Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
5, Mei 2023
PERANAN ATTARALU DALAM SISTEM PERNIKAHAN MASYARAKAT DESA BONTOLEMPANGAN KECAMATAN BUKIT KABUPATEN
KEPULAUAN SELAYAR
Yuliana, Ramli, Radjab Mansur
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Desa
Bontolempangan Kecamatan Buki Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai desa
adat� memiliki� sistem pernikahan yang sampai sekarang di era
globalisasi masih tetap eksis yaitu adat attaralu. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis fungsi adat attaralu di Desa Bontolempangan Kecamatan
Bukit Kabupaten Kepulauan Selayar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
melalui pendekatan studi kasus dengan analisis deskriptif diantaranya melakukan
pengumpulan data penyajian, display data dan penarikan kesimpulan. Pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi ,wawancara, dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adat attaralu hanya hanya dilaksanakan
oleh masyarakat yang memiliki garis keturunan bangsawan hal ini menunjukkan
bahwa adat attralu berfungsi memberikan gambaran adanya pelapisan sosial di
dalam masyarakat desa bontolempangan kecamatan bukit kabupaten kepulauan
Selayar.
Kata Kunci: adat attaralu; fungsi
Abstract
Bontolemngan Village, Buki District, Selayar Islands
Regency as a traditional village has a marriage system which until now in the
era of globalization still exists, namely the attaralu custom. The purpose of
this research is to analyze the function of adat attaralu in Bontolemngan Village,
Bukit District, Selayar Islands Regency. This study uses qualitative methods
through a case study approach with descriptive analysis including collecting
presentation data, displaying data and drawing conclusions. Data collection was
carried out using observation techniques, interviews, and documentation. The
results of this study indicate that the attaralu custom is only carried out by
people who have a noble bloodline.
Keywords:
custom attaralu; function
Pendahuluan
Di era globalisasi tentunya memiliki tantangan tersendiri
bagi pemilik budaya atau adat istiadat untuk mampu mempertahankan peranan
budaya tersebut. Di Indonesia masih banyak yang mampu mempertahankan dan
melestarikan kebudayaannya sampai sekarang, namun tidak dapat dihindari bahwa
ada sebagian daerah di Indonesia yang sudah tidak mampu mempertahankan atau
melestarikan adat yang mereka punya. Di era globalisasi tentunya memiliki
tantangan tersendiri bagi pemilik budaya atau adat istiadat untuk mampu mempertahankan
perananbudaya tersebut. Di Indonesia masih banyak� yang mampu mempertahankan dan melestarikan
kebudayaannya sampai sekarang, namun tidak dapat dihindari bahwa ada sebagian
daerah di Indonesia yang sudah tidak mampu mempertahankan atau melestarikan adat
dan budaya mereka.
Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Mengacu
pada defenisi kebudayaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa tidak ada
masyarakat yang tidak berbudaya, sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa
masyarakat sebagai wadah dan pendukung. Atas dasar pemikiran seperti itulah
sehingga dapat dipahami bahwa segala yang ada dalam suatu masyarakat, pada
prinsipnya sangat ditentukan oleh tradisi dan kebudayaan yang dimiliki oleh
pendukungnya. Edward menyebutkan ada 4 fungsi tradisi, yaitu: 1) menyediakan
fragmen warisan historis yang dipandang bermanfaat, 2) memberi legistimasi
terhadap pandangan hidup dan keyakinan, 3) menyediakan simbol identitas
kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa,
komunitas, dan kelompok, 4) membantu menyediakan keterpuasan dan kekecewaan
terhadap kehidupan moderen (Sri Alem Br Sembiring, dkk, 2012).
Salah satu fenomena yang menarik dan unik bagi masyarakat
Kepulauan Selayar terkhusus masyarakat Desa Bontolempangan yang memiliki komitmen
terhadap adat perkawinan, salah satu adat yang masih eksis sampai sekarang
adalah adat attaralu selain berpegang
teguh pada ajaran agama Islam mereka juga berpegang teguh terhadap pengetahuan
lokal yangsudah dianut secara turun-temurun. dalam adat pernikahan selayar, ada
rasa menjunjung tinggi adat-istiadat yang disebut dengan Siri� yang berarti
segala sesuatu yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat
selayar. Siri� adalah perasaan malu yang menyangkut martabat dan harga diri� (Ahmad, 2006). Masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar Selayar
sampai sekarang masih menjunjung adat istiadat (siri') dalam setiap kegitan bermasyarakat disana, termasuk dalam
adat kekerabatan berhubugan dengan pernikahan. Masyarakat Kabupaten Kepulauan
Selayar sebagai masyarakat yang mayoritas agamanya adalah Islam tentunya salah
satu upaya agar dua insan yang saling mencinta, laki-laki dan perempuan agar
bisa agar bisa hidup bersama tentunyamereka harus melalui ikatan pernikahan
berdasarkan ajaran Islam. Ketika Islam berinteraksi dengan beragam budaya
lokal, tentu terdapat kemungkinan, Islam mewarnai, mengubah, dan memperbaharui
budaya lokal, tetapi mungkin pola Islam yang kemudian diwarnai dengan berbagai
budaya lokal (Simuh, 2003).
Masyarakat kepulauan Selayar mengenal istilah Kappali' (pamali). Kappali' merupakan pantangan atau tindakan yang tidak boleh
dilakukan dan apabila dilakukan akan ada akibat yang tidak baik untuk pelanggar
atau masyarakat. attaralu ini hanya
di lakukan oleh masyarakat yang dianggap memiliki garis keturunan bangsawan.
meskipun masyarakat yang tinggal di Desa Bontolempangan Kecamatan Bukit
Kabupaten Kapulauan Selayar tetapi tidak memiliki darah bangsawan maka tidak
diwajibkan untuk melakukan rangkaian adat pernikan salah satu diantaranya
adalah attaralu. Kapalli' (pamali)
bagi mereka yang tidak memiliki darah keturuanan bagsawan tapi tetap
melaksanakan adat attaralu ini, Namun
seiring berkembagan zaman sebagian masyarakat sudah tidak peduli dengan"kapalli'" ini bahkan tidak jarang
masyarakat yang tidak memiliki keturuanan bangsawan sudah berani melaksanakan
rangkain adat pernikahan dan hal ini menurut warisan luluhur sudah melanggar
kemurnian dan kesakralan adat ini adat attaralu.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dasar �penelitian studi kasus. Studi kasus diartikan sebagai metode atau strategi dalam penelitian kualitatif untuk mengungkap kasus tertentu. Penelitian studi kasus pada dasarnya memusatkan perhatian pada satu objek tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk dikaji secara mendalam dan mendetail sehingga mampu membongkar realitas dibalik fenomena. Penelitian ini akan mengungkap Dan menjelaskan makna simbolis dalam proses adat attaralu di �Desa ���Bontolempangan Kecamatan Buki KabupatenKepulauan Selayar. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilakukan selama 2 bulan di Desa Bontolempangan Kecamatan Bukit Kabupaten Kepulauan Selayar pada bulan Januari sampai bulan februari 2023. Desa bontolempangan Kecamatan buki Kabupaten Kepulauan Selayar dipilih karena Desa ini adalah salah satu desa adat yang tetap melaksanakan adat attaralu dan peneliti memahami kondisi geografis dan watak-watk masyarakat Desa bontolempangan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus dengan tujuan untuk menganalisis makna-makna simbolis yang terkandung dalam adat attaralu di desa bontolempangan Kecamatan buki. Kabupaten Kepulauan Selayar.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menurut cara memperolehnya adalah data primer dan data sekunder. Maka menurut (Fernandes, 2016). Data Primer, adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, dan diskusi terfokus. Data Primer, adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, dan diskusi terfokus, data seperti ini bisa ditemukan dalam buku-buku, jurnal, dan referensi lain yang berkaitan dengan adat attaralu. Informan Dalam penelitian ini sebanyak 6 orang yang terdiri dari 1 kepala desa , 1 tokoh masyarakat, 1 ketua lembaga adat, �1 sandro dan 2 pengantin baru yang melakasankan adat attaralu.
Hasil dan Pembahasan
1. Gambaran Umum Masyarakat Desa Bontolempangan Kecamatan Buki
Kabupaten Kepulauan Selayar
Kepulauan
Selayar adalah sebuah Kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan yang
satu-satunya kabupaten yang terpisah dari daratan Sulawesi Selatan. Kabupaten
kepualaun selayar sejak abad ke 14 sudah menjadi rute perdangangan
rempah-rempah. Para pedangan singgah di pulau selayar untuk mengambil bekal
sambil menunggu cuaca bagus untuk berlayar. Selaian selayar pulau ini juga di
kenal dengan nama tana doang yang
artinya tanah ini tempat berdoa. Desa Bontalempangan Kecamatan Buki Kabupaten
Kepulauan Selayar memiliki luas 42 kilometer persegi. Rata-rata pekerjaan
masyarakat Desa Bontolompangan merupakan petani Adapun pekerjaan lain seperti
wiraswasta pencari ikan dan pegawai negeri. Desa Bontolempangan terdiri dari
empat dusun yaitu Dusun Tenro Selatan, Dusun Tenro, Dusun Tanabau ,Dusun
Tanabau Timur. Desa Bontolempangan memiliki rumah adat yang masyarakat desa
Bontolempangan menyebutnya sapo bakka (rumah
besar) yang memiliki arti yang sama dengan rumah adat Kabupaten Gowa ballak
lompoa yang memiliki makna rumah
agung gowa.
�Pendiri Desa Bontolempangan ini masih ada
keturunan dengan Sultan Hassadunddin jadi bahasa dan adat juga hampir mirip�
(wawancara dengan bapak abdul hakim, tanggal 18
januari 2023). Sebagai desa yang pernah dipimpin oleh sorang raja tentunya akan
meninggalkan ragam adat dan budaya yang sampai sekarang masih tetap bertahan
salah satu adat tersebut adalah adat dalam upacara pernikahan yaitu adat attaralu.
Adat attaralu hanya boleh dilaksankan oleh keturunan bangsawan. Pemimpin
desa terdahulu (beda dengan sekarang harus dengan pemilu) bukan dipilih
berdasarkan pemilihan umum,tetapi melihat garis keturunan jadi yang bisa
melaksankan adat attralu hanya masyarakat yang memiliki jabatan (dan keluarga
pejabat). Perbedaan yang ada mengambarkan bahwa di desa Bontolempangan
Kecamatan Buki Kabupaten Kepulauan Selayar ada pelapisan sosial. Pelapisan masyarakat Desa
Bontolempangan� Kecamatan Buki Kabupaten
Kepulauan Selayar terlihat dari sistem pemerintahan, misalnya Bakka (kepala desa sekarang) hanya bisa di jabat
oleh keturunan bakka itu sendiri.
beda dengan sekarang Desa adat ini sudah�
di interpensi dengan aturan UU dan aturan daerah sehingga sekarang
pempimpin desa di pilih berdasarkan suara terbanyak tentunya hal ini juga
mempengaruhi tatana pelapisan sosial sehingga sudah banyak masyarakat yang meskipun bukan keturunan bangsawan
sudah berani melakukan adat attarlu.
Masyarakat Desa Bontolempangan Kecamatan Buki
Kabupaten Kepulaun Selayar memiliki pekerjaan sebagai petani. Desa
Bontolempangan berada di daratan tinggi sehingga tanah cukup subur untuk
ditanami berbagai jenis sayur-sayuran. Selain sebagai petani pekerjaan yang
sering ditemukan di desa ini adalah buruh tani (pemanjat kelapa), buruh tani
juga memiliki pekerjaan sampingan seperti memanah ikan di malam hari. Pekerjaan
lain Desa Bontolempangan adalah sebagai pengawai negeri sipil dan pengawai
swasta.
2.
Adat Attaralu Mengambarkan Pelapisan sosial Masyarakat Desa Bontolempangan Kecamatan Buki
Kabupaten Kepulaun Selayar
Pelapisan
sosial Masyarakat Desa Bontolempangan Kecamatan Buki Kabupaten Kepulaun Selayar
dapat di lihat dari dua sistem kepemimpianan yaitu bidang pemerintah (ada�)
dan bidang agama (sara�).
a) Bidang pemerintahan (ada�)
Masyarakat
Desa Bontolempangan Kecamatan Buki Kabupaten Kepualaun Selayar pemimpin dalam
bidang pemerintahan menyebutnya sara�. dalam bidang pemerintahan� di bagi menjadi beberapa lapisan /urutan.
Lapisan-lapisan tersebut, yaitu:
a. �Bakka
Bakka adalah seorang pemimping desa paling
tinggi yang berkuasa kurang lebih di tahun 1666 sejajar dengan kemimpinan raja
gowa yang di kenal dengan nama sombangta ri gowa dan puta bangung yang
merupakan seorang pemimpin yang berada di Matalalang (bonto bangung) yang juga
sangat disengani di tahun tersebut baik di kabupaten kepualaun selayar dan
sulawesi selatan.� Ketiga kemimpinan ini
sudah ada sebelum Belanda menjajah. Di perkirakan sekitar tahun 1800an sebutan bakka
berubah menjadi gallarang hingga sekarang gallarang juga sudah
berubah menjadi kepala desa. Seorang bakka/gallarang (kepala desa
sekarang) untuk menjabat tidak perlu melakukan pemilihan umum. Bakka/gallarang
hanya bisa dijabat oleh garis keturunan dari pendiri kampung Tenro Desa
Bontolempangan Kecamatan Buki (Bakka Tenro Dg Lempangan).
b. Penggaha
Penggaha adalah bawahan dari bakka yang
mengurus atau memimpin sebagaian daerah kekuasaan bakka. Penggaha
di percaya olah bakka untuk mengurus daerah kekuasaannya. Penggaha
juga hanya di jabat oleh keturunan dari bakka itu sendiri. Sebagai
keturunan bakka tentunya penggaha memiliki watak yang tegas,
bijakasana dalam memimpin dan berkewajiban memiliki keturuan untuk melanjutkan tahta bakka
atau punggaha. Sekarang punggaha di kenal dengan kepala
lingkungan.
c. �Sariang
Sariang juga memiliki jabatan di daerah
kekuasaan bakka. Sariang adalah bawahan dari pengaha, jadi daerah
kekuasan sariang lebih kecil dari kekuasan pengaha. Otoritasnya
juga dalam memimpin juga sangat tegas, dan bijaksana. Di masa sekarang sariang
disebut sebagai RW atau RT.
d. Bidang agama (sara�)
Di
masa kepemimpinan bakka bidang keagamaan�
tidak di urus langsung oleh bakka.� Ada pemimpin tersendiri untuk urusan agama.
pemimpin agama� diyakini memiliki ilmu
kegamaan yang cukup untuk mengayomi masyarakat yang mayoritas masyarakat Desa
Bontolempangan adalah agama islam. Untuk urusan agama, kepemimpinan juga di
bagi menjadi lapisan, yaitu:
1) Katte
Adalah
pemimpin di desa Bontolempangan (bakka tenro dg lempangan) menjabat di bidang
agama. Katte dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu agama yang cukup untuk
mengayomi masyarakat, banyak mengetahui mengenai hukum-hukum agama dan memiliki
sikap bijaksana dalam mengatasi malasalah.
2) Imam lingkungan
Imam
lingkungan sama dengan Katte memimpin masyarakat hanya di bidang agama namun
daerah kekuasaan imam lingkungan lebih kecil dari katte.
3) Guru
Guru
adalah orang yng tidak memiliki jabatan dalam bidang pemerintahan dan bidang
agama tapi memiliki kebijaksanaan dan kewibawaan sehingga dalam memutuskan
suatu keputusan pemerintah di bidang agama maupun bidang pemerintah guru selalu
di minta pendapatnya, biasanya masyarakat desa bontolempangan menyebutnya to
toa na ri kampong.
Lapisan
sosial terakhir di dalam masyarakat desa Bontolempangan Kecamatan Buki
Kabupaten� Kepulaun Selayar� adalah rakyat biasa dan rakyat baik (tau
baji). Pimpinan dari bidang agama ,pemerintah dan keturunannya berhak untuk
melalukan adat pernikahan adat attaralu. Adat attaralu hanya bisa
dilaksanakan oleh keturunan dari bakka tenro dg lempangan.
Kesimpulan
Adat attaralu
yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Bontolempangan Kecamatan Buki Kabupaten Kepulau Selayar di era yang serba
moderen tentunya menghadapi tantangan. Anak muda yang kurang tertarik
mempelajari dan menggaling adat atau budaya sendiri adalah salah satu
tantangan. Adat attaralu yang berdasarkan sejarahnya hanya boleh di lakukan
oleh keturunan bakka tenro dg lempangan namun pada kenyataannya sekarang
sudah ada sebagain masyarakat yang bukan dari keturunan bakka melakukan adat
attaralu ini. Pelapisan sosial yang ada�
di desa Bontolempangan kecamatan buki kabupaten kepulauan selayar tidak
lantas membuat masyarakat bercerai berai justru perbedaa ini membentuk saling
menghargai satu sama lain.
Ahmad, Abdul Kadir. (2006). Sistem
perkawinan di Sulawesi selatan dan sulawesi barat. Makassar: Penerbit
Indobis.
Ahmadin. (2001). Modernisasi Dalam
Bidang Penangkapan Ikan (Studi Sejarah Sosial)Komunitas Nelayan di Kampung
Padang Kab.Selayar Makassar: Tesis PPs UNM.
Amran, Arfani Febriani. (2018). Tari
silonreng dalam acara attaralu di kecamatan benteng Kabupaten Kepulauan Selayar.
Makassar. UNM.
Arisandi, Herman. (2015). Buku Pintar
Pemikiran Tokoh-tokoh Sosiologi dari Klasik Sampai Modern: Biografi, Gagasan,
dan Pengaruh terhadap Dunia. IRCiSoD.
Berger, Peter L. (1990). Tafsir sosial
atas kenyataan: Risalah tentang sosiologi pengetahuan.
Binus. (2015). Teori Konstruksi Realitas
Sosial. Dipetik Juli 13, 2022, dari Humaniora Binus. Retrieved from
https//dkv.binus.ac.id/2015/05/18/teori- konstruksi-realitas-sosial
Carter, Michael J., & Fuller, Celene.
(2015). Symbolic interactionism. Sociopedia. Isa, 1(1), 1�17.
Creswell, John W., & Poth, Cheryl N.
(2016). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
approaches. Sage publications.
Derung, Teresia Noiman. (2017).
Interaksionisme Simbolik Dalam Kehidupan Bermasyarakat. SAPA-Jurnal
Kateketik Dan Pastoral, 2(1), 118�131.
Fadillah, Nor. (2017). Tradisi �Maantar
Jujuran�dalam Perkawinan Adat Banjar Perspektif Konstruksi Sosial. Malang:
UIN Maulana Malik Ibrahim.
Gunawan, Ary H. (2000). Sosiologi
pendidikan: Suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan.
Rineka cipta.
Hasymy, Ali. (1989). Sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia: kumpulan prasaran pada seminar di Aceh.
Almaʹarif.
Hodgson, Marshall G. S., & Kartanegara,
Mulyadhi. (2002). The Venture of Islam. Penerbit Paramadina.
Kitzinger, Jenny. (1994). The methodology of
focus groups: the importance of interaction between research participants. Sociology
of Health & Illness, 16(1), 103�121.
Nazir, Moh. (2014). Metode Penulisan. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Noor, Juliansyah. (2011). Metodologi
penelitian: skripsi. tesis, disertasi, dan karya ilmiah.
Nuruddin, Sabara. (2018). Islam Dalam
Tradisi Masyarakat Lokal Di Sulawesi Selatan. Mimikri, 4(1),
50�67.
Samsudin, Samsudin. (2020). Peran Lembaga
Sosial Keagamaan di Kota Bengkulu dalam Penguatan Fungsi Keluarga. Indonesian
Journal of Social Science Education (IJSSE), 2(2), 156�170.
Soehartono, Dr. Irawan. (2002). Metode
Penelitian Sosial (Suatu Teknik Penellitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan
Ilmu Sosial Lainnya). Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sulsel, Detik. (2022). 8 Suku Bangsa di
Sulawesi Selatan Beserta Sebarannya di24 Kabupaten-Kota. Dipetik Agustus 25,
2022.
Copyright holder: Yuliana, Ramli, Radjab Mansur (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |