Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
HARMONISASI HUKUM
PIDANA ADAT BADUY DALAM PERSEPTIF HUKUM NASIONAL�
Gatot
Efrianto
Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Pelaksanaan hukum di masyarakat adat pada dasarnya sama dengan aturan pada hukum positif yang dimana ketika ada yang melanggar maka akan di kenakan sanksi. Hukum adat mengatur tentang masalah-masalah adat yang terjadi di suatu adat tersebut agar terciptanya suatu keharmonisasian. Di dalam pelaksanaan adat baduy mereka menggunakan Ultimum Remedium yang dimana ketika ada yang melakukan pelanggaran aturan adat maka akan ada mediasi antara korban dan pelaku untuk mengambil jalan tengah agar terciptanya perdamaian, yang dimana masyarakat adat baduy masih mendalami bahwa hukum pidana adat merupakan suatu jalan terakhir bagi untuk penyelesaian perkara atau kasus-kasus. Ketika masyarakat baduy melanggar suatu penerapan peraturan adat tersebut maka pada hal itu mewajibkan orang tersebut dikenakan sanksi atau hukuman yang pelaksanaannya di lakukan secara musyawarah yang di pimpin oleh lembaga adat terhadap pelaku dan korban/terhadap peraturan adat baduy dengan pelaku. Peranan dari pemerintah daerah lebak, polsek Leuwidamar dan masyarakat luar baduypun sangat erat dan memperhatikan akan kelestarian di baduy karena baduy sendiri merupakan suatu warisan sejarah bangsa Indonesia yang harus untuk di jaga agar tidak punah dan tercemar dari lingkungan luar. Pelaksanaan pidana adat pada masyarakat adat baduy dikualifikasikan menjadi tindak pidana ringan dan berat. Tindak pidana ringan biasanya dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak pelaku dengan korban untuk di musyawarahkan guna penyelesaiannya dengan ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut, tetapi dalam hal tindak pidana berat sebisa mungkin mengesampingkan proses hukum pidana (ultimum remedium) tetapi ketika tidak bisa dilakukan ultimum remedium maka akan diserahkan oleh lembaga adat untuk lakukannya hukuman dengan pengadilan adat oleh pu�un yang memutus permasalan tersebut dan hukuman yang terberatnya adalah dikeluarkan dari lingkungan adat tersebut.
Abstract
The implementation of the law in indigenous
peoples is basically the same as the rules on positive law where when someone
violates it, sanctions will be imposed. Customary law regulates customary
problems that occur in a custom in order to create harmony. In the
implementation of the baduy custom they use Ultimum Remedium where when someone
violates the customary rules, there will be mediation between the victim and
the perpetrator to take a middle ground to create peace, where the baduy indigenous
people are still exploring that customary criminal law is a last resort for the
settlement of cases or cases. When the baduy community violates an application
of the customary regulation, it requires that the person be subject to
sanctions or punishments whose implementation is carried out in a deliberative
manner led by the customary institution against the perpetrator and the victim
/ against the baduy customary regulation with the perpetrator. The role of the
lebak local government, Leuwidamar police and the outside community of baduy is
very close and pays attention to sustainability in baduy because baduy itself
is a historical heritage of the Indonesian nation that must be kept from
extinction and polluted from the outside environment. The implementation of
customary crimes in the baduy indigenous people is qualified as a minor and
severe criminal offense. Minor crimes are usually carried out by means of
deliberation between the perpetrator and the victim for deliberation to be
resolved with compensation for the acts committed by the perpetrator, but in
the case of serious crimes as much as possible to override the criminal legal
process (ultimum remedium) but when ultimum remedium cannot be done it will be
handed over by the customary institution to carry out punishment with the
customary court by the pu'un who decides the dispute and the harshest
punishment is to be expelled from the customary environment.
Keywords : Criminal Law, Custom, Baduy Community
Pendahuluan
Negara Indonesia adalah Negara yang berlandaskan atas Pancasila. Pancasila merupakan ideologi Indonesia, dimana Pancasila sebagai sebuah dasar atau tiang penopang negara untuk mewujudkan Indonesia yang maju (Nasir, 2014). Pancasila merupakan landasan ideologi bangsa Indonesia yang tidak bisa di goyangkan oleh apapun dan menjadikannya sebagai pondasi bangsa Indonesia, sehingga semua aturan bertuju pada Pancasila.
Undang-undang
Dasar 1945 pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi �Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang di atur dalam undang-undang� (Bramantyo & Setiono,
2022).
Hukum
merupakan aturan yang timbul dan berkembang di tengah masyarakat baik itu
masyarakat modern maupun tradisional, yang punya tujuan membentuk dan
menciptakan masyarakat yang patuh dan tertib terhadap aturan yang ada. Dalam
melengkapi keanekaragaman bentuk aturan hukum yang berada di Indonesia salah
satunya hukum pidana adat dan Indonesia mempunyai suku yang berjumlah mencapai
1340 suku (Munandar, 2019). Pengertian hukum pidana adat lebih sering diidentikan
atau dicirikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang, kelompok,
masyarakat tertentu, namun belum banyak orang, kelompok, masyarakat tersebut
yang mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional yang seharusnya diketahui dan dilihat dari ciri
Kebhinekaan Bangsa Indonesia.
Baduy atau orang kanekes adalah penduduk asli yang bertempat di wilayah Desa kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia. Masyarakat Baduy atau Kanekes secara umum terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu kelompok tangtu, kelompok penamping, dan kelompok dangka.
Metode Penelitian
Pancasila terdiri dari dua kata Sansekerta. Panca berarti lima dan
sila berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut
Muhammad Yamin, Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan
sila yang berarti sendi, asas, dasar, atau pengaturan tingkah laku yang penting
dan baik, dengan
demikian Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang
tingkah laku yang penting dan baik.
Menurut Ir. Soekarno Pancasila adalah isi jiwa bangsa
Indonesia yang turun menurun yang sekian abad lamanya terpendam bisu oleh
kebudayaan barat, dengan demikian Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi
lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia (Zulmasyhur, n.d.).
2.
Teori Kebhinekaan
Negara
Indonesia sebagai negara yang maju seiring dengan perkembangan di berbagai
sektor sehingga hal tersebut pada kenyataannya memiliki banyak suku yang
menempati di pulau-pulau serta memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda-beda. Kebhinekaan
adalah keanekaragaman suku, ras, agama yang terdapat di suatu lingkungan
masyarakat yang dimana hidup tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Kebhinekaan
merupakan realita yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya terdapat
keanekaragaman dalam hal apapun yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka
dan sebagai alat pemersatu dalam mewujudkan nasionalisme (Nurkholis, 2017).
3.
Teori Kearifan Lokal
Negara kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu Kearifan (wisdom) dan lokal (local) secara umum berarti local
wisdom (kearifan setempat) dapat dipatuhi sebagai gagasan-gagasan setempat
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografi dalam arti luas. Kearifan
lokal merupakan budaya masa lalu yang secara patut secara terus menerus di
jadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya sangat
universal. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan
mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia (Efrianto,
2019).
4.
Teori Ultimum
Remedium.
Teori Ultimum remedium
merupakan teori hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana
hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki
makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain
(kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi)
hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui. hukum pidana sebagai ultimum remedium yang mana
penggunaan� sanksi pidana digunakan
sebagai hukum atau senjata terakhir ketika sanksi-sanksi lain seperti sanksi
perdata dan sanksi administratif sudah tidak dapat dilaksanakan agar
terciptanya
proses hukum yang mengedepankan mediasi kepada para pihak.� Berdasarkan itulah, dalam Undang-undang Pembentukan Perundang-undangan mengatur ketentuan pidana dalam
suatu undang-undang atau peraturan daerah bukanlah sesuatu yang wajib atau
dengan kata lain pencantuman sanksi pidana dalam undang-undang
dibenarkan hanya jika memang benar-benar diperlukan (ultimum remedium).
Hasil dan Pembahasan
Hukum
Adat adalah Hukum Non Statuir yang
berarti Hukum Adat pada umumnya memang belum/tidak tertulis. Oleh karena itu
dilihat dari mata seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya
dengan pikiran juga dengan perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut
maka akan ditemukan peraturan-peraturan
dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh
dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.
Berikut
beberapa Definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain
sebagai berikut:
1.
Prof. Soekanto: merumuskan hukum adat:
Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi
mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat (Burhanudin, 2021).
2.
Suroyo Wignjodipuro:
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak
tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
Hazairin
mengemukakan pendapatnya tentang masyarakat hukum adat merupakan suatu kesatuan
yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai
kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Hutabarat et al., 2021).
Pada
dasarnya masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan
menurut susunan masyarakatnya, yaitu berdasarkan lingkungan daerah (teritorial) dan pertalian keturunan (geneologis).
Masyarakat hukum adat yang disusun berdasarkan lingkungan daerah (teritorial) adalah masyarakat hukum
adat yang para anggotanya merasa bersatu dengan adanya ikatan diantara mereka
masing-masing dengan tanah yang didiaminya sejak kelahirannya secara turun
temurun bersama orang tua serta nenek moyangnya terdahulu. Masyarakat hukum
adat yang disusun berdasarkan pertalian keturunan (geneologis) adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya
merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka
semua berasal dari satu keturunan yang sama,
(Santi Dewi & HANDAYANI, 2018) berpendapat bahwa hukum
pidana adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus
diselesaikan (di hukum)
karena peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan masyarakat (Hadikusuma, 1979).
Sementera
Van Vollenhoven berpendapat bahwa hukum pidana adat adalah perbuatan yang tidak
boleh dilakukan, meskipun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya
merupakan perbuatan sumbang yang kecil saja (Santoso, 1990).
Menurut penulis bahwa hukum
pidana adat atau delik adat adalah mengatur mengenai tindakan yang melanggar
rasa keadilan dan kepatutan yang hidup di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan
terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat, untuk memulihkan
ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi reaksi adat oleh karena itu etika, moral dan adab yang tumbuh dan
berkembang harus ditunjung tinggi sehingga masyarakat akan terhindar dari hukum
pidana adat yang berkembang di wilayah ada tersebut (Soliman, Hagar, Ibid,
& El Sayed, 2015).
Ciri dan Karakteristik Pidana Adat
Delik adat terjadi apabila suatu saat timbul larangan untuk melakukan suatu perbuatan karena perbuatan itu dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut, tercela karena apabila dilanggar dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat (Widnyana, 1993). Realitas bahwa hukum pidana adat merupakan sarana penyeimbang atas kegoncangan dalam masyarakat akibat pelanggaran delik, berfungsi untuk menjaga harmoni, penyelesaian konflik (conflic opiocing), menjaga solidaritas masyarakat, sebagai refleksi cita moral, agama dan susila masyarakat dan sifatnya yang tidak "prae existence". Hukum pidana adat mempunyai ciri atau karakteristik sebagai berikut :
1.
Menyeluruh dan menyatukan
Karena dijiwai oleh sifat kosmis, yang mana satu sama lain saling berhubungan.
Hukum Pidana Adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan
pelanggaran yang bersifat perdata.
2.
Ketentuan yang terbuka.
Hal ini didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga
tidak bersifat pasti, sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala
peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.
3.
Membeda-bedakan
permasalahan. Apabila terjadi peristiwa pelanggaran, maka yang dilihat bukan
semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi diliihat apa yang menjadi latar
belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian, maka dalam mencari
penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
4.
Peradilan dengan permintaan.
Menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan
atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau
diperlakukan tidak adil.
5.
Tindakan reaksi atau
koreksi. Tindakan reaksi ini tidak hanya dikenakan pada si pelakunya tetapi
dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan juga dapat
dibebankan pada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan
yang terganggu (Hadikusuma, 1979).
Sanksi Pidana Adat
Pada dasarnya pelanggan adat itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan serta ketentraman masyarakat. Akibat dari pelanggaran tersebut, diperlukan upaya pemulihan/upaya adat atau juga disebut reaksi adat dalam bentuk pembebanan kewajiban-kewajiban/pengenaan sanksi tertentu bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Sanksi dalam hukum adat tidaklah selalu dalam bentuk sanksi materiil, tetapi juga dapat berbentuk sanksi immateriil. Reaksi adat atau koreksi adat terhadap delik-delik adat, contoh :
1.
Penggantian kerugian
immateriil dalam berbagai rupa, seperti paksaan untuk menikahi gadis yang telah
dicemarkan,
2.
Bayaran uang adat kepada
orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian
rohani,
3.
Selamatan (kurban) untuk
membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib,
4.
Penutup malu, permintaan
maaf,
5.
Perbagai rupa hukuman
badan hingga hukuman mati,
6.
Pengasingan dari
masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum (Made Widnyana, 1992).
Asas Kemanfaatan
Kemanfaatan merupakan hal yang paling utama di dalam sebuah tujuan hukum, mengenai pembahasan tujuan hukum terlebih dahulu diketahui apakah yang diartikan dengan tujuannya sendiri dan yang mempunyai tujuan hanyalah manusia akan tetapi hukum bukanlah tujuan manusia, hukum hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tujuan hukum bisa terlihat dalam fungsinya sebagai fungsi perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai (Said, 2011). Jika kita lihat definisi manfaat dalam kamus besar bahasa Indonesia manfaat secara terminologi bisa diartikan guna atau faedah (Indonesia, 2019).
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri (Mertokusumo, 1919).
Peranan seorang Pu�un (kepala adat) merupakan pimpinan hukum adat paling tinggi kekuasaannya yang memiliki garis keturunan dan mempunyai titisan serta dipilih dan dipercaya dari Sang Hyang Bhatara Tunggal untuk menyampaikan dan mengajarkan keyakinan agamanya sebagai pedoman dan petunjuk hidup yang mereka percaya (sunda wiwitan), masing-masing kampung Baduy Dalam yang terdiri dari kampung Cikeusik, kampung Cikartawarna dan kampung Cibeo dipimpin oleh seorang Puun dan mempunyai tugas yang berbeda seperti :
1.
Puun Cikeusik merupakan
keturunan dari anak laki-laki pertama Bhatara Tunggal mempunyai hak untuk
menentukan dan memutuskan urusan yang menyangkut dengan tata tertib adat dan
bertugas sebagai ketua pengadilan adat. (contoh tugasnya menentukan hari besar
seperti hari kawalu).
2.
Puun Cikartawarna
merupakan keturan laki-laki ketiga dari Bhatara Tunggal yang mempunyai tugas
untuk urusan kesejahteraan, keamanan dan ketahanan dan bertugas hanya membantu
tugas Puun Cikeusik dan Puun Cibeo. (contoh tugasnya menentukan pelaksanaan
menanam dan memanen padi).
3.
Puun Cibeo merupakan
keturunan anak perempuan kedua dari Bhatara Tunggal yang mempunyai hak untuk
mengatur, menata, menertibkan dan membina masyarakat yang menyangkut sistem tatanan adat serta
bertanggungjawab memberikan pelayanan kepada masyarakat di luar Baduy Dalam. (contoh tugasnya
apabila masyarakat luar baduy dalam akan meminta syariat).
Masyarakat luar baduy apabila melanggar aturan adat maka nantinya kemungkinan akan terkena musibah yang tidak diduga-duga dan diluar nalar manusia, apabila masyarakat baduy dalam yang melanggar maka sanksi yang diberikan dapat berupa pengasingan yang telah ditetapkan waktu dan tempatnya oleh Puun, seperti :
1.
Apabila orang Cikeusik
melanggar adat akan ditempatkan di daerah Cibengkung.
2.
Apabila orang
Cikartawarna akan ditempatkan di daerah Cihulu.
3.
Apabila orang Cibeo akan
ditempatkan di daerah
Pamoean atau Cisaban.
Penerapan
Hukum Pidana Adat Di Masyarakat Adat Baduy
Usaha untuk menggali hukum adat yang merupakan hukum tak tertulis, di Indonesia ini tak berhenti di masa-masa para ahli hukum (akademisi) pasca kemerdekaan melainkan terus dilakukan berkesinambungan dalam rangka pembaharuan hukum pidana.
Penerapan hukum pada umumnya digunakan pada suatu produk hukum nasional dengan hukum yang tertulis untuk acuan dari pelaksanaan hukum tersebut, seperti Undang-undang. Tetapi pada prinsipnya ketika membahas terkait dengan penerapan hukum adat maka hukum yang digunakan adalah hukum kebiasaan atau hukum yang tidak tertulis. Penerapan hukum adat sering disebut dengan penerapan yang disampaikan secara musyawarah tanpa adanya suatu aturan yang tertulis tetapi pada prinsipnya hukum adat sangat ditaati oleh kelompok atau individu masyarakat tersebut sebagai acuan dasar hidup mereka.
Penerapan pada masyarakat adat baduy sangatlah kental walaupun tidak tertulis. Sesuai dengan pengertian dari hukum adat tersebut yang mana hukum adat tidak tertulis tetapi sangat taati. Di masyarakat adat baduy biasanya untuk melakukan musyawarah dilakukan secara musyawarah di alun-alun kampung mereka untuk berkumpul dengan semua masyarakat kampung yang di pimpin oleh kepala adat (Puun) yang dimana tujuan dari musyawarah tersebut untuk mengingat apa saja yang terjadi pada jangka waktu dekat ini agar menciptakan suatu keharmonisasian antara warga kampung dan biasanya pada masyarakat adat baduy melakukan musyawarah tersebut 2 bulan sekali untuk mengingatkan akan keberadaan hukum yang mereka punya yang mewarisi secara turun-temurun sebagai acuan dan pedoman yang mendasari penerpan hukum pada masyarakat adat baduy.
Peranan Sanksi
Pidana Adat Baduy Terhadap Pelanggar
Wilayah adat baduy merupakan wilayah yang memiliki aturan sendiri yang ada jauh sebelum KUHP atau peraturan yang lainnya dibuat, maka dari itu masyarakat adat baduy memiliki wilayah yang kuat� keberadaannya dan tidak bisa langsung diajukan dengan hukum nasional, jadi ketika ada orang yang melakukan suatu tindak pidana pada tempat adat tersebut maka disitulah mereka untuk ditegur atau diberi sanksi sebelum diberikan kepada pihak aparatur negara tanpa adanya keterlibatan hukum nasional dahulu, karena hukum adat berhak untuk melakukan tindakan ketika terjadi tindak pidana di wilayahnya. Keberlakuan asas teritorial bagi warga di luar Baduy hanya pada delik-delik yang bersifat umum berlaku bagi masyarakat Baduy seperti penganiayaan, mencuri, penipuan, mengambil foto, menggunakan alat mandi seperti sabun, shampo dan sebagainya. Sementara terhadap delik yang bersifat lebih khusus seperti larangan mengenakan pakaian modern, alat elektronik dan sebagainya hanya berlaku bagi warga Baduy Dalam. Larangan tersebut diberlakukan pada warga Baduy Dalam namun tidak diberlakukan pada warga Luar Baduy. Bagi para pelanggarnya dikenakan sanksi yang berjenjang mulai sanksi verbal (ditegur, dinasehati/ dipapatahan) hingga dikeluarkan dari komunitas Baduy Dalam.
Diantara hukum negara dengan hukum adat yang masing-masing memiliki eksistensinya dan pengaturannya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, perlu pemahaman tentang dimana posisi hukum masing-masing dalam mengatur masyarakat yang sama pada tempat yang sama dan dalam waktu yang sama, sedangkan hukum yang mengaturnya adalah hukum yang berbeda, yakni hukum negara dan hukum adat. Di dalam penerapan hukum masyarakat Baduy pun dibedakan, antara masyarakat Baduy luar, Baduy dalam dan pengunjung atau masyarakat umum. Saling menghargai dan mempercayai, serta saling menjaga antara masyarakat Baduy dengan aparat hukum negara bisa terlihat dan berjalan dengan baik, menimbulkan suatu ketentraman dan keharmonisan tersendiri bagi masyarakat setempat. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi landasan pembedaan penerapan hukum jika terjadi suatu pelanggaran di wilayah masyarakat adat Baduy.
Berbeda dengan Baduy Dalam, sanksi yang diterapkan bagi Baduy Luar bisa dikatakan hampir sama dengan sanksi yang diterapkan pada pengunjung atau masyarakat luar yang berada di Baduy Luar, namun jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh warga Baduy Luar, hanya kemudian diserahkan pada Jaro luar untuk kemudian dipertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan untuknya. Bisa berupa teguran, ganti kerugian, hingga diserahkan kepada aparat hukum negara, yang dimana dalam hal ini ialah Polsek Leuwidamar. Tidak jauh berbeda dengan warga Baduy Luar di dalam penerapan sanksi yang dijatuhkan pada pengunjung atau masyarakat luar. Jika memang benar terjadi pelanggaran adat yang dilakukan oleh�� pengunjung atau masyarakat luar, langkah pertama yaitu teguran, ganti� kerugian, ataupun diserahkan kepada aparat hukum negara setempat. Tetapi yang membedakan ialah pada tahap kesalahannya, karena di langkah awal pengunjung memasuki wilayah Baduy, kita ditemani oleh pemandu yang memandu kita sampai kita kembali pulang. Maka langkah penerapan sanksi pertamanya ialah ada pada pemandu, maksudnya adalah, jika terdapat pelanggaran adat yang terjadi dan dilakukan oleh pengunjung, maka pemandu tersebut yang pertama kali disalahkan oleh penegak hukum adat Baduy, karena dianggap tidak menjaga dan mengawasi pengunjugnya dengan baik dan benar seperti apa yang telah dimandatkan oleh Jaro Pamarentah (Kartika & Malik, 2021).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Sanksi Pidana.
Sistem hukum di masyarakat adat baduy secara mendasar menggunakan sistem hukum sendiri yang kuat aturannya dan harus ditaati oleh masyarakat adatnya guna kepentingan dan keharmonisasian antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat adat baduy meskipun tidak memiliki aturan secara tertulis tapi masyarakat baduy sangat menghargai nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kehidupan masyarakat baduy yang secara turun-temurun dan diwarisi sampai saat ini oleh masyarakat baduy.
Wilayah teritorial baduy merupakan wilayah yang dilindungi oleh Negara karena wilayah baduy merupakan warisan sejarah dari bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih ada dan harus dijaga. Ketika kita masuk kedalam kampung baduy kita harus masuk secara didampingi oleh pemandu agar kita tidak kesasar dan kita bisa sampai kekampung yang kita inginkan dan tugas dari guide/pemandu tersebut juga harus memperhatikan pengunjung tesebut agar tidak melakukan suatu hal-hal yang akan mengganggu kelestarian dari lingkungan itu, dan pemandu harus memberikan informasi terkait aturan-aturan yang jangan untuk dilanggar oleh pengunjung.
Aturan-aturan adat yang sudah ketika itu dilanggar maka masyarakat adat akan melihat status kependudukan dari pelanggar tersebut agar bisa diberikan sanksi secara kependudukan. Ketika masyarakat adat baduy yang melakukan maka yang akan bertanggungjawab dalam hal pemberian sanksi adalah masyarakat adat baduy itu sendiri, jika masyarakat luar maka pihak-pihak masyarakat adat akan memberikan masalah tersebut ke Negara (polsek Leuwidamar).
Masyarakat adat Baduy yang mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional yang mengikuti aturan-aturan yang berlaku dari negaraa Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti aturan-aturan adat Baduy yang masih diberlakukan. Meski adat Baduy terbilang mengesampingkan hukum negara jika terjadi suatu pelanggaran yang memiliki padanan dengan hukum pidana yang berlaku dan dilakukan oleh anggota masyarakat adat Baduy, namun kedua sistem tersebut diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan di antara kedua sistem tersebut, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa secara nasional masyarakat Baduy dipimpin oleh Jaro Pamarentah. Sedangkan secara adat, masyarakat Baduy tunduk terhadap kepala adat atau Pu�un yang terdapat pada 3 (tiga) kampung, Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Pelaksanaan
Hukum Pidana Adat Pada Masyarakat Adat Baduy
1.
Sistem Pelaksanaan Hukum Pidana Masyarakat Adat Baduy
Masyarakat
adat baduy mempunyai hukum pidana yang tidak terkodifikasi kedalam kitab, tetapi sangat erat
penerapannya didalam masyarakat adat tersebut. Ketika membahas tentang hukum
pidana maka penerapan hukum pidana formil dan materilnya pun menjadi suatu hal
yang penting bagi pelaksanaan hukum di masyarakat adat baduy.
2. Hukum
pidana adat formil di masyarakat adat baduy
Hukum
pidana formil merupakan hukum acara dalam hukum pidana adat baduy, yang mana
dalam penerapannya hukum acaranya dengan menerapkan asas Ultimum remedium atau sering disebut dengan penyelesaian
permasalahan dengan para pihak keluarga guna mencari titik terang agar
permasalahan tersebut bisa selesai tanpa masuk kedalam rana pidana, tetapi dalam hal menggunakan asas
Ultimum remedium tersebut pastinya
jika tindak pidana tersebut masih digolongkan dengan tindak pidana yang ringan.
Dalam hal tindak pidana yang berat maka secara otomatis permasalahan tersebut
akan naik dan dilakukan secara proses hukum pidana adat baduy. Biasanya dalam
hal tindak pidana berat maka pelaku akan dirutankan selama 40 hari oleh jaro
Dangka untuk menunggu sidang pelaku tersebut dan pelaku selama 40 hari akan di
bina dan pelaku akan melakukan kerja sosial seperti membersihkan desa, mencari
kayu bakar dan lain-lain. Rutan‟ adalah istilah Baduy yang muncul
belakangan sebagai tempat dimana si pelaku harus dikeluarkan selama empat puluh
hari sambil menunggu persidangan. Istilah rutan tersebut jelas diintrodusir
dari rutan (rumah tahanan) dalam terminologi hukum acara pidana. Dalam masa
menunggu sidang tersebut si pelaku oleh Jaro Dangka/Jaro 7 ditempatkan di
kampung yang disesuaikan dengan jalur �rumah tahanannya‟. Setiap kampung
di baduy dalam memiliki tempat untuk para pelaku tindak pidana yang sudah
tetapkan oleh para leluhur dan digunakan sampai saat ini seperti:
a. Apabila
orang Cikeusik melanggar adat akan ditempatkan di daerah Cibengkung.
b. Apabila
orang Cikartawarna akan ditempatkan di daerah Cihulu.
c. Apabila
orang Cibeo akan ditempatkan di daerah
pamoean atau Cisaban.
3.
Hukum pidana materiil
pada masyarakat adat baduy
Hukum
pidana materiil Merupakan Hukum yang mengatur secara substantif dalam penerapan
hukum pidana yang secara garis besar membahas tentang peraturan-peraturan yang
ada. Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturan yang menetapkan
dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang
memuat syarat-syarat untuk dapat dipidana dan ketentuan mengenai pidana (Mahrus Ali, 2019).[1]�Masyarakat adat baduy merupakan kelompok masyarakat
yang mempunyai aturan sendiri yang tidak terkodifikasi oleh kitab, untuk
melestarikan pengetahuan hukum pidana adat Baduy tersebut maka setiap dua bulan
sekali semua warga dikumpulkan di lapangan di masing-masing kampung Baduy Dalam
(Cibeo, Cikartawana, Cikeusik). Dalam forum tersebut diberitahukan setiap
larangan yang ada di Baduy beserta ancaman hukumannya. Selain forum tersebut,
pengetahuan mengenai hukum pidana adat Baduy diperoleh melalui budaya
lisan/tutur dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setiap generasi di Baduy
mengenal akan hukumnya.
Sebagaimana
halnya adat Baduy, hukum pidana adat Baduy juga berfilosofi pada keseimbangan
alam, filosofi yang dipakaipun sama, lojor
teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong,
pendek tak boleh disambung). Falsafah hidup tersebut kemudian dijabarkan dalam
norma -norma hukum di Baduy, termasuk norma hukum pidana adat Baduy.
Pada prinsipnya dalam hukum pidana adat Baduy, seorang pelaku tindak pidana harus dibersihkan lahir dan batinnya. Pembersihan tersebut merupakan wujud dari pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Pembersihan lahiriah berupa per tanggungjawaban pelaku pada korban yang mewujud dalam sanksi yang diterimanya. Sanksi tersebut berupa ditegur, dipapatahan/dinasehati, silih ngahampura, ganti rugi, hingga dikeluarkan dari warga Baduy Dalam menjadi warga Baduy Luar.
Pembersihan batiniah si pelaku diwujudkan dalam upacara ngabokoran atau serah pati. Ngabokoran adalah upacara pembersihan batiniah atas tindak pidana yang tidak terlalu berat. Serah pati adalah upacara pembersihan batiniah atas tindak pidana berat. Ngabokoran dan serah pati secara integral juga merupakan pembersihan desa atas tindak pidana yang telah terjadi dengan memohonkan maaf pada leluhur yang dipimpin oleh puun.
Dalam upacara ngabokoran beberapa bahan untuk ngabokoran disediakan oleh keluarga pelaku diantaranya perangkat sepaheun: sereh, gambir, pinang. Jika si pelaku sudah meninggal namun belum sempat ngabokoran, maka bahan ngabokoran ditambahkan dengan menyan.
Dalam upacara serah pati pada prinsipnya sama dengan ngabokoran, memohon maaf pada leluhur karena si pelaku dan desa telah tercemar dengan tindak pidana, namun upacara serah pati dilakukan atas tindak pidana yang di anggap berat misalnya pembunuhan, sebab dalam pembunuhan si pelaku telah menghilangkan nyawa/ngalengitkeun jiwa yang merupakan hak yang maha kuasa.
Kelembagaan Adat
1.
Pu�un
Pu�un adalah Kepala adat
dari masyarakat dan wilayah baduy yang mengepalai kampung adat tersebut.
Masyarakat baduy yang bisa menjadi pu�un hanya keturunan dari Raja saja karena
itu adalah proses yang turun-temurun diturunkan oleh masyarakat adat baduy dan
proses ketika ingin adanya pergantian pu�un maka orang tersebut biasanya
dimimpikan oleh para leluhur yang pembuktiannya oleh para petua-petua adat di
baduy. Dalam hal penegakkan hukum dibaduy pun, pu�un biasanya yang langsung
memimpin persidangan hukum tersebut guna memutus permasalahan tersebut.
2.
Girang Serat/wakil Pu�un
Girang Serat/wakil Pu�un bertugas untuk mengurusi
masyarakat adat baduy dalam urusan pertanian. Pada masyarakat baduy ketika
menikah mereka harus mempunyai ladang yang gunanya untuk memenuhi kehidupan
keluarganya. Pembukaan ladang tersebut dilangsungkan oleh Girang Serang dalam penentuan
ladangnya.
3.
Barisan Pu�un
Barisan
Pu�un merupakan penasihat dari Pu�un.
Biasanya barisaan Pu�un
ini merupakan mantan dari Pu�un.
Dalam hal Pu�un
ingin memutus suatu permasalahan maka barisan Pu�un inilah yang menjadi teman musyawarah
untuk berdiskusi tentang suatu permasalahan terkait kampung.
4.
Jaro Tangtu
Jaro
tangtu bertugas mengumumkan upacara adat dan pelaksanaan pemerintahan adat
dibaduy. Jaro tangtu biasanya menjadi mediator dalam penyelesaian permasalahan
di masyarakat baduy ketika ada permasalahan yang menyangkut tindakan pidana.
5.
Jaro 12
Jaro
12 bertugas dalam hal keagamaan. Jaro 12 biasanya menasihati para masyarakat
adat baduy yang mengalami permasalahan pada tindak pidana agar masyarakat
tersebut bisa bertobat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
6.
Jaro 7 / jaro dangka
Jaro
7 / jaro dangka bertugas kepada orang-orang yang sedang menjalankan proses penghukuman.
Penghukuman dalam masyarakat baduy biasanya diasingkan selama 40 hari di tempat
yang sudah disediakan
peraturan kampung dan jaro 7/jaro dangka tersebut harus memberikan
pemahaman-pemahaman yang baik kepada orang-orang tersebut.
Pelaksanaan
pidana adat pada masyarakat adat baduy dikualifikasikan menjadi tindak pidana
ringan dan berat. Tindak pidana ringan biasanya dilakukan dengan cara
musyawarah antara pihak pelaku dengan korban untuk dimusyawarahkan guna
penyelesaiannya dengan ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
tersebut, tetapi dalam hal tindak pidana berat sebisa mungkin mengesampingkan
proses hukum pidana (asas ultimum
remedium) tetapi ketika tidak bisa dilakukan ultimum remedium maka akan
diserahkan oleh lembaga adat untuk dilakukannya
hukuman dengan pengadilan adat oleh pu�un yang memutus permasalan tersebut dan
hukuman yang terberatnya adalah dikeluarkan dari lingkungan adat tersebut.
Masyarakat adat baduy merupakan
masyarakat yang masih sangat erat hubungannya dengan kehidupan yang jauh dari
kemajuan teknologi (primitif), yang
mana masyarakat baduy adalah warisan sejarah bangsa Indonesia yang harus dijaga
kelestariannya agar tidak tercemar dari wilayah luar.
Pelaksanaan hukum pidana adat baduy merupakan
pelaksanaan hukum yang secara turun-temurun yang diwariskan olem masyarakat
baduy guna menjalankan kehidupannya. Meskipun tidak terkodifikasi ke dalam
kitab mereka sangat menghargai dan menekuni hukum tersebut melalui pengetahuan
lisan tutur kata, akan tetapi untuk menjaga kelestarian tersebut dan karena
tidak terkodifikasinya terhadap kitab itulah yang menyebabkan akan hilangnya
pemahaman akan hukum tersebut.
Permasalahan pada masyarakat baduy biasanya diselesaikan menggunakan asas ultimum remedium karena cara penyelesaiannya ketika ada masyarakat baduy yang melakukan suatu tindak pidana maka penyelesaiannya diberikan kepada para pihak keluarga. Asas ultimum remedium adalah suatu asas yang menyatakan bahwa penyelesaian pidana adalah penyelesaian terakhir, jadi semua diselesaikan melalui keluarga dulu baru ketika sudah tidak ada titik terangnya maka hukum pidana adalah hal yang terakhir. Dasarna musyawarah, rembugan keluarga, silih ngahampura. Lamun teu puas diteruskeun ka kokolot lembur, lamun teu puas diteruskeun ka jaro tujuh, lamun teu puas terus ka desa (Dasarnya musyawarah, rembugan keluarga, saling memaafkan. Kalau tidak puas diteruskan ke sesepuh desa, kalau tidak puas diteruskan ke jaro tujuh, kalau tidak puas diteruskan ke desa). Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah, perundingan, perembukan bermusyawarah. Pada masyarakat adat baduy cara yang dipakai ketika ada yang melakukan tindak pidana maka yang musyawarahlah yang dipakai, agar kedua belah pihak bisa mendapatkan haknya yang sama antara pelaku dan korban. Jika kemudian tindak pidana tersebut menimbulkan keguncangan yang mengganggu keseimbangan masyarakat maka harus diadakan upacara ngabokoran agar keseimbangan kampung kembali pulih. Konsep musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dengan model restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana.
BIBLIOGRAFI
Bramantyo,
Rizki Yudha, & Setiono, Gentur Cahyo. (2022). Implementasi undang-Undang
Dasar 1945 pasal 18b ayat 2 Tentang Pengakuan Negara Terhadap Norma Adat Dalam
Perspektif Religius Dan Ritualis Masyarakat Dusun Temboro Kecamatan Wates
Kabupaten Kediri. Transparansi Hukum.
Burhanudin,
Achmad Asfi. (2021). Eksistensi Hukum Adat di Era Modernisasi. Salimiya:
Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam, 2(4), 96�113.
Efrianto, Gatot.
(2019). Akibat Hukum Dari Perkawinan Adat Baduy Dalam Perspektif Undang-Undang
nomor 1 Tahun 1974. Jurnal Hukum Sasana, 5(2).
https://doi.org/10.31599/sasana.v5i2.100
Hadikusuma,
Hilman. (1979). Hukum pidana adat.
Hutabarat, Dany
Try Hutama, Sari, Sekar Nawang, Kamil, Tiara, Ramadhan, Wulan Suci, Ambarwati,
Eny Ayu, Alfathni, Tri Nia, Fadhila, Nur, Septiningrum, Shafira, Aflita, Riri,
& Ltubing, Junita Mutiara Sari. (2021). MAKNA DEMOKRASI PANCASILA. JOURNAL
OF HUMANITIES, SOCIAL SCIENCES AND BUSINESS (JHSSB), 1(1), 59�64.
Indonesia,
Kamus Besar Bahasa. (2019). Online, versi 1.3 2019. Diskes dari http://kbbi.
web. id/manfaat. Pada.
Kartika, Tipri
Rose, & Malik, Jamaludin. (2021). Program Evaluation Of Implementation Of
Technology, Information And Communication (Ict)-Based Learning Systems In
Management Perspective. Jurnal Ilmiah Publipreneur, 9(1), 53�71.
Made Widnyana,
I. (1992). Eksistensi Delik Aat dalam Pembangunan. Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar.
Mahrus Ali,
SHMH. (2019). Dasar-Dasar Hukum Pidana.
Mertokusumo,
Sudikno. (1919). Mengenal hukum: Suatu pengantar. -.
Munandar, M.
Aris. (2019). Pohon Impian Masyarakat Hukum Adat: Dari Substansi Menuju
Koherensi. Uwais Inspirasi Indonesia.
Nasir, Sri
Rahayu. (2014). Perubahan sosial masyarakat lokal akibat perkembangan
pariwisata dusun wakka kab. Pinrang (Interaksi Antara Wisatawan dan Masyarakat
lokal). Skripsi.
Nurkholis,
Ahmad. (2017). Merajut Damai dalam Kebinekaan. Elex Media Komputindo.
Said, Sampara.
(2011). dkk, Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, cetakan II. Total Media,
Yogyakarta.
Santi Dewi, Iga
Gangga, & HANDAYANI, E. M. Y. (2018). Laporan Penelitian_Rekonstruksi
Kebijakan Tanah Eks Kerajaan Di Indonesia Yang Berkeadilan Sosial (Studi Tanah
Eks Kerajaan di Eks Karesidenan Surakarta�Jawa Tengah).
Santoso, Topo.
(1990). Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Ersesco.
Soliman, Saied
M., Hagar, Mohamed, Ibid, Farahate, & El Sayed, H. (2015). Experimental and
theoretical spectroscopic studies, HOMO�LUMO, NBO analyses and thione�thiol
tautomerism of a new hybrid of 1, 3, 4-oxadiazole-thione with quinazolin-4-one.
Spectrochimica Acta Part A: Molecular and Biomolecular Spectroscopy, 145,
270�279.
Widnyana, I.
Made. (1993). Kapita selekta hukum pidana adat.
Zulmasyhur, M.
Si. (n.d.). Mata Kuliah Pendidikan Pancasila SI-03 TUGAS 1 Pancasila Sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia.
Copyright holder: Gatot Efrianto (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |