Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 1, Januari 2023

 

FENOMENA GHOSTING DI JEJARING MEDIA SOSIAL (STUDI KASUS PERSPEKTIF GHOSTER PADA PERILAKU GHOSTING DI APLIKASI BERBASIS ANONIM)

 

Yudha Aribowo

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Fenomena Ghosting di jejaring media sosial saat ini sudah terasa sangat biasa, siapa saja bisa menggunakan strategi pelepasan tersebut sebagai langkah disolusi relasi romantisme yang tengah dijalani ketika hubungan yang semula digambarkan dengan menggunakan identitas anonim dalam sebuah aplikasi, berlanjut ke dalam komunikasi yang lebih intens dan intim melalui media aplikasi messaging, dimana pengguna lebih disarankan menggunakan identitas real sebagai gambaran akun mereka berbeda dengan aplikasi anonim yang memungkinkan pengguna untuk berekspresi menggunakan identitas sebagai anonim. Dalam salah satu asumsi dasar yang ada pada teori penetrasi sosial, hubungan yang mudah diprediksi perkembangannya akan memungkinkan mereka yang terlibat untuk memilih menghilang atau mundur begitu saja sebagai langkah disolusi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melibatkan 41 narasumber dengan identitas anonim, teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dengan metode pengisian Googledoc. Hasil penelitian ini menggambarkan sebagai seorang anonim sangat memungkinkan pengguna lain untuk menginterpretasikan gambaran diri dari akun anonim tersebut sebagaimana seperti yang mereka idamkan. Maka ketika hubungan yang telah berlanjut ke dalam tahapan romantisme dan dijalani dalam identitas asli tidak sesuai dengan harapan mereka ataupun melewati batasan privasi yang mereka atur, maka menjadi seorang Ghoster dan melakukan Ghostingadalah pilihan yang paling mudah untuk dilakuan sebagai upaya disolusi hubungan romantisme tersebut.

 

Kata kunci: Ghosting, Aplikasi Anonim, Akun Anonim, Disolusi, Relasi Romantisme.

 

Abstract

The phenomenon of Ghosting on social media networks is now very commonplace, anyone can use the release strategy as a step in the dissolution of romantic relationships that are being undertaken when the relationship that was originally described using an anonymous identity in an application, continues into more intense and intimate communication. through media messaging applications, where users are advised to use a real identity as a description of their account in contrast to anonymous applications that allow users to express themselves using an anonymous identity. In one of the basic assumptions of social penetration theory, predictable relationships will allow those involved to choose to disappear or simply step back as a dissolution step. This study uses qualitative research methods involving 41 sources with anonymous identities, data collection techniques are carried out through interviews with the Googledoc filling method. The results of this study illustrate that being anonymous allows other users to interpret the self-image of the anonymous account as they wish. So when the relationship that has progressed to the romantic stage and is lived in the original identity does not match their expectations or cross the privacy boundaries they set, then becoming a Ghoster and doing Ghosting is the easiest choice to do as an effort to dissolution of the romantic relationship.

 

Keywords: Ghosting, Anonymous Applications, Anonymous Accounts, Dissolution, Romantic Relationships

 

Pendahuluan

Fenomena ghosting saat ini semakin beragam, media yang digunakan pun semakin variatif. Di era yang serba digital ini membuat kita sebagai mahluk sosial mencoba berbagai cara untuk bisa mempertahankan eksistensi diri dan juga relasi, baik melalui proses langsung secara tatap muka ataupun melalui berbagai media sosial online, sebut saja melalui media sosial dengan aplikasi berbasis anonim/tanpa nama, pada aplikas berbasis anonim seperti Whisper, Prisga, gabut dan lainnya kita bisa menggunakan nama alias sebagai identitas diri, sehingga kita tidak perlu terjebak dengan identitas asli kita dan bebas untuk membangun citra diri yang lain dalam ruang digital tersebut sebagai anonim. Pada aplikasi media sosial berbasis pesan teks dan suara, sebut saja Line kita bisa memanfaatkan fitur People Nearby untuk bisa saling berkenalan dengan siapa saja yang saat itu posisinya berdekatan dengan kita, hanya dengan menekan tombol �add friend� kita bisa langsung otomatis membangun percakapan dengan lawan bicara tersebut.

Fenomena ghosting di Indonesia mulai ramai diperbincangkan ketika Putra ke 3 Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep diduga menjadi seorang Ghoster pada pasangannya yaitu Felicia Tissue. Kaesang yang saat itu telah menjalin hubungan selama 3 tahun dengan Felicia mendadak menghilang tanpa kabar apapun kepada Felicia, meski akun media sosialnya tetap aktif, begitupula pada media pesan Whatsapp yang kemudian berdasarkan penuturan Felicia bahwa media komunikasi yang biasa digunakan untuk bertukar pesan ataupun tautan sosial media mendadak tidak bisa diakses atau diblock oleh Kaesang sebagai sang inisiator. Pemutusan hubungan secara sepihak ini kemudian dibarengi dengan hilangnya kabar dari Kaesang hingga munculah istilah ghosting pada proses penyelesaian hubungan keduanya.

Kemajuan teknologi informasi melalui media digital sesungguhnya menjadikan proses komunikasi lebih mudah dan cepat, dengan tidak lagi mengenal jarak dan waktu, konektivitas dapat terus terjalin meski intensitas tatap muka tidak lagi dapat dilakukan sesering seperti sediakala, namun pada fenomena ghosting sendiri kemajuan teknologi yang sedemikian rupa ternyata tidak memberikan efek yang cukup berarti terkecuali jejak yang bisa dilihat namun tetap tidak bisa terjamah begitu saja dengan adanya fitur blocking sebagai pembatasan akses informasi seseorang yang sedang di ghostee (merujuk pada korban ghosting) oleh sang ghoster (merujuk pada pelaku ghosting).

Perasaan untuk mulai melepaskan ikatan emosional yang sebelumnya terbangun atas dasar kondisi yang sama mulai muncul, namun tidak dibarengi dengan tingkat kedewasaan diri dalam upaya penyelesaian konflik dalam sebuah hubungan relasi percintaan. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan fenomena ghosting, merujuk pada Urban Dictionary, ghosting diartikan sebagai �the act of dissapearing on your friends without notice or cancelling plans with little or no choice.�

Berikut adalah kisah ghosting yang dialami oleh Winda, berdasarkan penuturan Winda selain barangkali memang dia dan sosok pria yang men-ghostingnya ini tidak menemukan kecocokan, kondisi pandemi Covid-19 memberikan pengaruh terhadap proses membangun relasi percintaannya tersebut. Berawal dari perkenalan yang diinisiasi oleh salah satu sahabatnya hubungan relasi yang dijalani pada bulan pertama cukup intens, melalui media Whatsapp dan telepon, mereka bertukar kabar setiap harinya, kedekatan semakin terjalin memasuki bulan kedua setelah perkenalan peningkatan hubungan tersebut ditandai dengan intensitas komunikasi yang semakin tinggi meski hanya melalui media virtual yaitu videocall dan saling follow akun media sosial masing-masing, perbincangan berlanjut hingga saling bertukar visi dan misi mengenai hubungan mereka.

Hingga kemudian pada bulan ketiga hubungan relasi percintaan tersebut berlangsung mereka memutuskan untuk saling bertemu satu sama lain, setelah sebelumnya mereka menahan diri dikarenakan aturan pemerintah yang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tibalah hari pertemuan pertama mereka �Everything was good and pretty smooth ... untill�. Di hari yang sama setelah pertemuan mereka dan kembali ke rumah masing-masing, Winda mengatakan bahwa dia masih mengabarkan melalui Whatsapp, namun sejak setelah pertemuan pertama mereka tidak ada lagi balasan pesan ataupun kabar yang datang dari pasangannya tersebut, bahkan meski status media sosial pasangannya tersebut sedang online tidak ada kabar yang dikirimkan olehnya atau bahkan membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Winda.

Dijelaskan oleh Winda, bahwa sang Ghoster sama sekali tidak ada upaya penjelasan apapun kepadanya, sehingga ketika Winda menyadari bahwa dia sudah menjadi korban ghosting dari pria tersebut Winda mulai melakukan upaya move on dan menjalani hari-harinya seperti biasa seperti sebelum berkenalan dengan pria tersebut, meski sebelumnya sempat merasa rendah diri dikarenakan� �I have no clue, am i doing something wrong?� ucapnya.

Perjalanan relasi percintaan antara dua individu senantiasa diwarnai oleh berbagai situasi dan kondisi, pagi hingga siang hari terasa begitu hangat, namun bisa berganti tatkala malam selesai dari aktivitas satu hari penuh yang dijalani, hanya dengan satu kata dengan proses penyampaian yang tidak tepat akan merubah suasana hangat menjadi dingin dan tak jarang menimbulkan pertengkaran. Proses komunikasi yang simultan dan intim merupakan salah satu kunci dalam membangun sebuah relasi percintaan yang langgeng.

Pada era digital saat ini, komunikasi tidak hanya bisa dilakukan ketika bersama dalam ruang dan waktu yang sama, melainkan dapat tetap terjalin meski jarak memisahkan. Sama halnya dengan aplikasi berbasis anonim, aplikasi media online seperti Whatsapp, Instagram, Facebook dan lainnya memiliki berbagai fitur yang bisa digunakan sebagai media komunikasi yang tidak hanya melalui percakapan, tapi juga melalui berbagi gambar, status dan lainnya sehingga bagi mereka yang memiliki kesamaan minat bisa dengan mudah bertemu dalam ruang digital.

Situstheknot.com (Smith, 2014)dalam sebuah konten artikelnya merilis beberapa pasangan yang bertemu dan jatuh cinta melalui media sosial. Pasangan Matthew Fleming dan Robin Coe, bertemu pada Januari 2012 dan kemudian menikah setahun kemudian pada 10 Mei 2013. Pada 2011 Robin memulai petualangan virtualnya melalui media sosial Instagram untuk mencari dan mengikuti akun yang menarik perhatiannya, Robin kemudian mengikuti akun Instagram yang dimiliki oleh Matthew. Robin tertarik dengan foto-foto yang dibagikan oleh Matthew dalam perjalanannya bersepeda, berawal dari ketertarikan itu Robin mulai mengomentari foto yang dibagikan oleh Matthew yang kemudian berlanjut kedalam sebuah percakapan yang tidak hanya melalui laman komentar Instagram, melainkan juga E-mail dan Skype. Hingga kemudian mereka memutuskan untuk menjalin relasi percintaan dan membagikan perjalanan relasi mereka ke laman Instagram, bahkan postingan mengenai pertunangan Robin dan Matthew mendapatkan lebih dari 10.000 likes dari pengikut mereka.

Berbeda dengan kisah Robin dan Matthew, berdasarkan data survey yang dilakukan pada 2019 oleh lembaga Pew Research Center (A. Vogels, 2020)menunjukan banyak pasangan di Amerika yang justru menghadapi hambatan terkait teknologi dan relasi percintaan mereka. 51% pasangan menikah dengan rentang usia 50 tahun di Amerika mengatakan bahwa pasangan mereka seringkali teralihkan oleh smartphone ketika sedang menghabiskan waktu bersama, bahkan empat dari sepuluh partisipan mengatakan setidaknya mereka terkadang terganggu dengan jumlah waktu yang dihabiskan oleh pasangan mereka bersama Smartphonenya. Sedangkan pada pasangan dengan usia 30 � 49 tahun 62%, dan 52% pada rentang usia 18 � 29 tahun yang sedang berada dalam relasi percintaan cenderung mengatakan bahwa pasangan mereka setidaknya kadang kala terganggu oleh Smartphone mereka ketika mereka tengah mencoba untuk memulai perbincangan(A. Vogels, 2020).

Perkembangan teknologi informasi dan semakin beragamnya berbagai aplikasi media sosial yang biasa digunakan untuk berekpresi di media online menjadikan perlunya bagi mereka sebagai pengguna untuk bisa menjaga privasi, untuk itulah kehadiran aplikasi anonim menjadi media yang sanggat digemari oleh mereka yang ingin bebas berekspresi tanpa menunjukan identitas asli mereka di dunia nyata. Penyamaran identitas seseorang (anonym) sebagai upaya untuk menjaga privasi ketika menjalin relasi dengan akun pengguna lainnya kemudian menciptakan celah yang bisa digunakan untuk sebuah hubungan relasi singkat, baik untuk sekedar dekat, saling curhat, hubungan sesaat, hingga Friends With Benefit (FWB). Akun media sosial anonim memungkinkan pengguna untuk tidak menggunakan identitas asli mereka yang ada di dunia nyata ke dalam dunia online. Hal tersebut kemudian menjadikan hubungan relasi ynag terjalin dalam media online bisa dikatakan hanya sesaat dan digunakan untuk saling menguntungkan satu sama lainnya.

Salah satu media online anonim Whisper misalnya, merupakan aplikasi media online yang memberikan keleluasaan bagi para pengguna untuk menggunakan anonimitas sebagai salah satu syarat utama dalam penggunaan media sosial tersebut. Begitupun dengan akun media sosial lainnya yang berbasis anonimitas. (Kaplan, 2010)mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi Web dimana para pengguna dimungkinkan untuk menciptakan dan bertukar user-generated content.

Karakteristik media sosial yang bersifat maya atau tidak nyata seringkali memberikan gambaran fenomena-fenomena yang saat ini tengah viral/digandrungi/booming baik di kalangan pengguna media sosial itu sendiri ataupun pada khalayak luas, salah satu fenomena yang kemudian terwujud dari adanya penggunaan akun anonim adalah fenomena ghosting yang banyak dilakukan oleh mereka yang rata-rata hanya menginginkan hubungan yang sesaat ataupun mereka yang hanya memulai dengan motivasi sekedar iseng belaka.

Dalam upaya pengguna media sosial anonim untuk bisa menjalin relasi romantis dengan pengguna lainnya tentu ada proses komunikasi yang dibangun oleh keduanya, interaksi romantisme yang melibatkan emosional yang lebih dalam dari sekedar teman biasa tentunya sudah memalui tahapan yang lebih lanjut, keterlibatan pesan verbal melalui obrolan-obrolan baik suara dan text, serta pesan non-verbal melalui ekspresi dan gesture tubuh ketika menjalin komunikasi tatap muka secara online melalui video call. Komunikasi sendiri merupakan bagian penting dalam sebuah hubungan, relasi yang ada terbentuk melalui pertukaran komunikasi dengan intensitas yang tinggi dan rutin, komunikasi yang baik akan membantu seseorang dalam membina sebuah hubungan tanpa mengenal jarak dan waktu.

Seorang Psikolog Albert Mehrabian dalam bukunya yang berjudul Silent Messages mendeskripsikan bahwa komunikasi seorang manusia terdiri dari 55% bahasa tubuh atau komunikasi non verbal, 38% melalui intonasi suara dan 7% melalui kata-kata. (Furman, Wyndol., 1999)mendefinisikan 3 tipe romantic relationship berdasarkan karakteristik-karakteristik dalam hubungan tersebut, yaitu: 1) Keromantisan melibatkan suatu hubungan, pola yang berlangsung terus menerus dari asosasi dan interaksi antara dua individu yang mengakui suatu hubungan dengan yang lainnya. 2) Pada romantic relationship diketahui terdapat unsur kesukarelaan dari kedua pasangan untuk mempertahankan hubungan, sebagian romantic relationship mungkin saja berakhir dalam sebuah ketidakcocokan dengan pasangan mereka. Untuk itu perlunya pengorbanan dari setiap pasangan untuk mewujudkan keberhasilan dalam hubungan romantis mereka. 3) Merupakan bentuk dari ketertarikan (attraction), ketertarikan ini bertumpu pada keterlibatan komponen seksual, ketertarikan seksual sering dinyatakan dalam beberapa bentuk perilaku seksual, meski tidak selalu. Perilaku tersebut dipengaruhi pula oleh kepribadian, tingkat religiusitas dan nilai-nilai budaya.

Pada perilaku hubungan romatisme di media sosial anonim dengan kecenderungan menjadi seorang ghoster dan ghosting merupakan salah satu alternatif terbaik untuk menyudahi hubungan romantisme yang tengah dijalin. Hal tersebut berkaitan dengan proses intimasi yang lebih banyak melibatkan proses komunikasi yang dilakukan di dunia maya, selain itu keterbukaan diri atas identitas diri yang sulit untuk dilakukan dalam media sosial anonim menjadikan hubungan yang dijalin minim keterikatan emosional yang lebih dalam dibandingkan dengan proses membangun hubungan romatisme secara langsung di dunia nyata dan menggunakan identitas diri yang asli.

Pada teori penetrasi sosial (social penetration theory) digambarkan suatu pola dalam pengembangan hubungan. Penetrasi sosial merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana individu-individu bergerak dari komunikasi superficial ataupun komunikasi yang tidak akrab berkembang menjadi komunikasi yang lebih intim. (Altman, Irwin and Taylor, 1973) menjelaskan, keintiman dalam hal ini lebih dari sekedar keintiman secara fisik, dimensi lainnya dari keintiman termasuk pada keintiman dan emosional hingga pada batasan dimana pasangan melakukan aktivitas bersama. Dipercaya bahwa hubungan dalam penetrasi sosial sangat beragam, mulai dari suami & istri, dokter-pasien, hingga antar pengguna media sosial anonim, yang kemudian memilih untuk menjadi ghoster ketika memilih penyelesaian hubungan melalui proses ghostingseperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pada salah satu asumsi dari teori penetrasi sosial (West, R. & Turner, L, 2013)dijelaskan bahwa perkembangan hubungan yang dijalani mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi, ketika sebuah hubungan menjadi berantakan dan yang terjadi adalah pilihan penarikan diri (keruntuhan perlahan sebuah hubungan), kemunduruan ini dapat menyebabkan terjadinya disolusi hubungan, seperti halnya menjadi seorang ghoster dan melakukan prosesighosting menjadi pilihan penarikan diri ketika pasangan yang dikenal dan ditemui secara anonim tidak bisa menyesuaikan dengan kriteria-kriteria yang diinginkan oleh ghoster. Selain itu secara umum, perkembangan hubungan yang sistematis dapat diprediksi, prediktibilitas tersebut secara khusus, menjelaskan bahwa hubungan-hubungan yang berkembang secara sistematis akan dapat diprediksi, terutama hubungan romatisme yang dijalin dan dibangun melalui media sosial online dengan identitas anonim antar pengguna, sehingga ketika salah satu pengguna memilih pengguna lain sebagai pasangannya kecenderungan salah satu pengguna untuk menjadi seorang ghoster menjadi tinggi ketika mereka memilih ghosting sebagai salah satu pilihan disolusi hubungan.

Bagi kebanyakan orang dewasa, sosial media memiliki peran dalam cara mereka menavigasi dan berbagi informasi mengenai hubungan romantisme mereka. Namun begitu, sosial media juga bisa menjadi sumber konflik dan kekesalan bagi sebagian pasangan. Diantara mereka dengan pasangan yang menggunakan sosial media, 23% mengatakan bahwa mereka merasa cemburu atau bahkan tidak yakin dengan hubungan mereka, dikarenakan cara pasangan mereka berinteraksi dengan orang lain di media sosial. Peningkatan presentase juga terjadi pada rentang usia 18 � 29 tahun hingga 34% (Lenhart, 2014).

Pemutusan hubungan baik sepihak ataupun atas kesepakatan bersama akan menimbulkan beragam perasaan yang tidak melulu baik-baik saja. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan olehYouGov (Moore, 2014) di Amerika, bahwa fenomena ghosting seringkali terjadi dalam sebuah hubungan, dan apabila dibandingkan pemutusan hubungan relasi percintaan yang dilakukan secara baik-baik dengan kesepakatan bersama sangatlah jarang, berbanding terbalik dengan pemutusan hubungan secara sepihak dimana sang inisiator pemutusan hubungan bertindaksendiri tanpa memperdulikan pasangannya (Doering, 2010), dan hal tersebut inilah yang sering kali menimbulkan praktik ghosting, hal tersebut merujuk kepada hilangnya eksistensi diri sang inisiator dalam kehidupan pasangan yang diputuskan olehnya.

Kesulitan yang ditimbulkan pasca pemutusan sebuah hubungan bergantung pada strategi penyelesaian yang dilakukan, waktu yang terhitung sejak perpisahan, siapa yang menginisiasi, dalamnya perasaan yang terlibat, dan perasaan dikhianati (Field et al., 2010)berdasarkan model strategi pelepasan Baxter mengartikan bahwa strategi pemutusan sebuah hubungan relasi ditentukan oleh dua variable, yaitu variable x-axis mewakili diri atau orientasi lainnya,sedangkan y-axis menunjukan langsung atau tidak langsungnya cara pemutusan hubungan tersebut.�

 

 

 

 

 

Baxter�s Model of Disengagement Strategies (1985)

(LeFebvre et al., 2019)

 

Metode Penelitian

����������� Metode penelitian yang dilakukan untuk membedah fenomena ghosting di media sosial ini menggunakan metode kualitatif, penelitian kualitatif sendiri merupakan sebuah penelitian dimana peneliti ditempatkan sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan melalui penggabungan dan analisis data yang bersifat induktif (Sugiyono, 2010).� Penelitian kualitatif sendiri menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif, melalui transkripsi wawancara dan observasi (Poerwandari, 2005) Penelitian ini melibatkan 41 narasumber dan respon yang dituliskan oleh para narasumber menjadi hasil temuan dalam penelitian ini.

 

Hasil dan Pembahasan

Pada fenomena ghosting yang terjadi di media sosial anonim, para ghoster biasanya hanya menjalani hubungan romatisme dalam kurun waktu yang sangat singkat. Berdasarkan hasil wawancara pada 41 narasumber70% mengatakan bahwa mereka hanya mejalani hubungan selama 1-3 bulan, 20% 7-10 bulan, dan 10% menjalani hubungan kurang dari 1 bulan untuk kemudian memutuskan untuk menjadi seorang ghoster.

Pemilihan para narasumber untuk menjadi seorang ghoster adalah upaya pelepasan hubungan yang dirasa tidak sesuai dengan ekspektasi ketika hubungan yang dijalani mengalami peningkatan keintiman. Terlebih perkenalan yang dijalin melalui media sosial anonim sangat rentan terjadi keraguan, perasaan tidak suka atas privasi identitas yang terlanggar, hanya sekedar have fun dan sebagainya. Penggunaan akun anonim yang tidak sesuai dengan identitas asli seperti, �Merpati�, �Bunglon Langka�, �Bunglon Sangar�, �Magi Cantik�, �Koala Jinak� dan lain sebagainya.

Pada keseluruhan akun anonim yang menjadi narasumber sebanyak 17.1% berusia 21 tahun, 12.2% berusia 25 tahun dan selebihnya berusia pada rentang 16-20 dan 27-37 tahun. Dan dari keseluruhan tersebut berjenis kelamin Perempuan sebanyak 75.6% dan 24.4% adalah laki-laki. Pada keseluruhan total narasumber 92% dari mereka mengatakan bahwa mereka sangat familiar dengan istilah ghosting.

Media sosial yang digunakan ketika melakukan ghosting cenderung melalui penggunaan aplikasi anonim, sebanyak 81% narasumber menggunakan akun anonim seperti Whisper, Prisga, Gabut, dan lainnya. Sedangkan sebanyak 11% menggunakan aplikasi Tinder, dan sisa lainnya menggunakan aplikasi seperti Line, Line Nearby, Bumble dan lain sebagainya. Rata-rata penggunaan aplikasi tersebut digunakan dalam kurun waktu 30 hari terakhir (67.6%), lebih dari satu tahun terakhir (21.6%) dan sisanya sebanyak 10.8% menggunakan media aplikasi anonim selama 1-6 bulan terakhir.

Dalam sebuah pertanyaan mengenai kapan dan bagaimana awal mula seorang ghoster mengenal partnernya, mayoritas mengenal melalui aplikasi anonim yang kemudian �match�saling sapa dan memulai percakapan pada room chat yang merupakan salah satu fitur dari aplikasi anonim tersebut. Selain itu perkenalan melalui fitur People Nearby yang tersedia di aplikasi Line, Add Friend, berkenalan, chatting dan akhirnya memutuskan untuk berjumpa tatap muka secara langsung, ada pula perkenalan yang dilakukan melalui aplikasi anonim lainnya seperti Gabut, setelah opsi pencarian partner selesai komunikasi berlanjut melalui chat dan juga Freecall. Pada tahapan yang lebih lanjut setelah obrolan yang terjadi di aplikasi anonim biasanya mereka melanjutkan percakapan melalui aplikasi messaging seperti Whatsapp dan Line, untuk kemudian berlanjut untuk tatap muka baik hanya melalui video call ataupun pertemuan secara langsung. Biasanya tahapan tersebut dilakukan setelah kedua belah pihak sama-sama merasa nyaman dan menemukan keseruan dalam setiap topik yang dibahas oleh keduanya.

Namun hubungan yang berlanjut dari sekedar kenal, saling sapa, memulai percakapan, dan intensitas yang lebih intim dengan adanya obrolan melalui tatap muka online (video call) seringkali menemukan hambatan berupa kondisi fisik yang tidak sesuai ekspektasi, atau perilakupartner yang justru mulai mendominasi, mengatur ataupun mulai mengarah pada kecenderungan pola komunikasi yang toxic seperti permintaan untuk Video Call Sex (VCS), berkirim gambar atau PAP (Post A Picture) bagian-bagian intim dan lain sebagainya.

Peningkatan hubungan yang sangat drastis dalam waktu singkat kemudian membuat relasi dalam hubungan tersebut terasa sangat melawati batasan yang seharusnya, salah satu narasumber dengan nama akun anonim �Unta Arab� mengatakan �Kita Frikolan (Freecall) di Gmeet (Google Meet), chat hampir setiap hari intens lah, tapi intensitas mendadak berkurang setelah dia ngomong sayang sama Gw�. Hal tersebut dirasa berlebihan karena hubungan komunikasi intens yang mereka jalin baru berjalan selama 2 hari.

Unta Arab menambahkan bahwa kejadian yang dialaminya dibulan lalu tersebut terjadi sangat singkat sehingga dia merasa tidak diberikan kesempatan untuk menelaan hubungan tersebut. Dari yang awalnya dilakukan melalui pencarian teman ngobrol di Timeline dan ketemulah dengan salah satu akun anonim lainnya, mereka berbincang selama dua malam, dan pada hari ketiga �Dia ngechat gue, �Selamat pagi, Kangen�� gue awalnya cuma mikir �ih apasih baru juga 2 hari�, kemudian sang partner menambahkan bahwa tidak hanya rasa kangen yang dirasakan tapi juga dia merasa sayang dengan Unta Arab. Sang partner mendadak menghilang setelah menerima jawaban dari Unta Arab yang meragukan hal tersebut.

Setelahnya tidak ada percakapan chat antar keduanya dan tiba-tiba saja sang partner mengganti avatar akun anonimnya dan melakukan End Chat (mengakhiri obrolan chat) dengan Unta Arab. Hingga kemudian Unta Arab memutuskan untuk posting kembali bahwa dia mencari partner untuk menjadi teman ngobrol kembali, dan sang partner kembali menghubungi dengan memulai percakapan dengan kalimat �Lo sombong banget sekarang�, Unta Arab reflek bertanya mengenai siapa orang tersebut karena merasa curiga, hingga kemudian balasan yang diberikan cenderung emosional dengan meminta Unta Arab untuk jangan lagi melakukan komunikasi chating dengannya. Untuk kemudian Unta Arab mengetahui bahwa alasan sang partner melalukan EC (End Chat) dengannya karena ketika sang partner menghubunginya melalui Freecall hanya karena yang bersangkutan sedang merasa �turn on� dan meminta Unta Arab untuk menemaninya dalam obrolan yang mengarah pada sexual harrasement. Dengan alasan tersebut inilah kemudian Unta Arab memutuskan untuk menghilang dan tidak melakukan kontak apapun dengan sang partner dengan alasan keamanan atas dirinya.

Pola komunikasi yang dijalin oleh para ghoster dan ghostee dalam identitas anonim biasanya dilakukan sebagai upaya ekspresi diri, dimana ketika seseorang mengekpresikan dirinya menjadi satu figur yang ingin direpresentasikan dan mendapatkan feedback dengan kesamaan pandangan dan pola komunikasi yang sama, sama-sama ingin mengekpresikan diri dari sisi yang berbeda. Hal tersebut inilah kemudian dirasa menjadi kurang dan terasa hilang ketika komunikasi yang dijalin semakin erat dan berpindah dari media komunikasi sebagai anonim ke dalam akun real ketika menggunakan aplikasi berbasis messaging dimana kita cenderung menggunakan nama asli, foto asli dan tentu pola komunikasi yang dilakukan dalam media tersebut akan menampilkan sisi asli dari diri kita secara utuh, berbeda ketika merepresentasikan diri sebagai anonim.

Salah satu narasumber yang menjalin kedekatan sebagai pasangan anonim melalui aplikasi Discord mengatakan

�Sebenarnya dari beberapa hari setelah move ke media Line aku udah enggak sreg karena mulai ketauan sifat-sifat yang kurang aku suka, tapi karena dia baik banget sama aku, jadi aku kurang enak untuk menjauh dan terkadang obrolan kita ya nyambung, aku terhibur juga. Sampai akhirnya aku udah enggak kuat lagi dan udah enggak peduli lagi mau gimana tapi aku enggak berani jujur tentang uneg-uneg aku ke dia. Pelan-elan aku udah enggak mau balas dan angkat telfon dari dia lagi tapi dia masih tetap ngechat aku terus dan selalu ngikutin aku ke server Discord manapun dan join voice Discord yang ada akunya�.

Pada kenyataannya respon dari para narasumber ketika melakukan perilaku ghosting dan menjadi seorang ghoster diawali dengan perasaan tertarik dan menyukai partnernya tersebut, sebanyak 58% menyebutkan bahwa mereka menyukai partnernya sebelum memutuskan untuk melanjutkan obrolan ringan menjadi obrolan yang lebih intens dan intim. Sedangkan opssi menghilang perlahan-lahan atau menjadi seorang ghoster dilakukan ketika hubungan komunikasi yang dijalani sudah tidak lagi sesuai dengan harapan yang ada, para narasumber biasanya memilih opsi menghilang perlahan-lahan dengan mengurangi intensitas obrolan melalu freecall, kemudian mengurangi pula intesitas membalas pesan yang ditinggalkan pada aplikasi chat, hingga akhirnya benar-benar tidak lagi menggubris pesan dan panggilan yang dilakukan oleh partnet mereka. Untuk keputusan ekstrim seperti melakukan pemblokiran pada setiap media komunikasi dilakukan biasanya karena partner yang perlahan berubah menjadi posesif ataupun terlalu mendominasi sehingga jalan terbaik yang terpikirkan oleh para ghoster adalah mengakhiri secara sepihak komunikasi yang sedang dijalin terlebih, keputusan untuk menghosting partnernya tidak dirasa sebagai sesuatu yang patut untuk disesali, mayoritas narasumber justru merasa lega dengan keputusan tersebut karena bisa terlepas dari hubungan yang tidak stabil dikarenakan dimulai melalui identitas diri sebagai anonim.

Penggambaran suatu pola dalam pengembangan hubungan paada teori penetrasi sosial, jelas terjadi pada pengembangan hubungan yang dimulai pada interaksi sebagai seorang anonim dalam akun media sosial untuk kemudian berlanjut dengan pembukaan identitas diri secara nyata ketika kedua belah pihak setuju untuk melanjutkan hubungan yang lebih intens dan intim. Sebagaimana yang digambarkan oleh pasangan anonim yang kemudian berubah menjadi seorang ghoster dan ghostee ketika peningkatan hubungan yang dilakukan dirasa tidak sesuai dengan harapan, karena perubahan identitas anonim pada dunia maya sangat berbeda dengan gambaran jati diri dalam dunia nyata.

Pada teori penetrasi sosial sendiri dijelaskan dalam salah satu asumsinya bahwa perkembangan hubungan yang dijalani mencakup pada depenetrasi atau sebuah langkah penarikan diri sebagai langkah disolusi ketika hubungan menjadi berantakan dan tidak bisa dilakukan secara perlahan atau baik-baik saja. Kemunduran yang dilakukan sebagai langkah disolusi yang dipilih oleh para narasumber ketika memutuskan untuk mengakhiri hubungan romantisme dengan partner anonimnya ini lah yang kemudian mereka sebut dengan pemutusan hubungan melalui cara ghosting. Secara terperinci dijelaskan pula bahwa perkembangan hubungan yang dilakukan dalam media sosial anonim ke dalam media yang menggambarkan identitas secara jelas sangat dimungkinkan untuk diprediksi bagaimana hubungan tersebut kemudian akan berakhir. Hal tersebut inilah yang kemudian digambarkan dengan jalinan hubungan romantisme yang hanya berlangsung sesaat.

Pemutusan hubungan baik atas kesepakatan bersama ataupun secara sepihak nyatanya akan menimbulkan beragam perasaan yang tentunya tidak selalu baik-baik saja. Sebagaimana dijelaskan oleh salah satu narasumber dalam hasil mengenai sulitnya mereka mengakhiri hubungan singkat tersebut sehingga ghosting adalah pilihan yang paling baik diantara yang lain, tanpa perlu untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana, mereka bisa begitu saja melepaskan hubungan tersebut secara sepihak tanpa merasa menyakiti pasangan anonim yang menjadi partner mereka.

Dalam model strategi pelepasan bexter dijelaskan mengenai pemutusan sebuah hubungan relasi ditentukan oleh dua variabel, yaitu variabel x-axis sebagai perwakilan diri atau orientasi lainnya dan y-axis untuk menunjukan langsung atau tidak langsungnya cara pemutusan hubungan tersebut, pada x-axis yang mewakilkan pandangan diri sendiri menjelaskan bahwa pemutusan hubungan secara tidak langsung melalui cara penyampaian yang tidak langsung atau dalam hal ini adalah melalui tindakan ghosting menunjukan bahwa hal tersebut mencoba menggambarkan bahwa keputusan tersebut bertumpu pada kepentingan satu pihak yaitu pada sissi ghoster sebagai pengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan cara mengghosting sang partner. �

 

Kesimpulan

Penelitian ini berkesimpulan bahwa, hubungan yang terjalin melalui media sosial dengan identitas diri anonim merupakan jenis relasi romatisme yang mudah diprediksi akan bagaimana dan seperti apa akhirnya. Pemilihan ghosting sebagai langkah disolusi dan strategi pelepasan yang dirasa lebih meringkankan para ghoster untuk menghentikan atau meninggalkan hubungan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka haparkan ketika sama-sama menggunakan karakter anonim disaat awal perkenalan. Menjadi seorang ghoster memungkinkan mereka untuk memutuskan hubungan secara sepihak dengan cara-cara yang mereka anggap mudah dan menguntungkan bagi dirinya karena tidak terasa menyakitkan sebagaimana yang terjadi apabila kita berada diposisi sebagai seorang ghostee.

Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian ini rentang usia mereka yang terjebak dalam pola hubungan yang berakhir dengan ghosting sebagai disolusi hubungan merupakan mereka yang berusia 16-27 tahun dimana usia tersebut memiliki kecenderungan untuk bisa bebas berekspresi tanpa status hubungan yang mengikat dan pasti. Mereka lebih mudah untuk menjalin kedekatan emosional dengan siapapun dengan proses pemutusan hubungan yang juga tanpa melibatkan perasaan bersalah karena meninggalkan hubungan yang tidak sesuai dengan harapan.


BIBLIOGRAFI

 

�A. Vogels, E. (2020). About Half of Never-Married Americans Have Used an Online Dating Site or App. March 24. https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/03/24/the-never-been-married-are-biggest-users-of-online-dating/

Altman, Irwin and Taylor, D. A. (1973). Social Penetration : The Development of Interpersonal Relationship. Rinhart & Winston Inc.

Doering, J. (2010). Face, Accounts, and Schemes in the Context of Relationship Breakups. Symbolic Interaction, 33(1), 71�95. https://doi.org/10.1525/si.2010.33.1.71

Field, T., Diego, M., Pelaez, M., Deeds, O., & Delgado, J. (2010). Breakup Distress and Loss of Intimacy in University Students. Psychology, 01(03), 173�177. https://doi.org/10.4236/psych.2010.13023

Furman, Wyndol., E. al. (1999). The Development of Romantic Relationship in Adolesence. Cambrige University Press.

Kaplan, A. & M. H. (2010). User Of The World, Unite! The Challenges and Opportunities Of Social Media. Bussines Horizons.

LeFebvre, L. E., Allen, M., Rasner, R. D., Garstad, S., Wilms, A., & Parrish, C. (2019). Ghosting in Emerging Adults� Romantic Relationships: The Digital Dissolution Disappearance Strategy. Imagination, Cognition and Personality, 39(2), 125�150. https://doi.org/10.1177/0276236618820519

Lenhart, A. & M. D. (2014). Couples, The Internet, And Social Media. February 11. https://www.pewresearch.org/internet/2014/02/11/couples-the-internet-and-social-media/

Moore, P. (2014). Poll Results: Ghosting. October 28. https://today.yougov.com/topics/lifestyle/articles-reports/2014/10/28/poll-results-ghosting

Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia (Edisi. Ketiga). LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Smith, A. (2014). These Are the Couples Who Met and Fell in Love on Social Media. Summer 2014. https://www.theknot.com/content/couples-fell-in-love-social-media

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

West, R. & Turner, L, H. (2013). Pengantar Teori Komunikasi. Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika..

 

������������������������������������������������

Copyright holder:

Nama Author (Tahun Terbit)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: