Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

EKSISTENSI HUKUM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN DI HADAPAN NOTARIS MENURUT KETENTUAN PASAL 147 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA)

 

Hidayah Madaul, Rusdin Alauddin, Baharuddin

Fakultas Hukum, Universitas Khairun, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dituangkan dalam perjanjian kawin yang dibuat dihadapan notaris serta untuk menganalisis apakah akibat hukum jika perjanjian kawin yang telah dibuat oleh notaris tidak dipatuhi dan dilanggar oleh salah satu pihak (suami atau istri). Tipe penelitian ini adalah tipe Hukum empiris, yaitu suatu metode penelitian yang mana dalam hal ini mengabungkan unsur hukum normatif yaitu melihat unsur normatif didukung dengan penambahan data atau unsur empiris. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, Aturan dalam UU Perkawinan, UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hasil Penilitian menunjukan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147 KUHPerdata juga menyebutkan, perjanjian perkawinan harusdibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak dapat diubah dan Akibat hukum jika perjanjian kawin yang telah dibuat oleh notaris tidak dipatuhi dan dilanggar oleh salah satu pihak (suami atau istri) perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Notaris, jika tidak dilakukan di hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut batal. perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat: Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai akibat yang luas; Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan teliti.

 

Kata Kunci: Akta Perjanjian, Notaris, Pasal 147 KUHPERDATA.

 

 

Abstract

This study aims to find out what matters are contained in the marriage agreement made before a notary and to analyze what the legal consequences are if the marriage agreement made by a notary is not obeyed and violated by one of the parties (husband or wife). This type of research is an empirical legal type, which is a research method which in this case combines elements of normative law, namely seeing normative elements supported by additional data or empirical elements. This study uses a statutory approach, the Rules in the Marriage Law, the 1945 Indonesian Constitution, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, Law Number 2 of 2014 concerning the Office of a Notary and the Civil Code. Research results show that the marriage agreement must be made with a notarial deed with the threat of cancellation. This is intended so that the marriage agreement is written in the form of an authentic deed, because it has far-reaching consequences and can involve enormous financial interests. Article 147 of the Civil Code also states that a marriage agreement must be made before the marriage takes place. After the marriage takes place, the marriage agreement in any way cannot be changed and legal consequences if the marriage agreement that has been made by a notary is not complied with and violated by one of the parties (husband or wife) the marriage agreement must be made before the marriage takes place and the agreement must be made before Notary, if it is not done before a Notary, then the agreement is cancelled. the agreement is stated in the form of an authentic deed that has strong evidentiary power: Provides legal certainty regarding the rights and obligations of husband and wife over their property, bearing in mind that marriage agreements have far-reaching consequences; In order to conclude a marriage agreement, it is necessary to have someone who is well versed in marital property law and can formulate all the conditions carefully.

 

Keywords: Deed of Agreement, Notary Public, Article 147 of The Civil Code.

 

Pendahuluan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinandisingkat UUP Nomor 1 Tahun 1974 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut �Perkawinan Ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai Suami Istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan bukan saja hanya dijumpai dalam UUP Nomor 1 Tahun 1974 namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)juga dirumuskan pengertian perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 KHI) selain itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan hubungannya perdata (Pasal 26 KUHPerdata) (Basyir, 1999).

Salah satu dari asas dan prinsip dari UUP Nomor 1 Tahun 1974, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal selamanya, dimana untuk pasangan suami istri harus saling melengkapi saling membantu dan mencapai kesejateraan dan mengembangkan kepribadian membantu dan mencapai kesejejahteraan spritual dan materil, selain itu selain itu menikah merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama, karena dengan menikah maka separuh agama telah terpenuhi. Jadi salah satu dari tujuan perkawinan ialah penyempurnakan agama yang belum terpenuhi agar semakin kuat seorang dalam menjalankan ibadahnya, oleh karenanya setiap perkawinan haruslah dilindungi dan dijaga oleh setiap pasangan suami istri.

Bentuk perlindungan bagi perkawinan adalah dengan mencatatkan perkawinan tersebut seperti amanat Pasal 2 ayat (2) UUP Nomor 1 Tahun 1974 yaitu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena pencatatan perkawinan memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri dalam masalah harta, hak dan kewajiban serta tanggungjawab serta perlindungan terhadap anak-anak yang dilahirkan.

Pencatatan perkawinan dilakukan dilembaga perkawinan yaitu bagi orang Islam, pada Kantor Urusan Agama (KUA) oleh pegawai pencatat sesuai dengan aturan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Nikah, Talak, Rujuk dan bagi yang selain Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil oleh pegawai pencatat perkawinan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pengaturan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan yang diatur dalamperaturan perundang-undangan yaitu dalamPasal 2 ayat (2) UUP, perkawinan juga sangat penting dibuatkan perjanjian baik perjanjian pranikah sebelum perkawinan dilaksanakan ataupun perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung karena perkawinan yang dicatatakan kemudian dilengkapi dengan perjanjian pranikah atau perjanjian kawin akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi perkawinan itu sendiri jika dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu dari adanya ikatan perkawinan, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak diberlakukannya KUH Perdata. Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian dipertegas kembali dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Perjanjian perkawinan merupakan bagian dari lapangan hukum keluarga diatur dalam Buku I KUHPerdata (BW). Pengaturan perjanjian perkawinan dijelaskan pada Bab VII pasal 139 s/d 154.

Perjanjian kawin dalam Pasal 139 KUHPerdata ialah perjanjian kawin (howelijksvorwaaerden) sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.Secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku dan mengikat para pihak mempelai dalam perkawinan dalam perihal perjanjian perkawinan ini kemudian dipertegas kembali dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Perjanjian Perkawinan didapati dalam Bab V, berisi satu pasal, yaitu pasal 29 yaitu; �Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut�.

Perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang hal ini, sehingga secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai harta perkawinan saja, namun juga hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan norma agama, ketertiban umum dan kesusilaan. Esensi Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 lebih luas dari pada makna perjanjian perkawinan yang terdapat dalam KUH Perdata (BW).

Perjanjian perkawinan seperti telah diuraikan sebelumnya di atas yang diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia dibuat dalam bentuk perjanjian yang harus dilegalisasi oleh Notaris dalam bentuk akte perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam pasal 147 KUHPerdata bahwa, perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan batal bila tidak dibuat demikian. Perjanjian akan mulai berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan dan tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu, berdasarkan hal tersebut pengaturan tentang perjanjian perkawinan juga diatur dalam pasal 148 KUHperdata mengatur bahwa: �Segala perubahan dalam perjanjian, yang sedianya pun boleh diadakan sebelum perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan dalam bentuk yang sama, seperti akte perjanjian itu dulupun dibuatnya. Selama daripada itu, tiada suatu perubahan pun boleh berlaku, jika penyelenggaraanya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh segala mereka, yang dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian (Jakarta, 2016).�

Hal ini sangatlah berbeda dengan esensi dari pengertian perjanjian pada umunya yang diatur dalam KUHPerdata yaitu pada pasal 1313, bahwa setiap perjanjian yang telah dilakukan atau telah dibuat oleh para pihak bisa batal demi hukum atau dapat dibatalkan, namun perjanjian perkawinan sangatlah berbeda berdasarkan pasal 148 dan pasal 149 KUHPerdata, bahwa perjanjian yang telah dibuat sebelum perkawinan tidak akan bisa diubah ketika perkawinan telah berlangsung.

Berdasarkan hal tersebut di atas adanya perbedaan dalam perjanjian kawin yang berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHperdata yaitu; perjanjian adalah perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu perbuatan hukum yaitu perikatan. Jadi perjanjian adalah merupakan suatu hubungan hukum yang menjamin pihak-pihak yang bersangkutan haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum dan undang-undang sehingga apabila tidak dipenuhi secara sukarela pihak yang lainnya berhak menuntut melalui pengadilan agar supaya orang yang bersangkutan dipaksa untuk memenuhi atau menegakkan haknya.

Perjanjian perkawinan sendiri dialur dalam Buku I Tentang orang. Jadi perjanjian perkawinan menurul KUHPerdata berbeda dengan peljanjian yang dialur dalam Pasa l 1313 KUHPerdala. Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 139 yaitu. �Dengan mengadakan perjanjian perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan.�

Berdasarkan latarbelakang masalah di atas peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang masalah perjanjian kawin yang dibuat dalam bentuk akte notaris yang mana perjanjian perkawinan ini berbeda dengan bentuk perjanjian lainnya, karena perjanjian perkawinan ini boleh menyimpangi peraturan perundang-undangan, inilah yang menjadi dasar peneliti tertarik untuk mengkaji hal tersebut dengan mengangkat judul penelitian �Eksistensi Hukum Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Dihadapan Notarismenurut Ketentuan Pasal 147 Kuhperdata.� sebagai tesis.

 

Metode Penelitian

A.  Tipe dan Sifat Penelitian

Tipe penelitian ini adalah tipe Hukum empiris, yaitu suatu metode penelitian yang mana dalam hal ini mengabungkan unsur hukum normatif yaitu melihat unsur normatif didukung dengan penambahan data atau unsur empiris.

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, Aturan dalam UU Perkawinan, UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menggunakan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konsep dan juga kasus. Khususnya dalam hal ini tentang analisis perjanjian kawin yang dibuat sebelum dan sesudah perkawinan dilakukan.

B.  Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu :

1)   Data Primer (field research) berupa data yang didapatkan langsung peneliti dilapangan dengan cara wawancara ataupun dengan pihak terkait terutama kepada beberapa Notaris di Kota Ternate, karena perjanjian kawin secara otentik dibuat oleh notaris.

2)   Data Sekunder (library research) berupa literatur-literatur dan sumber pustaka lainnya, yaitu UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, KUHperdata dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.

3)   Data Tersier, Berupa adalah bahan-bahan memberi penjelasan terhadap data primer dan sekunder seperti bahan internet, majalah varia peradilan.

C.  Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini terdiri dari teknik pengumpulan data utama dan teknik pengumpulan data penunjang. Teknik pengumpulan data utama adalah peneliti sendiri sedangkan teknik pengumpulan data penunjang adalah daftar pertanyaan, catatan lapangan dan rekaman tape recorder.

Pengumpulan data lapangan akan dilakukan dengan cara wawancara, baik secara terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan pedoman pada daftar-daftar pertanyaan yang sudah disediakan peneliti. Materi diharapkan berkembang sesuai dengan jawaban informan dan situasi yang berkembang.

D.  Teknik Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.Pengertian di analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterprestasian secara logis, sistematis dengan pendekatan sosiologis.

Logis sistematis menunjukan cara berpikir deduktif dengan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah, setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.Hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Hasil dan Pembahasan

A.  Hal-Hal Apa Saja Yang Dituangkan Dalam Perjanjian Kawin Yang Dibuat Dihadapan Notaris

Adanya persetujuan dalam perkawinan juga penting karena persetujuan perkawinan adalah hal yang penting karena merupakan kesepakatan antara calon suami dan istri untuk mengikat dalam tali perkawinan sebagaimana disebutkaan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:

�Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Persetujuan atau kata sepakat dari calon suami istri merupakan unsur hakiki dari perkawinan karena mengandung suatu keharusan adanya sifat akan berlangsungnya perkawinan yang langgeng�

Persetujuan tersebut haruslah berlandaskan kesadaran dari pihak yang bersangkutan dan juga persetujuan itu harus bebas dari segala pengaruh tertentu yang mengganggu kebebasan tersebut karena perkawinan pada asasnya adalah untuk berlaku dan berlangsung langgeng selamanya atau seumur hidup.

Perjanjian perkawinan atau lebih lebih dikenal dengan istilah perjanjian pra nikah merupakan suatu perjanjian yang dibuat atas kesepakatan pasangan yang akan menikah terkait dengan harta benda yang akan dibawa kedalam perkawinan dan harta benda yang diperoleh dalam perkawinan. Apakah harta-harta tersebut akan menjadi satu kesatuan ataukah terpisah dalam penguasaan masing-masing. Selain itu, perjanjian pra nikah bisa juga berisi hal-hal lain terkait dengan komitmen dalam menjalankan rumah tangga.

Dikalangan masyarakat Indonesia perjanjian pra nikah merupakan suatu hal yang sensitif bahkan tabu untuk dibicarakan. Membicarakan masalah harta benda akan membuat ketersinggungan bukan hanya bagi calon pasangan tapi juga keluarga besar secara keseluruhan. Selain itu, secara psikologis sangat tidak etis karena perjanjian pra nikah ini tujuannya mengantisipasi apabila terjadi perceraian dikemudian hari. Pernikahan belum dilangsungkan sudah menyinggung masalah perceraian. (Tavinayati, 2016) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak dikenal konsep harta bersama dan harta bawaan yang ada adalah harta persatuan. Apabila tidak ada perjanjian pra nikah tentang pemisahan harta perkawinan maka sejak perkawinan dilangsungkan maka terjadilah persatuan bulat harta kekayaan tanpa melihat siapa yang membawa harta itu kedalam perkawinan.

Apabila terjadi perceraian dikemudian hari maka harta persatuan akan dibagi dua untuk masing-masing suami isteri. Oleh karena itu, dalam sistem KUH Perdata perjanjian pra nikah ini menjadi sangat penting dalam rangka mengesampingkan ketentuan hukum tentang persatuan bulat harta kekayaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengadopsi mengenai perjanjian perkawinan ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan (UUP). Dengan demikian, UUP membuka ruang bagi masyarakat Indonesia yang ingin membuat perjanjian pra nikah. Mengingat KUH Perdata hanya berlaku untuk golongan masyarakat tertentu saja di Indonesia. Misalkan untuk golongan masyarakat Indonesia yang muslim tentunya tidak mungkin perjanjian pra nikahnya didasarkan pada KUHPerdata.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 119 Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita mengakibatkan terjadi persatuan bulat harta kekayaan perkawinan dalam hal ini pada prinsipnya dalam hubungan suami isteri tersebut hanya terdapat satu jenis kekayaan yaitu harta persatuan. Penyimpangan terhadap prinsip persatuan harta dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 139 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan bahwa:

�Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tertib umum dan asalkan pula diindahkan pula segala ketentuan yang diatur�.

Ketentuan Pasal di atas senyatanya memberi kesempatan untuk suami dan isteri untuk membuat perjanjian kawin yang isinya mengatur tersendiri harta kekayaan asal perjanjian tersebut tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum. Dalam aspek hukum, perkawinan merupakan suatu akad, yaitu perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami-istri untuk membina rumah tangga bahagia. Sebagai ikatan dan perjanjian, kedua belah pihak terikat dengan janji yang dibuatnya, karena itu, dengan akad nikah menimbulkan hak dan kewajiban suami istri.

Pasal 149 KUHPerdata menyatakan: �setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun, tidak boleh diubah�. Dari Ketentuan Pasal 149 tersebut, KUHPerdata secara tegas menyatakan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah apapun alasannya. Dengan demikian, KUHPerdata menutup kemungkinan untuk mengubah perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan, biarpun mungkin para pihak sepakat untuk mengubahnya.

Ketentuan yang demikian sebenarnya tidaklah mengherankan biarpun perjanjian perkawinan terletak dalam hukum keluarga, ia tetaplah sebuah perjanjian. Sebagai sebuah perjanjian tentu harus tunduk pada asas-asas hukum perjanjian. Asas hukum perjanjian yang wajib diperhatikan dalam hal ini adalah asas kekuatan mengikat suatu perjanjian atau asas Pacta Sunt Servanda. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan semua persetujuan sepanjang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata mengisyaratkan mengenai kekuatan mengikat suatu perjanjian. Apabila para pihak sudah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak sebagaimana kekuatan mengikat sebuah undang-undang. Calon suami-istri terikat yang membuat perjanjian perkawinan harus tunduk dan terikat pada perjanjian yang dibuat sebelum menikah. Dengan menyamakan kekuatan mengikat suatu perjanjian sama dengan kekuatan mengikat sebuah undang-undang, pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengingatkan para pihak untuk tidak melanggar perjanjian yang sudah disepakati.

Seandainya para pihak ingin mengubah perjanjian perkawinan meskipun mereka sepakat untuk itu maka itu perjanjian perkawinan yang isinya sudah diubah tersebut akan batal demi hukum karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 149 KUH Perdata. Dengan demikian, tetap perjanjian pertama yang sah.

Berdasarkan uraian di atas, maka menurut hemat penulis berdasarkan klausul atau ketetapan perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata tidak dapat diubah setelah perkawinan berlangsung maka pengaturannya dibuat sedemikian rupa baik terkait isi dan prosedur pembuatannya. KUHPerdata memberi kemungkinan untuk mengubah bila itu dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dan itupun dengan prosedur yang ketat. Pasal 148 KUHPerdata menyatakan bahwa:

�segala perubahan dalam perjanjian, yang sedianya pun boleh diadakan sebelum perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan dalam bentuk yang sama, seperti akta perjanjian itu dulupun dibuatnya�.

Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan : selama daripada itu, tiada suatu perubahan pun, boleh berlaku, jika penyelenggaraannya tidak dihadiri dan disetujui oleh segala mereka, yang dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian�. Dengan demikian, apabila mau diubah maka perubahannya tersebut harus dibuat dalam bentuk akta dan disetujui oleh calon suami isteri dan dihadiri oleh para saksi yang sama dengan saksi yang hadir pada waktu akta pertama dibuat. Sedangkan, menurut Ketentuan Pasal 147 KUHPerdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan syarat sebagai berikut :

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa isi atau substansi dari perjanjian kawin yang dibuat berkorelasi dengan apa saja yang dituangkan dalam perjanjian kawin yang dibuat dihadapan notaris. Dengan demikian, terdapat dua hal mendasar yakni berkaitan dengan pertama, wewenang dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian kawin. Kedua, kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian kawin.

1)   Wewenang Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Kawin

Berdasarkan Pasal 147 KUHPerdata maka setiap perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dengan ancaman kebatalan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 29 UUP jo. 147 KUHPerdata maka perjanjian kawin harus dibuat sebelum atau pada waktu pernikahan dilangsungkan dan dibuat dalam akta notaris dan disahkan oleh pegawai pencatat pernikahan. Dan isi dari perubahan perjanjian perkawinan tersebut adalah merubah apa yang menjadi obyek dari harta perkawinan serta tanggungjawab kedua belah pihak (pasangan suami isteri)
(Ardhiwisastra, 2000).

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 139 KUHPerdata, bahwa dalam perjanjian perkawinan itu kedua calon suami istri dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja penyimpangan- penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde) dengan mengindahkan pula isi ketentuan yang disebutkan setelah Pasal 139 KUH Perdata itu (Prawirohamidjojo, 2002).

Pasangan yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan perkawinan berarti pula melanggar perjanjian maka merupakan hal yang sangat jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum yang akan ditanggung/resiko bila salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, biasanya ada sanksi yang harus diberlakukan terhadap pihak yang melanggar perjanjian perkawinan tersebut. Dalam KUHPerdata diberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian perkawinan, yaitu: (Djais, 2006)

a.    Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 139);

b.    Perjanjian tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPerdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa istri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat
(1);

c.    Dalam perjanjian suami istri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141);

d.   Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa dalam hal campur harta, apabila milik bersama itu dihentikan, si suami atau si istri akan membayar bagian hutang yang melebihi perimbangan dan keuntungan bersama (Pasal 142);

e.    Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu negara asing (Pasal 143).

Pada dasarnya hukum memberikan beban tanggung gugat atau tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, namun demikian tidak berarti setiap kerugian terhadap pihak ketiga seluruhnya menjadi tanggung gugat atau tanggung jawab notaris. Hukum sendiri memberikan batas-batas dan rambu-rambu anggun gugat dan tanggung jawab notaris, sehingga tidak semua kerugian menjadi tanggung gugat dan tanggung jawab notaris. Hal inilah yang dalam ilmu hukum dikenal dengan bentuk perlindungan hukum terhadap notaris sebagai pejabat umum yang bertugas memberikan pelayanan masyarakat. Dengan demikian, menjadi suatu hal logis bahwa perjanjian kawin menjadi sutau hal ini dilakukan sebagai suatu bentuk keabsahan perjanjian perkawinan, juga untuk:

1)   Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul seumur hidup.

2)   Untuk adanya kepastian hukum.

3)   Sebagai alat bukti sah.

Syarat ini diadakan dengan maksud agar setelah perkawinan
dilangsungkan dapat diketahui dengan pasti mengenai perjanjian
perkawinan berikut isi perjanjian perkawinan itu. Perjanjian
perkawinan berlaku sepanjang perkawinan berlangsung dan tidak
dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku satu macam hukum harta perkawinan kecuali bila terjadi pisah harta
kekayaan. Tiga bentuk perjanjian kawin yang dapat dipilih calon suami isteri tersebut yaitu:

1.    Perjanjian Kawin dengan Kebersamaan Untung dan Rugi Dalam Pasal 115 KUHPerdata disebutkan bahwa:

�Jika dalam perjanjian perkawinan oleh kedua calon suami isteri
hanyalah diperjanjikan bahwa dalam persatuan untung dan rugi, maka berartilah bahwa perjanjian yang demikian, dengan sama sekali tidak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, setelah berakhirlah persatuan suami isteri, segala keuntungan pada mereka yang diperoleh sepanjang perkawinan harus dibagi antara mereka berdua, sepertipun segala kerugian harus mereka pikul berdua�

Ketentuan mengenai persatuan untung rugi ini tidak semua harta
kekayaan suami isteri dicampur menjadi harta persatuan, tetapi hanya
sebagian dari harta kekayaan suami isteri saja yang merupakan
keuntungan dan kerugian yang timbul selama perkawinan. Harta kekayaan (semua laba dan hutang) suami isteri yang mereka bawa dalam perkawinan dan harta yang mereka peroleh dengan cuma-Cuma (hadiah,warisan) sepanjang perkawinan adalah modal tetap milik pribadi suami atau isteri dan masing-masing tidak masuk dalam kebersamaan, sehingga terdapat tiga macam harta kekayaan, yaitu:

a.    Milik pribadi suami

b.    Milik pribadi isteri

c.    Untung dan rugi yang masuk dalam kebersamaan

2.    Perjanjian Kawin Dengan Kebersamaan Hasil dan Pendapatan

Mengenai kebersamaan hasil dan pendapatan (gameenschap van vruchten en inkomsten) undang-undang hanya memuat satu pasal (Pasal 164 BW). Ketentuan dalam perjanjian kawin, menetukan antara suami dan isteri hanya akan ada kebersamaan hasil dan pendapatan, sehingga berarti tidak akan ada kebersamaan bulat atau menyeluruh menurut undang- undang dan tidak akan ada pula kebersamaan untung dan rugi. Demikian halnya pada kebersamaan hasil dan pendapatan, juga terdapat kemungkinan adanya tiga jenis harta kekayaan yaitu: harta kekayaan suami, harta kekayaan isteri dan harta kekayaan kebersamaan hasil dan pendapatan. Mengenai kebersamaan hasil dan pendaptan ini dahulu terdapat banyak pendapat, tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa pada umumnya orang berpendapat: kebersamaan tersebutdalam banyak hal sama dengan kebersamaan untung rugi.

Perbedaannya, apabila kebersamaan tersebut menujukkan kerugian (saldo negatif), maka suami yang mengurusi kebersamaan itu. Dengan kata lain, suami harus memikul seluruh kerugian. Apabila kebersamaan itu menimbulkan keuntungan, maka keuntungan ini dibagi antara suami isteri. Hal ini sesuai dengan Pasal 105 KUHPerdata yang menentukan bahwa, �setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami isteri. Ia (suami) harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah tangga yang baik, dan karenanyapun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu�.

Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa KUHPerdata menempatkan suami berperan lebih besar dalam keluarga, sehingga kerugian yang timbul dalam praktek perjanjian perkawinan dalam bentuk persatuan hasil dan pendapatan menjadi tanggungan suami.

Berbeda dengan KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memberi ruang untuk mengubah perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung meskipun dengan syarat yang ketat. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 ayat (4) menyatakan : �Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga�. Dengan demikian, perjanjian perkawinan masih dapat diubah setelah perkawinan dengan dua syarat :

1.    Ada perjanjian sebelumnya bahwa perjanjian perkawinan itu dapat diubah setelah pasangan tersebut menikah; dan

2.    Perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga Kedua syarat ini merupakan satu kesatuan, meskipun pasangan suami isteri itu sepakat bahwa perjanjian perkawinan dapat diubah setelah mereka menikah tetapi perubahan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.

Siapa yang dimaksud dengan �tidak boleh merugikan pihak ketiga dan siapa pihak ketiga yang dimaksud? Pihak ketiga yang dimaksud disini bisa kreditur atau ahli waris. Bisa terjadi, pasangan suami isteri mengajukan pinjaman dan menjadikan harta perkawinan sebagai jaminan. Sebelum menikah pasangan suami isteri itu telah membuat perjanjian perkawinan bahwa harta yang mereka peroleh baik sebelum dan sesudah perkawinan merupakan satu kesatuan. Untuk mengantisipasi, harta yang dijaminkan tersebut akan disita untuk pelunasan hutang maka mereka sepakat mengubah perjanjian perkawinan dari persatuan bulat harta kekayaan menjadi pemisahan harta perkawinan.

Apabila pinjaman tersebut atas nama suami maka harta
atas nama isteri tidak dapat disita untuk pelunasan hutang. Bisa juga pihak ketiga disini adalah ahli waris. Perjanjian perkawinan yang tadinya merupakan pemisahan harta perkawinan diubah menjadi persatuan harta perkawinan agar pasangan nikahnya mendapat bagian dari harta perkawinan apabila terjadi perceraian. Perbuatan yang demikian akan merugikan ahli waris dari perkawinan sebelumnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 148 ayat (1) KUHPerdata mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris. Bunyi selengkapnya Pasal tersebut adalah Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung.Ketentuan harus dibuat dengan akta notaris merupakan syarat mutlak karena kalau itu tidak dipenuhi maka ancaman kebatalan menanti. Dilihat dari jenis-jenis perjanjian, perjanjian kawin tergolong sebagai perjanjian formil.Perjanjian formil adalah suatu perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kata sepakat saja, tetapi juga mensyaratkan penuangan perjanjian tersebut dalam suatu bentuk perjanjian tertentu atau disertai dengan formalitas tertentu. Adakalanya untuk perjanjian-perjanjian tertentu undang-undang menentukan bahwa suatu perjanjian baru sah selain harus memenuhi syarat umum untuk sahnya perjanjian, tetapi juga harus dituangkan dalam akta otentik).

Salah satu contoh dari perjanjian formil adalah perjanjian kawin. Pasal 147 ayat (1) dengan tegas menyebutkan perjanjian kawin harus dibuat dengan akta otentik dengan ancaman kebatalan. Dengan kata lain, apabila perjanjian kawin tidak dibuat dengan akta otentik maka perjanjian tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 147 ayat (1). Batal demi hukum berarti para pihak dianggap tidak pernah membuat perjanjian perkawinan. Kalau demikian halnya maka ketentuan Pasal 119 ayat (1) tentang persatuan bulat harta perkawinan yang berlaku.Undang-Undang Perkawinantidak menyebutkan secara tegas apakah perjanjian perkawinan harus dalam bentuk akta otentik . Pasal 29 ayat (1) hanya menekankan dalam bentuk tertulis. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa perjanjian kawin bisa dengan dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Meskipun UUP membolehkan perjanjian kawin dalam bentuk akta dibawah tangan tetapi dalam praktiknya tetaplah dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan notaris. Sebagaimana KUH Perdata, perjanjian perkawinan menurut UUP, juga memiliki prosedur yang ketat. Meskipun tidak disebutkan secara tegas ancaman kebatalannya tetapi sudah jelas bahwa perjanjian perkawinan tersebut batal demi hukum apabila tidak dibuat dalam bentuk tertulis.

KUHPerdata secara eksplisit menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Oleh karena itu lebih dikenal dengan istilah perjanjian pra nikah. Prenuptial Agreement) Dari istilahnya saja sudah jelas bahwa tidak memungkinkan untuk membuat perjanjian setelah perkawinan dilangsungkan. Demikian pula halnya dengan KUHPerdata, UU Perkawinan dalam perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Dengan demikian sebagaimana halnya KUHPerdata, tidak memungkinkan perjanjian perkawinan dibuat selama dalam perkawinan.

Menurut KUHPerdata dalam Pasal 119 disebutkan bahwa perkawinan pada hakikatnya menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila pasangan menikah tersebut membuat sebuah Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta. Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) bahwa dengan pembuatan Perjanjian Perkawinan calon suami istri dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai ketentuan harta bersama asalkan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan tata susila atau tata tertib umum. Lebih spesifik, definisi atas Perjanjian Perkawinan disebutkan pada Pasal 29 undang-undang yang sama. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar hukum pembuatan Perjanjian Perkawinan oleh calon suami-istri.

Pemutusan perkawinan dengan jalan perceraian hanyalah diperkenankan atau diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Meskipun dimaksud untuk berlangsung kekal dan abadi, tertuju pada suatu saat orang akan dapat mengalami bahwa perkawinan berakhir, karena timbulnya keadaan tertentu baik berupa karena kematian maupun perceraian. Perceraian yang merupakan pengecualian dari tujuan perkawinan adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan, baik atas permintaan suami atau istri.

Menurut R. Soebekti, Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan (dalam hal ini salah satu pihak dimaksud adalah suami atau istri). Perceraian menurut agama Islam adalah suatu perbuatan yang ditentang oleh Allah SWT tetapi dihalalkan. Undang-undang memperkenankan kedua calon pasangan suami istri untuk membuat suatu sebagai �perjanjian kawin� atau �perjanjian perkawinan�, yang umumnya hanya menyangkut seputar pengaturan terhadap harta perkawinan, yang dimaksudkan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin akan timbul apabila perkawinan tersebut berakhir.

3.    Tentang Pemisahan Harta

Perjanjian perkawinan sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang. Di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga selain masalah hak dan kewajiban sebagai suami istri, maka masalah harta benda juga merupakan salah satu faktor atau pokok pangkal yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai perselisihanatau ketegangan dalam suatu perkawinan, bahkan dapat menghilangkan kerukunan antara suami-istri dalam kehidupan suatu keluarga. Untuk menghindari hal tersebutdi atas, maka dibuatlah Perjanjian Kawin antara pihak calon suami dan calon istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan.

Perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Perjanjian perkawinan tetap harus dibuat dengan mendasarkan pada syarat-syarat umum yang berlaku untuk dapat sahnya suatu perjanjian. Suatu perjanjian untuk dapat memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Isi yang diatur di dalam Perjanjian Kawin tergantung pada pihak-pihak calon suami dan calon istri, asal tidak bertentangan dengan dengan undang-undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi Perjanjian Kawin, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan azas hukum �kebebasan berkontrak�) asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum Tidak ada definisi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan mengenai perjanjian perkawinan; undang-undang tersebut hanya mengatur dalam Pasal 29, sebagai berikut:

1.    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2.    Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

3.    Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4.    Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dirubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 4.

Berdasarkan KUHPerdata perubahan atas perjanjian perkawinan hanya mungkin dilakukan sebelum berlangsungnya perkawinan Dalam hal terdapat perubahan maka perubahan tersebut harus dilakukan dengan cara dan bentuk yang sama seperti pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. Perubahan tersebut juga hanya berlaku jika dihadiri dan disetujui oleh semua orang yang dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian tersebut.

Calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita dapat menyelenggarakan perjanjian perkawinan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian bersifat notariil ataupun dibawah tangan. Perjanjian itu berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan dilekatkan pada akta surat nikah dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat dengan:

a)    Atas persetujuan atau kehendak bersama,

b)   Dibuat secara tertulis,

c)    Disahkan oleh pegawai pencatatan nikah, dan

d)   Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.

Perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. Perihal tidak melanggar batas-batas hukum dalam hal ini diartikan dengan arti luas, yaitu tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh para pihak yang mengadakan perjanjian perkawinan itu pada saat membuat perjanjiannya dan pada saat perkawinan dilangsungkan.

Meskipun tidak dinyatakan dalam Undang-undang Perkawinan, maksud dan tujuan perjanjian perkawinan dimaksudkan perjanjian mengenai pengurusan harta kekayaan perkawinan suami istri dalam perkawinan, hal mana dapat disimpulkan dengan melakukan penafsiran istilah perjanjian perkawinan dalam pasal 29 Undang- undang Perkawinan dihubungkan dengan KUHPerdata maupun perjanjian perkawinan menurut Hukum Islam yang berlaku sebelumnya.

Perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat setelah perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung tidak telah diadakan perjanjian perkawinan. Perjanjian yang dibuat setelah perkawinan berlangsung hanyalah merupakan perjanjian perkawinan yang merupakan perubahan dari perjanjian yang sudah ada, hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (4) Undang- undang Perkawinan yang pada pokoknya menyebutkan dalam ayat (1) bahwa �perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan�.

Pasal 29 ayat (4) mengatakan bahwa, �perjanjian tidak dapat dirubah, kecuali ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga�. Perjanjian perkawinan diantara kedua calon suami isteri tersebut dibuat baik dalam bentuk tulisan atau akta, baik dibawah tangan maupun dalam bentuk otentik yang dibuat oleh seorang pejabat umum yang berwenang. Namun untuk memberikan perlindungan yang maksimal dan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, perjanjian kawin sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik. Suatu akta otentik adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang berwenang untuk itu, seperti misalnya akta notariil yang dibuat oleh Notaris, merupakan alat bukti yang kuat.

4.    Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kawin

Setelah perjanjian kawin dibuat dihadapan notaris, adakalanya dalam pelaksanaan isi perjanjian kawin tersebut menghadapi kendala-kendala. Pada umumnya kendala yang paling sering terjadi diantaranya yaitu :

1)   Suami isteri beritikad buruk dalam hal utang piutang terhadap pihak ketiga;

2)   Selama berlangsungnya pernikahan suami atau istri melanggar isi perjanjian;

3)   Terjadi sengketa perdata mengenai perjanjian kawin.

Kendala lainya komplain dari pihak keluarga mempelai pada saat akad nikah dilangsungkan, karena mereka merasa tidak pernah diberi tahu kalau telah ada perjanjian kawin yang dibuat oleh calon
suami isteri, atau adanya kecurigaan akan dikuasainya harta dalam perkawinan oleh pihak calon suami atau isteri atau oleh
pihak ketiga. Sehingga bukan tidak mungkin dilakukan perubahan dalam perjanjian atau sebaliknya perjanjian itu sendiri tidak dapat
dilaksanakan.

Ternyata dalam perjalanan perkawinan itu sendiri salah satu pihak mempunyai hutang piutang atas harta bawaan yang semula diurus masing-masing pihak, melebihi dari nilai harta yang ia bawa dalam perkawinan. Hal ini bisa saja akan mempengaruhi hubungan para pihak dalam pengurusan harta yang diperjanjikan.

Persoalan budaya, dan persoalan yang berkaitan dengan keyakinan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sakral, suci, dan agung. Oleh karenanya, setiap pasangan yang akan menjalani pernikahan harus menjaga kesuciannya sejak dari proses menuju pernikahan dan terus sampai pada menjalani pernikahan. Sebuah keluarga harus mempertahankan perkawinannya sekuat tenaga demi kesakralan, kesucian, dan keagungan perkawinan tersebut.

Tragisnya, tidak jarang perempuan yang memperjuangkan ikatan perkawinannya, meskipun dirinya terus-menerus mengalami kekerasan oleh pasangannya. Tidak banyak orang yang bersedia menandatangani perjanjian kawin/pranikah. Selama ini, perjanjian pranikah dianggap hanya untuk memisahkan atau mencampurkan harta suami-istri.

Akibatnya pihak yang mengusulkan dinilai masyarakat sebagai orang yang pelit, sampai saat ini khususnya di Indonesia dan mungkin negara Timur lainnya, perjanjian pranikah menjadi sesuatu yang belum biasa dilakukan dan bahkan menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan mengajukan untuk membuat perjanjian.

Pada akhirnya masalah yang utama dalam pelaksanaan perjanjian kawin adalah salah satu pihak atau kedua-duanya tidak memiliki itikad baik dan berkelakuan jelek dalam melaksanakan perjanjian kawin. Dalam hal ini dapat dilakukannya pembatalan pernikahan atau dapat dimintakan perceraian ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri bagi mereka selaian beragama Islam. Dalam hal terjadi sengketa perdata pada umumnya diselesaikan melalui Pengadilan, padahal bisa saja dilakukan pilihan hukum dalam bentuk alternatif penyelesaian sengketa seperti arbitrase, jasa-jasa baik, mediasi, hukum adat atau secara hukum agama.

Apabila terjadi perceraian, bagaimana masalah pengurusan harta begitu juga masalah perwalian anak ini perlu disikapi hati-hati dan perhitungan matang bagi para pihak. Sehingga yang terpenting dalam perjanjian kawin adanya keterbukaan, kejujuran dan saling percaya diantara kedua belah pihak untuk merumuskan perjanjian yang akan dituangkan ke dalam akta. Sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan nantinya di kemudian hari.

Masyarakat Indonesia yang kuat budaya Timurnya, dengan membuat perjanjian kawin dianggap sesuatu yang tabu bagi sebagian besar calon suami isteri. Padahal dengan perjanjian kawin menunjukkan adanya itikad baik untuk memahami hak dan kewajiban dalam masalah pengurusan harta dalam perkawinan, termasuk juga pengurusan anak, karena tujuan perkawinan menurut Undang Undang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan uraian diatas, apabila di kontekskan dengan Wierjono Rodjodikoro, perjanjian ialah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.

Pada dasarnya perjanjian kawin yang di buat di hadapan Notaris yang mana telah terpenuhinya unsur syarat perjanjian sehingga perjanjian tersebut memiliki kepastian hukum. Perjanjian kawin ini sebagai akta otentik yang bisa digunakan dalam pembiuktian kalau terjadi suatu sangketa dalam perjanjian tersebut. Namun yang kita dapati kendala utama dalam pelaksanaan perjanjian kawin, adalah kalau terjadi perceraian tidak ada laporan. Hal ini dimaklumi, karena para pihak merasa ini masalah keluarga, padahal dari sisi administrasi mereka perlu mendata ulang daftar catatan perjanjian kawin yang mereka terima, guna mengetahui perkembangan tingkat kesadaran masyarakat dalam membuat perjanjian dan mencatat perjanjian kawin.

B.  Akibat Hukum Jika Perjanjian Kawin Yang Telah Dibuat Oleh Notaris Tidak Dipatuhi Dan Dilanggar Oleh Salah Satu Pihak (Suami Atau Istri)

Konsepsi perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian yang didasarkan atas kata sepakat dan menimbulkan hak dan kewajiban tetapi perjanjian tersebut hanya mempunyai akibat hukum dalam hukum keluarga saja dan hak serta kewajiban tersebut ada di luar hukum kekayaan kecuali yang ada dalam lapangan hukum harta perkawinan). (Satrio, Perjanjian, & Penerbit, 1992) Proses kehidupan yang nyata antara manusia satu dengan manusia yang lain tentunya tidak mungkin dapat terpisahkan. Sama halnya dengan hubungan suami istri yang harus dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya satu sama lain dan juga di samping pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, tentunya terdapat hubungan harta kekayaan sebagai dasar pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup manusia.

Masalah harta kekayaan di lingkungan sosial selalu menjadi lingkup tersendiri bagi setiap orang untuk dapat mengelolanya dengan baik dan benar, yaitu dengan cara membentuk kesepakatan terkait pengelolaan harta kekayaan yang dimiliki. Hal ini bisa berkaitan dengan harta kekayaan sebelum perkawinan dilangsungkan maupun berkaitan dengan harta kekayaan setelah perkawinan. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 147 KUHPerdata bahwa Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu (Wiki, 2002).

Hubungan suami istri yang harus mengelola keuangan menjadi satu kesatuan, merupakan hak setiap orang sebagai konsekuensi dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan Pasal 28 B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjelaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Penjelasan Pasal tersebut secara tidak langsung menjelaskan terkait akibat hukum dari adanya perkawinan, termasuk didalamnya adalah akibat hukum terhadap harta kekayaan dan pihak ketiga dari pasangan suami istri tersebut. Akibat hukum terkait pengelolaan harta kekayaan dari pasangan suami istri memiliki sistem, bersama dengan prinsip satu kesatuan yang bulat atau menggunakan sistem terpisah baik sebagian ataupun seluruhnya yang memberi jalan kepada suami istri untuk dapat mengatur/membuat perjanjian mengenai pengelolaan harta kekayaan. Perjanjian terkait pengelolaan harta kekayaan yang dilakukan oleh suami istri disebut juga perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan telah diatur di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu yang membahas terkait perjanjian pra nikah. Diprkuat dengan (Kenedi, 2020).

Berdasarkan kedua peraturan tersebut, sebenarnya sudah sangat jelas menyatakan bahwa Negara Indonesia mendukung adanya pembentukan perjanjian perkawinan untuk tetap melindungi harta kekayan suami istri dan pihak ketiga yang bersangkutan. Harta bersama yang diperoleh selama perkawinan mungkin tidak menjadi persoalan dalam perceraian dalam sebuah perkawinan. Hal ini berbeda dengan harta bawaan dan harta perolehan yang sifat penguasannya sama tergantung tunduk ke hukum mana yang suami istri sepakati. Kesepakatan tersebut seharusnya dituangkan ke dalam sebuah perjanjian perkawinan agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.

1)   Fungsi Perjanjian Kawin Dilangsungkan

Perjanjian sebagaimana tersebut haruslah dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka notaris, akta otentik itu sangat penting (Manan & Jauhari, 2003) karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan maka semua harta suami dan isteri terjadi perbauran. Tentang Perjanjian kawin ini dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam masyarakat.

Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Pasal 47 ayat (2) perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangn dengan hukum islam.

Dari segi tujuan dan manfaat dibuatnya Perjanjian perkawinan masih sedikit calon pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif. Hal ini dikarenakan masih dianggap tabu dan pamali di masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang dapat menerima konsep pemikiran tentang pembuatan Perjanjian Perkawinan, tetapi lebih banyak masyarakat yang belum menerimanya, disebabkan adanya pandangan negatif yang menganggap Perjanjian Perkawinan sebagai sesuatu yang tidak umum, tidak etis, kecurigaan, egois tidak sesuai dengan budaya orang timur yang penuh etika.

Sebaliknya Perjanjian Perkawinan yang dianggap masih tabu dilakukan oleh masyarakat awam justru telah menjadi gejala baru di kalangna tertentu seperti selebritis, pengusaha dan lain-lain. Mereka umumnya berpandangan bahwa dengan adanya Perjanjian Perkawinan harta miliknya akan terjamin aman apabila terjadi perceraian. Dalam Perjanjian Perkawinan yang perlu dipertimbangkan adalah.

1.    Keterbukaan dalam mengungkapkan semua detail kondisi keuangan baik sebelum mau pun sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi bertambahnya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan. Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuanya agar tahu persis apa yang akan diterima dan apa yang akan dikorbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.

2.    Kerelaan perjanjian pranikah harus disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan, jika sala satu pihak merasa dipaksa karena diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya perjanjian nikah bias diancam batal karenanya.

3.    Pejabat yang obyektif. Pilihlah pejabat berwenag yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektivitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian pranikah bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak.

4.    Notariil. Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat di bawah tangan tetapi harus di sahkan oleh notaris. Kemudian harus di catatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan, artinya pada saat pernikahan di langsungkan perjanjian pranikah juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat per- kawinan (KUA maupun Kantor Catatan Sipil). Maka dengan membuat Perjanjian perkawinan pasangan suami isteri mempunyai kesempatan untuk saling terbuka,dan bisa berbagi rasa atas keinginan yang telah disepakati untuk menjalani isi perjanjian tersebut.

Biasanya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta masing-masing suami isteri, karena UU Perkawinan tidak mengatur tujuan Perjanjian Perkawinan, segalanya diserahkan kepada kedua belah pihak yaitu suami dan isteri.

Pada dasarnya Perjanjian Perkawinan tidaklah seburuk yang menjadi anggapan masyarakat. Hal ini terjadi karena Perjanjian Perkawinan bagi orang kebanyakan adalah kurang etis tidak sesuai dengan budaya orang timur. Mengingat pentingnya Perjanjian Perkawinan ternyata cukup banyak manfaatnya bagi suami isteri. Tanpa Perjanjian Perkawinan, maka dalam proses pembagian harta gono-gini sering terjadi pertikaian. Karena itu manfaat dari Perjanjian Perkawinan adalah dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama perkawinan, antara lain: (Rini, 2016)

1.    Tentang pemisahan harta kekayaan, jika tidak ada harta gono-gini syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan dan harus di catatkan di tempat pencatatan perkawinan.

2.    Tentang pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa hutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama pernikahan, setelah perceraian bahkan kematian.

3.    Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut terutama mengenai masalah biaya hidup anak, dan biaya pendidikanya harus diatur sedemikian rupa berapa besar kontribusi masing-masing orang tua, dalam hal ini tujuanya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.

2)   Berdasarkan Isi Perjanjian Kawin

Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi harta bawaan dalam perkawinan, utang yang dibawa oleh suami atau istri, dan lain sebagainya. Dalam penerapannya berikut adalah hal-hal yang umumnya diatur dalam perjanjian perkawinan:

1.    Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

2.    Semua hutang dan piutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka, sehingga tanggung jawab yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan masing-masing atau tanggung jawab keduanya dengan pembatasan tertentu.

3.    Hak istri dalam mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil serta pendapatan baik dari pekerjaannya sendiri atau sumber lain.

4.    Kewenangan istri dalam mengurus hartanya, agar tidak memerlukan bantuan atau pengalihan kuasa dari suami.

5.    Pencabutan wasiat, serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat melindungi kekayaan maupun kelanjutan bisnis masing-masing pihak (dalam hal salah satu/kedua pihak merupakan pemegang saham/pemimpin usaha pada suatu entitas bisnis).

3)   Berdasarkan Bentuk Perjanjian Kawin

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memuat aturan mengenai isi perjanjian kawin. UU Perkawinan hanya menentukan bahwa isi perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian sesuai dengan pendapat Mahkamah Agung, isi KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang mengatur mengenai perkawinan dipandang masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perkawinan. KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian kawin. Namun perjanjian kawin tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut:

1.    Tidak memuat janji-janji yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

2.    Perjanjian kawin tidak boleh:

a)    Mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami, yaitu hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta perkawinan.

b)   Mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua.

c)    Mengurangi hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau istri yang hidup terlama.

d)   Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah.

e)    Tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva.

f)    Tidak dibuat janji dengan kata-kata umum, bahwa harta perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia atau di Nederland, maupun oleh hukum adat.

Di dalam undang-undang hanya terdapat 2 macam pembatasan terhadap kebersamaan harta kekayaan, yaitu:

1.    Kebersamaan untung dan rugi. Ini berarti suami dan istri masing-masing memiliki harta bawaan, yaitu harta yang dimiliki sebelum perkawinan, serta hibah, hibah wasiat dan pewarisan yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta benda lain dan hutang-hutang yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik bersama.

2.    Kebersamaan hasil dan pendapatan. Perjanjian kawin model ini mirip dengan kebersamaan untung dan rugi. Namun apabila ada kerugian yang terjadi dalam perkawinan, maka hanya suami yang menanggungnya. Sedangkan istri dibebaskan dari kerugian tersebut.

4)   Akibat Hukum Yang Di Buat Notaris Tentang Perjanjian Kawin Tidak Dipatuhi Dan Di Langsungkan Oleh Salah Satu Pihak (Suami-Istri)

Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum. Akibat perkawinan terhadap suami istri menimbulkan hak dan kewajiban antara suami-istri. Hak dan kewajiban antara suami istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagai berikut, suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat menghormati, setia menyetiani dan memberikan lahir batin satu kepada yang lain. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tempat kediaman tersebut ditentukan oleh suami-istri bersama.Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara suami dan istri yang sudah semestinya akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (Limbong, Siregar, & Yasid, 2022).

Perkawinan mengakibatkan suatu ikatan hak dan kewajiban, juga menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi yang melakukan hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga atau somah (gezin atau household). (Soekanto, 2007) Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga.

Mengenai kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan masyarakat ketentuannya diatur dalam pasal 31 ayat (1) yang pada dasarnya adalah sebagai berikut: �Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat�.

Dari rumusan tersebut di atas dapat diperoleh ketentuan bahwa kedudukannya sebagai manusia (Human Beings) maupun dalam kedudukannya dalam melaksanakan fungsi keluarga. Dan memang pada dasarnya kedudukan pria dan wanita sebagai manusia adalah sama derajatnya karena sama-sama ciptaan Tuhan. Tujuan yang hendak dicapai dari ketentuan pasal 31 ayat 1 ini ialah supaya di dalam rumah tangga tidak ada dominasi di antara keduanya baik dalam pembinaan rumah tangga itu sendiri maupun dalam pembinaan dan pembentukan keturunan sebagai pewaris generasi yang akan datang. Di samping itu dengan adanya ketentuan tersebut di atas akan memungkinkan isteri dapat menduduki jabatan-jabatan penting dalam masyarakat yang dahulunya hanya dimonopoli oleh pria saja. Demikian juga si isteri dapat mempunyai kebebasan untuk mengembangkan kecakapan dan bakatnya sebagaimana kesempatan yang dimiliki oleh suaminya. Tetapi yang perlu di ingat bagi isteri walaupun undang-undang memberikan persamaan dalam bertindak khususnya di dalam masyarakat jangan sampai melalaikan kewajiban yang pokok sebagai ibu rumah tangga. Karena dengan melalaikan kewajiban yang utama sebagai ibu, maka rumah tangga dapat berantakan dan bahkan hancur sama sekali.

Penulis disini menemukan munculnya sebuah permasalahan dimana salah satu pihak merasa lebih berhak atas harta yang dipersengkatakan. Misalnya suami dan istri yang telah bercerai dan memperebutkan sebuah rumah. Dahulu rumah tersebut dibeli secara kredit oleh mereka, namun dalam perjalanannya istri lebih banyak membayar cicilan kredit tersebut, sehingga istri merasa sebagian besar dari nilai rumah tersebut merupakan bagiannya. Terkadang muncul sebuah pertanyaan, apakah nanti harta tersebuat akan dibagi sama antara suami istri tersebut. Jika itu terjadi, maka istri akan merasa tidak adil, karena kenyataannya yang banyak andil dalam harta tersebut lebih besar dari suaminya. Atau sebaliknya, suami yang bekerja siang malam mencari nafkah, sementara sang istri hanya tinggal di rumah mengurus anak dan mengurus rumah tangga. Dari hasil usaha suami, mereka telah dapat membeli beberapa macam, seperti rumah, tanah, dan sebagainya. Dalam permasalahan tersebut, jika terjadi perceraian di antara mereka apakah istri akan mendapatkan bagian yang sama dari harta yang diperoleh dari jerih payah sang suami itu.

Berdasarkan uraian diatas, apabila di kontekskan dengan Teori Perlindungan Hukum oleh Philipus M Hadjon. Diungkapkan Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.Lebih lanjut, Hadjon mengklasifikasikan dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan sarananya, yakni perlindungan preventif dan represif.

Perlindungan merupakan suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi. Perlindungan hukum juga merupakan jaminan hak- hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan dengan manusia lain. Sifat manusia, cenderung ingin kepentingannya dipenuhi terlebih dahulu, tanpa mengingat kepentingan orang lain dan tidak jarang terjadi kepentingan- kepentingan saling bertentangan.

Keadaan tersebut, apabila tidak diatur atau tidak dibatasi, maka yang lemah akan tertindas atau setidak-tidaknya timbul pertentangan bagai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Urutan tersebut sesuai dengan prioritas tujuan hukum atau gejolak. Berkaitan dengan perlindungan hukum, maka keadilan dan kepastian hukum yang harus diberikan kepada seseorang manakala orang tersebut memerlukan perlindungan.

Wewenang dan tanggung jawab notaris atas akta perjanjian kawin bagi yang beragama Islam yang dibuatnya pun adalah sebatas isi perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka ia tidak dapat dituntut dipengadilan. Sebaliknya kalau tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian maka akta yang dibuat notaris dapat dilakukan pembatalan oleh hakim.

Kebatalan yang diputuskan oleh hakim atas akta notaris bisa berbentuk batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Notaris juga berwenang dan bertanggung jawab pula sesuai yang telah diamanatkan oleh Pasal 15 mengenai kewenangan notaris dan Pasal 16 mengenai kewajiban notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Hukum senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Dalam masyarakat sering terjadi konflik, oleh sebab itu diperlakukan suatu aturan untuk mengatur kepentingan antara manusia dalam masyarakat. Sesuai dengan teori tujuan hukum yang menekankan bahwa setiap masyarakat merupakan subjek dari perubahan sosial dan perubahan itu ada dimana-mana. Pendapat Gustav Radburch seorang Filsuf Jerman menyatakan bahwa ada 3 (tiga) ide dasar hukum sebagai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian Urutan tersebut sesuai dengan prioritas tujuan hukum.

Hukum yang berisi kaidah-kaidah atau aturan adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum.

Menurut hemat penulis bahwa Perjanjian Perkawinan dengan akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga ada jaminan kepastian hukum mengenai muatan isi perjanjian, baik terhadap suami atau istri;

Kesimpulan

1)      Hal-hal apa saja yang dituangkan dalam perjanjian kawin yang dibuat dihadapan notaris sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 147 KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147 KUHPerdata juga menyebutkan, perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak dapat diubah.

2)      Akibat hukum jika perjanjian kawin yang telah dibuat oleh notaris tidak dipatuhi dan dilanggar oleh salah satu pihak (suami atau istri) perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Notaris, jika tidak dilakukan di hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut batal. Syarat ini dimaksudkan agar: perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat: Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai akibat yang luas; Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan teliti.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdullah, Boedi, & Saebani, Beni Ahmad. (2013). Perkawinan dan perceraian keluarga muslim. Bandung: Pustaka Setia. Google Scholar

 

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. (2000). Penafsiran dan konstruksi hukum. Alumni. Google Scholar

 

Basyir, Ahmad Azhar. (1999). Hukum perkawinan islam. Google Scholar

 

Djais, Mochammad. (2006). Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Google Scholar

 

Jakarta, Pustaka Buana. (2016). Kitab Lengkap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pustaka Buana. Jakarta. Google Scholar

 

Kenedi, John. (2020). Buku: Perjanjian Perkawinan. IAIN Bengkulu Press. Google Scholar

 

Limbong, Panal Herbet, Siregar, Syawal Amry, & Yasid, Muhammad. (2022). Pengaturan Hukum Dalam Pembagian Harta Bersama Perkawinan Menurut Hukum Perdata Yang Berlaku Saat Ini Di Indonesia. Jurnal Retentum, 3(1), 213�229. Google Scholar

 

Manan, Abdul, & Jauhari, Iman. (2003). Aneka masalah hukum materiel dalam praktek peradilan agama. Pustaka Bangsa Press. Google Scholar

 

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. (2002). Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia Cetakan 3. Surabaya: Airlangga University Press. Google Scholar

 

Rini, Mike. (2016). Perlukah Perjanjian Pranikah? Dikutip Dari Danareksa. Com Tanpa Halaman. Google Scholar

 

Satrio, John, Perjanjian, Hukum, & Penerbit, P. T. (1992). Citra Aditya Bakti. Bandung.

Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Google Scholar

 

Tavinayati, Tavinayati. (2016). Urgensi Perjanjian Pra Nikah Bagi Calon Suami Isteri. Google Scholar

 

Wiki, Bahasa Indonesia. (2002). Undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945. Google Scholar

 

 

 

 

Copyright holder:

Hidayah Madaul, Rusdin Alauddin, Baharuddin (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: