menyatakan bahwa Negara
Indonesia mendukung adanya pembentukan perjanjian perkawinan untuk tetap
melindungi harta kekayan suami istri dan pihak ketiga yang bersangkutan. Harta
bersama yang diperoleh selama perkawinan mungkin tidak menjadi persoalan dalam
perceraian dalam sebuah perkawinan. Hal ini berbeda dengan harta bawaan dan
harta perolehan yang sifat penguasannya sama tergantung tunduk ke hukum mana
yang suami istri sepakati. Kesepakatan tersebut seharusnya dituangkan ke dalam
sebuah perjanjian perkawinan agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian
hari.
1) Fungsi
Perjanjian Kawin Dilangsungkan
Perjanjian sebagaimana tersebut haruslah
dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan haruslah dibuat dalam bentuk
akta otentik dimuka notaris, akta otentik itu sangat penting (Manan & Jauhari, 2003) karena dapat
dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang
harta bawaan masing-masing. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum
perkawinan dilaksanakan maka semua harta suami dan isteri terjadi perbauran. Tentang Perjanjian
kawin ini dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan sepanjang tidak
menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam
masyarakat.
Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai
dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah,
mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Pasal 47 ayat (2) perjanjian
tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangn dengan
hukum islam.
Dari segi tujuan dan manfaat dibuatnya Perjanjian perkawinan
masih sedikit calon pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang
positif. Hal ini dikarenakan masih dianggap tabu dan pamali di masyarakat. Ada
sebagian masyarakat yang dapat menerima konsep pemikiran tentang pembuatan
Perjanjian Perkawinan, tetapi lebih banyak masyarakat yang belum menerimanya,
disebabkan adanya pandangan negatif yang menganggap Perjanjian Perkawinan
sebagai sesuatu yang tidak umum, tidak etis, kecurigaan, egois tidak sesuai
dengan budaya orang timur yang penuh etika.
Sebaliknya Perjanjian Perkawinan yang dianggap masih
tabu dilakukan oleh masyarakat awam justru telah menjadi gejala baru di
kalangna tertentu seperti selebritis, pengusaha dan lain-lain. Mereka umumnya
berpandangan bahwa dengan adanya Perjanjian Perkawinan harta miliknya akan
terjamin aman apabila terjadi perceraian. Dalam Perjanjian Perkawinan yang
perlu dipertimbangkan adalah.
1. Keterbukaan
dalam mengungkapkan semua detail kondisi keuangan baik sebelum mau pun sesudah
pernikahan. Berapa jumlah harta bawaan masing-masing pihak sebelum menikah dan
bagaimana potensi bertambahnya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau
karena hal lain misalnya menerima warisan. Kemudian berapa jumlah hutang bawaan
masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah
dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuanya agar
tahu persis apa yang akan diterima dan apa yang akan dikorbankan jika
perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.
2. Kerelaan perjanjian
pranikah harus disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara
sukarela tanpa paksaan, jika sala satu pihak merasa dipaksa karena diancam atau
berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya perjanjian nikah bias
diancam batal karenanya.
3. Pejabat yang
obyektif. Pilihlah pejabat berwenag yang bereputasi baik dan bisa menjaga
obyektivitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian pranikah bisa tercapai
keadilan bagi kedua belah pihak.
4. Notariil.
Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat di bawah tangan tetapi harus di
sahkan oleh notaris. Kemudian harus di catatkan pula dalam lembaga pencatatan
perkawinan, artinya pada saat pernikahan di langsungkan perjanjian pranikah
juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat per- kawinan (KUA maupun Kantor
Catatan Sipil). Maka dengan membuat Perjanjian perkawinan pasangan suami isteri
mempunyai kesempatan untuk saling terbuka,dan bisa
berbagi rasa atas keinginan yang telah disepakati untuk menjalani isi
perjanjian tersebut.
Biasanya perjanjian perkawinan dibuat untuk
kepentingan perlindungan hukum terhadap harta masing-masing suami isteri,
karena UU Perkawinan tidak mengatur tujuan Perjanjian Perkawinan, segalanya
diserahkan kepada kedua belah pihak yaitu suami dan isteri.
Pada dasarnya Perjanjian Perkawinan tidaklah seburuk
yang menjadi anggapan masyarakat. Hal ini terjadi karena Perjanjian Perkawinan
bagi orang kebanyakan adalah kurang etis tidak sesuai dengan budaya orang
timur. Mengingat pentingnya Perjanjian Perkawinan ternyata cukup banyak manfaatnya
bagi suami isteri. Tanpa Perjanjian Perkawinan, maka dalam proses pembagian
harta gono-gini sering terjadi pertikaian. Karena itu manfaat dari Perjanjian
Perkawinan adalah dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan
timbul selama perkawinan, antara lain: (Rini, 2016)
1. Tentang
pemisahan harta kekayaan, jika tidak ada harta gono-gini syaratnya, harus
dibuat sebelum pernikahan dan harus di catatkan di tempat pencatatan
perkawinan.
2. Tentang
pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai masalah
hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa hutang.
Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama
pernikahan, setelah perceraian bahkan kematian.
3. Tanggung jawab
terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut terutama mengenai masalah biaya
hidup anak, dan biaya pendidikanya harus diatur sedemikian rupa berapa besar
kontribusi masing-masing orang tua, dalam hal ini tujuanya agar kesejahteraan
anak-anak tetap terjamin.
2)
Berdasarkan
Isi Perjanjian Kawin
Materi
yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon
suami-istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan
kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara
lain berisi harta bawaan dalam perkawinan, utang yang dibawa oleh suami atau
istri, dan lain sebagainya. Dalam penerapannya berikut adalah hal-hal yang
umumnya diatur dalam perjanjian perkawinan:
1.
Harta
bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing
maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing
selama perkawinan.
2.
Semua
hutang dan piutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka,
sehingga tanggung jawab yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan
menjadi tanggungan masing-masing atau tanggung jawab keduanya dengan pembatasan
tertentu.
3.
Hak
istri dalam mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil serta pendapatan baik dari
pekerjaannya sendiri atau sumber lain.
4.
Kewenangan
istri dalam mengurus hartanya, agar tidak memerlukan bantuan atau pengalihan
kuasa dari suami.
5.
Pencabutan
wasiat, serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat melindungi kekayaan maupun
kelanjutan bisnis masing-masing pihak (dalam hal salah satu/kedua pihak
merupakan pemegang saham/pemimpin usaha pada suatu entitas bisnis).
3) Berdasarkan
Bentuk Perjanjian Kawin
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UU Perkawinan) tidak memuat aturan mengenai isi perjanjian kawin. UU Perkawinan
hanya menentukan bahwa isi perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian sesuai dengan pendapat Mahkamah
Agung, isi KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
yang mengatur mengenai perkawinan dipandang masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UU Perkawinan. KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk menentukan isi perjanjian kawin. Namun perjanjian kawin tersebut
harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut:
1. Tidak memuat
janji-janji yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
2. Perjanjian kawin
tidak boleh:
a) Mengurangi
hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami, yaitu hak suami untuk
menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta
perkawinan.
b) Mengurangi
hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua.
c) Mengurangi
hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau istri yang hidup
terlama.
d) Tidak dibuat
janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga
sedarah mereka dalam garis ke bawah.
e) Tidak dibuat
janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada
bagiannya dalam aktiva.
f) Tidak dibuat
janji dengan kata-kata umum, bahwa harta perkawinan mereka akan diatur oleh
undang-undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia atau
di Nederland, maupun oleh hukum adat.
Di dalam undang-undang hanya terdapat 2 macam
pembatasan terhadap kebersamaan harta kekayaan, yaitu:
1.
Kebersamaan
untung dan rugi. Ini berarti suami dan istri masing-masing memiliki harta
bawaan, yaitu harta yang dimiliki sebelum perkawinan, serta hibah, hibah wasiat
dan pewarisan yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta benda lain dan
hutang-hutang yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik bersama.
2.
Kebersamaan
hasil dan pendapatan. Perjanjian kawin model ini mirip dengan kebersamaan
untung dan rugi. Namun apabila ada kerugian yang terjadi dalam perkawinan, maka
hanya suami yang menanggungnya. Sedangkan istri dibebaskan dari kerugian
tersebut.
4) Akibat
Hukum Yang Di Buat Notaris Tentang Perjanjian Kawin Tidak Dipatuhi Dan Di
Langsungkan Oleh Salah Satu Pihak (Suami-Istri)
Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan
akibat hukum. Akibat perkawinan terhadap suami istri menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami-istri. Hak dan kewajiban antara suami istri diatur dalam
Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menetapkan sebagai berikut, suami-istri wajib saling
cinta-mencintai, hormat menghormati, setia menyetiani dan memberikan lahir
batin satu kepada yang lain. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang
tetap dan tempat kediaman tersebut ditentukan oleh suami-istri bersama.� Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin
antara suami dan istri yang sudah semestinya akan menimbulkan hak dan kewajiban
bagi kedua belah pihak (Limbong, Siregar, &
Yasid, 2022).
Perkawinan mengakibatkan suatu ikatan hak dan
kewajiban, juga menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi
yang melakukan hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga atau
somah (gezin atau household). (Soekanto, 2007) Salah satu
akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta benda
perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna memenuhi segala
keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga.
Mengenai kedudukan suami isteri dalam rumah tangga
dan masyarakat ketentuannya diatur dalam pasal 31 ayat (1) yang pada dasarnya
adalah sebagai berikut: �Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat�.
Dari rumusan tersebut di atas dapat diperoleh
ketentuan bahwa kedudukannya sebagai manusia (Human Beings) maupun dalam
kedudukannya dalam melaksanakan fungsi keluarga. Dan memang pada dasarnya
kedudukan pria dan wanita sebagai manusia adalah sama derajatnya karena
sama-sama ciptaan Tuhan. Tujuan yang hendak dicapai dari ketentuan pasal 31
ayat 1 ini ialah supaya di dalam rumah tangga tidak ada dominasi di antara
keduanya baik dalam pembinaan rumah tangga itu sendiri maupun dalam pembinaan
dan pembentukan keturunan sebagai pewaris generasi yang akan datang. Di samping
itu dengan adanya ketentuan tersebut di atas akan memungkinkan isteri dapat
menduduki jabatan-jabatan penting dalam masyarakat yang dahulunya hanya
dimonopoli oleh pria saja. Demikian juga si isteri dapat mempunyai kebebasan
untuk mengembangkan kecakapan dan bakatnya sebagaimana kesempatan yang dimiliki
oleh suaminya. Tetapi yang perlu di ingat bagi isteri walaupun undang-undang
memberikan persamaan dalam bertindak khususnya di dalam masyarakat jangan
sampai melalaikan kewajiban yang pokok sebagai ibu rumah tangga. Karena dengan
melalaikan kewajiban yang utama sebagai ibu, maka rumah tangga dapat berantakan
dan bahkan hancur sama sekali.
Penulis disini menemukan munculnya sebuah
permasalahan dimana salah satu pihak merasa lebih berhak atas harta yang
dipersengkatakan. Misalnya suami dan istri yang telah bercerai dan
memperebutkan sebuah rumah. Dahulu rumah tersebut dibeli secara kredit oleh
mereka, namun dalam perjalanannya istri lebih banyak membayar cicilan kredit
tersebut, sehingga istri merasa sebagian besar dari nilai rumah tersebut
merupakan bagiannya. Terkadang muncul sebuah pertanyaan, apakah nanti harta
tersebuat akan dibagi sama antara suami istri tersebut. Jika itu terjadi, maka
istri akan merasa tidak adil, karena kenyataannya yang banyak andil dalam harta
tersebut lebih besar dari suaminya. Atau sebaliknya, suami yang bekerja siang
malam mencari nafkah, sementara sang istri hanya tinggal di rumah mengurus anak
dan mengurus rumah tangga. Dari hasil usaha suami, mereka telah dapat membeli
beberapa macam, seperti rumah, tanah, dan sebagainya. Dalam permasalahan
tersebut, jika terjadi perceraian di antara mereka apakah istri akan
mendapatkan bagian yang sama dari harta yang diperoleh dari jerih payah sang
suami itu.
Berdasarkan uraian diatas, apabila di kontekskan
dengan Teori Perlindungan Hukum oleh Philipus M Hadjon. Diungkapkan Hadjon,
perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum
berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.Lebih lanjut, Hadjon
mengklasifikasikan dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan
sarananya, yakni perlindungan preventif dan represif.
Perlindungan merupakan suatu hal atau perbuatan
untuk melindungi subjek hukum berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
disertai dengan sanksi-sanksi. Perlindungan hukum juga merupakan jaminan hak-
hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di
dalam hubungan dengan manusia lain. Sifat manusia, cenderung ingin
kepentingannya dipenuhi terlebih dahulu, tanpa mengingat kepentingan orang lain
dan tidak jarang terjadi kepentingan- kepentingan saling bertentangan.
Keadaan tersebut, apabila tidak diatur atau tidak
dibatasi, maka yang lemah akan tertindas atau setidak-tidaknya timbul
pertentangan bagai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum. Urutan tersebut sesuai dengan prioritas tujuan hukum atau gejolak.
Berkaitan dengan perlindungan hukum, maka keadilan dan kepastian hukum yang
harus diberikan kepada seseorang manakala orang tersebut memerlukan
perlindungan.
Wewenang dan tanggung jawab notaris atas akta
perjanjian kawin bagi yang beragama Islam yang dibuatnya pun adalah sebatas isi
perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian berdasarkan
Pasal 1320 KUHPerdata, maka ia tidak dapat dituntut dipengadilan. Sebaliknya
kalau tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian maka akta yang dibuat notaris
dapat dilakukan pembatalan oleh hakim.
Kebatalan yang diputuskan oleh hakim atas akta
notaris bisa berbentuk batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Notaris juga
berwenang dan bertanggung jawab pula sesuai yang telah diamanatkan oleh Pasal
15 mengenai kewenangan notaris dan Pasal 16 mengenai kewajiban notaris
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Hukum senantiasa berhubungan dengan masyarakat.
Dalam masyarakat sering terjadi konflik, oleh sebab itu diperlakukan suatu
aturan untuk mengatur kepentingan antara manusia dalam masyarakat. Sesuai
dengan teori tujuan hukum yang menekankan bahwa setiap masyarakat merupakan
subjek dari perubahan sosial dan perubahan itu ada dimana-mana. Pendapat Gustav
Radburch seorang Filsuf Jerman menyatakan bahwa ada 3 (tiga) ide dasar hukum
sebagai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian Urutan tersebut
sesuai dengan prioritas tujuan hukum.
Hukum yang berisi kaidah-kaidah atau aturan adalah
untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Menurut hemat penulis bahwa Perjanjian Perkawinan
dengan akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga ada
jaminan kepastian hukum mengenai muatan isi perjanjian, baik terhadap suami
atau istri;
Kesimpulan
1)
Hal-hal apa saja yang dituangkan dalam perjanjian
kawin yang dibuat dihadapan notaris sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 147
KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan
akta Notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian
perkawinan dituangkan dalam bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi
luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147
KUHPerdata juga menyebutkan, perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian
perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak dapat diubah.
2)
Akibat hukum jika perjanjian kawin yang telah dibuat
oleh notaris tidak dipatuhi dan dilanggar oleh salah satu pihak (suami atau
istri) perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan
perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Notaris, jika tidak dilakukan di
hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut batal. Syarat ini dimaksudkan agar:
perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang kuat: Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban
suami-isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai
akibat yang luas; Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang yang
benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat
dengan teliti.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Boedi, & Saebani, Beni Ahmad. (2013).
Perkawinan dan perceraian keluarga muslim. Bandung: Pustaka Setia. Google
Scholar
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. (2000). Penafsiran dan
konstruksi hukum. Alumni. Google
Scholar
Basyir, Ahmad Azhar. (1999). Hukum perkawinan islam.
Google
Scholar
Djais, Mochammad. (2006). Hukum Harta Kekayaan Dalam
Perkawinan. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Google
Scholar
Jakarta, Pustaka Buana. (2016). Kitab Lengkap Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pustaka Buana. Jakarta. Google
Scholar
Kenedi, John. (2020). Buku: Perjanjian Perkawinan.
IAIN Bengkulu Press. Google
Scholar
Limbong, Panal Herbet, Siregar, Syawal Amry, &
Yasid, Muhammad. (2022). Pengaturan Hukum Dalam Pembagian Harta Bersama
Perkawinan Menurut Hukum Perdata Yang Berlaku Saat Ini Di Indonesia. Jurnal
Retentum, 3(1), 213�229. Google
Scholar
Manan, Abdul, & Jauhari, Iman. (2003). Aneka
masalah hukum materiel dalam praktek peradilan agama. Pustaka Bangsa Press.
Google
Scholar
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. (2002). Pluralisme
Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia Cetakan 3. Surabaya:
Airlangga University Press. Google
Scholar
Rini, Mike. (2016). Perlukah Perjanjian Pranikah? Dikutip
Dari Danareksa. Com Tanpa Halaman. Google
Scholar
Satrio, John, Perjanjian, Hukum, & Penerbit, P. T.
(1992). Citra Aditya Bakti. Bandung.
Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum
normatif: Suatu tinjauan singkat. Google
Scholar
Tavinayati, Tavinayati. (2016). Urgensi Perjanjian
Pra Nikah Bagi Calon Suami Isteri. Google
Scholar
Wiki, Bahasa Indonesia. (2002). Undang-undang dasar
negara republik Indonesia tahun 1945. Google
Scholar
Copyright holder: Hidayah Madaul, Rusdin Alauddin,
Baharuddin (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |