Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
EFEK UMUR SIMPAN TERHADAP KUALITAS TELUR LAYER PASAR TRADISIONAL KOTA
AMBON
Muhammad Juraid Wattiheluw,
Lily Joris, Fatma Wati
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui efek umur simpan terhadap kualitas telur layer di pasar
tradisional Kota Ambon. Metode yang digunakan ialah metode analisa statistik deskriptif
dengan melihat nilai rata-rata dan standar deviasi. Hasil pengamatan menunjukkan
tidak ada perbedaan dari ketiga sumber dilihat dari susut bobot telur, nilai Haugh
Unit, Indeks putih telur, indeks kuning telur, pH telur dan ukuran rongga udara.
Penyusutan bobot telur tertinggi terjadi pada telur yang disimpan selama 6 minggu,
nilai Haugh Unit tertinggi pada telur segar dan ukuran rongga udara terbesar
adalah telur yang disimpan selama 6 minggu. Kesimpulan Kualitas telur ayam ras dipasar
tradisional Kota Ambon mengalami penurunan mulai pada hari ke 14.
Kata Kunci: Telur ayam
layer; umur simpan; kualitas telur.
Abstract
This
study aims to determine effect the length of storage time on the quality of layer
eggs traditional market Ambon City. The method is using descriptive statistical
analysis by looking at the average value, standard deviation and graphed. The results
showed no differences from the third source of shrinkage seen egg weight, Haugh
unit value, index egg white, egg yolk index, egg and measure pH airspaces. Depreciation
egg weight was highest in eggs stored for 6 weeks, the highest value of Haugh units
on fresh eggs and the size of the largest air cavity is eggs stored for 6 weeks.
Conclusion The quality of eggs traditional market decreased Ambon start at day 14.
Keywords: layer
chicken egg; shelf life; quality of eggs.
Pendahuluan
Telur merupakan makanan
sumber protein yang lengkap. Di samping itu, telur sangat mudah diperoleh baik di kota maupun di
desa dan telur selalu tersedia setiap saat tanpa mengenal musim serta harganya terjangkau.
Ketersediaan yang tidak mengenal musim, ini ternyata sering kali tidak diikuti dengan
penyimpanan yang memadai. Kandungan gizi telur yang tinggi dan penanganan yang tidak
memadai akan mempercepat terjadinya pembusukan sehingga nilai gizinya akan menurun (Yanti,
2020).
Telur memiliki
kandungan nilai gizi yang tinggi sehingga telur mudah rusak akibat
mikroorganisme, benturan atau gesekan. Umumnya telur akan mengalami kerusakan
setelah di simpan lebih dari 2 minggu di ruang terbuka. Kerusakan tersebut
meliputi kerusakan yang nampak dari luar dan kerusakan yang baru dapat di
ketahui setelah telur pecah (Retnaningsih, 2021).
Sebagai bahan
pangan yang murah dan memiliki nilai protein yang tinggi telur sangat diminati
oleh berbagai kalangan masyarakat. Di kota Ambon telur banyak diminati oleh
masyarakat namun minimnya jumlah peternakan ayam layer sehingga
mempengaruhi jumlah pasokan telur yang harus dipenuhi dipasar karena tidak
dapat memenuhi kebutuhan pasar maka banyak didatangkan telur-telur dari luar pulau Ambon (Herlina,
Syarifudin, & Yulia, 2019). Telur-telur di
kota Ambon kebanyakan didatangkan dari daerah Surabaya dan Jakarta dengan
menggunakan kapal pengangkut barang yang lama waktu perjalanan kurang lebih satu minggu.
Penyimpanan
telur memegang peranan yang penting dalam menjaga kualitas telur, bila
dilakukan dengan cara yang salah maka telur akan cepat menjadi rusak. Cara
penyimpanan yang dilakukan pada agen telur di kota Ambon pada waktu pasaran
sepi tidak dengan cara yang tepat, dalam hal ini tidak ada ruangan khusus untuk
menyimpan telur-telur yang belum habis terjual (Fararen,
2021). Mereka
menyimpan dengan barang - barang dagangan yang lain, juga tidak memperhatikan
suhu dan kelembaban yang optimal untuk penyimpanan telur. Telur yang
mengalami penyimpanan tentunya mengalami perubahan aroma sehingga kualitas telur menurun, dimana kualitas yang
terbaik berada pada saat ditelurkan. Telur akan mengalami perubahan seiring dengan
lamanya penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya
penguapan cairan dan gas dari
dalam telur semakin banyak (Jaya,
2018).
Telur yang beredar
di pasar tradisional kota Ambon saat ini selain yang berasal dari peternakan yang
ada di kota Ambon, menurut Dinas Perindustrian Dan Perdagangan kota Ambon
sebagian besar telur berasal dari kota Surabaya yang didatangkan sebanyak 5-7
kontainer per minggu (880-890 ikat) dengan jumlah 180 butir/ikat. Ada dua
kualitas yang berbeda pada telur yang didatangkan dari kota Surabaya yakni
telur dengan kualitas standar dan telur Surabaya cap jangkar yang dianggap
memiliki kualitas paling baik, selain dari Surabaya ada juga yang berasal dari
Makassar tetapi dengan jumlah yang kecil sehingga peredaraannya tidak diketahui (Zainol,
Ronasari, & Ninin Khoirunnisa, 2019).
Berdasarkan
berbagai penelitian pengawetan telur yang telah dilakukan dengan tujuan untuk
memperpanjang umur simpan telur agar dapat dikonsumsi kapan saja dan tidak
mengalami penurunan kualitas. Kualitas telur ditentukan oleh banyak faktor salah
satunya lama penyimpanan telur itu sendiri, semakin lama telur disimpan maka
kualitas telur menurun.
Berdasarkan uraian
diatas maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui efek umur simpan
terhadap kualitas telur layer dari pasar
tradisional yang bersumber di dalam dan luar kota Ambon.
Metode Penelitian
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu telur
ayam layer (Ras konsumsi) yang berada di pasar tradisional Kota Ambon sebanyak
105 butir (Yoris
& Fredriksz, 2019).
Prosedur Penelitian
Pengumpulan telur dari para pedagang atau agen penjual telur
yang berada di pasar tradisional kota Ambon dengan seleksi telur yang tidak pecah dan retak,
kerabang telur bersih, berat dan warna telur hampir sama. Kemudian telur yang digunakan
sebanyak 105
butir, selanjutnya dilakukan penyimpanan telur pada suhu ruang pada rak telur dan penelitian di
lakukan 7 tahap pengamatan dan penilaian yakni: tahap I hari ke 1, tahap ke II
hari ke 7, tahap ke III hari ke 14, tahap ke IV hari ke 21, tahap ke V hari 28,
tahap ke VI hari ke 36 dan tahap ke VII hari ke 42.
Pengukuran suhu menggunakan termometer dan kelembaban
menggunakan hygrometer, pengamatan dilakukan tiga kali sehari yakni pagi pukul
08.00-09.00 WIT, siang pukul 12.00-13.00 WIT dan sore pukul 16.00-17.00 WIT.
Variabel yang diamati pada penelitian
ini adalah penyusutan bobot telur (Fajriana,
Djaelani, & Gunawan, 2020). Haugh Unit (Silversides dan
Villeneuve, 1994), indeks putih telur (Fibrianti
et al., 2012), indeks kuning telur
(Yuwanta, 2008), pH, rongga udara (Djaelani, 2016).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah metode eksperimen. Menggunakan analisis data secara statistik deskriptif
dengan menghitung rata-rata dan standar deviasi.
Rumus : X = |
|
keterangan :
x = rata-rata hitung
x,= nilai sampel ke-i
n = jumlah sampel
Hasil dan Pembahasan
Telur merupakan salah satu produk peternakan
unggas yang memiliki kandungan gizi lengkap dan mudah dicerna. Meskipun telur
terbungkus oleh kerabang yang relatif tebal tetapi kerabang tersebut mempunyai
banyak pori-pori yang memungkinkan bakteri masuk ke dalam telur, atau terjadi pertukaran
gas dari luar ke
dalam telur sehingga mengubah kualitas internal telur. Telur dapat mengalami perubahan kualitas
ketika disimpan, seperti penyusutan bobot telur, Haugh Unit (HU), Indeks Putih Telur (IPT), Indeks Kuning Telur (IKT), pH telur, dan rongga udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
telur ayam layer yang diperoleh dari
pasar tradisional di Kota Ambon memiliki kualitas, seperti Tabel di bawah ini:
Tabel 1.
Tabel Hasil Rata-Rata
Penyusutan Berat Telur, Nilai HU, IPT, IKT, pH Telur dan Kedalaman Rongga udara
�Asal Telur |
Umur Simpan (hari) |
Jumlah |
Rata-rata |
||||||
0 |
7 |
14 |
21 |
28 |
36 |
42 |
|||
Penyusutan Bobot Telur (%) |
|||||||||
P1 |
0 |
1,008 |
4,212 |
3,120 |
5,152 |
6,186 |
8,088 |
27,767 |
3,967 |
P2 |
0 |
0,901 |
1,574 |
2,842 |
3,535 |
4,676 |
5,624 |
19,150 |
2,736 |
P3 |
0 |
1,122 |
1,627 |
2,959 |
3,166 |
4,475 |
6,348 |
19,700 |
2,814 |
Haugh Unit |
|||||||||
P1 |
67,523 |
42,666 |
3,425 |
0 |
-25,470 |
-9,816 |
0 |
78,332 |
11,190 |
P2 |
65,529 |
46,962 |
7,946 |
-1,925 |
-65,668 |
-87,859 |
-43,919 |
-78,935 |
-11,276 |
P3 |
47,685 |
47,842 |
-0,814 |
-11,930 |
-49,930 |
-75,140 |
-77,930 |
-120,2 |
-17,171 |
Indeks Putih |
|||||||||
P1 |
0,012 |
0,095 |
0,054 |
0,042 |
0,038 |
0,056 |
0,022 |
0,319 |
0,045 |
P2 |
0,013 |
0,058 |
0,054 |
0,050 |
0,076 |
0,052 |
0,020 |
0,324 |
0,046 |
P3 |
0,008 |
0,068 |
0,069 |
0,024 |
0,038 |
0,035 |
0,022 |
0,264 |
0,037 |
Indeks Kuning |
|||||||||
P1 |
0,083 |
0,007 |
0,003 |
0 |
0 |
0 |
0 |
0,093 |
0,013 |
P2 |
0,072 |
0,007 |
0,007 |
0,005 |
0 |
0 |
0 |
0,091 |
0,013 |
P3 |
0,072 |
0,007 |
0,003 |
0,003 |
0 |
0,002 |
0 |
0,086 |
0,012 |
pH telur |
|||||||||
P1 |
8,800 |
8,200 |
8,300 |
8,400 |
8,000 |
7,800 |
8,600 |
58,000 |
8,286 |
P2 |
8,700 |
9,000 |
8,000 |
7,800 |
8,600 |
8,200 |
7,800 |
58,000 |
8,286 |
P3 |
9,000 |
8,400 |
8,000 |
8,000 |
7,600 |
8,000 |
8,200 |
57,200 |
8,171 |
�Rongga Udara (mm) |
|||||||||
P1 |
1,390 |
4,780 |
7,180 |
9,070 |
9,450 |
10,970 |
14,260 |
57,100 |
8,160 |
P2 |
2,220 |
6,970 |
6,730 |
9,350 |
12,620 |
11,370 |
12,370 |
61,630 |
8,800 |
P3 |
2,620 |
6,840 |
6,970 |
9,280 |
9,910 |
11,780 |
10,800 |
58,200 |
8,310 |
Keterangan :
P1��������� : Telur layer Ambon
P2��������� : Telur layer Surabaya (merek jangkar)
P2��������� : Telur layer Surabaya (merek luky)
Penyusutan Bobot telur
Penurunan bobot telur selama penyimpanan
dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kelembaban. Selama penyimpanan suhu rata-rata
ruangan adalah 27,62�C dengan kelembaban 79,07%. Hasil penelitian telur layer P1 adalah telur yang masih segar dan memiliki bobot telur
rata-rata 62-70 gr sedangkan telur P2 dan P3 adalah telur yang sudah berumur
lebih dari 1 minggu dengan berat rata-rata 52-60 gr. Hasil penimbangan bobot
pada telur dilakukan setiap minggu di dapat rata-rata penyusutan bobot telur
adalah P1 (3,967%), P2 (2,736%) dan P3 (2,814%) (Prasetia,
Nova, Riyanti, & Septinova, 2022).
Suhu dan kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan
penurunan bobot telur semakin cepat (Saputra,
Septinova, & Kurtini, 2015). Suhu penyimpanan
25�C dengan kelembaban relatif 70% akan menyebabkan telur kehilangan berat
0,8gr/minggu/butir dan pada suhu 30�C telur akan kehilangan berat sebesar
2gr/minggu/butir. Apabila kelembaban relatif meningkat menjadi 80%, maka penurunan
berat air dalam telur bertambah sebesar 20 mg/hari/butir pada bobot telur 60gr.
Penyusutan bobot telur yang
terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh penguapan air
dan pelepasan gas CO2 dari dalam isi telur melalui pori-pori
kerabang. Penguapan dan pelepasan gas ini terjadi secara terus menerus selama
penyimpanan sehingga semakin lama telur disimpan bobot telur akan semakin
berkurang (Astuti,
Nova, Sutrisna, & Septinova, 2022).
Meskipun penurunan rata-rata per minggu
tidak menunjukan perbedaan
yang besar akan tetapi dari hasil penelitian penyusutan bobot telur
per minggu terdapat perbedaan dari ketiga perlakuan yakni pada minggu pertama
penyusutan tertinggi terjadi pada P3 (1,122%�0,28) diikuti dengan P2 (1,008%�2,83) kemudian P1
(0,901%�0,30), pada minggu
kedua penyusutan tertinggi terjadi pada P1 (4,212%�0,46) diikuti dengan P3 (1,627%�0,64) kemudian P2
(1,574%�0,95). Hal
ini dapat diasumsikan bahwa meskipun telur P1 merupakan telur segar tetapi
besar telur juga mempengaruhi penyusutan bobot telur sesuai dengan hasil
penelitian Widiyanto (2003) yang menyatakan selain faktor penyimpanan, besar
telur juga berperan penting dalam menentukan kualitas internal telur. Telur
yang besar memiliki pori-pori yang banyak sehingga pengeluaran CO2
melalui pori-pori telur selama penyimpanan bertambah dan mempercepat penurunan
kualitas isi telur. Semakin berat telur tersebut,
maka jumlah putih
telur yang ada juga semakin tinggi (Sihombing,
Kurtini, & Nova, 2014).
Suhu dan kelembaban yang cukup tinggi
akan menyebabkan penurunan berat semakin cepat. Salah satu penyebab penyusutan bobot
telur P2 dan P3 tidak sebesar penyusutan P1 diasumsikan sebelum dilakukan
proses pengiriman dari Surabaya (P2 dan P3) dan beredar dipasaran kota Ambon
telur P2 dan P3 sudah mendapatkan penanganan awal seperti membersihkan telur
supaya telur bisa bertahan lebih lama berbeda halnya dengan telur yang berasal
dari peternakan yang berada di kota Ambon (P1) yang langsung dipasarkan tanpa
mendapatkan penanganan awal terlebih dahulu (Adijaya,
2018).
Dari hasil penimbangan pada minggu ke 6 bobot
telur P1 (67,151gr), P2 (58,357gr) dan P3 (55,092gr) berdasarkan bobot telur
akhir diketahui bahwa telur dengan berat tersebut masih layak untuk dipasarkan
akan tetapi telah terjadi penurunan kualitas telur yaitu ditandai dengan
terjadinya penyusutan bobot telur. Konsumen diharapkan tidak hanya membeli telur
berdasarkan berat dan besarnya telur tetapi konsumen harus bisa membedakan
antara telur yang sudah banyak mengalami penyusutan dan penurunan kualitas
dengan cara melihat bobot
dan besar telur harus sesuai.
Haugt Unit (HU)
HU adalah satuan yang dipakai untuk mengukur kualitas
telur dengan melihat kesegaran isinya. Semakin tinggi nilai HU telur, semakin
baik kualitas telur tersebut, semakin rendah nilai HU maka putih telur akan sangat encer dan meluas.
Meluasnya putih telur ini terutama disebabkan oleh bertambahnya usia telur dan
meningkatnya pencairan diakibatkan oleh suhu penyimpanan yang tinggi dan
kelembaban rendah. Faktor-faktor seperti perubahan suhu dan meningkatnya
kelembaban menghilangkan CO2 dari telur yang diperparah dengan lama penyimpanan.
Hasilnya adalah gangguan dalam struktur putih yang menyebabkan putih telur menjadi
transparan dan semakin berair (Worang, Sondakh, Palar, Rumondor, & Wahyuni,
2022).
Hasil penelitian nilai HU telur layer pada hari pertama rata-rata P1 (67,523�8,94), P2 (65,529�28,44) dan P3 (47,685�17,76) setelah
disimpan selama 1 minggu memiliki nilai HU P1 (42,666�10,06), P2 (46,962�12,59) dan P3 (47,842�16,25) dan telur dengan lama penyimpanan 2 minggu hanya
telur P1 (3,425�23,60) dan P2
(7,946�6,10) yang masih
dapat dihitung nilai HU,
sedangkan telur P3 sudah tidak bisa dihitung. Hal ini menunjukan bahwa
telur-telur tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi bila lebih dari 2
minggu berada dipasar karena tidak adanya upaya pengawetan terhadap telur.
Meskipun tidak menunjukkan pengaruh yang
nyata akan tetapi dilihat dari rata-rata penurunan per minggu P1 dan P2 mengalami
penurunan nilai HU yang
tinggi jika dibandingkan dengan P3. Rata-rata nilai HU telur layer cenderung menurun dengan meningkatnya lama penyimpanan.
Hal ini dimungkinkan akibat adanya penguapan CO2 dari dalam telur,
sehingga pH meningkat dan merusak lapisan ovomucin akibatnya putih telur
akan semakin encer. Hasil tersebut menunjukkan semakin lama penyimpanan nilai HU akan semakin menurun akibat adanya
penguapan air dan gas seperti CO2 yang menyebabkan putih telur
kental semakin encer. Kenaikan
pH putih telur menyebabkan kerusakan serabut serabut ovomucin (yang memberikan
tekstur kental) menyebabkan kekentalan putih telur menurun (Djaelani,
2016). Pengenceran
bagian putih telur kental disebabkan oleh adanya kerusakan fisikokimia dari
serabut ovomucin. Ovomucin merupakan glikoprotein yang berbentuk
serabut atau jala-jala yang dapat mengikat cairan telur untuk dibentuk menjadi
struktur gel pada putih telur (Andika,
Anwar, & Jiyanto, 2021).
Indeks Putih Telur (IPT)
Hasil penelitian pengaruh sumber telur
yang berbeda selama penyimpanan dalam suhu ruang terhadap rata-rata nilai IPT pada hari
pertama P1 (0,012�0,00), P2
(0,013�0,01) dan P3
(0,008�0,01). Sedangkan nilai rata-rata
dari IPT pada
masing-masing perlakuan yaitu P1 (0,045), P2 (0,046) dan P3 (0,037).
Penurunan nilai IPT rata-rata per minggu tidak memiliki perbedaan akan
tetapi dilihat dari data penurunan per minggu terdapat perbedaan antara P1, P2
dan P3 yaitu di mana pada minggu pertama nilai IPT tertinggi ada pada P1 (0,095�0,01) diikuti oleh P3
(0,068�0,01)
kemudian P2 (0,058�0,01). Pada minggu kedua nilai tertinggi IPT pada P2 (0,069)
sedangkan minggu ketiga nilai terendah IPT ada pada P3 yaitu (0,024) dengan P1 dan P2 memiliki
nilai IPT yang
sama yaitu (0,054). Pada minggu keempat nilai IPT tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (0,076), minggu kelima nilai
terendah diperoleh dari perlakuan P3 (0,035), minggu terakhir terdapat sedikit
perbedaan pada nilai IPT
dari ketiga perlakuan terlihat pada Tabel.
Nilai IPT sangat bervariasi karena perbedaan
kualitas telur. Rataan nilai indeks telur pada hari pertama masing-masing P1 (0,0119)
P2 (0,0132) dan P3 (0,0083) nilai tersebut dibawah nilai kisaran normal. Semakin
lama umur telur, IPT semakin
menurun, sesuai dengan menurunnya tinggi putih telur. Dengan bertambahnya waktu
penyimpanan, maka tinggi lapisan kental akan menurun. Hal ini disebabkan
permukaan putih telur semakin meluas akibat bertambah encernya putih telur
karena penguapan CO2 dari putih telur dan perubahan pH
dari asam menjadi basa. Menurut BSN (2008) telur yang masih
segar nilai IPT berkisar antara
0,050-0,174. IPT menurun karena
penyimpanan, karena pemecahan ovomucin yang dipercepat pada pH yang tinggi.
Hasil penelitian dapat diasumsikan perbedaan penurunan kualitas telur yang
bervariasi dari masing-masing pelakuan pada setiap minggunya disebabkan telur-telur
tesebut memiliki umur yang berbeda sebelum dipasarkan.
Penurunan nilai IPT disebabkan
penguapan yang terjadi terhadap telur selama proses penyimpanan yang
menyebabkan putih menjadi encer. Menurut Cornelia et al., (2014) penguapan
air selama penyimpanan, terutama pada bagian putih telur dan sebagian kecil
oleh penguapan gas-gas seperti CO2, NH3, N2 dan H2 akibat degradasi komponen
organik telur. Hal ini
terjadi sejak telur keluar dari tubuh ayam melalui pori-pori
kerabang telur dan berlangsung secara terus menerus sehingga menyebabkan
penurunan kualitas putih telur.
Keadaan ini karena tidak
tertutupnya pori-pori kulit telur dengan sempurna dan temperatur lingkungan
cukup tinggi sehingga terjadinya penguapan H2O dan CO2. Putih
telur selama penyimpanan dapat mengalami berbagai perubahan yang disebabkan
oleh sifat fisiko-kimia telur. Kehilangan CO2 melalui pori-pori kulit dari
albumen menyebabkan perubahan fisik dan kimia. Selama beberapa jam pertama
setelah ditelurkan, telur tersebut akan kehilangan banyak CO2 dan di dalam
albumen akan terkandung juga asam karbonat dalam keseimbangan dengan jumlah
CO2. Pembebasan karbondioksida dapat menyebabkan pemecahan asam karbonat
menjadi karbondioksida dan air (Hardianto, 2017).
Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa
penurunan kualitas kekentalan putih telur sebagian besar terjadi pada
penyimpanan selama 2 minggu dimana putih telur sudah semakin encer. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kekentalan putih telur terutama disebabkan oleh
terjadinya kerusakan fisiko kimia dari serabut ovomucin yang berakibat keluarnya air dari jala-jala yang telah
dibentuknya (Tooy,
Lontaan, Karisoh, & Wahyuni, 2021).
Indeks Kuning Telur (IKT)
Hasil penelitian pengaruh sumber telur
yang berbeda selama penyimpanan dalam suhu ruang terhadap rata-rata nilai IKT pada hari
pertama ialah P1 (0,0825�0,01), P2
(0,0723�0,02) dan P3
(0,0716�0,00) dengan
nilai rata-rata pada setiap perlakuan P1 (0,013), P2(0,013) dan P3 (0,012).
Rata-rata nilai IKT
menunjukkan bahwa dari manapun sumber telur tersebut maka penurunan nilai indeks
kuning tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kuning telur yang
berasal dari luar kota Ambon memiliki kualitas yang sama dengan telur yang
berasal dari peternakan ayam petelur yang berada di kota Ambon.
Meskipun rata-rata per minggu tidak menunjukan adanya perbedaan yang besar antara ketiga
perlakuan akan tetapi dari pengamatan pada hari pertama IKT rata-rata ialah
P1 (0,0825), P2 (0,0723) dan P3 (0,0716). Pada penyimpanan minggu pertama pada suhu ruang
telur mengalami penurunan yang cukup drastis yakni menjadi 0,007 (P1, P2 dan
P3) dan pada minggu kedua nilai tertinggi terdapat ada pada P2 (0,007) dan diikuti P1
dan P3 (0,003) sama
halnya dengan minggu ketiga nilai tertinggi ada pada P2 (0,005) yang diikuti
oleh P3 (0,003)
sedangkan untuk P1 sudah tidak bisa diukur lagi dan pada pengamatan minggu
keempat nilai IKT tidak
bisa diukur pada semua perlakuan. Menurut Tarigan (2003) telur segar mempunyai
indeks telur antara 0,30-0,50 dengan rata-rata 0,39-0,45.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari
semua perlakuan tidak ada telur yang masih segar karena nilai IKT sudah mengalami
penyusutan dan jauh dari IKT segar.
Jika ditinjau dari umur telur, telur yang berasal dari luar kota Ambon (P2 dan
P3) harusnya memiliki nilai IKT lebih rendah dari telur yang berasal dari kota Ambon
karena telah mengalami proses penyimpanan yang lebih lama dari P1. Akan tetapi
justru telur yang berasal dari kota Ambon mengalami penyusutan nilai IKT lebih cepat
dari P2 dan P3 hal ini diasumsikan bahwa telur-telur yang berasal dari luar
kota Ambon (P2 dan P3) telah mengalami penanganan atau perlakuan tertentu
sebelum dilakukan proses pengiriman yang membutuhkan waktu berhari-hari dan
bahkan membutuhkan proses penyimpanan yang cukup lama sebelum telur jual kepada
konsumen.
IKT merupakan indeks kesegaran mutu telur yang diukur
dari tinggi dan diameternya. Perubahan IKT disebabkan adanya penurunan elastisitas membran
vitelina akibat tejadinya perbedaan tekanan osmotik sebesar 1,8 atmosfir oleh
adanya penguapan air dari putih telur. Adanya perbedaan tekanan tersebut akan
menyebabkan terjadinya aliran air secara kontinu dari bagian kuning melewati
membran vitelina. Proses ini dapat menyebabkan penurunan elastisitas membran
vitelina dan memberasnya bagian kuning telur (Tarigan, 2003).
pH Telur
Hasil penelitian menunjukan bahwa
rata-rata pH telur pada hari pertama yaitu P1 (8,8�0,84) P2 (8,7�1,64) dan P3 (9�0,87) selanjutnya
pada minggu pertama perlakuan P1(8,2�1,26), P2 (9�1,26), dan P3(8,4�1,29) sedangkan Pada minggu ke
dua P1(8,3�0,84), P2(8�0,71), dan P3(8�0,00) begitupun pada minggu selanjutnya
yang terlihat pada Tabel. Dari hasil tersebut maka diperoleh rata-rata
setiap perlakuan P1 (8,28), P2
(8,28) dan P3
(8,17) sesuai dengan
hasil tersebut dapat dilihat tidak adanya perbedaan nilai pH terlalu besar
antara perlakuan. Hajrawat
dan Answar (2011) menyatakan bahwa pH akan naik karena telur kehilangan CO2.
Kadar air pada telur akan hilang akibat lama penyimpanan yang mempercepat
terjadinya reaksi metabolisme. Telur yang baru dikeluarkan pH nya berkisar
7,6-7,93 dan meningkat sampai nilai maksimal 9,7. Peningkatan pH menjadi basa
karena disebabkan oleh lepasnya O2 melalui pori cangkang (Rizal et al., 2012).
Perubahan kandungan CO2 dalam
telur akan mengkibatkan perubahan pH telur menjadi basa. Selama penyimpanan pH telur
semakin meningkat akibat dari kenaikan pH putih telur menjadi semakin encer,
tinggi putih telur kental menurun dan nilai Haugh unit semakin kecil. Hal ini sesuai
dengan pendapat Purwaningsih
et al., (2016) bahwa telur akan
mengalami perubahan seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama waktu
penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya banyak penguapan cairan dan gas dalam
telur. Indikasi rusaknya telur selama penyimpanan adalah penurunan kualitas
telur meliputi penurunan kekentalan putih telur, peningkatan pH, besarnya
kantung udara, dan aroma isi telur. Hal tersebut menjadikan putih telur
bersifat basa dan pH telur naik yang diikuti dengan kerusakan serabut-serabut ovomucin (yang memberikan tekstur kental),
sehingga kekentalan putih telur menurun.
Rongga Udara
Hasil penelitian pengaruh sumber telur
yang berbeda selama penyimpanan dalam suhu ruang terhadap rata-rata kedalaman
rongga udara telur pada hari pertama ialah P1 (1,390�0,03), P2 (2,220�0,12) dan P3 (2,620�0,16) setelah
penyimpanan 1 minggu kedalaman rongga udara P1 (4,780�0,12), P2 (6,970�0,18) kemudian P3
(6,840�0,10) dan
minggu kedua P1 (7,18�0,19), P2 (6,73�0,22) kemudian P3
(6,97�0,16) dan
semakin besar pada minggu-minggu berikutnya terlihat pada Tabel.
Rongga udara pada telur terbentuk sesaat
setelah peneluran akibat adanya perbedaan suhu ruang yang lebih rendah dari
suhu tubuh induk, kemudian isi telur menjadi lebih dingin dan mengkerut sehingga
memisahkan membran kerabang bagian dalam dan luar, terpisahnya membran ini biasanya
terjadi pada bagian tumpul telur. Semakin lama penyimpanan telur maka akan semakin
besar kedalaman rongga udaranya. Hal ini disebabkan oleh penyusutan bobot telur
yang diakibatkan penguapan air dan pelepasan gas yang terjadi selama penyimpanan.
Sesuai dengan pendapat Gary et al., (2009) yang menyatakan kantung udara merupakan
indikator umur atau mutu telur, karena ukurannya akan membesar dengan
meningkatnya umur simpan. Perubahan suhu lingkungan dalam telur ketika berada
dalam tubuh induk (sekitar 40�C) dan suhu luar (sekitar 27�C) akan
mengakibatkan lapisan membran bagian luar dan dalam tidak melekat satu sama
lain. Penguapan air meningkat diantara membran luar yang menempel pada
kerabang sedangkan membran dalam penempel pada putih yang mengkerut dan
menyebabkan kantung udara membesar.
Telur segar memiliki rata-rata kedalaman
rongga udara sebesar
0,90mm yang berarti telur tersebut menurut BSN (2008) tergolong dalam telur
dengan mutu I. Setelah 1 minggu penyimpanan kedalaman rongga udara menjadi
1,06mm (mutu II) dan bertambah besar pada minggu kedua penyimpanan menjadi 1,43mm
(mutu III). Dikaitkan dengan pendapat BSN (2008) dapat dilihat bahwa
telur-telur yang diedarkan atau dijual dipasar sudah bukan lagi telur segar
akan tetapi telah mengalami proses penyimpanan lebih dari 2 minggu jika dilihat
dari kedalaman rongga udaranya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas telur yang
berada didalam kota Ambon (P1) berbeda dengan kualitas telur yang berasal dari
Surabaya (P2 dan P3) karena telur yang berasal dari Ambon diduga berumur satu
hari (telur segar) sama dengan kualitas telur dari Surabaya yang sudah beredar
dipasar tradisional Ambon.
Semakin lama penyimpanan ukuran rongga udara semakin
bertambah besar (Djaelani,
2016).
Peningkatan ukuran rongga udara disebabkan oleh penyusutan berat telur yang diakibatkan
penguapan air dan pelepasan gas yang terjadi selama penyimpanan. Seiring
bertambahnya umur, telur akan kehilangan cairan dan isinya semakin menyusut
sehingga memperbesar rongga udara (Kamaruddin,
Monim, Mulyadi, & Sambodo, 2020). Ketebalan kerabang telur memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan panjang pori-pori. Kerabang telur yang lebih tipis relatif berpori lebih
banyak dan besar sehingga mempercepat turunnya kualitas telur akibat penguapan.
Jika dilihat dari hasil dan pembahasan
diatas baik dari penyusutan bobot telur, nilai HU, IPT, IKT, pH telur maupun rongga udara menunjukkan bahwa telur
ayam ras konsumsi yang dijual dipasar tradisional Ambon darimanapun asalnya
telah mengalami proses penyimpanan yang cukup lama sebelum dipasarkan atau
dijual ke konsumen sehingga kualitas telur sudah banyak mengalami penyusutan.
Telur-telur tersebut sebaiknya tidak dikonsumsi apabila sudah lebih dari 2
minggu berada dipasar. Dalam hal ini yang dirugikan ialah konsumen karena
konsumen membeli telur dengan harga telur segar tetapi telur yang didapatkan
merupakan telur yang sudah lama yang kualitasnya sudah tidak layak. Dari
masalah tersebut konsumen dituntut untuk lebih cermat dalam memilih telur yang
akan dibeli, baik yang berasal dari pasar maupun yang dibeli langsung pada
peternakan ayam petelur karena pada faktanya peternak ayam petelur juga
menyimpan telur-telur yang belum habis terjual untuk dijual kembali kepada
konsumen.
Dalam memilih telur konsumen harus memperhatikan
kebersihan kerabang karena telur yang kotor bila disimpan pada suhu ruang tanpa
pengawetan kerusakan telur lebih cepat terjadi dibandingkan dengan telur yang
kerabangnya bersih hal ini disebabkan oleh mikroorganisme yang ada pada kotoran
bisa masuk melalui pori-pori kerabang dan menyebabkan kerusakkan pada isi
telur, selain itu pula telur yang sudah lama pada kerabang biasanya terdapat
kapang (jamur) berwarna putih seperti tepung berada pada permukaan kerabang.
Konsumen lebih cenderung memilih telur
dengan bentuk yang besar tanpa memikirkan kualitas dari isi telur tersebut
tanpa disadari telur yang besar mengalami penyusutan isi telur lebih cepat
dibandingkan telur yang kecil oleh karena itu konsumen apabila membeli telur
dipasar sebaiknya memilih telur yang tidak terlalu besar atau telur yang normal
dan jika ingin membeli telur dengan ukuran yang besar ada baiknya memperhatikan
kesesuaian antara besar telur dengan bobot telur tersebut dalam hal ini
sebaiknya telur yang dibeli dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot telur.
Kesimpulan
Semua telur yang dijual kepada konsumen
baik yang dipasar maupun telur yang dibeli pada peternakan ayam petelur
langsung merupakan telur yang sudah mengalami proses penyimpanan lebih dari 1
minggu sehingga telah mengalami penyusutan kualitas yang cukup tinggi diilihat dari bobot telur, HU, IPT,
IKT, pH telur, dan rongga udara. Kualitas telur layer di pasar tradisional Kota Ambon mengalami penurunan mulai
dari hari ke 14.
Adijaya, I.Nyoman. (2018). Keragaan Produktivitas Ubi
Kayu Varietas Gajah Di Lokasi Pengembangan Model Pertanian Bio Industri Desa
Antapan Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Buletin Teknologi Dan
Informasi Pertanian, 16(49), 2018156.
Andika, Pebri, Anwar, Pajri, & Jiyanto, Jiyanto.
(2021). Pengaruh cairan kapur (caco3) terhadap kualitas dan daya tahan telur
asin. Green swarnadwipa: jurnal pengembangan ilmu pertanian, 10(3),
422�430.
Astuti, Diana Widi, Nova, Khaira, Sutrisna, Rudy,
& Septinova, Dian. (2022). Pengaruh Lama Penyimpanan Telur Herbal Ayam Ras
Fase Pertama di Refrigerator terhadap Penurunan Berat Telur, Diameter Rongga
Udara, dan Indeks Albumen. Jurnal Riset Dan Inovasi Peternakan (Journal of
Research and Innovation of Animals), 6(1), 15�21.
Djaelani, Muhammad Anwar. (2016). Ukuran rongga udara,
pH telur dan diameter putih telur, ayam ras (Gallus L.) setelah pencelupan
dalam larutan rumput laut dan disimpanan beberapa waktu. Buletin Anatomi Dan
Fisiologi (Bulletin Anatomy and Physiology), 1(1), 19�23.
Fajriana, Eva, Djaelani, Achmad, & Gunawan, Aam.
(2020). Pengaruh media pengasapan terhadap kualitas eksterior dan organoleptik
telur asin asap. Rawa Sains: Jurnal Sains STIPER Amuntai, 10(1),
26�37.
Fararen, Jein Aulia. (2021). Gambaran angka lempeng
total (alt) bakteri pada kelapa parut yang dijual di pasar di kota kendari.
Poltekkes Kemenkes Kendari.
Hardianto, Hardianto. (2017). Pengaruh Cairan Kapur
(CaCO3) terhadap Kualitas dan Daya Simpan Telur Asin. Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.
Herlina, Elin, Syarifudin, Deden, & Yulia, Lia.
(2019). Pemetaan Ekonomi Kreatif Dalam Perspektif Pemberdayaan Masyarakat
Miskin Di Kabupaten Ciamis.
Jaya, Hapsar. (2018). Analisis etika bisnis Islam
terhadap strategi pemasaran produk roti mantao (studi Toko Sinar Terang Parepare).
STAIN Parepare.
Kamaruddin, Ahmad, Monim, Hanike, Mulyadi, Mulyadi,
& Sambodo, Priyo. (2020). Kualitas Fisik Telur Ayam Petelur pada Tingkat
Pelaku Usaha di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat: Physical Quality of
Layer Eggs Supply at the Level of Local Business in Manokwari Regency West
Papua Province. Jurnal Ilmu Peternakan Dan Veteriner Tropis (Journal of
Tropical Animal and Veterinary Science), 10(2), 128��.
Prasetia, Berly Tenica, Nova, Khaira, Riyanti,
Riyanti, & Septinova, Dian. (2022). Kualitas Internal Telur Ayam Ras
Konsumsi dan Telur Ayam Ras Tetas pada Lama Simpan yang Berbeda. Jurnal
Riset Dan Inovasi Peternakan (Journal of Research and Innovation of Animals),
6(3), 242�251.
Retnaningsih, BUDI. (2021). Hubungan Pemenuhan Gizi
Ibu Nifas Dengan Pemulihan Luka Perineum Di Klinik Pratama Kedaton Bantul 2021.
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Saputra, Rangga, Septinova, Dian, & Kurtini,
Tintin. (2015). Pengaruh lama penyimpanan dan warna kerabang terhadap kualitas
internal telur ayam ras. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(1).
Sihombing, Repilina, Kurtini, Tintin, & Nova,
Khaira. (2014). Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas internal telur ayam
ras pada fase kedua. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 2(2).
Tooy, M. D., Lontaan, N. N., Karisoh, L. C. M., &
Wahyuni, I. (2021). Kualitas fisik telur ayam ras yang direndam dalam larutan
teh hijau (Camellia Sinensis) komersial. ZOOTEC, 41(1), 283�290.
Worang, P., Sondakh, E. H. B., Palar, C. K. M.,
Rumondor, D. B. J., & Wahyuni, I. (2022). Kualitas telur ayam ras yang
dijual di pasar tradisional dan pasar modern Kota Manado. ZOOTEC, 42(1),
138�143.
Yanti, Rina. (2020). Manajemen risiko produksi
peternakan ayam ras petelur dalam meningkatkan pendapatan usaha di Desa Banyu
Urip Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah. UIN Mataram.
Yoris, Lili, & Fredriksz, S. (2019). Pemanfaatan
Gula Merah dan Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. Jurnal Hutan
Pulau-Pulau Kecil, 3(1), 97�106.
Zainol, Arifin, Ronasari, Mahadji Putri, & Ninin
Khoirunnisa, Ninin. (2019). Similarity Jamu Tradisional Ditinjau dari Aspek
Ekonomi dan Kesehatan.
Copyright holder: Muhammad Juraid Wattiheluw,
Lily Joris, Fatma Wati �(Tahun Terbit) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |