Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 1, Januari 2023

 

KOMUNIKASI MULTIKULTURAL KEHIDUPAN BERTETANGGA

DI KABUPATEN BANYUMAS

 

Tita Dewinta Ratea, Edi Santoso, Nana Sutikna, Agoeng Noegroho, Agus Ganjar Runtiko, S. Bekti Istiyanto, Barid Hardiyanto

Universitas Jenderal Soedirman, Puwokerto, Indonesia

Universitas Islam Negeri Saifuddin Zuhri, Purwokerto, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan situasi multikultur dan problem-problem yang dihadapi masyarakat bertetangga di salah satu rukun tetangga di Kabupaten Banyumas. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologis dan metode penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa individu-individu dalam memahami di mana mereka hidup dan bekerja dikembangkan dari makna-makna subyektif yang berasal dari pengalaman diri mereka sendiri dan interaksinya dengan pengalaman individu lain yang juga memaknai diri mereka sendiri. Namun demikian, faktor eksternal/isu publik terkait politik identitas turut memengaruhi kehidupan multikultural bertetangga. Komunikasi multikultural yang terjadi dalam dialog subyektif diri dan faktor eksternal menghasilkan transformasi dan perubahan budaya meski pada skala kecil. Meskipun terjadi persilangan saat �pilkada DKI dan �pilpres� namun 2-3 tahun setelah momentum tersebut masyarakat bertetangga di wilayah penelitian kembali menjalani hidup seperti biasa. Benturan yang terjadi dalam perjalanan waktu pada akhirnya berproses tanpa henti menciptakan cara baru dalam bergaul sesama tetangga.

 

Kata Kunci: komunikasi; komunikasi multicultural; politik identitas.

 

Abstract

This study aims to describe the multicultural situation and the problems faced by neighboring communities in one of the neighborhood associations in the Banyumas Regency. By using a phenomenological approach and qualitative descriptive research methods, this study found that individuals' understanding of where they live and work is developed from subjective meanings that come from their own experiences and their interactions with the experiences of other individuals who also make sense of themselves. alone. However, if external actors/public issues related to identity politics also affect the life of multicultural neighbors. Multicultural communication that occurs in self-subjective dialogue and external factors results in cultural transformation and change even on a small scale. Even though there was a crossover during the "DKI regional election and the "presidential election", 2-3 years after this momentum, the neighboring communities in the study area returned to live their lives as usual. The collisions that occur over time eventually proceed endlessly to create new ways of associating with neighbors.

 

Keywords: communication; multicultural communication; identity politics.

 

Pendahuluan

Indonesia mempunyai keragaman identitas. Keragaman identitas ini dapat dilihat pada terdapatnya berbagai macam suku, agama dan ras. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia. Secara formal, negara mengakui 6 agama ditambah dengan kepercayaan. Hal ini belum ditambah dengan agama-agama lain dan juga ribuan kepercayaan yang sampai sekarang belum mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah. Tak hanya itu, keragaman bangsa ini juga ditunjukkan dengan berbagai macam ras di antaranya: Melanesoid, Malayan- Mongoloid, Kaukasoid dan Asiatic Mongoloid.

Jargon Bineka Tunggal Ika yang secara harafiah dimaknai sebagai berbeda-beda tetap satu jua menjadi pedoman dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja jargon tersebut mengalami dinamika dalam perjalanannya. Indonesia beberapa kali ditempa dengan kerusuhan yang disinyalir karena adanya perbedaan suku, agama dan ras. Sebutlah beberapa di antaranya: kerusuhan Tasikmalaya, tapal kuda, perang suku di Kalimantan dan lain-lain. Bahkan ada satu istilah kekerasan komunal yang dikenal di dunia internasional yang disebut dengan Amok.

Bila lebih spesifik lagi, persoalan identitas juga dapat terekam dari sejarah perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Dalam konteks sejarah bangsa, eksistensi etnis Tionghoa tidak terlepas dari sejarah kelam. Pada tahun 1740 di Batavia terhadap kerusuhan anti Tionghoa yang dikenal sebagai Geger Pecinan atau Tragedi Angke yang berdampak kematian 10 ribuan orang beretnis Tionghoa. Tidak berhenti di situ, pada tanggal 10 Mei 1963 terjadi lagi peristiwa rasialis kepada orang beretnis Tionghoa dan selanjutnya terjadi juga di Pekalongan (1972), Jakarta (1973), Peristiwa Malari (1974), Ujungpandang, Solo dan Medan (1980), Pekalongan (1995) dan kerusuhan Mei (1998). Berbagai peristiwa tersebut menimbulkan stereotype yang negatif dan bahkan turut berpengaruh bagi proses Pilkada DKI putaran kedua pada tahun 2017 (Nasrudin: 2018).

Akhir-akhir ini, bangsa ini juga dihadapkan pada situasi menguatnya politik identitas, salah satunya identitas agama. Meskipun sebetulnya keberadaan politik identitas yang bernuansa agama di Indonesia bukanlah hal yang baru. Perjalanan panjang politik identitas terus berlanjut seiring dengan beberapa tahun belakangan ini, kerap muncul simbol-simbol keislaman pada fashion, buku, perumahan, perbankan yang terbungkus dalam istilah islami, syariah ataupun hijrah. Situasi ini sebetulnya dapat dipahami karena memang iklim demokrasi membuka kemungkinan berbagai macam ekspresi hadir di ruang publik (Simarmata: 2014, Arditama: 2016).

Namun demikian terdapat hal yang patut menjadi perhatian bangsa ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan Center for Religious and Cross Culture (CRCS) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulloh di tahun 2011 yang menyebutkan bahwa bangsa ini mempunyai tantangan besar yang berasal dari sejumlah 19,9% muslim Indonesia yang berkarakter �islamis-ideologis� (Hasan, 2010). Beberapa tantangan tersebut berupa berbagai tindakan yang dilakukan kelompok ini dalam memaksakan identitas Islam pada ruang publik dengan klaim kebenaran sepihak. Tak hanya itu, dalam banyak kondisi, kelompok ini mempunyai kecenderungan meniadakan atau mengkafirkan kelompok lain. Fakta tersebut terungkap, paska laporan ini disampaikan terdapat kelompok islamis ideologis semacam Front Pembela Islam (FPI) yang kerap kali melakukan tindakan penyerangan kepada kelompok lain yang bukan menjadi bagian dari kelompoknya.

Berbagai tindakan yang bernuansa politik identitas seperti yang telah disebutkan dalam banyak hal berdampak pada memudarkan wajah keberagaman/ multikulturalisme bangsa Indonesia. (Agustianty, 2021) menyebutkan bahwa Indonesia memandang perbedaan bukan sebagai hal negatif. Dalam tulisannya yang berjudul: �Multikulturalisme di Indonesia�, ia menyampaikan bahwa Indonesia yang memiliki lebih dari 700 bahasa sehari-hari yang dipakai, berbagai macam agama dan keyakinan baik yang sudah diakui maupun belum dan ragam tradisi nenek moyang merupakan perbedaan tidak dapat dihindari. Alih-alih menghindari konflik maka akan lebih baik jika perbedaan tersebut harus diakui keberadaannya, dikelola dan diubah menjadi kekuatan positif.

Di Indonesia, implementasi multikulturalisme kiranya masih dalam proses perjalanan yang panjang. Multikulturalisme di berbagai wilayah Indonesia sosoknya masih kabur. Bila pun multikulturalitas sering dilansir di berbagai forum, sebagian besar masih sebatas wacana dan kurang terimplementasikan secara nyata, konsisten dan berkesinambungan. Diperlukan kepedulian yang serius dari berbagai pihak untukmengupayakan cara-cara yang lebih operasional dalam mendukung langkah-langkah pengimplementasian multikulturalisme tersebut.

Senada dengan kondisi di Indonesia dengan ragam kehidupan multikultural beserta dengan dinamikanya, Banyumas, di mana penelitian ini akan dilakukan, juga mempunyai ragam kehidupan multikultural beserta dengan dinamikanya. Banyumas yang merupakan pertemuan tiga kebudayaan besar: Yogya, Surakarta dan Sunda (Supriyatmono: 2005, Abdullah: 2007, (Herusatoto, 2008) memiliki karakteristik yang cukup unik.

Dalam konteks kehidupan kebudayaan, Banyumas berada dalam wilayah �luar� dan marginal. Kondisi demikian pada satu sisi membuat Banyumas lebih mempunyai kebebasan dalam berkehidupan karena pengaturan dari keraton relatif lemah. Namun demikian, pada sisi lain, kebebasan yang seharusnya lebih memunculkan kemerdekaan atas segala pikiran dan tindakan ternyata justru menimbulkan sisi sifat sebagai orang yang berada di pinggir dengan karakter inferioritas (Santoso, 2015).

Sisi pertemuan budaya ini turut membangun karakter orang Banyumas yang relatif terbuka pada budaya lain. Maka tak mengherankan jika ada beberapa pernyataan, misalnya dari Ahmad Tohari (Budayawan Banyumas) yang menyebutkan bahwa Banyumas bahkan mempunyai sejarah panjang dengan kehidupan etnis Tionghoa era dulu dan relasi baik tersebut masih terlihat sampai sekarang. Salah satunya misalnya adanya penerapan pendidikan multikultural di salah satu sekolah etnis Tionghoa di Banyumas yang di dalamnya membawa pesan-pesan kebinekatunggalikaan (Ningsih, 2017). Dalam hal kehidupan beragama, Banyumas juga dinilai cukup toleran. Penelitian di Banjarpanepan (Solehudin, 2016) memperlihatkan bahwa meski di desa tersebut terdapat ragam agama dan kepercayaan namun masyarakatnya sangat menjaga budaya tolerasi.

Meskipun tampak harmoni dalam kehidupan multikultural, di Banyumas bukan tidak terdapat konflik. Beberapa kali terjadi konflik atau setidaknya mengandung benih konflik. Misalnya: potensi konflik dalam pilkada (Assidiq, 2019), konflik yang berakar dari perebutan sumber daya air (Wuryaningsih, Suyanto, Widyastuti, & Wulan, 2004), konflik antar organisasi keagamaan (Assidiq, 2019).

Selain konflik-konlik yang tampak sebetulnya dalam kehidupan keseharian masyarakat juga terdapat potensi konflik seperti misalnya dalam kehidupan bertetangga. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan sejak Maret 2022, peneliti melihat terdapat fenomena menarik di wilayah tetangga peneliti, di mana pada saat terjadi �ramai-ramai� politik pilkada di Jakarta, ada suatu momentum di saat perayaan Natal di mana warga yang dulunya berkunjung ke rumah salah seorang warga yang beragama Kristen dan merayakan Natal tetapi pada masa itu sebagian besar warga tidak lagi mengucapkan Natal. Tetapi setelah keriuhan politik tersebut mereda maka warga kembali mendatangi rumah warga yang berbeda agama. Fenomena demikian ini menarik untuk menjadi bahan penelitian.

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka dalam penelitian ini, peneliti memilih melakukan penelitian pada salah satu ruang untuk melihat lebih dalam dan mendukung implementasi multikulturalisme. Ruang tersebut adalah kehidupan bertetangga. Dalam konteks ini, pemilihan lokasi penelitian dilakukan di wilayah rukun tetangga di mana peneliti tinggal yakni di Jalan Kebocoran, RT 03/ RW 02, Karangsalam Kidul, Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah.

Pemilihan lokasi ini didasarkan berbagai pertimbangan, antara lain: kehidupan bertetangga merupakan salah satu tempat di mana kehidupan nyata sehari-hari terjadi dan bisa menjadi cerminan dalam melihat kehidupan; belum ada penelitian di mana peneliti multikultural melakukan penelitian terhadap kehidupan sehari-harinya (baca: tentang pernyataan ini dapat disimak pada sub bab penelitian terdahulu); penelitian terlibat mempunyai keunggulan pada rincian kehidupan yang sangat memberi sumbangsih pada model penelitian fenomenologi; meski lokasinya tidak besar tetapi di wilayah tersebut terdapat beberapa: agama dan ormas keagamaan, etnis, ras dan status sosial yang menarik menjadi bahan penelitian.

Dalam kerangka itulah, maka penelitian ini memunculkan pertanyaan utama yakni bagaimana konstruksi makna hidup bertetangga dalam suasana multikultural di Jalan Kebocoran, RT 03/ RW 02, Karangsalam Kidul, Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah?

Sedangkan terkait tujuan, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan situasi multikultur dan problem-problem yang dihadapi masyarakat bertetangga.

Metode Penelitian

Penelitian ini melakukan interpretasi atas makna subyektif yang dimiliki masing-masing individu di mana terjadi interaksi antar individu-individu tersebut yang membentuk individu tersebut dalam menjalankan tindakan sosialnya. Pemaknaan subyektif dan interaksi antar individu tersebut dipengaruhi oleh pengalaman dan latar belakang dari masing-masing individu dan interaksinya dengan individu lain. Dalam pandangan (Creswell, 2015), paradigma yang menggambarkan pandangan di atas termasuk dalam paradigma konstruktivis. Subjek dan Lokasi penelitian ini adalah tetangga peneliti yang ada di Jalan Kebocoran, RT 03/ RW 02, Karangsalam Kidul, Kedungbanteng, Banyumas. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari beragam latar belakang profesi, etnis dan agama.

Pemilihan subyek dilakukan secara purposive. Pilihan ini didasarkan asumsi bahwa strategi purposive merupakan cara yang paling tepat digunakan dalam memilih sample yang mempunyai tipikal khusus (Robinson: 2014). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan fenomenologis mengandalkan dirinya pada model pengamatan atau observasi sebagai teknik utama dalam pengumpulan data. Oleh karena itulah, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi. Tentu saja tidak hanya observasi yang digunakan untuk mendapatkan data. Penelitian ini juga mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dan juga dokumen-dokumen yang dipandang memadai untuk menambah kekuatan hasil penelitian.

Untuk memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak diragukan kredibilitasnya maka diperlukan adanya validitas data. Dalam penelitian fenomenologis, (Creswell, 2015) memberikan gambaran tentang bagaimana melakukan validasi data. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain: menjalankan triangulasi data, memastikan kebenaran soal subyek penelitian, deskripsi yang detail, mencegah terjadinya bias, meminta bantuan peneliti lain untuk membaca secara kritis hasil penelitian. Selain itu, peneliti juga perlu melakukan mempertanyakan kepada dirinya tentang beberapa hal seperti: memahami tentang filosofi terkait fenomenologi, fenomena yang diteliti dapat diartikulasikan dalam tulisan secara jelas, menjalankan prosedur dengan benar, menyampaikan makna keseluruhan yang disampaikan oleh subyek penelitian atau tidak menutup-nutupi dan peneliti terus melakukan refleksi sepanjang penelitian itu berlangsung.��������

 

Hasil dan Pembahasan

Lokasi penelitian berada di RT 03/ RW 02 Desa Karangsalam Kidul, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. RT 03/ RW 02 berbatasan dengan RT 05/ RW 02 di sebelah utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Bobosan, di sebelah barat berbatasan dengan RT 02/ RW 02 dan di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Bobosan.

 

 

 

 

Gambar 1

Peta RT 03/ RW 02

Sumber: Google Earth

 

Wilayah RT 03/ RW 02 mempunyai jumlah kepala keluarga sebanyak 36 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 115 orang yang terdiri dari 65 orang laki-laki dan 50 orang perempuan. Rincian komposisi penduduk dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

 

Tabel 1

Komposisi Penduduk RT 03/ RW 02

Kategori

Rincian

Jumlah

Total

Pendidikan

Belum Sekolah

7

115

SD

7

Tamat SD

21

SLTP

9

Tamat SLTP

1

SLTA

35

Tamat SLTA

5

D1

1

D3

4

D4/S1

19

S2

5

S3

1

Pekerjaan

Belum/ TIdak Bekerja

8

115

Pelajar/ Mahasiswa

35

Mengurus Rumah Tangga

17

Karyawan Swasta

14

Karyawan Honorer

1

PNS

6

Karyawan BUMN

1

Wiraswasta

21

Pedagang

6

Buruh Harian Lepas

3

Petani

1

Pelaut

2

Agama

Islam

109

115

Kristen

6

���������������� Sumber: Data RT (Diolah)

 

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dalam hal pendidikan komposisi terbesar adalah penduduk dengan tingkat pendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA). Selain itu, komposisi teratas kedua adalah penduduk dengan tingkat pendidikan D4/ S1. Bila melihat komposisi tersebut bisa dikatakan bahwa dalam hal tingkat pendidikan warga RT 03/ RW 02 termasuk dalam wilayah RT dengan tingkat pendidikan menengah dan tinggi.

Terkait dengan pekerjaan, warga RT 03/ RW 02 masih didominasi oleh para pelajar/ mahasiswa. Untuk orang dewasanya kebanyakan adalah wiraswasta dan karyawan swasta. Di wilayah RT ini hanya terdapat 1 orang petani. Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa warga RT 03/ RW 02 digolongkan sebagai masyarakat dengan gaya hidup urban.

Berikutnya terkait dengan keagamaan. Mayoritas warga RT 03 RW 02 beragama Islam. Untuk agama lainnya adalah Kristen yang jumlahnya 6 orang. Penduduk RT 03/ RW 02 yang beragama Islam tidak bersifat tunggal. Banyak diantara warga RT tersebut berafiliasi dengan organisasi keagamaan Nahdatul Ulama (NU) dan beberapa lainnya mempunyai afiliasi organisasi keagamaan dengan Muhammadiyah. Selain itu terdapat juga warga yang tidak berafiliasi dengan kedua organisasi tersebut dan mereka menyebutnya dengan ��Islam Saja�.

Sebagai bagian dari masyarakat urban, kondisi sosial budaya di RT 03/ RW 02 dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada warga yang digolongkan sebagai pertama, ��Orang Kota� yakni orang yang gaya hidupnya mengikuti gaya hidup yang dicirikan sebagai orang perkotaan, misalnya: cenderung menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Banyumas, berpenampilan lebih necis, biasanya berpendidikan lebih tinggi. Kedua, �Wong Desa�� yaitu orang-orang yang sehari-harinya biasanya berbahasa Banyumasan, berpenampilan seperti orang pedesaan dan biasanya berpendidikan lebih rendah. Sedangkan golongan ketiga adalah warga yang bertransformasi dari ��Wong Desa�� ke ��Orang Kota��. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya orang yang pernah lahir/ tinggal di RT tersebut kemudian diantara perjalanan hidupnya mereka merantau ke kota atau ke luar negeri dan kemudian kembali lagi ke RT tersebut. Tampaknya kehidupan dimana ia merantau memengaruhi kehidupan sehari-harinya dan anggapan orang RT tersebut terhadap dirinya.

 

1.    Situasi Multikultural Bertetangga

Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan, RT 03/ RW 02 secara kultural masuk Grumbul (baca: istilah yang digunakan masyarakat Banyumas untuk menyebut lingkung desa kecil atau dalam bahasa Jawa di wilayah lain sering disebut pedukuhan/ dusun/ kampung) Brobohan. Di Karangsalam Kidul sendiri terdapat 4 (empat) grumbul yakni:

Karangsalam, Brobahan, Karangpule dan Parakanonje. Sebagian besar penduduk RT 03/ RW 02 merupakan �pendatang� dari dusun lain di wilayah Desa Karangsalam Kidul ataupun desa lain yang berbatasan dengan Desa Karangsalam Kidul seperti Desa Kebocoran.

Namun demikian pada era akhir 1990an terdapat beberapa �pendatang� lain yang merupakan orang di luar desa terdekat yang bermukim di RT tersebut, diantara mereka adalah pensiunan PNS/ BUMN dan juga pengusaha/ pedagang.

Wilayah RT ini mempunyai keragaman perilaku yang dipengaruhi oleh agama, etnis dan asal muasal. Di RT ini terdapat orang yang beragama Islam dan Kristen. Jumlah orang yang beargama Islam sebanyak 109 orang sedangkan yang beragama Kristen sejumlah 6 orang.

Dalam menjalankan ritual keagamaan terdapoat warga yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan �Islam Saja� (baca: istilah ini adalah istilah yang paling sering digunakan informan ketika ditanya apakah yang bersangkutan NU atau Muhammadiyah. Warga NU biasanya menjalankan sholat sehari-hari di Mushola RT 02/ RW 03 yang berada di sebelah barat RT 03/ RW 02, sedangkan warga yang berafiliasi dengan Muhammadiyah sholat sehari-harinya di Masjid Wijayakusuma yang letaknya berdekatan dengan Unwiku. Begitu juga saat momen khusus seperti sholat tarawih saat ramadhan, warga yang berafiliasi dengan NU menjalankan sholat di musholla RT 02, sedangkan warga lain yang Muhammadiyah menjalankan sholat di masjid dekat Unwiku.

Pada masyarakat yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, ada beberapa orang yang mengatakan sering kali tetap mengikuti aktivitas ritual yang dilakukan NU seperti tahlilan (baca: ritual membaca ayat Al Quran untuk mendoakan orang yang meninggal). Namun demikian, terdapat �orang Muhammadiyah� yang memegang teguh �prinsip� untuk tidak mengikuti ritual budaya keislaman yang lain. Alasannya karena ritual tersebut dinilai sebagai ritual yang bid�h (baca: perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan (KBBI)). Namun demikian, saat peneliti bertanya, tindakan apa yang dilakukan dengan orang yang beribadah dengan cara yang dianggap musyrik itu, ia mengatakan bahwa hal tersebut adalah pilihan masing-masing dan silakan saja untuk menjalankannya. Baginya yang penting dia tidak mengikuti ajaran tersebut.

Begitu juga di kalangan warga yang NU, jika ada warga Muhammadiyah yang mau diajak untuk mengikuti ritual tahlil maka mereka akan mengajaknya. Tetapi jika memang orang tersebut pernah beberapa kali diundang dan tidak datang maka warga itu pun sudah tahu dan tidak mempermasalahkannya.

Sedangkan untuk warga yang �Islam Saja� dimana oleh informan dimaknai sebagai warga yang tidak mempunyai afiliasi dengan organisasi masyarakat manapun biasanya mengikuti ritual masyarakat NU begitu juga saat penentuan Idul Fitri atau Idul Adha mereka biasanya mengikuti pemerintah yang juga mempunyai pilihan penentuan sama dengan model NU yakni rukyat.

Lantas bagaimana dengan kehidupan agama lain? Menurut salah seorang warga yang beargama Kristen, dalam menjalankan ibadahnya selama ini tidak ada masalah. Ketika dia mengadakan acara ibadah di rumah dengan mengundang umat beragama Kristen yang bukan merupakan warga RT 03/ RW 02 tidak dipermasalahkan oleh warga lainnya.

Meskipun dipermukaan tidak terlihat permasalahan, namun demikian saat peneliti lebih mendalami dan mencoba mengingatkan tentang perayaan Natal beberapa tahun lalu, salah seorang warga minoritas tersebut mengatakan bahwa memang sempat dalam hati bertanya-tanya apa alasanya yang membuat ada kejadian tersebut. Namun demikian, ia tidak mempersoalkan kejadian tersebut.

Mengenai adanya kejadian ketidakdatangan warga lain saat perayaan natal tersebut, berdasarkan temuan lapangan, terdapat beberapa sikap dan perilaku warga terkait dengan �kejadian perayaan natal� beberapa tahun lalu.Pertama, datang tapi tidak mengucapkan natal. Berdasarkan wawancara dan observasi yang peneliti lakukan, banyak dari warga RT 03/ RW 02 mengambil pilihan ini. Alasan utama yang melandasi pilihan �datang tapi tidak mengucapkan natal� adalah soal keyakinan agama. Kedatangan mereka ke warga yang merayakan natal adalah bentuk hubungan horizontal sesama warga yang bertetangga sedangkan alasan tidak mengucapkan kata natal karena adanya ajaran yang menurut ulama yang mereka percaya merupakan perbuatan yang dosa karena dianggap memercayai keyakinan lain.

Kedua, datang dan mengucapkan natal. Seorang warga menyebutkan bahwa kehadirannya di rumah warga yang merayakan natal adalah bentuk penghormatan baik sebagai tetangga selain juga sebagai bentuk toleransi antar keyakinan.

Ketiga, tidak datang karena alasan keyakinan agama. Pilihan tidak datang karena alasan keyakinan agama dipilih oleh informan lain. Warga tersebut berpandangan bahwa jika ia hadir ke rumah warga tersebut maka hal itu bisa menjadi simbol pengakuan atas keyakinan lain. Baginya, urusan datang atau tidak datang, mengucapkan natal atau tidak adalah bentuk penghargaan terhadap lakum dinukum waliyadin (baca: bagimu agamamu bagiku agamaku).

Saat peneliti menanyakan kepada informan, apakah ditahun-tahun sebelumnya informan pernah datang ke warga yang merayakan natal tersebut? Warga tersebut mengatakan bahwa dulu memang ia pernah datang karena sebagai Ketua RT dan diajak warga. Alasan utamanya karena rasa tidak enak kepada warga lain. Itu pun ia menyampaikan bahwa ia hanya datang saja dan tidak mengucapkan selamat natal. Sekarang ini baginya orang-orang juga sudah lebih �melek agama� karena sering dapat informasi dan pengetahuan dari sosial media sehingga orang lebih dapat mengerti alasan ketidakhadirannya pada saat ada warga yang merayakan natal. Samyo berpendapat, saat ini di sosial media banyak ditemukan ustadz-ustadz yang menjelaskan tentang cara beragama yang sesuai dengan Al Quran dan Hadist. Namun demikian, melek agama bisa juga diartikan berbeda makna. Contohnya ada warga yang memandang melek agama yang ia dapatkan dari sosial media agak berbeda dengan yang diperoleh oleh warga satunya. Ia justru mendapatkan pemahaman untuk bisa saling menghargai satu sama lain dari share link youtube dari kyai seperti Gus Dur, Quraish Shihab dan lain-lain.

Keempat, tidak datang karena alasan teknis. Warga RT 03/ RW 02 juga mempunyai pilihan lain dalam hubungannya dengan perayaan natal. Biasanya kedatangan mereka ke salah satu warga yang merayakan natal dilakukan secara bersama-sama.

Kelima, tidak datang karena tidak diajak. Tampaknya alasan inilah yang menjadi alasan terbanyak yang diungkapkan oleh para informan terkait ketidakhadiran mereka pada salah seorang warga yang merayakan natal. Kebiasaan warga yang datang ke rumah warga yang minoritas secara bersamaan membuat sesama warga saling menunggu sehingga ketika ternyata tidak ada warga yang ngoprak-ngoprak (baca: mengajak) maka mereka pun tidak datang.

Keenam, tidak datang karena kurang srawung. Alasan lain ketidakhadiran warga adalah soal penghargaan terhadap kebiasaan warga setempat. Hal ini disampaikan salah seorang warga. Meski beberapa kali dia datang dan mengucapkan natal tetapi ada waktu ia juga tidak datang ke rumah warga yang merayakan natal dengan alasan warga tersebut kurang srawung. Kata Srawung menurut kamus Banyumasan mempunyai arti bergaul. Jika dimaknai secara lebih luas srawung mempunyai makna berinteraksi atau beramah-tamah untuk mengakrabkan diri dengan orang sekitar atau tetangga. Kebiasaan srawung akan membantu orang untuk saling mengenal dan lebih dapat diterima antar sesama warga.

Selain isu sensitif di atas, sebetulnya terkait kehidupan bertetangga tidak dipersoalkan terlalu banyak. Kalaupun ada persoalan biasanya lebih terkait soal cara �bersosialisasi� saja.

Berikutnya penulisan melangkah ke soala etnisitas. Dari sisi etnik, ada warga yang merupakan etnik Jawa, Bugis maupun Tionghoa. Perbedaan etnik ini disebabkan karena adanya pendatang maupun karena pernikahan. Hal ini dijelaskan oleh salah seorang informan. Ia mengatakan bahwa kebanyakan warga beretnik Jawa, hanya satu orang yang Bugis dan satu orang lagi Tionghoa. Warga yang Bugis menikah dengan orang Jawa dan sudah lama tinggal di sini dan warga Tionghoa adalah pendatang dari kota lain. Meskipun demikian dia menganggap bahwa orang-orang tersebut sudah menyesuaikan dengan budaya Jawa.

Meskipun secara permukaan tidak terdapat masalah terkait etnisitas, namun demikian, dalam perbincangan yang lebih mendalam, peneliti menemukan bahwa masih terdapat rasa yang berbeda antar sesama warga. Salah seorang warga Tionghoa mengatakan bahwa meskipun dia sudah menganggap biasa saja dalam pergaulan tetapi ia tetap merasakan ada perlakuan yang agak berbeda dengan warga lain. Meski baginya kehidupan pergaulan antartetangga di Banyumas lebih baik dari kota-kota lainnya.

Setelah soal etnisitas berikutnya peneliti akan membicarakan soal karakter warga. Secara tipikal warga di RT tersebut �membagi� warga berdasarkan dua jenis orang yakni: �orang kota� dan �wong desa�. Warga disebut �orang kota� jika dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, terlihat bergaya seperti masyarakat perkotaan, tingkat pendidikannya relatif tinggi (SMA ke atas), bekerja di kantor baik sebagai PNS maupun swasta. Sedangkan �Wong Desa� teridentifikasi dari cara bicara sehari-hari yang menggunakan bahasa Banyumasan, bergaya seperti orang desa, tingkat pendidikannya rendah, mempunyai pekerjaan serabutan.

Namun demikian, tipikal ini bersifat dinamis. Kadang kala awalnya orang tersebut masuk dalam golongan �wong desa� tetapi seiring dengan dinamika hidupnya bisa saja ia berubah menjadi bagian dari �orang kota�. Hal ini bisa terjadi karena orang tersebut kemudian pernah tinggal lama di kota besar atau ia kemudian berpendidikan lebih tinggi dan sehari-hari kemudian mengubah perilaku bahasa kesehariannya.

2.    Problem Multikultural yang Dihadapi Masyarakat Bertetangga

Dalam kehidupan bertetangga sehari-hari terdapat berbagai macam konflik. Konflik tersebut ada yang bersifat terbuka tapi kebanyakan dari konflik tersebut bersifat tertutup. Salah seorang warga menyebutkan bahwa jika didalami sebetulnya antar warga terdapat konflik meski tidak terlihat. Ia mencontohkan misalnya saat ibu-ibu berkumpul biasanya ngrasani antar satu dengan yang lainnya. Ngrasani ini tentu saja mengandung benih-benih konflik. Meski pihak yang dirasani bisa jadi tidak mengetahui bahwa ia menjadi pembicaraan warga. Begitu juga di kalangan bapak-bapak. Meski lebih bersifat terbuka tapi modelnya juga agak mirip yakni dengan model menyindir.

Terkait dengan ngrasani, seorang informan perempuan menyebutkan bahwa cara ngrasani cenderung dilakukan ibu-ibu karena ibu-ibu tidak mau konflik secara langsung. Baginya menjaga perasaan ibu-ibu lainnya lebih penting karena sehari-hari mereka saling bertemu. Konflik harian ini biasanya lebih mengarah ke soal perilaku sehari-hari. Misalnya soal cara bicara orang yang dianggap nyelekit (baca: bicara dengan nada sinis), dianggap tidak pintar masak, soal hutang di warung dan lain-lain. Meski terlihat sepele tapi konflik harian ini juga bisa menimbulkan masalah besar yang kemudian menimbulkan pertengkaran terbuka antar warga.

Selain secara internal, konflik di dalam kehidupan bertetangga bisa juga terjadi karena ada pengaruh dari luar. Salah satu contoh adalah adanya kejadian dimana beberapa warga RT 03/ RW 02 ada yang tidak datang lagi ke rumah salah seorang tetangga yang merayakan natal. Padahal sebelum adanya perbincangan ramai tentang adanya �penistaan agama� saat Pilkada DKI, warga tersebut biasanya datang bahkan mengajak yang lainnya untuk datang. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan terdapat beberapa alasan yang membuat mereka tidak hadir.

Salah seorang yang dulunya rajin ngoprak-ngoprak untuk datang ke tetangga tersebut ditahun 2019 tersebut tidak lagi ngoprak-ngaprak bahkan orang tersebut tidak datang ke rumah salah seorang warga yang natalan.Ketika peneliti menanyakan alasannya, awalnya informan mengatakan bahwa saat itu sedang sibuk tetapi lama kelamaan saat wawancara lebih mendalam informankan menyampaikan bahwa dia tidak lagi mengajak orang atau datang ke tetangga yang sedang merayakan natal karena soal keyakinan agama. Ia mengucapkan kekhwatirannya karena berdosa.

Kedua hal yang disampaikan di atas merupakan alasan utama yang disampaikan oleh beberapa informan terkait ketidakhadirannya dalam silaturahmi ke tetangga yang merayakan natal. Saat peneliti mencoba menanyakan alasan kenapa dulu mau datang dan setelah di masa tersebut (baca: ramai-ramai pilkada DKI) tidak lagi datang, beberapa informan menyampaikan bahwa dengan adanya informasi tentang agama yang sekarang lebih banyak -khususnya lewat Whatsapp- maka pengetahuan tentang melakukan �agama secara benar� bisa didapatkan.

Fenomena yang disampaikan di atas tampaknya menjadi �gejala umum� yang terjadi di masa itu. Oleh karena itu, meskipun tampaknya merupakan hal yang tidak terlihat langsung berdampak tetapi pengaruh wacana dan informasi dari luar (khususnya lewat saluran media sosial) sangat mempengaruhi kehidupan bertetangga.

Secara garis besar, kebanyakan warga RT 03/RW 02 lebih memilih tidak konflik atau bahkan diam ketika ada masalah. Luti salah seorang warga, menyampaikan bahwa sebetulnya tembok yang ada sekarang ini adalah tembok miliknya tetapi ia tidak mau mengklaim sepihak dengan tetangga sebelahnya dengan alasan tidak mau ada keributan. Padahal dalam dirinya sebetulnya gelisah takutnya justru nanti keributan terjadi antar anaknya dengan anak tetangga tersebut. Sedangkan mereka tidak mengetahui tentang �sejarah tembok� tersebut.

3.    Ancaman Segregasi Sosial

Pandangan (Schutz, 1967) menyebutkan bahwa gagasan intersubyektif mempunyai arti dimana manusia berupaya mendapatkan pemahaman adanya keterhubungan atas tindakan sosialnya yang didapatkan dari pengalaman individu dan maknanya serta pengalaman individu lainnya. Dalam kehidupan bertetangga, pengalaman individu yang dialami oleh informan memengaruhi tindakan sosialnya.

Beberapa informan yang mempunyai latar belakang pengalaman individu hidup pada tempat yang cenderung homogen akan memandang bahwa orang yang berbeda dengan dirinya adalah �orang lain� �ang bukan merupakan lingkarannya. Oleh karena bukan menjadi bagian dari lingkarannya maka tindakan terhadap orang tersebut juga akan berbeda dengan orang yang menjadi bagian dari lingkarannya. Dalam hal ini, informan tersebut cenderung tertutup pada adanya perbedaan. Dengan begitu ketika ada opini publik yang cenderung �menghakimi�pihak lain sebagai �kafir� atau �berbeda dengan kita� maka informan tersebut juga terpengaruh dengan sikap tersebut.

Dalam konteks kehidupan bertetangga di RT 03/ RW 02, ketika ada beberapa informan yang kemudian tidak mengucapkan selamat natal (baca: dahulu turut mengucapkan atau setidaknya datang ke rumah) kondisi tersebut menjadi realitas. Sebaliknya, informan yang mempunyai pengalaman hidup lebih heterogen memandang bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Ketika terdapat terpaaan opini publik yang segregatif/ menimbulkan perpecahan, informan tersebut berpandangan bahwa Indonesia yang mempunyai slogan Bineka Tunggal Ika perlu menjadi pegangan. Kalaupun hal itu menyangkut keyakinan (dalam hal ini Islam) pernyataan yang terlontar adalah lakum dinukum waliyadin (baca: bagimu agamamu, bagiku agamaku) atau kalau informan tersebut bukan beragama Islam ia memandang bahwa ada kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa hidup bertetangga pasti mempunyai pandangan dan kepercayaan yang pasti berbeda-beda sehingga mau tidak mau, manusia harus mau mengakui keberadaan orang lain yang berbeda dengan dirinya.

Temuan tersebut senada dengan hasil penelitian yang ditulis oleh (Munir, 2019) dalam artikelnya yang mengekplorasi kepemimpinan kyai pondok pesantren disebutkan bahwa kebinekaan yang ada di Indonesia sudah menjadi sunatulloh . Landasan keberagaman ini pulalah yang menjadikan para pendiri bangsa melalui kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki memastikan bahwa keberagaman merupakan hal yang sudah ada di Indonesia semenjak dahulu. Oleh karena itu setiap insan di Indonesia perlu menjadikan keberagaman tersebut sebagai kenyataan sosial yang tidak bisa dihindari.

Dari pandangan tersebut terlihat bahwa �dunia kehidupan bertetangga� merupakan proses kenyataan sosial yang didapatkan dari pengalaman pribadi dan struktur sosial yang sudah ada sebelumnya dan hal tersebut turut membentuk dan membatasi pengalaman tersebut. Hal ini sejalan juga dengan pernyataan Cresweel (2015) yang memandang bahwa individu-individu dalam memahami di mana mereka hidup dan bekerja dikembangkan dari makna-makna subyektif yang berasal dari pengalaman diri mereka sendiri dan interaksinya dengan pengalaman individu lain yang juga memaknai diri mereka sendiri.

Fenomena yang terjadi terkait informan di atas juga meneguhkan pandangan Kuswanto (2009) yang menjelaskan bahwa tindakan manusia di mana ia sekaligus berposisi menjadi bagian dari anggota masyarakat memungkinkan juga merupakan suatu peniruan atau kamuflase atas tindakan anggota masyarakat lainnya. Di sini tersebut terlihat bahwa peniruan perilaku memberlakukan minoritas sebagai manusia yang berbeda sebagaimana yang terjadi di Jakarta ternyata juga terjadi di dalam kehidupan bertetangga di RT 03/ RW 02. Melihat peniruan di atas maka fenomena yang terjadi pada kehidupan bertetangga sesungguhnya bisa menjadi cermin bahwa perbincangan dan perilaku tindakan sosial yang terjadi pada level tetangga merupakan hal yang penting dan perlu menjadi perhatian.

Perhatian khusus tersebut perlu dilakukan karena, jika kita merujuk pada Smith (2013) dalam kondisi yang terjadi terus menerus dimana semua orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitasnya di dunia kehidupan merupakan interaksi antara dunia subyektif (pengalaman pribadi dalam menjalani kehidupan) dengan dunia obyektif (dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen dalam ruang dan waktu). Segregasi yang terjadi pada kehidupan bertetangga jika dibiarkan tanpa adanya upaya mengenalkan pengalaman individu yang berbeda antar orang akan menyebabkan segragasi yang permanen.

4.    Politik Identitas dalam Multikulturalisme Bertetangga

Menurut Fautanu, dkk (2020), kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 telah menjadi fenomena dan menjadi perhatian masyarakat, bukan hanya publik DKI Jakarta, tapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dampak dari kasus Pilkada DKI juga berdampak sampai ke RT 03/ RW 02. Bila sebelumnya, masyarakat di wilayah RT tersebut kehidupan bertetangga relatif tidak muncul gejolak terkait dengan hubungan identitas (khususnya keagamaan), tapi paska pilkada DKI muncul segregasi di masyarakat. Warga di RT 03/ RW 02 yang biasanya bersilaturahmi ke salah seorang warga yang merayakan natal, pada tahun tersebut warga tidak lagi dating untuk bersilaturahmi. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perasaan yang sama dari warga yang beragama Islam terhadap tafsir mereka atas munculnya penghinaan terhadap Al Quran Q.S. Al-Maidah [5]: 51 oleh salah satu pasangan calon (paslon) telah membangkitkan semangat keberagamaan umat Islam. Aksi 212 di Jakarta merupakan wujud kuatnya hubungan antara agama (Islam) dengan politik (Negara) sebagai bentuk gejala politik identitas begitu kuat mewarnai dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 (Sari: 2016; Pradipta, Hidayah, Haya, Ervani, & Kristanto: 2018).

Bila melihat pendapat Sari (2016) dan Pradipta, dkk (2018) maka terlihat bahwa hubungan antara agama (Islam) dengan politik Negara sangatlah erat. Keeratan hubungan tersebut juga terjadi di RT 03/ RW 02. Meski mempunyai letak geografis yang relatif jauh (+/- 355 KM) namun demikian �perasaan� keislamannya warga di wilayah penelitian tampaknya terusik juga. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada para informan, mereka kebanyakan menyatakan bahwa hubungan antara tetangga (meski pun dipastikan ada konflik-konflik kecil) asalkan tidak menyangkut keyakinan agama maka hal tersebut lebih mudah didamaikan. Tetapi karena menyangkut persoalan keyakinan maka kondisi tersebut akan susah diterima. Namun demikian, tidak semua warga secara terbuka menyatakan bahwa ketidakberangkatannya bersilaturahmi sebagai hal yang terkait dengan soal identitas agama. Tetapi jika ditanyakan lebih dalam maka hal tersebutlah yang menjadi pemicunya.

Adanya segregasi sebagai dampak dari politik identitas tidak terlepas dari pemahaman bahwa �politik identitas� merupakan upaya yang dilakukan terhadap kepemilikan identitas untuk membangun sebuah perbedaan (�kami� dan �bukan kami�) yang biasanya atas dasar ras, etnik, budaya ataupun bahkan agama teretantu (Andriyani, 2019). Tulisan dari Andriyani tersebut, sejalan dengan �logika�di masyarakat yang juga sering terusik dengan realitas bahwa ada �kami� yang mayoritas (Islam, Jawa) dan ada �bukan kami�yang minoritas (Kristen, Cina, Bukan Jawa). Logika kami dan bukan kami ini tidak hanya terjadi pada mayoritas, pada saat peneliti melakukan wawancara dan kemudian bertanya tentang pandangannya soal penduduk �mayoritas� dengan salah seorang informan yang beretnik Tionghoa dan beragama Kristen, informan tersebut beberapa kali menyatakan bahwa ia tidak mau berkomentas karena sadar diri bahwa dia adalah minoritas. Informan khwatir bahwa pernyataannya bisa memicu kemarahan warga lain. Padahal dalam kesempatan tersebut, ia juga memaparkan bahwa dirinya sangatlah �asli Indonesia� karena lahir di Indonesia, berbahasa Jawa, hidup selamanya di Indonesia, tidak bisa berbahasa Mandarin. Namun demikian realitas itu tetap tidak meyakinkannya bahwa ia adalah orang Indonesia. Setidaknya hal ini nampak dari rasa takutnya untuk berkomentar.

Kenyataan tersebut juga senada dengan pernyataan dari Alfaqi (2015) yang menyatakan bahwa politik identitas dapat diartikan sebagai rangkaian pemahaman, sikap dan tindakan (gerakan) politik yang didasarkan pada emosi, konsep, karakteristik atau kategorisasi yang berbeda dari kelompok atau masyarakat lain. Realitas yang terjadi pada RT 03/ RW 02 meneguhkan perntaan tesebut. Kondisi emosional warga yang terpicu oleh penghinaan terhadap Al Quran sampai juga ke warga RT 03/ RW 02.

Walaupun sebagian besar warga terdampak dengan politik identitas tapi ada juga warga yang memandang bahwa adanya kasus Pilkada DKI adalah bagian dari imbas sosial media. Persoalan pilkada DKI bisa sampai masuk dalam kehidupan bertetangga karena banyak pesan yang masuk ke sosial media (whatsapp) yang membuat warga jadinya ��ikut-ikutan�.

Persoalan tentang peran sosial media yang mempunyai imbas pada integrasi ataupun sebaliknya polarisasi merupakan fenomena global. Hal ini seperti yang terjadi di Mesir dalam penelitian yang dilakukan oleh Alia, dkk (2019). Dalam artikel yang bertajuk Integration v polarisation among social media users: Perspectives through social capital theory on the recent Egyptian political landscape, ia menyebutkan bahwa integrasi sosial maupun polarisasi sangat tergantung kepada penggunaan konten atas teknologi tersebut. Konten yang isinya mengajak pada transformasi ke arah yang lebih baik akan memunculkan integrasi sosial sebaliknya konten yang mengajak pada tindakan ofensif akan berdampak pada terjadinya polarisasi.

Pernyataan ini senada dengan pandangan salah seorang informan di sub bab sebelumnya yang menuturkan bahwa sosial media justru membuka matanya untuk bertoleransi terhadap pihak lain. Dengan menonton share WA yang berisi cerita di Youtube tentang Gus Dur yang tidak mempermasalahkan untuk masuk gereja membuka kesadarannya akan toleransi.

Pernyataan informan tersebut juga sejalan dengan pandangan Asy�rie (2004), keberadaan pendidikan multikultural mempunyai nilai strategis dalam upaya bangsa untuk mengelola keberagaman secara kreatif sehingga konflik yang bisa muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi soal dapat dikelola dengan cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan berbangsa di masa yang akan datang. Lagi pula, Pancasila 1 Juni 1945 yang menyatakan: �Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, termasuk golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara �semua buat semua, satu buat semua, semua buat semua� (Syaifuddin: 2006).

 

 

 

5.    Komunikasi Multikultural Bertetangga

Merujuk pada Samovar dan Porter (2004) yang menyatakan bahwa komunikasi multikultural sebagai komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya atau komunikasi antar budaya, misal suku bangsa, etnik dan ras atau kelas sosial maka multikulturalisme bertetangga yang terjadi di RT 03/ RW 02 merupakan bagian dari komunikasi multikultural meskipun keberagaman multikulturalnya tidak begitu kompleks. Di RT 03/ RW 02 terdapat Etnis Jawa, Bugis, Tionghoa; Sedangkan untuk kelas sosialnya terdiri dari kelas menengah (Orang Kota) dan kelas bawah (Wong Desa). Multikulturalisme yang terjadi di wilayah penelitian ini juga terkait dengan agama dimana terdapat agama Islam dengan ragam organisasi masyarakat atau tanpa ormas yang secara kultural berbeda dan juga agama Kristen.

Sedangkan bila kita merujuk pada pernyataan John (1996) yang menyatakan bahwa komunikasi multikultural pada akhirnya merupakan proses komunikasi yang menghubungkan bagian-bagian dalam kehidupan dunia satu dengan dunia yang lain yang berbeda secara tidak beraturan tetapi hidup di wilayah budaya yang sama, sehingga pada tahap berikutnya terjadilah proses transformasi dan perubahan budaya secara terus menerus. Di RT 03/ RW 02 dalam menjalankan komunikasi multikultural bertetangga terdapat transformasi dan perubahan budaya meski pada skala kecil. Hal ini terlihat misalnya hampir semua informan dari ragam etnik tetap berupaya untuk menjadi �orang Jawa� meski dengan keterbatasan masing-masing. Orang yang beretnik Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa dan unggah-ungguh Jawa meski dengan cara yang terbatas. Demikian halnya dengan �orang kota� yang juga berupaya mendekati cara orang Jawa dalam bergaul. Sebaliknya pada �wong desa� juga bertransformasi menjadi lebih mengikuti style masyarakat urban.

Demikian halnya, bila merujuk pada pernyataaan Purwasito (2015: 197) yang menyatakan bahwa komunikasi multikultural adalah komunikasi yang melibatkan proses interaksi dari individu atau kelompok dari budaya tertentu dengan kelompok dari budaya lain sehingga melahirkan kultur baru atau subkultur. Dalam perjalanan waktu dan transformasi multikultural ketika semua kultur yang berbeda-beda menjalin suatu interaksi akan melahirkan kebudayaan atau kultur baru atau subkultur baru. Demikian seterusnya komunikasi dalam masyarakat multikultur akan terus berproses tanpa henti untuk menciptakan kultur baru yang lebih maju dan progresif. Berdasarkan pernyataan di atas, bila melihat kondisi di RT 03/ RW 02 meskipun bersifat terbatas namun dialog antar etnik dan agama yang terjadi di RT 03/ RW 02 dengan segala persinggungan yang terjadi mampu menciptakan kultur baru dan progresif dalam bentuk adanya kesadaran yang sama untuk tetap saling menghargai perbedaan. Meskipun terjadi persilangan saat �pilkada DKI dan �pilpres� namun 2-3 tahun setelah momentum tersebut masyarakat bertetangga di wilayah penelitian kembali menjalani hidup seperti biasa. Benturan yang terjadi dalam perjalanan waktu pada akhirnya berproses tanpa henti menciptakan cara baru dalam bergaul sesama tetangga. Namun demikian, satu catatan yang penting bahwa faktor eksternal yang menjadi opini publik meski kejadiannya jauh dari wilayah penelitian sangat berpengaruh terhadap kehidupan bertetangga.

Hal yang patut menjadi pembelajaran baik dalam konteks komunikasimultikulturalisme bertetangga di RT 03/ RW 02 adalah tidak terjadinya kekerasan konunikasi sebagaimana yang menjadi kekhawatiran pada penelitian yang dilakukan Prakarsa (2018). Kekerasan komunikasi merupakan bagian dari perilaku yang negatif yang dapat merugikan orang lain. Beragam kekerasan verbal yang terjadi dalam kehidupan sosial, didominasi oleh perilaku dari kelompok dominan terhadap kelompok minoritas. Dalam kehidupan bertetangga di RT 03/ RW 02, kekerasan komunikasi tidak terjadi. Pada saat terjadi dialektika yang ramai terkait �Pilkada DKI� dan �Pilpres�yang berimbas pada ketidakdatangan ke rumah salah seorang warga yang mempunyai keyakinan beragama yang berbeda, tidak terjadi kekerasan verbal komunikasi. Proses segregasi sosial yang terjadi bersifat tertutup. Bahkan ketika dikonfirmasi pada beberapa tahun setelah kejadian tersebut, beberapa warga lebih banyak berasalan bahwa ketidakhadiran mereka pada tetangga yang natal terjadi karena alasan teknis semata, misalnya: sibuk mengurus anak atau pun sedang ada urusan rumah dan tidak diajak.

Hal yang juga bisa menjadi pijakan bahwa komunikasi multikultural yang terjadi di RT 03/ RW 02 sejalan dengan pernyataan dari (Widiyatmadi, 2005) dan Asmuri (2017) menyebutkan bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia dalam interaksi sosialnya dituntut bersikap toleran dan perlu menghayati dan menyadari secara riil realitas pluralistik masyarakat kita, untuk kemudian menjalankannya dalam langkah-langkah bertindak dalam konteks pluralitas tersebut. Di RT 03/ RW 02, masyarakat menyadari bahwa memang terdapat realitas bahwa antar mereka memang sudah terdapat perbedaan. Hal ini membantu mereka dalam menjalankan tindakan sehari-hari dalam bertetangga. Sikap toleransi ini tampaknya perlu juga menjadi tuntunan bagi warga RT 03/ RW 02 untuk turut mentransformasikan pengetahuan dan pengalamannya kepada anak-anaknya. Hal ini perlu dijalankan sebab senada dengan penelitian yang dilakukan oleh (Hutagalung & Ramadan, 2022) disebutkan bahwa penanaman nilai-nilai multikultural kepada anak-anak/ siswa akan berdampak baik pada penerapan kehidupan multikultural sehari-hari.Model komunikasi multikultural tersebut akan membantu masyarakat bertetangga dalam menjaga harmoni dalam kehidupan bertetangga.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal, Pertama, situasi multikultural dan problem kehidupan bertetangga. Penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan multikultural bertetangga sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu dan interaksinya dengan pengalaman individu lain serta faktor eksternal, Berikutnya, pada RT 03/ RW 02 terdapat beberapa problem yang dihadapi dalam kehidupan bertetangga diantaranya: terdapat segregasi antar warga bertetangga karena adanya pemahaman tafsir beragama yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan sosial media, masih terdapat perasaaan minoritas dalam masyarakat bertetangga meski interaksi yang terjadi sudah cukup intens dan waktu yang lama.

Kedua, menilik kehidupan multikultural bertetangga dari berbagai sisi. Penelitian fenomenolgis ini menemukan bahwa segregasi yang terjadi pada kehidupan bertetangga jika dibiarkan tanpa adanya upaya mengenalkan pengalaman individu yang berbeda antar orang akan menyebabkan segragasi yang permanen. Segregasi ini terjadi karena adanya peniruan perilaku. Melihat peniruan di atas maka fenomena yang terjadi pada kehidupan bertetangga sesungguhnya bisa menjadi cermin bahwa perbincangan dan perilaku tindakan sosial yang terjadi pada level tetangga merupakan hal yang penting dan perlu menjadi perhatian.

Akhirmya, bila kita merujuk pada pertanyaan dasar penelitian ini tentang konstruksi makna komunikasi multikultural bertetangga maka dapat dilihat bahwa individu-individu dalam memahami di mana mereka hidup dan bekerja dikembangkan dari makna-makna subyektif yang berasal dari pengalaman diri mereka sendiri dan interaksinya dengan pengalaman individu lain yang juga memaknai diri mereka sendiri. Namun demikian, faktor eksternal/ isu public terkait politik identitas turut memengaruhi kehidupan multikultural bertetangga. Komunikasi multikultural yang terjadi dalam dialog subyektif diri dan faktor eksternal menghasilkan transformasi dan perubahan budaya meski pada skala kecil. Meskipun terjadi persilangan saat �pilkada DKI dan �pilpres� namun 2-3 tahun setelah momentum tersebut masyarakat bertetangga di wilayah penelitian kembali menjalani hidup seperti biasa. Benturan yang terjadi dalam perjalanan waktu pada akhirnya berproses tanpa henti menciptakan cara baru dalam bergaul sesama tetangga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agustianty, Efit Fitria. (2021). Multikulturalisme Di Indonesia. Google Scholar

 

Amadi-Echendu, J. E. (2007). Thinking styles of technical knowledge workers in the systems of innovation paradigm. Technological Forecasting and Social Change, 74(8), 1204�1214. Google Scholar

 

Assidiq, Fajar. (2019). Menguatnya Perkembangan Salafisme dan Dominasi Ekonomi Kelompok Bisnis Arab di Banyumas. Integralistik, 30(2), 132�149. Google Scholar

 

Asy�arie, Musa. (2004). Pendidikan multikultural dan konflik bangsa. Dalam Harian Kompas, Edisi Jum�at, 3. Google Scholar

 

Aufin, Mohammad. (2014). Sintesa Pendidikan Karakter dan Multikultural bagi Lingkungan Pendidikan Tinggi. Jurnal Psikologi: Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan, 2(2), 110�125. Google Scholar

 

Azra, Azyumardi. (2007). Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia. Google Scholar

 

Becker, Elisabeth. (2018). Tour-guiding as a pious place-making practice: The case of the Sehitlik Mosque, Berlin. Annals of Tourism Research, 73, 81�90. Google Scholar

 

Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H., & Dasen, Pierre R. (1999). Psikologi lintas budaya: Riset dan aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar

 

Creswell, John W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar

 

Cuccaro-Alamin, Stephanie, Foust, Regan, Vaithianathan, Rhema, & Putnam-Hornstein, Emily. (2017). Risk assessment and decision making in child protective services: Predictive risk modeling in context. Children and Youth Services Review, 79, 291�298. Google Scholar

 

Delina, Laurence L. (2021). Topographies of coal mining dissent: Power, politics, and protests in southern Philippines. World Development, 137, 105194. Google Scholar

 

Denzin, Norman K., & Lincoln, Yvonna S. (2009). Handbook of qualitative research (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar

 

Diz, Agustin. (2020). �Healing the institution�: Conflict and democratic sovereignty in an Indigenous Community of the Argentine Chaco. Geoforum, 117, 173�182. Google Scholar

 

Eddles-Hirsch, Katrina. (2015). Phenomenology and educational research. International Journal of Advanced Research, 3(8). Google Scholar

 

Fauzia, Amelia, Prihatna, Andi Agung, Abubakar, Irfan, al-Makssary, Ridwan,

 

Pranawati, Rita, Aziz, Sholehudin A., Hidayati, Sri, & Kamil, Sukron. (2011). Islam di ruang publik: politik identitas dan masa depan demokrasi di Indonesia. Center for the Study of Religion and Culture (CSRC). Google Scholar

 

Gu, Michelle Mingyue, & Lai, Chun. (2019). From Chungking Mansions to tertiary institution: Acculturation and language practices of an immigrant mother and her daughter. Linguistics and Education, 52, 52�60. Google Scholar

 

Habibi, Muhammad. (2018). Analisis politik identitas di Indonesia. Google Scholar

 

Harahap, Ahmad Rivai. (2006). Multikulturalisme dalam Bidang Sosial. Jurnal Etnovisi, 2(1), 32�35. Google Scholar

 

Hasan, Noorhaidi. (2008). Laskar Jihad; Islam, militansi dan pencarian identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru. Google Scholar

 

Hasan, Noorhaidi. (2010). Ideologi, Identitas dan Ekonomi-Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia. Prisma.

 

Herusatoto, H. Budiono. (2008). Banyumas; Sejarah, Budaya, Bahasa, Dan Watak. LKIS PELANGI AKSARA. Google Scholar

 

Ho, Elaine L. E., Liew, Jian An, Zhou, Guo, Chiu, Tuen Yi, Yeoh, Brenda S. A., & Huang, Shirlena. (2021). Shared spaces and �throwntogetherness� in later life: A qualitative GIS study of non-migrant and migrant older adults in Singapore. Geoforum, 124, 132�143. Google Scholar

 

Hutagalung, Ratna, & Ramadan, Zaka Hadikusuma. (2022). Peran Orang Tua dalam Menanamkan Nilai Multikultural di Lingkungan Keluarga Siswa sekolah Dasar. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(5), 4967�4991. Google Scholar

 

Indonesia, Jurnal Antropologi. (2014). Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia: Membangun Kembali �Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika�: Menuju Masyarakat Multikultural. Antropologi Indonesia. Google Scholar

 

Islam, Mir Rabiul, Ingham, Valerie, Hicks, John, & Kelly, Elaine. (2018). From coping to adaptation: Flooding and the role of local knowledge in Bangladesh. International Journal of Disaster Risk Reduction, 28, 531�538. Google Scholar

 

Judd, Charles M., Park, Bernadette, Ryan, Carey S., Brauer, Markus, & Kraus, Susan. (1995). Stereotypes and ethnocentrism: Diverging interethnic perceptions of African American and White American youth. Journal of Personality and Social Psychology, 69(3), 460. Google Scholar

 

Kato, Etsuko. (2022). Uncrossed Asianisms: How Singaporeans and Japanese sojourners in Singapore are not �Asian.� Asian Journal of Social Science. Google Scholar

 

Kuswarno, Engkus. (2009). Fenomenologi: metode penelitian komunikasi: konsepsi, pedoman, dan contoh penelitiannya. Widya Padjadjaran. Google Scholar

 

Kwan, Chi Kin, Baig, Raees Begum, & Lo, Kai Chung. (2018). Stressors and coping strategies of ethnic minority youth: Youth and mental health practitioners� perspectives. Children and Youth Services Review, 88, 497�503. Google Scholar

 

Latif, Yudi. (2017). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualisasi. Jakarta: PT. Gramedia. Google Scholar

 

Lestari, Dina. (2019). Pilkada DKI Jakarta 2017: Dinamika Politik Identitas di Indonesia. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 4(4), 12�16. Google Scholar

 

Leyens, Jacques Philippe, Yzerbyt, Vincent, & Schadron, Georges. (1994). Stereotypes and social cognition. Sage Publications, Inc. Google Scholar

 

Lim, Dong Jin. (2021). Performance of social integration programs for immigrants and influential factors: Evidence from the Korea Immigration and Integration Program (KIIP). International Journal of Intercultural Relations, 81, 108�120. Google Scholar

 

Menon, Alka V. (2019). Cultural gatekeeping in cosmetic surgery: Transnational beauty ideals in multicultural Malaysia. Poetics, 75, 101354. Google Scholar

 

Mujib, Abdul. (2015). Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 6(2), 167�183. Google Scholar

 

Munir, Akhmad. (2019). Power and Authority di Pondok Pesantren: Potret Kepemimpinan Kiai dalam Lingkungan Multikultural. JIEMAN: Journal of Islamic Educational Management, 1(1), 107�120. Google Scholar

 

Muthohirin, Nafi. (2015). Radikalisme Islam dan pergerakannya di media sosial. Afkaruna: Indonesian Interdisciplinary Journal of Islamic Studies, 11(2), 240�259. Google Scholar

 

Muyasaroh, Muyasaroh. (2018). Peran Gender dalam Pendidikan Multikultural (Kajian Ibu Mendidik Anak dalam Mengenalkan Nilai-nilai Multikultural di Lingkungan Keluarga). TAMADDUN: Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Keagamaan, 19(2), 157�176. Google Scholar

 

Nafi�Muthohirin. (2014). Fundamentalisme Islam: gerakan dan tipologi pemikiran aktivis dakwah kampus. IndoStrategi. Google Scholar

 

Ningsih, Tutuk. (2017). Pendidikan Multikultural Dalam Membentuk Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran IPS Di Sekolah Confucius Terpadu SD Mulia Bakti Purwokerto Kabupaten Banyumas. INSANIA: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 22(2), 366�377. Google Scholar

 

Novianti, Evi, Nugraha, Hafsah, & Zahra, Risa Ramadaniati. (2021). Potensi Wisata Komunitas Pijar Sebagai Kelompok Unik Dalam Lingkungan Masyarakat Multikultural. Tornare: Journal of Sustainable and Research, 3(1), 30�34. Google Scholar

 

Parekh, Bhikhu. (2001). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Ethnicities, 1(1), 109�115. Google Scholar

 

Prakasa, Sangra Juliano. (2018). Kekerasan Komunikasi Dalam Lingkungan Yang Multikultural: Penerapan Konsep (Nvc) Nonviolent Communications Pada Bentuk-Bentuk Kekerasan Komunikasi. Jurnal Common, 2(1). Google Scholar

 

Pratiwi, Ida Ayu Putu Asti, Puspa, Ida Ayu Tary, & Saputra, I. Made Dian. (2022). Google Scholar

Implementasi Satua Sebagai Penguatan Kearifan Lokal Pada Lingkungan Multikultural Di Kelas X SMA Taman Rama Jimbaran Kabupaten Badung. Dharma Sastra: Jurnal Penelitian Bahasa Dan Sastra Daerah, 2(1), 29�37. Google Scholar

 

Qurtubi, Ahmad. (2017). Peran Kepala Sekolah dalam Memfasilitasi Pembinaan Guru di Lingkungan Sekolah Multikultural melalui Kepemimpinan Profesional. Mimbar Pendidikan, 2(1). Google Scholar

 

Saihu, Made. (2020). Menciptakan Harmonisasi Di Lingkungan Pendidikan Melalui Model Pendekatan Pembelajaran Islam Multikultural (Studi Di Sman 1 Negara Jembrana-Bali). Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam Dan Manajemen Pendidikan Islam, 2(3), 62�79. Google Scholar

 

Santoso, Edi. (2015). Identitas lokal dalam media sosial: dinamika identitas masyarakat Banyumas dalam menggunakan media sosial. Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Google Scholar

 

Saraceni, Mario, & Jacob, Camille. (2019). Revisiting borders: Named languages and de-colonization. Language Sciences, 76, 101170. Google Scholar

 

Sarwono, Sarlito Wirawan. (1999). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Google Scholar

 

Schutz, Alfred. (1967). The phenomenology of the social world, trans. G. Walsh and F. Lehnert, Northwestern University Press, Evanston, IL. Google Scholar

 

Sharma, Bonita B., Pemberton, H., Tonui, Betty, & Ramos, Byanka. (2022). Google Scholar

 

Responding to perinatal health and services using an intersectional framework at times of natural disasters: A systematic review. International Journal of Disaster Risk Reduction, 102958. Google Scholar

 

SOLEHUDIN, AGUS. (2016). Formula Islam Toleran Dalam Praktik Sosial Di Desa Banjarpanepen Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas. Iain. Google Scholar

 

Suparlan, P. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural [Towards a Multicultural Indonesian Society]. Electronically Published at Http://Www. Scripps. Ohiou. Edu/News/Cmdd/Artikel_ps. Htm. Google Scholar

 

Susetyo, D. P. Budi, & Widiatmadi, E. (2011). Kehidupan Multikultural Orang Semarang. Makalah. Google Scholar

 

Syaifuddin, Achmad Fedyani. (2006). Membumikan multikulturalisme di Indonesia. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, 2(1), 3�10. Google Scholar

 

Tariq, Hisham, Pathirage, Chaminda, & Fernando, Terrence. (2021). Measuring community disaster resilience at local levels: An adaptable resilience framework. International Journal of Disaster Risk Reduction, 62, 102358. Google Scholar

 

Taubah, Miftachul. (2017). Menciptakan Bi�ah �Arabiyah di Lingkungan Universitas yang Multikultural. Studi Arab, 8(2), 117�126. Google Scholar

 

Tubbs, Stewart L., Moss, Sylvia, & Mulyana, Deddy. (2005). Human Communication: prinsip-prinsip dasar. Google Scholar

 

Warnaen, Suwarsih. (2002). Stereotip etnis dalam masyarakat multietnis. Matabangsa.

Warner, Jeroen. (2021). Enschede cries�Restoring ontological security after a fireworks disaster. International Journal of Disaster Risk Reduction, 59, 102171. Google Scholar

 

Wasino. (2006). Wong Jawa dan wong Cina: liku-liku hubungan sosial antara etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998. Unnes Press. Google Scholar

 

Webster, Jenny, & Safar, Josefina. (2020). Ideologies behind the scoring of factors to rate sign language vitality. Language & Communication, 74, 113�129. Google Scholar

 

Widiyatmadi, E. (2005). Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa, 1(1), 22�25. Google Scholar

 

Wuryaningsih, Tri, Suyanto, Edy, Widyastuti, Tri Rini, & Wulan, Tyas Retno. (2004). Konflik Antardesa (Sebuah Kajian Sosisologis tentang Kekerasan

 

Kolektif di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas). Jurnal Pembangunan Pedesaan, 4(2), 111�121. Google Scholar

 

Copyright holder:

Tita Dewinta Ratea, Edi Santoso, Nana Sutikna, Agoeng Noegroho, Agus Ganjar Runtiko, S. Bekti Istiyanto, Barid Hardiyanto (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: