Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 1, Januari 2023

 

POLITIK REVITALISASI PASAR JOHAR SEMARANG

 

Jihan Marsya Azahra, Sri Budi Eko Wardani

Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Kebijakan publik merupakan salah satu serangkaian tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah untuk kepentingan publik guna mencapai kesejahteraan. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan pembangunan adalah kebijakan pembangunan kota atau tata ruang kota. Akan tetapi sering kali pembangunan perkotaan sering menimbulkan konflik. Pemicu konflik yang terjadi karena minimnya pelibatan masyarakat secara langsung dalam proses kebijakan. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengeksplorasi lebih dalam terkait politik kebijakan Pasar Johar yang menimbulkan sikap pro kontra ditengah masyarakat. Peneliti akan menerapkan strategi penelitian studi kasus dalam penelitian revitalisasi Pasar Johar. Pembangunan Kota Semarang melalui revitalisasi Pasar Johar Semarang yang diharapkan dapat mencapai kepentingan ekonomi pemerintah justru tidak sesuai harapan. Sejak awal konsep pembangunan tersebut sudah meminggirkan para pedagang. Namun pemerintah sendiri membutuhkan para pedagang untuk bisa berjualan.

Dan pada kasus revitalisasi Pasar Johar telah membuktikan bahwa rehabilitasi yang dilakukan tidak efektif karena kerjasama yang dijalin oleh pemerintah dengan pedagang tidak kooperatif.

Kata kunci: Revitalisasi, Pasar, Kebijakan Publik, Pedagang.

 

Abstract

Public policy is one of a series of goals that the government wants to achieve in the public interest in order to achieve prosperity. One of the policies aimed at improving welfare and development is the policy of urban development or urban spatial planning. However, urban development often leads to conflicts. The trigger for conflict that occurs is due to the lack of direct community involvement in the policy process. Researchers use qualitative research methods because researchers want to explore more deeply related to the politics of Johar Market policies that cause pro-con attitudes in the middle of society. Researchers will apply case study research strategies in Johar Market revitalization research. The development of Semarang City through the revitalization of Johar Market Semarang, which is expected to achieve the government's economic interests, is not as expected. Since the beginning, the concept of development has marginalized traders. But the government itself needs traders to be able to sell. And in the case of the revitalization of Johar Market, it has been proven that the rehabilitation carried out is ineffective because the cooperation established by the government with traders is uncooperative.

 

Keywords: Revitalization, Market, Public Policy, Trader.

 

Pendahuluan

Kebijakan publik merupakan salah satu serangkaian tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah untuk kepentingan publik guna mencapai kesejahteraan (Romiza & Eko Setijadi, n.d.). Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan pembangunan adalah kebijakan pembangunan kota atau tata ruang kota. Akan tetapi sering kali pembangunan perkotaan sering menimbulkan konflik (Djadjuli, 2018). Pemicu konflik yang terjadi karena minimnya pelibatan masyarakat secara langsung dalam proses kebijakan. Resistensi masyarakat muncul akibat dari pelaksanaan kebijakan tata ruang yang meminggirkan masyarakat marginal. Mereka dinilai sebagai masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, ekonomi lemah, atau masyarakat yang tidak menguntungkan kebijakan (RIFAI, 1919). Hal ini membuat sosialisasi, perundingan dan kesepakatan dengan masyarakat tidak berjalan dengan baik. Sehingga banyak kebijakan tata ruang kota yang terbentur dengan kepentingan masyarakat yang menjadi subjek kebijakan. Salah satu contohnya adalah penataan tata ruang pasar tradisional yang terbentur dengan kepentingan para pedagang. Hal ini terjadi pada revitalisasi Pasar Johar Kota Semarang yang menjadi kajian dalam penelitian ini.

Pasar Johar merupakan pasar tradisional yang menjadi pusat perdagangan dengan komoditas terlengkap di Kota Semarang. Perannya sangat penting untuk menghidupi pasar- pasar tradisional di kota Semarang maupun pasar-pasar tradisional (Astuti, 2010). Sayangnya, kondisi Pasar Johar sebagai pusat perdagangan kala itu sangat memprihatinkan. Pasar yang kumuh, padat, tidak teratur dan rusak mengakibatkan pasar ini tidak nyaman untuk beraktivitas jual beli (Akbar, 2016). Terlalu banyak pedagang yang berkumpul dan berjualan di Pasar Johar mengakibatkan macetnya sirkulasi air, lalu lintas dan akses pengunjung ketika berbelanja. Tidak adanya pemisah antara barang kering dan basah membuat pasar tidak tertata dan kumuh. Pasar Johar juga terlihat tidak terawat dan memiliki bangunan yang rusak. Oleh sebab itu Pemerintah Kota Semarang berupaya melakukan revitalisasi Pasar Johar Semarang untuk meningkatkan fasilitas dan kenyamanan dari pasar tersebut.

Permasalahan dalam kebijakan revitalisasi Pasar Johar ini adalah multi kepentingan dari pemerintah yang mengakibatkan implementasinya tidak sesuai dengan harapan, khususnya para pedagang lama. Ada kepentingan ekonomi dari berbagai belah pihak menjadi salah satu faktor utama yang membuat kebijakan revitalisasi menimbulkan pro dan kontra. Revitalisasi Pasar Johar dijadikan salah satu cara untuk menambah kawasan berinvestasi dan berwisata di Kota Semarang. Pemerintah menetapkan kebijakan Pasar Johar sebagai cagar budaya agar bangunan tersebut dapat dijadikan sebagai tempat pariwisata. Akan tetapi, banyak problematika yang muncul setelah pembangunan Pasar Johar selesai. Pengambilan keputusan (decision making) dalam proses kebijakan tersebut mengikat seluruh aspek yang ada (Ridlo, 2016). Alternative kebijakan dari decision making yang diambil oleh pemerintah cenderung mengesampingkan kepentingan pedagang. Hal ini di akibatkan oleh berbagai perubahan struktur pasar yang tidak sesuai dengan standar para pedagang untuk berjualan.

Penelitian ini berupaya melihat fenomena keblunderan dalam pembangunan perkotaan pada pasar tradisional. Minimnya keterlibatan para pedagang dalam proses kebijakan membuat implementasi yang dijalankan tidak sesuai dengan kepentingan para pedagang. Perubahan struktur bangunan, berkurangnya jumlah lapak, dan penataan zonasi yang berantakan membuat para pedagang kesulitan untuk berjualan. Sehingga Pasar Johar kehilangan banyak pedagang lama yang membuat bangunan baru itu sepi oleh pengunjung. Bangunan cagar budaya itu kehilangan nilai fungsi sebagai pusat perdagangan.

Kepentingan ekonomi dengan di tetapkannya Pasar Johar sebagai Cagar Budaya yang mendasari berbagai keputusan kebijakan menarik untuk dikaji. Persepsi para aktor politik dalam memandang masa depan kawasan Pasar Johar mempengaruhi persepsi terhadap kepentingan para pedagang lama (Huruta, Dolfriandra, & Huruta, n.d.). Dalam hal ini peneliti akan mengkaji fenomena yang terjadi menggunakan teori Urban Regime. Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis posisi pemerintah yang dominan dalam kekuasaan dan dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi. Sehingga pandangan terhadap masa depan lokasi pasar Johar ini mampu mengalahkan dan meminggirkan� kepentingan para pedagang lama. Disisi lain prediksi yang diharapkan pemerintah tersebut belum tentu dapat tercapai. Tetapi kerugian yang didapatkan oleh para pedagang cukup besar dan memungkinkan meningkatkan pengangguran di kota Semarang.

Metode Penelitian

Peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif dalam melaksanakan penelitian ini. Menurut (Yusanto, 2020). Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusian (Wijaya, 2020). Penelitian kualitatif ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif dan menafsirkan makna data (Setiobudi, 2017). Pada umumnya kualitatif dijelaskan berdasar bentuknya dengan kata-kata atau pertanyaan-pertanyaan terbuka. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengeksplorasi lebih dalam terkait politik kebijakan Pasar Johar yang menimbulkan sikap pro kontra ditengah masyarakat

Peneliti akan menerapkan strategi penelitian studi kasus dalam penelitian revitalisasi Pasar Johar. Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang ditemukan dibanyak bidang khususnya evaluasi, dimana peneliti mengembangkan analisis mendalam dari suatu kasus, sering kali program, peristiwa, aktivitas, proses, dll. Kasus dibatasi oleh aktivitas dan waktu, dan peneliti mengumpulkan data secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.

 

Hasil dan Pembahasan

Kebijakan revitalisasi Pasar Johar Cagar Budaya ini merupakan salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Timbuleng, 2020). Pada pasal 1 ayat 31 dijelaskan bahwa �Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.� Revitalisasi ini dilakukan untuk melindungi, merawat dan memperbaiki bangunan Pasar Johar Cagar Budaya yang saat itu membutuhkan rehabilitasi. Pemerintah daerah yang memiliki wewenang atas situs bangunan Pasar Johar Cagar Budaya berkewajiban untuk menjaga bangunan tersebut agar tidak rusak dan kehilangan nilai-nilai bersejarah. Selain itu, kebijakan revitalisasi pasar juga diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pengaturan Pasar Tradisional pada bagian ke empat �yang membahas tentang Evaluasi Pasar (Nomor, 9AD). Pada pasal 34 ayat 2 tertulis :

�Evaluasi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa rekomendasi untuk melakukan : a. revitalisasi pasar; b. rehabilitas bangunan fisik pasar; c. pembangunan kembali bangunan fisik pasar; atau d. penghapusan pasar.�

Upaya untuk menjaga keaslian dari bangunan cagar budaya, maka dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa dalam revitalisasi dilarang mengubah bangunan dan merusak dengan cara apapun. Serta ada sanksi dan denda yang melekat jika pelanggaran tersebut dilakukan. Sehingga, rehabilitasi Pasar Johar Cagar Budaya dikembalikan sesuai dengan kondisi dan keadaan dimana saat Arsitek Belanda Thomas Karsten membangun pertama kali. Ciri khas yang memiliki nilai budaya tinggi adalah bangunan pilar-pilar segi delapan yang berbentuk cendawan. Selain itu, Karsten juga merancang desain keterbukaan antar lapak sehingga membuka kesempatan interaksi yang baik antara penjual dan pembeli (Putri, 2017). Sehingga pasar menjadi ruang bersama tanpa adanya sekat yang tidak perlu dan hubungan pertemanan antarpedagang juga terjalin. Setelah selesai berjualan pedagang akan membawa dagangannya dan lapak menjadi tanah lapang.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dengan alasan keamanan, pedagang membangun sekat dinding dan memasang pintu gulung. Di tahun 2005, para pedagang melakukan ekspansi, berlomba-lomba membangun selubung bangunan untuk perluasan ruang lapak. Pembangunan selubung bangunan ini meningkatkan kepadatan juga sirkulasi akses jalan yang dilalui pembeli semakin sempit dan tidak teratur. Hal ini menyangkal adanya nilai penting dari konsep bangunan Pasar Johar menghilangkan yaitu adanya sirkulasi udara dan pencahayaan secara alami. Tentunya kondisi tersebut juga bertentangan dengan pemikiran modernisme tropis pada awal perempat pertama abad ke 20.

Tidak hanya peningkatan selubung bangunan, peningkatan jumlah pedagang untuk berjualan di Pasar Johar juga semakin besar. Bangunan gedung yang umurnya mencapai lebih dari 50 tahun, telah menampung pedagang melebihi kapasitas. Hal ini tentunya dapat merusak kekuatan bangunan tua, sehingga perawatan dan pemeliharaan bangunan juga akan sulit dilakukan. Padahal perlindungan terhadap bangunan cagar budaya menjadi salah satu prioritas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Cagar Budaya.

Gambar 1. Pasar Johar sebelum revitalisasi. Sumber : google.com

Hal ini menunjukkan pentingnya revitalisasi Pasar Johar sebagai perlindungan Cagar Budaya. Akan tetapi, ada kepentingan ekonomi yang cukup kuat mendorong untuk disegerakannya revitalisasi Pasar Johar. Ada empat kepentingan ekonomi dari berbagai belah pihak menjadi salah satu faktor utama yang membuat kebijakan revitalisasi menimbulkan pro dan kontra, sehingga meminggirkan para pedagang lama.

Pertama, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang. Peningkatan PAD dapat menjadi bentuk kemajuan bagi sebuah kota. Dengan PAD yang besar tentunya akan semakin banyak pembangunan yang dapat dilakukan oleh daerah. Akan tetapi, kepentingan untuk peningkatan PAD ini bisa membuat pemerintah terkadang tidak memikirkan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. PAD ini didapat dari pembayaran retribusi pedagang. Semakin banyak lapak yang tersedia, tentunya PAD juga akan semakin besar. Akan tetapi lahan yang berkurang membuat lapak yang tersedia semakin sempit. Sedangkan mayoritas para pedagang pasar Johar adalah pedagang grosir. Sebagai para pedagang grosir, mereka memiliki produk dalam jumlah besar dengan kios-kios yang besar dan banyak. Sedangkan aturan terbaru dari Dinas Perdagangan adalah setiap pedagang hanya boleh memiliki satu lapak. Mereka yang memiliki lebih dari satu lapak hanya akan mendapatkan satu lapak. Dinas Perdagangan menilai hal ini adalah cara yang tepat untuk meminimalisir adanya penguasaan lapak oleh beberapa pedagang saja. mengingat bangunan Pasar Johar merupakan bangunan tua yang memiliki kekuatan terbatas untuk menampung pedagang.

Salah satu upaya pemda meningkatkan PAD yaitu dengan membangun alun-alun Pasar Johar. Pendapatan diperoleh melalui banyaknya jumlah aktivitas kunjungan dan berbagai event yang dapat dilaksanakan di alun-alun tersebut. Dinas Perdagangan menilai bahwa� sebelum revitalisasi pengunjung Pasar Johar sedikit dan tidak mampu meningkatkan pendapatan. Pemerintah Kota Semarang tidak memperoleh pendapatan melalui retribusi pasar, parkir, kebersihan dan perawatan gedung dsb. Meskipun saat itu Pasar Johar sangat ramai tetapi pedagang juga tidak tertib membayar retribusi. Selain itu lahan parkir juga tidak luas sehingga jumlah pendatang tidaklah banyak. Apabila terdapat alun-alun dan lahan parkir maka akan meningkatkan jumlah pengunjung. Retribusi parkir dan lahan sewa juga akan mengalami peningkatan.

Kedua, kepentingan modernisasi pasar. Hal ini dapat terlihat dari bangunan gedung Pasar Johar Cagar Budaya dan Pasar Kanjengan tampak lebih modern dibandingkan sebelumnya. Modernisasi pasar ini menjadi salah satu daya tarik agar masyarakat Kota Semarang datang dan berbelanja di Pasar Johar. Faktor ini didorong dengan semakin banyaknya swalayan dan minimarket yang mulai menjamur di Semarang. Agar pasar tradisional tetap eksis sebagai pusat belanja masyarakat, maka diperlukan modernisasi untuk meningkatkan pelanggan. Upaya modernisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang adalah membangun gedung 6 lantai dengan lift dan escalator di Pasar Kanjengan. Pasar Kanjengan (baru) merupakan pasar tambahan yang dibangun untuk menampung pedagang yang tidak dapat tertampung di Pasar Johar Cagar Budaya. Akan tetapi, mayoritas para pedagang yang menempati Pasar Kanjengan ini adalah para pedagang sayur, pedagang ikan, dan barang basah lainnya. Bukan hanya itu mayoritas dari para pedagang ini adalah lansia dan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah.

Mereka mengeluhkan ketakutan jika harus menaiki lift atau escalator dengan membawa barang yang cukup berat. Apabila lokasi berjualan mereka ada dilantai 3 keatas mereka tidak sanggup untuk membawa dagangan mereka naik ke atas gedung tersebut. Tentunya pembangunan gedung 6 lantai ini tidak cocok jika harus dijadikan pasar tradisional. Kondisi tersebut lebih coock untuk dijadikan mall atau swalayan yang dikelola oleh swasta, bukan dengan pedagang tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya memperhatikan dari sisi kepentingannya sendiri dan tidak mampu untuk membaca kondisi para pedagang yang akan menempati gedung tersebut. Dampaknya gedung pasar tersebut tampak sepi dan tidak digunakan mulai lantai 3 keatas. Pedagang hanya menempati pada lantai satu dan dua.

Pada gedung Pasar Johar Cagar Budaya, modernisasi dapat terlihat dari adanya sistem zonasi yang diberlakukan. Revitalisasi dengan penataan zonasi ini telah diamanahkan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang No 9 Tahun 2013 tentang Pengaturan Pasar Tradisional. Pada pasal 34 dijelaskan pelaksanaan revitalisasi pasar berupa penataan zonasi pasar, perubahan fungsi dan jenis pasar dan/ atau perubahan penataan kawasan pasar. Zonasi yang dikembangkan oleh Dinas Perdagangan ini sebagai pengelompokan jenis dagangan dalam satu tempat. Hal ini tentunya akan memudahkan pelanggan untuk berbelanja. Pelanggan dapat langsung menghampiri zonasi barang yang dicari dengan pilihan penjual yang bervariatif. Sehingga pembeli dapat langsung melakukan berbandingan dalam satu wilayah tanpa harus berputar ke lokasi lainnya. Zonasi yang banyak diletakkan dalam Pasar Johar Cagar Budaya ini adalah barang-barang kering, seperti pakaian, barang pecah belah, aksesoris, dll. Para pedagang yang berjualan barang basah didalam Pasar Johar Cagar Budaya direlokasi ke Pasar Kanjengan.

Ketiga, kepentingan proyek pemerintah dengan pariwisata. Revitalisasi Pasar Johar dilakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi di wilayah Pasar Johar. Cagar Budaya menjadi titik utama dari pengembangan sektor ekonomi dan pariwisata. Sebagai Cagar Budaya pemerintah Kota Semarang memiliki peluang untuk melakukan promosi dan menjadikan Pasar Johar sebagai salah satu tempat wisata berbelanja. Tertuang dalam Undang-Undang Cagar Budaya Pasal 85 tertulis bahwa �pemerintah daerah dapat melakukan promosi dan memanfaatkan situs cagar budaya sebagai fasilitas untuk memperbaiki kualitas hidup dan pendapatan masyarakat�. Sehingga Pasar Johar Cagar Budaya juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata yang dapat menghasilkan pendapatan baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat. Gedungnya yang memiliki nilai sejarah menjadi poin yang dapat dijual sebagai bangunan bersejarah. Gedung peninggalan Belanda ini menjadi salah satu pasar tradisional paling modern di Asia Tenggara pada masanya. Nilai bersejarah tersebut akan diabadikan dalam museum Pasar Johar Cagar Budaya yang terletak didalam pasar. Dengan adanya museum tersebut tentu akan mengur angi jumlah lapak yang tersedia bagi pedagang. Terlebih dengan sistem zonasi yang telah diterapkan, akan mengurangi jumlah pedagang yang sebelumnya tidak berjualan di tempat yang semestinya. Pedagang yang berjualan pada sirkulasi jalan dan luar zonasi akan dipindahkan. Hal ini sebagai upaya menjaga kenyamanan dan keamanan pelanggan dan wisatawan Pasar Johar.

Dari ketiga kepentingan ekonomi diatas, tentu posisi pedagang lama Pasar Johar akan kesulitan untuk kembali berjualan ke Pasar Johar. Dengan keadaan pasar Johar yang ada saat ini menunjukkan peluang besar bagi swasta untuk bisa masuk meramaikan Pasar Johar Cagar Budaya dan sekitarnya. Perlu diketahui karakter para pedagang lama Pasar Johar adalah para pedagang yang hanya memikirkan untuk berjualan. Mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya wawasan terhadap perubahan zaman modern. Sehingga akan sangat sulit untuk menyesuaikan dan hanya menginginkan segala sesuatunya kembali seperti dahulu. Hal ini tentunya akan merugikan bagi pemerintah, karena sistem zonasi dan potensi wisata tidak akan berkembang. Sehingga akan menghilangkan potensi ekonomi dari perkembangan sektor pariwisata. Akan tetapi disisi lain, pemerintah tetap membutuhkan para pedagang lama yang berjualan untuk meramaikan kembali Pasar Johar. Lapak-lapak untuk berjualan sayur, ikan, buah, daging, pakaian, dll telah disediakan sesuai kebutuhannya. Sayangnya lokasi-lokasi ini terletak dilantai yang cukup tinggi. Sehingga para pedagang enggan untuk pindah dan menuntut memilih lokasi yang menurut mereka strategis.

Jika merujuk pada teori urban regime, maka koalisi yang dibangun dalam revitalisasi Pasar Johar terjalin antara pemerintah dengan para pedagang lama Pasar Johar. Keduanya terikat dimana pemerintah sebagai penguasa, pembuat kebijakan dan penyedia lapak, sedangkan para pedagang sebagai swasta yang menyewa lapak. Keduanya berkoalisi dan akan tetapi memiliki kepentingannya masing-masing. Pemerintah perlu menghidupkan perekonomian di kawasan Pasar Johar pasca revitalisasi. Para pedagang perlu mendapatkan lapaknya kembali untuk berjualan melanjutkan roda kehidupan. Apabila keduanya berkerjasama secara baik, maka secara tidak langsung pertumbuhan perekonomian di kawasan Pasar Johar juga akan membaik. Kerja sama mereka tidak didasarkan secara ketat pada tujuan bersama, tetapi pada kebutuhan untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan masing-masing pihak. Terpilih pejabat menikmati kontrol nominal atas mekanisme formal kekuasaan, yaitu. kemampuan untuk lulus dan menegakkan hukum. Kepentingan bisnis memiliki akses ke sumber daya keuangan, tetapi membutuhkan lingkungan peraturan yang menawarkan kondisi investasi yang menguntungkan (Rachman, Efendi, & Wicaksana, 2011). yang terjadi adalah masing-masing pihak berdiri pada kepentingan masing-masing dan cukup sulit untuk bisa sinkron satu sama lain.

Adanya ketidaksinkronan muncul ketika pemerintah sebagai penguasa tidak melibatkan pedagang dalam rehabilitasi gedung dan penataan lapak yang dilakukan. Seperti yang dikatakan dalam teori urban regime, peran dan posisi pemerintah sangat dominan dan fundamental. (Azikin, 2018) Seluruh kebijakan hanya akan disesuaikan dengan kepentingan pemerintah. Perbedaannya dalam kasus ini, kepentingan pemerintah adalah kepentingan swasta yang kemudian merugikan masyarakat. Sedangkan dalam kasus ini kepentingan pemerintah adalah kepentingannya sendiri. Pemerintah berupaya merevitalisasi Pasar Johar hanya mengedepankan aspek pembangunan perkotaan. Akan tetapi pemerintah tidak memperhatikan aspek local genius para pedagang Pasar Johar. Sedangkan para pedagang dengan local genius sebagai para pedagang pasar tradisional cukup sulit beradaptasi dengan pembangunan yang ada.

Hal itu dapat terlihat dari pembangunan dan kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah. Pertama, pada sudut pandang pemerintah, pembangunan Pasar Johar Kanjengan dengan 6 lantai menggunakan lift dan escalator adalah sebuah kemajuan, dengan konsep seperti gedung mall. Hal ini akan memudahkan pelanggan agar tidak kelelahan naik tangga. Sayangnya, pemerintah menetapkan Pasar Johar Kanjengan sebagai zonasi untuk berjualan barang-barang basah tanpa adanya akses trasportasi untuk bisa naik lantai atas. Para pedagang sayur, daging dan ikan harus menaiki escalator, lift atau tangga untuk bisa mengakses barang naik ke lantai atas. Tentunya hal ini akan menyulitkan bagi para pedagang terlebih pedagang lansia. Ketua Kelompok Pedagang pasar Johar mengakui bahwa penataan zonasi tersebut tidak melibatkan para pedagang. Sehingga penataannya saat ini lebih tidak teratur. Dapat dibayangkan jika sayur mayur, daging atau ikan yang dinaikkan menggunakan escalator dan ada potongan-potongan sampah basah dan air yang jatuh didalamnya, maka akan merusak sistem dari escalator tersebut. Terlebih lantai yang digunakan adalah lantai keramik. Apabila banyak barang basah yang tumpah dna jatuh lantai akan menjadi licin. Proses pembersihan sampah juga akan menjadi sulit. Sedangkan tidak mungkin pedagang akan naik ke lantai atas dengan menggunakan tangga. Sebab mayoritas pedagang basah di pasar johar adalah para lansia yang sudah berumur lebih dari 50 tahun.

Para pedagang hingga saat ini juga masih enggan untuk bisa langsung pindah ke Pasar Johar Kanjengan. Tentu para pedagang merasa keberatan, selain itu mereka sudah mulai membangun kestabilan dagang di tempat relokasi. Apabila mereka kembali ke Pasar Johar Kanjengan maka mereka harus memulai mencari pelanggan lagi. Padahal bangunan tersebut sudah dapat digunakan sejak di resmikan 2020 lalu. sehingga Pasar tersebut hingga saat ini mangkrak dan kosong selama 2 tahun. Pasar yang telah dibangun megah oleh pemerintah dianggap tidak terlalu menguntungkan kondisi pedagang. Kelompok pedagang konveksi dan pecah belah mengatakan bahwa gedung Pasar Johar Kanjengan ini lebih cocok untuk digunakan sebagai pedagang barang kering seperti pakaian, mainan anak, kuliner dll yang menyeruoai mall tetapi diisi oleh para pedagang pasar johar sendiri. Sayangnya interior gedung yang dibangun oleh pemerintah adalah interior dengan lapak-lapak bagi pedagang barang basah. Lapak-lapak ini telah di lengkapi dengan meja-meja beton untuk menata sayur, ikan maupun daging.

Pemerintah justru membangun zonasi yang terbalik. Para pedagang kering yang ditempatkan di Pasar Johar Utara dan Johar Tengah dengan lapak yang disediakan sangatlah kecil hanya berukuran 2x1m untuk lost. Padahal para pedagang kering ini menjual barang-barang berukuran besar dan membutuhkan lapak yang luas. Lokasi ini nampak tidak cocok untuk para pedagang konveksi dan pecah belah. Hal ini mengakibatkan Pasar Johar yang sudah dibangun tersebut masih tampak kumuh. Hal ini disebabkan para pedagang yang membangun besi-besi tambahan untuk mengkotak-kotakkan lapaknya. Tentu dengan adanya bangunan-bangunan tambahan tersebut telah menyalahi aturan dari UU Cagar Budaya. Akan tetapi hal tersebut dibiarkan saja oleh pengelola pasar, karena melihat kondisi lapak yang dibangun memang tidak sesuai jenis barang dagangan.

Hal ini menunjukkan tujuan pemerintah untuk memodernisasi pasar tradisional masih belum berhasil. Minimnya keterlibatan kelompok dagang justru membuat rehabilitasi yang dilakukan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, gedung mangkrak, peningkatan PAD juga tidak tercapai dan pemerintah kesulitan sendiri untuk menarik pedagang berjualan di Pasar Johar Kanjengan. Pemerintah juga kesulitan untuk menertibkan para pedagang yang berjualan di Pasar Johar untuk menjaga bangunan cagar budaya. Bangunan Pasar Johar yang bersejarah dan akan dialokasikan sebagai gedung cagar budaya pada akhirnya tidak tersedia dan justru dipenuhi oleh lapak-lapak pedagang. Pada akhirnya kepentingan pengembangan sektor pariwisata juga tidak tercapai. Wilayah yang seharusnya bisa dikembangkan untuk museum dan pengembangan UMKM tidak disediakan dan dibangun secara maksimal. Pemerintah tampak tidak mempersiapkan revitalisasi ini dengan konsep yang matang.

Pemerintah sebagai penguasa yang menyediakan tempat dan membuat kebijakan bagi para pedagang justru tidak mengutamakan kepentingan pedagang. Padahal jika kita merujuk pada teori Stone, Para pedagang berperan sebagai pihak swasta yang akan menyewa lapak dan meramaikan pasar. Pada akhirnya pemerintah kehilangan sumber pemasukan dari para pedagang bermodal besar. Pasalnya banyak para pedagang yang masih memilih untuk pindah ke tempat lain. Berbagai keputusan yang dibuat oleh pemerintah justru tidak menguntungkan pedagang. Pada akhirnya berbagai pelanggaran terhadap cagar budaya dibiarkan untuk mempertahankan agar para pedagang tidak pergi dari tempat berjualan. Revitalisasi yang diupayakan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan juga tidak tercapai

Kesimpulan

Pembangunan Kota Semarang melalui revitalisasi Pasar Johar Semarang yang diharapkan dapat mencapai kepentingan ekonomi pemerintah justru tidak sesuai harapan. Sejak awal konsep pembangunan tersebut sudah meminggirkan para pedagang. Namun pemerintah sendiri membutuhkan para pedagang untuk bisa berjualan. Kerjasama antara pemerintah dengan para pedagang untuk mengembalikan kondisi perekonomian perkotaan tidak berjalan dengan baik. Relasi yang dibangun seharusnya dapat saling menguntungkan masing-masing pihak, akan tetapi yang terjadi adalah merugikan keduanya. Seperti yang di jelaskan oleh (Wulandari, 2021) bahwa pembangunan perkotaan sangat bergantung terhadap kerjasama yang dijalin pemerintah dengan swasta untuk mencapai efektivitas pembangunan. Dan pada kasus revitalisasi Pasar Johar telah membuktikan bahwa rehabilitasi yang dilakukan tidak efektif karena kerjasama yang dijalin oleh pemerintah dengan pedagang tidak kooperatif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Akbar, Viska Ramardani. (2016). Perancangan Permukiman Pemulung Dengan Pendekatan Fleksibilitas Di Kawasan Muharto Das Brantas, Malang. Surabaya.

 

Astuti, Indah. (2010). Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang Di Pasar Klewer Kota Surakarta.

 

Azikin, Andi. (2018). Konsep Dan Implementasi Ideologi Pancasila Dalam Perumusan Kebijakan Pemerintahan. Jurnal Kebijakan Pemerintahan, 77�90.

 

Djadjuli, Didi. (2018). Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 5(2), 8�21.

 

Huruta, Hur, Dolfriandra, Andrian, & Huruta, Andrian Dolfriandra. (N.D.). Desain Cover: Jack K. Djara.

 

Nomor, Peraturan Daerah Kota Semarang. (9ad). Tahun 2013 Tentang Pengaturan Pasar Tradisional.

 

Putri, Rizqy Amelia. (2017). Desain Interior Galeri Merah Putih Sebagai Upaya Optimalisasi Bangunan Cagar Budaya Dengan Konsep Entertain Edukatif Bernuansa Kolonial. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

 

Rachman, Nurdizal M., Efendi, Asep, & Wicaksana, Emir. (2011). Panduan Lengkap Perencanaan Csr. Penebar Swadaya Grup.

 

Ridlo, Mohammad Agung. (2016). Mengupas Problema Kota Semarang Metropolitan. Deepublish.

 

Rifai, Ahmad. (1919). Kebijakan Relokasi Pasar Klithikan Studi Tentang Implementasi Kebijakan Relokasi Pasar Klithikan Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Kota Yogyakarta Pada Tahun 20070. Politik Dan Pemerintahan Dh. Ilmu Pemerintahan.

Romiza, Ahya Aufa, & Eko Setijadi, S. T. (N.D.). Desain Antena Dual Band Untuk Kebutuhan Massive Mimo.

 

Setiobudi, Eko. (2017). Analisis Sistem Penilaian Kinerja Karyawan Studi Pada Pt.

 

Tridharma Kencana. Jabe (Journal Of Applied Business And Economic), 3(3), 170�182.

 

Timbuleng, Alexandra J. (2020). Tindak Pidana Di Bidang Perizinan Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Lex Crimen, 9(2).

 

Wijaya, Hengki. (2020). Analisis Data Kualitatif Teori Konsep Dalam Penelitian Pendidikan. Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.

 

Wulandari, Mustyka. (2021). Strategi Kerjasama Pemerintah Kota Makassar Dengan International Enterprise Singapore Dalam Upaya Pembangunan Kota Makassar Menuju Smart City Tahun 2016-2020. Universitas Bosowa.

 

Yusanto, Yoki. (2020). Ragam Pendekatan Penelitian Kualitatif. Journal Of Scientific Communication (Jsc), 1(1).

 

Copyright holder:

Jihan Marsya Azahra, Sri Budi Eko Wardani (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: