Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 1, Januari
2023
KOMUNIKASI
MULTIKULTURAL
KEHIDUPAN BERTETANGGA
DI KABUPATEN BANYUMAS
Tita Dewinta
Ratea, Edi Santoso, Nana Sutikna, Agoeng Noegroho, Agus Ganjar Runtiko, S.
Bekti Istiyanto, Barid Hardiyanto
Universitas Jenderal Soedirman, Puwokerto, Indonesia
Universitas Islam Negeri Saifuddin Zuhri, Purwokerto, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
situasi multikultur dan problem-problem yang dihadapi masyarakat bertetangga di
salah satu rukun tetangga di Kabupaten Banyumas. Dengan menggunakan pendekatan
fenomenologis dan metode penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini
menemukan bahwa individu-individu dalam memahami di mana mereka hidup dan
bekerja dikembangkan dari makna-makna subyektif yang berasal dari pengalaman
diri mereka sendiri dan interaksinya dengan pengalaman individu lain yang juga
memaknai diri mereka sendiri. Namun demikian, faktor eksternal/isu publik
terkait politik identitas turut memengaruhi kehidupan multikultural
bertetangga. Komunikasi multikultural yang terjadi dalam dialog subyektif diri
dan faktor eksternal menghasilkan transformasi dan perubahan budaya meski pada
skala kecil. Meskipun terjadi persilangan saat �pilkada DKI dan �pilpres� namun
2-3 tahun setelah momentum tersebut masyarakat bertetangga di wilayah
penelitian kembali menjalani hidup seperti biasa. Benturan yang terjadi dalam
perjalanan waktu pada akhirnya berproses tanpa henti menciptakan cara baru
dalam bergaul sesama tetangga.
Kata Kunci: komunikasi; komunikasi multicultural; politik identitas.
Abstract
This study aims to describe the
multicultural situation and the problems faced by neighboring communities in
one of the neighborhood associations in the Banyumas Regency. By using a
phenomenological approach and qualitative descriptive research methods, this
study found that individuals' understanding of where they live and work is
developed from subjective meanings that come from their own experiences and
their interactions with the experiences of other individuals who also make
sense of themselves. alone. However, if external actors/public issues related
to identity politics also affect the life of multicultural neighbors.
Multicultural communication that occurs in self-subjective dialogue and
external factors results in cultural transformation and change even on a small
scale. Even though there was a crossover during the "DKI regional election
and the "presidential election", 2-3 years after this momentum, the
neighboring communities in the study area returned to live their lives as
usual. The collisions that occur over time eventually proceed endlessly to
create new ways of associating with neighbors.
Keywords: communication; multicultural communication; identity politics.
Pendahuluan
Indonesia
mempunyai keragaman identitas. Keragaman identitas ini dapat dilihat pada
terdapatnya berbagai macam suku, agama dan ras. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) terdapat 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia. Secara
formal, negara mengakui 6 agama ditambah dengan kepercayaan. Hal ini belum
ditambah dengan agama-agama lain dan juga ribuan kepercayaan yang sampai
sekarang belum mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah. Tak hanya itu,
keragaman bangsa ini juga ditunjukkan dengan berbagai macam ras di antaranya:
Melanesoid, Malayan- Mongoloid, Kaukasoid dan Asiatic Mongoloid.
Jargon
Bineka Tunggal Ika yang secara harafiah dimaknai sebagai berbeda-beda tetap
satu jua menjadi pedoman dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja
jargon tersebut mengalami dinamika dalam perjalanannya. Indonesia beberapa kali
ditempa dengan kerusuhan yang disinyalir karena adanya perbedaan suku, agama
dan ras. Sebutlah beberapa di antaranya: kerusuhan Tasikmalaya, tapal kuda,
perang suku di Kalimantan dan lain-lain. Bahkan ada satu istilah kekerasan
komunal yang dikenal di dunia internasional yang disebut dengan Amok.
Bila
lebih spesifik lagi, persoalan identitas juga dapat terekam dari sejarah
perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Dalam konteks sejarah bangsa,
eksistensi etnis Tionghoa tidak terlepas dari sejarah kelam. Pada tahun 1740 di
Batavia terhadap kerusuhan anti Tionghoa yang dikenal sebagai Geger Pecinan
atau Tragedi Angke yang berdampak kematian 10 ribuan orang beretnis Tionghoa.
Tidak berhenti di situ, pada tanggal 10 Mei 1963 terjadi lagi peristiwa rasialis
kepada orang beretnis Tionghoa dan selanjutnya terjadi juga di Pekalongan
(1972), Jakarta (1973), Peristiwa Malari (1974), Ujungpandang, Solo dan Medan (1980), Pekalongan (1995)
dan kerusuhan Mei (1998). Berbagai peristiwa tersebut menimbulkan stereotype
yang negatif dan bahkan turut berpengaruh bagi proses Pilkada DKI putaran kedua
pada tahun 2017 (Nasrudin: 2018).
Akhir-akhir
ini, bangsa ini juga dihadapkan pada situasi menguatnya politik identitas,
salah satunya identitas agama. Meskipun sebetulnya keberadaan politik identitas
yang bernuansa agama di Indonesia bukanlah hal yang baru. Perjalanan panjang politik
identitas terus berlanjut seiring dengan beberapa tahun belakangan ini, kerap
muncul simbol-simbol keislaman pada fashion, buku, perumahan, perbankan yang
terbungkus dalam istilah islami, syariah ataupun hijrah. Situasi ini sebetulnya
dapat dipahami karena memang iklim demokrasi membuka kemungkinan berbagai macam
ekspresi hadir di ruang publik (Simarmata: 2014, Arditama:
2016).
Namun
demikian terdapat hal yang patut menjadi perhatian bangsa ini, berdasarkan
penelitian yang dilakukan Center for Religious and Cross Culture (CRCS)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulloh di tahun 2011 yang
menyebutkan bahwa bangsa ini mempunyai tantangan besar yang berasal dari
sejumlah 19,9% muslim Indonesia yang berkarakter �islamis-ideologis� (Hasan, 2010). Beberapa tantangan tersebut berupa berbagai tindakan yang
dilakukan kelompok ini dalam memaksakan identitas Islam pada ruang publik
dengan klaim kebenaran sepihak. Tak hanya itu, dalam banyak kondisi, kelompok
ini mempunyai kecenderungan meniadakan atau mengkafirkan kelompok lain. Fakta
tersebut terungkap, paska laporan ini disampaikan terdapat kelompok islamis
ideologis semacam Front Pembela Islam (FPI) yang kerap kali melakukan tindakan
penyerangan kepada kelompok lain yang bukan menjadi bagian dari kelompoknya.
Berbagai
tindakan yang bernuansa politik identitas seperti yang telah disebutkan dalam
banyak hal berdampak pada memudarkan wajah keberagaman/ multikulturalisme
bangsa Indonesia. (Agustianty, 2021) menyebutkan bahwa Indonesia memandang perbedaan bukan
sebagai hal negatif. Dalam tulisannya yang berjudul: �Multikulturalisme di
Indonesia�, ia menyampaikan bahwa Indonesia yang memiliki lebih dari 700 bahasa
sehari-hari yang dipakai, berbagai macam agama dan keyakinan baik yang sudah
diakui maupun belum dan ragam tradisi nenek moyang merupakan perbedaan tidak
dapat dihindari. Alih-alih menghindari konflik maka akan lebih baik jika
perbedaan tersebut harus diakui keberadaannya, dikelola dan diubah menjadi
kekuatan positif.
Di
Indonesia, implementasi multikulturalisme kiranya masih dalam proses perjalanan
yang panjang. Multikulturalisme di berbagai wilayah Indonesia sosoknya masih
kabur. Bila pun multikulturalitas sering dilansir di berbagai forum, sebagian
besar masih sebatas wacana dan kurang terimplementasikan secara nyata,
konsisten dan berkesinambungan. Diperlukan kepedulian yang serius dari berbagai
pihak untuk� mengupayakan cara-cara yang
lebih operasional dalam mendukung langkah-langkah pengimplementasian
multikulturalisme tersebut.
Senada
dengan kondisi di Indonesia dengan ragam kehidupan multikultural beserta dengan
dinamikanya, Banyumas, di mana penelitian ini akan dilakukan, juga mempunyai
ragam kehidupan multikultural beserta dengan dinamikanya. Banyumas yang
merupakan pertemuan tiga kebudayaan besar: Yogya, Surakarta dan Sunda (Supriyatmono:
2005, Abdullah: 2007, (Herusatoto, 2008) memiliki karakteristik yang cukup unik.
Dalam
konteks kehidupan kebudayaan, Banyumas berada dalam wilayah �luar� dan
marginal. Kondisi demikian pada satu sisi membuat Banyumas lebih mempunyai
kebebasan dalam berkehidupan karena pengaturan dari keraton relatif lemah.
Namun demikian, pada sisi lain, kebebasan yang seharusnya lebih memunculkan
kemerdekaan atas segala pikiran dan tindakan ternyata justru menimbulkan sisi
sifat sebagai orang yang berada di pinggir dengan karakter inferioritas (Santoso, 2015).
Sisi
pertemuan budaya ini turut membangun karakter orang Banyumas yang relatif
terbuka pada budaya lain. Maka tak mengherankan jika ada beberapa pernyataan,
misalnya dari Ahmad Tohari (Budayawan Banyumas) yang menyebutkan bahwa Banyumas
bahkan mempunyai sejarah panjang dengan kehidupan etnis Tionghoa era dulu dan
relasi baik tersebut masih terlihat sampai sekarang. Salah satunya misalnya
adanya penerapan pendidikan multikultural di salah satu sekolah etnis Tionghoa
di Banyumas yang di dalamnya membawa pesan-pesan kebinekatunggalikaan (Ningsih, 2017). Dalam hal kehidupan beragama, Banyumas juga dinilai cukup
toleran. Penelitian di Banjarpanepan (Solehudin, 2016) memperlihatkan bahwa meski di desa tersebut terdapat ragam
agama dan kepercayaan namun masyarakatnya sangat menjaga budaya tolerasi.
Meskipun
tampak harmoni dalam kehidupan multikultural, di Banyumas bukan tidak terdapat
konflik. Beberapa kali terjadi konflik atau setidaknya mengandung benih
konflik. Misalnya: potensi konflik dalam pilkada (Assidiq, 2019), konflik yang berakar dari perebutan sumber daya air (Wuryaningsih, Suyanto, Widyastuti, & Wulan, 2004), konflik antar organisasi keagamaan (Assidiq, 2019).
Selain
konflik-konlik yang tampak sebetulnya dalam kehidupan keseharian masyarakat
juga terdapat potensi konflik seperti misalnya dalam kehidupan bertetangga.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan sejak Maret 2022, peneliti
melihat terdapat fenomena menarik di wilayah tetangga peneliti, di mana pada
saat terjadi �ramai-ramai� politik pilkada di Jakarta, ada suatu momentum di
saat perayaan Natal di mana warga yang dulunya berkunjung ke rumah salah
seorang warga yang beragama Kristen dan merayakan Natal tetapi pada masa itu
sebagian besar warga tidak lagi mengucapkan Natal. Tetapi setelah keriuhan
politik tersebut mereda maka warga kembali mendatangi rumah warga yang berbeda
agama. Fenomena demikian ini menarik untuk menjadi bahan penelitian.
Berdasarkan
latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka dalam penelitian ini,
peneliti memilih melakukan penelitian pada salah satu ruang untuk melihat lebih
dalam dan mendukung implementasi multikulturalisme. Ruang tersebut adalah
kehidupan bertetangga. Dalam konteks ini, pemilihan lokasi penelitian dilakukan
di wilayah rukun tetangga di mana peneliti tinggal yakni di Jalan Kebocoran, RT
03/ RW 02, Karangsalam Kidul, Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah.
Pemilihan
lokasi ini didasarkan berbagai pertimbangan, antara lain: kehidupan bertetangga
merupakan salah satu tempat di mana kehidupan nyata sehari-hari terjadi dan
bisa menjadi cerminan dalam melihat kehidupan; belum ada penelitian di mana
peneliti multikultural melakukan penelitian terhadap kehidupan sehari-harinya
(baca: tentang pernyataan ini dapat disimak pada sub bab penelitian terdahulu);
penelitian terlibat mempunyai keunggulan pada rincian kehidupan yang sangat
memberi sumbangsih pada model penelitian fenomenologi; meski lokasinya tidak
besar tetapi di wilayah tersebut terdapat beberapa: agama dan ormas keagamaan,
etnis, ras dan status sosial yang menarik menjadi bahan penelitian.
Dalam
kerangka itulah, maka penelitian ini memunculkan pertanyaan utama yakni
bagaimana konstruksi makna hidup bertetangga dalam suasana multikultural di
Jalan Kebocoran, RT 03/ RW 02, Karangsalam Kidul, Kedungbanteng, Banyumas, Jawa
Tengah?
Sedangkan
terkait tujuan, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan situasi multikultur
dan problem-problem yang dihadapi masyarakat bertetangga.
Metode Penelitian
Penelitian ini melakukan interpretasi atas makna subyektif
yang dimiliki masing-masing individu di mana terjadi interaksi antar
individu-individu tersebut yang membentuk individu tersebut dalam menjalankan
tindakan sosialnya. Pemaknaan subyektif dan interaksi antar individu tersebut
dipengaruhi oleh pengalaman dan latar belakang dari masing-masing individu dan
interaksinya dengan individu lain. Dalam pandangan (Creswell, 2015), paradigma yang menggambarkan pandangan di atas termasuk
dalam paradigma konstruktivis. Subjek dan Lokasi penelitian ini adalah tetangga
peneliti yang ada di Jalan Kebocoran, RT 03/ RW 02, Karangsalam Kidul,
Kedungbanteng, Banyumas. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari beragam
latar belakang profesi, etnis dan agama.
Pemilihan subyek dilakukan secara purposive. Pilihan ini didasarkan asumsi bahwa strategi purposive merupakan cara yang paling
tepat digunakan dalam memilih sample yang
mempunyai tipikal khusus (Robinson: 2014). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
pendekatan fenomenologis mengandalkan dirinya pada model pengamatan atau
observasi sebagai teknik utama dalam pengumpulan data. Oleh karena itulah,
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi.
Tentu saja tidak hanya observasi yang digunakan untuk mendapatkan data.
Penelitian ini juga mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dan juga
dokumen-dokumen yang dipandang memadai untuk menambah kekuatan hasil
penelitian.
Untuk memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak diragukan
kredibilitasnya maka diperlukan adanya validitas data. Dalam penelitian
fenomenologis, (Creswell, 2015) memberikan gambaran tentang bagaimana melakukan validasi
data. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain: menjalankan triangulasi
data, memastikan kebenaran soal subyek penelitian, deskripsi yang detail,
mencegah terjadinya bias, meminta bantuan peneliti lain untuk membaca secara
kritis hasil penelitian. Selain itu, peneliti juga perlu melakukan
mempertanyakan kepada dirinya tentang beberapa hal seperti: memahami tentang
filosofi terkait fenomenologi, fenomena yang diteliti dapat diartikulasikan
dalam tulisan secara jelas, menjalankan prosedur dengan benar, menyampaikan
makna keseluruhan yang disampaikan oleh subyek penelitian atau tidak
menutup-nutupi dan peneliti terus melakukan refleksi sepanjang penelitian itu
berlangsung.��������
Hasil dan Pembahasan
Lokasi penelitian berada di RT
03/ RW 02 Desa Karangsalam Kidul, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas,
Provinsi Jawa Tengah. RT 03/ RW 02 berbatasan dengan RT 05/ RW 02 di sebelah utara, di sebelah selatan berbatasan
dengan Kelurahan Bobosan, di sebelah
barat berbatasan dengan RT 02/ RW 02 dan di
sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan
Bobosan.
Gambar 1
Peta RT 03/ RW 02
Sumber: Google Earth
Wilayah RT 03/ RW 02 mempunyai jumlah kepala
keluarga sebanyak 36 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 115 orang yang
terdiri dari 65 orang laki-laki dan 50 orang perempuan. Rincian
komposisi penduduk dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Komposisi Penduduk RT 03/ RW 02
Kategori |
Rincian |
Jumlah |
Total |
Pendidikan |
Belum Sekolah |
7 |
115 |
SD |
7 |
||
Tamat SD |
21 |
||
SLTP |
9 |
||
Tamat SLTP |
1 |
||
SLTA |
35 |
||
Tamat SLTA |
5 |
||
D1 |
1 |
||
D3 |
4 |
||
D4/S1 |
19 |
||
S2 |
5 |
||
S3 |
1 |
||
Pekerjaan |
Belum/ TIdak Bekerja |
8 |
115 |
Pelajar/ Mahasiswa |
35 |
||
Mengurus Rumah Tangga |
17 |
||
Karyawan Swasta |
14 |
||
Karyawan Honorer |
1 |
||
PNS |
6 |
||
Karyawan BUMN |
1 |
||
Wiraswasta |
21 |
||
Pedagang |
6 |
||
Buruh Harian Lepas |
3 |
||
Petani |
1 |
||
Pelaut |
2 |
||
Agama |
Islam |
109 |
115 |
Kristen |
6 |
���������������� Sumber: Data RT (Diolah)
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dalam hal
pendidikan komposisi terbesar adalah penduduk dengan tingkat pendidikan Sekolah
Lanjut Tingkat Atas (SLTA). Selain itu, komposisi teratas kedua adalah penduduk
dengan tingkat pendidikan D4/ S1. Bila melihat komposisi tersebut bisa
dikatakan bahwa dalam hal tingkat pendidikan warga RT 03/ RW 02 termasuk dalam
wilayah RT dengan tingkat pendidikan menengah dan tinggi.
Terkait dengan pekerjaan, warga RT 03/ RW 02 masih
didominasi oleh para pelajar/ mahasiswa. Untuk orang dewasanya kebanyakan
adalah wiraswasta dan karyawan swasta. Di wilayah RT ini hanya terdapat 1 orang
petani. Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa warga RT 03/ RW 02
digolongkan sebagai masyarakat dengan gaya hidup urban.
Berikutnya terkait dengan keagamaan. Mayoritas warga
RT 03 RW 02 beragama Islam. Untuk agama lainnya adalah Kristen yang jumlahnya 6
orang. Penduduk RT 03/ RW 02 yang beragama Islam tidak bersifat tunggal. Banyak
diantara warga RT tersebut berafiliasi dengan organisasi keagamaan Nahdatul
Ulama (NU) dan beberapa lainnya mempunyai afiliasi organisasi keagamaan dengan Muhammadiyah.
Selain itu terdapat juga warga yang tidak berafiliasi dengan kedua organisasi
tersebut dan mereka menyebutnya dengan ��Islam Saja�.
Sebagai bagian dari masyarakat urban, kondisi sosial
budaya di RT 03/ RW 02 dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada warga yang
digolongkan sebagai pertama, ��Orang Kota� yakni orang yang gaya hidupnya
mengikuti gaya hidup yang dicirikan sebagai orang perkotaan, misalnya:
cenderung menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Banyumas, berpenampilan
lebih necis, biasanya berpendidikan lebih tinggi. Kedua, �Wong Desa�� yaitu
orang-orang yang sehari-harinya biasanya berbahasa Banyumasan, berpenampilan
seperti orang pedesaan dan biasanya berpendidikan lebih rendah. Sedangkan
golongan ketiga adalah warga yang bertransformasi dari ��Wong Desa�� ke ��Orang
Kota��. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya orang yang pernah lahir/
tinggal di RT tersebut kemudian diantara perjalanan hidupnya mereka merantau ke
kota atau ke luar negeri dan kemudian kembali lagi ke RT tersebut. Tampaknya
kehidupan dimana ia merantau memengaruhi kehidupan sehari-harinya dan anggapan
orang RT tersebut terhadap dirinya.
1.
Situasi
Multikultural Bertetangga
Berdasarkan
penelusuran yang peneliti lakukan, RT 03/ RW 02 secara kultural masuk Grumbul (baca: istilah yang digunakan masyarakat Banyumas
untuk menyebut lingkung desa kecil atau dalam bahasa Jawa di wilayah lain
sering disebut pedukuhan/ dusun/ kampung) Brobohan. Di
Karangsalam Kidul sendiri terdapat 4 (empat) grumbul yakni:
Karangsalam, Brobahan, Karangpule dan Parakanonje. Sebagian besar
penduduk RT 03/ RW 02 merupakan �pendatang� dari dusun lain di wilayah Desa
Karangsalam Kidul ataupun desa lain yang berbatasan dengan Desa Karangsalam
Kidul seperti Desa Kebocoran.
Namun demikian pada era akhir 1990an terdapat
beberapa �pendatang� lain yang merupakan orang di luar desa terdekat yang
bermukim di RT tersebut, diantara mereka adalah pensiunan PNS/ BUMN dan juga
pengusaha/ pedagang.
Wilayah RT ini mempunyai keragaman perilaku yang
dipengaruhi oleh agama, etnis dan asal muasal. Di RT ini terdapat orang yang
beragama Islam dan Kristen. Jumlah orang yang beargama Islam sebanyak 109 orang
sedangkan yang beragama Kristen sejumlah 6 orang.
Dalam menjalankan ritual keagamaan terdapoat warga
yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan �Islam Saja�
(baca: istilah ini adalah istilah yang paling sering digunakan informan ketika
ditanya apakah yang bersangkutan NU atau Muhammadiyah. Warga NU
biasanya menjalankan sholat sehari-hari di Mushola RT 02/ RW 03 yang berada di
sebelah barat RT 03/ RW 02, sedangkan warga yang berafiliasi dengan
Muhammadiyah sholat sehari-harinya di Masjid Wijayakusuma yang letaknya
berdekatan dengan Unwiku. Begitu juga saat momen khusus
seperti sholat tarawih saat ramadhan, warga yang berafiliasi dengan NU
menjalankan sholat di musholla RT 02, sedangkan warga lain yang Muhammadiyah
menjalankan sholat di masjid dekat Unwiku.
Pada masyarakat yang berafiliasi dengan
Muhammadiyah, ada beberapa orang yang mengatakan sering kali tetap mengikuti
aktivitas ritual yang dilakukan NU seperti tahlilan
(baca: ritual membaca ayat Al Quran untuk mendoakan orang yang meninggal).
Namun demikian, terdapat �orang Muhammadiyah� yang memegang teguh �prinsip�
untuk tidak mengikuti ritual budaya keislaman yang lain. Alasannya karena
ritual tersebut dinilai sebagai ritual yang bid�h
(baca: perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan,
termasuk menambah atau mengurangi ketetapan (KBBI)). Namun demikian, saat
peneliti bertanya, tindakan apa yang dilakukan dengan orang yang beribadah
dengan cara yang dianggap musyrik itu, ia mengatakan bahwa hal tersebut adalah
pilihan masing-masing dan silakan saja untuk menjalankannya. Baginya yang
penting dia tidak mengikuti ajaran tersebut.
Begitu juga di kalangan warga yang NU, jika ada
warga Muhammadiyah yang mau diajak untuk mengikuti ritual tahlil maka mereka
akan mengajaknya. Tetapi jika memang orang tersebut pernah beberapa kali
diundang dan tidak datang maka warga itu pun sudah tahu dan tidak
mempermasalahkannya.
Sedangkan untuk warga yang �Islam Saja� dimana oleh
informan dimaknai sebagai warga yang tidak mempunyai afiliasi dengan organisasi
masyarakat manapun biasanya mengikuti ritual masyarakat NU begitu juga
saat penentuan Idul Fitri atau Idul Adha mereka biasanya mengikuti pemerintah
yang juga mempunyai pilihan penentuan sama dengan model NU yakni rukyat.
Lantas bagaimana dengan kehidupan agama lain?
Menurut salah seorang warga yang beargama Kristen, dalam menjalankan ibadahnya
selama ini tidak ada masalah. Ketika dia mengadakan acara ibadah di rumah
dengan mengundang umat beragama Kristen yang bukan merupakan warga RT 03/ RW 02
tidak dipermasalahkan oleh warga lainnya.
Meskipun dipermukaan tidak terlihat permasalahan,
namun demikian saat peneliti lebih mendalami dan mencoba mengingatkan tentang
perayaan Natal beberapa tahun lalu, salah seorang warga minoritas tersebut
mengatakan bahwa memang sempat dalam hati bertanya-tanya apa alasanya yang
membuat ada kejadian tersebut. Namun demikian, ia tidak mempersoalkan kejadian
tersebut.
Mengenai adanya kejadian ketidakdatangan warga lain
saat perayaan natal tersebut, berdasarkan temuan lapangan, terdapat beberapa
sikap dan perilaku warga terkait dengan �kejadian perayaan natal� beberapa
tahun lalu.� Pertama, datang tapi tidak
mengucapkan natal. Berdasarkan wawancara dan observasi yang peneliti lakukan,
banyak dari warga RT 03/ RW 02 mengambil pilihan ini. Alasan utama yang
melandasi pilihan �datang tapi tidak mengucapkan natal� adalah soal keyakinan
agama. Kedatangan mereka ke warga yang merayakan natal adalah bentuk hubungan
horizontal sesama warga yang bertetangga sedangkan alasan tidak mengucapkan
kata natal karena adanya ajaran yang menurut ulama yang mereka percaya
merupakan perbuatan yang dosa karena dianggap memercayai keyakinan lain.
Kedua, datang dan mengucapkan natal. Seorang warga
menyebutkan bahwa kehadirannya di rumah warga yang merayakan natal adalah
bentuk penghormatan baik sebagai tetangga selain juga sebagai bentuk toleransi
antar keyakinan.
Ketiga, tidak datang karena alasan keyakinan agama.
Pilihan tidak datang karena alasan keyakinan agama dipilih oleh informan lain.
Warga tersebut berpandangan bahwa jika ia hadir ke rumah warga tersebut maka
hal itu bisa menjadi simbol pengakuan atas keyakinan lain. Baginya, urusan
datang atau tidak datang, mengucapkan natal atau tidak adalah bentuk
penghargaan terhadap lakum dinukum
waliyadin (baca: bagimu agamamu bagiku agamaku).
Saat peneliti menanyakan kepada informan, apakah
ditahun-tahun sebelumnya informan pernah datang ke warga yang merayakan natal
tersebut? Warga tersebut mengatakan bahwa dulu memang ia pernah datang karena
sebagai Ketua RT dan diajak warga. Alasan utamanya karena rasa tidak enak
kepada warga lain. Itu pun ia menyampaikan bahwa ia hanya datang saja dan tidak
mengucapkan selamat natal. Sekarang ini baginya orang-orang juga sudah lebih
�melek agama� karena sering dapat informasi dan pengetahuan dari sosial media
sehingga orang lebih dapat mengerti alasan ketidakhadirannya pada saat ada
warga yang merayakan natal. Samyo berpendapat, saat ini di sosial media banyak
ditemukan ustadz-ustadz yang menjelaskan tentang cara beragama yang sesuai
dengan Al Quran dan Hadist. Namun demikian, melek agama bisa juga diartikan berbeda
makna. Contohnya ada warga yang memandang melek agama yang ia dapatkan dari
sosial media agak berbeda dengan yang diperoleh oleh warga satunya. Ia justru
mendapatkan pemahaman untuk bisa saling menghargai satu sama lain dari share link youtube dari kyai seperti Gus
Dur, Quraish Shihab dan lain-lain.
Keempat, tidak datang karena alasan teknis. Warga RT
03/ RW 02 juga mempunyai pilihan lain dalam hubungannya dengan perayaan natal.
Biasanya kedatangan mereka ke salah satu warga yang merayakan natal dilakukan
secara bersama-sama.
Kelima, tidak datang karena tidak diajak. Tampaknya
alasan inilah yang menjadi alasan terbanyak yang diungkapkan oleh para informan
terkait ketidakhadiran mereka pada salah seorang warga yang merayakan natal.
Kebiasaan warga yang datang ke rumah warga yang minoritas secara bersamaan
membuat sesama warga saling menunggu sehingga ketika ternyata tidak ada warga
yang ngoprak-ngoprak (baca: mengajak)
maka mereka pun tidak datang.
Keenam, tidak datang karena kurang srawung. Alasan lain ketidakhadiran
warga adalah soal penghargaan terhadap kebiasaan warga setempat. Hal ini
disampaikan salah seorang warga. Meski beberapa kali dia datang dan mengucapkan
natal tetapi ada waktu ia juga tidak datang ke rumah warga yang merayakan natal
dengan alasan warga tersebut kurang srawung.
Kata Srawung menurut kamus
Banyumasan mempunyai arti bergaul. Jika dimaknai secara lebih luas srawung mempunyai makna berinteraksi
atau beramah-tamah untuk mengakrabkan diri dengan orang sekitar atau tetangga.
Kebiasaan srawung akan membantu orang
untuk saling mengenal dan lebih dapat diterima antar sesama warga.
Selain isu sensitif di atas, sebetulnya terkait
kehidupan bertetangga tidak dipersoalkan terlalu banyak. Kalaupun ada persoalan
biasanya lebih terkait soal cara �bersosialisasi� saja.
Berikutnya penulisan melangkah ke soala etnisitas. Dari sisi etnik,
ada warga yang merupakan etnik Jawa, Bugis maupun Tionghoa. Perbedaan
etnik ini disebabkan karena adanya pendatang maupun karena pernikahan. Hal ini
dijelaskan oleh salah seorang informan. Ia mengatakan bahwa kebanyakan warga
beretnik Jawa, hanya satu orang yang Bugis dan satu orang lagi Tionghoa. Warga
yang Bugis menikah dengan orang Jawa dan sudah lama tinggal di sini dan warga
Tionghoa adalah pendatang dari kota lain. Meskipun demikian dia menganggap
bahwa orang-orang tersebut sudah menyesuaikan dengan budaya Jawa.
Meskipun secara permukaan tidak terdapat masalah
terkait etnisitas, namun demikian, dalam perbincangan yang lebih mendalam,
peneliti menemukan bahwa masih terdapat rasa yang berbeda antar sesama warga.
Salah seorang warga Tionghoa mengatakan bahwa meskipun dia sudah menganggap
biasa saja dalam pergaulan tetapi ia tetap merasakan ada perlakuan yang agak
berbeda dengan warga lain. Meski baginya kehidupan pergaulan antartetangga di
Banyumas lebih baik dari kota-kota lainnya.
Setelah soal etnisitas berikutnya peneliti akan
membicarakan soal karakter warga. Secara tipikal warga di RT tersebut �membagi�
warga berdasarkan dua jenis orang yakni: �orang kota� dan �wong desa�. Warga
disebut �orang kota� jika dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa
Indonesia, terlihat bergaya seperti masyarakat perkotaan, tingkat pendidikannya
relatif tinggi (SMA ke atas), bekerja di kantor baik sebagai PNS maupun swasta.
Sedangkan �Wong Desa� teridentifikasi dari cara bicara sehari-hari yang
menggunakan bahasa Banyumasan, bergaya seperti orang desa, tingkat
pendidikannya rendah, mempunyai pekerjaan serabutan.
Namun demikian, tipikal ini bersifat dinamis. Kadang
kala awalnya orang tersebut masuk dalam golongan �wong desa� tetapi seiring
dengan dinamika hidupnya bisa saja ia berubah menjadi bagian dari �orang kota�.
Hal ini bisa terjadi karena orang tersebut kemudian pernah tinggal lama di kota
besar atau ia kemudian berpendidikan lebih tinggi dan sehari-hari kemudian
mengubah perilaku bahasa kesehariannya.
2.
Problem
Multikultural yang Dihadapi Masyarakat Bertetangga
Dalam
kehidupan bertetangga sehari-hari terdapat berbagai macam konflik. Konflik
tersebut ada yang bersifat terbuka tapi kebanyakan dari konflik tersebut
bersifat tertutup. Salah seorang warga menyebutkan bahwa jika didalami
sebetulnya antar warga terdapat konflik meski tidak terlihat. Ia mencontohkan
misalnya saat ibu-ibu berkumpul biasanya ngrasani
antar satu dengan yang lainnya. Ngrasani
�ini tentu saja mengandung
benih-benih konflik. Meski pihak yang dirasani
bisa jadi tidak mengetahui bahwa ia menjadi pembicaraan warga. Begitu juga
di kalangan bapak-bapak. Meski lebih bersifat terbuka tapi modelnya juga agak
mirip yakni dengan model menyindir.
Terkait
dengan ngrasani, seorang informan
perempuan menyebutkan bahwa cara ngrasani
cenderung dilakukan ibu-ibu karena ibu-ibu tidak mau konflik secara
langsung. Baginya menjaga perasaan ibu-ibu lainnya lebih penting karena sehari-hari
mereka saling bertemu. Konflik harian ini biasanya lebih mengarah ke soal
perilaku sehari-hari. Misalnya soal cara bicara orang yang dianggap nyelekit (baca: bicara dengan nada
sinis), dianggap tidak pintar masak, soal hutang di warung dan lain-lain. Meski
terlihat sepele tapi konflik harian ini juga bisa menimbulkan masalah besar
yang kemudian menimbulkan pertengkaran terbuka antar warga.
Selain
secara internal, konflik di dalam kehidupan bertetangga bisa juga terjadi
karena ada pengaruh dari luar. Salah satu contoh adalah adanya kejadian dimana
beberapa warga RT 03/ RW 02 ada yang tidak datang lagi ke rumah salah seorang
tetangga yang merayakan natal. Padahal sebelum adanya perbincangan ramai
tentang adanya �penistaan agama� saat Pilkada DKI, warga tersebut biasanya
datang bahkan mengajak yang lainnya untuk datang. Berdasarkan wawancara yang
peneliti lakukan terdapat beberapa alasan yang membuat mereka tidak hadir.
Salah
seorang yang dulunya rajin ngoprak-ngoprak
untuk datang ke tetangga tersebut ditahun 2019 tersebut tidak lagi ngoprak-ngaprak bahkan orang tersebut
tidak datang ke rumah salah seorang warga yang natalan.� Ketika peneliti menanyakan alasannya, awalnya
informan mengatakan bahwa saat itu sedang sibuk tetapi lama kelamaan saat
wawancara lebih mendalam informankan menyampaikan bahwa dia tidak lagi mengajak
orang atau datang ke tetangga yang sedang merayakan natal karena soal keyakinan
agama. Ia mengucapkan kekhwatirannya karena berdosa.
Kedua
hal yang disampaikan di atas merupakan alasan utama yang disampaikan oleh
beberapa informan terkait ketidakhadirannya dalam silaturahmi ke tetangga yang
merayakan natal. Saat peneliti mencoba menanyakan alasan kenapa dulu mau datang
dan setelah di masa tersebut (baca: ramai-ramai pilkada DKI) tidak lagi datang,
beberapa informan menyampaikan bahwa dengan adanya informasi tentang agama yang
sekarang lebih banyak -khususnya lewat Whatsapp- maka pengetahuan tentang
melakukan �agama secara benar� bisa didapatkan.
Fenomena
yang disampaikan di atas tampaknya menjadi �gejala umum� yang terjadi di masa
itu. Oleh karena itu, meskipun tampaknya merupakan hal yang tidak terlihat
langsung berdampak tetapi pengaruh wacana dan informasi dari luar (khususnya
lewat saluran media sosial) sangat mempengaruhi kehidupan bertetangga.
Secara
garis besar, kebanyakan warga RT 03/RW 02 lebih memilih tidak konflik atau
bahkan diam ketika ada masalah. Luti salah seorang warga, menyampaikan bahwa
sebetulnya tembok yang ada sekarang ini adalah tembok miliknya tetapi ia tidak
mau mengklaim sepihak dengan tetangga sebelahnya dengan alasan tidak mau ada
keributan. Padahal dalam dirinya sebetulnya gelisah takutnya justru nanti
keributan terjadi antar anaknya dengan anak tetangga tersebut. Sedangkan mereka
tidak mengetahui tentang �sejarah tembok� tersebut.
3. Ancaman
Segregasi Sosial
Pandangan (Schutz, 1967) menyebutkan
bahwa gagasan intersubyektif mempunyai arti dimana manusia berupaya mendapatkan
pemahaman adanya keterhubungan atas tindakan sosialnya yang didapatkan dari
pengalaman individu dan maknanya serta pengalaman individu lainnya. Dalam
kehidupan bertetangga, pengalaman individu yang dialami oleh informan
memengaruhi tindakan sosialnya.
Beberapa informan yang mempunyai latar belakang
pengalaman individu hidup pada tempat yang cenderung homogen akan memandang
bahwa orang yang berbeda dengan dirinya adalah �orang lain� �ang bukan
merupakan lingkarannya. Oleh karena bukan menjadi bagian dari lingkarannya maka
tindakan terhadap orang tersebut juga akan berbeda dengan orang yang menjadi
bagian dari lingkarannya. Dalam hal ini, informan tersebut cenderung tertutup
pada adanya perbedaan. Dengan begitu ketika ada opini publik yang cenderung
�menghakimi�pihak lain sebagai �kafir� atau �berbeda dengan kita� maka informan
tersebut juga terpengaruh dengan sikap tersebut.
Dalam konteks kehidupan bertetangga di RT 03/ RW 02,
ketika ada beberapa informan yang kemudian tidak mengucapkan selamat natal
(baca: dahulu turut mengucapkan atau setidaknya datang ke rumah) kondisi
tersebut menjadi realitas. Sebaliknya, informan yang mempunyai pengalaman hidup
lebih heterogen memandang bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Ketika
terdapat terpaaan opini publik yang segregatif/ menimbulkan perpecahan,
informan tersebut berpandangan bahwa Indonesia yang mempunyai slogan Bineka
Tunggal Ika perlu menjadi pegangan. Kalaupun hal itu menyangkut keyakinan
(dalam hal ini Islam) pernyataan yang terlontar adalah lakum dinukum waliyadin (baca: bagimu agamamu, bagiku agamaku) atau
kalau informan tersebut bukan beragama Islam ia memandang bahwa ada kenyataan
yang tidak bisa dielakkan bahwa hidup bertetangga pasti mempunyai pandangan dan
kepercayaan yang pasti berbeda-beda sehingga mau tidak mau, manusia harus mau
mengakui keberadaan orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Temuan tersebut senada dengan hasil penelitian yang
ditulis oleh (Munir, 2019) dalam
artikelnya yang mengekplorasi kepemimpinan kyai pondok pesantren disebutkan
bahwa kebinekaan yang ada di Indonesia sudah menjadi sunatulloh . Landasan keberagaman ini pulalah yang menjadikan para
pendiri bangsa melalui kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki memastikan bahwa
keberagaman merupakan hal yang sudah ada di Indonesia semenjak dahulu. Oleh
karena itu setiap insan di Indonesia perlu menjadikan keberagaman tersebut
sebagai kenyataan sosial yang tidak bisa dihindari.
Dari pandangan tersebut terlihat bahwa �dunia
kehidupan bertetangga� merupakan proses kenyataan sosial yang didapatkan dari
pengalaman pribadi dan struktur sosial yang sudah ada sebelumnya dan hal
tersebut turut membentuk dan membatasi pengalaman tersebut. Hal ini sejalan
juga dengan pernyataan Cresweel
(2015) yang memandang bahwa individu-individu dalam
memahami di mana mereka hidup dan bekerja dikembangkan dari makna-makna
subyektif yang berasal dari pengalaman diri mereka sendiri dan interaksinya
dengan pengalaman individu lain yang juga memaknai diri mereka sendiri.
Fenomena yang terjadi terkait informan di atas juga
meneguhkan pandangan Kuswanto
(2009) yang menjelaskan bahwa tindakan manusia di mana ia
sekaligus berposisi menjadi bagian dari anggota masyarakat memungkinkan juga
merupakan suatu peniruan atau kamuflase atas tindakan anggota masyarakat lainnya.
Di sini tersebut terlihat bahwa peniruan perilaku memberlakukan minoritas
sebagai manusia yang berbeda sebagaimana yang terjadi di Jakarta ternyata juga
terjadi di dalam kehidupan bertetangga di RT 03/ RW 02. Melihat peniruan di
atas maka fenomena yang terjadi pada kehidupan bertetangga sesungguhnya bisa
menjadi cermin bahwa perbincangan dan perilaku tindakan sosial yang terjadi
pada level tetangga merupakan hal yang penting dan perlu menjadi perhatian.
Perhatian khusus tersebut perlu dilakukan karena,
jika kita merujuk pada Smith
(2013) dalam kondisi yang terjadi terus menerus dimana
semua orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitasnya di dunia kehidupan
merupakan interaksi antara dunia subyektif (pengalaman pribadi dalam menjalani
kehidupan) dengan dunia obyektif (dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen
dalam ruang dan waktu). Segregasi yang terjadi pada kehidupan bertetangga jika
dibiarkan tanpa adanya upaya mengenalkan pengalaman individu yang berbeda antar
orang akan menyebabkan segragasi yang permanen.
4.
Politik
Identitas dalam Multikulturalisme Bertetangga
Menurut
Fautanu, dkk (2020), kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017
telah menjadi fenomena dan menjadi perhatian masyarakat, bukan hanya publik DKI
Jakarta, tapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dampak dari kasus
Pilkada DKI juga berdampak sampai ke RT 03/ RW 02. Bila sebelumnya, masyarakat
di wilayah RT tersebut kehidupan bertetangga relatif tidak muncul gejolak terkait
dengan hubungan identitas (khususnya keagamaan), tapi paska pilkada DKI muncul
segregasi di masyarakat. Warga di RT 03/ RW 02 yang biasanya bersilaturahmi ke
salah seorang warga yang merayakan natal, pada tahun tersebut warga tidak lagi
dating untuk bersilaturahmi. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perasaan
yang sama dari warga yang beragama Islam terhadap tafsir mereka atas munculnya
penghinaan terhadap Al Quran Q.S. Al-Maidah [5]: 51 oleh salah satu pasangan
calon (paslon) telah membangkitkan semangat keberagamaan umat Islam. Aksi 212
di Jakarta merupakan wujud kuatnya hubungan antara agama (Islam) dengan politik
(Negara) sebagai bentuk gejala politik identitas begitu kuat mewarnai dalam
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 (Sari:
2016; Pradipta, Hidayah, Haya, Ervani, & Kristanto: 2018).
Bila
melihat pendapat Sari (2016) dan Pradipta,
dkk (2018)
maka terlihat bahwa hubungan antara agama (Islam) dengan politik Negara
sangatlah erat. Keeratan hubungan tersebut juga terjadi di RT 03/ RW 02. Meski
mempunyai letak geografis yang relatif jauh (+/- 355 KM) namun demikian
�perasaan� keislamannya warga di wilayah penelitian tampaknya terusik juga.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada para informan, mereka kebanyakan
menyatakan bahwa hubungan antara tetangga (meski pun dipastikan ada
konflik-konflik kecil) asalkan tidak menyangkut keyakinan agama maka hal
tersebut lebih mudah didamaikan. Tetapi karena menyangkut persoalan keyakinan
maka kondisi tersebut akan susah diterima. Namun demikian, tidak semua warga
secara terbuka menyatakan bahwa ketidakberangkatannya bersilaturahmi sebagai
hal yang terkait dengan soal identitas agama. Tetapi jika ditanyakan lebih
dalam maka hal tersebutlah yang menjadi pemicunya.
Adanya
segregasi sebagai dampak dari politik identitas tidak terlepas dari pemahaman
bahwa �politik identitas� merupakan upaya yang dilakukan terhadap kepemilikan
identitas untuk membangun sebuah perbedaan (�kami� dan �bukan kami�) yang
biasanya atas dasar ras, etnik, budaya ataupun bahkan agama teretantu (Andriyani, 2019). Tulisan dari Andriyani tersebut, sejalan
dengan �logika�di masyarakat yang juga sering terusik dengan realitas bahwa ada
�kami� yang mayoritas (Islam, Jawa) dan ada �bukan kami�yang minoritas
(Kristen, Cina, Bukan Jawa). Logika kami dan bukan kami ini tidak hanya terjadi
pada mayoritas, pada saat peneliti melakukan wawancara dan kemudian bertanya
tentang pandangannya soal penduduk �mayoritas� dengan salah seorang informan
yang beretnik Tionghoa dan beragama Kristen, informan tersebut beberapa kali
menyatakan bahwa ia tidak mau berkomentas karena sadar diri bahwa dia adalah
minoritas. Informan khwatir bahwa pernyataannya bisa memicu kemarahan warga
lain. Padahal dalam kesempatan tersebut, ia juga memaparkan bahwa dirinya
sangatlah �asli Indonesia� karena lahir di Indonesia, berbahasa Jawa, hidup
selamanya di Indonesia, tidak bisa berbahasa Mandarin. Namun demikian realitas
itu tetap tidak meyakinkannya bahwa ia adalah orang Indonesia. Setidaknya hal
ini nampak dari rasa takutnya untuk berkomentar.
Kenyataan
tersebut juga senada dengan pernyataan dari Alfaqi
(2015) yang
menyatakan bahwa politik identitas dapat diartikan sebagai rangkaian pemahaman,
sikap dan tindakan (gerakan) politik yang didasarkan pada emosi, konsep,
karakteristik atau kategorisasi yang berbeda dari kelompok atau masyarakat
lain. Realitas yang terjadi pada RT 03/ RW 02 meneguhkan perntaan tesebut.
Kondisi emosional warga yang terpicu oleh penghinaan terhadap Al Quran sampai
juga ke warga RT 03/ RW 02.
Walaupun
sebagian besar warga terdampak dengan politik identitas tapi ada juga warga
yang memandang bahwa adanya kasus Pilkada DKI adalah bagian dari imbas sosial
media. Persoalan pilkada DKI bisa sampai masuk dalam kehidupan bertetangga
karena banyak pesan yang masuk ke sosial media (whatsapp) yang membuat warga
jadinya ��ikut-ikutan�.
Persoalan
tentang peran sosial media yang mempunyai imbas pada integrasi ataupun
sebaliknya polarisasi merupakan fenomena global. Hal ini seperti yang terjadi
di Mesir dalam penelitian yang dilakukan oleh Alia,
dkk (2019).
Dalam artikel yang bertajuk Integration v polarisation among social
media users: Perspectives through social capital theory on the recent Egyptian
political landscape, ia menyebutkan bahwa integrasi sosial maupun polarisasi sangat
tergantung kepada penggunaan konten atas teknologi tersebut. Konten yang isinya
mengajak pada transformasi ke arah yang lebih baik akan memunculkan integrasi
sosial sebaliknya konten yang mengajak pada tindakan ofensif akan berdampak pada terjadinya polarisasi.
Pernyataan
ini senada dengan pandangan salah seorang informan di sub bab sebelumnya yang
menuturkan bahwa sosial media justru membuka matanya untuk bertoleransi
terhadap pihak lain. Dengan menonton share WA yang berisi cerita di Youtube
tentang Gus Dur yang tidak mempermasalahkan untuk masuk gereja membuka
kesadarannya akan toleransi.
Pernyataan
informan tersebut juga sejalan dengan pandangan Asy�rie (2004), keberadaan pendidikan multikultural
mempunyai nilai strategis dalam upaya bangsa untuk mengelola keberagaman secara
kreatif sehingga konflik yang bisa muncul sebagai dampak dari transformasi dan
reformasi soal dapat dikelola dengan cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan
kehidupan berbangsa di masa yang akan datang. Lagi pula, Pancasila 1 Juni 1945
yang menyatakan: �Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, termasuk golongan kaya. Tetapi kita mendirikan
negara �semua buat semua, satu buat semua, semua buat semua� (Syaifuddin: 2006).
5. Komunikasi
Multikultural Bertetangga
Merujuk pada Samovar dan Porter (2004) yang menyatakan
bahwa komunikasi multikultural sebagai komunikasi antara orang-orang yang
berbeda kebudayaannya atau komunikasi antar budaya, misal suku bangsa, etnik
dan ras atau kelas sosial maka multikulturalisme bertetangga yang terjadi di RT
03/ RW 02 merupakan bagian dari komunikasi multikultural meskipun keberagaman
multikulturalnya tidak begitu kompleks. Di RT 03/ RW 02 terdapat Etnis Jawa,
Bugis, Tionghoa; Sedangkan untuk kelas sosialnya terdiri dari kelas menengah
(Orang Kota) dan kelas bawah (Wong Desa). Multikulturalisme yang terjadi di
wilayah penelitian ini juga terkait dengan agama dimana terdapat agama Islam
dengan ragam organisasi masyarakat atau tanpa ormas yang secara kultural
berbeda dan juga agama Kristen.
Sedangkan bila kita merujuk pada pernyataan John (1996) yang menyatakan
bahwa komunikasi multikultural pada akhirnya merupakan proses komunikasi yang
menghubungkan bagian-bagian dalam kehidupan dunia satu dengan dunia yang lain
yang berbeda secara tidak beraturan tetapi hidup di wilayah budaya yang sama,
sehingga pada tahap berikutnya terjadilah proses transformasi dan perubahan
budaya secara terus menerus. Di RT 03/ RW 02 dalam menjalankan komunikasi
multikultural bertetangga terdapat transformasi dan perubahan budaya meski pada
skala kecil. Hal ini terlihat misalnya hampir semua informan dari ragam etnik
tetap berupaya untuk menjadi �orang Jawa� meski dengan keterbatasan
masing-masing. Orang yang beretnik Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari
menggunakan bahasa dan unggah-ungguh Jawa
meski dengan cara yang terbatas. Demikian halnya dengan �orang kota� yang juga
berupaya mendekati cara orang Jawa dalam bergaul. Sebaliknya pada �wong desa�
juga bertransformasi menjadi lebih mengikuti style masyarakat urban.
Demikian halnya, bila merujuk pada pernyataaan Purwasito (2015: 197) yang menyatakan
bahwa komunikasi multikultural adalah komunikasi yang melibatkan proses
interaksi dari individu atau kelompok dari budaya tertentu dengan kelompok dari
budaya lain sehingga melahirkan kultur baru atau subkultur. Dalam perjalanan
waktu dan transformasi multikultural ketika semua kultur yang berbeda-beda
menjalin suatu interaksi akan melahirkan kebudayaan atau kultur baru atau
subkultur baru. Demikian seterusnya komunikasi dalam masyarakat multikultur
akan terus berproses tanpa henti untuk menciptakan kultur baru yang lebih maju
dan progresif. Berdasarkan pernyataan di atas, bila melihat kondisi di RT 03/
RW 02 meskipun bersifat terbatas namun dialog antar etnik dan agama yang
terjadi di RT 03/ RW 02 dengan segala persinggungan yang terjadi mampu
menciptakan kultur baru dan progresif dalam bentuk adanya kesadaran yang sama
untuk tetap saling menghargai perbedaan. Meskipun terjadi persilangan saat
�pilkada DKI dan �pilpres� namun 2-3 tahun setelah momentum tersebut masyarakat
bertetangga di wilayah penelitian kembali menjalani hidup seperti biasa.
Benturan yang terjadi dalam perjalanan waktu pada akhirnya berproses tanpa
henti menciptakan cara baru dalam bergaul sesama tetangga. Namun demikian, satu
catatan yang penting bahwa faktor eksternal yang menjadi opini publik meski
kejadiannya jauh dari wilayah penelitian sangat berpengaruh terhadap kehidupan
bertetangga.
Hal yang patut menjadi pembelajaran baik dalam
konteks komunikasi� multikulturalisme
bertetangga di RT 03/ RW 02 adalah tidak terjadinya kekerasan konunikasi
sebagaimana yang menjadi kekhawatiran pada penelitian yang dilakukan Prakarsa (2018). Kekerasan
komunikasi merupakan bagian dari perilaku yang negatif yang dapat merugikan
orang lain. Beragam kekerasan verbal yang terjadi dalam kehidupan sosial,
didominasi oleh perilaku dari kelompok dominan terhadap kelompok minoritas.
Dalam kehidupan bertetangga di RT 03/ RW 02, kekerasan komunikasi tidak
terjadi. Pada saat terjadi dialektika yang ramai terkait �Pilkada DKI� dan
�Pilpres�yang berimbas pada ketidakdatangan ke rumah salah seorang warga yang
mempunyai keyakinan beragama yang berbeda, tidak terjadi kekerasan verbal
komunikasi. Proses segregasi sosial yang terjadi bersifat tertutup. Bahkan
ketika dikonfirmasi pada beberapa tahun setelah kejadian tersebut, beberapa
warga lebih banyak berasalan bahwa ketidakhadiran mereka pada tetangga yang
natal terjadi karena alasan teknis semata, misalnya: sibuk mengurus anak atau
pun sedang ada urusan rumah dan tidak diajak.
Hal yang juga bisa menjadi pijakan bahwa komunikasi
multikultural yang terjadi di RT 03/ RW 02 sejalan dengan pernyataan dari (Widiyatmadi, 2005) dan Asmuri (2017) menyebutkan
bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia dalam interaksi sosialnya dituntut
bersikap toleran dan perlu menghayati dan menyadari secara riil realitas
pluralistik masyarakat kita, untuk kemudian menjalankannya dalam
langkah-langkah bertindak dalam konteks pluralitas tersebut. Di RT 03/ RW 02,
masyarakat menyadari bahwa memang terdapat realitas bahwa antar mereka memang
sudah terdapat perbedaan. Hal ini membantu mereka dalam menjalankan tindakan
sehari-hari dalam bertetangga. Sikap toleransi ini tampaknya perlu juga menjadi
tuntunan bagi warga RT 03/ RW 02 untuk turut mentransformasikan pengetahuan dan
pengalamannya kepada anak-anaknya. Hal ini perlu dijalankan sebab senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Hutagalung & Ramadan, 2022) disebutkan
bahwa penanaman nilai-nilai multikultural kepada anak-anak/ siswa akan
berdampak baik pada penerapan kehidupan multikultural sehari-hari.� Model komunikasi multikultural tersebut akan
membantu masyarakat bertetangga dalam menjaga harmoni dalam kehidupan
bertetangga.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka
dapat disimpulkan beberapa hal, Pertama, situasi multikultural dan problem
kehidupan bertetangga. Penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan multikultural
bertetangga sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu dan interaksinya dengan
pengalaman individu lain serta faktor eksternal, Berikutnya, pada RT 03/ RW 02
terdapat beberapa problem yang dihadapi dalam kehidupan bertetangga
diantaranya: terdapat segregasi antar warga bertetangga karena adanya pemahaman
tafsir beragama yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan sosial media, masih
terdapat perasaaan minoritas dalam masyarakat bertetangga meski interaksi yang
terjadi sudah cukup intens dan waktu yang lama.
Kedua, menilik kehidupan multikultural bertetangga
dari berbagai sisi. Penelitian fenomenolgis ini menemukan bahwa segregasi yang
terjadi pada kehidupan bertetangga jika dibiarkan tanpa adanya upaya
mengenalkan pengalaman individu yang berbeda antar orang akan menyebabkan
segragasi yang permanen. Segregasi ini terjadi karena adanya peniruan perilaku.
Melihat peniruan di atas maka fenomena yang terjadi pada kehidupan bertetangga
sesungguhnya bisa menjadi cermin bahwa perbincangan dan perilaku tindakan
sosial yang terjadi pada level tetangga merupakan hal yang penting dan perlu
menjadi perhatian.
Akhirmya, bila kita merujuk pada pertanyaan dasar
penelitian ini tentang konstruksi makna komunikasi multikultural bertetangga
maka dapat dilihat bahwa individu-individu dalam memahami di mana mereka hidup
dan bekerja dikembangkan dari makna-makna subyektif yang berasal dari
pengalaman diri mereka sendiri dan interaksinya dengan pengalaman individu lain
yang juga memaknai diri mereka sendiri. Namun demikian, faktor eksternal/ isu
public terkait politik identitas turut memengaruhi kehidupan multikultural
bertetangga. Komunikasi multikultural yang terjadi dalam dialog subyektif diri
dan faktor eksternal menghasilkan transformasi dan perubahan budaya meski pada
skala kecil. Meskipun terjadi persilangan saat �pilkada DKI dan �pilpres� namun
2-3 tahun setelah momentum tersebut masyarakat bertetangga di wilayah
penelitian kembali menjalani hidup seperti biasa. Benturan yang terjadi dalam
perjalanan waktu pada akhirnya berproses tanpa henti menciptakan cara baru
dalam bergaul sesama tetangga.
BIBLIOGRAFI
Agustianty, Efit Fitria. (2021). Multikulturalisme
Di Indonesia. Google Scholar
Amadi-Echendu, J. E. (2007). Thinking styles of
technical knowledge workers in the systems of innovation paradigm. Technological
Forecasting and Social Change, 74(8), 1204�1214. Google Scholar
Assidiq, Fajar. (2019). Menguatnya Perkembangan
Salafisme dan Dominasi Ekonomi Kelompok Bisnis Arab di Banyumas. Integralistik,
30(2), 132�149. Google Scholar
Asy�arie, Musa. (2004). Pendidikan multikultural dan
konflik bangsa. Dalam Harian Kompas, Edisi Jum�at, 3. Google Scholar
Aufin, Mohammad. (2014). Sintesa Pendidikan Karakter
dan Multikultural bagi Lingkungan Pendidikan Tinggi. Jurnal Psikologi:
Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan, 2(2),
110�125. Google Scholar
Azra, Azyumardi. (2007). Identitas dan Krisis Budaya,
Membangun Multikulturalisme Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia. Google Scholar
Becker, Elisabeth. (2018). Tour-guiding as a pious
place-making practice: The case of the Sehitlik Mosque, Berlin. Annals of
Tourism Research, 73, 81�90. Google Scholar
Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall
H., & Dasen, Pierre R. (1999). Psikologi lintas budaya: Riset dan aplikasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar
Creswell, John W. (2015). Penelitian kualitatif &
desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar
Cuccaro-Alamin, Stephanie, Foust, Regan,
Vaithianathan, Rhema, & Putnam-Hornstein, Emily. (2017). Risk assessment
and decision making in child protective services: Predictive risk modeling in
context. Children and Youth Services Review, 79, 291�298. Google Scholar
Delina, Laurence L. (2021). Topographies of coal
mining dissent: Power, politics, and protests in southern Philippines. World
Development, 137, 105194. Google Scholar
Denzin, Norman K., & Lincoln, Yvonna S. (2009).
Handbook of qualitative research (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Google Scholar
Diz, Agustin. (2020). �Healing the institution�:
Conflict and democratic sovereignty in an Indigenous Community of the Argentine
Chaco. Geoforum, 117, 173�182. Google Scholar
Eddles-Hirsch, Katrina. (2015). Phenomenology and
educational research. International Journal of Advanced Research, 3(8).
Google Scholar
Fauzia, Amelia, Prihatna, Andi Agung, Abubakar, Irfan,
al-Makssary, Ridwan,
Pranawati, Rita, Aziz, Sholehudin A., Hidayati, Sri,
& Kamil, Sukron. (2011). Islam di ruang publik: politik identitas dan
masa depan demokrasi di Indonesia. Center for the Study of Religion and
Culture (CSRC). Google Scholar
Gu, Michelle Mingyue, & Lai, Chun. (2019). From
Chungking Mansions to tertiary institution: Acculturation and language
practices of an immigrant mother and her daughter. Linguistics and Education,
52, 52�60. Google Scholar
Habibi, Muhammad. (2018). Analisis politik
identitas di Indonesia. Google Scholar
Harahap, Ahmad Rivai. (2006). Multikulturalisme dalam
Bidang Sosial. Jurnal Etnovisi, 2(1), 32�35. Google Scholar
Hasan, Noorhaidi. (2008). Laskar Jihad; Islam,
militansi dan pencarian identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru. Google Scholar
Hasan, Noorhaidi. (2010). Ideologi, Identitas dan
Ekonomi-Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme
dan Terorisme di Indonesia. Prisma.
Herusatoto, H. Budiono. (2008). Banyumas; Sejarah,
Budaya, Bahasa, Dan Watak. LKIS PELANGI AKSARA. Google Scholar
Ho, Elaine L. E., Liew, Jian An, Zhou, Guo, Chiu, Tuen
Yi, Yeoh, Brenda S. A., & Huang, Shirlena. (2021). Shared spaces and
�throwntogetherness� in later life: A qualitative GIS study of non-migrant and
migrant older adults in Singapore. Geoforum, 124, 132�143. Google Scholar
Hutagalung, Ratna, & Ramadan, Zaka Hadikusuma.
(2022). Peran Orang Tua dalam Menanamkan Nilai Multikultural di Lingkungan
Keluarga Siswa sekolah Dasar. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini, 6(5), 4967�4991. Google Scholar
Indonesia, Jurnal Antropologi. (2014). Simposium
Internasional Jurnal Antropologi Indonesia: Membangun Kembali �Indonesia yang
Bhinneka Tunggal Ika�: Menuju Masyarakat Multikultural. Antropologi
Indonesia. Google Scholar
Islam, Mir Rabiul, Ingham, Valerie, Hicks, John, &
Kelly, Elaine. (2018). From coping to adaptation: Flooding and the role of
local knowledge in Bangladesh. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 28, 531�538. Google Scholar
Judd, Charles M., Park, Bernadette, Ryan, Carey S.,
Brauer, Markus, & Kraus, Susan. (1995). Stereotypes and ethnocentrism:
Diverging interethnic perceptions of African American and White American youth.
Journal of Personality and Social Psychology, 69(3), 460. Google Scholar
Kato, Etsuko. (2022). Uncrossed Asianisms: How
Singaporeans and Japanese sojourners in Singapore are not �Asian.� Asian
Journal of Social Science. Google Scholar
Kuswarno, Engkus. (2009). Fenomenologi: metode
penelitian komunikasi: konsepsi, pedoman, dan contoh penelitiannya. Widya
Padjadjaran. Google Scholar
Kwan, Chi Kin, Baig, Raees Begum, & Lo, Kai Chung.
(2018). Stressors and coping strategies of ethnic minority youth: Youth and
mental health practitioners� perspectives. Children and Youth Services Review,
88, 497�503. Google Scholar
Latif, Yudi. (2017). Negara Paripurna: Historitas,
Rasionalitas, Dan Aktualisasi. Jakarta: PT. Gramedia. Google Scholar
Lestari, Dina. (2019). Pilkada DKI Jakarta 2017:
Dinamika Politik Identitas di Indonesia. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala,
4(4), 12�16. Google Scholar
Leyens, Jacques Philippe, Yzerbyt, Vincent, &
Schadron, Georges. (1994). Stereotypes and social cognition. Sage
Publications, Inc. Google Scholar
Lim, Dong Jin. (2021). Performance of social integration
programs for immigrants and influential factors: Evidence from the Korea
Immigration and Integration Program (KIIP). International Journal of
Intercultural Relations, 81, 108�120. Google Scholar
Menon, Alka V. (2019). Cultural gatekeeping in
cosmetic surgery: Transnational beauty ideals in multicultural Malaysia. Poetics,
75, 101354. Google Scholar
Mujib, Abdul. (2015). Pendekatan Fenomenologi dalam
Studi Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 6(2),
167�183. Google Scholar
Munir, Akhmad. (2019). Power and Authority di Pondok
Pesantren: Potret Kepemimpinan Kiai dalam Lingkungan Multikultural. JIEMAN:
Journal of Islamic Educational Management, 1(1), 107�120. Google Scholar
Muthohirin, Nafi. (2015). Radikalisme Islam dan
pergerakannya di media sosial. Afkaruna: Indonesian Interdisciplinary
Journal of Islamic Studies, 11(2), 240�259. Google Scholar
Muyasaroh, Muyasaroh. (2018). Peran Gender dalam
Pendidikan Multikultural (Kajian Ibu Mendidik Anak dalam Mengenalkan
Nilai-nilai Multikultural di Lingkungan Keluarga). TAMADDUN: Jurnal
Pendidikan Dan Pemikiran Keagamaan, 19(2), 157�176. Google Scholar
Nafi�Muthohirin. (2014). Fundamentalisme Islam:
gerakan dan tipologi pemikiran aktivis dakwah kampus. IndoStrategi. Google Scholar
Ningsih, Tutuk. (2017). Pendidikan Multikultural Dalam
Membentuk Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran IPS Di Sekolah Confucius Terpadu
SD Mulia Bakti Purwokerto Kabupaten Banyumas. INSANIA: Jurnal Pemikiran
Alternatif Kependidikan, 22(2), 366�377. Google Scholar
Novianti, Evi, Nugraha, Hafsah, & Zahra, Risa
Ramadaniati. (2021). Potensi Wisata Komunitas Pijar Sebagai Kelompok Unik Dalam
Lingkungan Masyarakat Multikultural. Tornare: Journal of Sustainable and
Research, 3(1), 30�34. Google Scholar
Parekh, Bhikhu. (2001). Rethinking multiculturalism:
Cultural diversity and political theory. Ethnicities, 1(1),
109�115. Google Scholar
Prakasa, Sangra Juliano. (2018). Kekerasan Komunikasi
Dalam Lingkungan Yang Multikultural: Penerapan Konsep (Nvc) Nonviolent
Communications Pada Bentuk-Bentuk Kekerasan Komunikasi. Jurnal Common, 2(1).
Google Scholar
Pratiwi, Ida Ayu Putu Asti, Puspa, Ida Ayu Tary, &
Saputra, I. Made Dian. (2022). Google Scholar
�
Implementasi Satua Sebagai Penguatan Kearifan Lokal
Pada Lingkungan Multikultural Di Kelas X SMA Taman Rama Jimbaran Kabupaten
Badung. Dharma Sastra: Jurnal Penelitian Bahasa Dan Sastra Daerah, 2(1),
29�37. Google Scholar
Qurtubi, Ahmad. (2017). Peran Kepala Sekolah dalam
Memfasilitasi Pembinaan Guru di Lingkungan Sekolah Multikultural melalui
Kepemimpinan Profesional. Mimbar Pendidikan, 2(1). Google Scholar
Saihu, Made. (2020). Menciptakan Harmonisasi Di Lingkungan
Pendidikan Melalui Model Pendekatan Pembelajaran Islam Multikultural (Studi Di
Sman 1 Negara Jembrana-Bali). Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam Dan
Manajemen Pendidikan Islam, 2(3), 62�79. Google Scholar
Santoso, Edi. (2015). Identitas lokal dalam media
sosial: dinamika identitas masyarakat Banyumas dalam menggunakan media sosial.
Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Google Scholar
Saraceni, Mario, & Jacob, Camille. (2019).
Revisiting borders: Named languages and de-colonization. Language Sciences,
76, 101170. Google Scholar
Sarwono, Sarlito Wirawan. (1999). Psikologi sosial:
Individu dan teori-teori psikologi sosial. Google Scholar
Schutz, Alfred. (1967). The phenomenology of the
social world, trans. G. Walsh and F. Lehnert, Northwestern University Press,
Evanston, IL. Google Scholar
Sharma, Bonita B., Pemberton, H., Tonui, Betty, &
Ramos, Byanka. (2022). Google Scholar
Responding to perinatal health and services using an
intersectional framework at times of natural disasters: A systematic review. International
Journal of Disaster Risk Reduction, 102958. Google Scholar
SOLEHUDIN, AGUS. (2016). Formula Islam Toleran
Dalam Praktik Sosial Di Desa Banjarpanepen Kecamatan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.
Iain. Google Scholar
Suparlan, P. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural [Towards a Multicultural Indonesian Society]. Electronically
Published at Http://Www. Scripps. Ohiou. Edu/News/Cmdd/Artikel_ps. Htm.
Google Scholar
Susetyo, D. P. Budi, & Widiatmadi, E. (2011). Kehidupan
Multikultural Orang Semarang. Makalah. Google Scholar
Syaifuddin, Achmad Fedyani. (2006). Membumikan
multikulturalisme di Indonesia. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI,
2(1), 3�10. Google Scholar
Tariq, Hisham, Pathirage, Chaminda, & Fernando,
Terrence. (2021). Measuring community disaster resilience at local levels: An
adaptable resilience framework. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 62, 102358. Google Scholar
Taubah, Miftachul. (2017). Menciptakan Bi�ah �Arabiyah
di Lingkungan Universitas yang Multikultural. Studi Arab, 8(2),
117�126. Google Scholar
Tubbs, Stewart L., Moss, Sylvia, & Mulyana, Deddy.
(2005). Human Communication: prinsip-prinsip dasar. Google Scholar
Warnaen, Suwarsih. (2002). Stereotip etnis dalam
masyarakat multietnis. Matabangsa.
Warner, Jeroen. (2021). Enschede cries�Restoring
ontological security after a fireworks disaster. International Journal of
Disaster Risk Reduction, 59, 102171. Google Scholar
Wasino. (2006). Wong Jawa dan wong Cina: liku-liku
hubungan sosial antara etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998.
Unnes Press. Google Scholar
Webster, Jenny, & Safar, Josefina. (2020). Ideologies
behind the scoring of factors to rate sign language vitality. Language &
Communication, 74, 113�129. Google Scholar
Widiyatmadi, E. (2005). Hidup di Tengah Masyarakat
Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa, 1(1), 22�25. Google Scholar
Wuryaningsih, Tri, Suyanto, Edy, Widyastuti, Tri Rini,
& Wulan, Tyas Retno. (2004). Konflik Antardesa (Sebuah Kajian Sosisologis
tentang Kekerasan
Kolektif di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten
Banyumas). Jurnal Pembangunan Pedesaan, 4(2), 111�121. Google Scholar
Copyright holder: Tita Dewinta Ratea, Edi Santoso,
Nana Sutikna, Agoeng Noegroho, Agus Ganjar Runtiko, S. Bekti Istiyanto, Barid
Hardiyanto (2023) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |