Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
GAMBARAN PERESEPAN� PADA PASIEN RAWAT JALAN DENGAN JAMINAN SOSIAL
KESEHATAN DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
Rickha Octavia, Tri Murti Andayani, Achmad
Fudholi
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau, Indonesia
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Untuk mengendalikan belanja obat, Pemerintah melalui Badan Jaminan Sosial Kesehatan menggunakan� Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) yang dipilih berdasarkan pertimbangan efektifitas obat. Tetapi, penggunaan DPHO sangat tergantung dari pola peresepan dokter dan kebijakan apotek di rumah sakit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran peresepan dan untuk mengetahui tingkat kesesuaian peresepan pada pasien rawat jalan peserta Badan Jaminan Sosial Kesehatan sosial di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru sesuai dengan formularium. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental yang mengevaluasi peresepan serta menganalisis variasi biaya obat. Pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling, data diperoleh dari catatan peresepan di instalasi farmasi. Analis data meliputi gambaran peresepan obat, gambaran pembiayaan dan gambaran kesesuaian obat dengan DPHO. Dari 600 sampel yang diteliti, diketahui jumlah rata-rata R/ per lembar resep adalah 3,58. Penggunaan obat generik adalah sebesar 51,49%, pemakaian antibiotik adalah sebesar 7,11% dan penggunaan injeksi adalah sebesar 7,74%. Tingkat kesesuaian dengan DPHO adalah 100%. Hasil keseluruhan menunjukkan bahwa penggunaan obat di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dapat dikategorikan baik, walaupun masih belum terpenuhinya beberapa indikator WHO.
Kata kunci: gambaran peresepan, indikator WHO, RSUD Arifin Achmad.
Abstract
To control drug spending, the Government through the Health
Social Security Agency uses the Drug Price Ceiling List (DPHO) which is
selected based on considerations of drug effectiveness. However, the use of
DPHO is highly dependent on the doctor's prescribing pattern and the pharmacy
policy in the hospital. The purpose of this study was to determine the
description of prescribing and to determine the level of prescribing suitability
in outpatients participating in the Social Security Agency for Social Health at
Arifin Achmad Hospital Pekanbaru in accordance with the formulary. This study
is a non-experimental descriptive study that evaluates prescribing and analyzes
variations in drug costs. Sampling was carried out by systematic random
sampling, data obtained from prescribing records in pharmaceutical
installations. Data analysts include an overview of drug prescribing, a picture
of financing and an overview of the drug's suitability to DPHO. From the 600
samples studied, it is known that the average number of R/ per prescription
sheet is 3.58. The use of generic drugs was 51.49%, the use of antibiotics was
7.11% and the use of injections was 7.74%. The degree of conformity with DPHO
is 100%. The overall results show that the use of drugs at Arifin Achmad
Hospital Pekanbaru can be categorized as good, although some WHO indicators are
still not met.
Keywords: prescribing overview, WHO indicators, Arifin
Achmad Hospital.
Pendahuluan
����� ����� ����������� Obat merupakan komponen yang besar
dalam biaya pelayanan kesehatan di Indonesia, juga dalam sistem Badan Jaminan
Sosial Kesehatan. Komponen biaya obat pada pasien dengan jaminan sosial
kesehatan bervariasi antara 35% � 45% dari total biaya. Untuk mengendalikan
belanja obat, Badan Jaminan Sosial Kesehatan menggunakan� Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) yang dipilih
berdasarkan pertimbangan efektifitas obat yang dapat dipertanggungjawabkan
dengan harga rendah dari berbagai pilihan bahan aktif obat yang tersedia di
pasar obat Indonesia (Thabrany, 2008).
Masalah terbesar yang timbul dari penggunaan DPHO
adalah sebagian dokter di Indonesia, khususnya dokter spesialis di rumah
sakit,� tidak terbiasa menggunakan daftar
obat tertentu. Penggunaan DPHO dalam sistem Badan Jaminan Sosial Kesehatan
sangat tergantung dari pola peresepan dokter dan kebijakan apotek di rumah
sakit untuk mengganti obat yang diresepkan dokter dengan obat yang terdapat
dalam daftar DPHO.
Penelitian mengenai pola peresepan dan biaya obat
bagi pasien Badan Jaminan Sosial Kesehatan, belum pernah dilakukan sebelumnya
di rumah sakit RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada saat penelitian ini dilakukan.
Berdasarkan latar belakang itulah RSUD Arifin Achmad dipilih untuk mengevaluasi
pola peresepan dan biaya obat pada pasien rawat jalan dengan Jaminan Sosial
Kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran peresepan yang dilakukan oleh dokter terhadap Pasien rawat jalan
dengan jaminan sosial di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, dan untuk mengetahui
tingkat kesesuaian peresepan pasien rawat jalan peserta Badan Jaminan Sosial
Kesehatan sosial di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru� dibandingkan dengan DPHO Badan Jaminan Sosial
Kesehatan (Persero).
Metode Penelitian
����������������������� Penelitian dengan judul
�Gambaran Peresepan Pada Pasien rawat jalan dengan jaminan sosial di RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru� ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental
yang mengevaluasi peresepan serta menganalisis variasi biaya obat. Penelitian
ini mengunakan data sekunder yang diperoleh dari catatan peresepan di instalasi
farmasi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Data yang diperoleh merupakan data
kuantitatif yang ditampilkan dalam bentuk tabel atau diagram lingkaran dan data
kualitatif yang dijelaskan dalam bentuk uraian.
Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulir pengumpulan data,
formularium DPHO bagi peserta Badan Jaminan Sosial Kesehatan dan software untuk
membantu proses perhitungan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data catatan resep Pasien rawat jalan dengan jaminan sosial RSUD Arifin Achmad.
Pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling. Interval
diperoleh dengan cara membagi jumlah populasi dengan jumlah sampel yang
diinginkan, dan yang akan menjadi sampel adalah kelipatan dari interval
tersebut. Sampel untuk RSUD Arifin Achmad adalah 600 sampel dengan total
populasi 4816.
����������� ����������� Berbagai
komponen yang telah dikumpulkan akan dihitung dan selanjutnya dianalisis.
Adapun data yang akan dianalis meliputi gambaran peresepan obat, gambaran
pembiayaan dan gambaran kesesuaian obat dengan DPHO. Gambaran peresepan terdiri
dari rerata jumlah item obat (R/) per lembar resep, persentase resep yang
menggunaan obat generik, persentase resep yang menggunakan antibiotik, dan
pesentase resep dengan bentuk sediaan injeksi. Pada penelitian ini terdapat
keterbatasan penelitian, yaitu pengambilan data hanya menggunakan catatan
peresepan, tidak melihat rekam medis secara langsung dan tidak menelusuri resep
per poliklinik untuk mengetahui analisa lebih lanjut mengenai analisa kejadian
polifarmasi, kejadian interaksi dan obat kesesuaian peresepan dengan diagnosis
dan standar pengobatan.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini menggunakan 600 resep sampel dari 4816 total populasi. Metode pengambilan sampel menggunakan metode systematic random sampling yaitu mengambil sampel berdasar nomer urut yang telah ditentukan intervalnya terlebih dahulu. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini� dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel
1.
Hasil
Penelitian Gambaran Peresepan pada Pasien Jaminan sosial Rawat Jalan� di RSUD Arifin Achmad
Indikator |
Hasil |
Gambaran
Peresepan |
|
Rerata jumlah item obat� (R/) per lembar resep |
3,58 |
% Obat dengan nama generik |
51,47 % |
% Antibiotik |
7,10% |
%� Sediaan
injeksi |
7,74% |
Gambaran
pembiayaan |
|
Rerata harga per lembar resep |
Rp 125.270,23 |
% Harga untuk antibotik |
11,01% |
% Harga untuk sediaan injeksi |
24,33% |
Total biaya obat peserta jaminan sosial sosial |
Rp
74.829.584,00 |
Gambaran
kesesuaian obat dengan DPHO |
100% |
Sumber:
data yang diolah
A.
Gambaran
Peresepan
1. Rerata
Jumlah Item Obat per Lembar Resep
Penelitian menghitung rata-rata jumlah item obat (R/) yang digunakan per lembar resep ini dimaksudkan
untuk mengetahui kemungkinan terjadinya polifarmasi. Polifarmasi adalah peresepan
beberapa obat sekaligus untuk satu indikasi penyakit yang diketahui dapat
sembuh oleh satu jenis obat saja. Hal ini harus diwaspadai, karena semakin
banyak sediaan zat aktif yang diberikan pada pasien secara bersamaan, maka
semakin besar juga kemungkinan terjadinya efek samping yang diterima oleh
pasien tersebut.
Menurut rekomendasi (WHO, 2017), rerata jumlah obat dalam
satu lembar resep dikategorikan baik jika berkisar antara 1,8 � 2,2 item obat
untuk satu diagnosis, atau paling banyak 2 item obat. Jumlah item obat atau prescription
(R/), adalah jumlah R/ dalam tiap lembar resep. Jumlah item dan jenis obat akan
mempengaruhi harga obat, dimana kedua hal ini akan menjadi salah satu dasar pertimbangan
dokter dalam menulis resep agar harga obat tidak terlalu mahal.
Pada penelitian ini, rata-rata R/ per lembar resep adalah 3,58. Hasil penelitian tentang penggunaan obat yang dilakukan oleh WHO pada dua puluh unit pelayanan kesehatan rawat jalan di Indonesia pada tahun1997 menunjukkan rata-rata R/ per lembar resep adalah 3,3 (Quick et all, 1997). Penelitian serupa yang pernah dilakukan oleh Thabrany di RS Cipto Mangkusumo Jakarta menunjukkan bahwa rata-rata R/ per lembar resep adalah 3,34. Penelitian serupa lainnya juga dilakukan oleh Mohammad �di RSUD Gunung Jati Cirebon dengan hasil 2,89 dan Sudarmono di RS Panti Nugroho Sleman dengan hasil 2,44. Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, jumlah R/ per lembar resep yang diberikan oleh dokter di RSUD Arifin Achmad cenderung lebih banyak daripada jumlah R/ yang direkomendasikan WHO untuk tiap satu lembar resep, bahkan lebih banyak dari semua penelitian yang pernah dilakukan di beberapa rumah sakit lainnya. Tabel 2 menyajikan �jumlah item obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan peserta Jaminan sosial RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Tabel
2.
Perincian
Jumlah Item Obat (R/) per Lembar Resep pada Pasien
Jaminan
sosial Rawat Jalan �di RSUD Arifin Achmad
No. |
Jumlah R/ per Lembar Resep |
Jumlah Lembar Resep |
Persentase
(%) |
1 |
1 |
74 |
12,33 |
2 |
2 |
110 |
18,33 |
3 |
3 |
120 |
20,00 |
4 |
4 |
117 |
19,50 |
5 |
5 |
78 |
13,00 |
6 |
6 |
54 |
9,00 |
7 |
7 |
34 |
5,67 |
8 |
8 |
7 |
1,17 |
9 |
9 |
6 |
1,00 |
|
TOTAL |
600 |
100 |
Sumber:
data yang diolah
Berdasarkan tabel 2, terlihat beberapa variasi jumlah item obat (R/) yang
diberikan oleh dokter untuk pasien rawat jalan. Jumlah persentase terbesar
adalah resep yang memiliki 3 item obat (R/), yakni sebanyak 20%. Hal ini hanya
berbeda sedikit dengan resep yang memiliki 4 item obat (R/) yakni sebanyak 19,40%.
Sedangkan jumlah persentase terkecil adalah resep yang memiliki 9 item (R/) obat,
yakni 1%. Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad, menunjukkan hal yang sama,
dimana persentase jumlah item obat (R/) dalam satu lembar resep yang paling
banyak adalah resep dengan 3 item obat (R/).
Melihat bahwa rata-rata jumlah item obat (R/) per lembar resep adalah sebesar
3,58 item maka hal tersebut dapat memungkinkan terjadinya kejadian polifarmasi.
Meskipun demikian hal ini belum dapat dipastikan karena peneliti tidak melihat
catatan medik pasien untuk mengetahui diagnosis pasien. Suatu resep baru dapat dikatakan
polifarmasi jika mengandung 2 obat atau lebih untuk satu diagnosis. Dampak yang
ditakutkan dari polifarmasi adalah terjadinya interaksi obat yang dapat
merugikan proses pengobatan pasien. Meski demikian, terkadang polifarmasi tetap
diberikan kepada pasien, dengan tujuan diantaranya untuk mencapai efek terapi
yang optimum, mengurangi efek samping, menghambat timbulnya resistensi dan
mencegah terjadinya efek toksik yang dapat disebabkan oleh substansi zat aktif (Syamsudin, 2011). �
Pada penelitian ini, terdapat 47 lembar resep yang memiliki jumlah item
obat (R/) hingga 7-9 item per lembar resepnya, atau sekitar 7,84% dari total
lembar resep.� Tabel 3 menyajikan rincian
data mengenai poliklinik yang mengeluarkan resep dengan item obat per lembar
resep cukup banyak tersebut.
Tabel
3.
Lembar
resep dengan item obat terbanyak pada Pasien Jaminan sosial Rawat Jalan di RSUD
Arifin Achmad
Poliklinik |
�7 item obat |
8 item obat |
9 item obat |
Total |
Penyakit Dalam |
11 |
3 |
4 |
18 |
Jantung |
13 |
2 |
2 |
17 |
Syaraf |
6 |
1 |
- |
7 |
Umum |
1 |
1 |
- |
2 |
Pegawai |
2 |
- |
- |
2 |
Rehabilitasi �Medik |
1 |
- |
- |
1 |
Total |
34 |
7 |
6 |
47 |
Sumber:
data yang diolah
Jika dilihat lebih lanjut, resep dengan item obat (R/) terbanyak ini
sebagian besar dikeluarkan melalui poliklinik penyakit dalam (18 item), jantung
(17 item), dan syaraf (7 item).�
Mengingat sebagian besar pasien yang berasal dari poliklinik tersebut
memiliki kecenderungan menderita berbagai penyakit ataupun memiliki penyakit
penyerta dengan berbagai gejala maka hal ini masih dapat diterima, meskipun
idelanya pemberian obat kepada pasien tetap fokus pada diagnostik. Salah satu
penyebab penggunaan item obat cukup banyak untuk satu pasien dalam satu kali
pengobatan, kemungkinan terjadi karena dokter terlalu fokus untuk mengatasi
gejala yang dialami oleh pasien dan bukan berdasarkan dignostiknya. Dokter
dapat meresepkan banyak obat seperti analgetik atau antibiotik karena
mendapatkan tekanan dari pasien agar gejala penyakit dapat hilang (Bharti, Shinde, Nandheswar &Tiwari, 2008). Pola peresepan yang mengandung banyak item obat
juga dipengaruhi oleh usaha pemasaran perusahaan farmasi yang cukup gencar, saran
kolega profesi, literatur akademis dan regulasi pemerintah (Soumerai, McLaughlin & Avorn, 2005).
Pada peresepan pasien jaminan sosial rawat jalan RSUD Arifin Achmad,
terdapat 34 resep atau sebanyak 5,67% dari total keseluruhan yang menggunakan
obat racikan. Obat racikan adalah sediaan yang mengandung dua atau lebih obat
yang dicampur menjadi satu sediaan. Berdasarkan jenis obatnya, obat racikan yang
paling banyak diresepkan ditujukan untuk dengan indikasi batuk dan sesak serta
pasien dengan indikasi penyakit kulit. Hal ini bertujuan untuk mempermudah
pasien dalam penggunaan obat tersebut. Poliklinik terbanyak yang mengeluarkan
resep dengan obat racikan adalah poliklinik paru (9 resep), poliklinik penyakit
dalam (7 resep) dan poliklinik bedah orthopedi (5 resep). Meskipun demikian,
pengunaan obat racikan tetap harus memperhatikan keamanan dengan kemungkinan
adanya kejadian interaksi obat, masalah inkompatibilitas serta stabilitas obat
yang sering muncul dalam peresepan obat dalam bentuk racikan. �Tabel 4 menyajikan data jumlah item obat yang
terkandung dalam satu sediaan.
Tabel
4.
Jumlah
Item Obat Racikan pada Pasien Jaminan sosial
Rawat
Jalan di RSUD Arifin Achmad
Jumlah item dalam satu sediaan |
Jumlah Resep |
Persentase (%) terhadap total Resep |
2 |
13 |
2,17 |
3 |
19 |
3,17 |
4 |
2 |
0,33 |
Jumlah |
34 |
5,67 |
Sumber: data yang diolah
�Faktor peresepan dipengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya dokter (prescriber), dispensing, pasien dan sistem kesehatan.
Faktor dokter diantaranya dokter yang tidak yakin terhadap diagnosis, kurangnya
pengetahuan dokter terhadap bukti ilmiah terbaru atau adanya financial interest dapat menjadi salah
satu penyebab polifarmasi dan (Sudarmono, 2009). Dari tabel 5, dapat dilihat
bahwa peresepan dengan jumlah item obat (R/) per lembar resep terbanyak di RSUD
Arifin Achmad dikeluarkan oleh poli penyakit dalam dengan rata-rata R/ per lembar
resep 4,12. Selanjutnya peresepan poli jantung�
dengan rata-rata R/ per lembar resep 4,57 serta poli syaraf dan poli VCT
dengan rata-rata R/ per lembar resep 4,00. Hal ini dapat dipahami, mengingat
pasien pada poliklinik tersebut biasanya memiliki diagnosis tambahan selain
diagnosis utamanya, sedangkan lembar resep paling banyak dikeluarkan oleh poli
penyakit dalam, poli jantung, poli syaraf dan poli umum. Keempat poli ini
mewakili lebih dari 50% resep obat-obatan untuk peserta jaminan sosial rawat
jalan.
Tabel
5.
Perincian
Distribusi Peresepan pada Pasien Jaminan sosial
Rawat
Jalan di RSUD Arifin Achmad
Poliklinik |
Jumlah Resep (lembar) |
�Persentase (%) |
R/ per lembar |
Penyakit Dalam |
142 |
�����������������
23,67 |
4,12 |
Jantung |
91 |
�����������������
15,17 |
4,57 |
Syaraf |
65 |
�����������������
10,83 |
4,00 |
Umum |
49 |
�������������������
8,17 |
3,02 |
Pegawai |
39 |
�������������������
6,50 |
3,51 |
Haemodialisa |
37 |
�������������������
6,17 |
3,65 |
Bedah Umum |
31 |
�������������������
5,17 |
2,16 |
Paru |
27 |
�������������������
4,50 |
3,37 |
Mata |
25 |
�������������������
4,17 |
1,40 |
Bedah Orthopedi |
23 |
�������������������
3,83 |
3,30 |
Kulit & Kelamin |
20 |
�������������������
3,33 |
3,15 |
Urologi |
12 |
�������������������
2,00 |
2,42 |
Rehabilitasi Medik |
10 |
�������������������
1,67 |
3,40 |
Anak |
8 |
�������������������
1,33 |
3,25 |
THT* |
7 |
�������������������
1,17 |
1,57 |
Kandungan |
6 |
�������������������
1,00 |
1,67 |
Gigi |
4 |
�������������������
0,67 |
2,00 |
Bedah mulut |
2 |
�������������������
0,33 |
2,00 |
Vct ** |
2 |
�������������������
0,33 |
4,00 |
TOTAL |
600 |
��������������� 100,00
|
|
Sumber:
data yang diolah
*THT
: Telinga, Hidung dan Tenggorokan
**VCT
: Voluntary Counseling Test
Penelitian yang dilakukan oleh Thabrany, menunjukkan bahwa di Rumah Sakit
Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta lembar resep paling banyak dikeluarkan oleh
klinik jantung (32,36%) disusul oleh klinik endokrin (14,63%), syaraf (14,22)
dan ginjal/hipertensi (13,72). Hasil penelitian�
ini, hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru dimana klinik tersebut mewakili lebih dari 50% resep
obat-obatan untuk peserta jaminan sosial rawat jalan di RSCM. Meskipun
demikian, jika dilihat dari tipe rumah sakit, kedua rumah sakit ini memiliki
tipe yang berbeda. RSCM merupakan rumah sakit tipe A, sedangkan RSUD Arifin
Achmad merupakan rumah sakit tipe B.
2. Peresepan
dengan Nama Generik
Peresepan obat dengan nama generik, bertujuan untuk mengetahui kecenderungan penulis resep dalam menggunakan obat dengan nama generik, yang berarti tertulis sebagai zat aktif sediaan, sehingga terdapat kesepahaman antara dokter dan farmasis, dimana hal tersebut secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya prescribing errors yang merupakan awal terjadinya medication error. Pada penelitian ini, penggunaan obat generik pada pasien jaminan sosial rawat jalan di RSUD Arifin Achmad bulan Mei 2012 rawat jalan cukup rendah yaitu sebesar 51,49%.� Gambar 1 menyajikan data mengenai penggunaan obat generik pada penelitian ini.
�
Gambar
1. Penggunaan Obat Generik pada Pasien
Jaminan sosial
Rawat
Jalan di RSUD Arifin Achmad
Berdasarkan indikator WHO 1993, peresepan dengan nama generik sebaiknya digunakan
lebih dari 82% dari total peresepan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan
oleh WHO pada tahun 1997, diketahui bahwa persentase penggunaan obat generik di
Indonesia adalah sebesar 59%. Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh
Mohamad� pada tahun 2009 di RSUD Cirebon
didapat hasil sebesar 66,49%.
Jika dibandingkan dengan indikator WHO tahun 1993, maka peresepan dengan
nama generik di RSUD Arifin Achmad masih relatif rendah. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan dokter untuk meresepkan obat paten
dibandingkan obat generik. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua obat yang
dibutuhkan oleh pasien tersedia dalam bentuk generiknya, atau dapat terjadi karena
kecenderungan dokter sebagai penulis resep untuk menuliskan produk dari
produsen tertentu. Penyebab lainnya juga dapat dikarenakan adanya keraguan dokter
terhadap mutu dari obat generik atau bahkan adanya sikap ragu dari pasien
terhadap mutu dari obat generik tersebut.
Untuk dapat meningkatkan penggunaan obat generik, pemerintah telah
mengupayakan beberapa cara, diantaranya dengan menerbitkan peraturan Menteri
Kesehatan Nomor HK.02/Menkes/068/2010 yang mewajibkan agar dokter,� dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi
spesialis yang bertugas di pelayanan kesehatan pemerintah untuk memberikan
resep dengan nama generik bagi semua pasien sesuai dengan indikasinya. Selain
itu pemerintah juga telah memberikan penyuluhan tentang penggunaan obat generik
baik melalui media cetak maupun elektronik, untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat. Ketersediaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan juga
harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan penggunaan obat generik tersebut.
Dalam memberikan peresepan menggunakan obat generik, dokter memiliki
beberapa pertimbangan antara lain harga obat generik relatif lebih murah
dibanding obat paten, melihat kondisi sosial ekonomi pasien serta adanya
kesadaran dari dokter tersebut untuk ikut menyukseskan program pemerintah, Menurut
(Berhanmastan, 2000), dokter lebih sering
menuliskan obat paten� karena sebanyak
72% pasien mengatakan lebih menyukai obat paten dengan alasan mutu dan khasiat
yang dimiliki lebih baik dibandingkan obat generik. Peran farmasis untuk
memberikan informasi kepada pasien bahwa obat generik memiliki kandungan dan
khasiat yang sama dengan obat paten juga perlu ditingkatkan. Pada pasien dengan
keadaan ekonomi menengah kebawah, penggunaan obat generik dapat membantu proses
pengobatan karena pasien lebih memungkinkan untuk menebus semua obatnya.
3. Peresepan
dengan Antibiotik
Hasil penelitian di RSUD Arifin Achmad menunjukkan bahwa pemakaian
antibiotik adalah sebesar 7,11% dari total peresepan. Hasil penelitian WHO mengenai
pemakaian antibiotik yang dilakukan pada tahun 1997 adalah sebesar 43% dengan
estimasi penggunaan antibiotik terbaik ≤ 22,70%. Tujuan dilakukannya
penelitian peresepan dengan antibiotik adalah untuk mengukur penggunaan
antibiotik, karena sering digunakan secara berlebihan sehingga menyebabkan
kerugian diantaranya resistensi dan meningkatnya biaya terapi (WHO, 1993). Pada dasarnya antibiotika
digunakan untuk penyembuhan infeksi, namun penggunaannya harus berdasarkan
penyakit, pola kepekaan kuman, kondisi pasien dan sifat antibiotik itu sendiri.
Diagram hasil penggunaan antibiotik pasien rawat jalan di RSUD Arifin Achmad dapat
dilihat pada gambar 2:
Gambar
2. Penggunaan Antibiotik pada Pasien Jaminan
sosial Rawat Jalan
di
RSUD Arifin Achmad
Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa penggunaan antibiotik pada RSUD
Arifin Achmad sudah cukup baik, karena lebih rendah dibanding estimasi
penggunaan terbaik yang direkomendasikan oleh WHO ≤ 22,70% dan jauh lebih
rendah dibandingkan hasil penelitian WHO (1997) sebelumnya sebesar 43%. Penelitian
serupa yang pernah dilakukan oleh (Mohammad, 2009) menunjukkan hasil penggunaan
antibiotik adalah 11,6%; �dilakukan oleh (Sudarmono, 2009) dengan hasil 15,27% dan dilakukan
oleh (Hanifah, 2011) dengan hasil 21,84%. Hal ini
berarti bahwa pemberian antibiotik di RSUD Arifin Achmad lebih sedikit
digunakan, dan diharapkan telah lebih selektif, berdasarkan indikasi yang tepat
serta memperhatikan kondisi pasien.
Keputusan pemberian antibiotika kepada pasien harus dipertimbangkan secara matang mengenai manfaat dan kerugiannya. Penggunaan antibiotik yang kurang selektif akan meningkatkan biaya pengobatan dan risiko efek samping penggunaaan obat. Efek yang paling tidak diinginkan adalah terjadinya resistensi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Berikut jenis antibiotik yang diresepkan dan persentase penggunaannya.
Tabel
6.
Rincian
Penggunaan Antibiotik pada Pasien Jaminan
sosial
Rawat Jalan di RSUD Arifin Achmad
Jenis |
Jumlah |
Persentase |
Ciprofloxacin |
29 |
18,71% |
Cefadroxil |
19 |
12,26% |
Amoxicillin |
13 |
8,39% |
Ketoconazole (Sporrex) |
13 |
8,39% |
Miconazole |
12 |
7,74% |
Isoniazide |
11 |
7,10% |
Na Fusidat (Fuson) |
9 |
5,81% |
Rifampicin |
8 |
5,16% |
Ceftriaxon |
6 |
3,87% |
Ethambutol |
6 |
3,87% |
Alletrol |
4 |
2,58% |
Levofloxacin |
4 |
2,58% |
Clindamycin |
3 |
1,94% |
Cotrimoxazol |
3 |
1,94% |
Erythromycin |
3 |
1,94% |
Azithromycin |
2 |
1,29% |
Doxycycline |
2 |
1,29% |
Antibiotik lainnya |
8 |
5,2% |
Total |
155 |
100,00% |
Sumber: Data yang diolah
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa antibiotik yang paling banyak
digunakan adalah golongan kuinolon, yaitu ciprofloxacin (18,71%) dan golongan
cefalosporin, yaitu cefadroxil (12,26%). Hal ini dapat dipahami, karena
antibiotik golongan ini memiliki spektrum yang luas, efektif terhadap bakteri
gram positif dan negatif serta kejadian resistensinya masih relatif jarang
dijumpai. Berikut rincian penggunaan antibiotik berdasarkan poliklinik yang
mengeluarkan resep.
Tabel
6.
Rincian
Penggunaan Antibiotik pada Pasien Jaminan sosial Rawat Jalan
di
RSUD Arifin Achmad berdasarkan Poliklinik
Poliklinik |
Jumlah |
Pegawai |
21 |
Penyakit
dalam |
21 |
Bedah
umum |
20 |
Kulit
& Kelamin |
20 |
Paru |
19 |
Umum |
12 |
Haemodialisa |
6 |
Jantung |
6 |
Anak |
5 |
Mata |
5 |
Urologi |
4 |
Kandungan |
3 |
Syaraf |
3 |
Bedah
mulut |
2 |
Bedah
orthopedi |
2 |
Gigi |
2 |
Rehabilitasi
medik |
2 |
THT |
2 |
Jumlah |
155 |
Sumber: data yang diolah
4. Peresepan
dengan Bentuk Injeksi
Pengukuran peresepan injeksi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penggunaan sediaan injeksi seminimal mungkin. Penggunaan injeksi tidak dianjurkan selama pasien masih dapat menggunakan obat secara per oral. Penggunaan injeksi diharapkan penggunaanya pada pasien dengan kondisi khusus seperti untuk keselamatan dan menghindari bahaya yang dapat mengancam pasien jika tidak digunakan injeksi (Santoso, 1995; Farizah 2006)). Hasil penelitian di RSUD Arifin Achmad menunjukkan persentase penggunaan injeksi adalah sebesar 7,74%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh WHO pada tahun1997 menyatakan bahwa persentase penggunaan injeksi adalah 17% dengan estimasi seminimal mungkin (Quick et all, 1997).� Diagram penggunaan sediaan injeksi pada pasien jaminan sosial rawat jalan di RSUD Arifin Achmad pada bulan Mei 2012 dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar
3. Penggunaan Sediaan Injeksi pada Pasien Jaminan sosial Rawat Jalan
di
RSUD Arifin Achmad
Berdasarkan hasil penelitian yang
ditunjukkan pada gambar 6, persentase penggunaan sediaan injeksi sebesar 7,74%
relatif lebih kecil dibanding hasil penelitian yang dilakukan oleh (WHO, 1997) sebesar 17,00 % sehingga
dapat diterima berdasarkan alasan medik. Penelitian penggunaan sediaan injeksi
juga pernah dilakukan oleh Yuliastuti di RSUD Sleman Yogyakarta, dimana hasil
penelitian adalah 4,71%. Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penggunaan
sediaan injeksi di RSUD Arifin Achmad lebih besar. Berikut rincian penggunaan
sediaan injeksi di RSUD Arifin Achmad.
Tabel
7.
Rincian
Penggunaan Sediaan Injeksi pada Pasien Jaminan sosial
Rawat
Jalan di RSUD Arifin Achmad
Jenis |
Jumlah |
Persentase |
Ca Gluconas 100mg/ml |
31 |
19.02% |
Hemapo 300 IU/ml |
23 |
14.11% |
Sohobion Inj 3ml |
22 |
13.50% |
Ranitidin 50mg/2ml |
16 |
9.82% |
Ringer Laktat 500ml |
14 |
8.59% |
Deksametason 5mg/ml |
10 |
6.13% |
Ceftriaxon 1000mg/iv |
6 |
3.68% |
Lantus Solostar Pen 100IU/ml |
6 |
3.68% |
NaCl 0,9% 500ml |
6 |
3.68% |
Novomix Flexpen 100IU/ml |
6 |
3.68% |
ATS 1500 IU/a |
4 |
2.45% |
Ozid iv 40mg |
3 |
1.84% |
Furosemid 10mg/ml |
2 |
1.23% |
Ketorolac 30mg/ml |
2 |
1.23% |
Levemir Flexpen 100IU/ml |
2 |
1.23% |
Ondansetron 4mg/2ml |
2 |
1.23% |
Ondansetron 8mg/4ml |
2 |
1.23% |
Injeksi lainnya |
12 |
7.32% |
Total |
169 |
47.24% |
Sumber:
data yang diolah
Penggunaan injeksi tertinggi dikeluarkan oleh poliklinik haemodialisa (86
resep) dan poliklinik umum (32 resep). Peresepan dengan sediaan injeksi harus
dilakukan seminimal mungkin, sebab penggunaan sediaan injeksi tanpa keahlian
khusus akan berisiko tinggi terhadap kesalahan penggunaan obat. Hal ini
dikarenakan pemakaian sediaan injeksi memberikan efek terapi yang lebih cepat
sehingga juga memberi peluang untuk terjadinya efek samping yang tidak
diinginkan lebih cepat. Rincian penggunaan sedian injeksi per klinik dapat
dilihar pada tabel 8.
Tabel
8.
Rincian
Penggunaan Sediaan Injeksi pada Pasien Jaminan sosial Rawat Jalan
di
RSUD Arifin Achmad berdasarkan Poliklinik
Dokter |
Jumlah |
Haemodialisa |
86 |
Umum |
35 |
Penyakit dalam |
21 |
Bedah umum |
8 |
Jantung |
8 |
Rehab medik |
5 |
Syaraf |
2 |
VCT |
2 |
Anak |
1 |
THT |
1 |
Jumlah |
169 |
Sumber: data yang diolah
Pemberian sediaan injeksi kepada pasien harus didasarkan pada
pertimbangan efficacy, safety,
suitablity, dan cost. Keputusan
untuk memberikan sediaan injeksi harus didasarkan pada indikasi yang kuat
dengan mempertimbangkan kondisi pasien, efek samping dan biaya terapi.
Berdasarkan hasil, penggunaan sediaan injeksi pada pasien jaminan sosial rawat
jalan di RSUD Arifin Achmad sudah cukup baik. Meski masih lebih tinggi
dibanding penggunaan sediaan injeksi di RSUD Sleman, namun telah sesuai dengan
standar penggunaan sediaan injeksi yang ditetapkan oleh WHO.�
B.
Tingkat
kesesuaian obat dengan DPHO
Tujuan dilakukannya penelitian gambaran kesesuaian penggunaan obat dengan
DPHO adalah untuk mengetahui tingkat kepatuhan dokter dalam memberikan resep
obat untuk pasien jaminan sosial dan mengetahui efektifitas DPHO. DPHO yang
digunakan adalah DPHO yang digunakan oleh Badan Jaminan sosial bagi peserta Jaminan
sosial Kesehatan sesuai tahun penelitian. DPHO biasanya diperbaharui dan
dikeluarkan tiap tahun, untuk menyesuaikan dengan adanya obat � obatan baru
yang belum masuk kedalam DPHO sebelumnya.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian dengan DPHO
adalah 100%, Hal ini sudah sesuai dengan rekomendasi WHO, bahwa tingkat
kesesuaian peresepan dengan formularium adalah 100% (Quick dkk, 1997). Tingkat kesesuaian peresepan
yang dapat mencapai 100% ini, didukung oleh pihak rumah sakit yang memiliki
kebijakan untuk mengganti peresepan obat yang tidak sesuai dengan obat yang
masuk dalam daftar DPHO, selama kandungan obat tesebut sesuai dengan yang
diresepkan.
Hasil penelitian kesesuaian peresepan dengan DPHO juga pernah dilakukan
oleh Thabrany yang meneliti pasien jaminan sosial di Rumah Sakit Cipto
Mangkusumo (RSCM) Jakarta, dimana pada penelitian tersebut tingkat kesesuiannya
mencapai angka 99,4%. Penelitian lain meneliti tingkat kesesuian peresepan
dengan formularium, dilakukan oleh Hanifah yang meneliti pasien rawat jalan di
dua rumah sakit di Yogyakarta dengan tingkat kesesuaian 83,84% dan 85,94%. Penelitian
yang sama yang dilakukan Sudarmono menunjukkan hasil 85,05%. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, kesesuaian peresepan dengan DPHO di RSUD Arifin Achmad telah
lebih baik dibanding di daerah lain dan penggunaan DPHO telah diterapkan dengan
sangat efektif di rumah sakit tersebut.
Peresepan obat yang sesuai dengan formularium yang tersedia diharapkan
agar penggunaan obat benar � benar bermanfaat, mudah diperoleh, harga
terjangkau, dan penanganan pasien dapat menjadi lebih cepat karena obat yang
dibutuhkan selalu tersedia di rumah sakit. Selain itu juga dapat membantu
pengendalian penggunaan obat dan manajemen persediaan obat yang dapat
memberikan beberapa keuntungan terhadap rumah sakit, diantaranya meningkatnya
keterjaringan pasien dan kepuasan pasien.
Hasil keseluruhan menunjukkan bahwa penggunaan obat di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dapat dikategorikan baik, walaupun masih belum terpenuhinya beberapa indikator WHO seperti rata-rata item obat per lembar dan rendahnya penggunaan sediaan generik yang tidak sejalan dengan program pemerintah. Meski demikian, penggunaan antibiotik dan sediaan injeksi telah sesuai dengan yang diharapkan, yaitu penggunaan seminimal mungkin. Selain itu,� penggunaan obat yang diresepkan telah sesuai dengan daftar obat yang berada didalam DPHO, sehingga dapat meringankan beban pasien dalam hal biaya. Penggunaan obat yang seluruhnya masuk kedalam daftar obat yang berada didalam DPHO, menunjukkan bahwa RSUD Arifin Achmad telah efektif dalam menggunakan DPHO.
Kesimpulan
Peresepan pasien rawat jalan peserta Badan Jaminan Sosial
Kesehatan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru yang�
telah memenuhi standar indikator WHO yakni peresepan antibiotik yaitu
7,11% dan sediaan injeksi 7,76%. Adapun yang tidak memenuhi standar adalah
rata-rata item obat sebesar sebesar 3,58 dan peresepan obat dengan nama generik
51,59%. Tingkat kesesuaian peresepan pasien rawat jalan peserta Badan Jaminan
Sosial Kesehatan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru adalah 100%.
BIBLIOGRAFI
�Bhartiy, S.S., Shindey, M., Nandheswar, M., & Tiwari, S.C., 2008.,
Pattern of Prescribing Practice in the Madhya Pradesh, Kathmandhu University
Medical Journal, 6(1) 55-59., cit.Sari, Kartika Citra DP., 2011., Evaluasi
Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau dari Indikator Peresepan Menurut WHO di
Seluruh Puskesmas Kecamatan Kota Depok pada Tahun 2010., Skripsi., SFarm,
Program Studi Farmasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Berhanmastan, 2000, Resep Obat Generik di Apotek Swasta
Kotamadya Yogyakarta Selama 1 Tahun, Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran
UGM, Yogyakarta.
Danu S.S., 2002, Penggunaan Obat Secara Rasional :
Upaya untuk Mengatasi Ketidakrasionalan Pemberian Obat, Bagian Farmakologi
Klinik Fakultas kedokteran UGM, Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan
Obat UGM Yogyakarta, diakses pada
<http://www.tempo.co.id/medika/arsip/0222022/top-1.htm>
Farizah, 2006, �Pola Peresepan di Apotek Kota
Yogyakarta Bulan Juli � Oktober 2004�, Tesis, MSc, Fakultas Farmasi UGM,
Yogyakarta.
Hadhisantoso, 1998, �Analisis Penghematan Biaya Obat
Peserta Sukarela PT Askes dengan Pengandaian Penggantian Obat non DPHO ke DPHO
di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Selama Tahun 1997�, Tesis, MPH, Fakultas
Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Hanifah, 2011, �Analisis Penggunaan Obat di Dua Rumah
Sakit Berdasarkan Indikator WHO 1993�, Tesis, MSc, Program Pascasarjana
Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Isa Maemun, 2008, �Selisih Pembiayaan Pelayanan
kesehatan Peserta Wajib PT. Askes di RSUP Fatmawati Jakarta Selatan�,
Tesis,� MPH, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Kingsbury, SJ., Donna Yi M.D dan George M. Simpson
M.D., 2001, Psychopharmacology: Rational and Irrational Polypharmacy, Psychiatr
Serv 52:1033-1036, American Psychiatric Association.
Mohamad, Jamal., 2009, �Analisis Penggunaan Obat pada
Pasien Jamkesmas Rawat Jalan Berdasarkan Indikator WHO 1993 di RSUD Gunung Jati
Cirebon�, Tesis, MSc, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Quick JD., Rankin JR., Laing RO., O�Connor RW.,
Hogerzeil HV., Dukes MNG., Garnett A., 1997, Managing Drug Supply, Second
Edition Revised and Expanded, Kumarian Press, West Hartford.
Sudarmono, Charles A., 2009, �Analisis Penggunaan Obat
Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Panti Nugroho Sleman Periode Oktober
2008�, Tesis, MSc, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada.
Thabrany H., 2000, Biaya Obat bagi Peserta Askes di
berbagai Klinik di RSCM, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 50 Tahun 2000.,
diakses pada 24 Mei
2010.,<http://staff.ui.ac.id/internal/140163956/material/BiayaObatPesertaAskesdiRSCM.pdf>
Thabrany H., 2008. Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan
Indonesia dalam SJSN, Makalah Diskusi RPJMN, Bappenas, Jakarta.,� Diakses pada 14 februari 2011.,
<http://staff.ui.ac.id/system/files/users/hasbulah/material/strategijaminankesehatanindonesia.pdf>
World Health Organization, 1993, How to Investigate
Drugs Use in Health Facilities (Drug Use Indicator), viewed 15 November 2011 <http://archives.who.int/prduc2004/rducd/INRUD_2000_CDROM/Manuals/How%20to%20Investigate%20Drug%20Use.pdf>
World Health Organization, 2002, Report of The Region
Director, The Work of WHO in The South East Asia Region, New Delhi.
Yuliastuti F., 2013, Analisis Penggunaan Obat pada
Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Yogyakarta Periode April
2009 Berdasarkan Indikator WHO 1993�, Tesis, MSc, Fakultas Farmasi UGM,
Yogyakarta.
Copyright holder: Rickha Octavia, Tri Murti
Andayani, Achmad Fudholi (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |