Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 1, Januari
2023
ANALISIS MERGER PERUSAHAAN DIGITAL DI
INDONESIA �(STUDI KASUS : MERGER GOTO DAN
DOUYO/HUYA)
Nuresti Tristya Astarina
Magister Ilmu Hukum Univesrsitas Indonesia, Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Pertumbuhan perekonomian digital di Indonesia dituntut mengimbangi globalisasi. Merger perusahaan digital menjadi sorotan yang cukup besar bagi pemerintah karena karakter pasar yang berbeda dengan bisnis konvensional. Dalam geliat ekonomi masyarakat pasca pandemi, perekonomian digital di Indonesia masih didominasi oleh perusahaan yang berasal dari pendatang baru dengan basis teknologi atau yang sering disebut sebagai start-up. Meski secara angka menguasai pasar, namun tetap belum bisa mandiri dari suntikan dana investor. Alhasil beberapa perusahaan start-up besar seperti Gojek saja memilih untuk melakukan efisiensi dengan aksi korporasi berupa merger bersama dengan Tokopedia. Harapannya dengan mempermudah pengguna/konsumen dan semakin meningkatkan efisiensi perusahaan sehingga mampu meningkatkan keangan perusahaan. Namun demikian, kedua perusahaan ini memiliki pasar digital yang berbeda karakter dengan perusahaan konvensional. Big data dan perlindungan pengguna lain disinyalir akan mempengaruhi keseimbangan pasar. Pada kenyataannya Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) telah menetapkan alur merger berupa nilai batas/threshold dan apabila mencapai nilai batas tertentu, maka terdapat wajib notifikasi dan konsultasi hingga penilaian Dengan demikian, ada kontrol dari pemerintah terkait dengan merger sangat tergantung dengan peran KPPU. Perlu adanya analisis perkembangan merger perusahaan digital karena akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan membandingkan praktik merger di Indonesia dengan Merger Goto dan rencana merger DOUYO/HUYA di China. Serangkaian ketentuan dan peraturan penghindaran monopoli pasar dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maupun peraturan perundang-undangan lain yang masih terkait. Relevansi peraturan-peraturan yang ada di Indonesia akan dinilai sejalan atau tidak dalam perkembangan perusahaan digital yang membutuhkan efisiensi.
Kata kunci: Merger Perusahaan; Perusahaan Digital; Ekonomi Digital; UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Merger Goto; Merger Douya/Huya.
Abstract
The growth of the digital economy in Indonesia is required
to keep pace with globalization. The merger of digital companies has become a
big enough spotlight for the government because the market character is
different from conventional businesses. In the post-pandemic economy, the
digital economy in Indonesia is still dominated by companies originating from
newcomers with a technology base or often referred to as start-ups. Despite
having significant users with a series of conveniences offered, it turns out
that start-up companies have a significant impact on the company's financial
condition. Even though it dominates the market in numbers, it still cannot be
independent from the injection of investor funds. As a result, several large
start-up companies, such as Gojek, have chosen to be more efficient with
corporate actions in the form of a joint merger with Tokopedia. The hope is to
make it easier for users/consumers and further improve company efficiency so as
to improve company finances. However, these two companies have a digital market
that is different in character from conventional companies. Big data and the
protection of other users are allegedly going to affect the balance of the
market. In fact, the Business Competition Supervision Commission (KPPU) has
determined the merger flow in the form of a threshold value and if it reaches a
certain asset value, notification and consultation is required. The results of
this consultation will determine whether the merger can be carried out or if
there is something that must be adjusted. Thus, there is control from the
government related to the merger which is very dependent on the role of the
KPPU. In terms of digital company mergers that have their own characteristics,
Goto and the Douya/Huya Plan in China are case studies in this research. It is
necessary to analyze the development of digital company mergers because they
will affect economic growth in Indonesia by comparing merger practices in
China. A series of provisions and regulations for the avoidance of market
monopoly in Law no. 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic
Practices and Unfair Business Competition and other related laws and
regulations. The relevance of existing regulations in Indonesia will be judged
in line with or not in the development of digital companies that require
efficiency.
Keywords: Company Merger; Digital Company; Digital
Economy; Law on Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition; Goto Merger; Douya/Huya merger.
Geliat perekonomian masyarakat di
tengah pandemi mengalami pergeseran makna dari mengejar ekonomi ke arah
mengefisiensikan diri. Beberapa perusahaan memutuskan untuk merger. Efisiensi
dalam perusahaan sejalan dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih memulihkan
keakibat akibat pandemic Covid-19. Bersamaan dengan itu, penanganan pandemi
juga kerap sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya
kebanyakan negara-negara lain di dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia dilihat
dari tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Badan Pusat Statistik (BPS)
mengeluarkan datanya pada 5 November 2020 bahwa PDB Indonesia mengalami
peningkatan menjadi -3,49 % setelah kuartal sebelumnya hanya � 5,32% . Meski
masih negatif, upaya peningkatan perekonomian tersebut diakui sebagai
keberhasilan kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) demi melakukan pemulihan
di masa pagebluk ini.
Menurut catatan Kemenkeu , konsumsi
pemerintah yang tumbuh secara signifikan yakni dari -6,9 % menjadi 9,8% atau
terjadi turning point lebih dari 17%.�
Selain itu, konsumsi rumah tangga juga tercatat meningkat dari -5,5%
menjadi -4,0 %. Segala upaya pembelanjaan pemerintah diupayakan dalam
menggenjot pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 ini saah satunya dengan
memberikan bantuan sosial. Tak dinyana, minimnya pengawasan membuat bantuan
sosial justru terlilit oleh masalah korupsi. Pada khususnya menyeret Menteri
Sosial menjadi tersangka.
Menilik sejarah bagaimana kebijakan
ekonomi hanya melihat angka sebenarnya sudah terjadi ratusan tahun lalu di
Inggris. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri William Petty, Ia memberikan
teori bahwa individu merupakan sumber daya ekonomi bagi Negara, dan dengan
demikian perlu diuji dengan cara tertentu (Fioramonti, 2017).�� Sebagai
seorang yang meyakini betul keberpihakan aritmetika, ia suguhkan pendekatannya
sebagai factual dari nilai sebuah bangsa, meskipun pendekatannya banyak
berpijak pada generalisasi dan pertimbangan nilai.
Kegagalan
PDB sebenarnya pernah terjadi di Amerika Serikat pada masa resesi 2008. Wall
Street Journal melaporkan pengakuan�
Departemen Perdagangan bahwa estimasi dan kalkulasi pertumbuhan PDB
sudah salah sejak empat tahun terakhir dan harus direvisi dari atas ke bawah,
dan dengan demikian menunjukkan kemungkinan resesi terjadi sejak 2007 terlepas
dari representasi yang cukup optimis dari kebanyakan politisi politisi mengenai
keadaan perekonomian Amerika (Hulten & Nakamura, 2022)
Akibat
dari itu mulailah bermunculan ide-ide bahwa PDB bukan satu-satunya pengukur
keadaan ekonomi suatu Negara, melainkan mesti memasukkan unsur ukuran
kesejahteraan subjektif masyarakat. Hal ini yang sejak 2012 telah diakui oleh
Sekjen PBB Ban Ki Moon dalam konferensi �Happiness and Well-being : Defining a
New Economic Paradigm� yang dilakukan oleh perwakilan Bhutan di markas PBB, New
York� (Hulten &
Nakamura, 2022)
Munculnya
parameter kesejahteraan sosial diimbangi dengan meningkatnya perkembangan
inovasi masyarakat dalam iklim ekonomi digital di Indonesia. Terbukti pada
November 2020, Indonesia telah dinobatkan dalam Startup Ranking sebagai Negara
dengan pertumbuhan Start Up terbesar kelima di dunia, yakni berjumlah 2192.
�
Eksistensi
Startup yang cukup banyak ini tidak terlepas dari upaya pemerintah memberikan
perhatian terhadap pengembangan ekonomi digital. Seperti di tahun 2016, kita
tahu bahwa telah diadakannya Badan Ekonomi Kreatif dan Gerakan Nasional 1000
Startup Digital yang memantik masyarakat untuk mengembangkan usahanya.
Perusahaan-perusahaan
swata makin membaca pasar ekonomi digital yang semakin luas. Untuk itu strategi
yang digunakan dalam pengembangan kian inovatif. Strtategi Gojek dan Tokopedia
mejadi contoh perkembangan usaha di sektor usaha di Indonesia dan Rencana
merger Douyu/Huyadi China (Ichsan, Panggabean, Syahbudi, &
Nasution, 2022). Merger menjadi salah satu strategi dalam pengembangan bisnis ekonomi
digital. Keberadaan pembatasan merger dalam instrument hukum yang berlaku di
Indonesia harus berjalan beriringan dengan peningatan ekonomi di Indonesia.
Untuk itu kebijakan pengecualian terhadap pembatasan merger perlu dilakukan
pada kondisi perekonomian Indonesia di masa ini. Namun, tidak bisa meninggalkan
upaya pembangunan iklim ekonomi digital yang berkelanjutan. Untuk itu peneliti
bermaksud melakukan sebuah penelitian hukum dengan judul �Pembatasan Merger
Perusahaan Digital Indonesia (Studi kasus : Merger GoTo dan Rencana Merger
Douyu-Huya)�
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normative (Jonaedi Efendi, Johnny Ibrahim, & SE, 2018), yakni dengan
meneliti hukum dari sisi normatif namun Peneliti juga menyertakan dukungan
data-data empiris/praktek di lapangan. Adapun peneliti menggunakan metodologi
penelitian hukum normatif yakni menjelaskan perbandingan hukum terhadap
pembatasan hukum yang ada di Indonesia dengan pembatasan merger perusahaan di
Negara lain seperti China. Kemudian peneliti menggunakan data-data empiris
untuk mengetahui gejolak masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha dalam bidang
digital yakni kasus GoTo di Indonesia dan rencana merger perusahaan di China
yakni Douyu dan Huya. Peneliti memperhatikan melalui artikel-artikel berita
maupun wawancara langsung stakeholder sehingga peneliti dapat mendapat sumber
yang terpercaya sehingga layak dijadikan bahan analisis.
Hasil dan
Pembahasan
1. Analisis Perkembangan Merger Perusahaan Digital Di Indonesia Dan China
(Studi Kasus Merger Goto Dan Rencana Merger Douyu-Huya)
a. Pengaruh Paradigma Merger Perusahaan Digital
Dunia terhadap Praktik Merger di Perusahaan Digital Indonesia
Belum
lama Presiden Jokowi mengunjungi perusahaan milik Elon Musk di Amerika Serikat
yang harapannya akan turut berinvestasi di Indionesia. Sebagai salah satu
pelopor investasi di bidang teknologi, tidak jarang Elon Musk akan melirik
perusahaan digital sebagaimana pernah sebelumnya membeli saham twitter. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa perkembangan perusahaan digital di Indonesia
menjadi sorotan pemerintah dalam meningkatkan perekonomian dalam negeri.
Masuknya suntikan investasi yang ramai dibicarakan masih seputar perusahaan started
up.
Di Amerika, seorang peneliti kebijakan publik mengemukakan bahwa seharusnya
pembatasan merger vertikal pada perusahaan digital lebih dilonggarkan (Jamison, 2002). Merger vertikal adalah merger di mana salah satu dari dua perusahaan
pra-merger menjual suau input ke yang lain. Contohnya adalah Time Warner dan
AT&T: Sebelum merger, Time Warner menjual konten media ke AT&T, yang
kemudian menyediakan konten tersebut kepada pelanggannya.
Legislator Indonesia perlu menilik kembali bagaimana penerapan di Amerika
tersebut mempengaruhi cara pandang terhadap perusahaan digital yang memiliki
karakter yang unik. Sebagai contoh dalam kasus yang terjadi saat merger yang
dilakukan oleh perusahaan digital yang sudah besar (big tech) cenderung
bertujuan melakukan monopoli atas pasar (Ramadhan, 2022). Mereka tidak lagi mengejar keuntungan, namun lebih pada penguasaan pasar.
Namun prinsi-prinsip dalam paradigma monopoli yang diketahui secara umum
nyatanya berbeda dengan monopoli yang dianut oleh Big Tech� (Petit, 2020).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nicolas Petit kemudian memberikan
hipotesis bahwa monopoli perusahaan big tech� tidak seperti monopoli memaksimalkan
keuntungan. Adapun pengambilan keputusan perusahaan teknologi yang besar ini
tidak mampu membuat produksi/keuntungan jangka pendek yang membuat MR=MC.� Tanpa perspektif yang dapat dilihat
sebelumnya bahwa kedua kurva akan berpotongan. Ini memiliki dua implikasi
logis. Pertama, dengan asumsi bahwa MR=MC tetap menjadi proposisi maksimal-
keuntungan tetap ada untuk perusahaan teknologi besar, itu harus menjadi tujuan
jangka panjang. Kedua, pendekatan maksimalisasi keuntungan jangka pendek
perusahaan big tech harus dengan produksi yang lain (Petit, 2020)
Gagasan bahwa �merger dengan pesaing unik di masa depan harus dianggap
melanggar hukum� tidak terlalu kontroversial. Masalahnya tentu saja, adalah
definisi "pesaing masa depan yang sangat mungkin." Ini khususnya
bermasalah di industri di mana model bisnis sangat sulit diprediksi, termasuk
oleh peserta industri itu sendiri.
Kasus untuk membalikkan beban pembuktian. Bukan suatu kebetulan bahwa
banyak pakar antimonopoli terkemuka mengusulkan perubahan drastis dalam kebijakan
merger sebagai pembalikan beban pembuktian. Ada berbagai argumen valid yang
mendukung pergeseran ini. Kemudian ada 3 hal penting dalam� membahas monopoli (Petit, 2020)
Antitrust lebih dari sekadar kebijakan merger. Diskusi di atas tidak
menyiratkan bahwa perusahaan teknologi tinggi harus bebas dari pengawasan
antimonopoli. Di sisi lain. Intinya adalah bahwa, dari berbagai instrumen yang
tersedia untuk instansi pemerintah, tinjauan merger kemungkinan paling tidak
efisien (sekali lagi, ketika mempertimbangkan perusahaan teknologi tinggi).
Dengan melihat penjabaran di atas, diperlukan kehati-hatian dalam
mereformasi kebijakan merger, ini tidak berarti bahwa peningkatan penegakan
kebijakan tidak diperlukan. Di sisi lain. Diperlukan pengecekan bagaimana
penyalahgunaan posisi dominan, pengetatan perlindungan konsumen, dan pengaturan
langsung perusahaan dominan, bukan kebijakan merger pre-emptive.
Penggabungan perusahaan digital yang menyebabkan harga pelanggan menjadi
melambung, maka disitu peran pemerintah untuk mengatur. Namun dengan merger
perusahaan digital, pembatasannya harus lebih kasuistis dan tidak mengikat
secara umum saja (Wardhani, Putri, & Widayati, 2019). Munculnya kekuatan pasar selalu cepat dalam teknologi, menyiratkan bahwa
kekuatan itu tidak pernah benar-benar ada. Dan buktinya adalah bahwa menghukum
keberhasilan merger yang ditujukan untuk kepuasan pelanggan dengan dihadapkan
pada pembatasan merger yang kaku akan menghambat perkembangan usaha (Holt & Jamison, 2009).
b. Analisis Praktik Merger Perusahaan Digital di
Indonesia dalam kasus GoTo �Tujuan
dan Proses Merger Perusahaan Digital di Indonesia dalam kasus Merger Goto
Sebelum diwacakan akan melakukan merger, Gojek adalah perusahaan started up
yang besar dan telah terkenal berhasil mengungguli ojek berbasis online. Belum
adanya transportasi yang memadahi dan merata dimanfaatkan Gojek untuk menguasai
konsumen ojek online yang tergolong murah dan mudah dijangkau semua kalangan
masyarakat. Sedangkan Tokopedia juga merupakan pioner marketplace di Indonesia.
Fakta tersebut membuat merger Gojek dan Toopedia menjadi sorotan pengamat
monopoli di Indonesia. Pasalnya seolah-olah ada dua perusahaan teknologi
raksasa di Indonesia bergabung dan seperti akan menguasai pasar.
Di semua sektor utama Indonesia, pengeluaran TI tidak hanya tertinggal dari
negara maju tetapi juga negara-negara rekan, yang menunjukkan tingkat
intensitas digital yang rendah (Das,
Gryseels, Sudhir, & Tan, 2016) Sementara sektor-sektor berat
tenaga kerja seperti layanan keuangan dan layanan bisnis sedikit lebih baik
karena digitalisasi tenaga kerja dan didorong oleh booming teknologi keuangan
(fintech) yang sedang berkembang, sektor industri tulang punggung aset-yang
meliputi pertambangan, manufaktur, dan sumber daya alam dan menyumbang sekitar
50 persen dari PDB negara itu�tertinggal jauh di belakang negara-negara lain (Das et al., 2016).
Selanjutnya perlu ditilik kembali unsur-unsur pasal yang mengarahkan pada
istilah �praktik monopoli�, �pasar bersangkutan� dan produknya untuk mengetahui
adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam merger
GojekTokopedia. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mendefinisikan
praktek monopoli sebagai �emusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu ��. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 mendefinisikan �pasar bersangkutan� sebagai pasar yang berkaitan
dengan jangkauan atau wilayah pemasaran tertentu dengan barang dan jasa yang
sejenis atau pengganti. Apabila ditelaah lebih lanjut untuk mengetahui apakah
pasar bersangkutan pada GojekTokopedia,�
dapat dicapai melalui pemeriksaan langsung terhadap perilaku konsumen
dan bukan pada partisipasi pelaku usaha dalam organisasi atau asosiasi tertentu
seperti Kamar Dagang Indonesia (KADIN) atau IDEA (Indonesian E-commerce
Asosiasi).
Oleh karena itu, pola konsumen/pelanggan perlu diperhitungkan ketika menentukan
"pasar bersangkutan") (Koehler,
1998), misalnya dengan simulasi ada
tidaknya produk/jasa yang sama dari tokopedia maupun gojek. Kenyataannya bila
dengan menaikkan harga dan produk yang sama di marketplace Tokopedia, tetap
memerlukan analisis perilaku konsumen di marketplace non-Tokopedia bukan
gojek. Sementara itu, ketika seorang konsumen "menggunakan ke Gojek"
untuk produk yang sama, keduanya berarti "bersangkutan" dengan �Pasar
tersebut". Tapi jika konsumen "tidak berpindah� ke Gojek, berarti
mereka tidak berada di pasar yang sama.
Konsep penting lainnya yang terkait dengan perilaku langsung konsumen
adalah "produk alternatif" (Octavia, 2012). Apakah Gojek dapat digantikan dengan Tokopedia? Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) No. 3 Tahun 2009 mendefinisikan produk substitusi
sebagai produk yang memiliki karakter dan fungsi yang sama tanpa memperhatikan
spesifikasi teknis, merek, dan gaya kemasan. Ditemukan bahwa ketika sebagian
besar konsumen menemukan satu produk terlalu mahal di Tokopedia, mereka
biasanya beralih membeli produk serupa di marketplace lain seperti Shopee,
Lazada, Bukalapak dengan harga lebih murah. Artinya, semua bisnis ini berada di
"pasar yang relevan" sementara Gojek dan Tokopedia memiliki �pasar
yang berbeda�.
Jika dianalisis kembali, merger Goto bertujuan untuk meningkatkan penjualan
dan penghematan operasional (sinergi). Dengan adanya peningkatan penjualan
berarti pangsa pasar perusahaan bertambah sehingga peru- sahaan dapat meningkatkan
penjualan secara berkesinambungan dan apat mendominasi pasar.
Berdasarkan sudut pandang ini, ini adalah keadaan darurat yang harus segera
dilakukan. Menurut penulis, KPPU harus bekerja sama untuk menegakkan hukum
persaingan usaha yang sehat antara perusahaan dan pemerintah. Jika kedua hal
ini dapat dilaksanakan, saya berharap dapat menciptakan suasana persaingan yang
sehat di Indonesia. Persaingan usaha yang sehat akan berdampak positif bagi
pelaku ekonomi karena dapat menghasilkan momentum atau insentif untuk
meningkatkan efisiensi, produktivitas, inovasi dan kualitas produk.
Pasca Gojek dan Tokopedia bergabung menjadi GoTo pada Mei
2021, nilai transaksi atau nilai transaksi bruto (GTV) grup tersebut melampaui
US$22 miliar atau Rp314 triliun. Pada saat yang sama, volume transaksi melebihi
1,8 miliar. kerugian Bersih Goto untuk 2018-2021masih tinggi Goto
sendiri masuk sebagai usaha ritel marketplace sehingga cukup menjadi perhatian
dalam meningkatkan perekonomian digital ini. Lima cara untuk menang di era
digital menurut McKinsey. �Merger
merupakan salah satu tools yang digunakan dalam efisieni usaha. Namun tidak
sampai disitu. Jika melihat dari pemaparan apa yang dibutuhkan dalam
transformasi digital. Maka keberhasilan merger akan dilihat bagaimana
bertahannya perusahaan digital tersebut. Pada kepemimpinan, perusahaan dapat
menunjuk Chief Digital Officer (CDO) untuk mendorong agenda digital perusahaan.
Misalnya, Starbucks menunjuk CDO yang bertanggung jawab atas semua inisiatif
digital, termasuk aplikasi seluler dan program loyalitas.
Dari penjabaran di atas maka dampak merger Goto menjadi masa depan
pengaturan persaingan usaha di Indonesia. Di era digital, mula-mula definisi
pelaku ekonomi harus dirinci secara lengkap; sekarang diatur dengan cukup tegas
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Saat mendefinisikan pasar yang relevan,
tidak hanya transaksi uang yang diperhitungkan, tetapi juga aliran data yang
terjadi. Otoritas persaingan sudah mulai menerapkan kriteria tambahan saat
menentukan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat di sektor digital. Jerman merevisi
undang-undang persaingannya untuk mempertimbangkan fitur-fitur baru ekonomi
digital dengan mengubah produk/layanan gratis platform menjadi pasar tunggal (Hendarsyah, 2019)
Perusahaan yang menggunakan Platform digital sering mendapatkan kekuatan di
pasar dengan mengontrol dan memiliki akses ke banyak data konsumen. Di era
digital saat ini, banyak terjadi pelanggaran persaingan bisnis, termasuk
menyalahgunakan posisi dominan. Ketika platform digital menjadi lebih kuat,
berkat perkembangan bisnis terkait, kemampuan mereka untuk mengumpulkan
informasi, daya saing mereka, dan kapasitas mereka untuk menjadi konsumen dan
pemilik toko online meningkat. Hal ini dapat menyebabkan bias terhadap pesaing
di ritel, dan kontrak yang membatasi dengan pelanggan. Platform juga dapat
menjual kebijakan kepada pelanggan, yang dapat menyebabkan kerugian bagi
konsumen yang membelinya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pesaing
menutup bisnis mereka, dan meninggalkan pasar.
2. Praktik Penegakan Pembatasan Merger Dalam Kasus Rencana Merger DOUYU-HUYA Di
China
Adanya larangan ini ditunjukkan dengan penegasan
konsentrasi pasar. Huya dan Douyu, dua pemain terbesar di industri ini,
masing-masing menyumbang 40% dan 30% dari penjualan, dan masing-masing 45% dan
35% dari pengguna aktif, menurut Administrasi Negara untuk Peraturan Pasar.
Tencent yang berbasis di Shenzhen menguasai 43% pasar video game China pada
tahun 2020 (Cai, 2020).
Perusahaan teknologi memiliki 37 persen Huya dan 38
persen Douyu. Tencent diharapkan memiliki sekitar 67% dari perusahaan gabungan.
Administrasi Negara untuk Peraturan Pasar mengungkapkan dalam sebuah pernyataan
bahwa mereka telah mempertimbangkan rencana merger antara Huya dan Douyu sejak
Januari 2021, dan telah meminta pendapat dari lembaga pemerintah terkait,
pakar, dan pesaing industri. Administrasi Negara untuk Peraturan Pasar
mengatakan bahwa mereka berkomunikasi dengan Tencent selama proses peninjauan,
meskipun perusahaan mengajukan rencana merger yang direvisi, itu gagal untuk
mengurangi dampak negatif pada persaingan pasar.
Dengan adanya keputusan SAMR, manajemen Tencent
menyatakan akan mematuhi keputusan Administrasi Negara untuk Pengaturan Pasar,
beroperasi sesuai dengan hukum dan peraturan, dan memenuhi tanggung jawab
sosial perusahaannya. Hal senada juga disampaikan manajemen Huya. Pada saat
yang sama, manajemen Douyu menyatakan sepenuhnya menghormati keputusan hukum
Tata Usaha Negara untuk Pengaturan Pasar dan akan bekerja sama sesuai dengan
peraturan terkait. Penangguhan Administrasi Negara untuk Peraturan Pasar atas
penggabungan Huya dan Douyu adalah peristiwa hukum terbaru di industri
teknologi China karena regulator memperketat pengawasan mereka terhadap praktik
monopoli (Cai, 2020).
3.
Pengaruh Batalnya Rencana Merger DOUYU-HUYA dalam Arah
Kebijakan Merger di China
Dalam hal strategi penetapan harga, platform online mulai meluncurkan
klausa paritas harga atau klausa negara yang paling disukai. Pengaruhnya
terhadap harga memicu berbagai investigasi, yang mengharuskan lembaga penegak
hukum untuk menarik garis tentang apa yang dapat diterima di bawah
undang-undang persaingan masing-masing (Van Uytsel, 2020).
Ekonomi digital merupakan konsep yang secara bertahap dianut oleh komunitas
sarjana hukum persaingan. Fokus penelitian yang dibawa dalam ekonomi digital
adalah pada platform dan bisnis yang dikembangkan untuk suatu platform.
Platform ini, yang sering disebut lebih lanjut dengan kata digital, dapat
dianggap sebagai �jumlah total tempat pertukaran informasi, barang, atau jasa
yang terjadi antara produsen dan konsumen serta komunitas yang berinteraksi
dengan platform tersebut (Brousseau & Penard, 2007).�� ������
Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan yang
dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Perkembangan
dalam pembatasan merger di Indonesia dipengaruhi oleh hal-hal yang berkaitan
dengan perkembangan perekonomian dunia, terutama iklim ekonomi digital. Big
data menjadi tantangan yang diatur oleh pengambil kebijakan dalam hal ini
pemerintah Indonesia dalam menentukan ambang batas keseimbangan pasar dan
keseimbangannya dengan penggunaan oleh masyarakat. Dengan seiring adanya
perbedaan motif pasar digital dengan perusahaan konvensional, peran KPPU juga
dituntut menjadi lebih fleksibel sepanjang tetap mengedepankan kegunaan bagi
masyarakat sebagai konsumen. Perekonimian dituntut untuk mengikuti pertumbuhan
ekonomi global, sehingga perekonomian digital di Indonesia tidak tertinggal.
Berkaitan dengan perkembangan
pembatasan merger di China yang telah lebih maju secara perkembangan perusahaan
digital, pemerintah membatasi dengan ketat khususnya bagi persaingan pasar. Tujuan
Regulasi Perusahaan Digital di Indonesia adalah untuk memberikan kesempatan
bagi persahaan-perusahaan dalam negeri untuk bersaing di pasar digital.
Pasalnya, pada perkembangan tekhnologi di Indonesia belum sepesat perkembangan
teknologi di dunia. Sehingga perlu peran pemerintah untuk mendukung masyarakat
dan dapat menyamakan level globalisasi. Dengan tujuan pertumbuhan perekonomoian
di Indonesia, Pemerintah meonggarkan beberapa batasan-batasan merger sehingga
lebih berfokus pada sisi fungsional masyarakat pada umumnya terlebih dahulu.
Meski begitu, belajar dengan yang
terjadi pada Goto, Pemerintah mesti turut serta dalam menggenjot perusahaan
digital untuk memiliki daya saing tinggi dan memiliki produktifitas yang
tingga. Sekat antara perusahaan konvensional dan digital sangat bergantung pada
tingkat teknologi yang digunakan, oleh karenanya pemerintah mesti mengatur
strategi agar perkembangan teknologi juga dilakukan sevcara merata terutama
pada stakeholder di tingkat pengambil kebijakan. Sehingga dapat mengukur
bagaimana perkembangan digital di Indonesia dapat merata dan adil tanpa adanya
ketimpangan pasar. Sebagaimana yang dilakukan oleh saat Dalam penegakan
analisis Praktik Penegakan Pembatasan Merger dalam kasus dan Rencana Merger
DOUYU-HUYA di China yang dibatalkan, pemerintahnya memiliki kepemahaman
terhadap kondisi pasar perusahaan digital yang unik dan memiliki potensi monopoli
bukan hanya sekedar menggenjot pertumbuhan ekonomi, namun juga meratakan
edukasi mengenai pasar perekonomian digital.
BIBLIOGRAFI
Brousseau,
Eric, & Penard, Thierry. (2007). The economics of digital business models:
A framework for analyzing the economics of platforms. Review of Network
Economics, 6(2).
Cai, Jingmeng. (2020). The sharing economy and China�s
antimonopoly law: from the Didi case to regulatory challenges. Asia Pacific
Law Review, 28(1), 159�178.
Das, Kaushik, Gryseels, Michael, Sudhir, Priyanka,
& Tan, Khoon Tee. (2016). Unlocking Indonesia�s digital opportunity. McKinsey
& Company, 1�28.
Fioramonti, Lorenzo. (2017). Problem Domestik Bruto:
Sejarah dan Realitas di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi. terj. Jakarta:
Margin Kiri.
Hendarsyah, Decky. (2019). E-commerce di era industri
4.0 dan society 5.0. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 8(2),
171�184.
Holt, Lynne, & Jamison, Mark. (2009). Broadband
and contributions to economic growth: Lessons from the US experience. Telecommunications
Policy, 33(10�11), 575�581.
Hulten, Charles R., & Nakamura, Leonard I. (2022).
Is GDP Becoming Obsolete? The �Beyond GDP� Debate. National Bureau of
Economic Research.
Ichsan, Reza Nurul, Panggabean, Nazlah Rachma,
Syahbudi, Muhammad, & Nasution, Lukman. (2022). Strategi Pengembangan
Inovasi Berbasis Ekonomi Kreatif. Jurnal Darma Agung, 30(3),
865�882.
Jamison, Mark A. (2002). Competition in Networking:
Research Results and Implications for Further Reform. L. Rev. MSU-DCL,
621.
Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., &
SE, M. M. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada
Media.
Koehler, Matt. (1998). The Importance of Correctly
Identifying the Consumer for an Antitrust Relevant Market Analysis. UMKC L.
Rev., 67, 521.
Octavia, Ade. (2012). Gaya Hidup dan Perilaku
Pembelian Emas Putih di Kota Jambi. Jurnal Manajemen Pemasaran Modern.
Petit, Nicolas. (2020). Big tech and the digital
economy: The moligopoly scenario. Oxford University Press.
Ramadhan, Victorio Johan Oki. (2022). Konflik Pasar
Monopoli terhadap Pelaku Usaha. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 4(6),
4925�4933.
Van Uytsel, Steven. (2020). The proliferation of
competition law in Asia: from forced adoption to an integration project. In Research
Handbook on Asian Competition Law (pp. 25�42). Edward Elgar Publishing.
Wardhani, Ire Puspa, Putri, Annisa Mutia, &
Widayati, Susi. (2019). Aplikasi Profil Perusahaan Digital Berbasis Web.
Copyright holder: Hasna Nurhasanah, Dida Diah
Damayanti, Mohammad Deni Akbar (2023) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |