Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.01,
Januari 2023
TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (BORG)
YANG MENANDATANGANI AKTA PENGAKUAN HUTANG DENGAN MEMAKAI JAMINAN
Khalid
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indonesia
Email: �[email protected]
Abstrak
���� Adanya
penjamin sebagai pihak ketiga dalam sebuah perjanjian utang piutang maka
semakin meningkatkan kemungkinan debitur menjadi kurang bertanggung jawab
terhadap perjanjian utang piutangnya. Argumentasi penelitian di dalam praktek
ada orang yang dengan sukarela atau terpaksa dijadikan penjamin atas hutang
milik orang lain. Adanya anggapan bahwa dengan jaminan penanggungan dalam
perjanjian kredit, maka kewajiban pemenuhan prestasi dari pihak penjamin
bersifat seketika tatkala pihak debitur yang dijamin melakukan wanprestasi.
Penjamin berhak untuk menuntut supaya dilakukan lelang sita lebih dahulu
terhadap kekayaan debitur. Hak istimewa yang dimiliki seorang penjamin ini
tercantum dalam pasal 1831 dan pasal 1834 KUHPerdata. Rumusan masalah adalah
bagaimana tanggung jawab dari penjamin dalam sebuah perjanjian utang piutang
Hasil penelitian bahwa akibat hukum dari perjanjian kredit yang melibatkan
pihak ketiga sebagai penjamin, debitur dapat dituntut oleh penjamin yang telah
membayar hutangnya kreditur. Penjamin mempunyai hak menuntut biaya ganti rugi
dan bunga. Kreditur dan pihak penjamin harus memperhatikan hak dan kewajiban
dalam perjanjian hutang piutang. Penjamin diberikan hak untuk membagi hutangnya
sesuai tanggung jawabnya. Saran penelitian yaitu diharapkan calon debitur
mempunyai bayangan atas pembayaran dengan harta kekayaan yang dia miliki akan
mampu menutupi dan membayar utang yang dia ajukan. Hendaknya masing-masing
pihak yang membuat kesepakatan tentang penjaminan atas hutang piutang debitur
terlebih dahulu secara khusus dengan penjamin. Jika debitur wanprestasi,
diharapkan tidak menimbulkan konflik bagi pihak-pihak dalam perjanjian hutang
piutang hanya karena debitur tidak paham akan hak dan kewajibannya dan
ketentuan dari perjanjian kredit dengan pihak ketiga yang berlaku di Indonesia
sampai saat ini masih diperlukan perbaikan.
Kata kunci: Borg; Hutang; Jaminan.
Abstract
The existence guarantor third party in receivables agreement increases
possibility debtor will become less responsible for complaints receivables.
Research argument practice people who volunteer or forced guarantors for other
people's debts. Assumption that with the guarantee guarantee
in the credit agreement, the fulfillment of the performance guarantor
instantaneous when the guaranteed debtor defaults. guarantor has the right to
demand that an auction be conducted in advance debtor's assets. special rights
possessed by a guarantor are listed in article 1831 and article 1834 Civil
Code. formulation of the problem how the responsibility guarantor receivable
agreement result research legal consequences credit agreement involving a third
party as a guarantor, debtor can learn by the guarantor who has paid the
creditor's debt. The guarantor has right claim compensation costs and interest.
Creditors and guarantors must pay attention to the rights and obligations in
receivables. The guarantor given the right to divide the debt according to the
responsibilities. The suggestion research prospective debtors are expected to
get an idea payment with the assets they have will be able to pay and pay off
the debts they have. Each party should make an agreement regarding the
guarantee for the debtor's receivables in advance specifically with the
guarantor. If the debtor defaults, hoped that there will be no conflict for the
parties receivables agreement simply because the debtor will not understand his
rights and obligations and the provisions credit agreements with third parties
that apply Indonesia so far require improvement.
Keywords: Borg; Debt;
Guarantee.
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial, yang
mana manusia tidak bisa hidup secara sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebagai
makhluk sosial manusia dalam kehidupannya pun tidak luput dari yang namanya
perjanjian utang piutang, baik dalam jumlah kecil maupun dalan jumlah yang besar.
Piutang dengan jumlah yang besar biasanya dilakukan oleh masyarakat guna
memperoleh pinjaman sebagai modal usaha, dimana Bank sebagai lembaga keuangan
memfasilitasi hal ini (Cok Istri Ratih
Dwiyanti Pemayun dan Komang Pradnyana Sudibya, 2019).
Suatu perjanjian utang piutang pastinya
memerlukan suatu jaminan. Keharusan adanya jaminan ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menjelaskan bahwa
�keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah Debitor (Undang-Undang No 10 Tahun 1998., 1998).� Kalimat tersebut mencerminkan prinsip 5C
yang wajib dipenuhi oleh calon Debitor. Perjanjian utang piutang tidak hanya dapat
dilakukan dengan lembaga perbankan saja melainkan dapat pula dilakukan dengan
siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk itu, melalui perjanjian utang piutang
antara pemberi pinjaman di satu pihak dan penerima pinjaman di lain pihak.
Kegiatan pinjam meminjam uang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
saat ini (Rico, 2010).
Kebutuhan dana yang terus meningkat seiring perkembangan zaman menuntut masyarakat memperoleh dana secara mudah dengan waktu yang cepat. Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi dalam masyarakat dapat diperhatikan bahwa pada umumnya sering dipersyaratkan adanya jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) atau berupa janji penanggungan utang. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan (Muhammad Bahsan, 2002).
Kegiatan pinjam meminjam uang dengan
jaminan kebendaan salah satunya
yaitu menjadikan tanah pertanian sebagai
objek jaminan yang banyak dijumpai di wilayah pedesaan (Tanta Agisya Poetra, 2013).
Tidak sedikit masyarakat yang
mengadakan perjanjian utang piutang dengan menjaminkan tanah atau menjaminkan
hasil panen dari kebun atau lahan yang dimiliki dalam
bentuk jaminan gadai. Sehingga
secara jelas, objek jaminan nantinya akan dikuasai oleh pihak berpiutang selama
pihak berutang belum mampu memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya. Hal ini
sebenarnya membuat pihak berpiutang berada dalam posisi yang dirugikan, karena
selama pihak berutang belum mampu memenuhi kewajibannya, benda jaminan dalam
hal ini misalnya berupa tanah pertanian maka dalam penguasaannya masih tetap
berada di tangan pihak berpiutang dan pemanfaatan tanah serta hasil panen pun
dikuasai sepenuhnya oleh pihak berpiutang (Tanta Agisya
Poetra, 2013).
Semakin lama pihak berutang belum mampu
melunasi utangnya, maka hasil panen yang diperoleh dari objek jaminan akan
semakin banyak. Bahkan terkadang melebihi jumlah nilai utangnya. Untuk jumlah
piutang yang cukup besar, debitur menambahkan pihak ketiga dalam perjanjian
hutang piutangnya. Pihak ketiga atu disebut penjamin utang piutangnya jika
terjadi hal yang diinginkan terhadap debitur saat perjanjian utang piutang
masih berjalan. Namun dengan adanya penjamin sebagai pihak ketiga dalam sebuah
perjanjian utang piutang maka semakin meningkatkan kemungkinan debitur menjadi
kurang bertanggung jawab terhadap perjanjian utang piutangnya. Dalam praktik
perbankan, sering diminta untuk menyerahkan jaminan tambahan karena suatu
alasan tertentu, selain jaminan yang bersifat kebendaan meminta jaminan
perorangan sebagai penjamin. Penjamin dalam perjanjian penanggungan hutang
ditentukan Pasal 1820 KUHPerdata dimaksudkan guna menjamin pelunasan hutang
debitur ketika debitur wanprestasi (Subekti &
Tjitrosudibio, 1995).
.
Metode Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang berfokus pada norma-norma
hukum yang berlaku dan pengkajian norma-norma hukum tersebut dilakukan dengan
cara meneliti data sekunder
sebagai data utama, sedangkan data primer sebagai penunjang. Penelitian hukum
normatif ini dilihat dari beberapa aspek, seperti aspek teori, filosifi,
perbandingan, penelasan umum, komposisi, dan lain sebagainya.
Hasil dan Pembahasan
Kegiatan utang piutang dengan jaminan penguasaan tanah
pertanian merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan masyarakat,
kebutuhan dana yang terus meningkat seiring perkembangan zaman menuntut
masyarakat mencari dana pinjaman. Setelah dilakukan penelitian, peneliti menemukan
bagaimana sistematika utang piutang yang menggunakan jaminan sebagai berikut:
1)
Sistematika Utang Piutang Menggunakan Jaminan
Sulitnya perekonomian dikala
pandemi ini menjadi salah satu penyebab masyarakat diterpa devisit keuangan (Veranika, 2015). Adanya kebutuhan ekonomi
yang tidak pernah berhenti maka utang-piutang dijadikan sebagai jalan pintas
yang mudah dan strategis untuk mempertahankan hidup. Utang piutang dianggap
menjadi jalan yang mudah karena didalamnya mengandung unsur tolong-menolong
sebagai makhluk sosial (Poetra, 2013)
Dikatakan strategis, karena
dengan melakukan perjanjian utang-piutang, justru akan menjadi peluang dalam
pengembangan harta kekayaan. Utang piutang tidak dilakukan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup, ingin memperluas atau menambah modal usahanya. Sehingga, dalam
perjanjian utang piutang� ini diperlukan
kesepakatan tertulis dan juga jaminan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan (Poetra, 2013).
Adanya perjanjian utang piutang
dengan sistem jaminan atau gadai. Awalnya lahir dikarenakan adanya perjanjian
utang piutang yang terjadi diantara dua pihak agar para pihak yang terlibat
saling mempercayai satu sama lain (M. Bahsan, 2007). Utang piutang dengan adanya
jaminan memiliki aturan bahwa nantinya barang yang dijaminkan dapat dijual
untuk menutupi utangnya atau menjadi hak milik dari peminjam apabila orang yang
meminjam tidak dapat mengembalikan utangnya. Namun jika ternyata setelah barang
jaminan dijual, dan diberikan terhadap peminjam namun tidak atau belum menutupi
hutang yang dipinjam maka selanjutnya hutang adalah kewajiban dari penanggung
jawab hutang dari pengutang untuk melunasinya (Frieda Husni Hasbullah, 2005).
Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian Gadai
adalah �Suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak
yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitur atau
orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang dan yang memberikan
kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut
lebih dahulu daripada kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu,
biaya-biaya mana harus didahulukan�. Dalam melakukan gadai merupakan perjanjian
yang pada dasarnya adalah kesepakatan perjanjian dari antara kedua belah pihak.
Dari rumusan Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa para pihak
yang terlibat dalam perjanjian gadai ada 2 (dua), yaitu pihak yang memberikan
jaminan gadai, disebut pemberi gadai, sedangkan pihak lain yang menerima
jaminan disebut penerima gadai (Satrio, 1993).
Dalam sistem utang piutang
menggunakan jaminan ini, adanya transaksi perjanjian yang dilakukan tidak
diawali dari jumlah utang-piutang atau jumlah uang yang dibutuhkan oleh sang
peminjam, melainkan dilihat terlebih dahulu barang jaminan apa yang peminjam
ajukan sebagai sebuah taksiran untuk menetapkan berapa besaran utang yang dapat
diberikan. Utang piutang dengan menggunakan jaminan ini diatur
oleh aturan perundang-undangan. Salah satunya
adalah KUH Perdata Pasal
1150 yang menyatakan bahwa utang
piutang dengan menggunakan jaminan adalah suatu
hak yang diperoleh kreditur atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya,
sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan
mendahalui kreditur-kreditur
lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan
mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan
barang itu, dikeluarkan (Satrio, 1993).
2)
Jenis
perjanjian utang piutang dengan menggunakan jaminan:
Kata �jaminan� dalam peraturan perundang-undangan dapat
dijumpai pada Pasal 1131 KUH Perdata dan penjelasan Pasal 8 UU Perbankan, namun
dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
jaminan. Meskipun demikian dari kedua ketentuan di atas dapat diketahui, bahwa
jaminan erat hubungannya dengan masalah utang. Biasanya dalam perjanjian
pijam-meminjam uang, pihak kreditur meminta kepada debitur agar menyediakan
jaminan berupa sejumlah harta kekayaannya untuk kepentingan pelunasan utang
apabila setelah jangka waktu yang di perjanjikan ternyata debitur tidak
melunasinya (Supramono, 2009).
��������� Sesuai
dengan tujuannya, barang jaminan bukan untuk di miliki kreditur karena
perjanjian utang piutang bukan perjanjian jual beli yang mengakibatkan
perpindahan hak milik atas barang. Barang jaminan dipergunakan untuk melunasi
utang, dengan cara yang ditetapkan oleh peraturan yang berlaku, yaitu barang
dijual secara lelang. Hasilnya di gunakan untuk melunasi utang debitur dan
apabila masih ada sisanya di kembalikan kepada debitur (Supramono, 2009).
��������� Barang
jaminan pada prinsipnya harus milik debitur, tetapi undang-undang juga
memperbolehkan barang milik pihak ketiga di pergunakan sebagai jaminan, asalkan
pihak yang bersangkutan merelakan barangnya dipergunakan sebagai jaminan utang
debitur (Supramono, 2009).
��������� Untuk
dapat mengetahui tentang macam-macam jaminan utang maka harus di ketahui lebih
dahulu tentang sumber hukumnya. Ada dua sumber hukum, yaitu hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis. Untuk sumber hukum tertulis, negara kita masih memakai
KUH Perdata dan peraturan undang-undang lainnya. Sedangkan sumber hukum tidak
tertulis berupa hukum kebiasaan sekarang sudah ditinggalkan. Dari sejumlah
peraturannya di dalam KUH Perdata dapat di simpulkan terdapat dua macam
jaminan, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus (Supramono, 2009).
a.
Jaminan umum
Untuk jaminan umum diatur dalam
pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan �segala barang-barang yang bergerak dan
tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi
jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.� Objek yang dapat
menjadi jaminan utang dapat berupa apa saja, baik yang ada sekarang maupun yang
akan ada di kemudian hari. Kreditur dan debitur cukup bersifat pasif, tidak
perlu ada komunikasi secara langsung untuk membuat perjanjian jaminan (Supramono, 2009).
Jadi didalam jamian umum ini, semua
barang-barang milik debitur secara otomatis merupakan jaminan bagi para
kreditur tanpa memandang siapa yang lebih dahulu membuat perjanjian pokoknya
(utang piutang). Semua kreditur mempunyai hak yang sama terhadap objek jaminan,
namun mengenai pembayaran utang tidak dapat dibagi rata dari hasil penjualan
barang tersebut. Untuk pembayaran utang yang dimaksud dengan cara mengikuti
ketentuan Pasal 1132 KHU Perdata, yaitu hasil penjualan barang-barang jaminan
dibagikan kepada para kreditur menurut keseimbangan, dengan memperhitungkan
besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali di antara para kreditur
ada yang mempunyai hak untuk didahulukan (Supramono, 2009)
b.
Jaminan khusus
Jaminan khusus yang diatur di dalam
KUH Perdata dari segi objeknya dapat berupa barang maupun orang. Untuk jaminan
berupa barang, debitur menyediakan barang-barang tertentu yang kemudian dibuat
perjanjian jaminannya. Apabila debitur wanprestasi, barang jaminan dijual untuk
pembayaran utangnya. Sedangkan jaminan orang (borgtocht), sebagai orang
yang menanggung utang orang lain, dengan cara apabila debitur wanprestasi maka
barang-barang si penjamin utang bersedia dijual untuk melunasi utang debitur
tersebut. Dalam KUH Perdata untuk barang bergerak dibebani dengan gadai,
sedangkan untuk barang tidak bergerak di bebani dengan hipotek. Gadai diatur dalam Pasal 1150-1161 KUH Perdata, peraturan
gadai masih tetap seperti itu, karena belum ada peraturan yang baru (Subekti &
Tjitrosudibio, 1995).
��������� Berlakunya
perjanjian jaminan selalu bergantung dengan perjanjian pokoknya. Apabila
perjanjian pokoknya selesai maka perjanjian jaminannya juga ikut selesai, sebab
tidak mungkin ada orang bersedia menjamin sebuah utang kalau utang itu sendiri
tidak ada wujudnya. Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana diatur oleh
ketentuanketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut: (Subekti, 1995)
1)
Kedudukan harta para pihak penjamin
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak
pemijam, yaitu bahwa harta pihak penjamin adalah sepenuhnya merupakan jaminan
(tanggungan) atas hutangnya. Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua
harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka nada dikemudian hari merupakan
jaminan atas perikatan utang pihak peminjam (Subekti, 1995).
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan
pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang
berutang (pihak penjamin) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal
1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang
pihak penjamin dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih
akan dimilikinya dikemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk
menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di
kemudian hari (Subekti, 1995).
2)
Kedudukan pihak pemberi jaminan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH
Perdata dapat di simpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat di
bedakan atas dua golongan yaitu, yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai
dengan piutang masing-masing dan yang mempunyai kedudukan di dahulukan dari
pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan
(Subekti, 1995).
Mengenai alasan yang sah untuk di
dahulukan sebagaimana yang tercantum pada bagian akhir ketentuan Pasal 1132 KUH
Perdata. Pihak pemberi pinjaman di larang memperjanjikan akan memiliki objek
jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang
demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH Perdata tentang gadai, Pasal 1178 KUH
Perdata tentang hipotek. Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya yaitu pada Pasal 12 UU Hak Tanggungan dan
Pasal 33 UU Jaminan Fidusia (Subekti, 1995).
3) Wanprestasi dalam perjanjian utang piutang dengan menggunakan
jaminan:
Bentuk wanprestasi itu
adalah tidak melakukan prestasi sama sekali, melaksanakan prestasi tetapi hanya
sebagian, melaksanakan prestasi tetapi terlambat, melaksanakan prestasi namun
tidak sebagaimana mestinya. Wanpresatasi dapat terjadi dengan dua cara, yaitu
sebagai berikut: 1) Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak
menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau
perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang
wanprestasinya debitur, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut
tentang kelalaiannya atau wanprestasinya. 2) Sesuai dengan perjanjian, yaitu
jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan
debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah wanprestasi (Fuadi, 2001).
Lelang yang dilakukan
karena debitur telah melakukan wanprestasi, yaitu setelah jatuh tempo tidak
membayar hutang-hutangnya, atau dicicil, atau tidak juga memperpanjang
kreditnya. Masalah lelang diatur dalam pasal 1154 dan pasal 1155 KUHPerdata (Fuadi, 2001). Kenyataanya di lapangan pemberitahuan lelang ada juga
yang tidak terealisasi, seperti halnya tidak adanya pemberitahuan melalui media
informasi, hal ini tentunya juga akan mengurangi para pembeli untuk ikut serta
dalam pelaksanaan lelang yang dilakukan.
4) Adanya Penjamin dalam Perjanjian Utang Piutang Menggunakan Jaminan
Pada dasarnya subjek-subjek
dalam perjanjian terdiri dari pihak kreditur dan debitur. Pihak kreditur berhak
atas pemenuhan prestasi sedangkan debitur berkewajiban memenuhi tuntutan
prestasi kreditur. Dengan demikian, pihak kreditur sangat menghendaki agar
perjanjian dapat dipenuhi secara sempurna dengan sukarela sesuai dengan isi
perjanjian yang dimaksud oleh para pihak. Namun kehendak kreditur tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya seperti yang dikehendaki oleh setiap kreditur
sebab kelalaian debitur yang tidak memenuhi kewajibannya untuk berprestasi
adalah kesalahan debitur. Terhadap keadaan dimana seorang debitur tidak dapat
memenuhi prestasi kepada kreditur karena kesalahan debitur disebut dengan
wanprestasi. Sedangkan debitur yang tidak memenuhi kewajiban bukan karena
kesalahannya, melainkan karena keadaan yang memaksa sehingga debitur tidak
berprestasi disebut dengan overmatch (keadaan memaksa) (Badrulzaman, 2012).
Dalam pasal 1243 KUHPerdata,
yang mengatakan: �Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu yang telah telampaui.� Jadi,
maksud �Berada dalam keadaan lalai� ialah peringatan atau pernyataan dari
kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi (Subekti, 1995).
Adapun kewajiban-kewajiban
yang dimaksud sesuai dengan ketentuan pasal 1c Undang-Undang pokok Perbankan,
dimana kewajiban melunasi piutang setelah jangka waktu tertentu dengan Bunga
yang ditetapkan adalah kewajiban pokok penerima kredit yang ditentukan lagi
secara terperinci dalam model-model perjanjian kredit (Hariwijaya et al., 2020). Oleh karena itu, apabila
debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya dalam mengembalikan kredit sesuai
dengan perjanjian atau sama sekali tidak memenuhi kewajiban, maka debitur
dinyatakan wanprestasi. Dengan wanprestasinya debitur, maka pihak kreditur
dihadapkan pada kemungkinan akan mengalami kerugian. Logisnya adanya ketentuan
pokok pasal 24 Undang-undang Pokok Perbankan yang melarang adanya pemberian
kredit tanpa jaminan. Bagi debitur wanprestasi bukan berarti tidak memiliki
kekayaan atau tidak mampu membayar juga kemungkinan karena itikad buruk, dimana
debitur tidak mau melakukan prestasi (Hariwijaya et al., 2020).
Dalam hal debitur wanprestasi
kreditur tidak mesti menuntut penjamin terlebih dahulu. Untuk memenuhi hutang
debitur, kreditur akan menjual barang-barang jaminan debitur. Apabila hasil
penjualan tersebut mencukupi untuk pelunasan hutang-hutang debitur, tanggung
jawab penjamin dihapus. Sedangkan bila dari hasil penjualan barang jaminan
belum mencukupi, maka terhadap sisa hutang debitur barulah kreditur akan
menuntut penjamin. Pada dasarnya perjanjian penanggungan bahwa kreditur
mengikat seorang penjamin untuk pemenuhan pembayaran serupa sejumlah uang (S. S. M. Sofwan, 1981).
Seorang penjamin harus
memenuhi syarat-syarat seperti tercantum pada pasal 1827 KUHPerdata, yang
berbunyi: �Si berhutang yang diwajibkan memberikan seorang penanggung, harus
memajukan seorang yang mempunyai kecapakan untuk mengikat dirinya, yang cukup
mampu untuk memenuhi perikatannya, dan yang berdiam di wilayah Indonesia�
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, untuk lebih meyakinkan kreditur akan
keamanan pengembalian perjanjian yang diberikan kepada debitur, diperlukan
keterikatan pihak ketiga sebagai pengganti kedudukan debitur yang menjamin
pengembalian pinjaman apabila debitur wanprestasi. Secara yuridis sekalipun
tanggung jawab penjamin adalah subsidair, penjamin dapat digugat berdasarkan
pada perjanjian yang telah disepakati untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya
(S. S. M. Sofwan, 1981).
Menurut pasal 1825 KUH Perdata
menyebutkan bahwa: �Penanggungan yang tidak terbatas untuk suatu perikatan
pokok, meliputi segala akibat hutangnya, bahkan terhitung biaya-biaya gugatan
yang dimajukan terjadap si berhutang utama, dan terhitung pula segala biaya
yang dikeluarkan setelah si penanggung hutang diperingatkan hal itu.� Dengan
demikian apabila penjamin tidak terbatas, hanya ada perjanjian pokok, berarti
tanggung jawab penjamin akan meliputi segala kewajiban debitur termasuk segala
kewajiban yang timbul akibat melekat pada perjanjian pokok, yaitu �Perjanjian
antara kreditur dengan debitur.� (Subekti, 1995)� Namun di dalam akta perjanjian penanggung
tidak secara tegas dicantumkan tentang beberapa bagian tanggung jawab yang
mesti ditanggung oleh penjamin. Dengan demikian, penjamin dianggap bertanggung
jawab atas keseluruhan dari hutang pokok yang meliputi segala akibat hutang
debitur termasuk biaya-biaya penuntutan, bunga dan kerugian-kerugian yang di
timbulkan olehnya (pasal 1825 KUH Perdata). Sehubungan dengan keperluan akan
adanya hukum jaminan bagi masyarakat yang kebutuhannya semakin luas, maka sudah
selayaknya untuk membentuk suatu hukum jaminan yang bersifat Nasional. Di dalam
pasal 1131 KUHPerdata menerangkan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada, di kemudian hari akan menjadi tanggungan untuk segala perikatan pihak
ketiga. Meskipun telah ditentukan demikian, jaminan secara umum ini sering
dirasakan kurang cukup dan kurang aman oleh pihak kreditur karena kekayaan atau
harta benda debitur pada suatu waktu bisa musnah dan habis (Subekti, 1995).
Sehubungan dengan adanya
kemungkinan tidak cukupnya jaminan debitur tersebut, maka sering kali seorang
kreditur meminta kepada debiturnya berupa jaminan khusus. Jaminan khusus ini
dapat berupa jaminan kebendaan atau jaminan perorangan. Yang dimaksud dengan
jaminan penanggungan yaitu adanya pihak ketiga yang menjamin hutang orang lain
dan pasti akan dibayar pada waktu yang telah ditentukan. Jaminan perorangan
menurut pasal 1820 KUHPerdata, dijelaskan bahwa penanggungan adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang,
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, manakala orang ini
sendiri tidak memenuhinya (Subekti, 1995).
5) Jaminan
Jaminan yang baik adalah: a)
Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan.
b) Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan kreditur untuk meneruskan usahanya.
c) Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa jaminan
setiap waktu tersedia untuk di eksekusi (Subekti, 1991). Jaminan sendiri merupakan sesuatu yang
diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu hutang-piutang
dalam masyarakat (HS, 2006). Selain itu, jaminan adalah
sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa
debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari
suatu perikatan (Poestoko, 2006).
6) Tanggung Jawab
Penanggung Ketika Debitur Melakukan Wanprestasi
Penjaminan biasanya dilakukan
dengan sepengetahuan debitur, karena perjanjian sebagai penjamin didasarkan
pada rasa sukarela dari penjamin untuk menjamin kelancaran pelaksanaan
kewajiban dari debitur. Adanya jaminan membuat penjamin secara hukum
berkewajiban menyediakan kekayaan untuk sekarang maupun yang akan datang guna
untuk menjamin utang debitur, jika debitur melakukan wanprestasi (Poetra, 2013).
Artinya pemenuhan pelunasan
utang oleh penjamin apabila debitur melakukan wanprestasi dalam pemenuhan prestasinya.
Namun, apabila debitur telah memenuhi kewajibannya membayar utang, maka seorang
penjamin tidak perlu memenuhi kewajibannya sebagai penjamin sesuai pasal 1826
KUH Perdata. Kewajiban penjamin juga dapat muncul jika debitur tidak dapat
memenuhi kewajibannya membayar sisa utangnya dikarenakan sakit parah atau cacat
fisik maupun mental yang mengakibat keadaan perekonomian debitur tidak
memungkinkan lagi untuk membayar sisa utangnya. Dalam keadaan ini penjamin akan
berperan sebagai subsider atau pengganti dari kedudukan debitur untuk melunasi
utangnya. Dengan berkedudukan sebagai subside penjamin boleh memohonkan untuk
mengadakan restrukturisasi terhadap perjanjian kredit sebelumnya agar penjamin
dapat menentukan anggaran untuk melaksanakan kewajibannya dalam melunasi utang
debitur (Cok Istri Ratih Dwiyanti Pemayun dan Komang Pradnyana Sudibya, 2019).
�
7) Perlindungan Hukum
Bagi Penjamin dalam Perjanjian Hutang Piutang Menggunakan Jaminan
�������������� Ketika melakukan transaksi utang piutang, yang
menggunakan penjamin sebagai pihak ketiga maka akan terdapat akta notariil.
Akta yang terdapat didalam perjanjian penanggungan ini berisi dan merumuskan
sesuatu yang tentunya harus disamakan dengan berbagai formulir dan data yang
dipakai secara sah dalam perjanjian tersebut. Sehingga, hal ini memberikan bentuk baku yang sah dan tidak
terpatahkan dari isi dan rumusan perjanjian
penanggungan. Keuntungannya adalah penjamin hanya akan diperbolehkan memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan persetujuan saja (Hartono, 1984). Secara yuridis penjamin nantinya akan kehilangan hak untuk melakukan negosiasi
(asas kebebasan berkontrak) dan ikut serta untuk merumuskan isi atau rumusan perjanjian penanggungan yang dilakukan pada
transaksi utang piutang tersebut (N. S. S. M. Sofwan & Kehakiman, 1980).
�������������� Namun meskipun demikian, dikarenakan jika terdapat
adanya keterbatasan calon penjamin maka kreditur dapat memilih untuk
mengucurkan kredit dengan catatan dan syarat yang berlaku dari masing-masing
kreditur. Dengan begitu, calon-calon penjamin tidak akan mempermasalahkan
perjanjian atau isi dari utang piutangnya tersebut. Adapun hak-hak penjamin
dalam perjanjian utang-piutang adalah sebagai berikut: (IDAYARTI, 2015)
a
Penjamin diberikan hak untuk meminta agar sang Debitur ditagih
terlebih dahulu (pasal 1831 � 1832 KUH Perdata)
b
Penjamin juga diberikan hak untuk meminta atau memilih jalur hukum
dalam pemecahan hutang, misalnya dengan penjadwalan ulang atau jalur lainnya
(Pasal 1837 KUHPerdata)
c
Penjamin memiliki hak untuk melakukan penagihan langsung kepada
debitur terhadap hutang-hutang yang dimiliki oleh debitur dan ditanggungkan
atau dijaminkan kepadanya (Pasal 1847 KUHPerdata)
d
Penjamin akan dimintai kerelaannya untuk melepaskan berbagai hak
dan kewajiban yang dimiliki olehnya (Pasal 1848 KUHPerdata).
�������������� Dengan melakukan pembayaran dalam rangka pemberian
jaminan, maka penjamin dalam posisinya terhadap debitur yaitu menggantikan
kedudukan kreditur sebelumnya. Pasal 1948 KUHPerdata menyatakan apabila karena
kesalahan kreditur, seorang penjamin dirugikan sehingga ia tidak bisa
melaksanakan hak subrogasinya terhadap debitur, maka ia dilepaskan dari
kedudukannya sebagai penjamin. Hal ini biasanya terjadi jika pemberian kredit
oleh kreditur kepada debitur sebelumnya, selain dijamin dengan jaminan pribadi
oleh penjamin, juga dijamin dengan hak tanggungan atas barang tidak bergerak
milik debitur sendiri (Yani & Widjaja, 2002).
�������������� Sebelum kreditur melaksanakan haknya untuk menuntut
pelunasan piutangnya kepada debitur dengan cara menjual melalui lelang eksekusi
barang tidak bergerak yang dijaminkan oleh debitur, kreditur harus
memberitahukan hal itu terlebih dahulu pada penjamin. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah penjamin menderita kerugian dalam melunasi hutang debitur kepada
kreditur apabila perolehan lelang eksekusi atas barang tidak mencukupi untuk
melunasi seluruh hutang debitur (Ady Artama Putra, n.d.).
�������������� Kreditur harus memberitahukan Penjamin tentang
rencananya untuk melakukan lelang eksekusi atas barang milik debitur, maka
penjamin bisa melakukan upaya-upaya untuk mencari pembeli agar hasil lelang
eksekusi dapat melunasi seluruh hutang debitur pada krediturnya (khususnya
apabila dengan bertambahnya bunga dan denda hutang).
�������������� Terdapat dua cara pokok untuk memperkuat posisi
kreditur, yakni pemberian perjanjian penjaminan oleh pihak ketiga, diantaranya
sebagai berikut: (Ady Artama Putra, n.d.)
a
Kreditur dengan debitur yang menimbulkan perjanjian pokok, dan
b
Perjanjian pemberian jaminan oleh pihak ketiga terhadap
krediturnya, yang menimbulkan perjanjian yang bersifat accesoir. Hal ini
menunjukkan bahwa sebuah perlindungan hukum yang komprehensif adalah suatu
kebutuhan yang mendesak.
�������������� Dalam prakteknya, sebagian kalangan masih sering
terjadi kesalahpahaman mengenai esensi yuridis dari Jaminan Penanggungan. Hal
ini terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap ketentuan yang berlaku,
khususnya bab-bab mengenai penjamin utang yang diatur dalam KUH Perdata.
Pemahaman yang salah ini tercermin dari adanya anggapan bahwa dengan jaminan
penanggungan dalam perjanjian kredit, maka kewajiban pemenuhan prestasi dari
pihak penjamin bersifat seketika tatkala pihak debitur yang dijamin melakukan
wanprestasi. Tentunya, kondisi yang sebenarnya tidaklah bersifat sedemikian
sederhana, namun harus melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Pasal
1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata bab ketujuh belas tentang Penanggungan
utang. Pasal-pasal tersebut menjadi dasar pengaturan dari mekanisme jaminan
penanggungan pada kegiatan pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankan (Ady Artama Putra, n.d.).
�������������� Sutarno dalam bukunya menjelaskan bahwa penjamin ialah
cadangan artinya penjamin baru membayar hutang debitur jika debitur tidak
memiliki kemampuan lagi atau debitur sama sekali tidak mempunyai harta benda
yang dapat disita. Kalau pendapatan lelang sita atas harta benda debitur tidak
mencukupi untuk melunasi utangnya, barulah tiba gilirannya untuk menyita harta
benda penjamin. Tegasnya apabila seorang penjamin dituntut untuk membayar utang
debitur (yang ditanggung olehnya), ia berhak untuk menuntut supaya dilakukan
lelang sita lebih dahulu terhadap kekayaan debitur. Hak istimewa yang dimiliki seorang penjamin ini tercantum
dalam pasal 1831 KUHPerdata. Hak istimewa tersebut dipertegas pada Pasal 1834
KUHPerdata yaitu pihak penjamin dapat menuntut supaya harta benda debitur lebih
dahulu disita dan dilelang, dan membayar lebih dahulu biaya yang diperlukan
untuk melaksanakan penyitaan serta pelalangan tersebut (Sutarno, 2009).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat
hukum yang timbul dari perjanjian kredit yang melibatkan pihak ketiga sebagai
penjamin, yaitu: pertama, seorang debitur dapat dituntut oleh penjamin yang
telah membayar hutangnya kreditur. Penjaminan itu bisa terjadi dengan
sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur itu sendiri. Kedua, penjamin
mempunyai hak menuntut biaya ganti rugi dan bunga. Ketiga, pihak kreditur dan
pihak penjamin harus memperhatikan hak-hak dan kewajiban tertentu dalam
melakukan perjanjian hutang piutang. Terakhir, penjamin atau pihak ketiga
diberikan hak untuk membagi hutangnya, yaitu pada waktu digugat untuk
pemenuhan, dapat menuntut bagian-bagian yang menjadi tanggung jawab dari pihak
mereka sebagai penjamin.
BIBLIOGRAFI
Ady Artama Putra. (n.d.). Perlindungan Hukum Bagi
Penjamin Dalam Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) Di PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Jurnal Kenotariatan, Universitas Brawijaya.
Badrulzaman, M. . (2012). Kompilasi Hukum Perikatan. 2012.
Bahsan, M. (2007). Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Bahsan, Muhammad. (2002). Penilaian
Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Rejeki Agung.
Cok Istri Ratih Dwiyanti
Pemayun dan Komang Pradnyana Sudibya. (2019). Tanggung Jawab Penjamin
Terhadap Debitur Yang Tidak Dapat Memenuhi Prestasi Kepada Kreditur, 2019. media.neliti.com.
Frieda Husni Hasbullah.
(2005). Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberikan Jaminan (jilid 2),
Jakarta: Indo Hill-Co, 2005.
Fuadi, M. (2001). Hukum
kontrak:(dari sudut pandang hukum bisnis).
Hariwijaya, I. G. N. B. D.,
Budiartha, I. N. P., & Widia, I. K. (2020). Perjanjian Kredit Bank dengan
Jaminan Borgtocht (Perorangan). Jurnal Konstruksi Hukum, 1(2),
340�345.
Hartono, H. (1984).
Pokok-pokok hukum perikatan dan hukum jaminan. Yogyakarta: Liberty.
HS, H. S. (2006). Perkembangan
Hukum Jaminan di Indonesia.
Idayarti, I. (2015). Kedudukan
Penjamin (Borg) Dalam Perjanjian Jaminan Perorangan (Borgtoch) di Tinjau Dari
Kuh Perdata. Universitas Mataram.
Poestoko, H. (2006). Parate Executive Objek Hak Tanggungan. Universitas
Airlangga. 2006.
Poetra, T. A. (2013). Keduddukan Hukum Penjamin (Personal Guarantee)
dengan pembenanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas
(Studi Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby). 2013. Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Jember.
Rico. (2010). Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kredit
dengan Jaminan Hak Atas Tanah Tidak Bersertifikat pada PT. Permodalan Nasional
Madani (Persero) di Pekanbaru Tahun 2009, Tesis, Universitas Islam Riau, 2010,
hlm. 13.
Satrio, J. (1993). Parate Eksekusi Sebagai Sarana Menghadapi Kredit
Macet. Citra Aditya Bakti.
Sofwan, N. S. S. M., &
Kehakiman, B. P. H. N. D. (1980). Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan.
Sofwan, S. S. M. (1981). Hukum
Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum dan Jaminan Perseorangan. 1981.
Subekti, R. (1991). Jaminan
Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. PT. Aditya Bakti, Bandung.
Subekti, R. (1995). Aneka
Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Subekti, R., &
Tjitrosudibio, R. (1995). Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
71.
Supramono, G. (2009). Perbankan
dan masalah kredit: suatu tinjauan bidang yuridis. Rineka Cipta.
Sutarno. (2009). Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta,
2009, halaman 239.
Tanta Agisya Poetra. (2013). Keduddukan Hukum Penjamin (Personal
Guarantee) dengan pembenanan Hak Tanggungan dan Akibat Hukum Kepailitan
Perseroan Terbatas (Studi Pengadilan Niaga No. 31/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby). 2013. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jember.
Undang-Undang No 10
Tahun 1998., (1998) (testimony of
Undang- Undang).
Veranika, M. (2015). Kedudukan
Hukum Penjamin Terhadap Kedudukan Penjamin Perorangan (Personal Gurantor) dalam
Hal Debitur Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Utang. 2015, Jurnal Repertorium.
Yani, A., & Widjaja, G.
(2002). Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Copyright holder: Khalid (2023) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |