Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
PENGARUH TINGKAT KESEHATAN BANK TERHADAP
INKLUSI KEUANGAN
Nurhamid, Hotman Tohir Pohan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh kesehatan bank terhadap
tingkat
inklusi keuangan. Penelitian ini memanfaatkan market
discipline theory yang mendasari partisipasi pelaku pasar dalam sistem
keuangan yang inklusif serta teori signalling yang merepresentasikan
bagaimana informasi kesehatan bank berperan dalam keputusan partisipasi
tersebut. Sampel penelitian adalah Bank terbuka pada tahun 2017-2020 yang disaring berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu atau teknik purposive sampling. IBM SPSS Statistic digunakan sebagai
alat analisis penguji hipotesis penelitian.
Hasil penelitian yang didapat adalah tidak adanya pengaruh antara
profil
risiko terhadap inklusi keuangan, terdapat pengaruh negatif antara GCG dan
permodalan terhadap inklusi keuangan
sementara rentabilitas terbukti dapat meningkatkan inklusi keuangan atau
berpengaruh positif. Hasil ini diharap
dapat mendorong pemerintah untuk merancang kebijakan yang seimbang antara
pengawasan kesehatan bank dengan penciptaan inklusi keuangan bagi penduduk
miskin serta bagi pihak bank untuk memerhatikan tingkat kesehatan bank yang
terbukti menjadi faktor penentu keikutsertaan pelaku pasar dalam sistem
keuangan.
Kata kunci : Kesehatan Bank,
Inklusi Keuangan, Corporate Governance.
Abstract
This study
aims to analyze the effect of bank soundness on financial inclusion. The theory
used in this research is market discipline theory which underlies the
participation of market participants in an inclusive financial system and
signaling theory which represents how banks� information plays a role in the
participation decision. Sample are banks listed on the Indonesia Stock Exchange
during the 2017-2020 period, filtered using a purposive sampling method. IBM
SPSS Statistic used as the tools of hypothesis analysis. The result indicates
that there is no influence between the risk profile on financial inclusion,
GCG, and capital hurt financial inclusion while profitability increases
financial inclusion. Study results are expected to encourage the government to
design policies that balanced bank soundness financial inclusion creation and
for banks to be aware of its soundness which have proven to be a determining
factor for the consideration of market participants in the financial system.
Keywords : Bank Soundness, Financial
Inclusion, Corporate Governance.
Pendahuluan
Tahun 2020 menjadi tahun yang mengejutkan bagi semua pihak, termasuk organisasi yang berada dalam industri finansial. Pandemi COVID-19 pada dunia mendorong banyak sekali perubahan pada norma dan praktik bisnis. Bank yang sebelumnya bertumpu pada operasional cabang dan jaringan, kini didorong untuk melakukan digitalisasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan transaksi keuangan tanpa kontak.
Kemudahan dalam mengakses layanan keuangan ini dapat bermanfaat, baik bagi nasabah maupun para pelaku industri sehingga dapat meningkatkan inklusi keuangan. Tak ayal, banyak bank konvensional yang kemudian menginvestasikan sejumlah dananya untuk membangun bank digital atau berkolaborasi dengan teknologi finansial (fintech) yang sudah ada demi menjaga kinerja perusahaan di tengah pandemi yang berlangsung.
Inklusi keuangan secara umum dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana produk dan layanan keuangan yang berkualitas dapat diakses dengan mudah dan terjangkau bagi masyarakat yang belum memilikinya (unbanked population) (Boachie, Aawaar, & Domeher, 2021). Lebih lanjut, inklusi keuangan diukur dengan ketersediaan dan aksesibilitas produk dan layanan keuangan di tengah masyarakat, serta penggunaannya (Sanjaya & Nursechafia, 2016). Produk dan layanan keuangan yang dimaksud mencakup seluruh produk dan layanan sektor jasa keuangan, bukan hanya perbankan.
Berdasarkan data dari World Bank di tahun 2017, terdapat sebanyak 1,7 juta penduduk dewasa di dunia yang tidak memiliki produk keuangan, baik yang ada di institusi keuangan formal maupun secara digital. Indonesia sendiri turut menyumbang sebanyak 6% dari total populasi tersebut (Demirg��-Kunt, Klapper, Singer, Ansar, & Hess, 2017). Apabila dibandingkan dengan negara di kawasan regional ASEAN, indeks inklusi keuangan Indonesia juga masih tertinggal dibanding Malaysia dan Thailand (Asian Development Bank, 2016). Sementara hasil survei nasional indeks inklusi keuangan Indonesia tahun 2019 oleh OJK menunjukkan bahwa terjadi peningkatan indeks inklusi keuangan sebesar 8,3% dari tahun 2016 menjadi 76,19% dengan rincian indeks inklusi sektor perbankan sebesar 73,88% atau yang terbesar dibanding sektor jasa keuangan lainnya. Guna mencapai target inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024, Strategi Nasional Keuangan Inklusif dirancang berdasarkan Peraturan Presiden No. 114/2020 untuk menyediakan akses pinjaman, simpanan, asuransi, dan pembiayaan bersama, serta layanan pembayaran terhadap penduduk miskin.
Kajian khusus terkait inklusi keuangan syariah juga terus dilakukan dengan memahami potensi Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim paling banyak dibanding negara lainnya yang ada di dunia. Indeks inklusi keuangan syariah di Indonesia masih tergolong rendah dengan besaran 9,1% di tahun 2019 dan indeks literasi keuangan syariah sebesar 8,93% (Otoritas Jasa Keuangan, 2019). Untuk meningkatkan indeks tersebut, Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024 diluncurkan oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah sebagai langkah peningkatan produk keuangan syariah dan literasi fikih ekonomi sehingga aksesibilitas, ketersediaan, dan penggunaan produk dan layanan keuangan syariah dapat optimal. Salah satu bentuk implementasi MEKSI pada februari 2021 lalu adalah merger Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) (Kementerian Keuangan RI, 2021).
Di sisi lain, usaha peningkatan inklusi keuangan ini juga dapat meningkatkan kompetisi usaha di antara bank sebagai lembaga perantara (intermediaries). Penetrasi produk dan layanan
keuangan yang agresif, baik secara konvensional maupun digital, dapat memengaruhi kelancaran pemenuhan kebutuhan likuiditas masyarakat di tengah ketidakpastian yang terjadi. Terlebih, bank telah mengalami peningkatan risiko terhadap kredit yang sudah ada seiring dengan meningkatnya risiko usaha para nasabah akibat pandemi. Oleh karena itu, bank harus memiliki tingkat kesehatan yang cukup dalam menghadapi kompetisi tersebut.
Sesuai dengan POJK No. 4/POJK.03/2016 (2017), penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan dengan penerapan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko guna menjaga efektivitas dan efisiensi bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Penilaian sendiri dilakukan dengan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) yang mencakup faktor profil risiko (risk profile), tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance), dan rentabilitas (earnings), serta permodalan (capital) yang sering disebut RGEC Model. Keempat faktor ini diukur setidaknya setiap semester dengan metode penilaian sendiri (self-assessment). Peraturan ini menggantikan Peraturan Bank Indonesia No. 9/6/2007 (2007) yang mengatur tingkat kesehatan bank dengan pengukuran CAMELS yakni pengukuran tingkat kesehatan bank berdasarkan kecukupan modal (Capital Adequacy), kualitas aset berdasarkan risiko (Asset Quality), manajerial bank (Management), profitabilitas (Earnings), likuiditas (Liquidity), dan sensitivitas pasar (Sensitivity).
Keterkaitan antara tingkat kesehatan bank dan inklusi keuangan terdapat pada peran bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Bank memiliki peran penting terhadap peningkatan indeks inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi (Sanjaya & Nursechafia, 2016), serta penurunan ketimpangan pendapatan (Muslikhah & Utami, 2020) dengan menyediakan akses, ketersediaan, dan kemudahan penggunaan produk dan layanan keuangan. Keterkaitan ini dapat diinterpretasikan secara mudah dengan kondisi dimana masyarakat memahami bahwa bank yang sehat dapat memberikan layanan yang optimal dan kepuasan pelanggan. Pemahaman ini didapat karena bank dapat memastikan program dan layanan keuangan yang berkualitas, antisipasi dan pengendalian risiko yang baik, serta terpenuhinya kepatuhan hukum terhadap permodalan. Secara umum, sekalipun terdapat masyarakat yang kurang memahami tingkat kesehatan bank, masyarakat secara sadar menggunakan produk dan layanan keuangan pada bank yang dinilai berkualitas, memiliki reputasi baik, dan dapat dipercaya (Nicola, Manalu, & Hutapea, 2017).
Beberapa penelitian sebelumnya, masih mengukur tingkat kesehatan bank berdasarkan rasio CAMELS. Meskipun beberapa lainnya telah menggunakan RGEC Model, sebagian besar penelitian masih menitikberatkan keterkaitan tingkat kesehatan bank terhadap parameter mikro. Penelitian tersebut antara lain mencari bukti empiris pengaruh tingkat kesehatan bank terhadap pertumbuhan laba dalam penelitian Anggraini dan Dewi (2021), Imam (2020), Sirait et al. (2020), kinerja keuangan dalam penelitian Melawati (2020), dan kinerja pasar saham seperti return saham dalam penelitian Yani & Sentosa (2020), Saputra (2018), Tahmat (2020) hingga kapitalisasi pasar dalam penelitian Aulia & Priyadi (2021).
Dilatar belakangi hal tersebut, penelitian ini akan menguji keterkaitan antara tingkat kesehatan bank terhadap inklusi keuangan sebagai parameter yang lebih komprehensif dalam mengukur dampak eksistensi dan perkembangan industri keuangan, khususnya bank. Penelitian juga akan menguji sampel dengan rentang waktu terkini dan hasilnya diharapkan dapat membantu usaha pemerintah dalam meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia serta menjadi acuan sebagai strategi penetrasi produk dan layanan perbankan bagi pelaku bisnis. Dengan alasan yang sama pula, judul pada penelitian ini adalah �Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank terhadap Inklusi Keuangan�.
Metode Penelitian
1. Variabel yang digunakan dan Pengukurannya
a. Inklusi Keuangan
Indeks
Inklusi Keuangan (Index of Financial Inclusion) telah lebih dulu
diteliti dalam berbagai penelitian dalam mengukur inklusi keuangan, salah
satunya yang diformulasikan oleh Sarma (2012).
Pada penelitiannya, Sarma membagi keuangan inklusif menjadi tiga dimensi, yaitu
penetrasi bank (banking penetration), aksesibilitas (accessibility),
dan penggunaan (usage). Meski begitu, Sanjaya & Nursechafia (2016)
melakukan modifikasi pada rumus tersebut agar dapat lebih spesifik
diaplikasikan di Indonesia yang menurutnya tidak ditemukan data outlier
atau berbeda dengan asumsi Sarma sebelumnya. Dengan begitu, penelitian yang
juga dilaksanakan di Indonesia ini, akan menggunakan definisi serta pengukuran
berdasarkan penelitian Sanjaya &
Nursechafia.
Dalam penelitian Sanjaya & Nursechafia (2016), inklusi keuangan terbagi menjadi tiga indikator yang juga tidak jauh berbeda dibanding penelitian Sarma. Indikator tersebut antara lain aksesibilitas (accessibility), ketersediaan (availability), dan penggunaan (usage). Indikator aksesibilitas (accessibility) akan menggambarkan penetrasi bank yang diukur dengan menghitung jumlah rekening per 1000 (seribu) populasi dewasa. Sementara besarnya indikator aksesibilitas (accessibility) akan diukur menggunakan jumlah kantor cabang per 1000 (seribu) individu. Terakhir, indikator penggunaan (usage) akan diukur dengan menghitung volume kredit yang diberikan dibanding produk domestik bruto (PDB) nasional.
Dengan mengasumsikan bahwa ketiga indikator memiliki proporsi yang sama dan sebanding, maka didapat rumus Index of Financial Inclusion (IFI) sebagai berikut:
b. Profil Risiko (Risk Profile)
Sebagai lembaga intermediaries, bank berkewajiban untuk melakukan perannya menjembatani masyarakat yang memiliki dana berlebih dengan masyarakat yang membutuhkan dana. Bagi masyarakat yang membutuhkan dana, bank akan menyalurkan produk keuangan berupa kredit yang dapat digunakan diiringi kewajiban peminjam untuk mengembalikannya setelah jangka waktu tertentu. Oleh karena perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi peminjam, bank memiliki risiko atas tidak dikembalikannya kredit yang disalurkan tersebut.
Pengukur risiko tersebut adalah Rasio Non-performing loan (NPL). Dengan memerhatikan kolektabilitas pinjaman, kredit yang dikategorikan NPL dapat disebut juga kredit bermasalah dengan kolektabilitas kurang lancar dan diragukan serta macet. Pada dasarnya, semakin tinggi nilai NPL suatu bank menandakan semakin tingginya risiko kredit yang dihadapi. Bank Indonesia melalui PBI Nomor 13/1/PBI/2011 menetapkan batas minimum NPL bank sebesar 5%. Rasio NPL dihitung dengan rumus sebagai berikut:
c. Good Corporate Governance
Penilaian variabel GCG pada penelitian ini akan didasari pada hasil self-assessment setiap bank yang dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan matriks penilaian yang didasari Surat Edaran OJK No. 15/SEOJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Self-assessment yang disyaratkan dilakukan setidaknya setiap semester pada periode berjalan dengan meliputi struktur, proses, dan hasil (outcome) yang juga dapat disebut sebagai tiga aspek governance. Self-assessment akan menghasilkan lima peringkat yaitu peringkat 1 atau Penerapan Tata Kelola Terintegrasi (TKT) sangat baik; Peringkat 2 atau penerapan Tata Kelola Terintegrasi (TKT) baik; Peringkat 3 atau penerapan Tata Kelola Terintegrasi (TKT) cukup baik; Peringkat 4 atau penerapan Tata Kelola Terintegrasi (TKT) kurang baik; dan Peringkat 5 atau penerapan Tata Kelola Terintegrasi (TKT) tidak baik.
d. �� Rentabilitas (Earnings)
Rentabilitas secara umum dimaknai sebagai kemampuan perusahaan menciptakan laba dengan aset atau modal yang dimilikinya. Return on asset (ROA) atau return on equity (ROE) yang termasuk rasio keuangan umumnya dimanfaatkan sebagai alat ukur rentabilitas sebagai representasi pengembalian investasi atau yang juga disebut sebagai return on investment. Akan tetapi, alat ukur pengembalian investasi seperti Return on equity tidak digunakan dalam penelitian ini dengan alasan tidak dilibatkannya komponen kewajiban (liability), termasuk dana pihak ketiga yang juga merupakan salah satu sumber pendanaan kegiatan utama bank yakni penyaluran kredit. Dengan alasan itulah, return on asset dianggap lebih relevan dalam mengukur variabel rentabilitas dimana nilai yang semakin tinggi menandakan kondisi yang semakin baik. Penelitian ini akan menghitung rentabilitas (earnings) suatu bank dengan persamaan sebagai berikut:
e. Permodalan (Capital)
Variabel permodalan pada penelitian
ini akan diukur menggunakan rasio kecukupan modal atau
Capital Adequacy Ratio (CAR). Secara umum, CAR digunakan untuk mengukur
kemampuan modal yang dimiliki bank dalam menghadapi risiko yang melekat pada
aktiva bank.
Berdasarkan
POJK Nomor 11/ POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum, bank wajib menyediakan modal inti (tier 1) meliputi modal inti utama dalam bentuk saham
biasa dan modal inti tambahan seperti saham preferen atau subordinate debt
paling rendah 6% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dengan modal inti
utama paling rendah 4,5% dari ATMR. Perhitungan CAR dapat digambarkan dengan
persamaan berikut ini:
2. Teknik Pengumpulan Data
Populasi dari data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh bank, baik bank umum yang
menerapkan prinsip konvensional maupun syariah, bank pembangunan daerah, dan
bank perkreditan rakyat di Indonesia. Pemilihan bank sebagai data penelitian
didasari pada tujuan dan topik penelitian yang mengukur tingkat kesehatan bank
dan hubungannya terkait inklusi keuangan. Pemilihan juga didasari pada fakta
dimana perbankan merupakan institusi keuangan dengan proporsi terbesar sebanyak
73,88% dalam pengimplementasian inklusi keuangan di Indonesia (Otoritas
Jasa Keuangan, 2019). Sementara dalam
melakukan pengambilan sampel, metode purposive sampling digunakan dengan
memerhatikan beberapa kriteria berikut:
1.
Bank yang
dijadikan sampel merupakan bank yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama
periode penelitian yaitu 2017 hingga 2020.
2.
Bank
mempublikasikan laporan keuangan dan laporan tahunannya (beserta laporan tata
kelola terintegrasi, apabila tersedia) selama periode penelitian yaitu 2017
hingga 2020.
3.
Bank
menginformasikan informasi terkait hasil self-assessment GCG dan
informasi mengenai jumlah rekening serta jumlah kantor cabang selama periode
penelitian yaitu 2017 hingga 2020.
Data akan dikumpulkan dengan menggunakan metode
dokumentasi. Metode dokumentasi dipilih karena data yang digunakan pada
penelitian ini adalah data sekunder yang telah tersedia. Data-data terangkum
dalam laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan (termasuk laporan tata
kelola terintegrasi, apabila tersedia) tahun 2017-2020. Laporan-laporan
tersebut dapat dengan mudah diakses melalui website tiap perusahaan atau
website Bursa Efek Indonesia (www.idx.ac.id).
3. Metoda Analisis Data
a. Uji Statistik
Deskriptif
Analisis
berupa deskripsi dan informasi terkait dengan data yang diteliti akan disampaikan menggunakan metode statistik deskriptif.
Metode ini akan menginformasikan beberapa hal diantaranya nilai minimum atau
terendah dan maksimum atau tertinggi dari suatu data, nilai rata-rata (mean)
dari data, maupun nilai penyimpangan data dari rata-rata seperti standar
deviasi atau varian yang akan menjelaskan seberapa besar penyimpangan data (Augustine, 2013). Informasi tersebut
digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan obyek penelitian tanpa adanya
penarikan kesimpulan.
b.
Uji Asumsi Klasik
Untuk
mengetahui dan menguji kelayakan atas model regresi yang diuji dalam rangka
estimasi hubungan antar variabel, uji asumsi klasik dimanfaatkan dalam
penelitian ini. Selain itu, uji asumsi
klasik juga dipakai untuk memberikan kepastian bahwa data yang dihasilkan
berdistribusi secara normal layaknya sebaran populasi sehingga data dapat
digunakan untuk cukup membuktikan hipotesis penelitian.
c.
Uji
Normalitas
Untuk
menguji apakah model regresi beserta variabel pengganggu atau residual memiliki
distribusi normal, uji normalitas dijalankan. Pada penelitian ini,
uji one sample Kolmogorov-smirnov digunakan karena uji normalitas dengan
grafik sangat subjektif sehingga menciptakan bias apabila dilakukan dengan
tidak hati-hati. Oleh karena itu, keputusan data dapat dikatakan berdistribusi
normal didasari pada hasil kuantitatif uji one sample Kolmogorov-smirnov.
Jika nilai Asymp-Sig. (2-tailed) kurang dari 0,05
maka data berdistribusi tidak normal. Jika nilai Asymp-Sig. (2-tailed)
lebih dari 0,05 maka data berdistribusi normal.
d.
�Uji Multikolinearitas
Uji Multikolonieritas digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, hubungan antar tiap variabel bebas (independen) adalah linier. Jika dalam model regresi terdapat pelanggaran linieritas hubungan variabel bebas, maka penaksiran yang dilakukan oleh model regresi penelitian menjadi tidak tepat sehingga penelitian memperoleh kesimpulan yang salah terkait hipotesis yang dibuktikan. Multikolinieritas dapat diketahui ada atau tidaknya dengan melihat nilai koefisien korelasi antar variabel independen dan nilai toleransi serta Variance Inflation Factor (VIF). Nilai batas yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolonieritas adalah tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10.
e.
Uji
Autokorelasi
Uji asumsi autukorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linier ada korelasi antara residual pada periode sekarang atau t dengan 1 periode sebelum sekarang atau t-1 atau (Ghozali, 2016). Uji Durbin-Watson dimanfaatkan untuk menentukan eksistensi autokorelasi pada penelitian ini, dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:
Tabel 1
f.
Uji
Heteroskedastisitas
Uji asumsi heterokesdatisitas digunakan untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan varians penelitian (varians yang inkonsisten) dari residual pada pengamatan satu ke pengamatan lainnya dalam model regresi linier. Pada penelitian ini, Uji Glejser digunakan karena kemampuannya menguji sampel besar (Gujarati, 2004). Terbebasnya model regresi dari pelanggaran heteroskedastisitas atau terpenuhinya asumsi homoskedastisitas jika hasil signifikasinya lebih besar dari alpha (α) dimana pada penelitian ini ditetapkan sebesar 5%.
g. Analisis
Regresi Linier Berganda
Untuk
mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, regresi
linier dilakukan. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan lebih dari satu
dan hal tersebut menjadi alasan mengapa regresi linier berganda dipilih
ketimbang regresi linier sederhana. Analisis dari hasil regresi linier tersebut
akan didasari pada konstanta untuk mengetahui pengaruh
bersamaan atau simultan variabel bebas dan nilai koefisien regresi untuk
mengetahui besar dan arah pengaruh dari setiap variabel bebas. Persamaan model
regresi linier berganda yang diuji adalah sebagai berikut:
h.
Uji Hipotesis
a.
Koefisien Determinasi (R2)
Menurut Ghozali (2016) koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa besar model regresi mampu menjelaskan variasi atau perubahan yang terjadi pada variabel dependen dimana dalam penelitian ini, Koefisian determinasi diuji untuk mengetahui seberapa besar persentase (%) ketepatan model regresi dalam membuktikan hubungan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
b. Uji
Pengaruh Simultan (F)
Seperti
namanya, uji pengaruh simultan dilakukan untuk menentukan pengaruh variabel
independen yang dimasukkan dalam model regresi terhadap variabel dependen
secara bersamaan atau simultan (Ghozali, 2016). Uji F akan dilakukan menggunakan alat statistik ANOVA yang dapat
mengambil keputusan dengan membandingkan nilai F yang terdapat dalam tabel
ANOVA dengan tingkat signifikansi penelitian. Pada penelitian ini, tingkat
kepercayaan diri diestimasikan sebesar 95% dan oleh karena itu nilai
signifikansi (α) dalam penelitian ini adalah sebesar 0,05 atau 5%.
Artinya, apabila nilai signifikansi F < 0,05
berarti variabel independen secara simultan terbukti memengaruhi variabel
dependen. Sementara apabila nilai signifikansi F > 0,05
berarti variabel independen secara simultan terbukti tidak memengaruhi variabel
dependen.
c. Uji
Parsial (T)
Uji
T akan digunakan pada penelitian ini untuk membuktikan
kebenaran hipotesis hubungan setiap variabel independen dan variabel dependen
yang telah dikembangkan sebelumnya. Pengambilan keputusan hasil uji T akan didasari pada nilai signifikan uji T pada tabel Coefficients.
Apabila nilai signifikansi T < 0,05 berarti
variabel independen terbukti memengaruhi variabel dependen. Sementara apabila
nilai signifikansi T > 0,05 berarti variabel
independen terbukti tidak memengaruhi variabel dependen.
Hasil dan Pembahasan
Data sekunder diuji dan dianalisis pada penelitian ini. Data-data tersebut didapat melalui laporan tahunan perusahaan yang dipublikasikan oleh OJK maupun pada website tiap perusahaan. Hasil pemanfaatan teknik purposive sampling atau teknik penyaringan sampel penelitian yang didasarkan pada kriteria, didapat sebanyak 61 sampel perusahaan perbankan terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama masa 2017-2020 yang dianggap merepresentasikan populasi perusahaan perbankan yang beroperasi di Indonesia.
Tabel 2
Kriteria
Pengambilan Sampel
A.
Analisa Statistik Deskriptif
Tabel 3
Tabel Statistik
Deskriptif
Sumber: Data diolah, 2022
Dari hasil tersebut, dapat terlihat bahwa untuk nilai minimum variabel profil risiko yang direpresentasikan dengan NPL adalah sebesar 0,0080 yang berasal dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) di tahun 2019. Hal ini menandakan, rasio NPL BTPN di tahun tersebut hanya sebesar 0,8% dari total pinjaman yang diberikan di tahun 2019. Sementara perusahaan dengan nilai NPL tertinggi yaitu sebesar 8,54% berasal dari Bank Bukopin di tahun 2017. Meski pencadangan telah dilakukan terhadap risiko penurunan nilai pinjaman yang diberikan, Bank Bukopin hanya berhasil mencatatkan NPL bersih sebesar 6,37% atau masih melebihi syarat maksimum NPL yang ditetapkan OJK yaitu sebesar 5%. Dalam laporan tahunan 2017, Bank Bukopin mengungkapkan bahwa �penurunan kualitas aset, penerapan kebijakan suku bunga single digit dan kondisi makro ekonomi yang masih dalam proses pemulihan� diduga menjadi penyebab peningkatan NPL tersebut. Sementara itu, sebaran nilai NPL pada industri perbankan memiliki rata-rata sebesar 3,42% dengan besar standar deviasi sebesar 0,0197 dari rata-rata nilai NPL.
Pada variabel Good Corporate Governance, perusahaan dengan peringkat 1 atau dengan predikat sangat baik adalah BCA pada tahun 2017-2018 dan 2020. Sementara perusahaan dengan peringkat 3 atau dengan predikat cukup baik berturut-turut adalah Bank Yudha Bakti di tahun 2017 & 2018 serta Bank Neo Commerce (d.h Bank Yudha Bakti) di tahun 2020, J Trust Indonesia di tahun 2018-2020, Bank Ganesha di tahun 2017 dan Bank Victoria Internasional di tahun 2020. Bank-bank dengan predikat cukup baik tersebut tidak perlu menyerahkan action plan perbaikan GCG perusahaan ke OJK karena hal tersebut hanya diperlukan apabila perusahaan memiliki peringkat GCG 4 & 5 atau dengan predikat kurang baik atau tidak baik. Secara umum, peringkat GCG industri perbankan tersebar dengan rata-rata sebesar 2,05 atau berpredikat baik dan dengan standar deviasi sebesar 0,3840 dari rata-rata GCG.
Selanjutnya nilai ROA sebagai indikator variabel rentabilitas memiliki nilai minimum sebesar -0,0225 yang berasal dari J Trust Indonesia di tahun 2018. Hal ini menunjukkan bahwa J Trust Bank mengalami kerugian sebesar 2,25% dari total aset yang dimiliki dengan proporsi perubahan komponen laba rugi tersebar berasal dari peningkatan beban penyisihan kerugian penurunan nilai sebesar 266,28% dari tahun sebelumnya. Pada laporan tahunan 2018, disampaikan bahwa penyebab terjadinya perubahan tersebut adalah akibat penurunan kualitas kredit yang diberikan. Di sisi lain, di tahun yang sama yakni 2018, BCA berhasil mencatatkan nilai ROA tertinggi diantara bank lainnya sebesar 4%. Secara umum, nilai ROA industri perbankan tersebar dengan rata-rata sebesar 1,24% dan dengan standar deviasi sebesar 0,0129 dari rata-rata ROA.
Pada variabel permodalan yang diukur menggunakan rasio CAR, Bank Ganesha di tahun 2020 menjadi perusahaan dengan kecukupan modal tertinggi yakni sebesar 0,357. Hal ini menandakan Bank Ganesha memiliki modal sebesar 35,7% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang dimilikinya. Sementara nilai CAR terendah sebesar 0,1159 atau 11,59% berasal dari J Trust Indonesia di tahun 2020. Secara umum, rata-rata nilai CAR industri perbankan sebesar 21,49% dan dianggap solvable karena melebihi batas minimum kecukupan modal yang diatur dalam POJK Nomor 11/ POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yaitu minimum sebesar 6%. Nilai CAR industri perbankan juga tersebar dengan standar deviasi sebesar 0,0552 dari rata-rata CAR.
Terakhir, variabel dependen pada penelitian ini yaitu Index of Financial Inclusion (IFI) memiliki nilai minimum sebesar 8,32% yang berasal dari Bank Ganesha dimana komponen penyusunnya meliputi 38.197 rekening yang dikelola, 13 jaringan kantor cabang, dan 2.63 triliun rupiah pinjaman yang diberikan untuk tahun 2020. Pada tahun yang sama, BRI berhasil menjadi bank dengan tingkat inklusi keuangan tertinggi sebesar 78,82% dengan komponen penyusunnya meliputi sebanyak 122 juta rekening yang dikelola, 1.617 jaringan kantor cabang, dan total pinjaman yang diberikan mencapai 938,37 triliun rupiah. Dalam laporan tahunan BRI 2020, disampaikan bahwa strategi inklusi keuangan BRI adalah dengan hadir di tengah masyarakat melalui keberadaan 504.233 agen BRILink yang tersebar di lebih dari 54 ribu desa atau lebih dari 70% dari total desa yang ada di Indonesia. Sementara, rata-rata indeks inklusi keuangan di Indonesia dari sektor perbankan adalah sebesar 50,58% yang menandakan bahwa separuh dari penduduk Indonesia telah menggunakan dan memanfaatkan produk serta jasa yang ditawarkan perbankan. Hasil ini cukup berbeda ketimbang survei yang dilakukan oleh OJK untuk tahun 2019 saja yaitu sebesar 73,88% dari sektor perbankan karena sampel dan pengukuran IFI yang berbeda. Selanjutnya, sebaran IFI sektor perbankan memiliki standar deviasi sebesar 0,3031 dari rata-rata IFI.
Untuk menyajikan sebaran inklusi
keuangan yang lebih detail, tabel 4 menyajikan statistik deskriptif Indeks
Inklusi Keuangan untuk setiap dimensi inklusi keuangan dengan mengelompokkan
ke-16 sampel bank dalam penelitian ini sesuai Kelompok Bank Berdasarkan Modal
Inti (KBMI). KBMI didasari pada POJK nomor 12/POJK.13/2021 tentang Bank Umum
yang efektif per 30 Juli 2021 menggantikan pengelompokkan bank berdasarkan Bank
Umum Kelompok Usaha (BUKU). Pengelompokkan KBMI dibagi berdasarkan empat
kelompok berturut-turut bank dengan besarnya modal inti sampai dengan 6 triliun
rupiah dikelompokkan dalam KBMI 1, bank dengan besarnya modal inti 6-14 triliun
rupiah dikelompokkan dalam KBMI 2 untuk bank dengan besarnya modal inti 14-70
triliun rupiah dikelompokkan dalam KBMI 3, dan bank dengan modal inti lebih
dari 70 triliun rupiah dikelompokkan dalam KBMI 4 dimana bank yang belum
mencapai KBMI 1 dianggap sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Pengelompokkan ini
menyebabkan beberapa bank menjadi �turun kelas� dari sistem pengelompokkan BUKU
(Putra, 2021). Hal tersebut juga ditunjukkan dalam
penelitian ini dimana bank KBMI 1 menjadi sampel bank terbanyak dengan jumlah 6
bank dari 16 sampel bank yang diuji.
Tabel 4
Tabel Statistik
Deskriptif Inklusi Keuangan
Sumber: Data diolah, 2022
Dari tabel tersebut, didapati bahwa
dimensi aksesibilitas bank KBMI 4 memiliki rata-rata sebesar 272 atau menjadi
yang terbesar di antara bank KBMI 1 sampai dengan 3 yang memiliki rata-rata
berturut-turut 0,320, 5, dan 27. Hasil rata-rata dimensi aksesibilitas ini
menunjukkan bahwa rata-rata sebanyak 272 dari 1000 penduduk memiliki rekening
simpanan pada bank KBMI 4, 27 dari 1000 penduduk memiliki rekening simpanan
pada bank KBMI 3, 5 dari 1000 penduduk memiliki rekening simpanan pada bank
KBMI 2, sementara tidak sampai 1 orang per 1000 penduduk memiliki rekening
simpanan pada bank KBMI 1. Hasil ini juga didukung dengan sebaran rekening
simpanan terbanyak berasal dari bank KBMI 4 hingga lebih dari separuh penduduk
atau sebanyak 600 dari 1000 penduduk yang memiliki rekening simpanan pada Bank
Rakyat Indonesia di tahun 2020. Sementara itu, Bank Ganesha yang merupakan bank
KBMI 1 di tahun 2019 menjadi bank dengan dimensi aksesibilitas terendah sebesar
0,19 atau tidak sampai 1 orang per 1000 penduduk memiliki rekening simpanan
pada Bank Ganesha. Hasil ini telah sesuai dengan bank dengan nilai IFI
tertinggi dan terendah yang disajikan dalam tabel 3
Pada dimensi ketersediaan, jumlah
kantor cabang bank KBMI 4 tersebar dengan rata-rata 0,009 atau sebanyak 1
kantor cabang per 111.000 penduduk dengan sebaran jumlah kantor cabang
terbanyak dimiliki Bank Negara Indonesia di tahun 2018 sebesar 0,012 atau
sebanyak 1 kantor cabang per 83.000 penduduk. Sementara Bank KBMI 1-3
berturut-turut memiliki rata-rata 0,000, 0,001 dan 0,003, yang menunjukkan
bahwa jumlah kantor cabang bank KBMI 3 tersebar sebanyak 1 kantor cabang per
333.333 penduduk, bank KBMI 2 tersebar sebanyak 1 kantor cabang per 1.000.000
penduduk dan bank KBMI 1 yang sebaran kantor cabangnya kecil sekali hingga
sulit diproporsikan per 1000 penduduk. Bank Ganesha di tahun 2019 kembali
menjadi bank dengan dimensi IFI terendah, yaitu dimensi ketersediaan sebesar
0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa kantor cabang Bank
Ganesha sangat sulit ditemui karena jumlahnya yang sangat sedikit.
Terakhir, dimensi penggunaan bank
KBMI 4 yang diukur berdasarkan besar penyaluran kreditnya tersebar dengan
rata-rata 0,0411 atau menyusun sebesar 4,11% PDB
Nasional. Sementara bank KBMI 1-3 berturut-turut memiliki rata-rata proporsi
jumlah kredit per PDB Nasional sebesar 001 atau 1%, 0,003 atau 3%, dan 0,007
atau 7%. Bank Rakyat Indonesia (KBMI 4) di tahun 2020 menjadi bank dengan
penyaluran kredit terbanyak sebesar 6% dari PDB Nasional sementara Bank Ganesha
(KBMI 1) di tahun 2019 sebesar 0,0002 atau 0,02% dari PDB Nasional.
Meskipun bank KBMI 4 yang dijadikan
sampel pada penelitian ini jumlahnya lebih sedikit dibanding bank KBMI 1,
secara rata-rata bank KBMI 4 menjadi bank yang paling inklusif dilihat dari
semua dimensi dengan indeks inklusi keuangan sebesar 78,71% sementara bank KBMI
1-3 berturut-turut sebesar 13,89%, 61,70%, dan 77,51%. Pada penelitian ini,
dimensi aksesibilitas juga menjadi dimensi dengan nilai yang paling tinggi di
antara dimensi lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk
menggunakan produk dan layanan keuangan dalam bentuk rekening simpanan.
Terlebih di era digitalisasi perbankan seperti ini dimana kepemilikan rekening
simpanan dapat mempermudah transaksi keuangan berbasis daring.
Sehubungan dengan digitalisasi
perbankan tersebut, dimensi ketersediaan yang mengukur jumlah kantor cabang menjadi lebih tidak relevan karena penurunan
jumlah kantor cabang tidak berarti bank menjadi kurang inklusif. Bank Tabungan
Pensiunan Nasional, misalnya, mengalami penurunan kantor
cabang yang signifikan dari 940 kantor cabang pada 2017 menjadi 536 kantor
cabang pada 2020. Meski begitu, indeks inklusi keuangan BTPN meningkat setiap
tahunnya karena peningkatan dimensi aksesibilitas sebesar 49% pada jumlah
rekening simpanan yang dikelola dan peningkatan dimensi penggunaan hingga 108%
pada kredit yang disalurkan. Hal ini terjadi disebabkan adanya peluncuran
produk perbankan digital Jenius di tahun 2016 yang dimutakhirkan layanannya
pada 2018 dengan fitur FlexiCash yaitu fasilitas pinjaman darurat hingga PayKey
yang merupakan fitur pembayaran peer-to-peer lending.
1. Uji
Normalitas
Tabel 5
Uji Normalitas Kolmogrov Smirnov
Sumber: Data diolah, 2022
Pada percobaan pertama, disimpulkan
bahwa data residual tidak berdistribusi normal. Mahalobis distance dan Leverage
Value menjadi pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai
indikator penyimpangan serta Cook�s distance untuk mengukur besar pengaruh
penyimpangan tersebut. Dari penelitian tersebut, didapat hasil bahwa
data Bank Bukopin 2020, Bank Yudha Bakti 2018, dan J Trust Indonesia 2020
merupakan data dengan penyimpangan tertinggi. Oleh karena itu, kedua bank diperlakukan sebagai outlier karena
dapat menciptakan bias pada hasil regresi apabila diikutkan dalam penelitian
sehingga hasil penelitian tidak dapat merepresentasikan populasi.
2.
Uji Multikolinearitas
Tabel 6
Uji Multikolinearitas
Sumber: Data diolah, 2022
Berdasarkan hasil dari tabel 6, dapat dilihat bahwa setiap jenis variabel memiliki nilai VIF < 10 yang berarti model regresi yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat multikolinearitas atau dengan kata lain tidak terdapat hubungan antara variabel bebas yang dapat membiaskan estimasi penelitian.
3. Uji
Autokorelasi
Tabel 7
Uji Autokorelasi
Sumber: Data diolah, 2022
Dengan jumlah 61 sampel, nilai dU tabel diketahui sebesar 1,727 dan nilai 4-dU sebesar 2,5560. Dengan nilai Durbin-Watson hasil olah SPSS sebesar 1,778, dapat disimpulkan bahwa model pada penelitian ini terbebas dari autokorelasi karena nilai tersebut berada diantara dU dan 4-dU. Dengan begitu, model layak digunakan untuk analisis regresi karena signifikansi hubungan antara variabel independen dengan dependen terbebas dari bias.
4. Uji
Heteroskedastisitas
Tabel 8
Uji Heteroskedastisitas
Sumber: Data diolah, 2022
Dari hasil tersebut, didapati bahwa model
melanggar asumsi homoskedastisitas yang disebabkan oleh variabel NPL, GCG, dan
ROA karena terbukti memiliki hubungan yang signifikan terhadap residual.
Beberapa langkah seperti transformasi data telah dilakukan peneliti, tetapi
tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk
mengaplikasikan weighted least square yang dapat digunakan untuk model
dengan gangguan heteroskedastisitas sebagai model regresi linier yang
digunakan. Menurut Chatterjee & Hadi (2006), pengaplikasian weighted least square melonggarkan
asumsi homoskedastisitas dan pengaplikasiannya setara dengan ordinary least
square pada data yang telah ditransformasi. Weighted least square
bekerja dengan memberikan bobot yang berbanding terbalik dengan varians dari
residual sehingga model dengan ketepatan tertinggi memiliki porsi yang lebih
besar dalam menentukan hasil uji hipotesis.
5.
Analisis Regresi Linier Berganda
Dari
analisis regresi berganda yang dilakukan, didapatkan persamaan regresi sebagai
berikut:
C. Uji Hipotesis
1. Uji Koefisien
Determinasi
Tabel 9
Hasil Uji Koefisien Determinasi
Sumber: Data diolah, 2022
Penelitian ini menggunakan nilai R-square
yang disesuaikan (adjusted R-square) dimana nilainya hanya akan meningkat ketika variabel independen yang ditambahkan
memang meningkatkan kualitas model dalam memprediksi nilai variabel dependen.
Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa nilai adjusted R-square
pada penelitian ini adalah sebesar 0,597 atau 59,7%.
Hal ini menandakan bahwa model regresi yang digunakan mampu menjelaskan
perubahan yang terjadi pada variabel dependen sebesar 59,7%.
Sementara sisanya sebesar 0,403 (1-adjusted R-square) atau sebesar
40,3% dapat dijelaskan oleh variabel lainnya yang
tidak terdapat pada model regresi.
2.
Uji F
Tabel 10
Hasil
Uji Pengaruh Simultan
Sumber: Data diolah, 2022
Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan pada model regresi (NPL, GCG, ROA, dan CAR) secara simultan atau bersamaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen yaitu IFI. Hasil tersebut diperoleh dengan membandingkan nilai F hitung sebesar 23,23 yang lebih besar dari F tabel sebagai critical value sebesar 2,53. Selain itu, kesimpulan juga diperoleh dengan membandingkan p-value sebesar 0,000 yang lebih kecil dibanding α sebesar 0,05 yang digunakan pada penelitian ini.
3. Uji
T
Tabel 11
Hasil Uji Parsial
Sumber: Data diolah, 2022
Pada penelitian ini, t-tabel dengan degree
of freedom sebesar 58 adalah sebesar 2,00172 dimana hasil tersebut
menunjukkan nilai t-hitung yang lebih besar dari angka tersebut mengindikasikan
hubungan yang signifikan antara variabel independen dan dependen. Signifikansi
hubungan variabel independen dengan variabel dependen juga dapat dibuktikan
apabila p-value lebih rendah dibanding nilai α yaitu 0,05 atau 5%. Sementara arah pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen mengacu pada arah koefisien beta (β).
NPL memperoleh p-value sebesar 0,064
yang lebih besar dibanding alpha yaitu 5% dan t-hitung 1,891 yang lebih
kecil dibanding t-tabel. Hasil ini menyatakan bahwa H0 diterima dan
H1 ditolak. Artinya, tidak terdapat pengaruh antara NPL sebagai
indikator profil risiko bank terhadap inklusi keuangan. Meski begitu, apabila alpha
penelitian berada pada tingkat 10%, maka nilai p-value sebesar 0,064
dapat membuktikan hubungan yang signifikan sehingga H0 ditolak dan H1
diterima.
GCG memperoleh p-value sebesar 0,049
yang lebih kecil dibanding alpha dan t-hitung 2,013 yang lebih besar
dibanding t-tabel. Hasil ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan
antara GCG terhadap inklusi keuangan. Akan tetapi, koefisien beta menunjukkan
hasil yang negatif. Artinya, peningkatan GCG akan
menyebabkan penurunan pada IFI sebagai variabel dependen. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak atau dengan
kata lain, GCG memiliki pengaruh negatif terhadap inklusi keuangan.
ROA memperoleh p-value sebesar 0,000
yang lebih kecil dibanding alpha dan t-hitung 5,697 yang lebih besar
dibanding t-tabel. Hasil ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan
antara ROA sebagai indikator rentabilitas bank terhadap inklusi keuangan.
Koefisien beta juga menunjukkan hasil yang positif sebagaimana hipotesis
penelitian sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1
diterima.
Terakhir, CAR memperoleh p-value sebesar
0,000 yang lebih kecil dibanding alpha dan t-hitung 6,087 yang lebih
besar dibanding t-tabel. Hasil ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh
signifikan antara CAR sebagai indikator kecukupan modal bank terhadap inklusi
keuangan. Meski begitu, koefisien beta menunjukkan hasil yang negatif dan arah
pengaruh tersebut bertolak belakang dengan hipotesis alternatif. Dengan begitu,
H0 diterima dan H1 ditolak.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil uji hubungan yang disampaikan
pada bab sebelumnya, didapat beberapa simpulan yakni
sebagai berikut.
Profil risiko (Risk
Profile) yang diukur dengan NPL tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap inklusi keuangan. Good Corporate Governance yang diukur dengan
peringkat GCG memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap inklusi
keuangan. Rentabilitas (Earnings) yang diukur dengan ROA memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap inklusi keuangan. Permodalan (Capital)
yang diukur dengan CAR memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap
inklusi keuangan.
BIBLIOGRAFI
������������������������������������������������
Anggraini, Lola Dewi. (2021). Pengaruh Tingkat
Kesehatan Bank Menggunakan Metode Rgec Terhadap Pertumbuhan Laba Pada Bank Yang
Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (Vol. 16).
Asian Development Bank. (2016). Financial Inclusion
in Indonesia: Summary Sector Assessment 2016.
Augustine, Yvonne; Kristaung, Robert; (2013). Metodologi
Penelitian Bisnis dan Akuntansi. Dian Rakyat.
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/13/PBI/2007. , Pub. L. No. 9/6/PBI/2007 (2007).
Boachie, Richard, Aawaar, Godfred, & Domeher,
Daniel. (2021). Relationship between financial inclusion, banking stability and
economic growth: a dynamic panel approach. Journal of Economic and
Administrative Sciences.
Chatterjee, Samprit, & Hadi, Ali S. (2006).
Regression Analysis by Example. In John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New
Jersey. (Vol. 142). https://doi.org/10.2307/2982566
Demirg��-Kunt, Asli, Klapper, Leora, Singer, Dorothe,
Ansar, Saniya, & Hess, Jake. (2017). The Global Findex Database 2017.
Fena Ulfa Aulia, & Ira Hasti Priyadi. (2021).
Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank Terhadap Volume Perdagangan Saham Perusahaan
Perbankan yang Listing Di Bursa Efek Indonesia. NUANSA: Jurnal Penelitian
Ilmu Sosial Dan Keagamaan Islam, 18(1), 47�67.
https://doi.org/10.19105/nuansa.v18i1.3730
Ghozali, I. (2016). Aplikasi Analisis Multivariete
dengan Program IBM SPSS 23 (VIII). Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Gujarati, Damodar N. (2004). Basic Econometrics,
Fourth edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.
Imam, B. F. (2020). Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank
dengan metode RGEC Terhadap Pertumbuhan Laba pada Bank Pembangunan Daerah di
Indonesia Untuk Periode Tahun 2014 �.
Kementerian Keuangan RI. (2021, May). Merger Bank
Syariah Dorong Pertumbuhan Perbankan Syariah.
Melawati, R. (2020). Pengaruh Tingkat Kesehatan
Bank Menurut Risk Based Bank Rating Terhadap Kinerja Keuangan (Studi pada Bank
Umum Syariah.
Muslikhah, Afifah Siti, & Utami, Efri Diah.
(2020). Pengaruh Inklusi Keuangan Terhadap Ketimpangan Pendapatan Di Indonesia
Tahun 2012-2017. Seminar Nasional Official Statistics, 2019(1).
https://doi.org/10.34123/semnasoffstat.v2019i1.102
Nicola, Daniel, Manalu, Sahala, & Hutapea, Tommy
Mora Hamonangan. (2017). Effect of Bank Soundness Level Rgec Method on Index of
Financial Inclusive in Indonesia. Jurnal Aplikasi Manajemen, 15(4).
https://doi.org/10.21776/ub.jam2017.015.04.18
OJK. POJK Nomor 04/POJK.03/2016 Tentang Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum. , Peraturan Otoritas Jasa Keuangan � (2017).
Otoritas Jasa Keuangan. (2019). Survei Nasional
Literasi dan Inklusi Keuangan 2019. In Survey Report.
Putra, CNBC Indonesia. (2021). OJK Ubah Aturan Modal,
36 Emiten Bank Terpaksa Turun Kasta.
Sanjaya, I. Made, & Nursechafia. (2016). Inklusi
Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif: Analisis Antar Provisni di Indonesia1. Buletin
Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 281�306.
SAPUTRA, INAT. (2018). Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank
Terhadap Return Saham Pada Industri Perbankan Di Indonesia. In conference.upnvj.ac.id
(Vol. 2).
Copyright holder: Nurhamid, Hotman Tohir Pohan (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |