Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
ASAS LEX
SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS DIKAITKAN DENGAN ASAS LEX SUPERIORI DEROGAT LEGI INFERIORI DALAM REKAM MEDIS ELEKTRONIK
DI INDONESIA
Tongon
Fernando Hutasoit, Pan
Lindawaty Suherman Sewu
Fakultas Hukum, Universitas Kristen
Maranatha
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Artikel
ini membahas tentang penerapan antara asas Lex
Specialis Derogat Legi Generali dengan Lex
Superior Derogat Legi Inferiori dalam melatarbelakangi pembukaan informasi
rekam medis elektronik. Analisis dilakukan terhadap Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Penelitian ini didasarkan pada
metodologi kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan yang bersumber dari
peraturan perundang - undangan, buku, artikel jurnal ilmiah. Artikel ini
menyimpulkan bahwa disahkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022
tentang Rekam Medis, membuat rekam medis elektronik bukan lagi informasi privat
tetapi sudah menjadi informasi publik. Asas Lex
Specialis Derogat Legi Generalis hanya dapat diterapkan pada Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior dapat diterapkan dalam pada
Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Penerapan asas Lex Superior Derogat Legi Inferior menyebabkan anomali, sebab
Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis sebagai Inferiori mengesampingkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik sebagai Lex
Superior. Sehingga membuat masalah hukum tersendiri di dalam sinkronisasi
asas vertikal dan horizontal dalam peraturan perundang - undangan di indonesia.
Kata Kunci: Lex Specialis Derogat Legi Generalis,
Lex Superiori Derogat Legi Inferiori, Rekam Medis Elektronik.
Abstract
This article deals with the application
between the lex specialist derogical legi generali principles with the superior
derogatory legi: inferiority in the background of electronic medical records.
Analysis was made of the 2022 24 health minister's rule on a medical record
with the 2008 law on public information transparency. The study is based on
qualitative methodology using literature studies based on legal regulations,
books, scientific journal articles. This article concludes that the legalizing
of the 2022 24-year minister of health - care record-making electronic medical
records is no longer private information but is public. The lex specialist
derogat legi generalis principle can only be applied to the 2008 law on public
information transparency with the 2004 act on medical practice. The lex
superior derogate legi inferior could be applied in 24 year 2022 permenkes on a
medical record with the 2008 14th law on transparency of public information.
The application of the lex superior derogate inferior led to an anomaly, as the
2022 24 year permenkes of a medical record as inferiority - Thus creating
individual legal problems in synchronization of vertical and horizontal
principles in the rule of legislation in Indonesia.
Keywords: Lex Specialis Derogat Legi Generalis, Lex
Superiori Derogat Legi Inferiori, Electronic Medical Record.
Indonesia
berada pada era industri 4.0 yang merupakan era revolusi teknologi informasi.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai inovasi teknologi yang berubah
secara signifikan (Hendarsyah, 2019).
Perkembangan teknologi yang masif telah berdampak pada berbagai sektor, baik
sektor ekonomi, politik, sosial, hubungan internasional, penegakan hukum,
hingga sektor kesehatan (Jose & Putri, 2021).
Ditinjau
dari sektor kesehatan, fasilitas dan keperluan operasional merupakan bentuk
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan ini diselenggarakan
dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan
(Fisabilillah et al., 2020).
Berbagai
pelayanan kesehatan tersebut tentunya harus dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai keahlian. Mereka yang ahli dalam pelayanan kesehatan disebut sebagai
tenaga kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 6 Undang - Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa yang dimaksud Tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan ini diantaranya dokter atau tenaga paramedis seperti bidan
atau perawat, dan tenaga kefarmasian (Rarung, 2017).
Dalam
menjalankan layanan kesehatan, setiap dokter wajib melakukan dokumentasi dalam
bentuk rekam medis dan rekam medis ini harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter
dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Kewajiban untuk membuat rekam medis
diatur dalam Pasal 46 Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran) (Azizah, 2020).
Dalam bagian penjelasan pada pasal yang sama disebutkan bahwa �rekam medis�
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan
kepada pasien (Octarina et al., 2017).
Kompleksitas
ini muncul karena pelayanan kesehatan menyangkut berbagai fungsi pelayanan yang
profesional baik di bidang teknis medis maupun administrasi kesehatan (Rahmadiliyani & Wardhina, 2022).
Pengaturan
tentang rekam medis secara eksplisit telah diatur oleh pemerintah Indonesia
melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/ MENKES/Per/XII/1989 Tentang
Rekam Medik/ Medical Records.
Kesadaran pemerintah mengenai perkembangan teknologi digital dalam masyarakat
mengakibatkan transformasi digitalisasi pelayanan kesehatan yang terpadu. Rekam
medis pun perlu diselenggarakan secara elektronik dengan prinsip keamanan dan
kerahasiaan data dan informasi guna mencapai pelayanan kesehatan terintegrasi
dan bermutu. Sehingga diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun
2022 tentang Rekam Medis (selanjutnya disebut Permenkes 24 Tahun 2022 tentang
Rekam Medis) (Nurdahniar, 2022),
yang mengatur bahwa Rekam Medis wajib diselenggarakan secara elektronik.
Pemberlakukan Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, mengakibatkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/ III/2008 tentang Rekam Medis,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Kemenkes, 2008).
Di
Indonesia, pengembangan Rekam Medis Elektronik (selanjutnya disebut RME) belum
diatur secara khusus. Dengan disahkannya Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi Transaksi Elektronik dan Permenkes 24 Tahun 2022, menjadi
dasar keabsahan penyelenggaraan RME di Indonesia. Peralihan rekam medis
konvensional menjadi rekam medis elektronik telah menimbulkan berbagai pro dan
kontra. Beberapa ahli mengkhawatirkan akan terbukanya rahasia pasien akibat
penggunaan sistem elektronik yang sewaktu-waktu dapat diretas.
Permenkes
24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis hadir sebagai aturan pengganti Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis yang
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kebutuhan pelayanan kesehatan, dan kebutuhan hukum masyarakat. Dalam Permenkes
24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, banyak perubahan aturan mengenai rekam
medis. Salah satu perubahan yang menarik dikaji adalah terkait kerahasian rekam
medis elektronik menurut Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
Bahwa
rekam medis bersifat rahasia yang harus dijaga.�
Oleh karena itu, untuk melindungi kerahasiaannya maka dibuat ketentuan
bahwa hanya badan atau orang yang ditentukan dalam Undang-Undang yang
diperbolehkan untuk mengutip sebagian atau seluruh isi rekam medis (Hasibuan, 2016).
Kepemilikan dan isi rekam medis elektronik telah diatur pada Pasal 47 UU
Praktik Kedokteran serta Pasal 25 ayat (1) dan 26 ayat (1) Permenkes 24 Tahun
2022 tentang Rekam Medis yang menyatakan bahwa, dokumen rekam medis merupakan
milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan (Fasilitas Pelayanan
Kesehatan), sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.
Pasal
47 ayat 2 UU Praktik Kedokteran bahwa rekam medis harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter dan dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan. Untuk itu, rekam medis elektronik harus disimpan oleh fasilitas
pelayanan kesehatan dan keterbukaannya hanya diperbolehkan bagi badan dan orang
tertentu.
Rekam
Medis Elektronik yang disimpan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
terhubung/di interoperabilitas dengan platform layanan interoperabilitas dan
integrasi data kesehatan yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan. Adapun
platform layanan kesehatan yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan tersebut
adalah �SatuSehat�, sebuah platform konektivitas data, analisis, dan layanan
untuk mendukung integrasi antar aplikasi dan fasilitas pelayanan kesehatan .
Pasien atau fasilitas pelayan kesehatan dapat mengakses rekam medis elektronik
melalui aplikasi �PeduliLindungi� yang terhubung dengan platform �SatuSehat� (Baqiyah et al., 2022).
Menurut
Pasal 28 ayat (1) Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, menyatakan
bahwa� �Fasilitas Pelayanan Kesehatan
harus membuka akses seluruh isi Rekam Medis Elektronik Pasien ke Kementerian
Kesehatan�. Pemberian akses terhadap kementerian kesehatan akan membuat rekam
medis bukan lagi informasi privat antara pasien dan fasilitas pelayanan kesehatan,
tetapi sudah menjadi informasi publik sebab adanya peran negara melalui
pemberian akses kepada kementerian kesehatan selaku pemerintah. Pemberian akses
rekam medis elektronik menjadi perdebatan di kalangan ahli, karena Permenkes 24
Tahun 2022 tentang Rekam Medis dianggap memberikan kewenangan cukup besar
kepada Kementerian Kesehatan tanpa diimbangi dengan tanggung jawab terhadap
data dan isi rekam medis (Yunisca et al., 2022).
Selain
memberikan akses kepada kementerian kesehatan, Permenkes 24 Tahun 2022 tentang
Rekam Medis juga memberikan kewenangan kementerian kesehatan untuk membuka isi
rekam medis elektronik. Pasal 33 ayat (1) Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam
Medis, dijelaskan bahwa �Pembukaan isi Rekam Medis dapat dilakukan atas
persetujuan Pasien dan/atau tidak atas persetujuan Pasien�. Sedangkan dalam
Pasal 17 huruf (h) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP) mengatur bahwa rekam medis pasien
merupakan informasi yang dikecualikan untuk dibuka. Sementara itu, pada Pasal
29 Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya
disebut UU HAM), menegaskan bahwa �Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya�. Kondisi tersebut
menimbulkan benturan norma antara Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis
dengan UU KIP serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam
Pasal 29 UU HAM. Dalam konteks ini berlaku asas hukum Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (hukum yang derajatnya lebih
tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah). Namun, disisi lain
bagaimana dengan berlakunya asas hukum Lex
Specialis Derogat Legi Generalis (hukum yang khusus mengesampingkan hukum
yang umum). Sebab UU Praktik Kedokteran
merupakan aturan yang khusus mengenai rekam medis. Sementara UU KIP
merupakan aturan yang mengatur keterbukaan informasi umum, tidak khusus
mengenai rekam medis. Hal ini menjadi menarik
untuk dibahas karena terdapat dua norma hukum yang berlaku secara bersamaan.
Untuk itu masalah ini hendak diteliti dari asas - asas hukum.
Pembukaan
isi rekam medis dalam Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis menjadi
tantangan bagi eksistensi hak individu. Berkas rekam medis pasien merupakan
bagian dari Hak Asasi Manusia yang melekat pada individu dan bersifat rahasia
sehingga perlu adanya perlindungan hukum.[1]
Oleh karena itu untuk membatasi ruang lingkup masalah dalam tulisan ini,
berdasarkan pada kesenjangan yang telah dideskripsikan pada bagian pendahuluan.
Apakah rekam medis elektronik yang diakses kementerian kesehatan dapat
dikategorikan sebagai Informasi Publik, selanjutnya, bagaimana penerapan antara
asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dengan
Lex Superior Derogat Legi Inferiori dapat
mewarnai / melatarbelakangi pembukaan informasi rekam medis elektronik.
Metode Penelitian
Dalam
penulisan jurnal ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan suatu aturan hukum
tertentu, prinsip�prinsip hukum, maupun doktrin hukum untuk menjawab suatu isu
hukum yang dihadapi.
Penelitian
dalam jurnal ini menggunakan deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan
atau memaparkan mengenai permasalahan hukum yang menjadi sasaran dalam
penelitian, hasil penelitian kemudian diolah dan dianalisis sehingga dapat diambil
sebuah kesimpulan serta saran.
Pendekatan-pendekatan
yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Penelitian ini memerlukan bahan hukum. Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang -
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang -Undangan, Undang - Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang
Perlindungan Data Pribadi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/
MENKES/Per/XII/1989 Tentang Rekam Medik, Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022
tentang Rekam Medis. Bahan hukum ini didukung pula oleh bahan hukum sekunder
berupa penelitian, jurnal, buku yang berkaitan dengan rekam medis elektronik,
kesehatan, kedokteran, dan ilmu tentang pelayanan kesehatan.
Rekam Medis Elektronik
Edan
K. Huffman menguraikan pengertian Rekam Medis sebagai berikut :�
�Rekam
Medis adalah fakta yang berkaitan dengan keadaan pasien, riwayat penyakit dan
pengobatan masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien tersebut.�[2]
Menurut
Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, bahwa Rekam Medis adalah dokumen
yang berisikan data identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Yang dimaksud saran
pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap yang dikelola oleh
pemerintah maupun swasta.[3]
Dengan
demikian, rekam medis merupakan dokumen yang memuat identitas, anamnesa,
penentuan fisik, laboratorium, diagnosa dan tindakan medis terhadap seorang
pasien yang dicatat secara tertulis maupun elektronik.
Rekam
medis bukan sekedar kegiatan pencatatan, tetapi juga sebagai sistem
penyelenggaraan yang meliputi pelayanan, tindakan medis, penyimpanan berkas
hingga pengeluaran berkas manakala diperlukan untuk kepentingan pasien atau
keperluan lainnya.
Undang
- Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (selanjutnya UU
PDP) membedakan data pribadi menjadi dua, yaitu Data Pribadi yang bersifat
umum; dan Data Pribadi yang bersifat spesifik. Dalam Pasal 3 ayat (3) UU PDP,
menyatakan Data Pribadi yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf (b) meliputi: data dan informasi kesehatan; data biometrik; data
genetika; kehidupan/orientasi seksual; pandangan politik; catatan kejahatan;
data anak; data keuangan pribadi; dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) UU PDP, rekam medis
dapat dikategorikan sebagai data pribadi spesifik.
Di
Indonesia rekam medis mulanya diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
031/Birhup/1972 tentang kewajiban semua rumah sakit untuk membuat medical recording dan reporting serta hospital statistic.[4]
Kemudian pengaturan untuk membenahi rekam medis sebagai informasi kesehatan
dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 034/ Birhup/ 1972 tentang
Perencanaan dan Pemeliharaan Rumah Sakit.
Untuk
memberikan landasan hukum yang kuat terhadap rekam medis, maka pemerintah
indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
749/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis (Medical Record). Sebagai peraturan yang khusus mengatur rekam
medis.
Sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia yang semakin kompleks, membuat peran rekam
medis sangat penting kegunaan nya. Rekam medis berpengaruh besar terhadap
kualitas pelayanan kesehatan. Menurut Pasal 14 Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 749/MENKES/PER / XII / 1989, rekam medis dapat digunakan sebagai :
Dengan demikian rekam
medis dapat berfungsi sebagai administrative,
legal, financial, research, education, dan documentation.[5]
Pemerintah
Indonesia melalui Departemen Kesehatan hendak menciptakan rekam medis di
Indonesia yang sejalan dengan kemajuan teknologi di bidang pelayanan kesehatan,
sehingga muncullah inovasi untuk menerapkan Rekam Medis Elektronik (RME)
melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis
sebagai pengganti Permenkes 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis.
Dalam
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam
Medis, dijelaskan bahwa yang dimaksud Rekam Medis Elektronik adalah Rekam Medis
yang dibuat dengan menggunakan sistem elektronik yang diperuntukkan bagi
penyelenggaraan Rekam Medis.
Pasal
3 ayat (1) Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, mengatur bahwa Setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (selanjutnya disebut fasyankes) diwajibkan untuk
menyelenggarakan RME.� Setiap fasyankes
diharuskan menerapkan RME dalam pelayanan kesehatannya guna menciptakan sistem
pelayanan terpadu.
Rekam Medis Elektronik sebagai Informasi Publik
Pada
dasarnya RME merupakan penggunaan perangkat teknologi informasi untuk
mengumpulkan, menyimpan, mengolah serta mengakses data rekam medis pasien dalam
suatu sistem basis data yang menghimpun berbagai sumber data medis. RME
merupakan dokumen rekam medis yang terhimpun dan tersimpan dalam sistem
elektronik di fasyankes. Penyimpanan secara elektronik tentunya akan
membutuhkan komputer dengan memanfaatkan manajemen basis data.
Di
beberapa fasyankes modern telah memadukan RME dengan aplikasi Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) sebagai sistem induk yang mengelola segala
informasi rumah sakit, baik rekam medis, administrasi, billing, dokumentasi keperawatan, pelaporan dan dashboard scorecard.
SIMRS
merupakan sebuah sistem komputer yang memproses dan mengintegrasikan seluruh
alur proses layanan kesehatan dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan
prosedur administrasi guna memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat.
SIMRS adalah sistem informasi yang dimiliki oleh fasyankes untuk mengelola
seluruh informasi medis.
Berdasarkan
Pasal 52 ayat 1 Undang - Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(selanjutnya disebut UU RS), menyebutkan bahwa �Setiap Rumah Sakit wajib
melakukan pencatatan dan pelaporan tentang semua kegiatan penyelenggaraan Rumah
Sakit dalam bentuk Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.� Penyelenggaraan ini
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, profesionalisme, efektivitas kinerja,
serta akses dan pelayanan fasyankes.
Data
fasyankes adalah data-data yang sangat komplek mulai dari data klinis, data
administrasi hingga data manajemen. SIMRS memiliki peranan sentral dalam
melakukan pengolahan data menjadi informasi, baik data Registrasi Pasien, Rawat
Inap, Rawat Jalan, Rawat Darurat, Keuangan, dan termasuk Rekam Medis pasien.
Rekam
medis merupakan salah satu data elektronik yang dikelola dalam SIMRS oleh
fasyankes. Dalam rekam medis terhadap dua bagian penting untuk diperhatikan, yaitu� Patient
Record dan Manajemen.
Patient Record
merupakan rekaman informasi tentang kondisi kesehatan dan penyakit pasien.
Umumnya Patient Record bersifat
individu dan rahasia. Sementara Manajemen merupakan proses pengelolaan atau
kompilasi terhadap kondisi kesehatan dan penyakit pasien untuk menjadi
informasi yang bermanfaat untuk melakukan pertanggungjawaban dari segi
manajemen maupun keuangan.
Kegiatan
penyelenggaraan RME oleh fasyankes harus dilakukan penyimpanan, guna memenuhi
hak pasien. Pasal 32 huruf (i) UU RS memberikan hak kepada pasien untuk
�mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya.� Untuk melindungi hak privasi dan kerahasian tersebut, penyelenggaran
RME harus menjamin keamanan, keutuhan, kerahasiaan, dan ketersediaan data RME
sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (2) Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam
Medis. Oleh karena itu, baik dokumen dan isi RME harus disimpan oleh fasyankes
sehingga keterbukaannya hanya diperbolehkan bagi badan dan orang tertentu.
Disisi
lain, fasyankes dalam melakukan penyimpanan dokumen dan isi RME melalui SIMRS
wajib terhubung dengan platform layanan kesehatan yaitu �SatuSehat�. Dalam
Pasal 21 Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis menyebutkan bahwa �Rekam
Medis Elektronik yang disimpan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
terhubung/terinteroperabilitas dengan platform layanan interoperabilitas dan
integrasi data kesehatan yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan.� Platform
�SatuSehat� merupakan sebuah database yang
dikelola Kementerian Kesehatan (selanjutnya disebut Kemenkes) untuk memuat
seluruh informasi kesehatan seluruh fasyankes.
Kementerian
Kesehatan atau Kemenkes RI adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan
kesehatan. Kemenkes merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas membantu
presiden dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Berdasarkan
Pasal 1 angka (3) UU KIP, bahwa yang dimaksud �Badan Publik adalah lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat,
dan/atau luar negeri.��
Pasal
1 angka (3) UU KIP mendefinisikan Badan Publik sebagai lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan badan lain yang melakukan penyelenggaran negara
menggunakan APBN dan atau APBD.
Berpijak
pada definisi Pasal 1 angka (3) UU KIP maka kemenkes termasuk badan
publik.� Sebab kemenkes merupakan
pembantu Presiden yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden sebagai lembaga Eksekutif.
Sebagai
badan publik, kemenkes memiliki kewenangan untuk mengakses isi RME yang dimiliki
fasyankes. Menurut Pasal 28 Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, bahwa:
(1)
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan harus membuka akses seluruh isi Rekam Medis Elektronik Pasien ke
Kementerian Kesehatan.
(2)
Kementerian Kesehatan
berwenang melakukan pemanfaatan dan penyimpanan isi Rekam Medis Elektronik
dalam rangka pengolahan data kesehatan.
(3)
Pengolahan data
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau pembuatan kebijakan bidang kesehatan,
dengan memperhatikan prinsip kedokteran berbasis bukti (evidence based), etika
kedokteran, dan ketentuan peraturan perundang undangan.
(4)
Data kesehatan yang
dilakukan pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selain berasal dari
data Rekam Medis Elektronik, juga dapat berasal dari data lain di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan/atau institusi lain.
Pasal 28 Permenkes 24
Tahun 2022 tentang Rekam Medis telah memberikan kewenangan kepada kemenkes
sebagai badan publik untuk mengakses seluruh informasi RME yang dikelola oleh
fasyankes.
Segala
informasi yang diberikan kepada kemenkes sebagai badan publik merupakan
informasi publik. Menurut Pasal 1 angka (2) UU KIP yang dimaksud Informasi
Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau
diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik
lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang
berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam hal kaitannya dengan Pasal 28
Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, informasi yang diberikan oleh
fasyankes kepada kemenkes adalah isi rekam medis.
Selain
itu, Pasal 28 ayat (1) Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, menyatakan
bahwa� �Fasilitas Pelayanan Kesehatan
harus membuka akses seluruh isi Rekam Medis Elektronik Pasien ke Kementerian
Kesehatan�. Terdapat kewajiban bagi fasyankes untuk memberikan akses kepada
kemenkes.
Pemberian
akses kepada kemenkes sebagai badan publik akan membuat RME menjadi informasi
publik, sebab adanya penyimpanan, pengelolaan, pengiriman dan/atau penerimaan
informasi ke platform �SatuSehat� melalui pemberian akses kepada kemenkes.
1.
Penerapan
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
dengan Asas Lex Superiori derogat legi
Inferiori dalam Melatarbelakangi Pembukaan Informasi Rekam Medis
Elektronik.
Asas
hukum sebagai pondasi hukum positif merupakan abstraksi sebuah kaidah umum yang
penerapannya lebih luas dari ketentuan norma-norma hukum positif. Asas hukum
berasal dari akal budi dan nurani manusia yang menyebabkan manusia dapat
membedakan antara baik-buruk, adil-tidak adil, dan manusiawi-tidak manusiawi.[6]
Paul
Scholten menguraikan definisi tentang asas hukum, sebagai berikut :
"Pikiran-pikiran
dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing
dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,
yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan putusan-putusan individual
dapat dipandang sebagai penjabarannya".[7]
Menurut
Karl Larenz dalam bukunya �Methodenlehre
der Rechtswissenschaft�, asas hukum dapat diartikan sebagai ukuran-ukuran
hukumiah-etis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum.[8]
Pandangan
Karl Larenz sejalan dengan Paul Scholten yang mendefinisikan asas hukum sebagai
�tendensi-tendensi yang disyaratkan kepada hukum oleh paham kesusilaan kita�.
Bahwa asas hukum dapat dipahami sebagai syarat dengan nilai-nilai etis-moral
dalam aturan, norma atau kaidah hukum baik dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan maupun putusan hakim sebagai pembentukan hukum.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa asas hukum merupakan sumber yang menghidupi
tata hukum dengan nilai - nilai etis, moral dan sosial masyarakat.
Asas
Hukum adalah landasan bagi lahirnya suatu aturan hukum. Artinya bahwa pada
akhirnya setiap peraturan hukum dapat dikembalikan kepada asas - asas hukum.
G.W.
Paton memberikan definisi singkat mengenai asas hukum sebagai berikut :[9]
�a principle is the broad reason, which lies
at the base of rule of law�
Artinya ;
�Asas
adalah suatu pikiran yang dirumuskan secara luas yang menjadi dasar bagi aturan
atau kaidah hukum�.
Berpijak
pada pandangan G.W. Paton maka asas hukum itu bersifat abstrak, sedangkan
aturan/kaidah hukum sifatnya konkret mengenai perilaku atau tindakan hukum
tertentu. Secara umum asas hukum tidak tertuang dalam bentuk peraturan� yang bersifat konkrit atau pasal-pasal,
walaupun tidak jarang pula asas hukum dituangkan dalam peraturan konkrit.
Menurut
H.J. Homes, dalam bukunya �Betekenis van
de Algemene Rechtsbeginsselen voor d praktijk� berpendapat bahwa asas hukum
tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, tetapi perlu
dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku.[10]
Dengan demikian H.J. Homes berpendapat bahwa asas hukum merupakan dasar kaidah
perilaku.
Berpijak
pada uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa asas hukum bukanlah kaidah
konkrit, akan tetapi hanya pikiran dasar yang abstrak dan bersifat umum. Asas
hukum adalah nilai - nilai yang mengendap dalam hukum positif. Asas hukum
merupakan latar belakang peraturan konkret yang terdapat di dalam suatu sistem
hukum.
Sistem
norma hukum yang berlaku di Indonesia membentuk piramida, berjenjang-jenjang,
berlapis-lapis sekaligus berkelompok-kelompok dalam suatu hierarki tata
susunan. Dalam arti bahwa suatu norma hukum akan berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma dasar Indonesia, yaitu Pancasila.[11]
Pemikiran
teori jenjang norma hukum awalnya dicetus oleh seorang ahli hukum Jerman
bernama Adolf Julius Merkl yang menyatakan bahwa suatu norma hukum selalu
mempunyai dua wajah (das Doppelte
Rechtsanlitz). Menurut Adolf Julius Merkl, suatu norma hukum pada satu sisi
bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya dan pada sisi lain menjadi
sumber dan dasar bagi norma di bawahnya sehingga suatu norma hukum mempunyai
masa berlaku (rechtskracht) yang
bergantung pada norma yang menjadi sumber dan dasar pembentukannya.[12]
Hal ini membuat hubungan antar norma hukum yang tinggi dan rendah. Hubungan
antar norma adalah hubungan antara �superordinasi�
dan �subordinasi� dimana validitas
norma yang lebih rendah selalu bersumber dari norma yang lebih tinggi.
Apabila
sumber dan dasar pembentukan norma hukumnya dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku maka akan mengakibatkan norma hukum di bawahnya menjadi tidak berlaku
pula. Kaitannya teori Adolf Julius Merkl dengan masalah hukum yang diangkat
adalah bahwa Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis merupakan norma hukum
yang bersumber pada UU Praktik Kedokteran, bukan bersumber UU KIP.
UU
Praktik Kedokteran merupakan norma hukum yang mengatur ketentuan dalam lingkup
yang sama dengan Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yaitu kesehatan.
Masa berlaku (rechtskracht) Permenkes
24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis bergantung pada UU Praktik Kedokteran.
Dalam
Pasal 48 ayat (2) UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa �Rahasia kedokteran
dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan perundang -undangan.� Selanjutnya menurut Pasal 47
ayat (2) UU Praktik Kedokteran, bahwa Rekam Medis merupakan salah satu dokumen
yang harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya.
Untuk
memperjelas, menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri kesehatan Nomor 36
Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran, menyebutkan bahwa yang dimaksud Rahasia
kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh
tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya.
Dengan
demikian rekam medis adalah bagian dari rahasia kedokteran, sebab rekam medis
merupakan data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh dokter
pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya.
Berpijak
pada penjelasan yang diuraikan sebelumnya, maka Pasal 48 ayat (2) UU Praktik
Kedokteran memberikan pengecualian terhadap kerahasiaan rekam medis serta� memungkinkan pembukaan rekam medis sebagai
informasi publik. Oleh karena itu terdapat dua norma bertentangan dalam derajat
yang setara, yaitu UU KIP dengan UU Praktik Kedokteran.�
Berdasarkan
peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenal hierarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang -Undangan menerangkan bahwa jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas: Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Undang -Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Konsekuensi
hierarki perundang - undangan adalah jika terdapat peraturan sederajat yang
saling bertentangan (pertentangan norma), maka yang dinyatakan berlaku adalah
yang lebih khusus. Dalam hal ini berlaku lah asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis.
Asas
Lex Specialis Derogat Legi Generalis
bermakna hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Asas ini merupakan
buah pemikiran Aemilius Papinianus, ahli hukum Romawi (Roman Jurist) yang
terkenal dengan julukan �the asylum of
the rights and treasures of laws�. Aemilius Papinianus dalam Digest
50.17.80 menyatakan bahwa �In toto iure
generi per speciem derogatur et illud potissimum habetur, quod ad speciem
derectum est� (in the whole of law, species takes precendence over genus, and
it has been laid down that anything that relates to the particular is regarded
as the most important)�.� Kekhususan
lebih diutamakan dari pada pengaturan yang bersifat umum dan tidak
diperdebatkan lagi bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hal khusus
sebagai yang paling penting.
Rasionalitas
pengutamaan bagi hukum yang khusus ini adalah bahwa aturan hukum yang khusus
tentunya lebih relevan dan kompatibel serta lebih disesuaikan dengan kebutuhan
hukum dan subjek yang lebih spesifik yang tidak mampu dijangkau oleh aturan
hukum yang bersifat umum.
Bagir
Manan dalam bukunya �Hukum Positif Indonesia� mengemukakan bahwa terdapat
beberapa prinsip dalam penerapan asas lex
specialis derogat legi generalis (Irfani, 2020)
:
Kenyataanya
bahwa kerap kali dalam aturan perundang-undangan terjadi konflik norma (conflict of norms) atau pertentangan
dengan undang-undang yang lain, seperti�
Pasal 33 ayat (1) Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis dengan
Pasal 17 huruf (h) UU KIP. Keberadaan pasal ini dinilai bertentangan dengan
asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
sebab sejatinya asas ini berlaku apabila kedudukan antara suatu peraturan
dengan peraturan lainnya memiliki kedudukan yang setara dalam hierarki
perundang-undangan (Yunisca et al., 2022).
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
tidak dapat diberlakukan karena merupakan suatu penyimpangan, mengingat posisi
Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis berada di bawah UU KIP. Oleh karena
itu, penulis merujuk pada Pasal 47 ayat (2) UU Praktik Kedokteran sebagai
sumber dan dasar dari Pasal 33 ayat (1) Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam
Medis. Sehingga asas Lex Specialis
Derogat Legi Generalis dapat diberlakukan karena mengingat posisi UU
Praktik Kedokteran berada sejajar dengan UU KIP (Zaini, 2019).
Untuk
selanjutnya akan dijelaskan mengenai asas yang kedua yaitu asas Lex Superiori derogat legi Inferiori
(hukum yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih
rendah). Kaitanya dengan masalah hukum yang dibahas adalah bahwa UU KIP
merupakan Lex Superiori Sedangkan
Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis merupakan Legi Inferiori.
Pada
Pasal 17 huruf (h) UU KIP, menyatakan bahwa �Setiap Badan Publik wajib membuka
akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik (Kamaliah & Marlina, 2021),
kecuali: Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
Pasal 17 huruf (h) UU
KIP mengatur bahwa rekam medis pasien merupakan informasi yang dikecualikan
untuk dibuka. Sementara Pasal 33 ayat 1 Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam
Medis, menyatakan� �Pembukaan isi Rekam
Medis dapat dilakukan atas persetujuan Pasien, dan/atau tidak atas persetujuan
Pasien.�
Dalam
hukum kesehatan, Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis sebagai Inferiori mengesampingkan UU KIP sebagai
Lex Superior. Sebab Permenkes 24
Tahun 2022 tentang Rekam Medis, bersandingan dengan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali. Dalam hierarki perundang
-undangan, kedudukan Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis berada lebih
rendah dari UU KIP namun Permenkes 24 Tahun 2022 mengatur lebih khusus
ketimbang UU KIP.�
Dengan
disahkannya Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, membuat rekam medis
elektronik menjadi informasi publik. Keterbukaan rekam medis elektronik sebagai
informasi publik menjadi permasalah hukum tersendiri.
Asas
Lex Specialis Derogat Legi Generalis
hanya dapat diterapkan pada UU KIP dengan UU Praktik kedokteran. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
tidak dapat diberlakukan pada Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis
dengan UU KIP sebab secara hierarki UU KIP dan UU Praktik Kedokteran merupakan
Undang-undang, sedangkan pengaturan tentang rekam medik diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan.
Asas
Lex Superior Derogat Legi Inferior dapat
diterapkan dalam pada Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis dengan UU
KIP. Penerapan asas Lex Superior Derogat
Legi Inferior menyebabkan anomali, sebab Permenkes 24 Tahun 2022 tentang
Rekam Medis sebagai Inferiori mengesampingkan
UU KIP sebagai Lex Superior. Sehingga
membuat masalah hukum tersendiri di dalam sinkronisasi asas vertikal dan
horizontal dalam peraturan perundang - undangan di indonesia.
Seyogyanya
aturan UU KIP dan Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis harus sejalan.
Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang lebih jelas mengenai rekam medik
dengan memperhatikan pula asas horizontal dan vertikal yang sesuai dengan
hierarki perundang-undangan. Penyusunan perundang - undangan yang jelas bagi
masyarakat akan memberikan panduan yang jelas dalam penyelenggaraan rekam
medik, dan tidak menjadi multi tafsir.
Azizah, L. K. (2020). Pengaruh Peran Orang Tua terhadap Keaktifan
Belajar Siswa Pada Masa Pandemi Covid-19 dI MIN 2 Madiun Kabupaten Madiun Tahun
Pelajaran 2020/2021. IAIN Ponorogo.
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/33187
Baqiyah, U., Kamelia, E., Miko, H., Jurusan, M., Gigi, K.,
& Kemenkes, P. (2022). Analysis of Tooth Loss Due To Caries With Dental and
Oral Health Behavior in the Elderly. The Incisor (Indonesian Journal of
Care�s in Oral Health), 6(1), 155�163.
Fisabilillah, R. I., Syari, W., & Parinduri, S. K. (2020).
Gambaran Pelaksanaan Manajemen Pelayanan Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren)
di Pondok Pesantren Daarul Rahman 3 Kota Depok Tahun 2020. PROMOTOR, 3(5),
501�511.
Hasibuan, A. S. (2016). Pengaruh Pelepasan Informasi Rekam
Medis Pasien Meninggal Terhadap Pengklaiman Asuransi di RSU Herna Medan Tahun
2015. Jurnal Ilmiah Perekam Dan Informasi Kesehatan Imelda, 1(1),
40�45.
Hendarsyah, D. (2019). E-commerce di era industri 4.0 dan
society 5.0. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 8(2),
171�184.
Irfani, N. (2020). Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex
Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya dalam Penalaran dan
Argumentasi Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 16(3), 305�325.
Jose, H. S., & Putri, I. P. E. (2021). Tatanan Global
Pada Pembangunan dan Ekonomi Politik Internasional Selama dan Pasca Pandemi
Covid-19. Jurnal Ilmiah Penalaran Dan Penelitian Mahasiswa, 5(1),
46�70.
Kamaliah, K., & Marlina, S. (2021). Kajian Dampak dan
Adaptasi Perubahan Iklim di Kalimantan Tengah. Media Ilmiah Teknik
Lingkungan (MITL), 6(1), 34�42.
Kemenkes. (2008). permenkes ri 269/MENKES/PER/III/2008. In Permenkes
Ri No 269/Menkes/Per/Iii/2008 (p. 7).
Nurdahniar, I. (2022). Analisis Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 24 Tahun 2020 Tentang Pelayanan Radiologi Klinik Terhadap
Pelayanan Kesehatan USG Bagi Ibu Hamil.
Octarina, N. F., Wajdi, M. B. N., Setiawan, M. I., Sukoco,
A., Purworusmiardi, T., & Kurniasih, N. (2017). Tinjauan terhadap UU ITE
untuk Penerapan Rekam Medis Berbasis Online pada Penduduk Muslim di Indonesia. AT-Tahdzib:
Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, 5(2), 78�94.
Rahmadiliyani, N., & Wardhina, F. (2022). Sosialisasi
Pengisian Lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi pada Perawat. Jurnal
Pengabdian Masyarakat Bestari, 1(5), 377�382.
Rarung, L. (2017). Tanggungjawab Hukum Terhadap Pelaku
Pembuat Obat-Obatan Tradisional Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Lex Crimen, 6(3).
Yunisca, F., Chalimah, E., & Sitanggang, L. O. A. (2022).
Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2022
Tentang Rekam Medis Terhadap Hasil Pemantauan Kesehatan Pekerja Radiasi di
Kawasan Nuklir Serpong. Reaktor: Buletin Pengelolaan Reaktor Nuklir, 19(2),
34�41.
Zaini, A. A. (2019). Hak Politik Non Muslim di Kabupaten
Aceh Tenggara. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
Copyright
holder: Tongon Fernando Hutasoit, Pan Lindawaty Suherman Sewu (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |
[1] Rahandy Rizki Prananda, Batasan
Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi VS
Transparansi Informasi Publik, Jurnal hukum, Vol. 3 No. 1, Juni 2020,
hlm.145
[2] Siswati, Dea Ayu Dindasari, �Tinjauan Aspek Keamanan dan
Kesehatan Rekam Medis di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta Selatan�, Jurnal Rekam
Medis dan Informasi Kesehatan, Vol. 2, No.2 Oktober 2019, hlm 93.
[3] H.Sutarno, "Hukum
Kesehatan Eutanasia, Keadilan dan Hukum Positif di Indonesia", Setara
Press, Malang, 2014, hlm. 63.
[4] Abdul Rokhim, Rekam Medis Sebagai
Alat Bukti Dalam Penyelesaian Sengketa Layanan Medis, Yurispruden, Vol. 3, No.
1, Januari 2020, hlm. 64 - 65.
[5] Ariq Ablisar, Mahmud Mulyadi, M. Ekaputra, Mahmul Siregar,
�Fungsi Rekam Medis Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Melakukan
Tindakan Medik�, USU Law Journal, Vol.6. No.6, Desember 2018, hlm. 109
[6] Dewa Gede Atmadja, �Asas - Asas Hukum Dalam Sistem Hukum�,
Kertha Wicaksana, 2018, Vol. 12, No. 2, hlm. 147.
[7] Johannes
Ibrahim, Lindawaty Sewu, "Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern", Refika Aditama, Bandung 2007, hlm. 50.
[8] J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum:
Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hlm. 119.
[9] Dewa Gede Atmadja, �Asas - Asas Hukum Dalam Sistem Hukum�,
Kertha Wicaksana, 2018, Vol. 12, Nomor 2, hlm. 146.
[10] Ibid
[11] Tanto Lailam, Konstruksi Pertentangan Norma Hukum dalam
Skema Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 1, Maret 2014,
hlm. 19.
[12] Nurfaqih Irfani, Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex
Posterior : Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya Dalam Penulisan dan
Argumentasi Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16, No. 3, September 2020,
hlm. 307.