Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 1, Januari 2023
ANALISIS
HUKUM PEMENUHAN HAK MANTAN SUAMI TERHADAP ANAK DI BAWAH PENGASUHAN MANTAN ISTRI (STUDI PUTUSAN NOMOR
132/PDT.G/2022/PA.TTE)
Aulia Br.
Mangunsong, Rusdin Alauddin, Faissal Malik
Fakultas Hukum, Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk Untuk menganalisis pemenuhan hak mantan suami
terhadap anak di bawah pengasuhan mantan istri dalam praktek peradilan sesuai
SEMA Nomor 1 Tahun 2017 dan dalam Peraturan Perundang-Undangan serta
Menganalisis apa yang menjadi dasar
pertimbangan Hakim dalam menolak perkara pencabutan hak asuh anak dalam Putusan
Nomor 132/Pdt.G/2022/PA.Tte di
Pengadilan Agama Ternate. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah normatif
yuridis, �penelitian
ini menggunakan pendekatan buku-buku, peraturan
perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
sehingga peneliti mengetahui alasan-alasan yang mendasari hakim bertindak atas
dasar hukum dan keadilan berdasarkan hukum islam dan hukum positif indonesia
yang berupa kompilasi hukum islam dan perundang-undangan yang berlaku di
indonesia. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
hak asuh anak dari aspek normatif adalah Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah berada dalam asuhan ibunya,
namun demikian juga memberikan peluang pemindahan hak asuh anak, apabila lalai
memenuhi kebutuhan terhadap hak-hak anak. Dan berdasarkan SEMA No. 01 Tahun
2017 yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam amar penetapan hak asuh anak (hadhanah)
harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses kepada
orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya.
Dan dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus juga mempertimbangkan
untuk memberikan akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah, kemudian
Majelis hakim di Pengadilan Agama Ternate
Kelas I A dalam memutus Perkara Pencabutan Hak Asuh Anak (hadhanah) Nomor
: 132/Pdt.G/2022/PA.Tte. berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, berpendapat tuntutan Penggugat pada angka 2 (dua) dan 3 (tiga),
berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata, sehingga perkara tersebut dinyatakan tidak
dapat diterima (NO) dengan tidak mengesampingkan ketentuan pasal 105 huruf (a)
KHI.
Kata Kunci: perkawinan; perceraian; pemenuhan hak asuh anak; nafkah anak.
Abstract
This study aims to analyze the
fulfillment of the ex-husband's rights to children under the care of the
ex-wife in judicial practice according to SEMA Number 1 of 2017 and in the Laws
and Regulations and to analyze what is the basis for judges' considerations in
rejecting cases of revocation of child custody in Decision Number
132/Pdt.G/2022/PA.Tte at the Ternate Religious Court. The type of research used
in this research is normative juridical, this research uses the approach of
books, laws and regulations and other documents related to this research. so
that researchers know the reasons underlying judges act on the basis of law and
justice based on Islamic law and Indonesian positive law in the form of a
compilation of Islamic law and legislation in force in Indonesia. The research
results show that from a normative aspect, child custody is the maintenance of
children who are not yet mumayyiz or not yet 12 (twelve) years old, are under
the care of their mother, however, this also provides an opportunity to transfer
child custody, if they fail to meet the needs of children's rights. And based
on SEMA No. 01 of 2017 which basically states that in the decision to determine
child custody (hadhanah) it must include the obligation of the holder of
hadhanah rights to provide access to parents who do not hold hadhanah rights to
meet their children.� And in legal
considerations, the panel of judges must also consider granting access to
parents who do not hold hadhanah rights, then the panel of judges at the Class
I A Ternate Religious Court in deciding the Case of Revocation of Child Custody
(hadhanah) Number: 132/Pdt.G/2022 /PA. Tte.�
based on the considerations mentioned above, argues that the Plaintiff's
demands in numbers 2 (two) and 3 (three), based on Article 1917 of the Civil
Code, so that the case is declared unacceptable (NO) without prejudice to the
provisions of article 105 letter (a) KHI.
Keywords: marriage; divorce; fulfillment of child custody; children's
living
Pendahuluan
Arti kata mantan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah man.tan [a] bekas pemangku jabatan
(kedudukan). Menurut Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, istilah mantan ini
pertama kali diusulkan oleh Ahmad Bastari Suan dari Universitas Sriwijaya.
Usulan kata �mantan� ini digunakan untuk mengganti kata bekas (�eks�). Hal
tersebut dikarenakan kata bekas dianggap kurang pantas dan seolah seperti
bernilai rendah. Maka dari itu, melalui majalah Pembinaan Bahasa Indonesia itu
diusulkanlah kata �mantan�. Kata tersebut merupakan kata yang berasal dari
bahasa Basemah, Komening, Rejang. Kata mantan memiliki makna �tidak berfungsi
lagi�. Selain itu, kata mantan dalam bahasa Jawa juga memiliki makna yang
bertalian dengan kata mari dan mantun. Kata tersebut diambil dari
Bahasa Jawa Kuno yang memiliki makna �berhenti�.
Kata �mantan� ini menggantikan kata �bekas� yang
menjadi inti frasa, maka peletakkannya sesuai dengan hukum pada kata �bekas�
yaitu DM (Diterangkan-Menerangkan). Sebagai contoh sama seperti penggunaan
bekas menteri yang kini berubah menjadi mantan menteri, dsb.
Penggantian itu memang difungsikan untuk
menghilangkan konotasi buruk, serta untuk lebih menghormati. Sampai saat ini,
kata �bekas� masih digunakan seperti untuk menyebut bekas penjahat, bekas
diktator, pakaian bekas, barang bekas dll.
Pada dasarnya perkawinan adalah merupakan ikatan
lahir dan batin yang sangat suci. Hal ini dapat dilihat dari prosesi perkawinan
yang begitu sakral. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merumuskan pengertian
perkawinan sebagai berikut, �Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa�.
Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah
Akad yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholidan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 KHI) sedangkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan
hubungannya perdata (Pasal 26 KUHPerdata). Berdasarkan
pengertian perkawinan tersebut di atas, maka tujuan perkawinan itu sendiri
sebagaimana yang tertuang dalam asas dan
prinsip dari Undang�Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu, membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing�masing dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Tujuan perkawinan dalam Islam tentunya bukan hanya untuk menjauhkan seorang
muslim dari perbuatan maksiat saja. Keinginan setiap orang dalam perkawinan
tujuannya adalah melakukan yang terbaik namun, terkadang masalah tetaplah akan selalu ada, karena dipahami perkawinan
bukan hanya tentang bahagia suka cita, tertawa dan bahagia namun juga tentang
kesedihan, kekurangan dan juga masalah-masalah lain yang timbul akibat bersatunya
dua anak manusia yang berbeda mulai dari karakter, didikan keluarga, pendidikan
dan ekonomi dan sebagainya, karena kehidupan rumah tangga adalah kehidupan yang
penuh dengan misteri, kadang bahagia kadang sedih dan begitupula sebaliknya.
Ada yang mampu melewati dan ada yang tidak mampu melewati jika rumah tangga
yang dibangun atas dasar cinta tersebut menghadapi masalah.
Namun, terkadang masalah dalam perkawinan tidak
dapat dihindari, mulai dari masalah yang kecil dan sepele dan berkembang
menjadi masalah besar, terlepas daripada hal tersebut dianggap lumrah karena
setiap pasangan suami istri akan mengalami masalah dalam perkawinannya, namun
yang jadi permasalahan apabila hal tersebut tidak dapat diselesaikan secara
baik oleh setiap pasangan. Hal inilah yang terkadang menimbulkan problema yang
akhinya membawa pasangan suami istri ketitik akhir yaitu perceraian.
Masalah perkawinan
yang tidak mampu diselesaikan yang menyebabkan perceraian sangat disayangkan
karena perkawinan yang putus akibat perceraian akan lebih mendatangkan
permasalahan baru, dan permasalahan ini jika tidak mampu dikendalikan dengan
baik akan menimbulkan konflik yang lebih besar, yaitu terhadap hubungan
keluarga masing-masing, harta perkawinan dan anak keturunan. Mengenai anak pasca
perceraian, bahwa anak yang lahir dalam perkawinan jika orangtuanya akhirnya
bercerai akan tetap menjadi tanggungan kedua orangtuanya, hanya saja ketika
kedua orangtuanya telah bercerai, anak harus mempunyai tempat menetap yang
pasti, maksudnya anak akan mengikuti salah satu dari orangtuanya yang
mendapatkan hak asuh berdasarkan putusan Pengadilan.
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.
Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara,
setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu
dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan Anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia,
termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan
perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik
yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini
dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan
Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi
Tentang Hak-Hak Anak).
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan
dan menjamin terpenuhinya hak asasi Anak sesuai dengan tugas dan
tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap Anak yang dilakukan selama ini belum
memberikan jaminan bagi Anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang
sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam
melaksanakan upaya perlindungan terhadap Hak Anak oleh Pemerintah harus
didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan atas Hak Anak.
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi
pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek
jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis
dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu
dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di
kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
Hak asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh,
mendidik, memelihara, membina, melindungi dan menumbuh kembangkan anak sesuai
dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan anak dan
Pasal 1 ayat 11. Hak asuh anak seringkali menjadi permasalahan, baik itu
sebelum maupun pasca perceraian karena ada pasangan yang setelah bercerai atau
sebelum melayangkan gugatan perceraian telah sepakat terlebih dahulu bahwa
mereka tidak akan mempersoalkan mengenai hak asuh anak.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001
tanggal 28 Agustus 2003 yang menyatakan bahwa:
�Bila terjadi
perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogyanya diserahkan
kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu.�
Namun hal tersebut tidak
bersifat mutlak. Adakalanya seorang ibu dapat kehilangan haknya untuk melakukan
pengurusan dan perawatan terhadap anaknya yang belum dewasa apabila dibuktikan
dimuka persidangan bahwa ada hal-hal yang dapat merusak akhlak anak apabila
diasuh oleh ibunya, misalnya berupa:
1. Penelantaran anak, seperti pembiaran anak
sehingga tidak terurus, menggunakan kekerasan dalam mendidik anak,
2. Mempunyai kebiasaan buruk seperti judi,
mabuk, menggunakan obat-obatan terlarang,
Selanjutnya dalam KHI Pasal 156 huruf c
juga disebutkan: �apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula�
Ketentuan yang mengatur bahwa anak
mendapat pengasuhan kedua orang tua ialah berdasarkan ketentuan yang ditegaskan
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa siapapun, baik Ayah, Ibu dan keluarganya
tidak berhak melarang maupun menyembunyikan anak dari orang tuanya. Pasal 7
ayat (1) UU 23 Tahun 2002: Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Pasal 14 UU 35 Tahun 2014:
(1) �Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang
Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Anak tetap berhak: a.bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap
dengan kedua Orang Tuanya; b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan
dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minat c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua
Orang Tuanya; dan d. memperoleh Hak Anak lainnya.
Persoalan
hak anak asuh pasca perceraian memang terkadang menimbulkan permasalahan baru
bagi pasangan yang bercerai, sikap ego dan mau menang sendiri dan tidak mau
mengalah menyebabkan persoalan hak asuh anak menjadi masalah pasca perceraian,
seperti kasus yang terjadi di kota Ternate yang dibawah ke Pengadilan Agama
Ternate tentang adanya pencabutan hak asuh anak karena disinyalir orang tua
(ibu) tidak memberikan hak kepada orang tua (ayah) untuk bersama anaknya pasca
perceraian dimana hak asuh anak dipegang oleh ibunya berdasarkan putusan
Pengadilan. Kasus yang terjadi di Pengadilan
Agama Ternate ini dengan perkara Nomor 132/Pdt.G/2022/PA.Tte tanggal 08
Februari 2022.
Penggugat dan Tergugat adalah
suami isteri yang telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 14 April 2013
yang kemudian dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate sebagaimana kutipan akta nikah
nomor 314/16/IV/2013: selama pernikahan Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai
satu orang anak perempuan yang bernama Diva Talita Putri Rinzani lahir pada
tanggal 16 Januari 2015/ umur 6 tahun pada�
tanggal 16 Oktober 2019 ikatan perkawinan Penggugat dan Tergugat
dinyatakan putus berdasarkan putusan Pengadilan Agama Ternate nomor
302/Pdt.G/2019/PA.Tte tanggal 16 Oktober 2019 atau bertepatan dengan tanggal 16
shafar 1441 hijriah.
Adapun
putusan hakim adalah dalam amar putusan, selain memberikan izin kepada
Penggugat untuk menjatuhkan talak terhadap Tergugat dengan kewajiban membayar
nafkah, juga menetapkan hak asuh/ hadhannah
terhadap anak perempuan yang bernama Diva Talita Putri Rinzani diberikan kepada
Tergugat selaku ibu kandungnya dan Tergugat selaku ayah kandungnya berkewajiban
memberikan biaya pemeliharaan sebesar Rp. 1.500.000.- (satu juta lima ratus
ribu) setiap bulannya; sejak bercerai Penggugat selalu menjalankan kewajibannya
untuk memberikan biaya pemeliharaan/hadhannah
untuk anak Diva Talita Putri Rinzani melalui transfer rekening ataupun secara
cash/ tunai kepada Tergugat, namun Tergugat
selalu membatasi Penggugat ketika ingin mengajak anak tersebut jalan-jalan
maupun berkunjung ke rumah orang tua Penggugat yang notabene sebagai kakek dan
neneknya DIVA, Penggugat hanya diperbolehkan bertemu dengan anak tersebut dirumah
Tergugat.
Penggugat
selaku ayah kandung yang merasa mempunyai tanggung jawab baik dalam hal
kehidupan sehari-hari maupun pertumbuhan dan perkembangan anaknya, Penggugat
berupaya untuk tetap bertemu dengan anaknya (DIVA), Bahwa Penggugat selaku ayah
kandung selain mempunyai kewajiban untuk memberikan kebutuhan hidup anaknya,
Penggugat juga mempunyai kewajiban untuk memelihara, mendidik dan memberikan
perhatian kepada Diva, oleh sebab itu tindakan menghalang-halangi yang
dilakukan oleh Tergugat bersama suaminya terhadap Penggugat untuk bertemu
dengan anaknya (DIVA) telah jelas merupakan perbuatan yang dilarang berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
Berdasarkan
kasus tersebut di atas, menurut peneliti bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 13 ayat 1 menyebutkan : setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan;
diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran;
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah
lainnya: kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf C menyebutkan� apabila pemegang
hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun
biaya nafkah dan anak telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhannah kepada kerabat
lain yang mempunyai hak hadhannah pula�
Berdasarkan
dengan adanya fakta sebagaimana tersebut diatas, maka Penggugat selaku ayah
kandung dari anak tersebut, berhak mengajukan pencabutan hak asuh atas anak
dari Tergugat, dan meminta bahwa kemudian ditegaskan pula dalam SEMA Nomor 1
tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Tahun 2019 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Peradilan, huruf C Rumusan
Hukum Kamar Agama angka 4 menyebutkan � dalam amar penetapan hak asuh anak
(hadhannah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhannah memberi akses
kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhannah untuk bertemu anaknya, dalam
pertimbangan hukum, majelis hakim pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi
akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhannah dapat dijadikan alasan
untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhannah� dalam kasus ini� majelis hakim menjatuhkan putusan dengan amar
yang berbunyi sebagai berikut: Menolak gugatan Penggugat tentang pencabutan hak asuh anak (hadhanah) Tergugat terhadap
anak bernama Diva Talita Putri Rinzani; menyatakan tidak dapat diterima
tuntutan. Penggugat tentang hak asuh anak (hadhanah)� bernama Diva
Talita Putri Rinzani; menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
Atas
dasar itulah, peneliti merasa tertarik untuk
mengkaji lebih jauh tentang kasus tersebut diatas berdasarkan putusan hakim
Pengadilan Agama Ternate dengan mengangkat Judul Analisis Hukum Pemenuhan
Hak Mantan Suami Terhadap Anak di bawah Pengasuhan Mantan Istri (Studi Putusan
Nomor 132/Pdt.G/2022/PA.Tte).
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini
adalah uraian tentang cara bagaimana membuat penulisan Tesis dengan usaha yang
sebaik-baiknya, dan metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan
data-data untuk penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
A. Tipe
dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian
ini adalah penelitian hukum yuridis yaitu permasalahan yang telah dirumuskan di
atas akan dijawab dengan suatu gagasan doktrinal bahwa hukum dapat dilihat
sebagai norma atau dass sollen).
Adapun pendekatan yang dilakukan ialah berdasarkan bahan hukum utama dengan
cara menelaah teori-teori, konsep, serta peraturan perundang-undangan (law in books) dan sistematika hukum atau
hukum tertulis yang berhubungan dengan penelitian ini.
Pendekatan ini
dikenal pula dengan pendekatan normatif yuridis yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yakni dengan mempelajari
buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penelitian ini. sehingga peneliti mengetahui alasan-alasan yang
mendasari hakim bertindak atas dasar hukum dan keadilan berdasarkan hukum islam
dan hukum positif indonesia yang berupa kompilasi hukum islam dan
perundang-undangan yang berlaku di indonesia, Sehingga ditemukannya solusi atas
permasalahan yang hendak dikaji oleh penulis.
Sedangkan sifat
penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, pendekatan kualitatif adalah
suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.
B. Jenis dan Lokasi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research)
dan penelitian lapangan
dengan rincian sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian Kepustakaan yaitu Penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bahan hukum sekunder dari berbagai
pustaka yang mempunyai hubungan dengan obyek yang di teliti. Sumber data dari
penelitian ini adalah bahan hukum berupa data yang di ambil dari studi dokumen
yang merupakan suatu alat pengumpulan yang dilakukan melalui bahan hukum
tertulis dengan mempergunakan �content
analysis�
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier yang terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
a) Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang
KHI
b) Kitab undang undang Hukum Perdata (KUH
Perdata)
c) Pancasila dan UUD 1945
d) PP. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1
tahun 1974
e) UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
f) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan agama
g) UU No. 3 tahun 2006 yang merubah UU No. 7
tahun 1989 tentang perluasan Peradilan Agama
h) Yurisprudensi
i) Salinan Putusan Pengadilan Agama Ternate No.
132/Pdt.G/2021/PA.Tte
j)
Salinan Putusan Pengadilan Agama Ternate
No.309/Pdt.G/2021/PTA.MU
2) Bahan Hukum Sekunder
a) Buku buku ilmu Hukum mengenai perkawinan dan
poligami
b) Laporan penelitian ilmu, artikel � artikel ilmiah
baik di media cetak maupun jurnal � jurnal ilmu hukum yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan
poligami
3) Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan primer serta bahan sekunder berupa Kamus Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.
2. Penelitan Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan cara
melalui pendekatan empiris sebagai bahan penunjang yang meneliti langsung di
lokasi penelitian untuk memperoleh data pendukung validitas yang menguatkan
data � data yang di peroleh dari penelitian kepustakaan yakni bahan hukum
sekunder yaitu data � data yang diperoleh melalui berkas � berkas perkara dan
keputusan yang telah diputus berkenaan dengan permohonan pencabutan hak asuh
anak.
3. Lokasi
Penelitian
Sesuai dengan judul, maka penelitian ini
akan berlokasi di Instansi Pengadilan Agama Ternate Kelas IA Kota Ternate.
Dikarenakan judul yang di angkat berdasarkan Hasil Putusan Hakim Pengadilan
Agama Ternate yang menolak gugatan Penggugat tentang pencabutan hak asuh anak
(hadhanah) dan disatu sisi lokasi tersebut juga merupakan tempat penulis
bekerja sehingga memudahkan penulis dalam melakukan penelitian.
C. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data penelitian ini terdiri dari teknik pengumpulan data utama dan
teknik pengumpulan data penunjang. Teknik pengumpulan data utama adalah
peneliti sendiri sedangkan Teknik pengumpulan data penunjang adalah
mengumpulkan data berupa arsip-arsip, penelitian-penelitian dan jurnal-jurnal
serta buku-buku yang relevan dengan penelitian.
Dalam suatu
penelitian, pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses
penelitian yang mutlak harus dilakukan. Dengan demikian, penelitian ini
bertujuan untuk memperolah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun data sekunder dalam penelitian
ini diperoleh melalui:
Penelitian ini
penulis menggunakan Tehnik pengumpulan data, dalam hal ini penulis akan
melakukan identifikasi wacana dari buku � buku, makalah atau artikel, majalah,
jurnal, hasil penelitian terdahulu dan web (internet), ataupun informasi lain
yang berhubungan dengan judul penelitian tentang Analisis Putusan Pengadilan
Agama Ternate Nomor 132/Pdt.G/20021/PA.TTE yang menguatkan Putusan Pengadilan
Agama Ternate No. 309/Pdt.G/2021/PA.Tte jo tentang perkara Pecabutan Hak Asuh
Anak pada Pengadilan Agama Ternate Kelas IA, setelah data yang kemudian
didapatkan dilokasi akan dibaca oleh peneliti, karena tugas utama peneliti
adalah mampu menangkap makna yang terkandung dalam sumber kepustakaan tersebut.
Oleh karena itu ada dua tahap dalam membaca data yang telah diperoleh, sebagai berikut
:
1. Membaca pada
tingkat simbolik. Tahap ini ialah dengan tidak membaca secara keseluruhan
melainkan dengan menangkap sinopsis dari buku, bab, sub bab sampai pada bagian
terkecil dari buku, hasilnya akan dicatat dalam bentuk kartu data dan diberikan
kode sesuai dengan kategori penelitian yang dilakukan.
2. Membaca pada
tingkat semantik. Membaca data yang telah dikumpulkan dengan lebih terperinci,
terurai dan menangkap esensi dari data tersebut. Maka peneliti harus mendahulukan
data yang bersifat primer, jika sudah dianggap cukup selanjutnya mengumpulkan
data yang bersifat sekunder.
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam
penilitian ini, menurut Kaelan, ada dua tahap dalam teknik Analisis data pada penelitian kepustakaan ini; pertama,
analisis pada saat pengumpulan data, ini ditujukan untuk lebih menangkap esensi
atau ini dari fokus penelitian yang akan dilakukan melalui sumber � sumber yang
dikumpulkan dan terkandung dalam rumusan verbal kebahasaan, proses ini
dilakukan aspek demi aspek sesuai dengan peta penelitian. Kedua, setelah
dilakukan proses pengumpulan data itu, selanjutnya menganalisis kembali setelah
data terkumpul yang berupa data mentah yang harus ditentukan hubungan satu sama
lain. Maka Penulis
jadikan proses yang ditempuh dalam menganalisa data, sebagai berikut :
1.
Reduksi data (data
reduction) adalah
perampungan data yang di peroleh dari lapangan secara rapi, terperinci serta tersusun sistematis sehingga dapat mempermudah
peneliti bila di perlukan dalam penyusunan karya ilmiah.
2.
Penyajian data yang di gunakan dalam penelitian ini merupakan
penyederhanaan data sesuai dengan kriteria dan klarifikasi data berdasarkan
permasalahan objek peneliti agar dapat memudahkan pemahaman peneliti.
3.
Kesimpulan merupakan suatu proses akhir, di mana data yang di teliti sudah
di rangkumkan/disimpulkan sesuai dengan masalah yang telah di teliti.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
1. Pemenuhan Hak Mantan Suami Terhadap Anak
Di Bawah Pengasuhan Mantan Istri
Pemeliharaan anak masih menjadi tanggung
jawab orangtua, terutama suami sebagai seorang ayah dalam memenuhi kebutuhan
anak. Sehingga pemeliharaan anak juga bermakna bahwa sebuah tanggung jawab
orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan serta mencukupi kebutuhan hidup
dari seorang anak oleh orang tua. Tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan
dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut sampai anak mencapai batas
umur yang bisa dikatakan sebagai orang dewasa (Harahap, 1975).
Secara umum yang terjadi hak asuh anak
jatuh ditangan ibunya sebelum anak berusia 21 tahun, baru setelah itu anak
dapat menentukan pilihannya sendiri. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105
berbunyi �Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun adalah hak ibunya�.
Kemudian pemeliharaan anak yang sudah
baligh diperbolehkan untuk memilih tinggal dengan ayah atau ibunya,
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana ayah dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut. Dan apabila jika terjadi
perceraian antara suami istri mereka masih tetap bertanggung jawab terhadap
anak untuk memelihara dan mendidik untuk kepentingan anak, akan tetapi dalam
pelaksanaan pemeliharaan tersebut dilakukan oleh salah seorang dari mereka.
a. Suami Tetap Dapat Bertemu Langsung Dengan
Anaknya
Pada dasarnya setelah bercerai, baik ayah
maupun ibu tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata
berdasarkan kepentingan anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, pengadilan mamberikan keputusannya. Yang dimaksud dengan pengadilan
yakni Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang
beragama selain Islam.secara khusus bagi yang beragama Islam dalam hal
terjadinya perceraian, pasal 105 jo pasal 156 KHI mengatur bahwa :
1) Pemeliharaan anak yang belum berumur 12
tahun (mumayyiz) adalah hak ibunya. Jika ibunya meninggal dunia, kedudukannya
digantikan oleh:
a) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas
dari ibu;
b) Ayah;
c) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas
dari ayah;
d) Saudara perempuan dari anak yang
bersangkutan; dsb
e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut
garis samping dari ayah;
2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaannya.
3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya, menurut kemampuan ayahnya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
Pada dasarnya, ketentuan pasal 14
Undang-undang nomor 35 tahun 2014 menerangkan bahwa dalam hal terjadi pemisahan
anak dengan orang tua akibat perceraian, maka anak tetap berhak bertemu
langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya. Dengan
demikian mantan isteri dan pihak keluarganya tidak berhak melarang anak bertemu
dengan ayahnya.
Dalam SEMA nomor 1 tahun 2017 huruf c
angka 4 menerangkan terkait syarat hadhanah, dalam hadhanah perlu dicantumkan
kewajiban pemegang hak hadhanah untuk memberi akses kepada orang tua yang tidak
memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya.
Dengan berakhirnya
pernikahan kedua orang tua tidak menjadi penghalang terputusnya hak-hak anak,
baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
atas segala kepentingan anak mereka sampai anak tersebut menikah atau mampu
berdiri sendiri. Aturan ini jelas dan tegas menjadi pedoman bagi hakim dalam memutus suatu perkara tentang
pemberian hak asuh atas anak dalam hal terjadi perceraian seperti yang terdapat
dalam Pasal 105 KHI, bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaannya dan pemeliharaan biaya ditanggung oleh ayahnya.
Pencantuman pertimbangan hukum tersebut
sebagai bentuk pemberian jaminan hukum kepada orang tua yang tidak mendapatkan
hak asuh anak, sehingga meskipun demikian orang tua tersebut masih mempunyai
hak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu jika ada pihak yang
menghalang-halangi guna mencurahkan kasih sayang orang tua kepada anak, maka
mereka telah melanggar pasal 26 ayat (1) undang-undang perlindungan anak nomor
35 tahun 2014, begitu pula telah mengingkari pasal 41 undang-undang RI nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat ketentuan-ketentuan berkenaan dengan
masalah hadhanah, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
�Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak- anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberinya
putusan.�
Hal ini juga termaktub dalam Pasal 45
disebutkan:
�Kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tuanya putus�
Adanya
aturan diatas sudah barang tentu telah menjadi acuan yang harus diperhitungkan,
dipertimbangkan oleh siapapun yang mendapatkan hak asuh anak agar tidak
semena-mena dan serta merta menghalangi orang tua yang akan mencurahkan rasa
kasih sayangnya.
Dalam perimbangan hukum,
majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada
orang tua yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan alasan untuk
mengajukan gugatan pencabutan hak tersebut.
Dalam praktiknya pengadilan
agama telah menerapkan SEMA tersebut karena pengaturan amat hadhanah dalam SEMA
tersebut bersifat antisipatif untuk mencegah terjadinya sengketa lebih lanjut.
Ketentuan tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hadhanah
dapat dijadikan pencabutan hak hadhanah, diuraikan dalam pertimbangan hakim dan
biasanya diikuti dengan penetapan yang secara garis besar berisi: �menetapkan
anak yang bernama fulan bin fulan lahir tanggal xxx berada di bawah
hadhanah xxxdengan tetap memberikan akses kepada (orang tua yang tidak memegang
hadhanah) untuk bertemu anaknya.�
B. Dasar Pertimbangan Hakim Menolak Perkara
Pencabutan Hak Asuh Anak Dalam Putusan Nomor 132/Pdt.G/2022/PA.Tte Di
Pengadilan Agama Ternate
1. Duduk Perkara
Berdasarkan perkara nomor
132/Pdt.G/2022/PA.Tte yang menjadi pokok
perkara dapat penulis kemukakan sebagai berikut:
Bahwa Penggugat Penggugat dan Tergugat
adalah suami isteri yang telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 14 April
2013 yang kemudian dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kota Ternate sebagaimana kutipan akta nikah
nomor 314/16/IV/2013, kemudian dari pernikahan tersebut dikaruniai satu orang
anak perempuan lahir pada tanggal 16 Januari 2015/ umur 6 tahun, kemudian pada
tanggal 16 Oktober 2019 ikatan perkawinan Penggugat dan Tergugat dinyatakan
putus berdasarkan putusan Pengadilan Agama Ternate nomor 302/Pdt.G/2019/PA.Tte
tanggal 16 Oktober 2019 atau bertepatan dengan tanggal 16 shafar 1441 hijriah,
adapaun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap yang dimana dalam amar
putusan sebagaimana diuraikan diatas, selain memberikan izin kepada Penggugat
untuk menjatuhkan talak terhadap Tergugat dengan kewajiban membayar nafkah,
juga menetapkan hak asuh/hadhannah
terhadap anak perempuannya diberikan kepada Tergugat selaku ibu kandungnya dan
Tergugat selaku ayah kandungnya berkewajiban memberikan biaya pemeliharaan
sebesar Rp. 1.500.000.- (satu juta lima ratus ribu) setiap bulannya, setelah
terjadi perceraian kemudian Penggugat maupun Tergugat telah memiliki rumah
tangganya masing-masing.
Pada awalnya Penggugat tidak
mempermasalahkan perilaku Tergugat yang terkesan membatasi Penggugat bertemu
dengan anaknya, namun sejak desember tahun 2020 setelah Tergugat mengetahui
Penggugat telah menikah lagi, kemudian Tergugat membatasi Penggugat bertemu
dengan anaknya baik di rumah maupun di sekolah, bahkan Tergugat pernah
menyampaikan kepada Penggugat, jika Penggugat bersih keras untuk tetap ingin
berjumpa dengan anaknya, maka Tergugat tidak sungkan-sungkan untuk mengeluarkan
anak tersebut dari sekolah saat ini dan
memindahkan bersekolah diluar Kota Ternate.
Kemudian pada duduk perkara selanjutnya
Penggugat selaku ayah kandung yang merasa mempunyai tanggung jawab baik dalam
hal kehidupan sehari-hari maupun pertumbuhan dan perkembangan anaknya,
Penggugat berupaya untuk tetap bertemu dengan anaknya, yang kemudian pada
tanggal 24 Januari 2022, Penggugat mendatangi sekolah anaknya untuk bertemu
sekedar melepas rindu dan memberikan uang jajan kepada anaknya, yang dalam
pertemuan tersebut tidak mengganggu proses belajar mengajar anak tersebut,
beberapa saat kemudian saat Penggugat kembali kerumah tempat tinggal Penggugat
tiba-tiba datang suami Tergugat dirumah Penggugat yang saat itu datang dengan
tujuan mengembalikan uang yang tadinya diberikan oleh Penggugat kepada anaknya
disekolah, selanjutnya sikap suami Tergugat yang mengambil uang dari anaknya
dan mengembalikan kepada Penggugat, sudah dapat dipastikan sangat membuat anak
tersebut tertekan, sebab kehendak mengembalikan uang tersebut lahir dari suami
Tergugat bukan dari anaknya yang notabene sangat menyanyangi Penggugat selaku
ayah kandung, selanjutnya sejak kejadian tersebut dapat diuraikan bahwa,
Penggugat selaku ayah kandung dari anak tersebut sangat terpukul dengan ancaman
yang diberikan oleh suami Tergugat, yang notabene bukan siapa-siapanya diva,
dan Penggugat juga khawatir dengan pertumbuhan anaknya jika masih bersama-sama
hidup dengan Tergugat dan suaminya, oleh sebab itu melalui gugatan yang
diajukan oleh Penggugat maka pada dasarnya Penggugat memohon kepada majelis
hakim yang memeriksa perkara a quo untuk mempertimbangkan kembali hak asuh/hadhannah �Tergugat terhadap anaknya tersebut.
Kemudian Penggugat selaku ayah kandung
selain mempunyai kewajiban untuk memberikan kebutuhan hidup anaknya, Penggugat
juga mempunyai kewajiban untuk memelihara, mendidik dan memberikan perhatian
kepada anaknya, oleh sebab itu tindakan menghalang-halangi yang dilakukan oleh
Tergugat bersama suaminya terhadap Penggugat untuk bertemu dengan anaknya telah
jelas merupakan perbuatan yang dilarang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan;
Dari hal tersebut yang menjadi dasar hukum
Penggugat mengajukan pencabutan hak asuh anak yakni dilihat pada UU Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 ayat 1 menyebutkan : setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan;
a. Diskriminasi
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya:
Kemudian ditinjau dari Kompilasi Hukum
Islam pasal 156 huruf C menyebutkan �apabila pemegang hadhanah tidak dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan anak
telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama
dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula�
berdasarkan dengan adanya fakta
sebagaimana tersebut diatas, maka Penggugat selaku ayah kandung dari anak
tersebut, berhak mengajukan pencabutan hak asuh atas anak dari Tergugat, dan
meminta kepada Pengadilan Agama Ternate agar menetapkan hak asuh atas anak
tersebut diberikan kepada Penggugat, sebagaimana sesuai dengan ketentuan pasal
30 ayat (1) UU Nomor 23/2002 tentang perlindungan anak yang berbunyi �dalam
hal� sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau
kuasa asuh orang tua dapat dicabut�
kemudian ditegaskan pula dalam SEMA Nomor
1 tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah
Agung Tahun 2019 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Peradilan, huruf C
Rumusan Hukum Kamar Agama angka 4 menyebutkan �dalam amar penetapan hak asuh
anak (hadhanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi
akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu anaknya,
dalam pertimbangan hukum, majelis hakim pula mempertimbangkan bahwa tidak
memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan
alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhannah�
Berdasarkan
uraian posita gugatan diatas, yang dijadikan sebagai alasan Penggugat untuk
mengajukan perkara pencabutan hak asuh anak dari duduk perkara tersebut penulis
akan menyajikan pertimbangan hukum yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan
hakim dalam memutus perkara pencabutan hak asuh anak dengan melihat duduk
perkara, berikut adalah pertimbangan hukum yang akan penulis sajikan.
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pembahasan di atas, maka
peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Pemenuhan Hak Mantan
Suami terhadap anak di bawah Pengasuhan mantan Isteri merupakan hak asuh anak dari aspek normatif adalah Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah berada
dalam asuhan ibunya, namun demikian juga memberikan peluang pemindahan hak asuh
anak, apabila lalai memenuhi kebutuhan terhadap hak-hak anak. Dan berdasarkan
SEMA No. 01 Tahun 2017 yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam amar penetapan
hak asuh anak (hadhanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah
memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk
bertemu dengan anaknya. Dan dalam pertimbangan hukum, majelis hakim
harus juga mempertimbangkan untuk memberikan akses kepada orang tua yang tidak
memegang hak hadhanah. 2) Dasar Pertimbangan Hakim Menolak perkara
Pencabutan Hak Asuh Anak dalam Putusan Nomor 132/Pdt.G/2022/PA.Tte di
Pengadilan Agama Ternate dalam hal ini Majelis hakim di Pengadilan Agama
Ternate Kelas I A dalam memutus Perkara Pencabutan Hak Asuh Anak (hadhanah) Nomor
: 132/Pdt.G/2022/PA.Tte. berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
sehingga Majelis Hakim berpendapat tuntutan Penggugat pada angka 2 (dua) dan 3
(tiga), berdasarkan Pasal 1917 KUH Perdata, sehingga perkara tersebut
dinyatakan tidak dapat diterima (NO) dengan tidak mengesampingkan ketentuan
pasal 105 huruf (a) KHI.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Boedi, & Saebani, Beni Ahmad. (2013).
Perkawinan dan perceraian keluarga muslim. Bandung: Pustaka Setia.
Google Scholar
Ali, Zainudin. (2017).
Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hukum Udayana, 6(4).
Google Scholar
Bahari, Adib. (2016). Tata
cara gugatan cerai, pembagian harta gono-gini, dan hak asuh anak. Pustaka
Yustisia. Google Scholar
Ernaningsih, Wahyu, &
Samawati, Putu. (2008). Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Rambang Palembang,
Palembang. Google Scholar
Fuady, Munir. (2007). Dinamika
teori hukum. Google Scholar
Hadikusuma, Hilman. (2007).
Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan. Hukum Adat Dan Hukum Agama,
Mandar Maju, Bandung. Google Scholar
Harahap, M. Yahya. (1975).
Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional. Berdasarkan UU, (1). Google Scholar
Koro, Abdi. (2013). Perlindungan
anak di bawah umur: dalam perkawinan usia muda dan perkawinan siri. Google Scholar
Marzuki, Peter Mahmud.
(2008). Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi. Kencana Prenada Media Group,
Jakarta. Google Scholar
Mertokusumo, Sudikno.
(1988). Mengenal Hukum (Suatu Pengantar Ilmu Hukum. Iedisi II,
Yogyakarta: Liberty. Google Scholar
Soemiyati. (1982). Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Google Scholar
Soeroso, R. (2002).
Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta. Sinar Grafika. Google Scholar
Syaifudin, Muhammad.
(n.d.). dkk, 2014. Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta. Google Scholar
Taufani, Galang. (2018). Metodologi
Penelitian Hukum: Filsafat, teori, dan praktis/Suteki. Google Scholar
Wadong, Maulana Hassan.
(2000). Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: PT. Grasindo. Google Scholar
Copyright holder: Aulia Br. Mangunsong, Rusdin
Alauddin, Faissal Malik (2023) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |