Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 2, Februari 2024
MAKNA PLURALITAS DALAM FILM “RAYA AND
THE LAST DRAGON” (Studi
Analisis Semiotika Roland Barthes)
Inne
Pujianti, Ahmad Mulyana
Magister
Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana, Indonesia
Email: [email protected], a[email protected]
Abstrak
Film sesungguhnya merupakan
sebuah teks yang mempresentasikan realitas sosial. Teks yang terkandung dalam
sebuah film membentuk sebuah makna sekaligus mencerminkan budaya tertentu. Pesan
yang disampaikan dalam film dapat informatif serta sebagai media edukasi bagi
penonton, pesan untuk memperkenalkan sebuah budaya, membangun masyarakat yang
demokrasi serta film juga dapat mempersatukan perbedaan dan mengkonstruksi
realita sosial yang terjadi pada masyarakat. Penulis dalam penelitian ini
melihat perbedaan makna pluralisme dalam film “Raya dan The Last
Dragon”. Bahwa terdapat fakta bahwa sebuah film dapat menjalankan fungsi
memperbaiki kehidupan masyarakat dengan jalan ceritanya dengan keragaman yang
ada serta ciri khas dari perbedaan yang tergambarkan pada film tersebut. Penelitian ini memiliki tujuan
agar dapat
mengetahui berbagai makna dari segi peruntukan, implikasi dan mitos yang
terdapat dalam film "Raya and the Last Dragon". Penulisan dalam penelitian
ini menggunakan paradigma konstruktivis untuk melakukan
analisis semiotik Roland Barthes dan penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif untuk memahami berbagai makna dalam film “Raya and
the Last Dragon”. Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi, dapat dikatakan
bahwa film ini menunjukkan makna pluralisme yang dipahami secara demokratis,
kesetaraan perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang secara denotative tergambarkan
memiliki konotasi yang dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan yang terkonstruksi
menjadi sebuah persamaan. Pada film tersebut menggambarkan kebersamaan dan
persatuan dalam sebuah perbedaan, sehingga timbullah mitos yang menggambarkan
pergeseran makna dari pluralitas yaitu sebuah kekuatan dan persatuan terbentuk
dari sebuah perbedaan dan keragaman yang ada.
Kata Kunci: Pluralitas, Semiotik, Film,
Budaya, Demokrasi.
Abstract
Film is actually a text that presents social
reality. The text contained in a film forms a meaning while reflecting a
particular culture. The message conveyed in the film can be informative and as
an educational medium for the audience, the message to introduce a culture,
build a democratic society and the film can also unite differences and
construct social realities that occur in society. The author in this study saw
the difference in the meaning of pluralism in the film "Raya and The Last
Dragon". That there is a fact that a film can carry out the function of
improving people's lives with its storyline with the diversity that exists and
the characteristics of the differences depicted in the film. This research aims
to find out various meanings in terms of designation, implications and myths
contained in the film "Raya and the Last Dragon". The writing in this
study uses the constructivist paradigm to conduct semiotic analysis of Roland
Barthes and this research uses qualitative research methods to understand
various meanings in the film "Raya and the Last Dragon". Based on the
results of research and discussion, it can be said that this film shows the
meaning of pluralism that is understood democratically, equality of
differences. The differences that are denotatively described have connotations
associated with differences that are constructed into an equation. The film
depicts togetherness and unity in a difference, so a myth arises that describes
the shift in meaning from plurality, namely a strength and unity formed from a
difference and diversity that exists.
Keywords: plurality,
semiotics, film, culture, democracy.
Pendahuluan
Film
sesungguhnya merupakan sebuah teks yang mempresentasikan realitas sosial. Teks
yang terkandung dalam sebuah film membentuk sebuah makna sekaligus mencerminkan budaya tertentu.
Pandangan tersebut menandakan bahwa realita yang ditampilkan pada sebuah film
bukanlah hal yang terjadi begitu saja, akan tetapi merupakan hasil dari sebuah
cara untuk mengkonstruksi realitas. Dengan demikian film bukan hanya
memproduksi realitas, akan tetapi film juga dapat mendefinisikan sebuah
realitas (Sobur, 2014)..Selain sebagai media hiburan, film juga
menjalankan fungsinya sebagai pembawa pesan kepada khalayak. Sebagai media massa, film dapat dimanfaatkan
dari berbagai tujuan (Asri, 2020). Salah satunya yaitu sebagai
pembawa sebuah isi pesan untuk mengenalkan suatu budaya kepada berbagai penjuru
dunia. Sebagai media massa yang dapat menyampaikan unsur budaya, film mengumpulkan.suatu..informasi.dari.,berbagai.sudut,,yang..terdapat.dalam..menciptakan.senitersendiri...Sekaligus menanamkan
berbagai.nilai,
makna dan.pandangan.hidup yang berbeda-beda. Film.merupakan
komoditi, seni.dan sekaligus.ideologi (Effendy, 2000).
Kajian
semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian dan
menghbungkannya kepada arti yang lebih ekspansif. Analisis semiotik menyediakan
cara untuk menghubungkan teks dengan pesan yang relevan di mana ia beroperasi.
Kemudian, hubungan intelektual antara dua orang diciptakan dalam situasi
tertentu, yang memerlukan percakapan dengan beberapa orang untuk memahami
perspektif mereka untuk memperjelas makna suatu situasi (Astuti, 2006). Menurut
Saussure, terdapat tiga komponen sebagai berikut: Tanda (tanda), mencangkup
aspek substansi yang terdiri dari suara, huruf, gambar, gerak dan bentuk
Penanda (signifier), mencangkup aspek teks bahasa, yaitu apa yang diucapkan
atau tersirat dan apa yang ditulis atau dikutip. Petanda (dilambangkan)
mencakup aspek mental bahasa, yaitu simbol mental, konsep dan pemikiran.
Bertolak dari Saussure. Barthes menggunakan konsep sintagmatisme dan
paradigmatika untuk menjelaskan kehidupan sehari-hari, termasuk sistem busana,
makanan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan sastra. Ia menggambarkan segala
sesuatu sebagai bahasa dengan sistem represi dan oposisi. Terdapat dua
kontribusi Barthes terhadap dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi, yang
berfungsi sebagai kunci semiotik dalam menganalisis kehidupan sehari-hari. (2)
Konsep mitos yaitu hasil penerapan konotasi di berbagai bidang dalam kehidupan
sehari-hari (Hoed, 2008).
Berbeda
dengan film lainnya, Disney berhasil menampilkan metafora dari masalah
sosial yang marak di masyarakat seperti
budaya Asia Tenggara memiliki ragam budaya. Sebagaimana pluralitas pada film “Raya and The Last Dragon” terdapat perubahan makna pluralitas dari segi
demokrasi, persis di negara-negara Asia Tenggara yang rawan konflik
antar suku, agama, dan ras. Film animasi tersebut disutradarai oleh Carlos Lopeza Estrada dan Don menjadi
film produksi Walt Disney menampilkan
relik-relik Asia Tenggara, seperti keris, caping, batik, hingga dentingan suara
gamelan sebagai musik latar
serta perbedaan suku dan budaya. Film animasi "Raya and the Last
Dragon" menggambarkan berbagai kelompok etnis seperti Kerajaan Taring sebuah bangsa yang dilindungi oleh
pembunuh garang dan terkenal sangat kejam. Ada Kerajaan Hati dimana penduduknya sangat ramah.
Ada pula Kerajaan Cakar yang
terkenal dengan petarung denga Gerakan tangan yang cepat. Ada Kerajaan Tulang terkenal dengan prajurit
berbadan besar dimana senjata khas mereka yaitu kapak raksasa. Juga ada
Kerajaan Ekor dimana
bangsanya terkenal dengan prajurit yang bertarung kotor dan licik. Film ini menarik untuk dikaji
karena menunjukkan realitas pluralisme demokrasi sebagai alat untuk
meminimalisir konflik.
Pada penelitian kali ini, peneliti menemukan beberapa penelitian sebelumnya terkait film “Raya and The Last Dragon”. Yaitu pada penelitian sebelumnya menggambarkan karakter utama pada film tersebut yang menggambarkana Raya sebagai karakter pemimpin Wanita serta seorang wanita tangguh yang memimpin sebuah kelompok (Atmaja, 2021). Identitas politik yang tertanam dalam kisah nilai-nilai kehidupan, aset, dan desain karakter film "Raya and the Last Dragon," yang berhasil membangun persepsi tentang Asia Tenggara, juga tercakup dalam penelitian ini. Penelitian telah menunjukkan bahwa film tersebut telah menjadi hal penting dalam kebijakan perdagangan Amerika di kawasan Asia, dan rilisnya bertepatan dengan banyak tragedi kebencian terhadap orang Asia di Amerika dan Eropa (Saraswati et al., 2021). Selain itu, ada beberapa penelitian tentang film "Raya and the Last Dragon" yang membahas pelajaran moral yang disampaikan dalam setiap bab film. Pelajaran moral tentang persahabatan, kerja sama tim, tanggung jawab, kepemimpinan, keberanian, dan persatuan disajikan oleh para karakter dalam film ini (Tawakkal et al., 2021). Menggambarkan film "Raya dan The Last Dragon" sebagai konsep multikultural dalam sikap, penampilan, latar, cerita, konflik, dan karakternya. Nilai-nilai multikulturalisme film tersebut diinternalisasikan ke dalam film sehingga penonton dapat dengan mudah memahami konsep multikulturalisme. Konsep multikulturalisme itu sendiri adalah tentang saling menghormati, mempercayai, dan memahami. Pemahaman konsep ini melahirkan sikap penerimaan, toleransi, komunikasi (Ulya & Rezaian, 2022). Serta terdapat pula penelitian pluralitas yang mendobrak tentang makna “Cantik” itu tidak harus memiliki kulit putih. Akan tetapi makna “cantik” yang sesungguhnya yaitu Banggalah dengan apa yang kita miliki saat ini, banggalah pada diri sendiri dan percaya akan kecantikan yang dimiliki oleh setiap wanita (Lestari & Putra, 2020).
Dari
beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti film “Raya and The Last Dragon”,
peneliti menemukan temuan baru dimana terjadi pergeseran makna pluralitas pada
film tersebut. Peneliti melihat pluralitas pada film “Raya and The Last Dragon”
dijadikan sebagai alat sebuah persatuan, dimana pluralisme itu secara demokrasi
bukan sebagai pemecah bangsa akan tetapi karena pluralitaslah yang menjadikan
sebuah persatuan dan kesatuan terbentuk. Dalam penelitian ini, semiotika Roland
Barthes digunakan dalam penciptaan seni denotatif, konsekuensial, dan
mitologis. Oleh karena itu, fokus cerita adalah pada beberapa makna yang
ditampilkan dalam film "Raya and the Last Dragon" dari makna
Denotasi, Konotasi, dan Mitos.
Tradisi semiotik sangat berpengaruh dan membantu kita buat melihat
bagaimana makna serta symbol dipergunakan serta pesan yang terdapat pada symbol
tersebut. Sangat menarik untuk mempelajari dari sudut pandang semiotik karena
pesan media umumnya berbentuk simbol yang disusun dengan berbagai cara untuk
mengesankan audiens, menyampaikan ide, atau membangkitkan makna. Semiotik sudah
menyampaikan instrumen yang kuat buat menguji dampak media massa.
Isi asal
sebuah pertanda sangatlah krusial sebab pendekatan tersebut terfokus pada cara
produser untuk membangun serta cara-cara audiens untuk memahami tanda-tanda
tersebut sebab Sebagian indikasi mempunyai kepentingan spesifik pada media.dan media menghasilkan
pada strata yang lebih tinggi bagaimana indikasi berfungsi bagi kita (Littlejohn et al., 2011)
Tanda-tanda
mejadi sebuah objek untuk menggali ilmu, dapat berupa peninggalan-peninggalan
secara holistik secara keseluruhan. Dalam studi budaya, format, gaya, atau
genre dijelaskan dalam teks semiotik yang menggambarkan rentang rangkaian yang
koheren (Birowo, 2004).
Selama
petualangannya, semiotika dibagi menjadi beberapa teori, seperti semiotika
Ferdinand de Saussure, semiotika Charles Sander Pierce, dan semiotika Roland
Barthes. Konsep utama semiotika Ferdinand de Saussure adalah tanda dan penanda.
Berbeda dengan teori semiotika C.S. Pierce, di mana ia membagi istilah menjadi
tiga bagian, istilah biasanya disebut expressor, interpreter, dan object. Tokoh
semiotik lainnya adalah Roland Barthes, yang teorinya berpusat pada referensi,
saran, dan mitos (Sobur, 2004). Dari beberapa teori.semiotik
tersebut bahwa teori Roland Barthes lebih,mencerminkan makna pluralitas pada penelitian kali ini,
karena fokus terhadap arti denotasii, konotasi serta mitos yang akan
dibahas oleh peneliti.
Teori Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dan dikenal sebagai seorang
strukturalis yang secara aktif menggunakan model tata bahasa, karena itu ia
tidak dapat dipisahkan dari semiotika yang sebelumnya dikembangkan Ferdinand de
Saussure. Menurut Barthes, semiotika adalah disiplin ilmu yang digunakan untuk
menganalisis teks, dan bahasa adalah sarana di mana teks dirangkai menggunakan
informasi yang relevan dari penulis. Seiring dengan bahasa Islam, pilihan lain
termasuk musik, karya seni, dialog, gambar, logo, gambar, ekspresi wajah, dan
hal-hal lain (Mulyaden, 2021).
Dalam teorinya, Barthes mengembangkan teori de Saussure, di mana Barthes
memunculkan model makna analisis kode dua tingkat, atau dua urutan makna:
tingkat denotasi dan tingkat entailment. Setelah Baltik, denotasi adalah sistem
pertama yang digunakan untuk mengembangkan makna simbol. Makna ini berkembang
menjadi implikasi semantik baru yang menjelaskan bagaimana tanda memperoleh
makna tertentu. Ketika implikasi mendominasi masyarakat, itu menjadi mitos.
Sebab, mitos muncul dari implikasi yang mengakar di masyarakat (Hoed, 2008).
Tabel 1. Peta Roland Barthes (Sobur, 2003:7)
1.
Penanda (Signifier) |
2.
Petanda (Signified) |
|
|
3.
Tanda Denotatif (Denotatif Sign) |
|
||
4.
Penanda Konotatif (Connotatif Signifier) |
5.
Petanda Konotatif (Connotatif Signified) |
||
6.
Tanda Konotatif (Connotatif Sign) |
Darpat
diketahui dari Peta Baltik
bahwa denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2),
tetapi tanda denotatif juga berfungsi sebagai tanda entailment. Akibatnya,
menurut teori Barthes, makna tersirat tidak hanya aditif tetapi juga (Sobur, 2004). Denotasi adalah arti sebenarnya dari tanda
itu, karena memiliki makna tertutup dan merupakan tingkat pertama yang
disetujui semua orang (Paulo, 2019).
Konotasi adalah metode yang digunakan untuk
menentukan tingkat makna kedua. Tujuan dari bagan ini adalah untuk menunjukkan
dan menjelaskan hubungan yang terjadi ketika simbol dikombinasikan dengan emosi
dan perasaan. Konotasii sering
dikira denotasi karena masih banyak yang tidak menyadari keberadaannya, oleh
karena itu konotasi digunakan untuk memperbaiki kesalapahaman yang sering
terjadi (Paulo, 2019).
Mitos merupakan pengembangan dari konotasi
dimana sebuah pandangan yang sudah lama dan dipercaya oleh masyarakat yaitu
sebagaimana kebudayaan menjelaskan aspek realitas atau gejala alam yang terjadi
(Paulo, 2019).
Teori
konstruksi sosial di media merupakan alat yang diciptakan oleh Berger dan Lachmann untuk menyempurnakan
teori konstruksi sosial menjadi kenyataan. Bungin (2007), teori ini menjelaskan
konstruksi sosial media massa. Media massa hadir dan tersebar luas untuk
menjangkau audiens secara langsung dan cepat untuk menghasilkan dan membentuk
opini populer baru.
Bungin (2008) menjelaskan bagaimana metode sosial
digambarkan sebagai langkah-langkah dan korelasinya. Dalam metode ini,
seseorang terus menerus melakukan hal-hal dalam realitas yang dimiliki dan
dialami secara subjektif dari waktu ke waktu. Bungin menjelaskan bahwa asal
mula konstruksi sosial adalah hasil dari filsafat konstruktivis, yang dimulai
dengan ide-ide kognitif dan konstruktif.
Bungin (2008) Ini jauh lebih berarti dalam hal langkah-langkah
membangun media sosial. Pada langkah pertama objek bangunan sosial, ada
beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan. Pertama, sepihak media
massa kepada pemilik modal. Kedua profesional dalam bergaul. Ketiga,
sejalan dengan kepentingan publik. Berdasarkan hal tersebut, terjadi pertukaran
pengaruh antar pihak yang berkepentingan terkait dengan pembuatan film,
khususnya dalam merancang objek dalam pembuatan film. Selain dana dan barang
yang terlibat dalam pertukaran tersebut, Bungin menjelaskan bahwa dapat
meningkatkan citra cerita film.
Komunikasi massa yaitu komunikasi
yang terjadi melalui media arus utama, seperti media cetak dan elektronik.
Karena media komunikasi massa didirikan pada awal berkembangnya komunikasi
massa. Media di sini adalah media yang dihasilkan oleh teknologi modern
(Nurdin, 2013).
Ardianto (2012) Komunikasi massa, memiliki dua
komponen. Ini tidak berarti bahwa target audiens mencakup semua khalayak, atau
siapa pun yang menonton TV atau film, itu hanya menekankan populasi besar. Yang
kedua adalah komunikasi melalui pemancar audio atau visual. Ada dua jenis media
massa yang digunakan sebagai sarana komunikasi massa: media massa elektronik
seperti radio, televisi, film, dan media online (Internet), dan media cetak
seperti majalah, surat kabar, dan buku.
Media massa
bukan sekedar mempromosikan suatu produk kepada khalayak, akan tetapi
sebagai media massa
harus memiliki nilai-nilai moral dan sosial budaya yang bertujuan untuk
menginformasikan kepada khalayak tentang nilai-nilai yang disajikan
(Lestari &
Putra, 2020).
Film sebagai pesan artinya dalam
film terdapat wacana-wacana yang ingin disampaikan karena semua film memiliki
tujuan bagi pembuatnya seperti film Raya and The Last Dragon yang
mengandung makna pluralitas pada film tersebut. Sebagai produksi makna yang
hendak disampaikan filmmaker melalui tanda-tanda dan symbol-simbol, sementara
makna yang terdapat pada suatu film dapat ditafsirkan oleh masing-masih
penontonnya (Sobur, 2004).
Film bergambar (animasi), film yang digambar tangan atau animasi (ilustrasi). Gambar ini dibuat satu per satu dengan mempertimbangkan kontinuitas gerakan, jadi ketika diputar ulang, Anda akan melihat urutan gerakan dalam foto sebagai gerakan film. Oleh karena itu kita dapat menyimpulkan bahwa animasi hanyalah animasi dari objek stasioner yang diproyeksikan untuk bergerak untuk tujuan memproyeksikannya menggunakan alat proyeksi atau perangkat lunak aplikasi (Albardon, 2010).
Pluralitas
Diambil dari bahasa Inggris, kata plural berarti jamak. Dalam KBBI kata pluralitas dipadankan dengan kata kemajemukan. Penulis sendiri lebih suka menggunakan kata keragaman untuk merujuk pluralitas sebab lebih terasa seperti sesuatu yang kaya dan beraneka rupa.
Indonesia yang terdiri dari ribuan suku dan berbagai macam agama yang diakui maupun tidak tentu familiar dengan kondisi majemuk. Sehingga kita sudah terbiasa untuk dituntut tenggang rasa dan bertoleransi. Bahkan falsafah toleransi itu tertuang dalam semboyan bangsa, bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Pluralitas yaitu jati diri bangsa, bukan sesuatu untuk dihilangkan atau diseragamkan. Sementara itu, pluralitas dalam konteks penelitian ini akan merujuk kepada keanekaragaman yang ada pada film Raya dan bagaimana film ini memaknai pluralitas yang ada.
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dengan paradigma konstruktivis. Dalam paradoks ini, realitas sosial ditampilkan bukan sebagai kebenaran melainkan sebagai hasil konstruksi. Karena itu, paradigma konstruktivis tergantung pada ide atau realitas yang disampaikan komunikator dan bagaimana penerima pesan menafsirkannya secara positif (Eriyanto, 2011). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kuantitatif yaitu kaidah, yang mengumpulkan data deskriptif yang terdiri dari nama orang, tanggal, tempat, dan informasi relevan lainnya. Fokus penelitian kualitatif adalah fenomena sosial (Moleong, 2017).
Metode penelitian
yang digunakan yaitu semiotic Roland Barthes dengan menganalisis makna
denotasi, konotasi dan mitos. Metode sendiri berada pada satu tingkatan di bawah paradigma
metodologis perihal sistem
mengumpulkan, menggolongkan dan memisahkan suatu objek penelitian agar menjadi data sejajar tentang cara
menganalisis data (Hoed, 2008). Adapun subjek yang penjadi
penelitian ini yaitu Film “Raya and The Last Dragon”. Objek penelitian ini
adalah makna pluralitas yang terkandung dalam kutipan dari setiap adegan film
"Raya and the Last Dragon".
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teori dan triangulasi untuk menguji
keabsahan data. Peneliti menggunakan teori ini, berdasarkan teori triangulasi
yang paling relevan dan aplikatif untuk penelitian ini. Triangulasi teori dapat
digunakan untuk menguji keandalan satu atau lebih teori. Oleh karena itu,
sebagai uji keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti membandingkan
analisis yang berasal dari berbagai jenis data dengan teori yang ada (Norman, 2016).
Hasil dan
Pembahasan
Pada film Raya and The Last Dragon menggambarkan
Negeri Kumandra yang terpecah menjadi 5 kerajaan dimana setiap masyarakatnya
berbeda-beda karakter serta ciri khas tersendiri. Pertama yaitu Kerajaan Taring sebuah bangsa
yang dilindungi oleh pembunuh garang dan terkenal sangat kejam. Kedua Kerajaan Hati dimana
penduduknya sangat ramah.
Ada pula Kerajaan Cakar yang terkenal dengan petarung yang
memiliki Gerakan tangan cepat. Ada Kerajaan Tulang terkenal dengan prajurit berbadan besar
dimana senjata khas mereka yaitu kapak raksasa. Juga ada Kerajaan Ekor dimana
bangsanya terkenal dengan prajurit yang bertarung kotor dan licik.
Masing-masing kerajaan tersebut berlomba-lomba dan bersaing untuk mendapatkan
permata sihir naga yang dilindungi oleh kerajaan Hati. Atas dasar tersebut,
dalam film “Raya and The Last Dragon” terdapat beberapa aspek pluralitas
diantaranya:
Raya and The Last Dragon menceritakan tentang suatu
Negeri Kumandra. Sebelum Druun datang menyerang, Negeri tersebut hidup rukun,
damai terntram, saling membantu serta Makmur. Sampai pada akhirnya Druun
menyerang sehingga Negeri tersebut terpecah menjadi 5 Kerajaan. Kerajaan
tersebut terdiri dari Taring, Cakar, Tulang, Ekor dan Hati.
“Semua
dimulai 500 tahun yang lalu”
“Ketika Negeri kami Bersatu dan hidup harmonis
dengan... Naga”
“Makhluk
Ajaib yang memberikan kami air, hujan dan perdamaian.”
“Kemudian
Druun Datang”
“Alih-alih
seperti sifat umum manusia”
“Berlipat
ganda saat menelan kehidupan dan orang dan naga yang disentuhnya menjadi batu
.”
Makna Denotasi |
Pada gambar diatas terlihat sebuah tempat yang hijau, lalu berubah
menjadi sebuah kerajaan yang gelap dan sangat bertolak belakang dengan gambar
sebelumnya. |
Makna Konitasi |
Suatu Negeri yang hijau dan subur menandakan kemakmuran, kebahagiaan
serta ketentraman bagi seluruh penduduknya, sedangkan suatu negeri yang gelap
dan tandus menggambarkan kehancuran. |
Mitos |
Kegelapan menandakan sebuah petaka. |
Kemajemukan
yang ada pada Negeri Kumandra yang terpecah menjadi 5 Kerajaan dimana pada
awalnya perbedaan dan kekuatan masing-masing Kerajaan digunakan untuk menyerang
satu dengan lainnya guna untuk memperebutkan Kristal permata Naga yang merekia
Yakini sebagai sihir untuk memusnahkan Druun. Seiring berjalannya waktu Raya
dari Kerajaan Hati, membentuk satu tim dimana Raya bertemu dengan rekannya yang
berasal dari Kerajaan yang berbeda-beda. Raya mempelajari bahwa masing-masing
kerajaan memiliki keahlian yang berbeda-beda, oleh karena itu Raya menggunakan
keahlian dari rekan-rekannya dan mereka Bersatu untuk mengumpulkan potongan
kristal
permata Naga yang terpecah menjadi 5 bagian guna mempersatukan Negeri
Kumandra seperti sedia kala.
Makna Denotasi |
Masing-masing Negeri menggunakan gaya pakaian yang berbeda-beda. |
Makna Konotasi |
Setiap Kerajaan mempunyai ciri khas pakaian masing-masing, hal
tersebut mengekspresikan identitas suatu suku atau kerajaan, yang biasanya
dikaitkan dengan wilayah geografis, karakter atau periode waktu dalam
sejarah. |
Mitos |
Status social dapat dinilai melalui pakaian yang mereka gunakan, serta
kondisi cuacah dan kondisi suatu Kerajaan dapat dinilai melalui pakaian
mereka. |
Pada
film Raya and The Last Dragon keragaman budaya serta perbedaan karakter membuat
masing-masih 5 Kerajaan tersebut memaknai kepercayaan tersendiri. Pada film ini
Ketika suatu kepercayaan dibalas dengan pengkhianatan maka disitulah asal
muasal perpecahan dan pertengkaran. Sampai pada akhirnya Raya berhasil
meyakinkan rekan-rekannya untuk mempersatukan kekuatan dan menguatkan
kepercayaan satu dengan yang lainnya sehingga sihir Druun runtuh dan Negeri
Kumandra berhasil Kembali seperti 500 tahun lalu dimana Negeri tersebut Makmur
dan sejahtera bagaikan Surga, Manusia & Naga hidup berdampingan.
”Ini bukan tentang sihirnya, ini
tentang kepercayaan”
”Untuk
mempercayai satu sama lain dan memperbaiki ini.”
Makna Denotasi |
Gambar diatas menampilkan Negeri Kumandra dari gelap
menjadi terang Kembali. |
Makna Konotasi |
Ketika suatu kepercayaan dibalas dengan pengkhianatan,
maka akan menimbulkan perpecahan bahkan perperangan. Jika suatu kepercayaan dijaga maka kekuatan dari
kepercayaan tersebut akan menjadi persatuan dan kesatuan yang membuat
ketentraman dan keamanan. |
Mitos |
Keberagaman membuat sebuah kekuatan yang tak bisa
terkalahkan, karena pada dasarnya suatu perbedaanlah yang memperkuat
persatuan dan kesatuan. |
Pembahasan
Hasil
tinjauan pada penelitian menunjukkan bahwa ada keterbaruan “Raya and The Last
Dragon” berdasarkan sudut pandang segi pluralitas dimana peneliti melihat pluralitas secara demokrasi
dijadikan sebuah alat untuk terbentuknya kesatuan dan kekuatan baru dalam film
tersebut.
Gambar 1. Skema Pendekatan Budaya
Pada skema diatas menjelaskan bahwa pendekatan budaya menghasilkan
sebuah Pluralitas yaitu terdapat 3 aspek pluralisme dalam film “Raya and The
Last Dragon :
1. Dasar Filosofi Kemanusiaan
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial
yang saling membutuhkan. Dalam film “Raya and The Last Dragon” menggambarkan 5
Kerajaan yang berbeda-beda yaitu Kerajaan Ekor dimana letak geografis
pada wilayah tersebut terletak pada gurun tropis dan masyarakatnya terkenal
dengan tantara bayaran yang licik dan petarung yang curang, Kerajaan Cakar pada
kerajaan tersebut memiliki ciri khas dengan pasar terapung serta masyarakatya
terkenal dengan kecepatan tangannya, Kerajaan Tulang dimana pada
Kerajaan tersebut berada ditengah hutan bambu yang dingin serta ciri khas dari
masyarakat Kerajaan tersebut yaitu berbadan besar dan memiliki senjata perang
yang khas yaitu apak raksasa, Kerajaan Taring yang terkenal dengan
Kerajaan yang dilindungi oleh pembunuh yang sangat kejam serta memiliki
binatang yang khas yaitu kucing yang garang, Kerajaan Hati dimana
Kerajaan tersebut merupakan satu-satunya yang memiliki tanah subur serta sumber
mata air yang jernih dan satu-satunya Kerajaan yang masyarakatnya ramah dan
damai.
Dalam
film “Raya and The Last Dragon” menjelaskan bahwa Ketika kerajaan-kerajaan
tersebut bergotong royong serta dipertemukan dan bergabung untuk menggapi
tujuan yang sama yaitu mengembalikan Negeri Kumandra seperti dahulu kala tanpa
sihir Drunn. Mereka mulai mempersatukan kekuatan serta keahlian masing-masing
untuk menyatukan pecahan kristal Naga yang terpecah belah.
2. Dasar
Sosial Kemasyarakatan dan Budaya
Pada hasil penelitian diatas
peneliti melihat bahwa social kemasyarakatan yang terdapat pada film “Raya and
The Last Dragon” adalah walaupun terbagi menjadi 5 Kerajaan yaitu Cakar, Ekor,
Tulang, Taring dan Hati, namun semuanya mempunyai tujuan yang sama yaitu
persatuan dan kesatuan untuk menyatukan Negeri Kumandra dan memusnahkan sihir
Druun sehingga persatuan dan kesatuan dapat terwujud Kembali.
Sedangkan Budaya yang terdapat dalam
fiilm
“Raya and The Last Dragon” yaitu pada film “Raya and The Last Dragon” banyak
menampilkan corak budaya Asia Tenggara seperti pada senjata yang digunakan oleh
Raya yaitu kris dan Kapak yang merupakan senjata khas dari Indonesia, corak
batik yang berasal dari Indonesia,
3. Kepercayaan
Perbedaan antara 5 kerajaan yang
terdapat pada film “Raya and The Last Dragon” membuat masing-masing dari mereka
memiliki percayaan yang berbeda. Kepercayaan yang dimaksud dalam film tersebut
yaitu kesatuan dan kepercayaan terhadap cara pandang mereka kepada kerajaan
diluar dari bagian mereka. Sihir Drunn telah memecah belah Negeri Kumandra dan
membuat perperangan antar Kerajaan sehingga mereka tidak mempercayai satu
dengan yang lainnya. Raya yang merupakan tokoh utama dalam film tersebut
berhasil untuk menyatukan dan mengembalikan kepercayaan yang sebelumnya telah
hancur. Sehingga kepercayaan dan kesatuan antar sesama mulai terbentuk, hal
tersebut berhasil menghancurkan sihir Drunn dan menyatukan Negeri Kumandra
seperti sedia kala dimana masyarakat hidup rukun dan harmonis.
Dasar pluralisme tersebut menghasilkan sebuah filosofi demokrasi yang
menjalankan sebuah kebersamaan dan kesatuan Masyarakat.
Dari hasil penelitian terdapat adanya
pergeseran makna pluralitas dalam film “Raya and The Last Dragon” yaitu:
Pluralitas |
|||
Makna Pluralitas secara umum yaitu
Keragaman atau kemajemukan yang ada dalam suatu wilayah yang mendorong dan memacu
tumbuhnya persatuan dan kesatuan. |
Makna Pluralitas dalam film “Raya and The Last Dragon” yaitu keberagaman dan kemajemukan yang ada dalam suatu wilayah yang
membentuk kekuatan baru yang memberi perubahan serta dunia baru. |
||
DENOTASI |
KONOTASI |
MITOS |
|
Keberagaman karakter seperti: Kerajaan Ekor
yang berlokasi di gurun terik serta terkenal dengan tantara bayaran yang
licik serta bertarung yang kotor, serta memiliki rempah yang khas yaitu
terasi dan senjata yang mereka gunakan untuk perang yaitu clurit. Kerajaan Cakar
yang terkenal dari Kerajaan tersebut yaitu pasar apung yang terkenal dengan
jual beli cepat serta petarung yang terkenal dengan tangan yang handal atau
cepat. Kerajaan Cakar memiliki ciri khas rempah yaitu serai serta senjata
khas mereka yang menyerupai Rencong. Kerajaan Tulang Kerajaan tersebut berada di hutan bambu yang
dingin, kerajaan tersebut dijaga oleh petarung yang memiliki badan besar.
Kerajaan tersebut juga memiliki senjata khasnya yaitu kapak raksasa. Ciri
khas rempah dari kerajaan tulang yaitu rebung. Kerajaan Taring Kerajaan taring dilindungi oleh petarung yang
sangat kejam, ciri khas kerajaan tersebut juga terkenal dengan peliharaan
mereka yaitu kucing, bahkan kucing yang dimiliki berupa kucing garang.
Senjata perang yang dimiliki oleh Kerajaan Taring salah satunya yaitu panah.
Ciri khas rempah dari kerajaan Taring yaitu cabai. Kerajaan Hati Kerajaan Hati merupakan satu-satunya Kerajaan
yang memiliki kemakmuran dan masyarakat pada Kerajaan Hati terkenal dengan
kerahamaannya. Kerajaan tersebut juga terkenal dengan senjata kris yang
digunakan oleh tokoh utamanya yaitu Raya, serta memiliki rempah yang khas
yaitu gula palem. |
Perbedaan yang terdapat pada film “Raya and
The Last Dragon” mengajarkan bahwa kekuatan dari suatu Negeri yaitu persatuan
dan kesatuan, serta menginformasikan khalayak tentang pentingnya demokrasi
yang terbentuk untuk memperkuat suatu Negeri. |
Adanya
pergeseran makna yang kedua yaitu bagaimana pluralism dalam film menjadi
sebuah makna yang menegaskan bahwa demokrasi itu sebuah perbedaan dalam
kebersamaan, begitupun sebaliknya, sehingga bukan mitos sebagai praktek
ideologis tetapi mitos sebuah keyakinan dalam sebuah demokratis, karena film
mengarah kepada makna yang kedua yaitu film merupakan alat untuk membuat
sebuah makna yang saling melengkapi. |
|
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan hasil pembahasan penulis,
dapat menyimpulkan bahwa film ini memiliki tiga makna ganda dasar: Landasan filosofis, fondasi sosial dan
budaya, kepercayaan umat manusia. Pada film “Raya and The Last Dragon”
terdapat makna pluralitas yaitu: Makna
Denotasi: Dalam koteks film menggambarkan secara jelas Budaya yang
terdapat pada Asia Tenggara seperti Senjata yang digunakan yang menyerupai Clurit,
Rencong Kapak, Panah and Keris, Rempah-rempah khas Asia Tenggara seperti
Terasi, Serai, Rebung, Cabai, Gula
Palem. Bahkan Corak Batik yang menjadi ciri Khas Indonesia ditampilkan pada
film tersebut.
Makna Konotasi:
Pada Film “Raya and The Last Dragon” mencoba menjadikan Budaya Asia Tenggara
sebagai contoh bahwa perbedaan dan keragaman merupakan cerminan dari kesatuan
dan persatuan sebagai demokrasi yang memperkuat suatu bangsa.
Mitos: Pada Film
“Raya and The Last Dragon” terdapat pergeseran makna Pluralitas yang semula bermakna kemajemukan,
berubah menjadi sebuah kekuatan baru yang berhasil memusnahkan wabah perpecahan
dan pada film tersebut menjelaskan bahwa demokrasilah yang membuat suatu Negara
bisa kuat dan kokoh.
Pada film
“Raya and The Last Dragon” menggambarkan bahwa perbedaan yang penciptakan
sebuah kesatuan, persatuan serta kekuatan yang kuat. Pada dasarnya sebuah
demokrasi terbentuk karena adanya perbedaan, dan perbedaan tersebut menjadi
bumbu-bumbu yang unik bagi sebuah Negeri untuk mencapainya suatu tujuan
Bersama.
BIBLIOGRAFI
Ardianto, E.
(2012). Komunikasi massa: suatu pengantar.
Asri, R. (2020). Membaca film sebagai sebuah teks: analisis
isi film “nanti kita cerita tentang hari ini (nkcthi).” Jurnal Al Azhar
Indonesia Seri Ilmu Sosial, 1(2), 74–86.
Atmaja, K. (2021). The Analysis Of Semiotics In “The Main
Character Of Raya And The Last Dragon Film.” Lingua : Jurnal Ilmiah, 17(2).
https://doi.org/10.35962/lingua.v17i2.87
Effendy, O. U. (2000). Ilmu Komunikasi dan Praktek. PT
Remaja Rosdakarya.
Eriyanto. (2011). Analisis isi: Pengantar metodologi untuk
penelitian ilmu komunikasi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Kencana Prenada
Media Group.
Hoed, B. H. (2008). Semiotik dan dinamika sosial budaya:
ferdinand de saussure, roland barthes, julia kristeva, jacques derrida, charles
sanders peirce, marcel danesi & paul perron, dll. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Jamil, N. A. A. P., Mau,
M., & Sonni, A. F. (2024). Analisis Kecenderungan Masyarakat Kota Kendari
dalam Penerimaan Berita: Studi Kasus Ferdy Sambo di detik. com. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 9(1), 350-358.
Lestari, A. D., & Putra, A. M. (2020). Beauty Is Not
About Being White (A Semiotics Analysis of Clean & Clear Advertisement). Jsshr,
5(6), 14–24.
Littlejohn, S. W., Foss, K. A., & Oetzel, J. G. (2011).
Theories of human communication. Waveland Press, Inc, 30, 32.
Moleong, L. J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif
(Edisi Revisi). In PT. Remaja Rosda Karya.
Mulyaden, A. (2021). Kajian Semiotika Roland Barthes terhadap
Simbol Perempuan dalam Al-Qur’an. Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama, 4(2).
https://doi.org/10.15575/hanifiya.v4i2.13540
Paulo. (2019). Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film
Who Am I Kein System Ist Sicher (Suatu Analisis Semiotik).
Saraswati, A., Widhiyanti, K., & Galuh Fatmawati, N.
(2021). Desain karakter film animasi Raya and The Last Dragon dalam membangun
politik identitas Asia Tenggara. Satwika : Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan
Sosial, 5(2). https://doi.org/10.22219/satwika.v5i2.17587
Sobur, A. (2004). Semiotika Komunikasi (R. Rosdakarya
(ed.)).
Sobur, A. (2014). Ensiklopedia komunikasi. Simbiosa
Rekatama Media.
Tawakkal, A. I. F., Monix, A. T., & Watani, E. (2021).
Semiotic Analysis of Moral Messages in Animated Film Raya and The Last Dragon. NOTION:
Journal of Linguistics, Literature, and Culture, 3(2).
https://doi.org/10.12928/notion.v3i2.4798
Ulya, M., & Rezaian, M. A. (2022). The Representation of
Multicultural Education in Film “Raya and The Last Dragon.” Proceedings
Series on Physical & Formal Sciences, 3, 59–62.
https://doi.org/10.30595/pspfs.v3i.265
Copyright holder: Inne Pujianti, Ahmad Mulyana (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |