Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 2, Februari 2023

 

PERPU NOMOR 2 TAHUN 2022 ANTARA KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

 

Dhaniswara K. Harjono, Hulman Panjaitan, Gindo L. Tobing�

Fakultas Hukum, Universitas Kristen Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 adalah sebuah regulasi yang dibuat untuk mengatasi situasi yang mendesak di tengah kondisi pandemi COVID-19. Namun, beberapa pasal dalam peraturan tersebut menuai kontroversi dan mendapat tantangan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan beberapa partai politik. Akhirnya, kasus tersebut sampai ke Mahkamah Konstitusi dan pada akhirnya Mahkamah memutuskan beberapa pasal dalam peraturan tersebut tidak sesuai dengan Konstitusi dan harus dihapus atau diubah. Putusan ini menjadi penting karena memberikan pengaruh pada implementasi peraturan dan mengingatkan pentingnya memperhatikan prinsip-prinsip konstitusional dalam pembuatan regulasi, terutama dalam situasi darurat atau kegentingan yang memaksa.

 

Kata kunci: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Kegentingan Yang Memaksa, Putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Abstract

Government Regulation Number 2 of 2022 is a regulation created to address the urgent situation amid the COVID-19 pandemic. However, some articles in the regulation have been controversial and challenged by various parties, including civil society and some political parties. Eventually, the case was brought to the Constitutional Court and the Court ultimately ruled that some articles in the regulation were not in accordance with the Constitution and must be deleted or amended. This decision is important as it has an impact on the implementation of the regulation and serves as a reminder of the importance of considering constitutional principles in the creation of regulations, especially in emergency or urgent situations.

 

Keywords: Government Regulations In Lieu of Laws, Coercive Crunch, Constitutional Court Rulings.

 

Pendahuluan

Dalam sistem pemerintahan seperti Indonesia, kekuasaan Presiden tidak saja dalam bidang eksekutif melainkan juga bidang legislative (Yusa & Hermanto, 2017). Ismail Sunny mengemukakan bahwa kekuasaan Presiden berdasarkan UUD Tahun 1945 meliputi kekuasaan administrative, legislative, judikatif, militer dan kekuasaan diplomatik, Kekuasaan administratif adalah pelaksanaan undang undang dan politik administrasi (Chandranegara, 2016). Kekuasaan legislative ialah mengajukan Rancangan Undang Undang dan mengesahkan UU, kekuasaan judikatif ialah kekuasaan untuk memberikan grasi dan amnesti, kekuasaan militer ialah kekuasaan mengenai angkatan perang dan pemerintahan, kekuasaan diplomatik adalah kekuasaan yang mengenai hubungan luar negeri dan kekuasaan darurat (Zamroni, 2018).

Selain kekuasaan untuk mengajukan RUU dan mengesahkan UU sebagai kekuasaan Presiden di bidang legislative adalah juga kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Udang (PERPU) dalam kegentingan yang memaksa sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 jo UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (Nurdin, 2021).

Berdasarkan sejarah ketatanegaraan yang pernah terjadi dan dialami oleh Indonesia, maka pengaturan dan penerbitan PERPU bukanlah sesuatu hal yang baru (Rahmawati & Nugraha, 2021). Secara konstitusional diatur dalam UUD 1945 yang pada masa berlakunya Konstitusi RIS Tahun 1959 dan UUDS 1950 dikenal dengan Undang Undang Darurat (emergency Law) (Konstitusi RIS, 1950), hingga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Amandemen (Rahmawati & Nugraha, 2021).

Sebagaimana dikemukakan oleh Daniel Yusmic Foekh, selama memimpin Indonesia, Sukarno menerbitkan : 143, Pejabat Presiden Juanda : 24, Penjabat Presiden Mr. Assaat : 6, Soeharto : 8, BJ. Habibie : 3, Abdurrahman Wahid : 3, Megawati Sukarnoputri : 4 dan Susilo Bambang Yudoyono : 16 PERPU (Foekh & Tampubolon, 2022).

�Sering diperdebatkan, baik dalam kalangan akademisi, maupun praktisi, termasuk kalangan politisi terkait dengan alasan Presiden dalam menerbitkan PERPU yaitu dalam hal �kegentingan yang memaksa�. Selain doktrin ilmu hukum tatanegara, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah memberikan makna terhadap �hal kegentingan yang memaksa� (RI, 2017). Melalui putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 dan putusan No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 1 Februari 2010. Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 memberikan kesimpulan bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer atau keadaan perang melainkan kegentingan yang memaksa menjadi hak subjektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang (Arsil, 2018).

Sementara itu, putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menetapkan adanya 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi sebagai kriteria adanya �hal ikhwal kegentingan yang memaksa� dalam penerbitan PERPU, yaitu (MOZA, Aryo, & Asri, 2022):

1.    Adanya keadaan sebagai kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

2.    Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

3.    Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Pada penghujung tahun 2022, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2022, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan PERPU No. 2 Tahun 2022 tetang Cipta Kerja (Silitonga, 2023). Penerbitan PERPU ini telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya kalangan politisi, akademisi dan praktisi ketatanegaraan. Atas dasar adanya perdebatan atau pro dan kontra tersebut, tulisan ini bermaksud untuk mengadakan kajian ilmiah berdasarkan ilmu ketatanegaraan dan perundang undangan, khususnya dari aspek formalitas dan substansinya.

 

Metode Penelitian

����������������������� Penelitian ini merupakan penelitian hukum juridis normatif atau yang juga dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal. Penelitian ditujukan� terhadap asas-asas hukum dalam ketentuan normatif, penerapan hukum positif atau yang bersifat ius constitutum. Sehubungan dengan hal tersebut, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh melalui studi dokumen sebagai teknik pengumpulan data.

 

Hasil dan Pembahasan

PERPU No. 2 Tahun 2022 Dalam Perspektif Alasan Konstitusional

Secara konstitusional, PERPU sebagai undang-undang dalam arti materi atau dalam arti luas (wet materielezin) adalah suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang merupakan wewenang penuh dari Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan �Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang�. Hal yang sama diatur dan ditetapkan kembali dalam Pasal 1 angka (4) UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019� dan terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa (Einstein, Helmi, & Ramzy, 2020).

Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 menjelaskan bahwa PERPU sebagai suatu noodveroderingsrecht Presiden. Yang Artinya, terdapat hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa. Pasal ini memberikan pemahaman bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPU) mempuyai hierarki, fungsi dan materi muatan sama dengan undang-undang, hanya saja dalam pembentukannya berbeda dengan undang undang. Disamping itu, PERPU merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang menggunakan nama tersendiri untuk membedakan Peraturan Pemerintah bukan sebagai Pengganti Undang Undang (Prasetianingsih, 2017).

PERPU adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, maka pembentukannya memerlukan alasan-alasan tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak, memaksa atau darurat yang dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan sukar atau sulit dan tidak disangka sehingga memerlukan penanggulangan segera. Keadaan tersebut tidak boleh terjadi berlama-lama karena fungsi utama hukum negara darurat (staatnoodrecht) ialah menghapuskan segera keadaan tidak normal menjadi normal kembali (Rani, 2017).

Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan atau pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan PERPU (Prayitno, 2020)

Sebagaimana diuraikan di atas, UUD Negara RI Tahun 1945 maupun UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 jo UU No. 13 Tahun 2022 telah menjelaskan lebih lanjut pengertian substansial perihal �ikhwal kegentingan yang memaksa�. Bagir Manan mengemukakan bahwa kewenangan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah kewenangan luar biasa di bidang perundang-undangan (Prayitno, 2020). Dengan demikian secara formalitas, Presiden perlu mengeluarkan suatu PERPU agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah dalam keadaan genting dan memaksa mengharuskan pemerintah untuk bertindak secara cepat dan tepat (Sholihin, SH, Wiwin Yulianingsih, & Kn, 2022).

Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI menentukan adanya pengaturan hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai penilaian Presiden yang bersifat subjektif �(Nuh, 2011). Penilaian Presiden ini akan menjadi objektif apabila dinilai dan dibenarkan serta disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dalam kaidah putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 1 Februari 2010.

Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu disebut dengan material law atau emergency legislation. Jika dipandang dari segi isinya, peraturan tersebut merupakan legislative act atau undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk, sehingga pasal ini memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan PERPU (Arsil & Ayuni, 2020).

Alasan Presiden diberikan kewenangan legislative juga dalam hal pembentukan PERPU adalah karena Presiden merupakan produsen hukum terbesar, karena Presiden paling mengetahui banyak dan memiliki akses terluas, terbesar memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses pembentukan hukum. Presiden paling mengerti mengapa, untuk siapa, berapa, kapan, dimana dan bagaimana peraturan tersebut dibuat. Presiden mempunyai keahlian serta tenaga ahli paling banyak memungkinkan proses pembuatan peraturan (Disas, 2018).

Dari bunyi kedua pasal dalam UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa syarat Presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Yuli Harsono dikutip dalam Hukum Online.com menyatakan bahwa subjektivitas Presiden dalam menafsirkan �hal ikhwal kegentingan yang memaksa� yang menjadi dasar diterbitkannya PERPU, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). Jadi, menurut Yui Harsono, yang menafsirkan kegentingan memaksa itu adalah dari subjektivitas Presiden. Inilah yang menjadi syarat ditetapkannya sebuat PERPU oleh Presiden (Prayitno, 2020).

Dalam perspektif konstitusionalisme, pembentukan PERPU dalam ruang lingkup kewenangan Presiden harus dipandang sebagai bagian dari upaya perlindungan hak-hak konstitusional rakyat yang diatur dalam UUD 1945. Adanya analisa pembatasan ini juga tidak luput dari konsepsi yang disampaikan oleh William G Andrew mengenai pemahaman dan pemaknaan penerapan konstitusionalisme dalam bernegara (Hilmi, 2018).

Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai landasan pemerintahan dan penyelenggaraan negara dalam hal pembentukan PERPU yang dilakukan oleh Presiden yang tidak bisa luput dan lepas begitu saja dari adanya perlindungan hak-hak konstitusional rakyat. Artinya, bahwa subjektivitas kewenangan Presiden dalam pembentukan PERPU tetap perlu adanya batasan yang jelas dan tegas untuk memberikan ruang terhadap perlindungan hak-hak konstitusional rakyat melalui penerapan paham konstitusional tentang pembatasan kekuasaan (limited government). Bagaimana keadaannya, hak-hak dasar yang sudah melekat dalam diri rakyat dan juga diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tidaklah boleh dilanggar demi memaksakan �hal ikhwal kegentingan yang memaksa� tersebut.

Di lain pihak, Jimly Ashidiqie mengemukakan adanya batasan substansial sebagai syarat materil pembentukan PERPU, yaitu:

1.    Adanya kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau (resionable necessity).

2.    Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu, dan

3.    Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reseonable doubt) (Hartono, 2020)

Untuk mengetahui apakah penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 konstitusional atau tidak, maka penerbitannya akan diuji berdasakan alasan-alasan konstitusional penerbitan PERPU, khususnya pemaknaan terhadap �hal ikhwal kegentingan yang memaksa� yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 1 angka (4) UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 jo UU No. 13 Tahun 2022 berdasarkan pemaknaan yang ada baik secara konstitusional menurut putusan MK maupun doktrin sebagai sumber hukum formal dalam sistem hukum Indonesia.

Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 telah memberikan makna bahwa �hal kegentingan yang memaksa� tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer atau keadaan perang melainkan kegentingan yang memaksa menjadi hak subjektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai Undang Undang. Namun melalui putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 1 Februari 2010 telah ditetapkan adanya 3 (tiga) syarat untuk memaknai �hal ikhwal kegentingan yag memaksa� sebagai syarat Presiden menerbitkan PERPU sebagaimana diuraikan diatas.

1.    Adanya keadaan sebagai kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Sebagaimana diketahui, MK melalui putusannya No. 91/PUU-XVII/2020 tanggal 3 Nopember 2021 telah menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah inskonstitusional bersyarat. Selengkapnya amar putusannya berbunyi sebagai berikut:

Mengadili Dalam Provisi:

a.       Menyatakan Permohonan Provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;

b.      Menolak Permohonan Provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI;

c.       Dalam Pokok Permohonan:

d.      Menyatakan Permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;

e.       Mengabulkan Permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI untuk sebagian;

f.       Menyatakan pembentukan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai �tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan�.

g.      Menyatakan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;

h.      Memerintahkan kepada pembentuk undang undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573) menjadi inskonstitusional permanen;

i.        Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573), maka undang undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;

j.        Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573);

k.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

l.        Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Untuk mengetahui apakah penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 memenuhi syarat ini atau tidak, maka harus memperhatikan situasi atau keadaan riil negara dan pemerintahan pada saat PERPU tersebut diterbitkan yang dapat diketahui dari konsiderans bagian �menimbang�. Bahwa dengan memperhatikan konsiderans bagian �menimbang� dari PERPU No. 2 Tahun 2022 tersebut dapat diketahui bahwa tidak terlihat adanya �kegentingan yag memaksa� sebagai alasan subjektif bagi Presiden untuk menerbitkan PERPU. Apa yang ditetapkan pada huruf �g� tidak cukup menunjukkan adanya keadaan mendesak yang dapat dikategorikan sebagai �kegentingan yang memaksa� yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : �bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change) dan terganggunya rantai pasokan (supplay chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam undang undang tentang cipta kerja�.

Kebutuhan mendesak untuk mengatasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global serta perlunya peningkatan inflasi dan ancaman stagflasi seperti yang disampaikan pemerintah sebagai alasan dikeluarkannya PERPU No. 2 Tahun 2022 adalah tidak tepat jika dilihat kondisi saat dikeluarkannya PERPU tersebut, termasuk adanya risiko geo politik terjadinya perang antara Rusia dan Ukrania yang belum selesai. Sementara di lain pihak, pemerintah mengingatkan kita bahwa Indonesia tetap siap menghadapi krisis ekonomi global mengingat pertumbuhan ekonomi masih berada pada angka positif 5 %.

2.    Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Jika kita mencermati materi susbtansial PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sesungguhnya materinya adalah sama dengan materi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menurut putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 tanggal 3 Nopember 2021 dinyatakan inskonstitusional bersyarat sesuai amar putusan butir 4 yang memutuskan �Menyatakan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan dalam putusan ini�. Hal ini berarti, hingga dikeluarkannya PERPU No. 2 Tahun 2022 pada tanggal 30 Desember 2022, tersedia pranata hukum yang mengatur hal yang dimaksud dalam PERPU No. 22 Tahun 2022 tersebut, sehingga tidak benar ada kekosongan hukum, jika tidak diterbitkan PERPU No. 2 Tahun 2022.

UU No. 11 Tahun 2020 saat itu merupakan ketentuan hukum positif (ius constitutum). Juga tidak tepat jika dikatakan bahwa undang undang yang ada saat itu, yaitu UU No. 11 Tahun 2020 tidak memadai, karena ternyata materi dalam PERPU No. 2 Tahun 2022 adalah sama dengan materi yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2020. Satu dan lainnya, pada tanggal 2 Februari 2021 pemerintah telah menerbitkan 49 aturan pelaksana dari UU No. 11 Tahun 2020 yang terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) sehingga sangat memadai.

Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, diketahui bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa pada saat diundangkannya PERPU No. 2 Tahun 2022 tersebut terdapat kekosongan hukum sebagai alasan bagi Presiden untuk mempergunakan kewenangannya di bidang legislatif dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

Butir (5) dari Amar putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 memutuskan �Memerintahkan kepada pembentuk Undang Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dapat dilakukan perbaikan, maka UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen�.

Berdasarkan amar putusan tersebut, dapat diketahui bahwa jangka waktu yang diberikan MK kepada pembentuk Undang Undang untuk melakukan perbaikan adalah 2 (dua) tahun yaitu sejak tanggal 3 Nopember 2021 hingga 2 Nopember 2023. Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu yang relatif lama dan cukup untuk melakukan perbaikan. Andai kata, waktu perbaikan tersebut telah dimulai sejak Desember 2021, maka cukup waktu yang relatif untuk membuat dan/atau memperbaiki cacat formil yang ada dalam proses penerbitan UU No. 11 Tahun 2020 sehingga tidak ada keadaan mendesak yang perlu harus segera diselesaikan untuk adanya kepastian hukum.

Di sisi lain, putusan MK yang menyatakan tetap berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui butir (4) amar putusannya tersebut diatas, maka kepastian hukum sebelumnya sudah tetap terjamin sebagaimana kepastian hukum yang disampaikan E. Fernando Manullang yang dikutip Hulman Panjaitan dengan menyatakan bahwa ide kepastian hukum dalam hukum : (undang-undang) hanya mungkin dicapai, diantaranya melalui perumusan kaidah hukum yang positivis (Hulman Panjaitan, 2021).

 

Keberadaan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Dalam Perspektif Perundang-Undangan

Dengan memperhatikan penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022, khususnya dikaitkan dengan alasan-alasan konstitusional penerbitan PERPU� sebagai kewenangan Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, lebih khususnya lagi dengan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 sebagaimana diuraikan di atas, dan dengan diperbandingkan dengan putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 dapat diuraikan berikut ini.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI Tahun 1945 (Indonesia, 2010), yang oleh Undang Undang diberikan kewenangan untuk menguji Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman seperti halnya dengan Mahkamah Agung, putusannya harus dihormati dan ditaati serta dilaksanakan. Dalam hal ini, ketika MK menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, tidak bisa tidak, maka pembentuk undang undang harus patuh dan tunduk untuk melaksanakan putusan tersebut. Tidak lalu menganulir dengan mengeluarkan PERPU, kecuali waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan tersebut tidak dilaksanakan, maka Presiden boleh mengeluarkan PERPU sesuai kewenangannya untuk menghindari adanya kekosongan hukum, karena sesuai putusan MK, dengan lewatnya waktu 2 (dua) tahun tersebut, maka UU No. 11 Tahun 2020 adalah inkonstitusional secara permanen.

Kita mengetahui bahwa dalam pertimbangan MK untuk menyatakan UU No. 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat adalah karena dalam sistem hukum di Indonesia belum ada standar baku tentang pembuatan omnibus law. Selain tidak adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation) dalam proses pembuatan UU Cipta Kerja tersebut. Harus diakui bahwa dalam rangka penerbitan omnibus law, pembuat undang undang, DPR dan pemerintah telah mengeluarkan UU No. 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga satu langkah sudah dilakukan dan ditindak lanjuti dalam rangka pelaksanaan putusan MAK tersebut di atas.

Sesuai dengan amanat atau amar putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020, maka yang harus dilakukan adalah perbaikan terhadap UU No. 11 Tahun 2020 dengan memperhatikan apa yang diputuskan MK, bukan menerbitkan PERPU yang dalam hal ini adalah PERPU No. 2 Tahun 2022. Oleh karena, pasti dapat diketahui bahwa justru dengan penerbitkan PERPU No. 2 Tahun 2022, maka partisipasi publik yang bermakna sebagaimana dalam putusan MK tidak akan tercapai, tetapi justru lebh menimbulkan ketidak pastian hukum dengan adanya pro dan kontra dalam masyarakat.

Dengan keberadaan PERPU No. 2 Tahun 2022, apa yang dilakukan pemerintah justru dapat dikategorikan perbuatan yang melanggar putusan MK dan disisi lain seolah-olah mengingkari dan mengkebiri peran DPR dalam pembuatan UU. Dengan demikian, penerbitan PERPU bukan memperbaiki baik dari segi formal maupun substansi sebagaimana diamanatkan putusan MK. Berarti mengabaikan perlunya partisipasi publik. Partisipasi publik ini sangat diperlukan sebagai media untuk menampung dan mempertimbangkan aspirasi rakyat sebagaimana tuntutan peraturan perundang-undangan khususnya UU No. 15 Tahun 2011 sebagaiamana telah dirubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022.

Dengan tidak terpenuhinya partisipasi publik sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses pembuatan undang-undang sesuai undang-undang, maka sesungguhnya penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja justru tidak sesuai dengan doktrin sebagaimana dikemukakan Jimly Ashidiqie dengan mengemukakan bahwa dalam perspektif konstitusionalisme, pembentukan PERPU dalam ruang lingkup kewenangan Presiden harus dipandang sebagai bagian dari upaya perlindungan hak-hak konstitusional rakyat yang diatur dalam UUD 1945.

 

Kesimpulan

Dalam perspektif konstitusional, baik dari segi putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 1 Februari 2010 maupun doktrin yang mengatur alasan-alasan konstitusional penerbitan PERPU khususnya untuk memaknai �hal ikhwal kegentingan yang memaksa�, dikaitkan dengan putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 tanggal 3 Nopember 2021, maka penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak memenuhi alasan konstitusional dan terkesan dipaksakan. Hal ini telah mengakibatkan penebitan PERPU No. 2 Tahun 2022 merupakan perbuatan yang melanggar putusan Mahkamah Konsitusi dan berdampak negatif dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Arsil, Fitra. (2018). Menggagas Pembatasan Pembentukan Dan Materi Muatan Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan Dan Penggunaan Perppu Di Negara-Negara Presidensial. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(1), 1�21.

 

Arsil, Fitra, & Ayuni, Qurrata. (2020). Model Pengaturan Kedaruratan Dan Pilihan Kedaruratan Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(2), 423�446.

 

Chandranegara, Ibnu Sina. (2016). Penuangan Checks and Balances kedalam Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 13(3), 552�574.

 

Disas, Eka Prihatin. (2018). Link and match sebagai kebijakan pendidikan kejuruan. Jurnal Penelitian Pendidikan, 18(2), 231�242.

 

Einstein, Tigor, Helmi, Muhammad Ishar, & Ramzy, Ahmad. (2020). Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Perspektif Ilmu Perundang-Undangan. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 7(7), 595�612.

 

Foekh, Daniel Yusmic, & Tampubolon, Manotar. (2022). Continuing Disputes and Validity of Voting for the Regent and Deputy Regent of Yalimo Regency in Papua Indonesia. Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal, 4(1), 151�161.

 

Hartono, Hartono. (2020). Kewenangan Presiden Dalam Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Maleo Law Journal, 4(1), 85�100.

 

Hilmi, Ghifar. (2018). Gagasan Pembentukan Perwakilan Komnas Ham Di Tingkat Daerah Sebagai Upaya Untuk Melindungi Dan Menjamin Hak Asasi Manusia Setiap Warga Negara Republik Indonesia.

 

MOZA, Moza Dela Funika, Aryo, Aryo Akbar, & Asri, Asri Muhammad Saleh. (2022). Tinjauan Yuridis Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Dalam Menakar Negara Berada Dalam Ikhwal Kegentingan Memaksa Oleh Presiden. Jurnal Panorama Hukum, 7(2), 100�109.

 

Nuh, Muhammad Syarif Nuh Syarif. (2011). Hakekat Keadaan Darurat Negara (State Of Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 18(2), 229�246.

 

Nurdin, Nurdin. (2021). Politik Hukum Zakat di Indonesia. Mizan: Journal of Islamic Law, 5(3), 435�444.

 

Prasetianingsih, Rahayu. (2017). Menakar Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 4(2), 263�280.

 

Prayitno, Cipto. (2020). Analisis Konstitusionalitas Batasan Kewenangan Presiden dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Jurnal Konstitusi, 17(2).

 

Rahmawati, Nurlaili, & Nugraha, Sigit Nurhadi. (2021). Parameter Kegentingan Yang Memaksa Dalam Penerbitan Perpu: Dalam Tinjauan Fiqh Siyasah. Penerbit Lindan Bestari.

 

Rani, Diana. (2017). Keadaan Kegentingan Yang Memaksa Dalam Penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

 

RI, Badan Pengkajian M. P. R. (2017). Penataaan Ulang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Biro Pengkajian, Hlm.

 

Sholihin, M. Firdaus, SH, M. H., Wiwin Yulianingsih, S. H., & Kn, M. (2022). Kamus Hukum Kontemporer. Sinar Grafika.

 

Silitonga, Samson Ganda J. (2023). Catatan Ekonomi dan Politik di Indonesia Tahun 2022. Jurnal Multidisiplin Indonesia, 2(1), 133�150.

 

Yusa, I. Gede, & Hermanto, Bagus. (2017). Gagasan rancangan undang-undang lembaga kepresidenan: cerminan penegasan dan penguatan Sistem presidensiil indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 313�323.

 

Zamroni, Mohammad. (2018). Kekuasaan Presiden Dalam Mengeluarkan Perppu (President�s Authority To Issue Perppu). Jurnal Legislasi Indonesia, 12(3).

���������

Copyright holder:

Nama Author (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: