Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

KOMUNIKASI KELUARGA ORANG TUA TUNGGAL MENGENAI PENDIDIKAN SEKSUAL REMAJA LAKI-LAKI

 

Carina Sindylosa Br Ginting, Agus Aprianti

Universitas Telkom, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pendidikan seks seringkali menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Pro dan kontra pendidikan seks ini bergantung pada bagaimana pengertian masyarakat tentang pendidikan seks itu sendiri. Orangtua berperan penting dalam memberi pendidikan pada anak, terlebih lagi dalam hal pendidikan mengenai seksualitas. Pendidikan seksual ialah upaya dalam mengajar dan memberi informasi mengenai seksualitas. Dalam memberikan pendidikan seksual tentu dibutuhkan komunikasi, yaitu komunikasi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunikasi antara ibu tunggal dan anak remaja laki-lakinya dalam mengkomunikasikan pendidikan seksual menggunakan teori Fitzpatrick dan Koerner yaitu skema hubungan keluarga. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma interpretif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga informan, dua diantaranya memiliki orientasi percakapan tinggi ditandai dengan intensitas komunikasi yang tinggi dan informan lainya memiliki orientasi percakapan rendah ditandai dengan kurangnya keterbukaan dan diskusi. Orientasi konformitas pada keluarga Ibu NB dan Ibu NS rendah ditandai dengan pemberian kebebasan pada anak untuk mengambil keputusan, sedangkan pada Ibu TUS orientasi konformitas tinggi dikarenakan cenderung bersifat tidak bebas dalam berpendapar dan keputusan ada pada orangtua.

 

Kata Kunci:�� Komunikasi Keluarga, Pendidikan Seksual, Orientasi Percakapan, Orientasi Konformitas

 

Abstract

Sex education is often a conversation in the community. The pros and cons of sex education depend on how people understand sex education itself. Parents have an important role in educating children, especially in education about sexuality. Sexual education is an effort to teach and provide information about sexuality. In providing sexual education, of course, communication is needed, namely family communication. This study aims to determine how the communication between a single mother and her teenage son in communicating sexual education using the theory of Fitzpatrick and Koerner, namely the scheme of family relationships. The research method used is qualitative with an interpretive paradigm. The results showed that of the three informants, two of them had a high conversational orientation characterized by high communication intensity and the other informants had a low conversational orientation characterized by a lack of openness and discussion. The conformity orientation in the families of NB and NS is low, marked by giving children freedom to make decisions, while in TUS mothers, the conformity orientation is high because they tend to be not free in their opinions and the decision rests with the parents.

 

Keywords:��� Family Communication, Sex Education, Conversation Orientation, Conformity Orientation

 

Pendahuluan

Pendidikan seks atau pengetahuan tentang seks seringkali memunculkan polemik di tengah masyarakat. Paham tentang pro dan kontra terkait pendidikan seks ini bergantung pada bagaimana masyarakat mengartikan pendidikan seks itu sendiri. Pada dasarnya, pendidikan seks diberikan sebagai bekal dalam pengetahuannya seputar seksualitas. Pada tujuan untuk membuat seseorang paham sehingga orang tersebut dapat memposisikan seks pada sudut pandang yang baik dan benar. Minimnya pendidikan seks oleh orang tua pada anak menimbulkan rasa ingin tahu yang memuncak sehingga anak mulai mencari informasi melalui sumber lain seperti internet. Yang dimana, informasi yang didapatkan tidak tersaring dan belum sesuai untuk anak pada usianya. Perilaku seksual pada anak remaja juga sedikit banyak bergantung pada pengetahuan yang dimiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan apabila pengetahuan seks pada anak rendah serta kontrol dari orang tua menjadikan remaja berperilaku seksual yang berisiko. Sebuah jurnal oleh (Lestari & Awaru, 2020) mengatakan pengetahuan terkait norma dan batasan perilaku seksual adalah penting. Sebab, apabila anak tidak memahami aturan dan batasan tersebut, anak akan sulit menghindari perilaku seksual yang salah.

Orangtua merupakan pemeran penting dalam memberi pendidikan pada anak, terlebih lagi dalam hal pendidikan mengenai seksualitas. Pendidikan seksual sendiri ialah upaya dalam mengajar, menyadarkan dan memberi pengetahuan atau informasi mengenai masalah seputar seksual. Mencakup pengetahuan tentang alat kelamin laki-laki dan perempuan, juga apa yang diperbolehkan atau dilarang dilakukan dengan memasukkan unsur moral dan agama tentang akibat-akibat yang ditimbulkan apabila melakukan yang melenceng dari aturan hukum dan agama sehingga tidak terjadi penyalahgunaan pada area vital tersebut. Namun, di Indonesia sendiri memandang pendidikan seks sebagai sesuatu yang sangat tabu dibicarakan apalagi di depan anak dibawah umur.

Orang tua juga harus mampu menjadi seorang pendidik dan menanamkan dasar kepribadian dan memberi pengertian yang benar, pada kasus ini ialah pendidikan seksual pada anak. Pada hal ini masyarakat khususnya lingkungan keluarga perlu lebih terbuka terhadap pendidikan seks. Sehingga dengan begitu, mereka dapat memahami diri mereka sendiri, keluarga mereka, dan orang-orang terdekat mereka serta melindungi mereka dari perilaku yang tidak diinginkan. Dalam memberikan pendidikan seksual oleh orang tua tentu melibatkan proses komunikasi di dalamnya. Komunikasi ini disebut juga komunikasi keluarga.

Komunikasi keluarga sendiri terbagi menjadi dua orientasi, yaitu orientasi konformitas (conformity orientation) dan orientasi percakapan (conversation orientation) menurut Koerner & Fitzpatrick dalam

Penelitian sebelumnya menjelaskan pola asuh pada anak oleh Orangtua tunggal seputar Pendidikan seks di salah satu wilayah di Kota Medan oleh (Harahap, 2020) yang menghasilkan adanya perbedaan pola asuh di antara beberapa keluarga, ada yang mendidik secara permisif, memberi pengaruh yang tampak seperti anak yang sudah melakukan seks ringan, lebih pasif pemahamannya mengenai kesehatan alat reproduksi juga cenderung pasif dikarenakan hubungan diantara keduanya tidak terlalu dekat. Dan orangtua dengan pola asuh yang otoriter, memberi dampak pada anak seperti anak yang lebih tertutup dan takut untuk sekedar bercerita terkhusus mengenai seksualitas. Berangkat dari hasil penelitian tersebut, penelitian ini menekankan pada bagaimana komunikasi keluarga yang terjadi antara ibu tunggal dan remaja laki-laki mengenai Pendidikan seksual.

Penelitian lainnya oleh (Magdalena, 2017) menjelaskan bahwa peran komunikasi orang tua dalam mencegah pelecehan seksual anak efektif atau tidak efektif, tergantung pada waktu yang dihabiskan untuk membicarakannya dan memahami pola perilaku anak. Yang menjadi objek pada penelitian ini adalah anak usia di bawah umur yaitu usia 2-6 tahun dan fokus penelitian adalah peran daripada komunikasi oleh orang tua guna mencegah terjadinya pelecehan seksual pada anak.Beberapa penelitian sebelumnya berfokus kepada pola asuh oleh orang tua tunggal dan peran komunikasi orang tua dalam mencegah pelecehan seksual pada anak, sedangkan penelitian ini berfokus kepada komunikasi keluarga oleh orang tua tunggal ibu mengenai pendidikan seksual remaja laki-laki dilihat dari sudut pandang orientasi percakapan dan konformitas menurut Koerner & Fitzpatrick.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam (Dr.farida Nugrahani, 2014) pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif dan dapat berupa ucapan, teks, dan perilaku subjek (diamati oleh peneliti). Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan informasi mendalam mengenai komunikasi keluarga orang tua tunggal mengenai pendidikan seksual remaja laki-laki,

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan degan Teknik wawancara dan dokumentasi yang kemudian dianalisa menggunakan Teknik analisis data menurut Miles dan Huberman dalam (Dr.farida Nugrahani, 2014). Tahap pertama adalah mereduksi data, dilakukan dengan merangkum dan memilih hal yang dianggap penting. Tahap kedua adalah penyajian data yang dapat disajikan dalam bentuk teks naratif. Kemudian penarikan kesimpulan dari hasil analisis yang penulis dapatkan dari hasil informasi yang diperoleh.

 

Tabel 1. Unit Analisis Penelitian

 

Unit Analisis

Sub Analisis

 

 

Komunikasi Keluarga Orang tua Tunggal dan Remaja Laki-laki

Orientasi Percakapan

1.      Perhatian

2.      Keterbukaan

3.      Dukungan

4.      Diskusi

Orientasi Konformitas

1.      Kebiasaan

2.      Kepercayaan

3.      Kepatuhan

Sumber: Olahan Peneliti

Informan yang menjadi narasumber yang diteliti pada penelitian ini guna mendapatkan informasi mendalam dibagi menjadi kategori informan kunci yaitu orang tua tunggal ibu yang memiliki anak remaja laki-laki yang juga menjadi informan pendukung pada penelitian ini yang kemudian dikategorikan menjadi remaja awal yaitu berusia 12-15 tahun, remaja pertengahan dengan usia 15-18 tahun dan remaja akhir dengan rentang usia 18-21 tahun. Dalam penelitian ini terdapat tiga informan kunci dengan inisial Ibu NB, Ibu TUS dan Ibu NS beserta anaknya yang berinisial AS, S dan M.

 

Kerangka Teori

Komunikasi Keluarga

Komunikasi yang terjalin dalam keluarga bukan hanya sekedar proses berkirim pesan di antara anggota keluarga. Namun, mengandung maksud dan tujuan dari komunikasi yang hendak dicapai. Komunikasi keluarga menurut Chen dalam (Munir et al., 2017) kualitas pada interaksi orang tua dan anak mencerminkan beberapa aspek, yaitu aspek kehangatan, kepercayaan, ketanggapan, rasa aman dan afeksi yang positif pada interaksi antar keluarga. Sebagai bagian dari komunikasi yang berlangsung, umpan balik berguna untuk memperkuat atau mempererat komunikasi antar anggota sehingga harapan dan keinginan dalam keluarga tersebut dapat dicapai.

Teori Skema Hubungan Keluarga

Skema komunikasi keluarga juga mencakup jenis orientasi tertentu dalam berkomunikasi. Setiap keluarga memiliki orientasi yang berbeda, dapat dinilai dari seberapa sering interaksi yang dilakukan, hingga bagaimana penanaman nilai dalam keluarga tersebut. Maka kedua orientasi dapat diuraikan sebagai berikut:

a.    Orientasi Percakapan

Definisi orientasi percakapan oleh Fitzpatrick adalah di mana sebuah keluarga mampu menciptakan komunikasi dalam keluarga dan masing-masing anggota keluarga terlibat dalam interaksi yang bersifat bebas dan berkelanjutan dilakukan terus menerus. Dalam keluarga yang menghabiskan banyak waktu untuk saling berkomunikasi atau berdiskusi serta mengemukakan pendapatnya, dapat diklasifikasikan sebagai keluarga yang memiliki high conversation. Sedangkan apabila keluarga yang tidak banyak melakukan interaksi seperti saling berbincang satu dengan yang lainnya dapat disebut sebagai keluarga yang memiliki low conversation.

b.    Orientasi Konformitas

Pada orientasi konformitas, Fitzpatrick menjelaskan bahwa orientasi ini mengacu pada sampai sejauh mana keluarga menekankan homogenitas keyakinan, sikap serta nilai kepada anggota keluarganya. Keluarga dengan high conformity akan taat pada peraturan yang ada dalam keluarga tersebut. Berbeda halnya dengan keluarga yang memiliki low conformity, keluarga dengan skema ini biasanya lebih bersifat bebas dan menekankan sifat mandiri pada masing-masing keluarga.

Orang Tua Tunggal

Peranan penting dipegang oleh orang tua dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya, dan orang tua juga sebagai sekolah pertama dan terpenting dalam keluarga. Pada penelitian ini, kategori orang tua yang terlibat adalah orang tua tunggal ibu dalam memberikan pendidikan seks kepada anaknya.Ada dua macam orang tua tunggal menurut Santrock (2002) dalam (Fujianto, 2018) yaitu:

a) single parent mother adalah dimana ibu sebagai orang tua tunggal

b) single parent father adalah dimana ayah sebagai orangtua tunggal.

Pendidikan Seksual

Orang tua harus tetap menjalin komunikasi yang baik sejak awal anak dilahirkan, termasuk komunikasi terkait pendidikan seksual. Alangkah lebih baik untuk tidak mengajarkan pendidikan seks pada anak ketika anak sudah beranjak dewasa, melainkan sejak usia dini.

Apabila orang tua mulai memperkenalkan pendidikan seks sejak dini, maka pada tahapan berikutnya orang tua menjadi lebih mudah untuk menjelaskannya di hadapan anak. Cara untuk memberi penjelasan pada anak haruslah sesuai dengan kemampuan berfikir si anak dalam menganalisa berdasarkan pengalaman juga logika yang dipahami oleh anak. Yaitu dapat dengan memberikan nasihat atau pesan yang sederhana serta menjelaskan dengan cara yang tidak rumit dan mudah dipahami anak sesuai dengan kemampuan berpikirnya.(Lukman, 2020)

Remaja

Remaja menurut Hurlock, dalam (Winda, 2020) dibagi atas tiga kelompok usia tahap perkembangan, yaitu:

a.    Masa Remaja awal (Early Adolescence)

Rentang usianya adalah 12-15 tahun. Pada titik ini, remaja lebih cenderung mengalami kebingungan, kecemasan, kecemasan, dan kegelisahan.

b.    Remaja Pertengahan (Middle Adolescence)

Berkisar di usia 15-18 tahun, individu remaja mulai mencari sesuatu, merasa kesepian dan sendirian, dan merasa tidak dimengerti oleh orang lain.

c.    Remaja akhir (Late Adolescence)

Ada pada kategori usia 18-21 tahun. Saat-sata masa ini, individu menjadi lebih stabil dan mulai mampu memahami ke mana arahnya dan apa tujuan hidupnya. Pada titik ini, kaum muda juga memiliki pendirian tertentu.

Hasil Dan Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis dari data yang diperoleh peneliti, komunikasi yang terjalin di antara ibu tunggal dan anak remaja laki-lakinya baik dalam konteks komunikasi sehari-hari maupun dalam mengkomunikasikan pendidikan seksual dinilai penting baik bagi informan kunci, informan ahli dan informan pendukung. Sama halnya dengan komunikasi sehari-hari, pendidikan seksual juga dianggap penting dikomunikasikan oleh orang tua pada anak. Pendidikan seks sebaiknya diajarkan pertama sekali pada anak dimulai dari rumah. Salah satu alasan utamanya adalah karena masalah seks dianggap sebagai masalah yang bersifat sangat pribadi, cara penyampaian dan siapa yang menyampaikan juga harus turut diperhatikan.

Pada penelitian yang penulis lakukan mengungkapkan bahwa ibu tunggal sangat memperhatikan siapa saja yang menyampaikan selain ibu dan apa informasi yang diperoleh. Dari sudut pandang remaja laki-laki yang telah diwawancarai, orang pertama yang memberikan pendidikan seksual adalah ibu di rumah, barulah kemudian mendapat pengajaran dari sekolah, materi ibadah di kebaktian remaja gereja, dan ada juga yang mencari tahu sendiri atau dari teman-teman. Para remaja pada umumnya saat memasuki masa puber, mereka sudah mulai berusaha untuk mencari tahu mengenai seksualitas, apalagi informasi sangat mudah diperoleh hanya dengan memanfaatkan internet, meskipun sedikit banyaknya informasi yang diperoleh kurang dipahami apakah informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan atau malah mempersuasi melakukan tindakan yang salah.

Membangun komunikasi dalam memberikan pendidikan seksual yang baik di antara orang tua dan anak apalagi pada ibu tunggal dan anak remaja laki-laki harus dibangun sedini dan sebaik mungkin dikarenakan ketiadaan sosok ayah di tengah keluarga dapat menimbulkan rasa canggung dan kurang nyaman pada anak remaja laki-laki dalam menerima pendidikan seputar seks dari ibunya. Dalam sebuah keluarga terdapat sebuah skema hubungan yang terbentuk berdasarkan pengalaman sesame anggota yang dilakukan secara berulang dan interaksinya melibatkan Sebagian atau keseluruhan anggota keluarga. Suatu skema komunikasi keluarga juga mencakup jenis orientasi tertentu dan berinteraksi serta berkomunikasi.(A. F. Koerner & Fitzpatrick, 2002)

a.    Orientasi Percakapan

Dalam komunikasi yang terjadi dalam keenam keluarga ibu tunggal dan anak remaja laki-lakinya dapat dilihat dari orientasi percakapan yang ditandai oleh perhatian, keterbukaan, dukungan dan diskusi. Hal-hal yang paling melekat dan sering tampak dalam hubungan berkeluarga adalah pada perhatian dan kasih sayang. Bentuk perhatianpun dapat diberikan tidak hanya dengan kata-kata atau secara verbal, dapat juga ditunjukkan melalui sentuhan atau Tindakan yang dilakukan oleh anggota keluarga atau disebut juga non-verbal. Fungsi keluarga yang dijelaskan oleh BKKBN dalam (Savitri & Ramadhana, 2020) salah satunya adalah fungsi cinta dan kasih sayang. Fungsi cinta dan kasih sayang ini menjelaskan bahwa keluarga harus mampu menjadi tempat atau wadah dalam menciptakan atau mewujudkan suasana yang dipenuhi cinta dan kasih baik itu dalam keluarga, di tengah masyarakat, bangsa dan negara.

Perhatian-perhatian yang diberikan tersebut secara tidak langsung mampu membangun hubungan keluarga yang lebih baik dan mewujudkan keterbukaan di tengah keluarga. Sikap terbuka merupakan satu dari beberapa hal penting lainnya dalam komunikasi sebuah keluarga, terutama keterbukaan antara ibu dan anak. Masing-masing orang tentu saja memiliki hak untuk menentukan kepada siapa sikap terbuka atau tertutupnya ditujukan mengenai kehidupannya

Selain perhatian dan keterbukaan, ada juga orientasi percakapan berupa dukungan. Yang dimana, peran orang tua sangat penting dalam memberi dukungan salah satunya berupa pendidikan pada anak, seperti pendidikan mengenai seksualitas. Pendidikan seksual pada penelitian ini diberikan oleh ibu tunggal kepada anak remaja laki-lakinya, dimana ibu mengisi peran pengganti ayah dalam memberikan pendidikan pada anaknya. Dalam memberi dukungan, dibutuhkan komunikasi yang bersifat persuasive juga suportif sehingga pendidikan yang diberikan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh anak. Komunikasi di tengah keluarga juga melibatkan dialog yang dinilai lebih efektif apabila antar anggota keluarga dapat saling berdiskusi, dan apabila komunikasi berjalan demokratis dan bersifat dua arah akan menghasilkan komunikasi yang efektif pada keluarga tersebut.

Orientasi percakapan pada keluarga Ibu NB yang paling menonjol adalah perhatian. Perhatian yang diberikan oleh Ibu NB mampu mewujudkan kenyamanan di tengah keluarga sehingga menimbulkan rasa percaya oleh AS. Komunikasi keluarga pada informan ketiga memiliki tingkat orientasi tinggi dikarenakan seringnya interaksi yang dilakukan oleh Ibu NB dengan AS.

 

Tabel 2. Kategori Kode Orientasi Percakapan Keluarga Ibu NB

Kategori

Kode

Bahan obrolan

Beragam bahan obrolan

Komunikasi

Intens denan ibu

Beragam perhatian

Verbal dan Non-verbal

Kedekatan

Dekat dengan ibu

Keterbukaan

Terbuka dengan ibu

Kebebasan berpendapat

Boleh berpendapat

Sumber: Olahan Peneliti (2022)

 

Keluarga kedua yaitu Ibu TUS dan S menonjolkan orientasi percakapan yang rendah dikarenakan kurangnya keterbukaan serta kurang menerapkan diskusi dalam membahas sesuatu. Namun apabila dilihat dari tingkat orientasinya, komunikasi antara Ibu TUS dan S dinilai berorientasi tinggi dikarenakan interaksi yang sering terjadi diantara keduanya meskipun berkomunikasi intens sehari-harinya.

 

Tabel 3. Kategori Kode Orientasi Percakapan Keluarga Ibu TUS

Kategori

Kode

Bahan obrolan

Kurang beragam bahan obrolan

Komunikasi

Kurang intrns dengan ibu

Beragam perhatian

Verbal dan non-verbal

Kedekatan

Kurang dekat dengan ibu

Keterbukaan

Kurang terbuka dengan ibu

Kebebasan berpendapat

Kurang bebas berpendapat

Sumber: Olahan Peneliti (2022)

 

Keluarga ketiga yaitu Ibu NS dan S memiliki diskusi sebagai orientasi percakapan yang paling menonjol. Seringnya kesempatan untuk saling berdiskusi dan bertukar pikiran juga menjadikan keluarga ini memiliki tingkat orientasi percakapan yang tinggi.

 

Tabel 4. Kategori Kode Orientasi Percakapan Keluarga Ibu NS

Kategori

Kode

Bahan obrolan

Beragam bahan obrolan

Komunikasi

Intens dengan ibu

Beragam perhatian

Verbal dan Non-verbal

Kedekatan

Dekat dengan ibu

Keterbukaan

Terbuka dengan ibu

Kebebasan berpendapat

Boleh berpendapat

Sumber: Olahan Peneliti (2022)

 

b.   Orientasi Konformitas

Komunikasi yang terjadi di dalam masing-masing keluarga informan apabila ditinjau dari orientasi konformitas ditemukan adanya kebiasaan, kepercayaan dan kepatuhan di dalam keluarga. Kegiatan yang dilakukan berulang setiap harinya akan menjadi suatu kebiasaan dan kebiasaan tersebut menciptakan ketergantungan antar anggota keluarga. Pernyataan tersebut selaras dengan penjelasan Soelaeman dalam Moh. Schohib (1988;17), definisi keluarga adalah sekumpulan manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain yang bertempat tinggal sa,a serta memiliki keterpautan batin sehingga saling mempengaruhi dan memperhatikan.

Dari intensitas komunikasi yang terjadi antara informan yaitu ibu tunggal dan anak remaja laki-lakinya menciptaka rasa percaya untuk saling bertukar cerita ke arah yang sifatnya lebih pribadi. Hal ini dapat dilakukan dapat dengan cara saling bertukar pikira, perasaan dan reaksi terhadap situasi yang sedang dihadapi. Hal tersebut juga diperkuat oleh Soloman,2001 dalam (Batoebara, 2018) bahwa dalam membangun kepercayaan, harus dimulai dengan sikap menghargai dan menerima kepercayaan tersebut, serta menjadi rutinitas dan dilatih terus menerus. membangun kepercayaan diawali dengan menghargai dan menerima kepercayaan tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang terus menerus.

Keluarga informan baik yang mengedepankan diskusi maupun tidak, masing-masing memiliki pandangannya terkait aturan-aturan di dalam keluarga, ada yang menerapkan aturan dan ada juga yang merasa aturan hanya membuat ribet. Dalam membuat aturan di rumah dapat juga dilakukan dengan kesepakatan bersama seperti melakukan diskusi, maupun keputusan yang dibuat oleh orang tua.

Keluarga Ibu NB dan AS memiliki orientasi konformitas yang menonjol dari sisi kepercayaan. Terlihat dari bagaimana Ibu NB memercayakan AS dalam memutuskan pilihannya dan menjalani pilihan tersebut. Diskusi dalam keluarga tersebut memang kerap dilakukan, namun pada akhirnya Ibu NB memberikan kebebasan pada AS untuk memilih keputusannya sendiri. Pada hal ini, orientasi konformitas keluarga Ibu NB dan AS rendah dikarenakan kebebasan yang diberikan oleh ibunya kepada AS dalam memilih keputusannya sendiri. Adapun penyajian data dalam pendekatan orientasi konformitas dalam komunikasi keluarga informan ketiga adalah sebagai berikut:

 

Tabel 5. Kategori Kode Orientasi Konformitas Keluarga Ibu NB

Kategori

Kode

Kepercayaan

Percaya dengan keluarga

Kebiasaan

Memiliki kebiasaan keluarga

Sikap

Terbuka

Aturan

Menerapkan aturan

Menekankan kesamaan nilai

Tidak menekankan kesamaan,

lebih menekankan diskusi

Kepatuhan

Bersikap patuh

Sumber: Olahan Peneliti (2022)

 

Keluarga Ibu TUS dan S yang memiliki orientasi konformitas yang menonjol dari sisi kebiasaan. Terlihat dari bagaimana Ibu TUS mendidik anak-anaknya termasuk S dengan memberi peraturan yang harus dijalani, sehingga kemudian peraturan tersebut menjadi kebiasaan di tengah keluarga mereka. Pada hal ini, orientasi konformitas keluarga Ibu TUS dan S terbilang tinggi dikarenakan keluarganya cenderung bersifat tidak bebas, yang dimana berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu TUS dikatakan anak harus menuruti putusan dari orang tua dan hanya sesekali untuk diperbolehkan berdiskusi. Adapun penyajian data dalam pendekatan orientasi konformitas dalam komunikasi keluarga informan keempat adalah sebagai berikut:

 

Tabel 6. Kategori Kode Orientasi Konformitas Keluarga Ibu TUS

Kategori

Kode

Kepercayaan

Kurang saling percaya

Kebiasaan

Memiliki kebiasaan keluarga

Sikap

Tidak terlalu terbuka

Aturan

Menerapkan aturan

Menekankan kesamaan nilai

Lebih menekankan kesamaan,

diskusi hanya sesekali

Kepatuhan

Bersikap patuh

Sumber: Olahan Peneliti (2022)

 

Keluarga Ibu NS dan M memiliki orientasi konformitas yang menonjol dari sisi kepercayaan. Terlihat dari bagaimana M sangat memercayai Ibu NS dan begitupun sebaliknya. Hal tersebut juga terlihat saat baik ibu NS dan M yang sering bertukar pikiran dan bercerita, sehingga pendidikan seksual juga dikomunikasikan dengan ringan. Pada hal ini, orientasi konformitas pada keluarga Ibu NS dan M rendah dikarenakan Ibu NS lebih membebaskan M dalam memilih keputusannya sendiri, dan bahkan beberapa keputusan di tengah keluarga untuk mengajarkan M rasa tanggung jawab. Adapun penyajian data dalam pendekatan orientasi konformitas dalam komunikasi keluarga informan keenam adalah sebagai berikut:

 

Tabel 7. Kategori Kode Orientasi Konformitas Keluarga Ibu NS

Kategori

Kode

Kepercayaan

Percaya dengan keluarga

Kebiasaan

Memiliki kebiasaan keluarga

Sikap

Sikap terbuka

Aturan

Kurang menerapkan aturan

Menekankan kesamaan nilai

Tidak menekankan kesamaan,

lebih menekankan diskusi

Kepatuhan

Bersikap patuh

Sumber: Olahan Peneliti (2022)

 

c.    Tipe Keluarga Berdasarkan Orientasi Percakapan dan Orientasi Konformitas

Dalam komunikasi keluarga yang ditinjau berdasarkan dua orientasi yang terbagi menjadi dua iklim yaitu iklim tinggi dan iklim rendah, Fitzpatrick mendefinisikan empat tipe keluarga (Ascan F. Koerner & Schrodt, 2014)

 

Tabel 8. Empat Tipe Keluarga Berdasarkan Iklim

Tipe keluarga

Orientasi

Ciri-ciri

Percakapan

Konformitas

Consensual

Tinggi

Tinggi

Diskusi bersifat terbuka, namun pengambilan keputusan tetap pada orangtua

Pluralistic

Tinggi

Rendah

Diskusi bersifat terbuka, namun pengambilan keputusan diserahkan pada anak

Protectiver

Rendah

Tinggi

Sedikit diskusi, menanamkan kepatuhan kepada orang tua

Laissez-Faire

Rendah

Rendah

Intensitas komunikasi minim dan menekankan kebebasan pada anak.

Sumber: Koerner & Schrodt, 2014

 

Dari hasil yang didapatkan, dapat disajikan tipe masing-masing keluarga berdasarkan orientasi percakapan dan orientasi konformitas adalah sebagai berikut:

 

Tabel 9. Tipe Keluarga Keenam Informan berdasarkan Iklim

Keluarga

Orientasi

Tipe keluarga

Percakapan

Konformitas

Ibu NB-AS

Tinggi

Rendah

Pluralistic

Ibu TUS-S

Rendah

Tinggi

Protectiver

Ibu NS-M

Tinggi

Rendah

Pluralistic

Sumber: Olahan Peneliti (2022)

 

Kesimpulan���

����������� Berdasarkan hasil dari analisis penelitian dan pembahasan yang telah disajikan sebelumnya mengenai orientasi percakapan dan konformitas keluarga orang tua tunggal peneliti menemukan bahwa komunikasi merupakan suatu aspek penting dan yang terutama di dalam suatu keluarga, terutama bagi ibu tunggal dalam mengkomunikasikan pendidikan seksual pada anak remaja laki-lakinya. Masing-masing anggota keluarga harus berperan aktif dalam berkomunikasi, baik dari anak maupun ibu tunggal. Orientasi percakapan yang terjadi pada masing-masing keluarga informan ditandai dengan adanya keterbukaan atau tidak bersifat terbuka antara ibu tunggal dan anak remaja laki-lakinya, dan bagaimana kebebasan berpendapat serta keterbukaan di dalam masing-masing keluarga. Sedangkan pada orientasi konformitas yang terjadi di dalam masing-masing keluarga ditandai dengan adanya keluarga yang menerapkan peraturan dan ada juga yang membebaskan anak tanpa menerapkan peraturan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ammang, W., Sondakh, M., & Kalesaran, E. R. (2017). Peran Komunikasi Keluarga Dalam Mengatasi Perilaku Merokok Pada Anak Usia Remaja (Studi Pada Masyarakat Kelurahan Kampung Makassar Timur Kota Ternate). Vi(3).

 

Batoebara, M. U. (2018). Membangun Trust (Kepercayaan) Pasangan Dengan Melalui Komunikasi Interpersonal. Warta Edisi, 1�17.

 

Dr.Farida Nugrahani, M. H. (2014). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Pendidikan Bahasa. In Http://Digilibfkip.Univetbantara.Ac.Id/ (Vol. 1, Issue 1). http://E-Journal.Usd.Ac.Id/Index.Php/Llt%0ahttp://Jurnal.Untan.Ac.Id/Index.Php/Jpdpb/Article/Viewfile/11345/10753%0ahttp://Dx.Doi.Org/10.1016/J.Sbspro.2015.04.758%0awww.Iosrjournals.Org

 

Fujianto, R. K. (2018). Gambaran Kebahagiaan Pada Remaja Yang Dibesarkan Oleh Orangtua Tunggal. In Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Yogyakarta.

 

Harahap, J. (2020). Analisis Pola Asuh Tentang Seks Pada Anak Oleh Orangtua Tunggal Di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2019. Universitas Sumatera Utara.

 

Koerner, A. F., & Fitzpatrick, M. A. (2002). Toward A Theory Of Family Communication. The New Citizenship Of The Family: Comparative Perspectives. 116�132. Https://Doi.Org/Https://Doi.Org/10.4324/9781315195285

 

Koerner, Ascan F., & Schrodt, P. (2014). An Introduction To The Special Issue On Family Communication Patterns Theory. Journal Of Family Communication, 14(1), 1�15. Https://Doi.Org/10.1080/15267431.2013.857328

 

Lestari, D. A., & Awaru, A. O. T. (2020). Dampak Pengetahuan Seksual Terhadap Perilaku Seks Remaja Di Kecamatan Manggala Kota Makassar. Jurnal Sosialisasi: Jurnal Hasil Pemikiran, Penelitian Dan Pengembangan Keilmuan Sosiologi Pendidikan, 7, 21. Https://Doi.Org/10.26858/Sosialisasi.V0i0.13885

 

Lukman, A. N. A. (2020). Komunikasi Interpersonal Orangtua Bekerja Dalam Pendidikan Seks Anak Usia Dini. Telkom University, 12�26.

 

Magdalena, W. (2017). Peran Komunikasi Orangtua Dalam Mencegah Pelecehan Seksual Anak Di Bawah Umur. Universitas Sumatera Utara.

 

Savitri, Y. E., & Ramadhana, M. R. (2020). Pola Komunikasi Dalam Penerapan Fungsi Keluarga Pada Anak Pelaku Tindak Aborsi Di Jakarta Pusat. Jurnal Ilmu Komunikasi E-Issn : 2614-0381, Issn : 2614-0373, 3(2), 67�79.

 

Winda, M. (2020). Peran Ganda Pada Single Father. In Early Adolescence. Https://Doi.Org/10.4324/9781315789170-1

 

Copyright holder:

arina Sindylosa Br Ginting, Agus Aprianti (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: