Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.12,
Desember 2022
BUZZER MARKETING DALAM
PERSPEKTIF ETIKA PEMASARAN ISLAMI
Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang
Email: [email protected]
Abstrak
Maraknya media sosial mendorong pelaku usaha untuk
menyesuaikan kegiatan usahanya agar tidak kalah saing. Hal ini menyebabkan
perubahan model pemasaran perusahaan dari periklanan dan promosi tradisional
melalui media komunikasi tradisional seperti radio, televisi atau surat kabar
menjadi pemasaran media sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pandangan dalam kedepannya mengenai pemasaran islami. Metode
penelitian ini yang dilakukan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah Jumlah
pengikut dan profil pemilik akun. Buzzers sering datang dari berbagai latar
belakang, dari artis hingga orang biasa dengan ratusan hingga jutaan pengikut.
Berbeda dengan buzzer, influencer adalah selebriti atau non-selebriti dengan
pengikut yang banyak, kebanyakan dari mereka adalah promotor gaya hidup dan
bekerja sama dengan perusahaan untuk mempromosikan produk yang mereka gunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Dalam
perspektif Islam, aktifitas Buzzer harus didasarkan pada asas kemahaesaan Tuhan
yang menjadi tiang akidah, berbingkai Fikih muamalah sebagai pedoman dan
akhlak/etik sebagai pengawal. Buzzer muslim harus mempertimbangkan dua unsur
dari pekerjaannya yaitu the manner dan the matter.
Kata kunci: Buzzer Marketing; Pemasaran; Penjualan.
Abstract
The rise of social media encourages business
actors to adjust their business activities so that they are not less
competitive. This led to a change in the company's marketing model from
traditional advertising and promotion through traditional communication media
such as radio, television or newspapers to social media marketing. The purpose
of this study is to find out the future view of Islamic marketing. This
research method was carried out This research was
carried out using a qualitative approach.�
The result of the research that has been done is the number of followers
and profile of the account owner. Buzzers often come from a variety of
backgrounds, from artists to ordinary people with hundreds to millions of
followers. Unlike buzzers, influencers are celebrities or non-celebrities with
a large following, most of them are lifestyle promoters and work closely with
companies to promote the products they use in their daily lives. �The conclusion of this study is In
an Islamic perspective, Buzzer's activities must be
based on the principle of God's omnipresence which is the pillar of the creed,
framed fiqh muamalah as a
guide and morals / ethics as a bodyguard. Muslims must consider two elements of
their work, namely the manner and the matter.
Keywords: Buzzer Marketing;
Marketing; Sales.
Pendahuluan
Maraknya media sosial mendorong
pelaku usaha untuk mengadaptasikan aktivitas bisnis mereka sehingga tidak kehilangan daya saingnya. Hal ini menyebabkan
perubahan pola pemasaran perusahaan dari iklan dan promosi tradisional melalui media komunikasi konvensional seperti radio, televisi atau koran
menjadi pemasaran media sosial (Manullang, 2020).
Penggunaan pemasaran media sosial telah merobohkan
dinding pemisah antara perusahaan, konsumen, dan follower melalui konten media sosial. Pemasaran memanfaatkan media sosial
memungkinkan interaksi antara konsumen dan perusahaan produk, serta konsumen dengan konsumen atau publik. Sebelum adanya pemasaran menggunakan media sosial, iklan kepada
konsumen dan publik dilakukan secara sepihak melalui media cetak, papan iklan,
radio, dan televisi (Liana, 2012).
Salah satu
tren pemasaran terbesar sejak 2017 adalah menggunakan influencer dan
buzzers melalui media sosial
(Glucksman, 2017). Strategi ini digunakan untuk mempromosikan produk atau merek dari
gaya hidup,
mobil, dan produk elektronik ke kegiatan
kampanye atau kesadaran kepada publik. Berbagai perusahaan dan public relation di
Indonesia juga menggunakan Influencer dan Buzzers sebagai strategi pemasaran yang dapat ditemukan di beberapa media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook, YouTube dll. Bisnis ini sangat menjanjikan
hingga saat ini terdapat platform pemasaran influencer dan buzzer yang menghubungkan
pengiklan kepada Buzzers, seperti Buzzohero, Sribu Corner, dan Sosiago di Indonesia.
Seiring komunitas
Muslim mencapai sepertiga dari populasi dunia, terdapat banyak muslim di kalangan
pengusaha, bahkan bekerja sebagai Buzzers. Muncul pertanyaan apakah bisnis yang dijalankan oleh
Buzzer sesuai dengan etika bisnis, terutama
etika bisnis Islam karena pekerjaan ini membutuhkan iklan dan memancing publik untuk membicarakan
hal-hal tertentu, merek, program, dll. Sementara, iklan kontemporer telah menimbulkan banyak masalah etika karena fokus
pada materialistis, bahkan dianggap sebagai salah satu bisnis yang paling tidak etis. Menurut (Anwar & Saeed, 1996), iklan kontemporer
banyak menipu orang dan beralih menjadi seni penipuan dan manipulasi. Banyak masalah etika ditemukan dalam pemasaran seperti melebih-lebihkan atau mengaburkan fitur atau kinerja
produk, mengeksploitasi ambiguitas, menghilangkan informasi tertentu, memikat audiens melalui kata-kata yang menarik, menyembunyikan beberapa fakta yang tidak menarik untuk produk,
serta demo yang diatur dan kontes yang curang (Shafiq et al., 2016).
Makalah ini berupaya untuk
membahas masalah etika dari praktik
pemasaran buzzer di Indonesia dan mengintegrasikan
prinsip pemasaran Islam di dalamnya untuk menemukan solusi dari masalah etika
yang ditemukan.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menekankan analisis
dalam proses penyimpulan serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar
fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Dalimunthe & Sihombing, 2020).
Pendekatan ini digunakan untuk menjawab masalah penelitian ini melalui cara
berpikir formal dan argumentatif. Data penelitian ini diperoleh melalui
wawancara dan tinjauan literatur. Wawancara semi-terstruktur telah dilakukan
kepada lima Buzzer muslim di Indonesia yang menggunakan berbagai media sosial
dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas pemasaran. Penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menjelaskan masalah etika dalam praktik pemasaran Buzzer di Indonesia dari
perspektif Islam.
Hasil dan Pembahasan
Buzzer bisnis umumnya memiliki pengaruh besar di media sosial atau dikenal
sebagai influencer mikro atau Key Opinion Leaders (KOL) (Fathya, 2019). Berdasarkan hasil
wawancara dan kajian literatur, buzzer dan influencer dapat
dibedakan melalui beberapa karakter berikut:
1. Jumlah follower dan profil pemilik akun. Buzzer biasanya berasal
dari berbagai latar belakang mulai artis hingga orang biasa yang memiliki
ratusan hingga jutaan follower. Berbeda dengan buzzer, Influencer adalah
selebriti atau non-selebriti yang memiliki banyak pengikut, mayoritasnya adalah
mereka yang mempromosikan gaya hidup dan bekerja dengan perusahaan untuk
mengenalkan produk yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
2. Target pemasaran. Buzzer bekerja dengan tujuan memaksimalkan
cakupan audiens dan meningkatkan keterlibatan publik dalam waktu yang singkat.
Sementara cara kerja influencer adalah menarik perhatian publik dengan
keterbukaan dan keterusterangan dalam konten mereka yang relevan dan berkaitan
dengan� pengalaman publik, sehingga lebih
mudah memperoleh kepercayaan dan simpati dari masyarakat (Glucksman, 2017). Influencer memperoleh respon yang konsisten dari masyarakat di
media sosial.
3. Tingkat kepercayaan dan interaksi. Banyak buzzer yang tidak
menampakkan identitas asli mereka dalam akunnya. Karakter ini yang membuat
Buzzer tidak memperoleh kepercayaan dan interaksi yang konsisten dari
follower-nya. Influencer lebih mudah memperoleh kepercayaan follower juga
berinteraksi dan merespons mereka, sehingga pemasaran bekerja melalui percakapan
dua arah. Selain itu, pemasaran influencer melalui media sosial juga memberikan
kesempatan kepada para follower untuk terlibat satu sama lain dengan berbagi
pemikiran dan pengalaman mereka menggunakan produk. Hal ini memungkinkan
konsumen untuk terhubung ke suatu merek dengan cara baru dan efektif untuk
menarik pelanggan potensial.
4. Tingkat keterlibatan dalam topik pembicaraan atau interaksi dengan
akun. Konten pemasaran influencer dijalankan dengan cara tertentu menggunkaan
foto/ video produk, keterangan dan bahkan menceritakan konteks pembuatan konten
untuk memaksimalkan pengenalan produk atau merek melalui pendekatan terhadap
kepribadian individu, baik pemikiran pribadi, pendapat, maupun gaya (Glucksman, 2017). Menurut penelitian oleh (Glucksman, 2017), interaktivitas, keaslian dan kepercayaan diri adalah faktor
keberhasilan influencer untuk mendapatkan minat pengikut, membangun hubungan
antara mereka dan merek, dan mencapai tujuan kemitraan merek.
5. Tujuan pemasaran
menggunakan buzzer dalam pemasaran lebih
bertujuan untuk membangun atau meningkatkan kesadaran mengenai sebuah merek
produk sebagai yang dilakukan media tradisional seperti koran, radio dan
televisi untuk menjangkau publik. Tujuan lainnya yakni meningkatkan pengunjung
pada laman online dan partisipasi oleh komunitas online. Sedangkan tujuan
menggunakan influencer adalah untuk mempromosikan produk dan mendapatkan
perhatian pengikut yang dapat mengarah pada pembelian produk tersebut (Yulianto
& Setiadi, 2022).
6. Pemilihan penggunaan jasa. Buzzer dipilih dengan pertimbangan
jumlah follower, keterlibatan dan keaktifan akun, dan biaya yang dimiliki oleh
perusahaan. Sementara influencer dipilih oleh perusahaan berdasarkan target
audiens, tingginya peraihan atau keaktifan keterlibatan akun, jangkauan sosial
dan biaya yang dimiliki perusahaan (Nabila & Ulfa, 2022).
Seorang buzzer di media sosial dapat langsung dikenali melalui update status
yang diposting di akun
media sosialnya. Adapun ciri-ciri
akun buzzer adalah sebagai berikut:
1.
Akun buzzer
biasanya cukup aktif melakukan kegiatan di media sosial, misalnya update
status, memberikan komentar, dan lain-lain. Banyak buzzer yang memilih
menggunakan twitter karena lebih mudah dan cepat untuk membuat suatu topik atau
konten menjadi trending. Selian itu, buzzer juga memilih instagram sebagai
media pemasaran karena memudahkan menandai perusahaan atau merek dan
mengklasifikasikan topik yang dibicarakan dengan menggunakan hashtag sehingga
publik online dapat secara langsung mengunjungi sumber produk atau
konten-konten yang sudah terkelompokkan oleh hashtag. Terjadi fenomena baru
dalam usaha Buzzer pada masa pandemi, yakni meningkatnya permintaan untuk
menonton Ig Live atau Youtube Live.
2.
Seorang
buzzer biasanya memiliki pengaruh yang cukup besar, setidaknya di media sosial.
3.
Akun buzzer
selalu memiliki banyak followers di media sosial, setidaknya 5000 followers.
4.
Pada
umumnya akun buzzer memiliki akun media sosial yang palsu yang bertujuan untuk
membantu kegiatan kampanye.
5.
Akun buzzer
mempromosikan suatu produk atau isu tertentu ke publik dengan tujuan agar
followers terpengaruh, atau setidaknya mengetahui informasi tertentu.
6.
Akun buzzer
biasanya akan mempublish konten yang mirip selama periode tertentu, sesuai
kesepakatan dengan pihak pengguna jasanya.
7.
Akun buzzer
dituntut untuk membuat postingan suatu produk atau isu tertentu menjadi viral
sehingga mereka sering menyajikan konten yang menghasilkan pro dan kontra.
Kriteria Buzzer secara lebih khusus antara
lain sebagai berikut:
1.
Memiliki
Banyak Followers
Pengguna media sosial dengan banyak followers yang aktif
kemungkinan besar akan dihubungi oleh perusahaan tertentu untuk membantu
kampanye suatu produk atau isu tertentu. Selain memiliki banyak followers,
tentu saja pihak pengiklan akan memperhatikan tingkat respon followers terhadap
setiap postingan di media sosial (Saputra et
al., 2020).
2.
High
Impression
Impresi dan jangkauan akun adalah faktor penentu dalam pemasaran
buzzer. Pengaruh akun buzzer media sosial dapat dilihat melalui nilai tayangan
akun menggunakan fitur analitik seperti Hootsuite Insights, Buzz Sumo, atau
Penghitung Twitter. Semakin aktif suatu akun, semakin tinggi kesan yang
dimilikinya. Lebih lanjut, keberhasilan kerja buzzer ditandai oleh meningkatnya
popularitas merek dan produk yang telah mereka kerjakan. Skor penayangan konten
juga dipertimbangkan untuk menentukan honor buzzer (Fathya, 2019).
3.
Mudah
Dihubungi, responsif dan rajin berinteraksi
Buzzer harus mudah dihubungi oleh calon klien dan kliennya.
Sejalan dengan target memviralkan dan softselling, buzzer harus rajin membalas
atau merespon komentar dari konten yang dibagikan sehingga akun buzzer tak
terlihat seperti robot. Percakapan, diskusi atau perdebatan yang muncul justru
membuat jangkauan konten yang dibagikan bisa menjadi semakin luas. Buzzer yang
terlihat alami dan humanis juga akan menghasilkan citra yang positif bagi brand
atau perusahaan yang dipromosikan.
4.
Konten
Buzzer yang Sesuai Karakter
Beberapa public relation dan perusahaan memilih buzzer berdasarkan
karakter konten yang biasanya mereka posting. Ini bertujuan untuk membuat
postingan berbayar lebih alami dan menarik bagi publik.
5.
Mengusai
Softselling
Buzzer dituntut untuk kreatif dalam membuat konten yang unik dan
menonjol. Konten yang lebih disukai publik adalah yang sederhana dan tidak
secara terbuka membujuk pembaca melakukan sesuatu karena bahasa tulisan lebih
terkesan sebagai pendekatan pribadi dan jauh dari komersial. Lebih baik tampil
alami dan sebisa mungkin menghindari hardselling. Metode softelling lebih mudah
diterima dan menghasilkan interaksi yang lebih baik.
6.
Anger
Management yang Baik
Menjadi seorang buzzer harus dapat mengendalikan emosi dan mood
dengan sangat baik. Setiap postingan di media sosial pasti ada pro dan kontra,
bahkan ada saja komentar negatif yang memancing amarah. Para buzzer sukses
umumnya memiliki anger management yang baik sehingga dapat merespon pertanyaan
dan komentar dengan cara positif.
7.
Bertanggung
jawab dan Berkomitmen
Ketika memutuskan menerima kontrak dari klien, maka seorang buzzer
harus bertanggungjawab dan berkomitmen untuk menjalankannya sepenuh hati.
Kepuasan klien menjadi hal yang sangat penting bagi keberhasilan seorang
buzzer, sehingga para buzzer biasanya mengupayakan konten yang diposting
mendapatkan word-of-mouth yang lebih besar
8.
Memiliki
Product Knowledge
Sebelum membuat konten, para buzzer harus memiliki pengetahuan
yang baik tentang suatu produk atau isu tertentu yang akan dipromosikan di
media sosial. Dengan product knowledge yang baik, maka buzzer dapat menjelaskan
produk atau isu tertentu yang diangkat sehingga menghasilkan dampak yang lebih
besar�
9.
Memahami
Prime Time
Prime time untuk postingan di social media di pagi hari dimulai
pada jam 05.30 sampai dengan jam 09.30. Prime time di siang hari dimulai pada
jam 11.30 sampai dengan jam 13.30. Sedangkan prime time di sore hari dimulai
sejak jal 16.30 hingga jam 19.30 (Fathya, 2019).
Mekanisme kerja buzzer berbeda
dengan penyedia jasa iklan secara
umum. Berdasarkan wawancara terhadap Buzzer dan dari berbagai sumber tertulis, cara
kerja Buzzer dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Buzzer
mendaftar pekerjaan melalui komunitas, organisasi, agensi, penyedia jasa social
media marketing atau langsung kepada pengiklan dari public relations atau
advertisers perusahaan/lembaga. Buzzer direkrut sebagian secara acak dan
sebagian dilakukan melalui seleksi oleh public relations atau pengiklan.
2.
Kelompok
buzzer dikoordinasi oleh tim komunitas atau public relations perusahaan untuk
menerima pengarahan. Pengarahan menjelaskan target audiens yang dituju, harapan
perusahaan seperti jumlah posting, komen, like, penonton, jumlah klik, batas
waktu pelaksanaan, filosofi merek, gagasan kampanye, materi-materi terkait
(foto, logo, contoh produk, dll.) dan kompensasi pekerjaan yang berhak diterima
(dalam bentuk barang atau pembayaran) (Atherton, 2019).
3.
Buzzer
bekerja sebagaimana instruksi, dari mengunggah konten media sosial, memberikan
like pada post, video atau siarang langsung hingga menonton siaran langsung.
Biasanya buzzer mengunggah konten promosi pendek agar dibaca oleh follower pada
jam-jam sibuk ketika umumnya pengguna media sosial sedang aktif. Konten pos
dapat berupa membagikan informasi atai melaporkan topik tertentu.
4.
Buzzer
melaporkan pekerjaan mereka kepada koordinator, mayoritas dengan mengirimkan
bukti berupa tangkapan layar atau rekaman video. Koordinator akan memonitor
alur kerja dan memverifikasi kerja masing-masing buzzer. Pekerjaan Buzzer
dianggap berhasil ketika memenuhi empat pencapaian, yaitu jumlah respons yang
tinggi, tingkat pembagian yang tinggi, jumlah percakapan yang banyak tentang
suatu produk atau layanan dan peningkatan jumlah produk atau layanan yang
dijual (Atherton, 2019).
5.
Buzzer
menerima upah pekerjaan mereka.
Pemasaran yang halal dibangun dari aspek perilaku, aktifitas dan
operasi pemasar yang tidak melanggar atau kontradiktif dengan ajaran Islam.
Pemasaran harus dilakukan dengan dasar kepercayaan, dedikasi, kejujuran dan
ketaatan pihak-pihak terkait terhadap ketentuan perjanjian yang sesuai dengan
syariah, yakni meminimalisir kesulitan, menghasilkan kemakmuran dan kemanfaatan
bagi masyarakat, lingkungan, sekaligus keuntungan ekonomi. Prinsip-prinsip umum
dalam kegiatan pengiklanan dari perspektif Islam yang juga harus dijadikan
pedoman bagi aktifitas Buzzer antara lain tidak mengeksploitasi naluri dasar
konsumen, konten didasarkan pada kebenaran dan mengungkapkan atribut produk
secara lengkap, tidak memasarkan produk yang haram atau berbahaya serta mempromosikan
moderasi dalam konsumsi
(Al-Sirhan,
2011).
Hasil
wawancara terhadap para Buzze, aktifitas pemasaran yang mereka lakukan di media sosial pada awal munculnya profesi ini hanya
sebatas pada mempromosikan produk maupun merek
dengan menyebutkan spesifikasi produk. Hal ini selama sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka telah sesuai
dengan etika Islam. Namun, setelah merebaknya profesi ini dan kebutuhan akan pemasaran
buzzer, konten bergeser menyesuaikan permintaan perusahaan, lembaga maupun organisasi yang mengandung substansi yang terkadang tidak sesuai dengan kenyataan.
Hal ini tentu
melanggar prinsip-prinsip etika pemasaran Islami. Bentuk pelanggaran dalam aktifitas bisnis Buzzer terhadap etika pemasaran Islami, antara lain:
1. Melakukan iklan yang terlalu dramatis mengandung unsur penipuan.
Pemasaran yang menipu dalam berbagai bentuk, mulai dari
melebih-lebihkan atau salah dalam mengungkapkan fitur atau kinerja produk,
mengimingi pembeli yang impulsif melalui kata-kata yang menarik, menampilkan
demonstrasi setting-an, dll.
2. Mempromosikan produk yang tidak pernah digunakan dan tidak
berdasarkan ulasan pribadi, demi keuntungan pribadi. Pemasaran dalam perspektif
Islam harus didasarkan pada kebenaran dan mengulas secara lengkap seluruh
atribut produk.
3. Konten yang mengandung kepalsuan dan menyesatkan, menggunakan
ungkapan berlebihan dan samar tanpa menyebutkan fakta spesifik secara sengaja (Russo et al., 1981).
4. Mendorong materialisme, gaya hidup berlebih, pengeluaran yang
tidak perlu dan menciptakan nilai-nilai sosial yang tidak sesuai dengan ajaran
Hal ini melanggar etika pemasaran Islami karena pemasaran seharusnya tidak
mengeksploitasi naluri dasar konsumen dan harus menghindari hasrat yang tidak
pernah terpenuhi (Abdallah Al Serhan & Manal Al
Mashaleh, 2011). Pemasaran dalam Islam harus menganjurkan konsumsi sebagai bentuk
ibadah dan mempromosikan sikap moderat dalam mengkonsumsi segala sesuatu, baik
makanan, minuman, penggunaan barang dan lainnya.
5. Mempromosikan produk berbahaya. Muslim dilarang menjual termasuk
memasarkan produk yang haram maupun membahayakan.
6. Mengendalikan media dan publik dengan keberadaan/ keterlibatannya
di mana-mana.
7. Kelompok atau agensi buzzer membuat persona palsu dari ratusan
akun yang mereka kelola, kadang menggunakan strategi seperti konten persuasif,
mengunggulkan klien, atau menghina lawan klien mereka.
Bagi muslim yang berprofesi
sebagai Buzzer, maka hal-hal yang harus diperhatikan agar tidak melanggar etika Islam adalah sebagai berikut:
1. Setiap niat dan perbuatan harus berdasarkan pada ketaatan kepada
Allah dan mengikuti aturan Islam. Dengan mempromosikan di media sosial
berdasarkan prinsip-prinsip Islam, buzzer dapat melaksanaan kewajiban agamanya.
2. Mempertimbangkan dua unsur dari pekerjaannya yaitu the manner dan
the matter (Chiu et al., 2012). The matter mengacu pada produk, jasa atau program yang
dipromosikan: harus halal, sesuai hukum Islam, memberi manfaat (maslahah) dan
tidak berbahaya (mafsadah). The manner mengacu pada pelaksanaan marketing yang
harus koheren dengan etika pemasaran Islam.
3. Menghindari pesan provokatif untuk promosi dan periklanan. Islam
melarang persaingan tidak sehat dalam kegiatan bisnis atau komersial
sebagaimana disebutkan dalam Qur' an, 2: 282 dan Qur'an, 4:29. Muslim dilarang
menjatuhkan satu sama lain, termasuk dalam hal bisnis. Maka, buzzer muslim
tidak boleh jatuh dalam persaingan bebas atau persaingan bisnis tidak sehat.
Marketer muslim harus memperhatikan dampak perkataan atau tindakannya terhadap
lingkungan dan masyarakat sekitar, serta generasi berikutnya. Dalam persepektif
Islam, persaingan bukan mengenai menang atau kalah, namun balapan dengan hasil
menang dan menang. Lawan bisnis dianggap sebagai mitra yang saling
menguntungkan dan bersaing dalam kebaikan. �... saling bersaing dalam pekerjaan
yang baik... �(Qur�an, 2: 148). Dalam Al-Qur�an, 'Fastabiqul Khairat' berarti
bergegas berbuat lebih baik pada diri sendiri lebih banyak lagi dengan orang
lain (hablun min an-naas) baik Muslim maupun non-Muslim dalam hal apa pun,
terutama dalam bisnis yang melibatkan kehidupan banyak orang.
4. Tidak menggunakan gambar dan kata-kata yang mengandung daya tarik
seksual. Daya tarik seksual, daya tarik emosional, daya tarik teror, iklan
bawah sadar dan pseudo-ilmiah dianggap mengandung unsur paksaan (Budiman, 2017,
hal. 936). Menurut prinsip-prinsip Islam, segala sesuatu yang memiliki unsur
paksaan dikategorikan tidak etis untuk digunakan sebagai alat pemasaran dan/
atau komunikasi. Kebebasan konsumen dalam memutuskan pembelian harus dilindungi
dari semua elemen koersif dalam bentuk apa pun. Buzzer Muslim harus memastikan
bahwa konten pemasaran mereka bebas dari elemen ini.
5. Tidak mempromosikan gaya hidup yang boros atau pengeluaran
berlebihan. Al-Quran (17: 26-27) melarang pemborosan dalam hal apa pun.
Konsumsi berlebihan dalam bentuk israf (boros) serta tabdzir
(menghambur-hamburkan uang tanpa keperluan) merupakan hal yang dikutuk dalam
Islam. Prinsip ini menyoroti isu periklanan yang menciptakan kebiasaan tidak
sehat dan menjadikan perilaku masyarakat dapat menyimpang menjadi norma berupa
gaya hidup berlebihan yang tidak sesuai dengan etika.
6. Memberikan informasi berdasarkan kebenaran. Hindari membuat kesan
yang salah dengan memberikan informasi tentang produk atau layanan yang tidak
sesuai dengan kondisi, kemanjuran dan manfaat yang diperoleh atau ungkapan yang
ambigu. Islam menyatakan tindakan ini sebagai penipuan yang haram pada dasarnya
karena tidak mengandung kejujuran dan mengandung pelanggaran terhadap asas
keadilan (Quran, 4: 135). Promosi yang tidak etis dan bahkan 'dikutuk' adalah
promosi atau iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, membesar-besarkan atau
mengurangi kualitas, kualitas atau kuantitas produk dengan maksud menipu, atau
juga untuk menunjukkan dan mengungkapkan pernyataan yang dapat mendistorsi
konsumen. Pada dasarnya, konsumen berhak menerima informasi yang benar dan juga
tentang barang dan jasa yang ditawarkan.
7. Tidak memanipulasi atau menyembunyikan fakta apa pun, jujur dan
bebas dari penipuan. Manipulasi seperti ini memberikan kesan palsu sehingga
dikategorikan sebagai tadlis (penipuan) dan bertentangan dengan prinsip
kejujuran. Manipulasi di sini maknanya cenderung pada aktifitas buzzer yang
melakukan komunikasi dan menyampaikan maksud dan tujuan dari barang atau jasa
yang ditawarkannya, sementara kesan salah pada poin 6 secara khusus difokuskan
pada produk atau layanan. Buzzer tidak boleh memberikan testimoni palsu yang
tidak pernah mereka alami atau dapatkan sebelumnya, atau melebih-lebihkan
konten dengan tujuan meningkatkan penjualan atau meningkatkan citra perusahaan.
Umat Islam harus menjauhi kebohongan dan penipuan pada setiap hal (Al-Quran,
26: 181). Dari perspektif Islam, jika buzzer merasa bertanggung jawab kepada
Tuhan, maka ia hanya akan memberikan informasi yang benar tentang kualitas,
konten, dll (Ahmad & Ghani, 2016).
8. Tidak memikat orang untuk percaya adanya hadiah atau diskon ketika
faktanya tidak ada.
Dengan mengetahui aturan-aturan ini, Buzzer muslim tetap dapat
menjalankan pekerjaannya sesuai ajaran Islam. Selain itu, perusahaan dan public
relation juga dapat melayani kebutuhan spiritual Buzzer Muslim dalam
menjalankan pekerjaan.
Kesimpulan
Dalam perspektif Islam,
aktifitas Buzzer harus didasarkan pada asas kemahaesaan Tuhan yang menjadi
tiang akidah, berbingkai Fikih muamalah sebagai pedoman dan akhlak/etik sebagai
pengawal. Buzzer muslim harus mempertimbangkan dua unsur dari pekerjaannya
yaitu the manner dan the matter. The matter mengacu pada
produk, jasa atau program yang dipromosikan: harus halal, sesuai hukum Islam,
memberi manfaat (maslahah) dan tidak berbahaya (mafsadah). The manner mengacu
pada pelaksanaan marketing yang harus koheren dengan etika pemasaran Islam. Hasil
penelitian ini dapat menjadi dasar bagi Buzzer agar dapat menghindari
pelanggaran terhadap hukum dan etika Islam. Pengetahuan mengenai etika ini juga
bermanfaat bagi perusahaan dan public relations, sehingga pihak-pihak tersebut
tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan spiritual Buzzer Muslim tetapi juga dapat
menyempurnakan strategi brand �Halal� yang diusung.
BIBLIOGRAFI
Abdallah Al Serhan, M. D., & Manal Al Mashaleh, M.
D. (2011). Spectrum of micro-organisms and anti-microbial resistance of Gram
negative micro-organisms in the intensive care unit at King Hussein Hospital. Journal
of the Royal Medical Services, 18(1), 56.
Ahmad, N. A., & Ghani,
M. A. (2016). Dasar wanita negara: Daripada polisi kepada pelaksanaan. Jurnal
Pembangunan Sosial, 19, 69�86.
Al-Sirhan, B. (2011). The
Principle of Islamic Marketing.
Anwar, M., & Saeed, M. (1996). Promotional tool of
marketing: an Islamic perspective. Intellectual Discourse, 4(1&2).
Atherton, J. (2019). Social media strategy: A
practical guide to social media marketing and customer engagement. Kogan
Page Publishers.
Chiu, Y.-S. P., Chen, K.-K., & Ting, C.-K. (2012).
Replenishment run time problem with machine breakdown and failure in rework. Expert
Systems with Applications, 39(1), 1291�1297.
Dalimunthe, H. A., & Sihombing, D. M. B. (2020).
Hubungan Penerimaan Diri dengan Kecenderungan Narsistik pada Mahasiswa Pengguna
Instagram di Universitas Medan Area. Journal of Education, Humaniora and
Social Sciences (JEHSS), 2(3), 697�703.
Fathya, F. (2019). Apa Itu Buzzer? Bagaimana
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Bisnis?
https://blog.sribu.com/id/pengertian-buzzer/
Glucksman, M. (2017). The rise of social media
influencer marketing on lifestyle branding: A case study of Lucie Fink. Elon
Journal of Undergraduate Research in Communications, 8(2), 77�87.
Liana, M. P. I. (2012). Penggunaan Media Sosial Di
Kalangan Pengurus Organisasi Profesi Public Relations (Studi pada Pengurus
Perhimpunan Hubungan Masyarakat Malang Raya). University of Muhammadiyah
Malang.
Manullang, R. (2020). Tip Sukses Jadi Konsultan
Manajemen Bisnis. Big Corp.
Nabila, F. A. T., & Ulfa, S. N. (2022). Strategi
Conversational Marketing Prepp Studio Dalam Membangun Engagement Dengan
Followers Di Instagram. Eqien: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 11(1),
1057�1068.
Russo, J. E., Metcalf, B. L., & Stephens, D.
(1981). Identifying misleading advertising. Journal of Consumer Research,
8(2), 119�131.
Saputra, D. H., Sutiksno, D. U., Kusuma, A. H. P.,
Romindo, R., Wahyuni, D., Purnomo, A., & Simarmata, J. (2020). Digital
Marketing: Komunikasi Bisnis Menjadi Lebih Mudah. Yayasan Kita Menulis.
Shafiq, A., Haque, A., & Abdullah, K. B. (2016). A
collection of Islamic advertising principles. Conference Paper.
Yulianto, A., & Setiadi, R. (2022). Digital
Marketing: Revolusi Pemasaran Tradisional Menuju Masa Depan. Gosyen
Publishing.
Copyright holder: Rabi�atul Adawiyah (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |