Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
KONFLIK
ISRAEL VS. PALESTINA MEMANAS, INDIVIDU MANA YANG HARUS BERTANGGUNGJAWAB?
Ilhamda Fattah
Kaloko, Zainul Daulay, Syofirman Syofyan, Mustika Sukma Utari, Harmelia
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Perseteruan dan hal-hal
yang tidak dapat dihindari oleh negara. Konflik antara Israel dan Palestina
berulang kali terjadi, namun realisasi pertanggungjawaban internasional belum
sesuai dengan aturan yang ada. Adanya peristiwa yang mengakibatkan jatuhnya
korban dalam perang tersebut harus dipertanggung jawabkan oleh Israel sebagai
Negara, serta individu-individu yang terlibat. Akibat tindakan ini, para pelaku
kejahatan perang harus dimintai pertanggungjawaban di bawah hukum
internasional. Rumusan masalah Apa tanggung jawab individu pihak Israel
terhadap Palestina karena melanggar hukum perang? Kesimpulan dari penelitian
ini adalah: Konflik Israel-Palestina telah memenuhi unsur-unsur kejahatan
internasional, sudah selayaknya orang yang melakukan hal tersebut harus
dihukum. Namun dalam kasus pelanggaran ini, Israel dianggap tidak mau dan tidak
mampu menangani kasus tersebut, sehingga PBB berhak mendesak dewan keamanan
untuk membentuk pengadilan ad hoc agar kasus tersebut dapat diselesaikan dan
pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban. untuk tindakan mereka.
Kata
Kunci: kewajiban; pelanggaran
hukum perang; israel dan palestina; perspektif�
hukum internasional
Abstract
Feuds and things that cannot be avoided by the state. Conflicts between
Israel and Palestine occur repeatedly, but the realization of international
accountability has not been in accordance with existing rules. The existence of
events that resulted in casualties in the war must be accounted for by Israel
as a State, as well as the individuals involved. As a result of this action,
the perpetrators of war crimes must be held accountable under international
law. The formulation of the problem What is the individual responsibility of
the Israeli side towards Palestine for violating the laws of war?. The
conclusions of this research are: The Israeli-Palestinian conflict has
fulfilled the elements of an international crime, it is proper that individuals
who have committed this should be punished. However, in this violation case,
Israel is considered unwilling and unable to handle the case, so the UN should
have the right to urge the security council to establish an ad hoc court so
that the case can be resolved and the perpetrators can be held accountable for their
actions.
Keywords:
liability;
violation of the law of war; israel and palestine; international law
perspective
Pendahuluan
Perseteruan
dan konflik terjadi di dunia merupakan dinamika yang terjadi dan hal yang tidak
bisa dihindari oleh negara.Konflik antar negara pernah dialami beberapa negara
yang pada umumnya diakibatkan oleh masalah perebutan wilayah, sengketa
perbatasan, masalah kebijakan politik, sumber daya alam, dan lain sebagainya.
Sejarah konflik Palestina dan Israel bisa dibilang terjadi sejak Deklarasi
Balfour, yakni pernyataan terbuka yang dikeluarkan Pemerintah Inggris pada
tahun 1917 semasa Perang Dunia I untuk mengumumkan dukungan bagi pembentukan
pendirian rumah kediaman nasional bagi minoritas Yahudi di Palestina.
Masyarakat Islam Palestina menganggap bahwa Inggris memaksakan pendirian negara
Yahudi di kawasan Palestina yang bertentangan dengan keinginan mayoritas
masyarakat Palestina (Dipoyudo, 1977). Secara normatif kini Palestina sudah memenuhi syarat
sebagai sebuah negara diantaranya punya penduduk tetap, wilayah yang jelas,
pemerintah yang efektif, serta pengakuan dari negara lain (diakui oleh 136
negara dari 193 negara di dunia) (Syuib, 2020).
Dalam
hal ini Negara Israel telah melakukan tindakan yang melanggar hukum yang diatur
dalam hukum humaniter internasional, sehingga Negara tersebut harus
bertanggungjawab dalam hukum internasional atas segala aktivitas militer yang
melanggar kewajiban internasional dan atas segala aksi penggunaan kekerasan
yang melanggar hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter
internasional sesuai dengan aturan-aturan dalam Responsibility of States for
Internationally wrongful acts. Draft Articles on Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh International Law Commission
merupakan sumber utama yang relevan untuk menjawab bentuk pertanggung-jawaban
negara.Meskipun Draft Articles tersebut hingga kini belum menjadi konvensi yang
bersifat mengikat, dokumen tersebut mengakomodasikan hukum kebiasaan
internasional dan pendapat-pendapat publicist yang otoritatif. Kebiasaan
internasional terdiri dari aturan-aturan hukum yang berasal dari tindakan
negara-negara yang konsisten yang muncul dari keyaknian bahwa tindakan mereka
itu diwajibkan oleh hukum.
Terkait
dengan aspek opinio juris yang merupakan unsur subjektif, Mahkamah
Internasional menyatakan dalam perkara North Sea Continental Shelf bahwa
kebiasaan tersebut harus dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga menjadi
bukti keyakinan bahwa kebiasaan tersebut diwajibkan oleh hukum, sehingga negara
yang melakukan kebiasaan tersebut harus merasa bahwa tindakan mereka sejalan
dengan kewajiban hukum. Mahkamah Internasional menekankan perlunya pembuktian
rasa untuk memenuhi kewajiban hukum dan bukan "tindakan yang didorong oleh
pertimbangan kesopanan, kemudahan atau tradisi". Pernyataan ini
ditegaskan kembali dalam perkara Nicaragua v. United States of America
(Papastavridis, 2016).
Pengecualian
diberikan kepada negara yang menjadi persistent objector atau dalam kata lain
negara yang terus menerus menentang keberadaan suatu kebiasaan internasional,
kecuali jika hukum tersebut masuk ke dalam kategori jus cogens (Judgement, 1951). Konflik antara kedua Negara berulang kali terjadi, namun
realisasi pertanggungjawaban secara internasional belum sesuai dengan aturan
yang ada. Adanya peristiwa yang mengakibatkan korban jiwa dalam perang tersebut
mesti dipertanggungjawabkan oleh Israel sebagai Negara, juga individu yang
terlibat. Akibat tindakan ini harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku kejahatan
perang berdasarkan hukum internasional. Berdasarkan latar
belakang masalah di atas begitu pentingnya untuk dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana tanggung jawab
individual pihak Israel terhadap Palestina atas pelanggaran hukum perang?
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum
Normatif, yang bertujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum serta
permasalahan yang timbul didalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian
adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang
diajukan (Marzuki & SH, 2021). Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui metode
bola salju (snow ball method) yang
diawali dengan pengumpulan bahan hukum baik primer maupun sekunder dan
diinventarisasi, identifikasi, dan diambil hal-hal yang relevan dengan pokok
masalah.
Pengolahan bahan hukum dilakukan dengan mengaitkan ketiga
bahan hukum tersebut dan dilakukan penelahan untuk mendapatkan penjabaran yang
sistematis.Bahan hukum yang diolah dari penelitian ini dianalisa dengan
menafsirkan dan mengkonstruksi pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan
perundang-undangan dengan metode deduktif, yakni menganalisis hal-hal yang
sifatnya umum kemudian disimpulkan menjadi khusus untuk menjawab permasalahan
yang dibahas.
Hasil dan Pembahasan
1. Tanggung
Jawab Individual Pihak Israel Terhadap Palestina Atas Pelanggaran Hukum Perang
Di dalam Statuta Roma 1998 memang tidak ada pasal
yang mengatur secara tegas tentang kedudukan Mahkamah Ad Hoc ketika ICC telah
dibentuk, tetapi berdasarkan pembukaan Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa
kejahatan yang paling serius menurut masyarakat internasional tidak dapat
dibiarkan tanpa adanya ganjaran dan untuk mengakhiri �impunity� bagi yang melakukan kejahatan tidak menutup kemungkinan
dapat dibentuknya suatu mahkamah Ad Hoc. Hal ini dibuktikan dengan sebuah video
yang menyatakan bahwa ICC tetap akan memperhatikan posisi hamas dalam kasus
tersebut apakah bersalah atau tidak, kemudian berdasarkan keterangan wartawan
dalam video tersebut (Nida Ibrahim) menyampaikan bahwa hamas merupakan bagian
perjuangan bersenjata (tentara Palestina) dan juga sebagai oposisi dalam
pemerintahan, sehingga Palestina mengharapkan agar ICC fokus terhadap kejahatan
Israel karena merekalah yang berada dalam situasi yang illegal (ICC, 2022).
a)
Peran
ICC (International Criminal Court)
Dalam Perang Antara Israel Dan Palestina
Israel
dimintai pertanggungjawaban individu karena melanggar hukum Statuta Roma
sebagai hukum internasional yang berlaku, namun Israel ternyata tidak
meratafikasi Statuta Roma ke dalam hukum nasionalanya dengan alasan tidak ingin
tunduk dan terikat dengan Statuta Roma sebagai hukum internasional, berdasarkan
hal tersebut dapat dikatakan bahwa Israel dianggap unwilling dan unable
dalam menangani kasus tersebut maka PBB berhak mendesak dewan keamanan untuk
membentuk pengadilan ad hoc agar kasus tersebut dapat terselesaikan dan pelaku
dapat di mintai pertanggungjawaban sesuai perbuatannya. Penegakan hukum atas
kejahatan internasional yang dilaksanakan oleh suatu negara, ada kalanya negara
dianggap tidak mau (unwilling),
bahkan tidak mampu (unable), padahal
dalam penegakan hukum atas kejahatan ini haruslah akuntabel. International Criminal Court merupakan
suatu mahkamah yang memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan internasional tetap
menjadi perhatian dan pengharapan masyarakat internasional, ketika suatu negara
mengalami keadaan negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable)
(Charles Frera Sumilat, 1998). Negara yang dianggap melakukan unwilling
dan unable pada prinsipnya hanya berlaku bagi negara peserta yang telah
melakukan ratifikasi terhadap statuta roma akan tetapi makna bias diperluas
dengan dasar ICC memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan yang paling
serius (the most serious crimes)
yakni kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi.
Dengan
berbagai bukti banyaknya korban jiwa dan serangan-serangan dari Israel terhadap
penduduk sipil Palestina yang selalu disiarkan ke publik, hal ini menjadikan
keyakinan bahwa memang Israel telah melakukan suatu tindakan sistematis dan
terencana untuk melenyapkan penduduk Palestina. Pemimpin-pemimpin Israel
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam keluarnya perintah keji
terhadap penindasan rakyat Palestina, adalah merupakan suatu kejahatan perang
dan kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia dan sangat berat hukumannya.
Tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin Israel itu bisa diproses di ICC,
karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma, bahwa yurisdiksi ICC adalah
terbatas pada kejahatan internasional yang paling serius. Terlepas dari
kemampuan ICC untuk menghukum para penjahat perang Israel tersebut, sebagai
salah satu metode menghentikan konflik berkepanjangan Israel-Palestina, ada hal
prinsipil yang menyebabkan tidak bisanya ICC mengambil alih permasalahan itu,
yaitu masalah keterikatan dan eksistensi yurisdiksi ICC.
Negara-negara
anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh yurisdiksi ICC tersebut, tetapi
melalui suatu pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Roma
1998. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998 bahwa
ICC hanya berlaku bagi negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998,
sedangkan Israel belum meratifikasi Statuta Roma, maka ICC tentunya tidak akan
bisa memproses kasus penjahat perang bagi para pemimpin Israel.
Namun
demikian dalam Pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa ICC memiliki kewenangan untuk
mengadili negara non-ratifikasi Statuta Roma 1998 dengan syarat negara tersebut
haruslah membuat suatu pernyataan penerimaan yurisdiksi ICC atau perjanjian
khusus yang isinya negara tersebut harus menundukan diri dan menerima
yurisdiksi ICC. Maka dengan demikian, Israel dapat dituntut ke Mahkamah
Internasional atas kejahatan kemanusiannya terhadap penduduk sipil Palestina
berdasarkan Pasal 12 ayat (3) juncto
Pasal 4 ayat (2). Namun di sini Israel unwilling untuk tunduk dan terikat
terhadap yurisdiksi ICC yang mengakibatkan Israel tidak dapat dituntut ke� Makamah Internasional atas kejahatan
kemanusiaan yang dilakukakan.
Dalam
Pasal 11 Statua Roma 1998 menyatakan bahwa yurisdiksi ICC hanya mencangkup
kejahatan yang dilakukan setelah Statuta Roma 1998 mulai berlaku yaitu tanggal
1 Juli 2002. Dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa ICC
dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah yang bukan merupakan
negara pihak apabila terdapat perjanjian khusus. Pada pasal ini kurang efektif,
karena apabila suatu negara non pihak tidak membuat suatu perjanjian khusus
yang mengikatkan diri terhadap Statuta Roma 1998, maka yurisdiksi ICC tidak
dapat digunakan Padahal tujuan dari ICC adalah untuk mengakhiri impunity bagi
yang melakukan kejahatan dan mengupayakan pencegahan terjadinya kejahatan,
tentu saja hal ini sangat bertentangan dari tujuan utama dibuatnya ICC. Dalam
melihat kasus ini seharusnya PBB memaksakan ICC harus tetap mengadili para
pelaku kejahatan dengan cara dan metode-metode yang sebelumnya pernah ada yakni
pada kasus Yugoslavia dalam tribunal ICTY 1991 padahal Statuta Roma baru ada di
tahun 1998 (QC & Suhartono, 2002).
b)
Korban Konflik Antara Israel dan Palestina
Pasukan Israel dan kelompok bersenjata Palestina
melakukan serangan selama pertempuran Mei 2021 di Jalur Gaza dan Israel yang
melanggar hukum perang dan merupakan kejahatan perang. Terdapat beberapa fakta
pembuktian kejahatan Israel pada saat perang 2021. Diantaranya Human Rights
Watch menyelidiki ada tiga serangan Israel yang menewaskan 62 warga sipil
Palestina di mana tidak ada target militer yang jelas di sekitarnya. Kelompok
bersenjata Palestina juga melakukan serangan yang melanggar hukum, 360 roket dan
mortir terarah ke pusat-pusat populasi Israel, melanggar larangan terhadap
serangan yang disengaja atau tanpa pandang bulu terhadap warga sipil. Gerry
Simpson, direktur krisis dan konflik di Human
Rights Watch mengatakan bahwa keengganan konsisten otoritas Israel untuk
secara serius menyelidiki dugaan kejahatan perang, serta serangan roket pasukan
Palestina ke pusat-pusat populasi Israel, menggarisbawahi pentingnya
penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (Israeli, 2021). Selain itu PBB
melaporkan bahwa selama pertempuran Mei, serangan oleh militer Israel
menewaskan 260 warga Palestina, termasuk setidaknya 129 warga sipil, 66 di
antaranya adalah anak-anak. Pihak berwenang Israel mengatakan bahwa serangan
roket dan mortir oleh kelompok bersenjata Palestina mengakibatkan kematian 12
warga sipil, termasuk dua anak, satu tentara, dan melukai "beberapa
ratus" orang.
Beberapa warga Palestina juga tewas di Gaza ketika
roket yang ditembakkan oleh kelompok bersenjata gagal dan mendarat di Gaza.
Sejak akhir Mei, Human Rights Watch mewawancarai secara langsung 30 warga
Palestina yang menyaksikan serangan Israel, kerabat warga sipil yang terbunuh,
atau penduduk daerah yang menjadi sasaran. Mereka harus mengambil semua
tindakan pencegahan yang layak untuk meminimalkan kerugian bagi warga sipil,
termasuk dengan memberikan peringatan dini serangan yang efektif. Serangan di
mana kerugian yang diharapkan terhadap warga sipil dan properti sipil tidak
proporsional dengan keuntungan militer yang diantisipasi juga dilarang.
Israel dan otoritas Palestina telah menunjukkan
sedikit atau tidak ada minat dalam menangani pelanggaran oleh pasukan mereka,
sehingga lembaga peradilan global dan nasional harus melangkah untuk memutus
lingkaran setan serangan yang melanggar hukum dan impunitas untuk kejahatan
perang. Penyelidikan ini juga harus membahas konteks yang lebih besar, termasuk
penutupan Gaza oleh pemerintah Israel dan kejahatan apartheid dan penganiayaan
terhadap jutaan orang. Serangan yang tidak ditujukan pada tujuan militer
tertentu adalah melanggar hukum. Ini juga harus mempertimbangkan apakah semua
tindakan pencegahan yang layak diambil untuk meminimalkan kerugian sipil,
termasuk kemungkinan serangan di jalan dapat menyebabkan gedung bertingkat yang
berdekatan dengan ratusan penduduk runtuh. Serangan yang melanggar hukum dan
dilakukan dengan tujuan kriminal sengaja atau sembrono akan menjadi kejahatan
perang.
c)
Kombatan
dan Non Kombatan
Israel
Dalam Hukum humaniter internasional dikenal dengan Prinsip Pembedaan atau
distinction principle yang terbagi menjadi 2 karakteristik, yakni yang pertama kombat
dalam arti luas ialah penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan,
dan kedua non kombat yang diidentikan dengan penduduk sipil. Hukum humaniter
internasional mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa untuk membedakan antara
penduduk sipil dengan kombatan. Perlindungan penduduk sipil ini juga mencakup
orang-orang yang bekerja sebagai penolong atau relawan, wartawan, dan personel
pertahanan sipil. Dengan demikian yang boleh turut dalam permusuhan (kombatan)
menurut Regulasi Den Haag adalah;
1)
Army
(yang kombatan)
2)
Militia
and volunteer corps yang memenuhi 4 persyaratan
3)
Levee
en masse yang juga memenuhi 5 persyaratan
Menurut
Protokol Tambahan I Jenewa 1977Article 43
1.
Angkatan
bersenjata suatu Pihak yang berkonflik terdiri dari semua angkatan bersenjata,
kelompok dan unit yang terorganisir yang berada di bawah komando yang
bertanggung jawab atau prilaku bawahannya kepada Pihak tersebut, bahkan jika
Pihak tersebut diwakili oleh pemerintah atau otoritas yang tidak diakui oleh
Pihak lawan. Angkatan bersenjata tersebut harus tunduk pada sistem disipliner
kesatuan yang, antara lain, harus mematuhi peraturan hukum internasional yang
berlaku dalam konflik bersenjata.
2.
Anggota
angkatan bersenjata suatu Pihak dalam sebuah konflik (kecuali tenaga medis dan
pendeta yang tercakup dalam Pasal 33 dari Konvensi Ketiga) adalah kombatan,
yaitu mereka yang berhak ikut serta secara langsung dalam permusuhan.
3.
Apabila
suatu pihak yang berkonflik memasukkan para militer atau badan penegakan hukum
bersenjata ke dalam angkatan bersenjata, maka pihak tersebut harus
memberitahukan hal ini pada pihak-pihak yang berkonflik lainnya tersebut.
Article 48 Protokol Tambahan I 1977
�In order to ensure respect for and
protection of the civilian population and civilian objects, the Parties to the
conflict shall at all times distinguish between the civilian population and
combatants and between civilian objects and military objectives and accordingly
shall direct their operations only against military objectives�.
Jadi,
yang boleh dijadikan objek kekerasan adalah Kombatan yang tidak boleh dijadikan
objek kekerasan adalah penduduk sipil.
Article 52.-General protection of civilian objects
1. Civilian objects
shall not be the object of attack or of reprisals. Civilian objects are all
objects which are not military objectives as defined in paragraph
2. Attacks shall be
limited strictly to military objectives. In so far as objects are concerned,
military objectives are limited to those objects which by their nature,
location, purpose or use make an effective contribution to military action and
whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the
circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage.
Jadi, objek yang boleh dijadikan objek kekerasan
adalah objek militer dan objek yang tidak boleh dijadikan objek kekerasan
adalah objek� sipil. Tidak ada penandaan
kusus objek militer selain dengan kualifikasi:
objects which by
their nature, location, purpose or use make an effective contribution to
military action and whose total or partial destruction, capture or
neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers a definite
military of advantage.
Objek yang menurut sifat, lokasi, tujuan atau
penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif terhadap tindakan militer dan
yang kehancuran total atau sebagian, penangkapan atau netralisasi, dalam
keadaan yang berlaku pada saat itu, menawarkan keuntungan militer yang pasti).
2.
Pertanggungjawaban
Komando
Hukum
Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap orang-orang atau
individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya
(individual criminal responsibility).
Prinsip-prinsip umum terkait dengan beberapa karakter khusus orang yang dapat
dimintai pertanggungjawabnya dalam Statuta Roma adalah: (Situngkir,
2018)
a)
Statuta�� ini��
akan�� berlaku�� kepada��
setiap�� orang�� tanpa��
melihat perbedaan berdasarkan jabatannya dalam pemerintahan.
b)
Seorang� komandan�
militer� bertanggung� jawab�
secara� pidana� untuk kejahatan����� yang�����
dilakukan����� oleh����� pasukan����� di�����
bawah kewenang/komandonya,��
atau�� akibat�� dari��
kegagalannya�� dalam
mengendalikan�� pasukannya�� dimana��
pasukannya�� melakukan�� atau mencoba�
melakukan� suatu� kejahatan�
dan� gagal� untuk�
melakukan segala� tindakan� yang�
diperlukan� sesuai� dengan�
kekuasaannya� untuk mencegah terjadinya
atau untuk melaporkannya kepada pihak-pihak yang berwenang untuk diadakan
penyelidikan.
c)
Seseorang
akan bertanggung jawab secara pidana dan dapat dihukum untuk suatu kejahatan
jika dilakukan dengan niatan dan pengetahuan.
Komandan
militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan
akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu: (Muladi,
2011)
1.
Komandan
militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat; dan.
2.
Komandan
militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang
untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Doktrin
bahwa para komandan militer dan orang-orang lain yang menduduki posisi dan
kewenangan yang lebih tinggi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
terhadap perbuatan yang melawan hukum dari bawahannya sudah dimantapkan dalam
norma hukum kebiasaan dan perjanjian Hukum Internasional. Pasal 86 �(2)
Kenyataan bahwa suatu pelanggaran terhadap Konvensi atau Protokol ini dilakukan
oleh seorang bawahan sama sekali tidak membebaskan para atasannya dari tanggung
jawab pidana atau disiplin, maka dalam hal ini dapat terjadi, apabila para
atasannya mengetahui, atau telah mendapat keterangan yang seharusnya
memungkinkan mereka dalam keadaan pada saat itu untuk menyimpulkan bahwa
bawahannya itu tengah melakukan atau akan melakukan pelanggaran dan apabila
mereka itu tidak mengambil segala tindakan yang dapat dilakukan dalam batas
kekuasaan mereka untuk mencegah atau menindak pelanggaran itu. � Pasal 86 ayat
(2) ini menetapkan tanggungjawab seorang atasan dalam kaitannya dengan tindakan
yang dilakukan oleh bawahannya. Dalam hal ini atasan wajib melakukan intervensi
dengan cara mengambil semua langkah yang memungkinkan sesuai kewenangan yang
dimiliki untuk mencegah, atau menindak pelanggaran tersebut. Terkait penerimaan
pengajuan kasus Palestina ole ICC dan saat ini sedang berjalan di tahap
investigasi, apabila pengajuan kasus ini membuahkan hasil positif maka menurut
penulis dapat dipastikan bahwa tanggung jawab komando akan di tanggung oleh
para pemimpin tertinggi negara Israel tersebut terutama perdana menteri serta
para perwira tinggi bahkan komando tingkat rendah dari militer Israel.
3. Pertanggungjawaban Individu
Seseorang yang melakukan tindak pidana di wilayah
yurisdiksi mahkamah bertanggung jawab secara pribadi dan dapat dihukum sesuai
isi dalam Statuta Roma tahun 1998. Dengan adanya penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa individu yang mempunyai tanggungjawab atas tindakan tentara
Israel ini adalah atasan militer mereka, karena tidak melakukan tindakan yang
dianggap perlu untuk menghentikan tindakan penangkapan dan penganiayaan. Dengan
adanya penjelasan mengenai instrumen hukum nasional Israel yang juga
memerintahkan pasukan militernya untuk melakukan pembedaan saat melaksanakan
serangan, maka tindakan tentara Israel melakukan penawanan dan penganiayaan
merupakan pelanggaran terhadap hukum perang nasional Israel (Databases, 2022).
Suatu negara dikatakan tidak mempunyai kemauan dalam
menyelenggarakan peradilan atas pelaku kejahatan yang terdapat dalam Statuta
Roma 1998 apabila peradilan nasional dibentuk untuk melindungi
pertanggungjawaban pelaku, jika terdapat penundaan dalam melakukan penuntutan
dan penghukuman yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan jika
proses peradilannya berlangsung tidak independen dan memihak.
Individu pelaku kejahatan terlepas dari pengaruh
atasan atau perintah komandan (dalam artian prajurit yang melakukan eksekusi
langsung) tetap harus bertanggung jawab tidak boleh lepas dari
pertanggungjawaban hukum prajurit tersebut dengan alasan dia sadar perbuatan
tersebut salah namun dengan kesadaran tersebut tetap melakukan kejahatannya
bahkan apabila prajurit tersebut melakukan tindakan pelanggaran hukum yang mana
komandannya tidak mengetahui serta prajurit tersebut dengan sadar melakukannya
hal ini tentu saja semakin menunjukkan bahwa prajurit tersebut wajib
bertanggung jawab atas tindakannya.
Jika mengacu pada Human Rights Council Fiftieth session 13 June�8 July 2022, Report of
the Independent International Commission of Inquiry on the Occupied Palestinian
Territory, including East Jerusalem, and Israel:
Israel is
therefore bound by the obligations of an occupying Power set out in the Fourth
Geneva Convention and customary international law, including the Convention
respecting the Laws and Customs of War on Land, throughout the Occupied
Palestinian Territory. The Commission will also apply international
humanitarian law to incidents relating to the conduct of hostilities occurring
within Israel, as has been done by previous commissions of inquiry.
Israel terikat oleh kewajiban Negara pendudukan yang
diatur dalam Konvensi Jenewa Keempat dan hukum kebiasaan internasional,
termasuk Konvensi menghormati Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, di seluruh
Pendudukan Palestina Wilayah. Komisi juga akan menerapkan hukum humaniter
internasional untuk insiden berkaitan dengan perilaku permusuhan yang terjadi
di Israel, seperti yang telah dilakukan sebelumnya komisi penyelidikan.
The Commission
emphasizes that all norms of international humanitarian law must be respected
by all parties, including Palestinian armed groups. This includes the
obligation to respect the principles of military necessity, distinction,
proportionality and precautions in and against the effects of attacks.
Komisi menekankan bahwa semua norma hukum humaniter
internasional harus dihormati oleh semua pihak, termasuk kelompok bersenjata
Palestina. Ini termasuk kewajiban untuk menghormati prinsip-prinsip kebutuhan
militer, pembedaan, proporsionalitas, dan tindakan pencegahan dalam dan melawan
efek serangan.
Penegakan hukum atas kejahatan internasional yang
dilaksanakan oleh suatu negara, ada kalanya negara dianggap tidak mau (unwilling), bahkan tidak mampu (unable), padahal dalam penegakan hukum
atas kejahatan ini haruslah akuntabel.International
Criminal Court merupakan suatu mahkamah yang memiliki yurisdiksi terhadap
kejahatan internasional tetap menjadi perhatian dan pengharapan masyarakat
internasional, ketika suatu negara mengalami keadaan negara dianggap tidak mau
(unwilling) atau tidak mampu (unable) (Charles Frera Sumilat, 2018).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa Israel dianggap unwilling dan unable dalam menangani kasus tersebut
maka PBB berhak mendesak dewan keamanan untuk membentuk pengadilan ad hoc agar
kasus tersebut dapat terselesaikan dan pelaku dapat di mintai
pertanggungjawaban sesuai perbuatannya. Negara yang dianggap melakukan
unwilling dan unable pada prinsipnya hanya berlaku bagi negara peserta yang
telah melakukan ratifikasi terhadap statuta roma akan tetapi makna bias
diperluas dengan dasar ICC memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan yang
paling serius (the most serious crimes) yakni kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida, kejahatan perang, dan agresi. . Pada Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma
dinyatakan bahwa ICC memiliki kewenangan untuk mengadili individu yang
melakukan kejahatan di wilayah teritorial negara pihak dari ICC atau individu
yang berasal dari negara yang sudah menjadi pihak dari ICC.Pasal tersebut
mengartikan bahwa ICC tidak hanya dapat mengadili individu yang berasal dari
negara yang sudah mengakui yurisdiksi ICC atau menjadi pihak Statuta Roma.
Mahkamah juga dapat memutuskan pelaku membayar denda
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Hukum Acara dan Pembuktian, maupun
Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak langsung
dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga. Perbedaan antara
tanggung jawab komando dengan individu (natural person) yakni terdapat dalam
situasi perang, bisa saja sipil ikut bergabung dalam melakukan tindakan
layaknya seperti militer lakukan hal ini menunjukkan adanya indikasi yang jelas
bahwa mereka bisa saja tidak di bawah komando seseorang dan bisa saja mereka
bergerak karena keinginan sendiri, kedua misalnya ada individu atau kelompok
yang bergerak untuk melakukan kejahatan yang melanggar hukum internasional yang
mana sebelumnya ia sebagai representasi negara baik itu prajurit ataupun
pimpinan kompi militer, sebelumnya sudah di peringatkan untuk menarik
diri/menahan diri akan tetapi dengan sadarnya mereka tetap melakukan
pelanggaran tersebut padahal bisa saja komandan militer tertinggi pada saat
sebelum kejadian tersebut telah mengeluarkan mereka dari kesatuan militer
karena tau bahwa mereka di luar kendali dan sudah sangat sulit untuk
mencegahnya.
Kesimpulan
Konflik Israel-Palestina sudah memenuhi unsur-unsur
sebuah kejahatan internasional karena terdapat beberapa fakta pembuktian
kejahatan Israel pada saat perang, diantaranya pada tahun 2021 Human Rights Watch menyelidiki
ada tiga
serangan Israel yang menewaskan banyak warga sipil Palestina di mana tidak ada target
militer yang jelas di sekitarnya. Jika mengacu pada kasus Yogoslavia dapatlah dikatakan bahwa apa yang
terjadi pada wilayah Israel-Palestina telah terjadi kejahatan perang dan
kejahatan kemanusiaan yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan
internasional, sudah selayaknyalah para individu yang telah melakukan hal
tersebut dapat dihukum. Selain itu berdasarkan Pasal 28 (a) Statuta Roma 1998
sesungguhnya melahirkan tanggung jawab komando atas kejahatan yang dilakukan
oleh pasukan yang berada dalam kendali dan perintahnya.
Namun dalam kasus pelanggaran ini Israel dianggap unwilling dan unable dalam menangani kasus tersebut maka seharusnya PBB berhak
mendesak dewan keamanan untuk membentuk pengadilan ad hoc agar kasus tersebut dapat terselesaikan dan pelaku dapat di
mintai pertanggungjawaban sesuai perbuatannya. Serta sanksi yang dapat
diterapkan Mahkamah Pidana Internasional kepada pelaku kejahatan perang yaitu
hukuman penjara yang tidak melebihi batas tertinggi 30 tahun, atau hukuman
penjara seumur hidup apabila dibenarkan oleh gawatnya kejahatan dan
keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum. Mahkamah juga dapat memutuskan
pelaku membayar denda berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Hukum Acara dan
Pembuktian, maupun Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung
atau tidak langsung dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga.
BIBLIOGRAFI
(Judgement), Fisheries Case (United Kingdom v Norway).
(1951). the ten-mile rule would appear to be inapplicable as against Norway
inasmu(Judgement), Fisheries Case (United Kingdom v Norway). (1951). the
ten-mile rule would appear to be inapplicable as against Norway inasmuch as she
has always opposed any attempt to . Retrieved from
http://www.worldlii.org/int/cases/ICJ/1951/3.html. Google Scholar
Charles Frera Sumilat, Hendrik B. Sompotan dan Natalia
L. Lengkong. (1998). �Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Dalam
Mengadili Kejahatan Internasional Bagi Negara Non Peserta Statuta Roma 1998
Berdasarkan Hukum Internasional, Lex Crimen, Vol. X/No. 2/Mar/EK/2021, hal. 80.
Google Scholar
Charles Frera Sumilat, Hendrik B. Sompotan dan Natalia
L. Lengkong. (2018). Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Dalam
Mengadili Kejahatan Internasional Bagi Negara Non Peserta Statuta Roma 1998
Berdasarkan Hukum Internasional, Lex Crimen. Google Scholar
Databases, IHL. (2022). International Humanitarian Law
Databases. Retrieved from ihl-databases.icrc.org website:
https://ihl-databases.icrc.org/en/customary-ihl
Dipoyudo, Kirdi. (1977). Timur Tengah dalam
pergolakan. CSIS. Google Scholar
ICC. (2022). ICC prosecutor opens war crimes probe
in Palestinian territories, Al Jazeera. Retrieved from
https://www.youtube.com/watch?v=xX0yZMHKMaE. Google Scholar
Israeli, Palestinian Violations Show Need for
International Criminal Court Inquiry. (2021). Gaza: Apparent War Crimes During
May Fighting. Retrieved from https://www.hrw.org/ website:
https://www.hrw.org/news/2021/07/27/gaza-apparent-war-crimes-during-may-fighting.
Google Scholarv
Mahmud Marzuki, Peter. (2011). Penelitian Hukum. of
the 7th edition. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Google Scholar
Marzuki, Peter Mahmud, & SH, M. S. (2021). Pengantar
ilmu hukum. Prenada Media. Google Scholar
Muladi, Statuta Roma Tahun. (2011). Tentang Mahkamah
Pidana Internasional dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya
Terhadap Hukum Pidana Nasional. Alumni Bandung. Google Scholar
Papastavridis, Efthymios. (2016). Military and
Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States of
America), 1986. In Latin America and the International Court of Justice
(pp. 233�244). Routledge. Google Scholar
QC, Geoffrey Robertson, & Suhartono. (2002). Kejahatan
terhadap kemanusiaan: perjuangan untuk mewujudkan keadilan global. Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Google Scholar
Rosyidin, Mohamad. (2015). Konflik Internasional
Abad ke-21? Benturan Antarnegara Demokrasi dan Masa Depan Politik Dunia. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 18(3), 223�236. Google Scholar
Situngkir, Danel Aditia. (2018). Pertanggungjawaban
Pidana Individu Dalam Hukum Pidana Internasional. Jurnal Litigasi
(e-Journal), 19(1). Google Scholar
Syuib, M. (2020). Negara Palestina Dalam Perspektif
Hukum Internasional. Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-Undangan
Dan Pranata Sosial, 1(1), 39�49. Google Scholar
Triana, Nita. (2009). Perlindungan Perempuan dan Anak
Ketika Perang dalam Hukum Humaniter Internasional. Yinyang: Jurnal Studi
Islam Gender Dan Anak, 4(2), 320�334. Google Scholar
Copyright holder: Ilhamda Fattah Kaloko, Zainul
Daulay, Syofirman Syofyan, Mustika Sukma Utari, Harmelia (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |