Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
1, Januari 2023
PENALARAN HUKUM
HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERBUATAN MELANGGAR HUKUM
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pasal 1365 KUHPerdata menormakan perbuatan melanggar hukum, dalam berbagai perkara di pengadilan, hakim secara ex-officio memberikan dan Putusan Hakim dalam Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum, Majelis Hakim dalam mempertimbangkan sisi kebenaran Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum dari fakta yang menjadi dasar Putusan adalah: Menurut Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata dikabulkannya rumusan gugatan perbuatan melanggar hukum sebagaimana hakim di dalam memutus perkara menggunakan pendeketan judicial activism atas rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat, dari fakta yang menjadi dasar Putusan adalah: putusan hakim menggunakan pendekatan judicial activism atas dasar rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dalam Artikel ini Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Dengan mendasarkan Pasal 178 (3) Putusan Subsider: Hakim memutus perkara menuntut rasa keadilan yang ada padanya, (ex aequo et bono), Penalaran hukum hakim lebih diorientasikan, pada sikap dan tanggung jawab, menurut Pasal 5 (1) Hakim dan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim melakukan Penalaran Hukum Melalui Interpretasi Hukum yang didasarkan pada Kaidah Hukum, Moral, dan Sosial yang berlaku ditengah masyarakat.
Kata
Kunci: Penalaran hukum; Perbuatan Melanggar Hukum; judicial
activism.
Abstract
Article 1365 of the Civil
Code promulgates unlawful acts, in various cases in court, judges ex-officio
grant and Judges' Decisions in Lawsuits for Unlawful Acts, the Panel of Judges
in considering the truth side of the Lawsuit for Unlawful Acts from the facts
on which the Decision is based is: According to Articles 1365 to 1380 of the
Civil Code, the formulation of a lawsuit for unlawful acts is granted as the
judge in deciding cases using judicial activism over the sense of justice that
lives and develops in society, from the facts on which the Verdict is based:
the judge's decision uses a judicial activism approach on the basis of a sense
of justice that lives and develops in society. In this article, the method of
approach used is normative juridical or legal research that only examines
library materials so that it is also called literature law research. By basing
Article 178 (3) of the Judgment: The judge decides the case demanding the sense
of justice that exists on him, (ex aequo et bono), The judge's legal reasoning
is more oriented, on attitude and responsibility, according to Article 5 (1)
The judge and is obliged to explore, follow, and understand the values of the
law and the sense of justice that lives in society. Judges carry out Legal
Reasoning Through Legal Interpretation based on Legal, Moral, and Social Rules
that apply in the middle of society,
Keywords: Legal reasoning; unlawful acts; judicial activism.
Pendahuluan
Peradilan di Indonesia sesuai Undang-UndangNomor 48 Tahun 2009 Pasal 1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dan Pasal 5 (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Serta Pasal 10 (1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dalam setiap gugatan perbuatan melenggar hukum, pihak penggugat selalu mencantumkan ganti-rugi atas sutu kerugian yang diderita oleh Penggugat, dan ganti-rugi yang diminta penggugat selalu berkaitan dengan ganti-rugi materiel dan ganti rugi imateriel, dimana ganti rugi ketika akan menentukan besarannya hakim mendapati� norma yang kabur (fague norm). Sehingga setiap gugatan hakim memutus sebagai hukum atas suatu gugatan Perbuatan melanggar hukum untuk dapat dikabulkan oleh Majelis hakim melakukan Penalaran Hukum dengan melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan hukum (rechtsverifining) atau penafsiran (interpretatie). Kegiatan-kegiatan semacam itu dalam sistem hukum kontinental disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding).
Apabila ingin menetapkan putusan pengadilan sebagai sumber hukum, perlu dibedakan antara putusan untuk perkara konkret yang merupakan hasil akhir penalaran hakim menjadi aturan-aturan yang diformulasikan oleh hakim untuk fakta yang dihadapi dan putusan yang diambil. Tindakan demikian di satu pihak tidak bertentangan dengan syarat legalitas sedangkan di lain pihak menerapkan prinsip persamaan terhadap situasi yang sama, itu berarti bahwa putusan pengadilan memang menjadi acuan dalam praktik pengadilan. Kegiatan semacam itu terjadi di negara-negara dengan sistem civil law. Putusan pengadilan merupakan sumber hukum di negara-negara penganut sistem civil law. Apabila telah banyak kasus yang meneladani suatu landmark decision, tidak dapat disangkal bahwa putusan demikian telah menjadi yurisprudensi.
Di negara-negera penganut sistem civil law, Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, lebih-lebih apabila putusan itu Putusan Mahkamah Agung yang merupakan Landmark Decision niscaya Putusan itu akan menjadi Yurisprudensi yang kuat dan, menjadi sumber hukum. Contoh yang dapat dikemukakan adalah Putusan mahkamah Agung Belanda (Hoge raad) tanggal 31 januari 1919 tentang Onrechtmatige dalam kasus Lindenbaum -Cohen.
Suatu hal yang menarik adalah Yurisprudensi di Negara negara bekas koloni Belanda (seperti Indonesia dulunya adalah Koloni Belanda. Para Hakim Indonesia tidak segan-segan merujuk Hoge Raad Arrest tanggal 31 Januari 1919 tentang Oncechtmatige dalam Lindenbaum � Cohen atau Hoge Raad Arrest
Pandangan legistis pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen yang dikenal sebagai Drukker Arrest. Dalam perkara ini, Cohen seorang pengusaha percetakan telah membujuk karyawan percetakan Lindenbaum untuk memberikan kopi-kopi pesanan dari para langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen. Selanjutnya Lindenbaum menggugat Cohen untuk membayar ganti kerugian kepadanya.
Tentang perbuatan melanggar hukum dalam praktek peradilan di Indonesia dapat ditemukan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 3191/K/Pdt/1984 tanggal 08 Februari 1986. Yurisprudensi ini menggariskan norma suatu perbuatan dikualifiserkan menjadi perbuatan melanggar hukum apabila telah memenuhi 4 (empat) kriteria yaitu: Perbuatan Melanggar Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan :
a) Hak
Subyektif orang lain.
b) Kewajiban
hukum pelaku.
c) Kaedah
kesusilaan.
d) Kepatutan
ketelitian dan kehati-hatian (Patiha) dalam masyarakat
Rumusan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata selain menormakan perbuatan melanggar hukum, selaku demikian rumusannya mengatur pula secara limitatif mengandung asas hukum penggantian kerugian bersifat wajib daripadanya. Bahkan, dalam berbagai perkara di pengadilan, seringkali hakim secara ex-officio (kewenangan hakim dalam jabatannya) memberikan dan menetapkan penggantian kerugian (schade vergoeding) meskipun pihak korban tidak menuntutnya. Prinsip secara doktriner, maupun dogmatik hukum, ada ajaran tentang penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengikuti sifat hukum yang selalu progresif di dalam lapisan filsafat hukum, teori hukum, dogmatika hukum serta hukum dan praktik hukum serta berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dan moralitas.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, berlaku saat ini, yang meneruskan ajaran atau dogmatika hukum yang mentradisi yaitu ius curia novit atau fiksi bahwa hakim dianggap tahu tentang undang-undang hal senada, atau tradisi penemuan hukum (rechtsvinding) juga diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. pasal atau ketentuan perundangan tersebut berisi rumusan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Atas dasar itu, maka penemuan hukum berlaku pula dalam penyelidikan dan analisa terhadap kasus-kasus konkret, dalam hal ini penyelidikan dan telaah pada lapisan ilmu hukum yang masuk dalam kategori hukum dan praktik hukum ketika diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan padalatar belakang masalah diatas, dirumuskan masalah tersebut sebagai berikut Bagaimana Penalaran Hukum Hakim Dalam Memutus Perkara Perbuatan Melanggar Hukum oleh Majelis Hakim Perdata.
Metode Penelitian
Dalam Artikel ini Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Adapun pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan Analitis (Analytical Approach). Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
A. Penalaran Hukum Hakim Dalam
Memutus Perkara Perbuatan Melanggar Hukum oleh Majelis Hakim Perdata
Dalam
Peradilan Perdata perlu dikaji tentang Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919,
Nederlandse Jurisprudentie 1919, 161, W 10365. Putusan Pengadilan Negeri
Amsterdam (Rechtbank) 24 Januari 1916 dan Putusan Pengadilan Tinggi
(Hof) 18 Maret 1918 dalam perkara Lindenbaum-Cohen. Putusan itu mengenai
spionase bisnis
Putusan
itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam hidup
bermasyarakat dan merupakan perbuatan melanggar hukum. Merujuk kepada kasus
tersebut, pandangan sempit dapat diterima, yaitu dalam masyarakat yang terdapat
gagasan hukum yang samar-samar dan belum terbentuk Mahkamah Agung Belanda pada
31 Januarii 1919 merumuskan gagasan tersebut.
Putusan
tersebut menjadi sumber hukum yang dirujuk dalam sistem civil law
sebagai yurisprudensi. Bahwa hukum kebiasaan berlaku bagi semua anggota
masyarakat secara tidak langsung melalui yurisprudensi
Ajaran
penemuan hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila mengajarkan bahwa hakim
harus tetap menjalankan fungsi pembentukan hukum (rechtsforming), yaitu hakim
menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Metode
�konstruksi hukum� atau �interpretasi hukum� yang dikenal dan digunakan sebagai
alat-alat utama dalam filsafat hukum dapat dipergunakan dan memiliki
signifikasi. Dimaksudkan dengan memiliki signifikansi adalah alat bagi hakim,
dalam proses pembentukan hukum yurisprudensi (case law).
Putusan
hakim yang dikategorikan sebagai yurisprudensi dan hanya bersifat persuasif,
kecuali undang-undang menentukan lain, harus memenuhi beberapa persyaratan,
antara lain lima persyaratan yang dikemukakan di bawah ini:
1. Putusan hakim dimaksud,
dibuat untuk suatu putusan hukum yang belum jelas peraturan
perundang-undangannya;
2. Putusan hakim dimaksud
sudah berkekuatan hukum tetap;
3. Putusan hakim tersebut
berulangkali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara yang sama, mengingat
terdapat hukum di dalamnya;
4. Putusan hakim itu telah
memenuhi rasa keadilan masyarakat;
5. Putusan hakim itu telah
dibenarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
Demikian
pula keadilan menjadi konkret manakala ada yang melakukan pelanggaran terhadap
hukum/undang-undang secara sadar/sengaja berarti mengingkari keadilan
�...
dalam praktik peradilan di Indonesia, hakim hendaknya merespons dua sistem
tersebut secara longgar. Bahwa terhadap kasus yang pasal hukumnya jelas, maka
kasus diputus berdasarkan ketentuan normatif pasal tersebut. Namun, terhadap
kasus yang pasal hukumnya belum ada atau kurang jelas maka kasus harus tetap
diputus dalam mana hakim harus menciptakan hukum baru dengan metode tafsir atau
mengkonstruksi hukum dengan cara menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dilarang menolak perkara yang diajukan
masyarakat ke pengadilan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas
B. Penemuan Hukum Sebagai
Pertanggung-Jawaban Putusan Hakim Atas Ganti Rugi Imateriel Dalam Perbuatan
Melanggar Hukum
Putusan
(Bld. Vonis; vonnis een uitspreken
Putusan
dalam pengertian lain adalah penentuan atau penetapan hakim mengenai hak-hak
tertentu serta hubungan hukum di antara para pihak
Definisi
putusan berbeda dalam tradisi common law seperti yang diatur dalam sistem hukum
Amerika, Kanada, dan Inggris. Putusan (verdict) didefinisikan sebagai :
�The formal and unanimous decision or finding made by a jury, impaneled and
sworn for the trial of a cause, and reposted to the court (and accepted by it),
upon the matters or questions duly submitted to them upon the trial
Putusan
di negara yang mengaut common law, tidak semua putusan diambil dengan suara
bulat atau keputusan mutlak, melainkan ada beberapa yang diambil berdasarkan
suara terbanyak karena salah satu anggota majelis hakim melakukan dissenting
opinion. Dari uraian tersebut, Putusan yang diambil dapat merupakan putusan
mutlak (unanonimous decision) ataupun putusan yang didasarkan pada suara
terbanyak (majority decision).
C. Bentuk Pertanggung Jawaban
dalam Perbuatan Melanggar Hukum
Di
dalam Pasal 1365�1380 KUHPerdata telah diatur mengenai pertanggung jawaban atas
perbuatan melanggar hukum. Moegni Djojodirjo didalam bukunya Perbuatan Melawan
Hukum, selain menggunakan istilah pertanggung jawaban juga menggunakan istilah
tanggung gugat. Menurut beliau kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang
sama, dan digunakan tanpa mendahulukan satu sama lain. Menurut Moegni
Djojodirjo pengertian istilah �tanggung gugat� untuk melukiskan adanya
aansprakelijkheid adalah untuk mengedepankan adanya tanggung gugat pada seorang
pelaku perbuatan melanggar hukum, maka si pelaku harus bertanggung jawab atas
perbuatannya dan karena pertanggung jawaban tersebut si pelaku
Dalam
Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa seseorang tidak hanya
bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri
tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya,
atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya
1. Dasar hukum dari
pertanggung jawab yang harus dibebankan pada orang tua dan wali adalah kurangnya
pengawasan (culpa in custadiendo) atas anak
2. Tanggung jawab majikan dan
orang yang mewakilkan urusannya terhadap orang yang dipekerjakannya, yang
diatur pada Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata. Berdasarkan pasal ini maka,
majikan bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi karena perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, dengan syarat bahwa
perbuatan melanggar hukum itu dilakukan oleh pegawai dalam melaksanakan pekerjaan
untuk majikannya, ini berarti bahwa perbuatan melanggar hukum harus terjadi
pada waktu kerja dan harus terdapat hubungan antara perbuatan tersebut dengan
pekerjaan yang diberikan kepadanya;
3. Tanggung jawab guru sekolah
dan kepala tukang terhadap murid dan tukangnya, yang diatur pada Pasal 1367
ayat (4) KUH Perdata. Terdapat dua syarat pertanggung jawaban guru dan kepala
tukang, yaitu terdapat hubungan guru dengan murid dan kepala tukang dengan
tukangnya, dan syarat yang kedua adalah perbuatan melanggar hukum tersebut
terjadi pada saat mereka berada di dalam pengawasan. Menurut Pasal 1367 ayat
(5) KUH Perdata kepala tukang dan guru dapat melepaskan tanggung jawab dengan
membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah dilakukannya perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh murid dan tukangnya
�Apabila pelaku tidak mentaati keputusan untuk
mengembalikan keadaan pada keadaan semula maka pelaku perbuatan melanggar hukum
dapat dikenakan uang paksa
1. Ganti rugi nominal
Ganti
rugi nominal ini diberikan apabila terjadi perbuatan melanggar hukum yang
serius, seperti yang mengandung unsur kesengajaan, atas hal tersebut maka
kepada korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa
keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut.
2. Ganti rugi kompensasi atau
ganti rugi aktual
Ganti
rugi kompensasi merupakan ganti rugi yang merupakan pembayaran kepada korban
atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh pihak korban dari
suatu perbuatan melanggar hukum. Karena itu ganti kerugian ini disebut juga
ganti kerugian aktual.
Besarnya
jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi pelaku perbuatan
melanggar hukum. Ganti rugi penghukuman ini banyak diterapkan kepada
kasus-kasus kesengajaan yang berat, misalnya terhadap penganiayaan berat atas
seseorang tanpa rasa kemanusiaan
D. Hakim Memutus Perkara
Berbasis Nilai Keadilan
Pancasila
sebagai suatu kesepakatan nasioanal, Perjanjian Luhur yang telah mengikat
bangsa Indonesia dimasa lalu, masa kini dan yang akan dating
Masalah
pokok keadilan sosial adalah pembagian (distribusi) nikmat dan beban dalam
masyarakat yang oleh Brian Barry dirangkum dalam tiga kelompok yaitu: (1)
ekonomi (uang); (2) politik (kuasa); dan sosial (status)
Masyarakat
Indonesia oleh Furnivall
Norma
kemanusiaan menuntut supaya dalam penggembalaan hukum, manusia senantiasa
diperlakukan sebagai manusia. Manusia oleh hukum supaya dimanusiakan. Manusia
menurut Universal declaration of Human Rights, mempunyai dignity atau
keluhuran. Dignity of man pada tiap orang yang berperkara, yang kaya dan
miskin supaya dihormati.
Equity,
adalah prinsip suatu kasus yang sama seharusnya di perlakukan dalam cara yang
sama dan kasus yang berbeda dilakukan dengan cara yang berbeda
Hakim
wajib memperlakukan orang yang berperkara (justitiabel)
1. Sebagai manusia,
2. Dengan keadilan,
3. Dengan kepatutan,
4. Dengan kejujuran.
Norma-norma
tersebut perlu dituntut pada tiap hakim, khususnya dalam jaman, di mana kaidah
etika melemah dalam masyarakat. Para Hakim hendaknya membangkitkan kembali
kesusilaan yang tinggi dalam menggembalakan hukum
E. Analisis Terhadap
Pertimbangan Hukum Hakim dalam memutus Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum
Ada
empat unsur dalam pengertian perbuatan melanggar hukum, dari berbagai gugatan
yang mengabulkan ganti rugi imateriel: Rumusan perbuatan melanggar hukum dalam praktek
peradilan di Indonesia berpedoman pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: 3191/K/Pdt/1984 tanggal 08 Februari 1986, dimana disebutkan
suatu perbuatan dianggap perbuatan melanggar hukum apabila telah memenuhi 4
(empat) kriteria yaitu:
1. Bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subjektif
orang lain;
3. Melanggar kaedah atau
asusila;
4. Bertentangan dengan asas
kepatutan, ketelitian serta sikap hati � hati yang seharusnya dimiliki oleh
seseorang dalam pergaulan masyarakat
Dalam
pola civil law, hukum utamanya adalah legislasi. Oleh karena itu langkah
dasar pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah
penelusuran peraturan perundang � undangan (berdasarkan ketentuan UU No. 10
Tahun 2004 Pasal 1 angka (2) peraturan perundangan adalah produk hukum tertulis
yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, yang isinya
mengikat umum.
Dalam
Pasal 1365 KUHPerdata: setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan
kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti
kerugian. Dengan kondisi yang demikian, langkah ketiga sebagaimana dijelaskan
dimuka adalah merupakan langkah rechtsvinding. Rechtsvinding itu sendiri
dilakukan melalui 2 teknik. Teknik pertama adalah hermeunetika. Teknik kedua
adalah konstruksi hukum yang meliputi: analogi, penghalusan atau penyempitan
hukum (rechtsverfining) dan argumentum a contrario Fungsi rechtsvinding adalah
menemukan norma konkrit untuk diterapkan pada fakta hukum terkait.
Pasal
178 (3): Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut
atau meluluskan lebih dari apa yang dituntut. Hakim tidak boleh memutus hal-hal
yang tidak dituntut demikian diatur dalam Pasal 178 (3). Umpama penggugat
menuntut supaya tergugat menyerahkan sepeda motor. Kalau sepeda motor tidak
ada, maka hakim tidak boleh memutus tergugat supaya menyerahkan kudanya kepada
penggugat, sebab hal ini tidak dituntut
Peraturan
ini di Indonesia telah diterobos
Jadi
sebenarnya putusan hakim ini masih didasarkan pada tuntutan penggugat (yaitu
tuntutan subsider), dengan demikian sebenarnya tidak pernah terjadi
penyimpangan terhadap Pasal 178 (3) karena putusan hakim ini tetap didasarkan
pada tuntutan penggugat, yaitu tuntutan subsider
Kesimpulan
Berdasarkan
putusan tersebut terlihat adanya keaktifan dan keberanian dari para hakim untuk
melepaskan diri dari ketentuan Perundang-Undangan (Justicial Activism) .
Pertimbangan Hakim yang melahirkan Norma baru dalam memutuskan suatu kasus yang
berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya. Penalaran hukum hakim lebih
diorientasikan pada perubahan cara berpikir, sikap dan tanggung jawab yang
berparadigma holistik-komprehensif. Berkenaan dengan penalaran
hukum hakim, tawaran metode-metode baru harus dipersiapkan sebagai bahan dasar.
BIBLIOGRAFI
Andi, H. (1986). Kamus Hukum.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Arto, A. M. (1996). Praktek perkara perdata pada pengadilan agama. Pustaka Pelajar.
Aubert, V. (1969). Sociology of Law (1969). Middlesex, Eng.: Penguin Books.
Badriyah, S. M. (2022). Sistem penemuan hukum dalam masyarakat prismatik. Sinar Grafika.
Black, H. C. (1968). Blacks Law Dictionary (Revised Fourth Edition). Minnesota: West Publishing.
Charda, U. (2018). Pendidikan Pancasila Untuk Pendidikan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Darmodiharjo, D. (1979). Orientasi Singkat Pancasila� dalam Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Dja�is, M., & Koosmargono, R. M. J. (2008). Membaca dan Mengerti HIR. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Djojodirjo, M. A. M., & melawan Hukum, P. (1979). Pradnya Paramita. Jakarta.
Edy Lisdiyono. (2016). Mewujudkan Asas Peradilan Cepat Sederhanaa Dan Biaya Ringan Dalam Peradilan Di Tingkat Mahkamah Agung. Asosiasi Perguruan Tinggi Hukum Indonesia.
Hadjon Philipus, M., & Hukum, A. (2017). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harahap, M. Y. (2017). Hukum acara perdata: tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika.
Kaelan, K. (1996). Kesatuan Sila-sila Pancasila. Jurnal Filsafat, 1(1), 42�52.
Kusumaatmadja, M. (n.d.). Sekapur Sirih.
Marzuki, P. M., & SH, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada Media.
Mertokusumo, S. (2009). Hukum acara perdata Indonesia.
Munir, F. (2005). Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Nasikun, J. (1974). Sebuah pendekatan untuk mempelajari sistim sosial Indonesia (Issue 2). Seksi Penerbitan Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada.
Notohamidjojo, O. (2011). Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Griya Media, Salatiga.
Nugroho, D. M. (2017). Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perkara Perdata Berdasar Asas Peradilan Yang Baik. QISTIE, 10(1).
Rasuanto, B. (2005). Keadillan sosial: Pandangan deontologis Rawls dan Habermas: Dua teori filsafat politik modern. Gramedia Pustaka Utama.
Salman, O. (2010). Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.
Setiawan, R. (1987). Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan dalam Yurisprudensi. Varia Peradilan, 16(2), 176.
Setiawan, R. (1991). Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta.
Soemitro, R. H. (1985). Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat. Remadja Karya cv, Bandung.
Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (1999). Kitab undang-undang hukum perdata.
Suryoutomo, M., Mariyam, S., & Satria, A. P. (2022). Koherensi Putusan Hakim Dalam Pembuktian Ganti Rugi Imateriel Perbuatan Melawan Hukum. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(1), 133�149.
Susilo, A. B. (2011). Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia. Perspektif, 16(4), 214�226.
Teguh Prasetyo, S. H. (2019). Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum. Nusamedia.
Thontowi, J. (2016). Pancasila Dalam Perspektif Hukum: Pandangan Terhadap Ancaman �The Lost Generation.� UII Perss, Yogyakarta.
Copyright holder: Amalyanda Azhari (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |