Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

ANALISIS ASAS INDEMNITAS DAN KAFALAH PADA ASURANSI SYARIAH

 

Ahmadi Juma Siregar, Sri Sudiarti��

UIN Sumatera Utara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]���

 

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis Asas Indemnitas dan Kafalah pada Asuransi Syariah. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, yang bertujuan melengkapi uraian dengan membuat deskripsi dan analisis tentang asas indemnitas dan kafalahpada asuransi syariah. Hasil dari penelitian ini adalah Penulis sepakat dengan pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa dalam asuransi syariah aturan-aturan yang memberatkan tertanggung dalam peneriamaan ganti rugi seperti yang ada pada asuransi konvensional seharusnya dapat dihilangkan. Mengingat tujuan dari ganti rugi adalah untuk menutup maslahah yang hilang tanpa membebani pihak yang tertimpa musibah, khususnya terhadap kerugian atau musibah yang diluar wewenang peserta atau tertanggung. Dalam melakukan pertanggungan ada beberapa kewajiban yang harus dilakukanoleh nasabah, diantaranya memberikan penjelesan atau sosialisasi tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban seorang nasabah. Dikarenakan banyak masyarakat yang masih awam tentang asuransi, seperti cara melakukan klaim, jenis-jenis jaminan risiko atau pengecualian yang terdapat dalam polis yang mereka miliki.

 

Kata kunci: Indemnitas, kafalah, Polis Asuransi.

 

Abstract

The purpose of this study was to analyze the principle of indemnity and kafalah in Islamic insurance. This research is a qualitative descriptive study, which aims to complete the description by making a description and analysis of the principles of indemnity and kafalah in sharia insurance. The results of this study are the authors agree with the opinion of several experts who say that in sharia insurance the rules that are burdensome for the insured in receiving compensation as in conventional insurance should be eliminated. Bearing in mind the purpose of compensation is to cover the lost maslahah without burdening the party affected by the disaster, especially for losses or disasters that are beyond the authority of the participant or the insured. In carrying out coverage there are several obligations that must be carried out by customers, including providing explanations or socialization about what are the rights and obligations of a customer. Because many people are still unfamiliar with insurance, such as how to make claims, the types of risk insurance or exceptions contained in the policies they have.

 

Keywords: Indemnity, kafalah, Insurance Policy.

Pendahuluan

Dalam kehidupan masyarakat di berbagai bidang selalu berhubungan dengan kata kerugian. Asuransi ada dengan tujuan untuk meringankan kerugian yang terjadi, sehingga masyarakat yang menggunakan asuransi akan memudahkannya, dan juga mengurangi resiko kerugian dalam perekonomian. Menurut Wetria fauzi sejak tahun 2000 SM, konsep dasar asuransi telah digunakan dalam melakukan suatu usaha dagang, dan terus mengalami pembaharuan seiring berkembangnya zaman (Fauzi, 2019).

Dalam transaksi keuangan modern terdapat upaya pengamanan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kemungkinan kerugian yang terjadi, baik dengan cara mengalihkan risiko tersebut atau membaginya kepada pihak-pihak yang bersedia untuk hal tersebut. Risk Transfer dan Risk Sharing dapat dilakukan melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan perjanjian pertanggungan atau perjanjian asuransi.

Mengatasi risiko melalui perjanjian pertanggungan memberikan harapan kepada masyarakat ataupun pelaku bisnis dari ancaman risiko yang tak terduga. Akan tetapi apabila perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor ini tidak sadar akan eksistensi dan tidak berpegang teguh pada prinsip kejujuran terhadap usaha yang dijalankan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka menjadi bagian dari risiko itu sendiri. Contohnya, seperti tidak memberikan pelayanan yang baik kepada tertanggung dan tidak melakukan proses klaim dengan baik dan jujur, atau sengaja mencari-cari kelemahan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan serta menghindari tanggung jawab.

Menurut Desmadi Saharuddin perusahaan asuransi adalah pihak pertama yang bertindak sebagai penanggung, dimana perusahaan dengan sadar menyediakan diri untuk menerima dan mengambil alih risiko pihak tertanggung.Kesanggupan dan janji-janji pertanggungan yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung memberikan arti yang amat besar bagi para nasabah. Mereka mempunyai harapan akan kepastian dan kestabilan ekonomi, jika pada suatu saat nanti terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Pihak kedua disebut sebagai tertanggung, sifatnya boleh jadi perorangan, kelompok, lembaga, badan hukum, perusahaan atau siapapun yang mempunyai peluang dalam hal ini, dimana mereka mempunyai kekhawatiran akan mengalami kerugian. Peralihan risiko dari pihak kedua kepada pihak pertama hanya bisa terjadi dengan adanya perjanjian pertanggungan (Saharudin, 2013).

Menurut Emy pada dasarnya, hakikat dari sebuah pertanggungan adalah janji dari perlindungan yang diberikan kepada para tertaggung atau masyarakat luas. Konkretnya, tujuan utama dari jaminan pertanggungan adalah pembayaran ganti rugi dengan metode indemnitas yang disusun dalam dokumen atau polis asuransi (insurance policy) antara tertanggung (insured) dengan pihak menanggung (insurer). Hal dini ditegaskan pada Pasal 246 Kitab Undang-Undangan Hukum Dagang (KUHD) bahwa pertanggungan adalah suatu perjanjian, dimana penanggung berjanji untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian karena disebabkan oleh beberapa hal, yakni: kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan akibat suatu peristiwa musibah, dengan imbalan premi yang wajib dibayar oleh tertanggung kepada penanggung (Simanjuntak, 1980).

Dari permasalahan diatas penulis tertarik mengangkat judul Analisis Asas Indemnitas dan Kafalah Pada Asuransi Syariah. Adapun tujuan pada penelitian ini adalah untuk menganalisis Asas Indemnitas dan Kafalah pada Asuransi Syariah. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan informasi kepada akademisi dan masyarakat mengenai lembaga asuransi syariah mengenai asas indemnitas dan kafalah pada asuransi syariah.Penelitian ini juga dapat berguna bagi praktisi, stakeholder, maupun regulator dan pemerintah untuk lebih memahami asas indemnitas dan kafalah pada asuransi syariah.

 

Metode Penelitian

����������������������� Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, yang bertujuan melengkapi uraian dengan membuat deskripsi dan analisis tentang asas indemnitas dan kafalahpada asuransi syariah. Menurut Sugiyono bahwa penelitian kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrument kunci (Sugiyono, 2008). Adapun teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literature, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan dengan Analisis Asas Indemnitas Dan Kafalah Pada Asuransi Syariah.

 

Hasil dan Pembahasan

Fungsi dasar dari asuransi adalah mengganti kerugian financial yang timbul akibat terjadinya risiko. Misalnya dalam asuransi kesehatan, saat tertanggung sakit dan menjalani rawat inap ataupu rawat jalan maka biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan atau perawatan akan diganti atau ditanggung oleh perusahaan asuransi. Nah, dalam proses penggantian biaya tersebut yaitu untuk menentukan biaya yang ditanggung atau diganti biasanya menggunakan prinsip indemnity.

Lalu, apa sebenarnya asas indemnity? Kata indemnity diartikan sebagai �Protection or security againts damage or loss againts legal responsibility�. Indemnity �dapat diartikan sebagai mekanisme yang mana penanggung memberikan penggantian finansial dalam rangka untuk menempatkan atau mengembalikan tertanggung pada posisi keuangan yang sama setelah terjadinya suatu kerugian.

Pandangan bahwa indemnity adalah suatu bentuk kompensasi persis atau tepat juga disampaikan oleh Hakmi Bett. Dalam kamus �Castellain v. Prestion (1883)� di Inggris, Hakim Bett menjelaskan bahwa kontrak asuransi yang tertuang dalam sebuah polis kebakaran atau polis marineadalah suatu kontrak indemnity atau hanya indemnity. Dalam kaitan kontrak asuransi tersebut sebagai kontrak indemnity, Bett menjelaskan bahwa indemnity yang berhak diterima tertanggung tidak boleh juga lebih besar dari suatu indemnity penuh.

Di Indonesia tidak semua kontrak asuransi bisa menggunakan prinsip indemnity. Dalam KUHD Pasal 246 dan UU No. 2 Tahun 1992 Pasal 1 dinyatakan bahwa kontrak-kontrak asuransi kecuali kontrak asuransi jiwa pemberian ganti rugi atau sering kita kenal sebagai indemnity. Alasannya karena jiwa dan anggota badan dari seseorang tidak dapat diukur dengan uang. Maka dalam penuutupan asuransi jiwa dan risiko kecelakaan diri seseorang, pihak penanggung harus berhati-hati terkait dengan penetapan jumlah yang ditanggungkan atau harga pertanggungan. Untuk asuransi jiwa, jumlah pertanggungan untuk jiwa seseorang dibatasi menurut kemampuan tertanggung dalam membayar premi. Adapun untuk asuransi kecelakaan diri, jumlah pertanggungan harus disesuaikan dengan pendapatan normal dari orang yang bersangkutan.

Jaminan pertanggungan yang diadakan oleh perusahaan asuransi dalam menjalankan misinya sebagai penjamin, mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

1.      Pertanggungan itu pada dasarnya suatu perjanjian penggantian kerugian, dalam hal ini jelas penanggung telah mengikatkan diri untuk memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung yang menderita keerugian sebatas pada jumlah kerugian yang timbul.

2.      pertanggungan merupakan suatu perjanjian bersyarat, dimana kewajiban memberikan ganti rugi oleh penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu itu terjadi. Dalam hal ini kewajiban pelaksanaan pemberian ganti rugi digantungkan pada satu syarat, yaitu peristiwa yang pasti. Ketiga, pertanggungan adalah perjanjian timbal balik, dimana kewajiban penanggung memberikan ganti rugi yang dihadapkan pada kewajiban tertanggung membayar premi. Keempat, pertanggungan akan memberikan ganti kerugian atas objek kepentingan yang dipertanggungkan memiliki hubungan sebab akibat antara peristiwa dan kerugian.

Asas Indemnitas (Indemnity)

Asas indemnitas adalah landasan utama dalam perjanjian pertanggungan yang diadakan oleh setiap perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum, dan asas yang mendasari mekanisme kerja dan menentukan arah tujuan dari setiap pertanggungan. Intinya, dalam sistem konvensional perusahaan asuransi dan penanggung sebagaimana yang terdapat dalam perjanjian pertanggugan harus memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung yang menderita kerugian sesuai dengan jumlah kerugian yang dialami. Dalam prinsip indemnitas pihak tertanggung tidak boleh mendapatkan keutungan melebihi dari ganti rugi, artinya adalah pihak tertanggung tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari ganti rugi tersebut, kecuali hanya ganti rugi yang setimpal dengan kerugian yang menimpanya, posisi keuangan tertanggung tidak lebih baik dibandingkan sebelum terjadinya musibah.

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 246 KUHD dan sasaran yang ingin dicapai adalah menciptakan suatu keseimbangan antara risiko yang dialihkan kepada penanggung dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Jika tertanggung mengharapkan lebih dari itu, maka ia akan berhadapan dengan hukum perdata yang melarang untuk memperkaya diri secara melawan hukum atau memperkaya diri tanpa hak. Satu sisi asas ini harus sejajar dengan aturan yang terdapat dalam fikih, sebagaimana yang diungkapan oleh al-Syawkani dalam Majallah al- Ahkam al- �Adliyyah di mana tujuan dari ganti rugi (dhaman al- mutallafah) adalah untuk menutupi kemaslahatan atau kerugian yang hilang, oleh karena itu ganti rugi tidak melebihi dari keurgian yang terjadi. Akan tetapi dalam perjanjian pertanggungan (indemnitas) adakalanya suatu ganti rugi tidak diberikan pada keseluruhan kerugian yang terjadi. Karena pada saat objek atau kepentingan yang dipertanggungkan tidak secara keseluruhan, sehingga masih ada risiko yang ditanggung sendiri oleh tertanggung. Dalam hal ini terdapat terdapat perbedaan antara asas idemnitas dengan prinsip dhaman yang ada dalam fikih, di mana ganti rugi tidak boleh kurang dari jumlah kerugian yang dialami (Gazali, 1317 H).

Pada asuransi syariah, asas indemnitas juga berlaku dalam menentukan standar ganti rugi (kafalah), jika kita melihat metode indemnitas yang terdapat dalam sistem konvensional maka meode ini tidak cocok dipakai dalam asuransi syariah apabila tujuan yang diharapkan adalah memberikan ganti rugi berdasarkan jumlah kerugian yang terjadi. Kafalah atau dhaman adalah landasan ganti rugi dalam hukum fikih menetapkan bahwa pemberian ganti rugi harus sesuai dengan jumlah kerugian yang dialami tanpa dilebihkan ataupun dikurangi. Berbeda halnya dengan asas indemnitas, dimana prinsip yang berlaku tidak memenuhi standar ganti rugi seperti yang diharapkan oleh kafalah atau dhaman. Pemberian Ganti (Kafalah dan Dhaman)

Sri Sudiarti menjelaskan dalam bukunya bahwa al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za�amah (tanggungan). Dari pengertian secara bahasa tersebut dapat diartikan bahwa kafalah adalah jaminan, beban, atau tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang ditanggung (makful). Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin. Secara umum al-kafalah dibagi menjadi dua yaitu kafalah dengan jiwa dikenal kafalah bi al-waihi dan kafalah harta.

Kafalah bin-Nafsi yaitu adanya kemestian (keharusan) pada diri atau pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau al-za�im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan (makfullah). Kafalah bi- Mal (harta) yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ini juga termasuk kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain (Sudiarti, 2018).

Dalam hukum islam seorang penjamin disebut dnegan kafil, mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang sangat besar terhadap apapun yang dijami, baik ituberupa harta benda, utang piutang, hak milik, ataupun keselamatan jiwa seseorang. Dalam fikih muamalah, jaminan ganti rugi disebut dengan al- dhaman atau al-kafalah, dalam istilah perasuransian dikenal dengan jaminan pertanggungan atau kafalah dan risk sharing, dalam dunia perbankan disebut dengan bank guaranty atau al-dhaman al- masrafi, namun apabila sudah berbentuk kontrak seperti surat berharga, dokumen, atau sertifikat kepemilikan disebut dengan collateral security (Abdurrahman, 1991)(Qur'an).

Al- dhaman dalam fikih muamalah terbagi menjadi dua macam.

1.      al-dhaman dengan maksud ganti rugi, sebagaimana yang terdapat dalam Majallah Al-Ahkam al-�Adliyyah, yaitu suatu bentuk penyerahan harta benda pada orang lain, apabila harta tersebut berbentuk al-mitsli , maka yang harus diserahkan adalah harta al-mitsli pula, dan begitu juga apabila harta tersebut berupa al-qimi maka harus mengembalikannya dalam bentuk al-qimi.

2.      Al-dhaman dengan maksud tanggung jawab (al-kafalah), sebagaimana yang didefenisikan mazhab Maliki, �Menimpakan suatu tanggung jawab pada orang lain dengan alasan yang benar�. Sedangkan Al-kafalah dengan arti al-dhaman terbagi tiga bentuk, yaitu: kafalah bi al-dayn, kafalah bi al-�ayn, dan kafalah bi al-nafs. Dalam hukum dagang, jenis jaminan ini dikenal sebagai jaminan fidusia.

Dalam Al-qur�an kita jumpai bahwa yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi adalah pelaku yang menyebabkan kerugian tersebut bukan orang lain, akan tetapi kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku yang dipaksa oleh orang lain, kewajiban memberikan ganti rugi berpindah kepada si pemaksa. Hal ini dikarenakan perbuatan bahaya itu secara tidak langsung dilakukan oleh pemaksa tersebut. Jika pelaku hanya diperintah dan tanpa ada paksaan sama sekali, maka seluruh kerugian yang timbul adalah tanggung jawabnya tanpa melibatkan orang yang memerintahkan perbuatan tersebut. Hal ini disebabkan karena pelaku bisa melakukan pilihan antara melaksanakan perintah atau meninggalkannya. Tetap apabila perintah itudatang dari penguasa setempat, di mana menurut kebiasaan tidak ada hukuman bagi orang yang melanggarnya maka pelaku wajib bertanggung jawab apabila ia melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain (Qur'an).

Menurut penulis, berikut ini adalah jenis-jenis kerugian yang harus diberikan ganti rugi apabila terjadi kerusakan.

1.      Kerugian atau kerusakan yang terjadi pada harta benda yang halal menurut hukum islam harus diberikan ganti rugi. Oleh karena itu, tidak diwajibkan mengganti kerugian yang terjadi pada bangkai, khamar, babi, dan hal-hal lain yang diharamkan oleh syariah. Harta benda yang tidak halal menurut syariat islam seperti, mobil curian, petrnakan babi, perusahaan khamar dilarang bagi perusahaan asuransi syariah untuk memberikan jaminan kerugian. Oleh karena itu, dalam polis yang digunakan asuransi syariah seharusnya mencantumkan kata-kata halal dari produk yang diasuransikan. Jaminan kehalalan dari suatu produk yang dipertanggungkan dapat ditanyakan langsung kepada tertanggung atau pemilik.

2.      Harta benda yang harus diberikan ganti rugi adalah harta yang dipelihara dan dilindungi oleh pemiliknya, tidak ada pemberian ganti rugi pada harta atau apapun yang tidak dilindungi oleh pemiliknya. Sebuah mobil bisa dikatakan tidak dilindungi oleh pemiliknya apabila diparkir dibawah pepohonan yang sudah mati dan besar kemungkinan pohon tersebut akan roboh.

3.      Harta benda yang mengalami kerusakan adalah harta yang layak untuk diberikan gant rugi, tidak ada pemberian ganti rugi pada harta yang tidak layak untuk dianti. Misalnya sepeda motor yang telah rusak parah dn tidak ada kemungkinan untuk bisa diperbaiki.

4.      Pemberian ganti rugi terhadap keuntungan yang hilang dibatasi dalam bentk-bentuk kewajaran, karena keuntungan yang diluar batas kewajaran adalah sesuatu yang tidak pasti besar kemungkinansulit dicapai oleh pemiliknya.

5.      Harta benda yang disimpan bukan pada tempatya dan diluar wilyah kekuasaan atau wewenang pemiliknya tidak diwajibkanmemberikan ganti rugi . kehilangan mobil yang diparkir ditempat yang tidak aman tanpa dilengkapi dengan kunci pengaman yang layak, tidak ada kewajiban bagi perusahaan asuransi untuk menggantinya. Undang-undang yang berlaku di Kerajaan Saudi Arabia, dimana pencuri yang merampok uang dalam jumlah yang besar ketika disimpan oleh pemiliknya dalam kendaraan tidak dikenakan hukum potong tangan, karena mobil bukanlah tempat untuk menyimpan uang.

Ganti Rugi Dalam Bisnis Asuransi Syariah

Implementasi bisnis perusahaan asuransi syariah harus dapat menjadikan para tertanggung atau peserta merasa aman dan tenteram terhadap kehidupan yang mereka jalani serta harta benda yang mereka miliki. Pengertian asuransi syariah sebagai satu sistem untuk menempatkan seseorang dalam keadaan aman dan tenteram berbeda dengan pengertian asuransi sebagai transaksi bisnis. Asuransi sebagai satu sistem yang membuat orang merasa aman dan tentram dalam bentuk tolong menolong antara sesame yang dilakukan oleh sekelompok manusia dalam mengatasi bahaya, musibah, dan risiko yang mengancam seseorang (hasan, 1976)

Tujuan utama yang ingin dicapai sistem asuransi syariah adalah membina hubungan persaudaraan dan saling mengasihi atas sesama kelompok masyarakat, mengembalikan orang-orang yang ditimpa musibah kepada kondisi yang baik, mewujudkan ketentraman dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat, dan untuk menyimpan harta benda, karena para peserta yang ikut dalam program ini diminta untuk memberikan atau membayarkan sedikit kontribusi yang akan dikumpulkan bersama peserta yang lain sebagai alat menghadapi risiko yang besar mungkin terjadi. Adapun sistem tabarru� yang telah diterapkan oleh lembaga-lembaga asuransi syariah modern, sesungguhnya telah dipraktikkan pada masa-masa lalu dalam berbagai model dan metode. Metode-metode tersebut telah mapan pada masanya.

1.      sistem �aqilah, yakni yang diberlakukan terhadap pembunuhan untuk pembayaran diah, atau yang dipraktikan oleh orang-orang Ansh�r ketika melindungi orang-orang Muh�jir�n pada saat mereka berada di Madinah (al-Zarqa, 1984).

2.      Sistem kaf�lah al-gh�rim�n, yakni bantuan yang diambil dari harta zakat untuk membayar utang-utang.

3.       Sistem kaf�lahal-fuqar� waal-mas�k�n, yakni bantuan untuk meringankan beban yang dihadapi oleh mereka yang tidak mampu.

4.       Sistem kaf�lah abn�al-sab�l, yakni bantuan untuk meringankan beban biaya orang-orang yang sedang dalam kesulitan akibat situasi tertentu.

5.       Sistem nafaq�t baynal-aq�r�b, yakni suatu kewajiban berupa bantuan yang diberikan oleh sanak family yang mempunyai kesanggupan untuk saudara-saudara mereka yang tidak mampu atau fakir.

6.       Sistem tak�fulal-ijtim��, seperti yang dilakukan oleh kabilah al-sya�riy�n,� yakni dalam mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi para janda atau pada saat mereka menghadapi kesulitan kekurangan bahan makanan, lalu mereka mengumpulkan makanan yang ada pada satu tempat kemudian membaginya kembali menjadi sama rata.

Doktrin indemnitas, dalam fikih muamalah disebut dengan al-dham�n, yaitu ganti rugi yang diberikan kepada pihak yang dirugikan. Ini wajib dilakukan karena beberapa hal, antara lain:

1.      Kerugianyangdisebabkanpelanggaranterhadapakad(dham�nal-aqd�);

2.      Kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan harta(dham�n wadh� al-yad):

3.      Kerugian akibat penahanan harta oleh orang lain(dham�nal-hail�lah);

4.      Kerugian akibat kejahatan tipu daya(dham�n al-maghr�r);

5.      �kerugian akibat perusakan yang dilakukan oleh orang lain(dham�nal-itl�f) (Ahmad, 1985).

Dalam prinsip dasar hukum Islam, segala bentuk kerugian yang terjadi harus diberikan ganti rugi, baik kerugian itu dilakukan secara langsung(al-mub�sir) ataupun tidak langsung (ghayral-mub�sir), baik secara sengaja (al-�amd), ataupun tidak sengaja atau tersalah (al-khatha�), dan orang yang menderita kerugian akibat perbuatan tersebut harus mendapatkan kompensasi sebagai ganti ruginya.

Sesungguhnya dalam membangun sebuah bisnis asuransi yang berdasarkan prinsip syariah telah lama diwacanakan dalam buku-buku fikih. Salah satu diantaranya adalah Ibn �Abidin (1784-1836 M), seorang ahli hukum islam yang menganut mazhab Hanafi. Dalam Qawaid al-ahkam fi Mashalih al-Anam ditegaskan bahwa jaminan ganti rugi itu disyariahkan untuk mengganti maslahah yang hilang atau sebagai penutup kerugian baik yang dilakukan karena kesalahan, tidak disengaja, sengaja, lalai, sadar, lupa, dan bahkan terhadap orang gila, serta anak-anak sekalipun.

Peran perusahaan adalah memastikan agar skema pembagian risiko berjalan dengan baik dalam upaya memberikan benefit bagi para peserta, dan perusahaan hanya bertindak sebagai agen nasabah, karena pada hakikatnya para pesertalah yang saling berbagi risiko antar sesame mereka. Dari semua pekerjaan itu, perusahaan asuransi hanya boleh mengambil fee atau memperoleh surplus dari akad-akad tijarah bukan dari akad tabarru�, karena tabarru� hanyalah untuk sesame partisipan. Namun, dalam kenyataannya ada juga beberapa perusahaan yang menjadikan dana tabarru� ini sebagai investasi untuk menambah benefit perusahaan.

Berdasarkan hasil dari penulis, dalam asuransi syariah aturan-aturan yang memberatkan tertanggung dalam penerimaan ganti rugi seperti yang terdapat pada asurasi konvensional seharusnya dapat dihilangkan. Mengigat tujuan dari ganti rugi adalah menutup maslahat yang hilang tanpa membebani pihak yang tertimpa musibah, khususnya terhadap kerugian atau musibah yang diluar wewenang peserta atau tertanggung. Dengan ditopang oleh peningkatan premi yang terkumpul dari tahun ke tahun, kenaikan laba yang diperoleh perusahaan, dan penurunan rasio pembayaran claim, perusahaan atau operator asuransi syariah dapat memberikan banyak pertolongan kepada peserta atau tertanggungyang mendapat risiko sebagai wujud dari ta�awun. Jika kita perhatikan secara seksama, pola-pola yang diterapkan dalam operasional asuransi syariah dalam memberikan jaminan (kafalah) dan pembayaran ganti rugi masih mengikuti aturan-aturan yang diterapkan oleh konvensional seperti polis dan wording polis, kecuali dalam hal akad, produk, investasi dan keberadaan Dewan Pengawas Syariah.

 

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dalam asuransi syariah aturan-aturan yang memberatkan tertanggung dalam peneriamaan ganti rugi seperti yang ada pada asuransi konvensional seharusnya dapat dihilangkan. Mengingat tujuan dari ganti rugi adalah untuk menutup maslahah yang hilang tanpa membebani pihak yang tertimpa musibah, khususnya terhadap kerugian atau musibah yang diluar wewenang peserta atau tertanggung.

Ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh nasabah dalam melakukan pertanggungan, diantaranya memberikan penjelesan atau sosialisasi tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban seorang nasabah. Dikarenakan banyak masyarakat yang masih awam tentang asuransi, seperti cara melakukan klaim, jenis-jenis jaminan risiko atau pengecualian yang terdapat dalam polis yang mereka miliki. Hal itu sangat urgent dilakukan karena megingat banyaknya produk asuransi yang ditawarkan kepada masyarakat. Bahkan ada sebagian tertanggung yang tidak pernah membaca polis yang mereka miliki, atau jikapun mereka pernah membacanya namun mereka tidak bisa memahami sepenuhnya, atau boleh jadi keliru dalam menginterprestasikannya. Hal seperti ini lah yang tidak boleh terjadi karena mengingat konsep dasar dari asuransi syariah adalah ta�awun dalam melakukan kebaikan dan ketakwaan.

Asas indemnitas adalah landasan utama dalam perjanjian pertanggungan yang diadakan oleh setiap perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum, dan asas yang mendasari mekanisme kerja dan menentukan arah tujuan dari setiap pertanggungan. Intinya, dalam sistem konvensional perusahaan asuransi dan penanggung sebagaimana yang terdapat dalam perjanjian pertanggugan harus memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung yang menderita kerugian sesuai dengan jumlah kerugian yang dialami. Sedangkan kafalah adalah jaminan, beban, atau tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang ditanggung (makful). Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin.

 


BIBLIOGRAFI

 

Abdurrahman. (1991). Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

 

Ahmad, S. M. (1985). Dhaman Al-Matalafat fi Al-fiqh al-Islami. al-Qahirah: Mathba'ah al Sa'adah.

 

al-Zarqa, M. A. (1984). Nizam Al Tamin. Bayrut: Mu'asasah Al Risalah.

 

Fauzi, W. (2019). Hukum Asuransi Di Indonesia. Andalas University Press , 2.

 

Gazali, S. A.-D. (1317 H). Al Wajiz . Mishr: al-Adab wa al-Mu'ayyadah , 208.

 

Hasan, H. H. (1976). Hukm Al-Syarifah al Islamiyah fi Uqud Al-Ta'min. Al Qahirah.

 

Indonesia, U.-U. R. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Buku Kesatu Pada Umumnya Bab IX Asuransi Atau Pertanggungan Pada Umumnya.

 

Qur'an, A. Q.S Al Baqarah .

 

Saharudin, D. (2013). Asas Indemnitas Dan Kafalah Di Indonesia. Al-Iqtisad , 141.

 

Simanjuntak, E. P. (1980). Hukum Pertanggugan dan Perkembangannya. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.

 

Sudiarti, S. (2018). Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press.

 

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

 

Copyright holder:

Ahmadi Juma Siregar, Sri Sudiarti (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: