Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

STUDI KASUS DINAMIKA PSIKOLOGIS ANAK DENGAN GANGGUAN AUTISM SPECTRUM DISORDER

 

Octaviani Bella Angela

Universitas Surabaya

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika psikologis gangguan autism spectrum disorder yang dialami oleh anak. Penelitian ini merupakan studi kasus yang bersifat kualitatif dengan satu partisipan yaitu Ben, anak laki-laki berusia 3 tahun. Metode pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan beberapa tes psikologi yaitu Denver Developmental Screening Test (DDST), Vineland Social Scale (VSMS), Modified Checklist for Autism in Toddler (M-CHAT) dan M CHAT-R Follow Up. Hasil menunjukkan terdapat faktor internal seperti kondisi fisik, perkembangan yang terlambat dan faktor eksternal seperti perbedaan pola asuh, dan kepribadian dari ibu. Adanya pemicu berupa pemberian gadget juga berkontribusi memperparah gangguan autism spectrum disorder. Intervensi dilakukan untuk mengoptimalkan potensi anak melalui psikoedukasi dan konseling kepada keluarga dan membantu anak dengan pemberian intervensi modifikasi perilaku dan metode flash card. Hasil intervensi menunjukkan bahwa orangtua sudah dapat menerima dan lebih memahami kondisi anak. Ben juga sudah mampu untuk mengikuti instruksi, melakukan kontak mata, dan menirukan perkataan.

Kata Kunci: autism spectrum disorder, dinamika psikologis, modifikasi perilaku, konseling keluarga

 

Abstract

This study aims to describe the psychological dynamics of autism spectrum disorder experienced by children. This research is a qualitative case study with one participant, namely Ben, a 3 year old boy. The examination method was carried out using observation, interviews, and several psychological tests, namely the Denver Developmental Screening Test (DDST), Vineland Social Scale (VSMS), Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) and M CHAT-R Follow Up. The results show that there are internal factors such as physical condition, delayed development and external factors such as differences in parenting styles, and the personality of the mother. Triggers in the form of giving gadgets also contribute to aggravating autism spectrum disorder. Interventions are carried out to optimize children's potential through psychoeducation and counseling to families and help children by providing behavior modification interventions and the flash card method. The results of the intervention show that parents are able to accept and better understand the child's condition. Ben is also able to follow instructions, make eye contact, and imitate words.

 

Keywords: autism spectrum disorder, psychological dynamics, behavior modification, family counseling

 

Pendahuluan

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda, dibandingkan dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik (Geniofam, 2010). Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang banyak terdengar adalah Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau lebih dikenal dengan istilah autis. Autism spectrum disorder adalah gangguan proses perkembangan dalam aspek komunikasi, interaksi sosial adanya pola perilaku atau aktivitas yang terbatas dan repetitif (Svenaeus, 2014). Autisme merupakan gangguan perkembangan pada anak, oleh karena itu diagnosis ditegakkan dari gejala-gejala yang tampak yang menunjukkan adanya penyimpangan dari perkembangan yang normal sesuai umurnya (Fatmawati, 2015).

Hasdianah mengatakan bahwa gangguan perkembangan pada anak autis mempengaruhi bagaimana anak mempelajari dunia melalui pengalaman yang dialaminya sehingga menyebabkan anak tersebut hidup didalam dunia sendiri (Indiarti & Rahayu, 2020). Anak autis memperlihatkan beberapa gejala, menurut (Siti Sonalia Putri, Idarianty, & Della Yusra, 2020) adanya 3 gejala inti pada anak autis yang lebih kelihatan seperti: kurangnya kemampuan untuk menginterpretasikan emosi, kapasitas untuk berinteraksi dan berkomunikasi sosial, dan fokus terlalu lama pada sebuah subjek atau kegiatan. Berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III), gangguan autis terjadi pada masa perkembangan anak sebelum memasuki usia 36 bulan. Usia dua-tiga tahun, pada masa balita ini anak lain biasanya mulai belajar berbicara, berbeda dengan anak autis yang tidak menampakkan tanda-tanda berbicara. Anak autis sering kali melakukan sesuatu secara berulang, seperti berputar-putar, mengepakngepakkan lengannya, menggoyang-goyang kan badannya (Anam, Khasanah, & Isworo, 2019). Gejala inti pada anak autis perlu diperhatikan dalam tumbuh kembang anak.

Gangguan autis ini menyerang sekitar 2 sampai 20 orang dari 10.000 orang dalam suatu populasi (Karst & Van Hecke, 2012) dan pada umumnya gangguan autis lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Berdasarkan data dari (Organization, 2013) menyebutkan bahwa diperkirakan satu dari 160 anak di seluruh dunia mengidap Autism Spectrum Disorder (ASD). Badan Pusat Statistik saat ini di Indonesia terdapat sekitar 270,2 juta dengan perbandingan pertumbuhan anak autis sekitar 3,2 juta anak (Indiyana & Utami, n.d.). Pusat Data Statistik Sekolah Luar Biasa mencatat jumlah siswa autis di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 144.102 siswa (Jenderal & Data, 2020). Angka tersebut naik dibanding tahun 2018 tercatat sebanyak 133.826 siswa autis di Indonesia. Meskipun data anak dengan gangguan autis di Indonesia belum pasti, tetapi berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia dengan tingkat pertumbuhan 1,14 persen dapat diprediksi penderita autis di Indonesia berkisar 2,4 juta orang dengan peningkatan 500 orang per tahun (Endriani, Astuti, Lukitasari, & Rayani, 2020)

DSM V menegakkan autism spectrum disorder (ASD) (Saputra, 2021) apabila memenuhi tiga kriteria perilaku dalam kategori a dan minimal dua kriteria dalam kategori b. Kategori a, yaitu kekurangan yang persisten dalam komunikasi dan interaksi sosial pada berbagai konteks, baik yang saat ini terjadi ataupun terjadi sebelumnya: 1) Keterbatasan melakukan interaksi sosial emosional timbal balik, mulai dari, pendekatan sosial yang abnormal, kegagalan dalam percakapan dua arah; kurang dalam berbagi minat, emosi atau afek; sampai pada kegagalan dalam menginisiasi atau memberikan respon dalam interaksi sosial. 2) Keterbatasan dalam komunikasi nonverbal, mulai dari, komunikasi verbal dan non-verbal yang buruk; abnormalitas dalam kontak mata dan bahasa tubuh atau kekurangan dalam memahami dan menggunakan gestur; sampai pada ekspresi wajah dan komunikasi nonverbal yang sangat kurang. 3) Keterbatasan membentuk, menjaga, memahami dan menyesuaikan diri dengan interaksi sosial, mulai dari, kesulitan untuk menyesuaikan perilaku dalam konteks sosial yang bervariasi; sampai pada kesulitan untuk imaginative play atau dalam berteman; tidak memiliki minat untuk berinteraksi dengan sebaya.

Kategori b yaitu, pola perilaku, minat atau aktivitas yang terbatas dan repetitif seperti ditunjukkan paling tidak dua perilaku dibawah ini: 1) Melakukan gerakan stereotip yang repetitif, menggunakan objek atau mengulangi kata-kata (seperti gerakan motorik yang khas, menyusun mainan atau membolak balik objek, echolalia, kata-kata tertentu). 2) Kaku pada rutinitas kegiatan atau pola perilaku verbal/nonverbal yang sudah diritualkan (seperti distress ketika terjadi perubahan kecil, kesulitan dalam menghadapi transisi, pola pikir yang rigid, greeting rituals, ketika akan pergi ke suatu tempat harus mengambil rute yang sama atau makan makanan yang sama setiap hari). 3) Minat yang sangat terbatas atau terpaku pada minat-minat tertentu (ketertarikan yang kuat atau sangat asyik pada objek yang tidak biasa, minat yang sangat sempit dan terbatas). 4) Hiperreaktif/hiporeaktif terhadap input sensorik atau minat yang tidak biasa pada aspek sensori di lingkungan (misalnya tidak peduli pada rasa sakit/ perubahan suhu, respon yang janggal pada suara atau tekstur tertentu, membaui atau menyentuh objek secara berlebihan, terpesona secara visual pada lampu atau gerakan tertentu).

Tingkat Keparahan Autism Spectrum Disorder dibagi kedalam 3 level dengan 2 kategori yaitu komunikasi sosial dan perilaku.

 

 

Tabel 1. Tingkat Keparahan Autism Spectrum Disorder

 

Komunikasi Sosial

Perilaku Terbatas dan Berulang

Level 1: Membutuhkan Dukungan

Tanpa dukungan orang lain, defisit pada kemampuan komunikasi sosial akan menyebabkan gangguan. Kesulitan untuk memulai interaksi sosial, menunjukkan respon yang tidak lazim atau kegagalan dalam menanggapi tawaran sosial (social overtures).

Pola perilaku yang tidak fleksibel menyebabkan gangguan signifikan dalam keberfungsian pada satu atau lebih konteks. Kesulitan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Masalah dalam mengorganisasi dan merencanakan secara mandiri.

Level 2: Membutuhkan dukungan yang bersifat substansial

Defisit pada kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal masalah sosial terlihat walaupun dengan dukungan dari orang lain; terbatas dalam memulai interaksi sosial; dan menunjukkan respon yang abnormal dalam menanggapi tawaran sosial (social overtures).

Pola perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan untuk menghadapi perubahan, atau perilaku terbatas/repetitif muncul cukup sering sehingga dapat dilihat oleh observer dan mengganggu keberfungsian dalam berbagai konteks. Kesulitan untuk mengalihkan fokus dan tindakan.

Level 3: Membutuhkan dukungan yang sangat substansial

Defisit yang parah pada kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal menyebabkan gangguan dalam keberfungsian, sangat terbatas dalam interaksi sosial, menunjukkan respon minimal terhadap tawaran sosial (social overtures) dari orang lain.

Pola perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan ekstrim dalam menghadapi perubahaan, atau perilaku terbatas/repetitif yang mengganggu keberfungsian dalam semua aspek. Sangat kesulitan untuk mengalihkan fokus dan tindakan.

����������� Terdapat berbagai jenis terapi yang dapat digunakan pada anak autisme dan sudah dikembangkan untuk mendidik anak salah satunya terapi modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku merupakan suatu pendekatan behavioristik yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptif yang berlebihan dalam kehidupan sehari-hari (RAHAYU, 2019). Teknik yang digunakan dalam modifikasi perilaku ini adalah teknik Prompting. Teknik Prompting adalah teknik yang diperkenalkan untuk meningkatkan kecenderungan terjadinya perilaku yang diinginkan. Teknik ini dimulai dengan memberikan stimulus sebelum munculnya perilaku yang diharapkan.

����������� Terapi bermain merupakan suatu usaha untuk mengubah tingkah laku yang salah, dengan membawa anak dalam kondisi bermain (Handajani & Yunita, 2019). Kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial merupakan cerminan dari bermain (Colin, Keraman, Maydinar, & Eca, 2020). Terapi bermain mempunyai banyak manfaat yaitu dapat membuang energi ekstra dan mengoptimalkan seluruh bagian tubuh, terapi bermain juga dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang sangat berguna sepanjang hidupnya, meningkatkan kreativitas dan menemukan arti dari benda-benda yang ditemukan anak disekitarnya (Syahputra, 2020). Flashcard adalah kartu kecil terdapat gambar, teks maupun tanda yang dapat menuntun anak untuk mengingat dan menarik perhatian serta dapat mengungkapkan ide-idenya saat melihat gambar tersebut. Hal ini sesuai dengan susilana dan riyana dalam (Ayuana Oktaviani Putri, 2018) flashcard merupakan media pembelajaran yang berupa kartu berukuran 25x30 cm.

����������� Intervensi bukan hanya diberikan kepada anak namun juga orangtua agar dapat mengoptimalkan potensi anak yaitu dengan memberikan psikoedukasi dan konseling keluarga. Psikoedukasi adalah metode edukatif yang ditujukan untuk memberikan informasi yang diperlukan keluarga dengan bekerjasama dengan tenaga professional sebagai bagian dari keseluruhan rencana perawatan klinis untuk kesehatan anggota keluarga (RAHMAANI NURHAKIIM, 2020). Konseling Konseling yang diberikan adalah konseling keluarga. Golden dan Sherwood (Amanah, Mahendra, & Silaen, 2023) mengatakan bahwa konseling keluarga adalah metode yang dirancang dan difokuskan pada keluarga dalam usaha untuk membantu memecahkan masalah perilaku. Konseling keluarga dilakukan dengan pendekatan behavioral melalui teknik teaching via questioning dan shaping.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk mendeskripsikan dinamika psikologis gangguan autism spectrum disorder melalui formulasi 5P yaitu presenting problems yang didiagnosis berdasarkan DSM, predisposing factors yaitu penyebab masalah, precipitating factors yaitu pemicu masalah, perpetuating factors yaitu yang membuat masalah berkepanjangan, dan protective factors yaitu pencegah masalah (Wintari, 2020). Penelitian menggunakan desain studi kasus pada satu individu yang bersifat kualitatif. Berikut ini identitas Ben:

Tabel 2. Identitas Partisipan

Nama (Samaran)

Ben

Jenis Kelamin

Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir

Bandung, 24 Agustus 2017

Usia

3 tahun 8 bulan

Alamat

Jawa Barat

Pendidikan

-

Suku Bangsa

Tionghoa

Latar Belakang Budaya

�Tionghoa

Agama

Buddha

Urutan Kelahiran

2 dari 2 bersaudara

 

Beberapa asesmen yang digunakan dalam menggambarkan dinamika psikologis Ben adalah dengan wawancara, observasi, dan tes psikologi. Wawancara dilakukan kepada orangtua partisipan aagar mendapatkan informasi secara mendalam mengenai permasalahan yang dialami. Observasi dilakukan melalui pengamatan agar dapat melihat kesesuaian dengan yang ditampakkan oleh partisipan. Tes psikologi yang digunakan berupa tes Denver Developmental Screening Test (DDST), Vineland Social Maturity Scale (VSMS), Modified Checklist for Autism in Toddler (M-CHAT) dan M CHAT-R Follow Up. Alat tes DDST digunakan untuk mengukur keterlambatan perkembangan yang dialami dari aspek bahasa, sosial, motorik halus dan kasar. VSMS bertujuan untuk mengukur kematangan sosial sebagai pendukung penegakkan diagnosa autistic disorder dalam fungsi communication dan socialization. M-CHAT dan M CHAT-R Follow untuk mengetahui apakah subjek memenuhi kriteria diagnosis autism.

 

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan melalui observasi, wawancara, dan alat tes ditemukan bahwa Ben dikandung saat ibu berusia 36 tahun dan sedang mengalami stress karena sering dimarahi oleh nenek (dari pihak ibu) terkait pekerjaan. Ibu pernah mengalami stroke hampir 2 tahun di usia 23 tahun. Kehamilan Ben tidak direncanakan. Di usia kehamilan 7 bulan, Ibu datang ke paraji (tukang urut) untuk membenarkan kepala Ben. Ben dilahirkan secara sesar lebih cepat 3 minggu dari perkiraan kelahiran yaitu tepat 9 bulan. Sebelum berusia 1 tahun, Ben sering sekali sakit terutama terkait pernapasan dan sempat dikira asma. Perkembangan motorik Ben juga mengalami keterlambatan. Ben tidak melalui fase merangkak, bisa berjalan di usia 2 tahun, dan mulai mengeluarkan kata yang berarti setelah usia 3 tahun.

Ben dibesarkan dengan adanya perbedaan pola asuh antara ibu dan ayah. Ibu permissive indulgent sedangkan ayah otoriter dan cenderung absen. Pada keluarga pemegang keputusan ada di nenek (pihak ibu) karena keduanya bekerja dan tinggal di rumah nenek. Ben lebih sering menghabiskan waktu dengan nenek, namun Ben juga sering ditidurkan agar tidak berisik. Ibu juga seringkali memberikan Ben gadget agar tidak rewel/mengganggu ketenangan rumah.

Ben memiliki kesulitan dalam berbicara dan melakukan interaksi dengan orang-orang di sekitarnya. Pada aspek bahasa Ben mengalami keterbatasan dalam perkembangan bahasa lisan, ia hanya mengetahui beberapa kosa kata dan sangat jarang menggunakannya. Ia lebih sering menggunakan isyarat tubuh seperti mengambil dan menarik benda/orang yang ada di sekitarnya. Dari segi aspek interaksi sosial, Ben mengalami kesulitan dalam melakukan perilaku non-verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah dan juga gerakan (pergi ketika sudah tidak ada ketertarikan). Maka dari itu, Ben juga sulit melakukan hubungan timbal balik dengan sepupu, kakak, bahkan kedua orangtuanya.

Ben memiliki perilaku obsessive, apabila bajunya tidak rapi atau ada kancing yang salah ia akan marah. Demikian juga ketika ia menyusun alphabet, semuanya harus sejajar dan lurus. Jika Ben marah atau kesal, ia seringkali melempar barang-barang yang ada disekitarnya. Ben juga sering menjatuhkan dirinya ke lantai. Atau memukul dirinya sendiri sebelum usia 3 tahun. Saat ini, perilaku mencelakakan diri hanya muncul ketika Ben marah. Keterlambatan perkembangan diduga karena kurangnya stimulus untuk mengoptimalkan aspek tersebut. Selama ini ibu hanya fokus untuk memaksimalkan aspek kognitif seperti menghafalkan alphabeth, angka, dan warna. Hal ini dikarenakan Ben sangat menggemari alphabeth, dari bentuk, lagu, hingga video sampai diputar berkali-kali. Di tengah kegiatannya Ben sering menggelenggelengkan kepala atau melompat-lompat tanpa alasan.

Tabel 3. Gambaran Diagnosa

Aspek

Karakter ASD

Ket

Karakteristik Ben

Gangguan Dalam Interaksi Sosial

Anak tidak mampu berhubungan secara normal baik dengan orang tua maupun orang lain. Anak tidak bereaksi bila dipanggil, tidak suka atau menolak bila dipeluk atau disayang. Anak lebih senang menyendiri dan tidak responsif terhadap senyuman ataupun sentuhan.

�

Hasil DDST dan VSMS menunjukkan bahwa perkembangan Ben kurang optimal. Ia lebih suka bermain sendiri dan mengabaikan orang yang mau berinteraksi dengannya. Meski sudah dipanggil berkali-kali Ben bersikap seperti orang tuli. Ben juga segera melepaskan diri dari pangkuan ayahnya hanya dalam hitungan detik namun dengan ibu sangat melekat. Ben juga tidak membalas. Ketika diberikan senyuman Ben membalasnya dengan ekspresi datar.

Gangguan Fungsi Bahasa dan Komunikasi

Kemampuan komunikasi dan bahasa sangat lambat dan bahkan tidak ada sama sekali. Mengeluarkan gumaman kata-kata yang tidak bermakna, suka membeo dan mengulang-ulang. Mereka tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuhnya, tetapi menarik tangan orang tuanya untuk dipergunakan mengambil objek yang dimaksud.

�

Ben sangat jarang mengeluarkan kata yang berarti. Ia lebih sering bergumam dan berteriak. Jika berbicara itu pun hanya 1 kata saja dan perbendaharaan kata sangat sedikit. Ben mengambil/menarik Benda maupun tangan orang terdekatnya jika menginginkan sesuatu.

Harus terdapat gejala dalam masa perkembangan awal

�

Ben mendapatkan gejala ASD sejak berusia kurang dari 3 tahun

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa Ben memenuhi kriteria diagnosis autistic disorder (ASD) level tinggi. Kondisi ini berdampak pada aspek perkembangan Ben yang mengalami keterlambatan terutama pada aspek bahasa dan interaksi sosial. Pada aspek bahasa, Ben seharusnya sudah bisa menceritakan mengenai peristiwa-peristiwa yang dialaminya namun Ben sangat jarang berbicara, ia baru bisa mengucapkan 1 kata dan itu pun harus dipaksa terlebih dahulu (tidak spontan). Cara komunikasi Ben adalah dengan langsung melakukan tindakan tanpa meminta terlebih dahulu. Ketika diberikan instruksi Ben harus diulangi berkali-kali sampai ia bisa melakukannya. Pada aspek interaksi sosial, Ben seharusnya sudah bisa bermain dengan anak sebayanya. Akan tetapi Ben justru terkesan menghindari interaksi sosial. Ia tidak merespons orang yang mendekat padanya kecuali membawa hal-hal yang menarik perhatiannya seperti permen.� Berikut merupakan formulasi kasus berdasarkan analisis 5P:

Bagan 1. Formulasi 5P Kasus Ben

��������� Berdasarkan bagan di atas, ditemukan bahwa ibu mengandung Ben dalam posisi stress dan belum siap memiliki anak kedua. Ben juga dilahirkan lebih cepat 3 minggu dari waktu persalinan. Hingga Ben berusia 1 tahun sering sakit namun jarang diperiksakan ke dokter karena ibu belum siap menerima diagnosa. Di masa perkembangannya Ben mengalami keterlambatan dalam berbicara dan berjalan. Ben juga melewati fase merangkak. Ibu menganggap Ben baik-baik saja dan tidak menyadari keanehan pada anaknya karena menganggap perkembangan Ben sama dengan keadaan anak adiknya. Semenjak Ben semakin sulit diajak berkomunikasi membuat ayah mau mendengarkan perkataan nenek (pihak ayah) jika Ben berbeda dari anak lainnya. Nenek menyadari ketika Ben berusia 2 tahun. Ia memperhatikan bagaimana cara Ben berinteraksi dengan sepupu-sepupunya. Tidak ada kontak mata dan bersikap seperti orang tuli ketika diajak berbicara. Ibu dan ayah yang bekerja serta perbedaan pola asuh antara ibu, ayah, dan nenek (pihak ibu) membuat Ben banyak menghabiskan waktu sendirian dan bermain dengan gadget. Tidak adanya stimulus dan interaksi yang menyebabkan perkembangan bahasa dan interaksi sosial Ben semakin tidak optimal. Padahal Ben sangat mampu untuk melakukan modelling dan cepat menangkap apa yang ada di sekitarnya

 

Kesimpulan

Dari hasil dan pemahaman yang telah dipaparkan, kondisi autism spectrum disorder dapat diperparah karena adanya interaksi faktor internal dan eksternal. Penelitian ini menemukan bahwa faktor internal seperti kondisi fisik dan perkembangan yang terlambat bisa menjadi salah satu tanda permalahan yang terjadi pada anak. Kondisi ini bisa muncul atas dasar pengaruh keadaan selama ibu mengandung. Selama kehamilan memang sebaiknya ibu diusahakan dalam kondisi menghindari stress dan kebutuhan nutrisinya tercukupi. Faktor eksternal seperti perbedaan pola asuh dan kepribadian ibu yang rentan membuat cara penanganan pada anak menjadi kurang optimal. Stimulasi yang diberikan justru menitikberatkan pada penggunaan gadget bukan melatih kontak sosial dengan orang-orang disekitarnya.

����������� Bagi keluarga yang memiliki anak dengan gangguan autism spectrum disorder pasti tidaklah mudah. Maka dari itu, penting dilakukan psikoedukasi dan konseling keluarga agar orang tua dapat memahami kondisi yang dialami oleh anak. Perlu juga untuk menyelaraskan cara mendidik antara ibu dan ayah serta keluarga terdekat dengan anak agar dapat mengotimalkan potensi yang dimilikinya. Apabila memang harus dilakukan, anak bisa dibawa ke tenaga profesional sehingga bisa dilakukan terapi untuk merangsang perkembangannya yang terlambat dibandingkan dengan anak seusianya. Ayah dan ibu keduanya perlu bersikap tegas dan disiplin untuk memberikan jadwal yang rutin serta memberikan screen time pada anak.

����������� Bagi anak dengan gangguan autism spectrum disorder, pada awalnya perlu diajarkan bagaimana cara mematuhi instruksi. Setelah mengenai instruksi ia akan lebih mudah belajar mengenai banyak hal. Dimulai dengan kontak sosial, belajar berbicara, dan selanjutnya mulai memahami apa fungsi dari benda yang ada disekitarnya. Dengan melakukan hal ini, diharapkan anak dapat membantu dirinya sendiri dan tidak sepenuhnya bergantung dengan orang lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Amanah, Siti, Mahendra, Aidil Muhammad, & Silaen, Jefri. (2023). Peran Konseling Keluarga dalam Mengatasi Kenakalan Remaja. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 5(1), 3406�3409.

 

Anam, Akhyarul, Khasanah, Uswatun, & Isworo, Atyanti. (2019). Terapi audio dengan murottal Alquran terhadap perilaku anak autis: Literature Review. Journal of Bionursing, 1(2), 163�170.

 

Colin, Vellyza, Keraman, Buyung, Maydinar, Dian Dwiana, & Eca, Eca. (2020).

Pengaruh terapi bermain (skill play) permainan ular tangga terhadap tingkat kooperatif selama menjalankan perawatan pada anak prasekolah (3-6 tahun) di Ruang Edelweist RSUD Dr. M Yunus Bengkulu. Journal of Nursing and Public Health, 8(1), 111�116.

 

Endriani, Ani, Astuti, Farida Herna, Lukitasari, Diah, & Rayani, Dewi. (2020). Penyuluhan Pemahaman Layanan Informasi Tentang Studi Lanjut. Jurnal Pengabdian UNDIKMA, 1(2), 172�176.

 

Fatmawati, Diah Ayu. (2015). HUBUNGAN GANGGUAN PENYIMPANGAN MENTAL EMOSIONAL DENGAN PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK USIA 3-6 TAHUN DI PAUD ESYA KECAMATAN BUDURAN. Universitas Muhammadiyah Gresik.

 

Geniofam, G. (2010). Mengasah & Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Garailmu.

 

Handajani, Diani Octaviyanti, & Yunita, Nourma. (2019). Apakah Ada Pengaruh Terapi Bermain Puzzle terhadap Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah yang Mengalami Hospitalisasi di Rs Bhakti Rahayu Surabaya. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia, 7(3), 198�204.

 

Indiarti, Priscilla Titis, & Rahayu, Puspita Puji. (2020). Penerimaan ibu yang memiliki anak autis. Jurnal Psikologi Perseptual, 5(1), 34.

 

Indiyana, Anisa, & Utami, Ratih Dwilestari Puji. (n.d.). HUBUNGAN ANTARA PARENTAL AWARENESS DENGAN KEMANDIRIAN ADL (ACTIVITY DAILY LIVING) PADA ANAK AUTIS DI SLB YPAC PROF. DR. SOEHARSONO SURAKARTA.

 

Jenderal, Sekretariat, & Data, Pusat. (2020). Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB) 2020/2021.

 

Karst, Jeffrey S., & Van Hecke, Amy Vaughan. (2012). Parent and family impact of autism spectrum disorders: A review and proposed model for intervention evaluation. Clinical Child and Family Psychology Review, 15, 247�277.

 

Organization, World Health. (2013). Meeting report: autism spectrum disorders and other developmental disorders: from raising awareness to building capacity: World Health Organization, Geneva, Switzerland 16-18 September 2013.

 

Putri, Ayuana Oktaviani. (2018). Pengaruh Permainan Flash Card Terhadap Perkembangan Kognitif Pada Anak Prasekolah (Studi di TK Desa Pacarpeluk Kecamatan Megaluh Kabupaten Jombang). STIKes Insan Cendekia Medika Jombang.

 

Putri, Siti Sonalia, Idarianty, Idarianty, & Della Yusra, Amrina. (2020). ANALISIS KESULITAN BELAJAR SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS (AUTISME) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS INKLUSI. UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

 

RAHAYU, ISMI. (2019). TEKNIK TERAPI DALAM MENUMBUHKAN BAKAT ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER) DI YAMET CHILD DEVELOPMENT CENTER GARUNTANG BANDAR LAMPUNG. UIN Raden Intan Lampung.

 

RAHMAANI NURHAKIIM, S. R. I. (2020). PENGARUH TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA TERHADAP KEMAMPUAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA: LITERATURE REVIEW.

 

Saputra, Eko. (2021). PENERAPAN METODE K-NEAREST NEIGHBOR UNTUK KLASIFIKASI AUTISM SPECTRUM DISORDER. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

 

Svenaeus, Fredrik. (2014). Diagnosing mental disorders and saving the normal: American Psychiatric Association, 2013. Diagnostic and statistical manual of mental disorders, American Psychiatric Publishing: Washington, DC. 991 pp., ISBN: 978-0890425558. Price: $122.70. Medicine, Health Care and Philosophy, 17, 241�244.

Syahputra, Bayu Ajie. (2020). Pengaruh Terapi Bermain Flashcard Terhadap Tingkat Keterampilan Sosial Pada Anak Autisme. STIKes Insan Cendekia Medika Jombang.

 

Wintari, Santi Tri. (2020). Studi Kasus Dinamika Psikologis Pasien dengan Gangguan Mental Psikotik Skizoafektif. Psyche 165 Journal, 13(1), 114�120.

 

Copyright holder:

Octaviani Bella Angela (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: