Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
1, Januari 2023
POLITIK REVITALISASI PASAR JOHAR SEMARANG
Jihan Marsya Azahra, Sri Budi Eko Wardani
Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kebijakan publik
merupakan salah satu serangkaian tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah untuk kepentingan publik guna mencapai kesejahteraan.
Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan pembangunan adalah kebijakan pembangunan kota atau tata ruang kota. Akan tetapi sering kali pembangunan perkotaan sering menimbulkan konflik. Pemicu konflik yang terjadi karena minimnya pelibatan masyarakat secara langsung dalam proses kebijakan. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengeksplorasi lebih dalam terkait
politik kebijakan Pasar Johar yang menimbulkan sikap pro kontra ditengah masyarakat. Peneliti akan menerapkan
strategi penelitian studi kasus dalam penelitian
revitalisasi Pasar Johar. Pembangunan
Kota Semarang melalui revitalisasi
Pasar Johar Semarang yang diharapkan
dapat mencapai kepentingan ekonomi pemerintah justru tidak sesuai harapan.
Sejak awal konsep pembangunan tersebut sudah meminggirkan para pedagang. Namun pemerintah sendiri membutuhkan para pedagang untuk bisa berjualan.
Dan pada kasus
revitalisasi Pasar Johar telah membuktikan bahwa rehabilitasi yang dilakukan tidak efektif karena kerjasama yang dijalin oleh pemerintah dengan pedagang tidak kooperatif.
Kata kunci: Revitalisasi, Pasar, Kebijakan Publik, Pedagang.
Abstract
Public policy is one of a series of goals that the government wants to
achieve in the public interest in order to achieve prosperity. One of the policies
aimed at improving welfare and development is the policy of urban development or
urban spatial planning. However, urban development often leads to conflicts. The
trigger for conflict that occurs is due to the lack of direct community
involvement in the policy process. Researchers use qualitative research methods
because researchers want to explore more deeply related to the politics of Johar Market policies that cause pro-con attitudes in the middle
of society. Researchers will apply case study research strategies in Johar Market revitalization research. The development of Semarang
City through the revitalization of Johar Market Semarang,
which is expected to achieve the government's economic interests, is not as expected.
Since the beginning, the concept of development has marginalized traders. But the
government itself needs traders to be able to sell. And in the case of the revitalization
of Johar Market, it has been proven that the rehabilitation
carried out is ineffective because the cooperation established by the government
with traders is uncooperative.
Keywords: Revitalization,
Market, Public Policy, Trader.
Pendahuluan
Kebijakan publik merupakan
salah satu serangkaian tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah untuk kepentingan publik guna mencapai
kesejahteraan (Romiza & Eko
Setijadi, n.d.). Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan pembangunan adalah kebijakan pembangunan kota atau tata ruang kota. Akan tetapi sering kali pembangunan perkotaan sering menimbulkan konflik (Djadjuli, 2018). Pemicu konflik
yang terjadi karena minimnya pelibatan masyarakat secara langsung dalam proses kebijakan. Resistensi masyarakat muncul akibat dari pelaksanaan
kebijakan tata ruang yang meminggirkan masyarakat marginal.
Mereka dinilai sebagai masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, ekonomi lemah, atau masyarakat yang tidak menguntungkan kebijakan (RIFAI, 1919). Hal ini membuat sosialisasi, perundingan dan kesepakatan dengan masyarakat tidak berjalan dengan baik. Sehingga
banyak kebijakan tata ruang kota yang terbentur dengan kepentingan masyarakat yang menjadi subjek kebijakan. Salah satu contohnya adalah penataan tata ruang pasar tradisional yang terbentur dengan kepentingan para pedagang. Hal ini terjadi pada revitalisasi Pasar Johar Kota Semarang yang menjadi kajian dalam penelitian
ini.
Pasar
Johar merupakan pasar tradisional yang menjadi pusat perdagangan dengan komoditas terlengkap di Kota Semarang. Perannya
sangat penting untuk menghidupi pasar- pasar tradisional
di kota Semarang maupun
pasar-pasar tradisional (Astuti, 2010). Sayangnya, kondisi Pasar Johar sebagai pusat perdagangan
kala itu sangat memprihatinkan.
Pasar yang kumuh, padat, tidak teratur dan rusak mengakibatkan pasar ini tidak nyaman
untuk beraktivitas jual beli (Akbar, 2016). Terlalu banyak pedagang yang berkumpul dan berjualan di Pasar Johar mengakibatkan macetnya sirkulasi air, lalu lintas dan akses pengunjung ketika berbelanja. Tidak adanya pemisah
antara barang kering dan basah membuat pasar tidak tertata dan kumuh. Pasar Johar juga terlihat tidak terawat dan memiliki bangunan yang rusak. Oleh sebab itu Pemerintah Kota Semarang berupaya melakukan revitalisasi Pasar Johar Semarang
untuk meningkatkan fasilitas dan kenyamanan dari pasar tersebut.
Permasalahan dalam kebijakan
revitalisasi Pasar Johar ini adalah multi kepentingan dari pemerintah yang mengakibatkan implementasinya tidak sesuai dengan harapan,
khususnya para pedagang
lama. Ada kepentingan ekonomi
dari berbagai belah pihak menjadi
salah satu faktor utama yang membuat kebijakan revitalisasi menimbulkan pro dan kontra. Revitalisasi Pasar Johar dijadikan salah satu cara untuk menambah
kawasan berinvestasi dan berwisata di Kota Semarang. Pemerintah
menetapkan kebijakan Pasar Johar sebagai cagar
budaya agar bangunan tersebut dapat dijadikan sebagai tempat pariwisata. Akan tetapi, banyak problematika yang muncul setelah pembangunan Pasar Johar selesai. Pengambilan keputusan (decision
making) dalam proses kebijakan
tersebut mengikat seluruh aspek yang ada (Ridlo, 2016). Alternative kebijakan dari decision making yang diambil
oleh pemerintah cenderung mengesampingkan kepentingan pedagang. Hal ini di akibatkan oleh berbagai perubahan struktur pasar yang tidak sesuai dengan
standar para pedagang untuk berjualan.
Penelitian ini berupaya
melihat fenomena keblunderan dalam pembangunan perkotaan pada pasar tradisional. Minimnya keterlibatan para pedagang dalam proses kebijakan membuat implementasi yang dijalankan tidak sesuai dengan kepentingan
para pedagang. Perubahan struktur bangunan, berkurangnya jumlah lapak, dan penataan zonasi yang berantakan membuat para pedagang kesulitan untuk berjualan. Sehingga Pasar Johar kehilangan banyak pedagang lama yang membuat bangunan baru itu sepi
oleh pengunjung. Bangunan cagar budaya itu
kehilangan nilai fungsi sebagai pusat perdagangan.
Kepentingan ekonomi dengan
di tetapkannya Pasar Johar sebagai Cagar Budaya
yang mendasari berbagai keputusan kebijakan menarik untuk dikaji.
Persepsi para aktor politik dalam memandang
masa depan kawasan Pasar Johar mempengaruhi persepsi terhadap kepentingan para pedagang lama (Huruta, Dolfriandra,
& Huruta, n.d.). Dalam hal
ini peneliti akan mengkaji fenomena
yang terjadi menggunakan teori Urban Regime. Teori ini dapat digunakan
untuk menganalisis posisi pemerintah yang dominan dalam kekuasaan
dan dipengaruhi oleh kepentingan
ekonomi. Sehingga pandangan terhadap masa depan lokasi pasar Johar ini mampu
mengalahkan dan meminggirkan� kepentingan
para pedagang lama. Disisi
lain prediksi yang diharapkan
pemerintah tersebut belum tentu dapat
tercapai. Tetapi kerugian yang didapatkan oleh
para pedagang cukup besar dan memungkinkan meningkatkan pengangguran di kota Semarang.
Metode Penelitian
Peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif dalam melaksanakan penelitian ini. Menurut (Yusanto, 2020). Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusian (Wijaya, 2020). Penelitian kualitatif ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif dan menafsirkan makna data (Setiobudi, 2017). Pada umumnya kualitatif dijelaskan berdasar bentuknya dengan kata-kata atau pertanyaan-pertanyaan terbuka. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengeksplorasi lebih dalam terkait politik kebijakan Pasar Johar yang menimbulkan sikap pro kontra ditengah masyarakat
Peneliti akan menerapkan
strategi penelitian studi kasus dalam penelitian
revitalisasi Pasar Johar. Studi kasus merupakan
rancangan penelitian yang ditemukan dibanyak bidang khususnya evaluasi, dimana peneliti mengembangkan analisis mendalam dari suatu kasus,
sering kali program, peristiwa,
aktivitas, proses, dll. Kasus dibatasi oleh aktivitas dan waktu, dan peneliti mengumpulkan data secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan revitalisasi Pasar Johar Cagar Budaya ini
merupakan salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Timbuleng, 2020). Pada pasal 1 ayat
31 dijelaskan bahwa �Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan
penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.� Revitalisasi ini dilakukan untuk melindungi, merawat dan memperbaiki bangunan Pasar Johar Cagar Budaya
yang saat itu membutuhkan rehabilitasi. Pemerintah daerah yang memiliki wewenang atas situs bangunan Pasar Johar Cagar Budaya
berkewajiban untuk menjaga bangunan tersebut agar tidak rusak dan kehilangan nilai-nilai bersejarah. Selain itu, kebijakan
revitalisasi pasar juga diatur
dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pengaturan Pasar Tradisional pada bagian ke empat �yang membahas tentang Evaluasi Pasar (Nomor, 9AD). Pada pasal 34 ayat
2 tertulis
:
�Evaluasi pasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa rekomendasi
untuk melakukan : a. revitalisasi pasar; b. rehabilitas bangunan fisik pasar; c. pembangunan kembali bangunan fisik pasar; atau d. penghapusan pasar.�
Upaya untuk menjaga keaslian dari bangunan cagar budaya, maka dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa dalam revitalisasi dilarang mengubah bangunan dan merusak dengan cara apapun. Serta ada sanksi dan denda yang melekat jika pelanggaran tersebut dilakukan. Sehingga, rehabilitasi Pasar Johar Cagar Budaya dikembalikan sesuai dengan kondisi dan keadaan dimana saat Arsitek Belanda Thomas Karsten membangun pertama kali. Ciri khas yang memiliki nilai budaya tinggi adalah bangunan pilar-pilar segi delapan yang berbentuk cendawan. Selain itu, Karsten juga merancang desain keterbukaan antar lapak sehingga membuka kesempatan interaksi yang baik antara penjual dan pembeli (Putri, 2017). Sehingga pasar menjadi ruang bersama tanpa adanya sekat yang tidak perlu dan hubungan pertemanan antarpedagang juga terjalin. Setelah selesai berjualan pedagang akan membawa dagangannya dan lapak menjadi tanah lapang.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dengan alasan keamanan, pedagang membangun sekat dinding dan memasang pintu gulung. Di tahun 2005, para pedagang melakukan ekspansi, berlomba-lomba membangun selubung bangunan untuk perluasan ruang lapak. Pembangunan selubung bangunan ini meningkatkan kepadatan juga sirkulasi akses jalan yang dilalui pembeli semakin sempit dan tidak teratur. Hal ini menyangkal adanya nilai penting dari konsep bangunan Pasar Johar menghilangkan yaitu adanya sirkulasi udara dan pencahayaan secara alami. Tentunya kondisi tersebut juga bertentangan dengan pemikiran modernisme tropis pada awal perempat pertama abad ke 20.
Tidak hanya peningkatan selubung bangunan, peningkatan jumlah pedagang untuk berjualan di Pasar Johar juga semakin besar. Bangunan gedung yang umurnya mencapai lebih dari 50 tahun,
telah menampung pedagang melebihi kapasitas. Hal ini tentunya dapat merusak kekuatan bangunan tua, sehingga
perawatan dan pemeliharaan bangunan juga akan sulit dilakukan. Padahal perlindungan terhadap bangunan cagar budaya menjadi
salah satu prioritas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Cagar Budaya.
Gambar 1. Pasar Johar sebelum revitalisasi. Sumber :
google.com
Hal
ini menunjukkan pentingnya revitalisasi Pasar Johar sebagai perlindungan
Cagar Budaya. Akan tetapi, ada kepentingan
ekonomi yang cukup kuat mendorong untuk disegerakannya revitalisasi Pasar Johar. Ada empat kepentingan ekonomi dari berbagai
belah pihak menjadi salah satu faktor utama yang membuat kebijakan revitalisasi menimbulkan pro dan kontra, sehingga meminggirkan para pedagang lama.
Pertama, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang. Peningkatan PAD dapat menjadi bentuk kemajuan bagi sebuah kota. Dengan PAD yang besar tentunya akan semakin banyak pembangunan yang dapat dilakukan oleh daerah. Akan tetapi, kepentingan untuk peningkatan PAD ini bisa membuat pemerintah terkadang tidak memikirkan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. PAD ini didapat dari pembayaran retribusi pedagang. Semakin banyak lapak yang tersedia, tentunya PAD juga akan semakin besar. Akan tetapi lahan yang berkurang membuat lapak yang tersedia semakin sempit. Sedangkan mayoritas para pedagang pasar Johar adalah pedagang grosir. Sebagai para pedagang grosir, mereka memiliki produk dalam jumlah besar dengan kios-kios yang besar dan banyak. Sedangkan aturan terbaru dari Dinas Perdagangan adalah setiap pedagang hanya boleh memiliki satu lapak. Mereka yang memiliki lebih dari satu lapak hanya akan mendapatkan satu lapak. Dinas Perdagangan menilai hal ini adalah cara yang tepat untuk meminimalisir adanya penguasaan lapak oleh beberapa pedagang saja. mengingat bangunan Pasar Johar merupakan bangunan tua yang memiliki kekuatan terbatas untuk menampung pedagang.
Salah satu upaya pemda meningkatkan PAD yaitu dengan membangun alun-alun Pasar Johar. Pendapatan diperoleh melalui banyaknya jumlah aktivitas kunjungan dan berbagai event yang dapat dilaksanakan di alun-alun tersebut. Dinas Perdagangan menilai bahwa� sebelum revitalisasi pengunjung Pasar Johar sedikit dan tidak mampu meningkatkan pendapatan. Pemerintah Kota Semarang tidak memperoleh pendapatan melalui retribusi pasar, parkir, kebersihan dan perawatan gedung dsb. Meskipun saat itu Pasar Johar sangat ramai tetapi pedagang juga tidak tertib membayar retribusi. Selain itu lahan parkir juga tidak luas sehingga jumlah pendatang tidaklah banyak. Apabila terdapat alun-alun dan lahan parkir maka akan meningkatkan jumlah pengunjung. Retribusi parkir dan lahan sewa juga akan mengalami peningkatan.
Kedua, kepentingan modernisasi pasar. Hal ini dapat terlihat dari bangunan gedung Pasar Johar Cagar Budaya dan Pasar Kanjengan tampak lebih modern dibandingkan sebelumnya. Modernisasi pasar ini menjadi salah satu daya tarik agar masyarakat Kota Semarang datang dan berbelanja di Pasar Johar. Faktor ini didorong dengan semakin banyaknya swalayan dan minimarket yang mulai menjamur di Semarang. Agar pasar tradisional tetap eksis sebagai pusat belanja masyarakat, maka diperlukan modernisasi untuk meningkatkan pelanggan. Upaya modernisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang adalah membangun gedung 6 lantai dengan lift dan escalator di Pasar Kanjengan. Pasar Kanjengan (baru) merupakan pasar tambahan yang dibangun untuk menampung pedagang yang tidak dapat tertampung di Pasar Johar Cagar Budaya. Akan tetapi, mayoritas para pedagang yang menempati Pasar Kanjengan ini adalah para pedagang sayur, pedagang ikan, dan barang basah lainnya. Bukan hanya itu mayoritas dari para pedagang ini adalah lansia dan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Mereka mengeluhkan ketakutan jika harus menaiki lift atau escalator dengan membawa barang yang cukup berat. Apabila lokasi berjualan mereka ada dilantai 3 keatas mereka tidak sanggup untuk membawa dagangan mereka naik ke atas gedung tersebut. Tentunya pembangunan gedung 6 lantai ini tidak cocok jika harus dijadikan pasar tradisional. Kondisi tersebut lebih coock untuk dijadikan mall atau swalayan yang dikelola oleh swasta, bukan dengan pedagang tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya memperhatikan dari sisi kepentingannya sendiri dan tidak mampu untuk membaca kondisi para pedagang yang akan menempati gedung tersebut. Dampaknya gedung pasar tersebut tampak sepi dan tidak digunakan mulai lantai 3 keatas. Pedagang hanya menempati pada lantai satu dan dua.
Pada
gedung Pasar Johar Cagar Budaya, modernisasi
dapat terlihat dari adanya sistem
zonasi yang diberlakukan. Revitalisasi dengan penataan zonasi ini telah diamanahkan
dalam Peraturan Daerah Kota
Semarang No 9 Tahun 2013 tentang
Pengaturan Pasar Tradisional.
Pada pasal 34 dijelaskan pelaksanaan revitalisasi pasar berupa penataan zonasi pasar, perubahan fungsi dan jenis pasar dan/ atau perubahan penataan kawasan pasar. Zonasi yang dikembangkan oleh
Dinas Perdagangan ini sebagai pengelompokan jenis dagangan dalam satu tempat.
Hal ini tentunya akan memudahkan pelanggan untuk berbelanja. Pelanggan dapat langsung menghampiri zonasi barang yang dicari dengan pilihan penjual yang bervariatif. Sehingga pembeli dapat langsung melakukan berbandingan dalam satu wilayah tanpa harus berputar
ke lokasi lainnya. Zonasi yang banyak diletakkan dalam Pasar Johar Cagar Budaya ini
adalah barang-barang kering, seperti pakaian, barang pecah belah, aksesoris,
dll. Para pedagang yang berjualan barang basah didalam Pasar Johar Cagar Budaya
direlokasi ke Pasar Kanjengan.
Ketiga, kepentingan proyek pemerintah dengan pariwisata. Revitalisasi Pasar Johar dilakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi di wilayah Pasar Johar. Cagar Budaya menjadi titik utama dari pengembangan sektor ekonomi dan pariwisata. Sebagai Cagar Budaya pemerintah Kota Semarang memiliki peluang untuk melakukan promosi dan menjadikan Pasar Johar sebagai salah satu tempat wisata berbelanja. Tertuang dalam Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 85 tertulis bahwa �pemerintah daerah dapat melakukan promosi dan memanfaatkan situs cagar budaya sebagai fasilitas untuk memperbaiki kualitas hidup dan pendapatan masyarakat�. Sehingga Pasar Johar Cagar Budaya juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata yang dapat menghasilkan pendapatan baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat. Gedungnya yang memiliki nilai sejarah menjadi poin yang dapat dijual sebagai bangunan bersejarah. Gedung peninggalan Belanda ini menjadi salah satu pasar tradisional paling modern di Asia Tenggara pada masanya. Nilai bersejarah tersebut akan diabadikan dalam museum Pasar Johar Cagar Budaya yang terletak didalam pasar. Dengan adanya museum tersebut tentu akan mengur angi jumlah lapak yang tersedia bagi pedagang. Terlebih dengan sistem zonasi yang telah diterapkan, akan mengurangi jumlah pedagang yang sebelumnya tidak berjualan di tempat yang semestinya. Pedagang yang berjualan pada sirkulasi jalan dan luar zonasi akan dipindahkan. Hal ini sebagai upaya menjaga kenyamanan dan keamanan pelanggan dan wisatawan Pasar Johar.
Dari
ketiga kepentingan ekonomi diatas, tentu posisi pedagang
lama Pasar Johar akan kesulitan untuk kembali berjualan ke Pasar Johar. Dengan keadaan pasar Johar yang ada saat ini menunjukkan
peluang besar bagi swasta untuk
bisa masuk meramaikan Pasar Johar Cagar Budaya dan sekitarnya. Perlu diketahui karakter para pedagang lama Pasar Johar adalah para pedagang yang hanya memikirkan untuk berjualan. Mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya wawasan terhadap perubahan zaman modern. Sehingga akan sangat sulit untuk menyesuaikan dan hanya menginginkan segala sesuatunya kembali seperti dahulu. Hal ini tentunya akan merugikan
bagi pemerintah, karena sistem zonasi
dan potensi wisata tidak akan berkembang.
Sehingga akan menghilangkan potensi ekonomi dari perkembangan
sektor pariwisata. Akan tetapi disisi lain,
pemerintah tetap membutuhkan para pedagang lama
yang berjualan untuk meramaikan kembali Pasar Johar. Lapak-lapak untuk berjualan sayur, ikan, buah, daging, pakaian, dll telah disediakan
sesuai kebutuhannya. Sayangnya lokasi-lokasi ini terletak dilantai
yang cukup tinggi. Sehingga para pedagang enggan untuk pindah
dan menuntut memilih lokasi yang menurut mereka strategis.
Jika
merujuk pada teori urban
regime, maka koalisi yang dibangun dalam revitalisasi Pasar Johar terjalin antara pemerintah dengan para pedagang lama Pasar Johar. Keduanya terikat dimana pemerintah sebagai penguasa, pembuat kebijakan dan penyedia lapak, sedangkan para pedagang sebagai swasta yang menyewa lapak. Keduanya berkoalisi dan akan tetapi memiliki
kepentingannya masing-masing. Pemerintah
perlu menghidupkan perekonomian di kawasan Pasar Johar pasca revitalisasi.
Para pedagang perlu mendapatkan lapaknya kembali untuk berjualan
melanjutkan roda kehidupan. Apabila keduanya berkerjasama secara baik, maka
secara tidak langsung pertumbuhan perekonomian di kawasan Pasar Johar juga akan membaik. Kerja sama mereka tidak
didasarkan secara ketat pada tujuan bersama, tetapi pada kebutuhan untuk bekerja sama dalam
mencapai tujuan
masing-masing pihak. Terpilih
pejabat menikmati kontrol nominal atas mekanisme formal kekuasaan, yaitu. kemampuan untuk lulus dan menegakkan hukum. Kepentingan bisnis memiliki akses ke sumber
daya keuangan, tetapi membutuhkan lingkungan peraturan yang menawarkan kondisi investasi yang menguntungkan (Rachman, Efendi, &
Wicaksana, 2011). yang terjadi adalah masing-masing pihak berdiri pada kepentingan
masing-masing dan cukup sulit
untuk bisa sinkron satu sama
lain.
Adanya ketidaksinkronan muncul
ketika pemerintah sebagai penguasa tidak melibatkan pedagang dalam rehabilitasi gedung dan penataan lapak yang dilakukan. Seperti yang dikatakan dalam teori urban regime, peran dan posisi pemerintah sangat dominan dan fundamental. (Azikin, 2018) Seluruh kebijakan
hanya akan disesuaikan dengan kepentingan pemerintah. Perbedaannya dalam kasus ini, kepentingan
pemerintah adalah kepentingan swasta yang kemudian merugikan masyarakat. Sedangkan dalam kasus ini
kepentingan pemerintah adalah kepentingannya sendiri. Pemerintah berupaya merevitalisasi Pasar Johar hanya mengedepankan
aspek pembangunan perkotaan. Akan tetapi pemerintah tidak memperhatikan aspek local
genius para pedagang Pasar Johar.
Sedangkan para pedagang dengan local genius sebagai
para pedagang pasar tradisional
cukup sulit beradaptasi dengan pembangunan yang ada.
Hal
itu dapat terlihat dari pembangunan
dan kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah. Pertama, pada sudut pandang pemerintah, pembangunan Pasar Johar Kanjengan dengan 6 lantai menggunakan lift dan
escalator adalah sebuah kemajuan, dengan konsep seperti gedung mall. Hal ini akan memudahkan pelanggan agar tidak kelelahan naik tangga. Sayangnya, pemerintah menetapkan Pasar Johar Kanjengan sebagai zonasi untuk berjualan
barang-barang basah tanpa adanya akses
trasportasi untuk bisa naik lantai atas. Para pedagang sayur, daging dan ikan harus menaiki escalator, lift atau tangga untuk
bisa mengakses barang naik ke lantai atas. Tentunya
hal ini akan
menyulitkan bagi para pedagang terlebih pedagang lansia. Ketua Kelompok Pedagang pasar Johar mengakui bahwa penataan zonasi tersebut tidak melibatkan para pedagang. Sehingga penataannya saat ini lebih
tidak teratur. Dapat dibayangkan jika sayur mayur,
daging atau ikan yang dinaikkan menggunakan escalator
dan ada potongan-potongan sampah basah dan air yang jatuh didalamnya, maka akan merusak
sistem dari escalator tersebut. Terlebih lantai yang digunakan adalah lantai keramik.
Apabila banyak barang basah yang tumpah dna jatuh
lantai akan menjadi licin. Proses pembersihan sampah juga akan menjadi sulit.
Sedangkan tidak mungkin pedagang akan naik ke lantai
atas dengan menggunakan tangga. Sebab mayoritas pedagang basah di pasar johar adalah para lansia yang sudah berumur lebih dari
50 tahun.
Para
pedagang hingga saat ini juga masih
enggan untuk bisa langsung pindah
ke Pasar Johar Kanjengan. Tentu para pedagang merasa keberatan, selain itu mereka sudah
mulai membangun kestabilan dagang di tempat relokasi. Apabila mereka kembali ke Pasar Johar Kanjengan maka mereka harus
memulai mencari pelanggan lagi. Padahal bangunan tersebut sudah dapat digunakan sejak di resmikan 2020 lalu. sehingga Pasar tersebut hingga saat ini mangkrak
dan kosong selama 2 tahun. Pasar yang telah dibangun megah oleh pemerintah dianggap tidak terlalu menguntungkan
kondisi pedagang. Kelompok pedagang konveksi dan pecah belah mengatakan bahwa gedung Pasar Johar Kanjengan ini lebih cocok
untuk digunakan sebagai pedagang barang kering seperti
pakaian, mainan anak, kuliner dll
yang menyeruoai mall tetapi
diisi oleh para pedagang
pasar johar sendiri. Sayangnya interior gedung yang dibangun oleh pemerintah adalah interior dengan lapak-lapak bagi pedagang barang basah. Lapak-lapak ini telah di lengkapi
dengan meja-meja beton untuk menata
sayur, ikan maupun daging.
Pemerintah justru membangun
zonasi yang terbalik. Para pedagang kering yang ditempatkan di Pasar Johar Utara
dan Johar Tengah dengan lapak yang disediakan sangatlah kecil hanya berukuran 2x1m untuk lost. Padahal para pedagang kering ini menjual barang-barang
berukuran besar dan membutuhkan lapak yang luas. Lokasi ini nampak tidak cocok
untuk para pedagang konveksi dan pecah belah. Hal ini mengakibatkan Pasar Johar yang sudah dibangun tersebut masih tampak kumuh. Hal ini disebabkan para pedagang yang membangun besi-besi tambahan untuk mengkotak-kotakkan lapaknya. Tentu dengan adanya bangunan-bangunan
tambahan tersebut telah menyalahi aturan dari UU Cagar Budaya. Akan tetapi hal tersebut
dibiarkan saja oleh pengelola pasar, karena melihat kondisi lapak yang dibangun memang tidak sesuai
jenis barang dagangan.
Hal
ini menunjukkan tujuan pemerintah untuk memodernisasi pasar tradisional masih belum berhasil. Minimnya keterlibatan kelompok dagang justru membuat rehabilitasi yang dilakukan tidak dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Akibatnya, gedung mangkrak, peningkatan PAD juga tidak tercapai dan pemerintah kesulitan sendiri untuk menarik
pedagang berjualan di Pasar
Johar Kanjengan. Pemerintah juga kesulitan untuk menertibkan para pedagang yang berjualan di Pasar Johar untuk menjaga
bangunan cagar budaya. Bangunan Pasar Johar yang bersejarah dan akan dialokasikan sebagai gedung cagar budaya pada akhirnya tidak tersedia dan justru dipenuhi oleh lapak-lapak pedagang. Pada akhirnya kepentingan pengembangan sektor pariwisata juga tidak tercapai. Wilayah yang seharusnya bisa dikembangkan untuk museum dan pengembangan UMKM tidak disediakan dan dibangun secara maksimal. Pemerintah tampak tidak mempersiapkan revitalisasi ini dengan konsep yang matang.
Pemerintah sebagai penguasa
yang menyediakan tempat dan
membuat kebijakan bagi para pedagang justru tidak mengutamakan
kepentingan pedagang. Padahal jika kita
merujuk pada teori Stone,
Para pedagang berperan sebagai pihak swasta
yang akan menyewa lapak dan meramaikan pasar. Pada akhirnya pemerintah kehilangan sumber pemasukan dari para pedagang bermodal besar. Pasalnya banyak para pedagang yang masih memilih untuk
pindah ke tempat lain. Berbagai
keputusan yang dibuat oleh pemerintah justru tidak menguntungkan pedagang. Pada akhirnya berbagai pelanggaran terhadap cagar budaya dibiarkan untuk mempertahankan agar para pedagang tidak pergi dari tempat
berjualan. Revitalisasi
yang diupayakan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan juga tidak tercapai
Kesimpulan
Pembangunan
Kota Semarang melalui revitalisasi
Pasar Johar Semarang yang diharapkan
dapat mencapai kepentingan ekonomi pemerintah justru tidak sesuai harapan.
Sejak awal konsep pembangunan tersebut sudah meminggirkan para pedagang. Namun pemerintah sendiri membutuhkan para pedagang untuk bisa berjualan. Kerjasama antara pemerintah dengan para pedagang untuk mengembalikan kondisi perekonomian perkotaan tidak berjalan dengan baik. Relasi yang dibangun seharusnya dapat saling menguntungkan
masing-masing pihak, akan tetapi yang terjadi adalah merugikan keduanya. Seperti yang di jelaskan oleh (Wulandari, 2021) bahwa pembangunan
perkotaan sangat bergantung
terhadap kerjasama yang dijalin pemerintah dengan swasta untuk
mencapai efektivitas pembangunan. Dan pada kasus revitalisasi Pasar Johar telah membuktikan bahwa rehabilitasi yang dilakukan tidak efektif karena kerjasama yang dijalin oleh pemerintah dengan pedagang tidak kooperatif.
BIBLIOGRAFI
Akbar, Viska Ramardani. (2016). Perancangan
Permukiman Pemulung Dengan Pendekatan Fleksibilitas Di Kawasan Muharto Das
Brantas, Malang. Surabaya.
Astuti, Indah. (2010). Relasi Gender
Pada Keluarga Perempuan Pedagang Di Pasar Klewer Kota Surakarta.
Azikin, Andi. (2018). Konsep Dan
Implementasi Ideologi Pancasila Dalam Perumusan Kebijakan Pemerintahan. Jurnal
Kebijakan Pemerintahan, 77�90.
Djadjuli, Didi. (2018). Peran Pemerintah
Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi
Negara, 5(2), 8�21.
Huruta, Hur, Dolfriandra, Andrian, &
Huruta, Andrian Dolfriandra. (N.D.). Desain Cover: Jack K. Djara.
Nomor, Peraturan Daerah Kota Semarang.
(9ad). Tahun 2013 Tentang Pengaturan Pasar Tradisional.
Putri, Rizqy Amelia. (2017). Desain
Interior Galeri Merah Putih Sebagai Upaya Optimalisasi Bangunan Cagar Budaya
Dengan Konsep Entertain Edukatif Bernuansa Kolonial. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Rachman, Nurdizal M., Efendi, Asep, &
Wicaksana, Emir. (2011). Panduan Lengkap Perencanaan Csr. Penebar
Swadaya Grup.
Ridlo, Mohammad Agung. (2016). Mengupas
Problema Kota Semarang Metropolitan. Deepublish.
Rifai, Ahmad. (1919). Kebijakan Relokasi
Pasar Klithikan Studi Tentang Implementasi Kebijakan Relokasi Pasar Klithikan
Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Kota Yogyakarta Pada Tahun 20070. Politik
Dan Pemerintahan Dh. Ilmu Pemerintahan.
Romiza, Ahya Aufa, & Eko Setijadi, S.
T. (N.D.). Desain Antena Dual Band Untuk Kebutuhan Massive Mimo.
Setiobudi, Eko. (2017). Analisis Sistem
Penilaian Kinerja Karyawan Studi Pada Pt.
Tridharma Kencana. Jabe (Journal Of Applied
Business And Economic), 3(3), 170�182.
Timbuleng, Alexandra J. (2020). Tindak
Pidana Di Bidang Perizinan Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya. Lex Crimen, 9(2).
Wijaya, Hengki. (2020). Analisis Data
Kualitatif Teori Konsep Dalam Penelitian Pendidikan. Sekolah Tinggi
Theologia Jaffray.
Wulandari, Mustyka. (2021). Strategi
Kerjasama Pemerintah Kota Makassar Dengan International Enterprise Singapore
Dalam Upaya Pembangunan Kota Makassar Menuju Smart City Tahun 2016-2020.
Universitas Bosowa.
Yusanto, Yoki. (2020). Ragam Pendekatan
Penelitian Kualitatif. Journal Of Scientific Communication (Jsc), 1(1).
Copyright holder: Jihan Marsya Azahra,
Sri Budi Eko Wardani
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |