Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 8, No. 1, Januari
2023
FENOMENA GHOSTING DI JEJARING MEDIA SOSIAL (STUDI
KASUS PERSPEKTIF GHOSTER PADA PERILAKU GHOSTING DI APLIKASI BERBASIS ANONIM)
Yudha Aribowo
Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Fenomena Ghosting di jejaring media sosial saat ini sudah terasa sangat biasa, siapa saja bisa menggunakan strategi pelepasan tersebut sebagai langkah disolusi relasi romantisme yang tengah dijalani ketika hubungan yang semula digambarkan dengan menggunakan identitas anonim dalam sebuah aplikasi, berlanjut ke dalam komunikasi yang lebih intens dan intim melalui media aplikasi messaging, dimana pengguna lebih disarankan menggunakan identitas real sebagai gambaran akun mereka berbeda dengan aplikasi anonim yang memungkinkan pengguna untuk berekspresi menggunakan identitas sebagai anonim. Dalam salah satu asumsi dasar yang ada pada teori penetrasi sosial, hubungan yang mudah diprediksi perkembangannya akan memungkinkan mereka yang terlibat untuk memilih menghilang atau mundur begitu saja sebagai langkah disolusi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melibatkan 41 narasumber dengan identitas anonim, teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dengan metode pengisian Googledoc. Hasil penelitian ini menggambarkan sebagai seorang anonim sangat memungkinkan pengguna lain untuk menginterpretasikan gambaran diri dari akun anonim tersebut sebagaimana seperti yang mereka idamkan. Maka ketika hubungan yang telah berlanjut ke dalam tahapan romantisme dan dijalani dalam identitas asli tidak sesuai dengan harapan mereka ataupun melewati batasan privasi yang mereka atur, maka menjadi seorang Ghoster dan melakukan Ghostingadalah pilihan yang paling mudah untuk dilakuan sebagai upaya disolusi hubungan romantisme tersebut.
Kata kunci: Ghosting, Aplikasi Anonim, Akun Anonim, Disolusi, Relasi Romantisme.
Abstract
The phenomenon of Ghosting on social media networks is now
very commonplace, anyone can use the release strategy as a step in the
dissolution of romantic relationships that are being undertaken when the
relationship that was originally described using an anonymous identity in an
application, continues into more intense and intimate communication. through
media messaging applications, where users are advised to use a real identity as
a description of their account in contrast to anonymous applications that allow
users to express themselves using an anonymous identity. In one of the basic
assumptions of social penetration theory, predictable relationships will allow
those involved to choose to disappear or simply step back as a dissolution
step. This study uses qualitative research methods involving 41 sources with
anonymous identities, data collection techniques are carried out through
interviews with the Googledoc filling method. The results of this study
illustrate that being anonymous allows other users to interpret the self-image
of the anonymous account as they wish. So when the relationship that has
progressed to the romantic stage and is lived in the original identity does not
match their expectations or cross the privacy boundaries they set, then becoming
a Ghoster and doing Ghosting is the easiest choice to do as an effort to
dissolution of the romantic relationship.
Keywords: Ghosting, Anonymous Applications, Anonymous
Accounts, Dissolution, Romantic Relationships
Pendahuluan
Fenomena ghosting
saat ini semakin beragam, media yang digunakan pun semakin variatif. Di era
yang serba digital ini membuat kita sebagai mahluk sosial mencoba berbagai cara
untuk bisa mempertahankan eksistensi diri dan juga relasi, baik melalui proses
langsung secara tatap muka ataupun melalui berbagai media sosial online, sebut
saja melalui media sosial dengan aplikasi berbasis anonim/tanpa nama, pada
aplikas berbasis anonim seperti Whisper, Prisga, gabut dan lainnya kita bisa
menggunakan nama alias sebagai identitas diri, sehingga kita tidak perlu
terjebak dengan identitas asli kita dan bebas untuk membangun citra diri yang
lain dalam ruang digital tersebut sebagai anonim. Pada aplikasi media sosial
berbasis pesan teks dan suara, sebut saja Line kita bisa memanfaatkan fitur People Nearby untuk bisa saling
berkenalan dengan siapa saja yang saat itu posisinya berdekatan dengan kita,
hanya dengan menekan tombol �add friend�
kita bisa langsung otomatis membangun percakapan dengan lawan bicara tersebut.
Fenomena ghosting
di Indonesia mulai ramai diperbincangkan ketika Putra ke 3 Presiden Joko
Widodo, Kaesang Pangarep diduga menjadi seorang Ghoster pada pasangannya yaitu Felicia Tissue. Kaesang yang saat
itu telah menjalin hubungan selama 3 tahun dengan Felicia mendadak menghilang
tanpa kabar apapun kepada Felicia, meski akun media sosialnya tetap aktif,
begitupula pada media pesan Whatsapp yang kemudian berdasarkan penuturan
Felicia bahwa media komunikasi yang biasa digunakan untuk bertukar pesan
ataupun tautan sosial media mendadak tidak bisa diakses atau diblock oleh Kaesang sebagai sang
inisiator. Pemutusan hubungan secara sepihak ini kemudian dibarengi dengan
hilangnya kabar dari Kaesang hingga munculah istilah ghosting pada proses penyelesaian hubungan keduanya.
Kemajuan teknologi informasi melalui media
digital sesungguhnya menjadikan proses komunikasi lebih mudah dan cepat, dengan
tidak lagi mengenal jarak dan waktu, konektivitas dapat terus terjalin meski
intensitas tatap muka tidak lagi dapat dilakukan sesering seperti sediakala,
namun pada fenomena ghosting sendiri
kemajuan teknologi yang sedemikian rupa ternyata tidak memberikan efek yang
cukup berarti terkecuali jejak yang bisa dilihat namun tetap tidak bisa
terjamah begitu saja dengan adanya fitur blocking
sebagai pembatasan akses informasi seseorang yang sedang di ghostee (merujuk pada korban ghosting) oleh sang ghoster (merujuk pada pelaku ghosting).
Perasaan untuk mulai melepaskan ikatan
emosional yang sebelumnya terbangun atas dasar kondisi yang sama mulai muncul,
namun tidak dibarengi dengan tingkat kedewasaan diri dalam upaya penyelesaian
konflik dalam sebuah hubungan relasi percintaan. Hal inilah yang kemudian
dikenal dengan fenomena ghosting,
merujuk pada Urban Dictionary, ghosting diartikan
sebagai �the act of dissapearing on your
friends without notice or cancelling plans with little or no choice.�
Berikut adalah kisah ghosting yang dialami oleh Winda, berdasarkan penuturan Winda
selain barangkali memang dia dan sosok pria yang men-ghostingnya ini tidak menemukan kecocokan, kondisi pandemi Covid-19
memberikan pengaruh terhadap proses membangun relasi percintaannya tersebut.
Berawal dari perkenalan yang diinisiasi oleh salah satu sahabatnya hubungan
relasi yang dijalani pada bulan pertama cukup intens, melalui media Whatsapp dan telepon, mereka bertukar
kabar setiap harinya, kedekatan semakin terjalin memasuki bulan kedua setelah
perkenalan peningkatan hubungan tersebut ditandai dengan intensitas komunikasi
yang semakin tinggi meski hanya melalui media virtual yaitu videocall dan saling follow akun media sosial masing-masing,
perbincangan berlanjut hingga saling bertukar visi dan misi mengenai hubungan
mereka.
Hingga kemudian pada bulan ketiga hubungan
relasi percintaan tersebut berlangsung mereka memutuskan untuk saling bertemu
satu sama lain, setelah sebelumnya mereka menahan diri dikarenakan aturan
pemerintah yang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tibalah
hari pertemuan pertama mereka �Everything
was good and pretty smooth ... untill�. Di hari yang sama setelah pertemuan
mereka dan kembali ke rumah masing-masing, Winda mengatakan bahwa dia masih
mengabarkan melalui Whatsapp, namun
sejak setelah pertemuan pertama mereka tidak ada lagi balasan pesan ataupun
kabar yang datang dari pasangannya tersebut, bahkan meski status media sosial
pasangannya tersebut sedang online tidak ada kabar yang dikirimkan olehnya atau
bahkan membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Winda.
Dijelaskan oleh Winda, bahwa sang Ghoster sama sekali tidak ada upaya
penjelasan apapun kepadanya, sehingga ketika Winda menyadari bahwa dia sudah
menjadi korban ghosting dari pria
tersebut Winda mulai melakukan upaya move
on dan menjalani hari-harinya seperti biasa seperti sebelum berkenalan dengan
pria tersebut, meski sebelumnya sempat merasa rendah diri dikarenakan� �I have
no clue, am i doing something wrong?� ucapnya.
Perjalanan relasi percintaan antara dua
individu senantiasa diwarnai oleh berbagai situasi dan kondisi, pagi hingga
siang hari terasa begitu hangat, namun bisa berganti tatkala malam selesai dari
aktivitas satu hari penuh yang dijalani, hanya dengan satu kata dengan proses
penyampaian yang tidak tepat akan merubah suasana hangat menjadi dingin dan tak
jarang menimbulkan pertengkaran. Proses komunikasi yang simultan dan intim
merupakan salah satu kunci dalam membangun sebuah relasi percintaan yang
langgeng.
Pada era digital saat ini, komunikasi tidak
hanya bisa dilakukan ketika bersama dalam ruang dan waktu yang sama, melainkan
dapat tetap terjalin meski jarak memisahkan. Sama halnya dengan aplikasi
berbasis anonim, aplikasi media online seperti Whatsapp, Instagram, Facebook
dan lainnya memiliki berbagai fitur yang bisa digunakan sebagai media
komunikasi yang tidak hanya melalui percakapan, tapi juga melalui berbagi
gambar, status dan lainnya sehingga bagi mereka yang memiliki kesamaan minat
bisa dengan mudah bertemu dalam ruang digital.
Situstheknot.com (Smith, 2014)dalam sebuah konten artikelnya
merilis beberapa pasangan yang bertemu dan jatuh cinta melalui media sosial.
Pasangan Matthew Fleming dan Robin Coe, bertemu pada Januari 2012 dan kemudian
menikah setahun kemudian pada 10 Mei 2013. Pada 2011 Robin memulai petualangan
virtualnya melalui media sosial Instagram untuk mencari dan mengikuti akun yang
menarik perhatiannya, Robin kemudian mengikuti akun Instagram yang dimiliki
oleh Matthew. Robin tertarik dengan foto-foto yang dibagikan oleh Matthew dalam
perjalanannya bersepeda, berawal dari ketertarikan itu Robin mulai mengomentari
foto yang dibagikan oleh Matthew yang kemudian berlanjut kedalam sebuah
percakapan yang tidak hanya melalui laman komentar Instagram, melainkan juga
E-mail dan Skype. Hingga kemudian mereka memutuskan untuk menjalin relasi
percintaan dan membagikan perjalanan relasi mereka ke laman Instagram, bahkan
postingan mengenai pertunangan Robin dan Matthew mendapatkan lebih dari 10.000
likes dari pengikut mereka.
Berbeda dengan kisah Robin dan Matthew,
berdasarkan data survey yang dilakukan pada 2019 oleh lembaga Pew Research
Center (A. Vogels,
2020)menunjukan banyak pasangan di
Amerika yang justru menghadapi hambatan terkait teknologi dan relasi percintaan
mereka. 51% pasangan menikah dengan rentang usia 50 tahun di Amerika mengatakan
bahwa pasangan mereka seringkali teralihkan oleh smartphone ketika sedang
menghabiskan waktu bersama, bahkan empat dari sepuluh partisipan mengatakan
setidaknya mereka terkadang terganggu dengan jumlah waktu yang dihabiskan oleh
pasangan mereka bersama Smartphonenya. Sedangkan pada pasangan dengan usia 30 �
49 tahun 62%, dan 52% pada rentang usia 18 � 29 tahun yang sedang berada dalam
relasi percintaan cenderung mengatakan bahwa pasangan mereka setidaknya kadang
kala terganggu oleh Smartphone mereka ketika mereka tengah mencoba untuk
memulai perbincangan(A. Vogels,
2020).
Perkembangan teknologi informasi dan semakin
beragamnya berbagai aplikasi media sosial yang biasa digunakan untuk berekpresi
di media online menjadikan perlunya bagi mereka sebagai pengguna untuk bisa
menjaga privasi, untuk itulah kehadiran aplikasi anonim menjadi media yang
sanggat digemari oleh mereka yang ingin bebas berekspresi tanpa menunjukan
identitas asli mereka di dunia nyata. Penyamaran identitas seseorang (anonym) sebagai upaya untuk menjaga
privasi ketika menjalin relasi dengan akun pengguna lainnya kemudian
menciptakan celah yang bisa digunakan untuk sebuah hubungan relasi singkat,
baik untuk sekedar dekat, saling curhat, hubungan sesaat, hingga Friends With Benefit (FWB). Akun media
sosial anonim memungkinkan pengguna untuk tidak menggunakan identitas asli
mereka yang ada di dunia nyata ke dalam dunia online. Hal tersebut kemudian
menjadikan hubungan relasi ynag terjalin dalam media online bisa dikatakan
hanya sesaat dan digunakan untuk saling menguntungkan satu sama lainnya.
Salah satu media online anonim Whisper
misalnya, merupakan aplikasi media online yang memberikan keleluasaan bagi para
pengguna untuk menggunakan anonimitas sebagai salah satu syarat utama dalam
penggunaan media sosial tersebut. Begitupun dengan akun media sosial lainnya
yang berbasis anonimitas. (Kaplan, 2010)mendefinisikan media sosial sebagai
sebuah kelompok aplikasi internet yang dibangun atas dasar ideologi dan
teknologi Web dimana para pengguna dimungkinkan untuk menciptakan dan bertukar user-generated content.
Karakteristik media sosial yang bersifat maya
atau tidak nyata seringkali memberikan gambaran fenomena-fenomena yang saat ini
tengah viral/digandrungi/booming baik
di kalangan pengguna media sosial itu sendiri ataupun pada khalayak luas, salah
satu fenomena yang kemudian terwujud dari adanya penggunaan akun anonim adalah
fenomena ghosting yang banyak
dilakukan oleh mereka yang rata-rata hanya menginginkan hubungan yang sesaat
ataupun mereka yang hanya memulai dengan motivasi sekedar iseng belaka.
Dalam upaya pengguna media sosial anonim untuk
bisa menjalin relasi romantis dengan pengguna lainnya tentu ada proses
komunikasi yang dibangun oleh keduanya, interaksi romantisme yang melibatkan
emosional yang lebih dalam dari sekedar teman biasa tentunya sudah memalui
tahapan yang lebih lanjut, keterlibatan pesan verbal melalui obrolan-obrolan
baik suara dan text, serta pesan non-verbal melalui ekspresi dan gesture tubuh
ketika menjalin komunikasi tatap muka secara online melalui video call. Komunikasi sendiri merupakan
bagian penting dalam sebuah hubungan, relasi yang ada terbentuk melalui
pertukaran komunikasi dengan intensitas yang tinggi dan rutin, komunikasi yang
baik akan membantu seseorang dalam membina sebuah hubungan tanpa mengenal jarak
dan waktu.
Seorang Psikolog Albert Mehrabian dalam bukunya
yang berjudul Silent Messages
mendeskripsikan bahwa komunikasi seorang manusia terdiri dari 55% bahasa tubuh
atau komunikasi non verbal, 38% melalui intonasi suara dan 7% melalui
kata-kata. (Furman, Wyndol.,
1999)mendefinisikan 3 tipe romantic relationship berdasarkan
karakteristik-karakteristik dalam hubungan tersebut, yaitu: 1) Keromantisan
melibatkan suatu hubungan, pola yang berlangsung terus menerus dari asosasi dan
interaksi antara dua individu yang mengakui suatu hubungan dengan yang lainnya.
2) Pada romantic relationship
diketahui terdapat unsur kesukarelaan dari kedua pasangan untuk mempertahankan
hubungan, sebagian romantic relationship
mungkin saja berakhir dalam sebuah ketidakcocokan dengan pasangan mereka. Untuk
itu perlunya pengorbanan dari setiap pasangan untuk mewujudkan keberhasilan
dalam hubungan romantis mereka. 3) Merupakan bentuk dari ketertarikan (attraction), ketertarikan ini bertumpu
pada keterlibatan komponen seksual, ketertarikan seksual sering dinyatakan
dalam beberapa bentuk perilaku seksual, meski tidak selalu. Perilaku tersebut
dipengaruhi pula oleh kepribadian, tingkat religiusitas dan nilai-nilai budaya.
Pada perilaku hubungan romatisme di media
sosial anonim dengan kecenderungan menjadi seorang ghoster dan ghosting merupakan
salah satu alternatif terbaik untuk menyudahi hubungan romantisme yang tengah
dijalin. Hal tersebut berkaitan dengan proses intimasi yang lebih banyak
melibatkan proses komunikasi yang dilakukan di dunia maya, selain itu
keterbukaan diri atas identitas diri yang sulit untuk dilakukan dalam media
sosial anonim menjadikan hubungan yang dijalin minim keterikatan emosional yang
lebih dalam dibandingkan dengan proses membangun hubungan romatisme secara langsung
di dunia nyata dan menggunakan identitas diri yang asli.
Pada teori penetrasi sosial (social penetration theory) digambarkan
suatu pola dalam pengembangan hubungan. Penetrasi sosial merujuk pada sebuah
proses ikatan hubungan dimana individu-individu bergerak dari komunikasi
superficial ataupun komunikasi yang tidak akrab berkembang menjadi komunikasi
yang lebih intim. (Altman, Irwin
and Taylor, 1973) menjelaskan, keintiman dalam hal
ini lebih dari sekedar keintiman secara fisik, dimensi lainnya dari keintiman
termasuk pada keintiman dan emosional hingga pada batasan dimana pasangan
melakukan aktivitas bersama. Dipercaya bahwa hubungan dalam penetrasi sosial
sangat beragam, mulai dari suami & istri, dokter-pasien, hingga antar
pengguna media sosial anonim, yang kemudian memilih untuk menjadi ghoster ketika memilih penyelesaian
hubungan melalui proses ghostingseperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pada salah satu asumsi dari teori penetrasi
sosial (West, R. &
Turner, L, 2013)dijelaskan bahwa perkembangan
hubungan yang dijalani mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi,
ketika sebuah hubungan menjadi berantakan dan yang terjadi adalah pilihan
penarikan diri (keruntuhan perlahan sebuah hubungan), kemunduruan ini dapat
menyebabkan terjadinya disolusi hubungan, seperti halnya menjadi seorang ghoster dan melakukan prosesighosting menjadi pilihan penarikan diri
ketika pasangan yang dikenal dan ditemui secara anonim tidak bisa menyesuaikan
dengan kriteria-kriteria yang diinginkan oleh ghoster. Selain itu secara umum, perkembangan hubungan yang
sistematis dapat diprediksi, prediktibilitas tersebut secara khusus,
menjelaskan bahwa hubungan-hubungan yang berkembang secara sistematis akan
dapat diprediksi, terutama hubungan romatisme yang dijalin dan dibangun melalui
media sosial online dengan identitas anonim antar pengguna, sehingga ketika
salah satu pengguna memilih pengguna lain sebagai pasangannya kecenderungan
salah satu pengguna untuk menjadi seorang ghoster
menjadi tinggi ketika mereka memilih ghosting
sebagai salah satu pilihan disolusi hubungan.
Bagi kebanyakan orang dewasa, sosial media
memiliki peran dalam cara mereka menavigasi dan berbagi informasi mengenai
hubungan romantisme mereka. Namun begitu, sosial media juga bisa menjadi sumber
konflik dan kekesalan bagi sebagian pasangan. Diantara mereka dengan pasangan
yang menggunakan sosial media, 23% mengatakan bahwa mereka merasa cemburu atau
bahkan tidak yakin dengan hubungan mereka, dikarenakan cara pasangan mereka
berinteraksi dengan orang lain di media sosial. Peningkatan presentase juga
terjadi pada rentang usia 18 � 29 tahun hingga 34% (Lenhart, 2014).
Pemutusan hubungan baik sepihak ataupun atas
kesepakatan bersama akan menimbulkan beragam perasaan yang tidak melulu
baik-baik saja. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan olehYouGov (Moore, 2014) di Amerika, bahwa fenomena ghosting
seringkali terjadi dalam sebuah hubungan, dan apabila dibandingkan pemutusan
hubungan relasi percintaan yang dilakukan secara baik-baik dengan kesepakatan
bersama sangatlah jarang, berbanding terbalik dengan pemutusan hubungan secara
sepihak dimana sang inisiator pemutusan hubungan bertindaksendiri tanpa
memperdulikan pasangannya (Doering, 2010), dan hal tersebut inilah yang sering
kali menimbulkan praktik ghosting, hal tersebut merujuk kepada hilangnya
eksistensi diri sang inisiator dalam kehidupan pasangan yang diputuskan
olehnya.
Kesulitan yang ditimbulkan pasca pemutusan
sebuah hubungan bergantung pada strategi penyelesaian yang dilakukan, waktu
yang terhitung sejak perpisahan, siapa yang menginisiasi, dalamnya perasaan
yang terlibat, dan perasaan dikhianati (Field et al.,
2010)berdasarkan model strategi pelepasan
Baxter mengartikan bahwa strategi pemutusan sebuah hubungan relasi ditentukan oleh
dua variable, yaitu variable x-axis
mewakili diri atau orientasi lainnya,sedangkan y-axis menunjukan langsung atau tidak langsungnya cara pemutusan
hubungan tersebut.�
Baxter�s Model of Disengagement Strategies (1985)
(LeFebvre et al.,
2019)
Metode Penelitian
����������� Metode penelitian yang dilakukan
untuk membedah fenomena ghosting di media sosial ini menggunakan metode
kualitatif, penelitian kualitatif sendiri merupakan sebuah penelitian dimana
peneliti ditempatkan sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan melalui penggabungan dan analisis data yang bersifat induktif
(Sugiyono, 2010).� Penelitian kualitatif
sendiri menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif, melalui
transkripsi wawancara dan observasi (Poerwandari, 2005) Penelitian ini
melibatkan 41 narasumber dan respon yang dituliskan oleh para narasumber
menjadi hasil temuan dalam penelitian ini.
Hasil dan
Pembahasan
Pada fenomena ghosting yang terjadi di media
sosial anonim, para ghoster biasanya hanya menjalani hubungan romatisme dalam
kurun waktu yang sangat singkat. Berdasarkan hasil wawancara pada 41
narasumber70% mengatakan bahwa mereka hanya mejalani hubungan selama 1-3 bulan,
20% 7-10 bulan, dan 10% menjalani hubungan kurang dari 1 bulan untuk kemudian
memutuskan untuk menjadi seorang ghoster.
Pemilihan para narasumber untuk menjadi seorang
ghoster adalah upaya pelepasan hubungan yang dirasa tidak sesuai dengan ekspektasi
ketika hubungan yang dijalani mengalami peningkatan keintiman. Terlebih
perkenalan yang dijalin melalui media sosial anonim sangat rentan terjadi
keraguan, perasaan tidak suka atas privasi identitas yang terlanggar, hanya
sekedar have fun dan sebagainya. Penggunaan akun anonim yang tidak sesuai
dengan identitas asli seperti, �Merpati�, �Bunglon Langka�, �Bunglon Sangar�,
�Magi Cantik�, �Koala Jinak� dan lain sebagainya.
Pada keseluruhan akun anonim yang menjadi
narasumber sebanyak 17.1% berusia 21 tahun, 12.2% berusia 25 tahun dan
selebihnya berusia pada rentang 16-20 dan 27-37 tahun. Dan dari keseluruhan
tersebut berjenis kelamin Perempuan sebanyak 75.6% dan 24.4% adalah laki-laki.
Pada keseluruhan total narasumber 92% dari mereka mengatakan bahwa mereka
sangat familiar dengan istilah ghosting.
Media sosial yang digunakan ketika melakukan
ghosting cenderung melalui penggunaan aplikasi anonim, sebanyak 81% narasumber
menggunakan akun anonim seperti Whisper, Prisga, Gabut, dan lainnya. Sedangkan
sebanyak 11% menggunakan aplikasi Tinder, dan sisa lainnya menggunakan aplikasi
seperti Line, Line Nearby, Bumble dan lain sebagainya. Rata-rata penggunaan
aplikasi tersebut digunakan dalam kurun waktu 30 hari terakhir (67.6%), lebih
dari satu tahun terakhir (21.6%) dan sisanya sebanyak 10.8% menggunakan media
aplikasi anonim selama 1-6 bulan terakhir.
Dalam sebuah pertanyaan mengenai kapan dan
bagaimana awal mula seorang ghoster mengenal partnernya, mayoritas mengenal
melalui aplikasi anonim yang kemudian �match�saling
sapa dan memulai percakapan pada room
chat yang merupakan salah satu fitur dari aplikasi anonim tersebut. Selain
itu perkenalan melalui fitur People
Nearby yang tersedia di aplikasi Line, Add Friend, berkenalan, chatting dan
akhirnya memutuskan untuk berjumpa tatap muka secara langsung, ada pula
perkenalan yang dilakukan melalui aplikasi anonim lainnya seperti Gabut,
setelah opsi pencarian partner selesai komunikasi berlanjut melalui chat dan juga Freecall. Pada tahapan yang lebih lanjut setelah obrolan yang
terjadi di aplikasi anonim biasanya mereka melanjutkan percakapan melalui
aplikasi messaging seperti Whatsapp
dan Line, untuk kemudian berlanjut untuk tatap muka baik hanya melalui video call ataupun pertemuan secara
langsung. Biasanya tahapan tersebut dilakukan setelah kedua belah pihak
sama-sama merasa nyaman dan menemukan keseruan dalam setiap topik yang dibahas
oleh keduanya.
Namun hubungan yang berlanjut dari sekedar
kenal, saling sapa, memulai percakapan, dan intensitas yang lebih intim dengan
adanya obrolan melalui tatap muka online (video
call) seringkali menemukan hambatan berupa kondisi fisik yang tidak sesuai
ekspektasi, atau perilakupartner yang justru mulai mendominasi, mengatur
ataupun mulai mengarah pada kecenderungan pola komunikasi yang toxic seperti permintaan untuk Video Call Sex (VCS), berkirim gambar
atau PAP (Post A Picture)
bagian-bagian intim dan lain sebagainya.
Peningkatan hubungan yang sangat drastis dalam
waktu singkat kemudian membuat relasi dalam hubungan tersebut terasa sangat
melawati batasan yang seharusnya, salah satu narasumber dengan nama akun anonim
�Unta Arab� mengatakan �Kita Frikolan (Freecall)
di Gmeet (Google Meet), chat hampir setiap hari intens lah, tapi intensitas
mendadak berkurang setelah dia ngomong sayang sama Gw�. Hal tersebut dirasa
berlebihan karena hubungan komunikasi intens yang mereka jalin baru berjalan
selama 2 hari.
Unta Arab menambahkan bahwa kejadian yang
dialaminya dibulan lalu tersebut terjadi sangat singkat sehingga dia merasa tidak
diberikan kesempatan untuk menelaan hubungan tersebut. Dari yang awalnya
dilakukan melalui pencarian teman ngobrol di Timeline dan ketemulah dengan
salah satu akun anonim lainnya, mereka berbincang selama dua malam, dan pada
hari ketiga �Dia ngechat gue, �Selamat pagi, Kangen�� gue awalnya cuma mikir
�ih apasih baru juga 2 hari�, kemudian sang partner menambahkan bahwa tidak
hanya rasa kangen yang dirasakan tapi juga dia merasa sayang dengan Unta Arab.
Sang partner mendadak menghilang setelah menerima jawaban dari Unta Arab yang
meragukan hal tersebut.
Setelahnya tidak ada percakapan chat antar
keduanya dan tiba-tiba saja sang partner mengganti avatar akun anonimnya dan
melakukan End Chat (mengakhiri
obrolan chat) dengan Unta Arab. Hingga kemudian Unta Arab memutuskan untuk
posting kembali bahwa dia mencari partner untuk menjadi teman ngobrol kembali,
dan sang partner kembali menghubungi dengan memulai percakapan dengan kalimat
�Lo sombong banget sekarang�, Unta Arab reflek bertanya mengenai siapa orang
tersebut karena merasa curiga, hingga kemudian balasan yang diberikan cenderung
emosional dengan meminta Unta Arab untuk jangan lagi melakukan komunikasi
chating dengannya. Untuk kemudian Unta Arab mengetahui bahwa alasan sang
partner melalukan EC (End Chat)
dengannya karena ketika sang partner menghubunginya melalui Freecall hanya
karena yang bersangkutan sedang merasa �turn
on� dan meminta Unta Arab untuk menemaninya dalam obrolan yang mengarah
pada sexual harrasement. Dengan
alasan tersebut inilah kemudian Unta Arab memutuskan untuk menghilang dan tidak
melakukan kontak apapun dengan sang partner dengan alasan keamanan atas
dirinya.
Pola komunikasi yang dijalin oleh para ghoster dan ghostee dalam identitas anonim biasanya dilakukan sebagai upaya
ekspresi diri, dimana ketika seseorang mengekpresikan dirinya menjadi satu
figur yang ingin direpresentasikan dan mendapatkan feedback dengan kesamaan
pandangan dan pola komunikasi yang sama, sama-sama ingin mengekpresikan diri
dari sisi yang berbeda. Hal tersebut inilah kemudian dirasa menjadi kurang dan
terasa hilang ketika komunikasi yang dijalin semakin erat dan berpindah dari
media komunikasi sebagai anonim ke dalam akun real ketika menggunakan aplikasi
berbasis messaging dimana kita cenderung menggunakan nama asli, foto asli dan
tentu pola komunikasi yang dilakukan dalam media tersebut akan menampilkan sisi
asli dari diri kita secara utuh, berbeda ketika merepresentasikan diri sebagai
anonim.
Salah satu narasumber yang menjalin kedekatan
sebagai pasangan anonim melalui aplikasi Discord mengatakan
�Sebenarnya dari beberapa hari setelah move ke media Line aku udah
enggak sreg karena mulai ketauan sifat-sifat yang kurang aku suka, tapi karena
dia baik banget sama aku, jadi aku kurang enak untuk menjauh dan terkadang
obrolan kita ya nyambung, aku terhibur juga. Sampai akhirnya aku udah enggak
kuat lagi dan udah enggak peduli lagi mau gimana tapi aku enggak berani jujur
tentang uneg-uneg aku ke dia. Pelan-elan aku udah enggak mau balas dan angkat
telfon dari dia lagi tapi dia masih tetap ngechat aku terus dan selalu ngikutin
aku ke server Discord manapun dan join voice Discord yang ada akunya�.
Pada kenyataannya respon dari para narasumber
ketika melakukan perilaku ghosting
dan menjadi seorang ghoster diawali dengan perasaan tertarik dan menyukai
partnernya tersebut, sebanyak 58% menyebutkan bahwa mereka menyukai partnernya
sebelum memutuskan untuk melanjutkan obrolan ringan menjadi obrolan yang lebih
intens dan intim. Sedangkan opssi menghilang perlahan-lahan atau menjadi
seorang ghoster dilakukan ketika
hubungan komunikasi yang dijalani sudah tidak lagi sesuai dengan harapan yang
ada, para narasumber biasanya memilih opsi menghilang perlahan-lahan dengan
mengurangi intensitas obrolan melalu freecall,
kemudian mengurangi pula intesitas membalas pesan yang ditinggalkan pada
aplikasi chat, hingga akhirnya benar-benar tidak lagi menggubris pesan dan
panggilan yang dilakukan oleh partnet mereka. Untuk keputusan ekstrim seperti
melakukan pemblokiran pada setiap media komunikasi dilakukan biasanya karena
partner yang perlahan berubah menjadi posesif ataupun terlalu mendominasi
sehingga jalan terbaik yang terpikirkan oleh para ghoster adalah mengakhiri secara sepihak komunikasi yang sedang
dijalin terlebih, keputusan untuk menghosting
partnernya tidak dirasa sebagai sesuatu yang patut untuk disesali,
mayoritas narasumber justru merasa lega dengan keputusan tersebut karena bisa
terlepas dari hubungan yang tidak stabil dikarenakan dimulai melalui identitas
diri sebagai anonim.
Penggambaran suatu pola dalam pengembangan
hubungan paada teori penetrasi sosial, jelas terjadi pada pengembangan hubungan
yang dimulai pada interaksi sebagai seorang anonim dalam akun media sosial
untuk kemudian berlanjut dengan pembukaan identitas diri secara nyata ketika
kedua belah pihak setuju untuk melanjutkan hubungan yang lebih intens dan
intim. Sebagaimana yang digambarkan oleh pasangan anonim yang kemudian berubah
menjadi seorang ghoster dan ghostee ketika peningkatan hubungan yang
dilakukan dirasa tidak sesuai dengan harapan, karena perubahan identitas anonim
pada dunia maya sangat berbeda dengan gambaran jati diri dalam dunia nyata.
Pada teori penetrasi sosial sendiri dijelaskan
dalam salah satu asumsinya bahwa perkembangan hubungan yang dijalani mencakup
pada depenetrasi atau sebuah langkah penarikan diri sebagai langkah disolusi
ketika hubungan menjadi berantakan dan tidak bisa dilakukan secara perlahan
atau baik-baik saja. Kemunduran yang dilakukan sebagai langkah disolusi yang
dipilih oleh para narasumber ketika memutuskan untuk mengakhiri hubungan
romantisme dengan partner anonimnya ini lah yang kemudian mereka sebut dengan
pemutusan hubungan melalui cara ghosting.
Secara terperinci dijelaskan pula bahwa perkembangan hubungan yang dilakukan
dalam media sosial anonim ke dalam media yang menggambarkan identitas secara
jelas sangat dimungkinkan untuk diprediksi bagaimana hubungan tersebut kemudian
akan berakhir. Hal tersebut inilah yang kemudian digambarkan dengan jalinan
hubungan romantisme yang hanya berlangsung sesaat.
Pemutusan hubungan baik atas kesepakatan
bersama ataupun secara sepihak nyatanya akan menimbulkan beragam perasaan yang
tentunya tidak selalu baik-baik saja. Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu
narasumber dalam hasil mengenai sulitnya mereka mengakhiri hubungan singkat
tersebut sehingga ghosting adalah pilihan yang paling baik diantara yang lain,
tanpa perlu untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana, mereka bisa begitu saja
melepaskan hubungan tersebut secara sepihak tanpa merasa menyakiti pasangan
anonim yang menjadi partner mereka.
Dalam model strategi pelepasan bexter dijelaskan mengenai pemutusan sebuah hubungan relasi ditentukan oleh dua variabel, yaitu variabel x-axis sebagai perwakilan diri atau orientasi lainnya dan y-axis untuk menunjukan langsung atau tidak langsungnya cara pemutusan hubungan tersebut, pada x-axis yang mewakilkan pandangan diri sendiri menjelaskan bahwa pemutusan hubungan secara tidak langsung melalui cara penyampaian yang tidak langsung atau dalam hal ini adalah melalui tindakan ghosting menunjukan bahwa hal tersebut mencoba menggambarkan bahwa keputusan tersebut bertumpu pada kepentingan satu pihak yaitu pada sissi ghoster sebagai pengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan cara mengghosting sang partner. �
Kesimpulan
Penelitian
ini berkesimpulan bahwa, hubungan yang terjalin melalui media sosial dengan
identitas diri anonim merupakan jenis relasi romatisme yang mudah diprediksi
akan bagaimana dan seperti apa akhirnya. Pemilihan ghosting sebagai langkah
disolusi dan strategi pelepasan yang dirasa lebih meringkankan para ghoster
untuk menghentikan atau meninggalkan hubungan yang tidak sesuai dengan apa yang
mereka haparkan ketika sama-sama menggunakan karakter anonim disaat awal
perkenalan. Menjadi seorang ghoster memungkinkan mereka untuk memutuskan
hubungan secara sepihak dengan cara-cara yang mereka anggap mudah dan menguntungkan
bagi dirinya karena tidak terasa menyakitkan sebagaimana yang terjadi apabila
kita berada diposisi sebagai seorang ghostee.
Sebagaimana
dijelaskan dalam penelitian ini rentang usia mereka yang terjebak dalam pola
hubungan yang berakhir dengan ghosting sebagai disolusi hubungan merupakan
mereka yang berusia 16-27 tahun dimana usia tersebut memiliki kecenderungan
untuk bisa bebas berekspresi tanpa status hubungan yang mengikat dan pasti.
Mereka lebih mudah untuk menjalin kedekatan emosional dengan siapapun dengan
proses pemutusan hubungan yang juga tanpa melibatkan perasaan bersalah karena meninggalkan
hubungan yang tidak sesuai dengan harapan.
BIBLIOGRAFI
�A. Vogels, E. (2020). About Half of Never-Married
Americans Have Used an Online Dating Site or App. March 24. https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/03/24/the-never-been-married-are-biggest-users-of-online-dating/
Altman, Irwin and Taylor, D. A.
(1973). Social Penetration : The Development of Interpersonal
Relationship. Rinhart & Winston Inc.
Doering, J. (2010). Face, Accounts,
and Schemes in the Context of Relationship Breakups. Symbolic Interaction,
33(1), 71�95. https://doi.org/10.1525/si.2010.33.1.71
Field, T., Diego, M., Pelaez, M.,
Deeds, O., & Delgado, J. (2010). Breakup Distress and Loss of Intimacy in University
Students. Psychology, 01(03), 173�177. https://doi.org/10.4236/psych.2010.13023
Furman, Wyndol., E. al. (1999). The
Development of Romantic Relationship in Adolesence. Cambrige University Press.
Kaplan, A. & M. H. (2010). User
Of The World, Unite! The Challenges and Opportunities Of Social Media. Bussines
Horizons.
LeFebvre, L. E., Allen, M., Rasner,
R. D., Garstad, S., Wilms, A., & Parrish, C. (2019). Ghosting in Emerging
Adults� Romantic Relationships: The Digital Dissolution Disappearance Strategy.
Imagination, Cognition and Personality, 39(2), 125�150.
https://doi.org/10.1177/0276236618820519
Lenhart, A. & M. D. (2014).
Couples, The Internet, And Social Media. February 11.
https://www.pewresearch.org/internet/2014/02/11/couples-the-internet-and-social-media/
Moore, P. (2014). Poll Results:
Ghosting. October 28.
https://today.yougov.com/topics/lifestyle/articles-reports/2014/10/28/poll-results-ghosting
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan
Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia (Edisi. Ketiga). LPSP3 Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Smith, A. (2014). These Are the
Couples Who Met and Fell in Love on Social Media. Summer 2014.
https://www.theknot.com/content/couples-fell-in-love-social-media
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
West, R. & Turner, L, H. (2013). Pengantar Teori
Komunikasi. Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika..
������������������������������������������������
Copyright holder: Nama Author (Tahun
Terbit) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |