Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 8, No. 2, Februari
2023
PERPU NOMOR 2 TAHUN 2022 ANTARA KEGENTINGAN
YANG MEMAKSA DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Dhaniswara K. Harjono, Hulman Panjaitan, Gindo L. Tobing�
Fakultas Hukum, Universitas Kristen Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 adalah sebuah regulasi yang dibuat untuk mengatasi situasi yang mendesak di tengah kondisi pandemi COVID-19. Namun, beberapa pasal dalam peraturan tersebut menuai kontroversi dan mendapat tantangan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan beberapa partai politik. Akhirnya, kasus tersebut sampai ke Mahkamah Konstitusi dan pada akhirnya Mahkamah memutuskan beberapa pasal dalam peraturan tersebut tidak sesuai dengan Konstitusi dan harus dihapus atau diubah. Putusan ini menjadi penting karena memberikan pengaruh pada implementasi peraturan dan mengingatkan pentingnya memperhatikan prinsip-prinsip konstitusional dalam pembuatan regulasi, terutama dalam situasi darurat atau kegentingan yang memaksa.
Kata kunci: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Kegentingan Yang Memaksa, Putusan Mahkamah Konstitusi.
Abstract
Government Regulation Number 2 of 2022 is a regulation
created to address the urgent situation amid the COVID-19 pandemic. However,
some articles in the regulation have been controversial and challenged by
various parties, including civil society and some political parties.
Eventually, the case was brought to the Constitutional Court and the Court
ultimately ruled that some articles in the regulation were not in accordance
with the Constitution and must be deleted or amended. This decision is
important as it has an impact on the implementation of the regulation and
serves as a reminder of the importance of considering constitutional principles
in the creation of regulations, especially in emergency or urgent situations.
Keywords: Government Regulations In Lieu of Laws,
Coercive Crunch, Constitutional Court Rulings.
Pendahuluan
Dalam sistem pemerintahan seperti Indonesia, kekuasaan Presiden tidak
saja dalam bidang eksekutif melainkan juga bidang legislative (Yusa
& Hermanto, 2017). Ismail Sunny mengemukakan bahwa
kekuasaan Presiden berdasarkan UUD Tahun 1945 meliputi kekuasaan
administrative, legislative, judikatif, militer dan kekuasaan diplomatik,
Kekuasaan administratif adalah pelaksanaan undang undang dan politik
administrasi (Chandranegara,
2016). Kekuasaan legislative ialah mengajukan
Rancangan Undang Undang dan mengesahkan UU, kekuasaan judikatif ialah kekuasaan
untuk memberikan grasi dan amnesti, kekuasaan militer ialah kekuasaan mengenai
angkatan perang dan pemerintahan, kekuasaan diplomatik adalah kekuasaan yang
mengenai hubungan luar negeri dan kekuasaan darurat (Zamroni,
2018).
Selain kekuasaan untuk mengajukan RUU dan mengesahkan UU sebagai
kekuasaan Presiden di bidang legislative adalah juga kekuasaan membentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Udang (PERPU) dalam kegentingan yang
memaksa sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UU No.
12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 jo UU No. 13 Tahun 2022 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (Nurdin,
2021).
Berdasarkan sejarah ketatanegaraan yang pernah terjadi dan dialami oleh
Indonesia, maka pengaturan dan penerbitan PERPU bukanlah sesuatu hal yang baru (Rahmawati
& Nugraha, 2021). Secara konstitusional diatur dalam UUD
1945 yang pada masa berlakunya Konstitusi RIS Tahun 1959 dan UUDS 1950 dikenal
dengan Undang Undang Darurat (emergency
Law) (Konstitusi RIS, 1950), hingga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Amandemen (Rahmawati
& Nugraha, 2021).
Sebagaimana dikemukakan oleh Daniel Yusmic Foekh, selama memimpin
Indonesia, Sukarno menerbitkan : 143, Pejabat Presiden Juanda : 24, Penjabat
Presiden Mr. Assaat : 6, Soeharto : 8, BJ. Habibie : 3, Abdurrahman Wahid : 3,
Megawati Sukarnoputri : 4 dan Susilo Bambang Yudoyono : 16 PERPU (Foekh
& Tampubolon, 2022).
�Sering diperdebatkan, baik dalam
kalangan akademisi, maupun praktisi, termasuk kalangan politisi terkait dengan
alasan Presiden dalam menerbitkan PERPU yaitu dalam hal �kegentingan yang
memaksa�. Selain doktrin ilmu hukum tatanegara, Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya telah memberikan makna terhadap �hal kegentingan yang memaksa� (RI, 2017). Melalui putusan MK No. 003/PUU-III/2005
tanggal 7 Juli 2005 dan putusan No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 1 Februari 2010.
Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 memberikan kesimpulan bahwa hal ikhwal
kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya
dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer atau keadaan perang melainkan
kegentingan yang memaksa menjadi hak subjektif Presiden untuk menentukannya
yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan
sebagai undang-undang (Arsil,
2018).
Sementara itu, putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menetapkan adanya 3
(tiga) syarat yang harus dipenuhi sebagai kriteria adanya �hal ikhwal
kegentingan yang memaksa� dalam penerbitan PERPU, yaitu (MOZA,
Aryo, & Asri, 2022):
1.
Adanya keadaan sebagai kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3.
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup
lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Pada penghujung tahun 2022, tepatnya pada tanggal 30
Desember 2022, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan PERPU No. 2 Tahun 2022
tetang Cipta Kerja (Silitonga, 2023). Penerbitan PERPU ini telah mengundang pro dan kontra di kalangan
masyarakat, khususnya kalangan politisi, akademisi dan praktisi ketatanegaraan.
Atas dasar adanya perdebatan atau pro dan kontra tersebut, tulisan ini
bermaksud untuk mengadakan kajian ilmiah berdasarkan ilmu ketatanegaraan dan
perundang undangan, khususnya dari aspek formalitas dan substansinya.
Metode Penelitian
����������������������� Penelitian ini merupakan penelitian hukum juridis normatif atau yang
juga dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal. Penelitian ditujukan� terhadap asas-asas hukum dalam ketentuan
normatif, penerapan hukum positif atau yang bersifat ius constitutum. Sehubungan dengan hal tersebut, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Data yang
digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier
yang diperoleh melalui studi dokumen sebagai teknik pengumpulan data.
Hasil dan Pembahasan
PERPU
No. 2 Tahun 2022 Dalam Perspektif Alasan Konstitusional
Secara konstitusional, PERPU
sebagai undang-undang dalam arti materi atau dalam arti luas (wet materielezin) adalah suatu bentuk
peraturan perundang-undangan yang merupakan wewenang penuh dari Presiden
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menentukan �Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang�. Hal yang sama
diatur dan ditetapkan kembali dalam Pasal 1 angka (4) UU No. 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019� dan terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang menentukan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa (Einstein,
Helmi, & Ramzy, 2020).
Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945
menjelaskan bahwa PERPU sebagai suatu noodveroderingsrecht
Presiden. Yang Artinya, terdapat hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan
yang memaksa. Pasal ini memberikan pemahaman bahwa Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang (PERPU) mempuyai hierarki, fungsi dan materi muatan
sama dengan undang-undang, hanya saja dalam pembentukannya berbeda dengan
undang undang. Disamping itu, PERPU merupakan jenis peraturan
perundang-undangan yang menggunakan nama tersendiri untuk membedakan Peraturan
Pemerintah bukan sebagai Pengganti Undang Undang (Prasetianingsih, 2017).
PERPU adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa, maka pembentukannya memerlukan alasan-alasan
tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak, memaksa atau darurat yang dapat
dirumuskan sebagai suatu keadaan sukar atau sulit dan tidak disangka sehingga
memerlukan penanggulangan segera. Keadaan tersebut tidak boleh terjadi
berlama-lama karena fungsi utama hukum negara darurat (staatnoodrecht) ialah menghapuskan segera keadaan tidak normal
menjadi normal kembali (Rani,
2017).
Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden
untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ikhwal kegentingan yang
memaksa yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang undang tidak dapat
dibentuk segera, sedangkan kebutuhan atau pengaturan materiil mengenai hal yang
perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan PERPU (Prayitno,
2020)
Sebagaimana diuraikan di atas, UUD Negara RI Tahun 1945 maupun UU No. 12
Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 jo UU No. 13 Tahun 2022 telah menjelaskan
lebih lanjut pengertian substansial perihal �ikhwal kegentingan yang memaksa�.
Bagir Manan mengemukakan bahwa kewenangan Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah kewenangan luar biasa di bidang
perundang-undangan (Prayitno,
2020). Dengan demikian secara formalitas,
Presiden perlu mengeluarkan suatu PERPU agar keselamatan negara dapat dijamin
oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah dalam keadaan genting dan memaksa
mengharuskan pemerintah untuk bertindak secara cepat dan tepat (Sholihin,
SH, Wiwin Yulianingsih, & Kn, 2022).
Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1)
UUD Negara RI menentukan adanya pengaturan hal ikhwal kegentingan yang memaksa
sebagai penilaian Presiden yang bersifat subjektif �(Nuh,
2011). Penilaian Presiden ini akan menjadi
objektif apabila dinilai dan dibenarkan serta disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dalam kaidah putusan Mahkamah Konstitusi No.
138/PUU-VII/2009 tanggal 1 Februari 2010.
Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan kegiatan negara dan
pemerintahan dalam keadaan darurat itu disebut dengan material law atau emergency
legislation. Jika dipandang dari segi isinya, peraturan tersebut merupakan legislative act atau undang-undang,
tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk menyebabkan suatu
undang-undang tidak dapat dibentuk, sehingga pasal ini memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk menetapkan PERPU (Arsil & Ayuni, 2020).
Alasan Presiden diberikan kewenangan legislative juga dalam hal
pembentukan PERPU adalah karena Presiden merupakan produsen hukum terbesar,
karena Presiden paling mengetahui banyak dan memiliki akses terluas, terbesar
memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses pembentukan hukum. Presiden
paling mengerti mengapa, untuk siapa, berapa, kapan, dimana dan bagaimana
peraturan tersebut dibuat. Presiden mempunyai keahlian serta tenaga ahli paling
banyak memungkinkan proses pembuatan peraturan (Disas,
2018).
Dari bunyi kedua pasal dalam UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas, dapat
diketahui bahwa syarat Presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Yuli Harsono dikutip dalam Hukum Online.com
menyatakan bahwa subjektivitas Presiden dalam menafsirkan �hal ikhwal
kegentingan yang memaksa� yang menjadi dasar diterbitkannya PERPU, akan dinilai
DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi.
Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan
persetujuan (menolak). Jadi, menurut Yui Harsono, yang menafsirkan kegentingan
memaksa itu adalah dari subjektivitas Presiden. Inilah yang menjadi syarat
ditetapkannya sebuat PERPU oleh Presiden (Prayitno,
2020).
Dalam perspektif konstitusionalisme, pembentukan PERPU dalam ruang
lingkup kewenangan Presiden harus dipandang sebagai bagian dari upaya
perlindungan hak-hak konstitusional rakyat yang diatur dalam UUD 1945. Adanya
analisa pembatasan ini juga tidak luput dari konsepsi yang disampaikan oleh
William G Andrew mengenai pemahaman dan pemaknaan penerapan konstitusionalisme
dalam bernegara (Hilmi,
2018).
Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai landasan
pemerintahan dan penyelenggaraan negara dalam hal pembentukan PERPU yang
dilakukan oleh Presiden yang tidak bisa luput dan lepas begitu saja dari adanya
perlindungan hak-hak konstitusional rakyat. Artinya, bahwa subjektivitas
kewenangan Presiden dalam pembentukan PERPU tetap perlu adanya batasan yang
jelas dan tegas untuk memberikan ruang terhadap perlindungan hak-hak
konstitusional rakyat melalui penerapan paham konstitusional tentang pembatasan
kekuasaan (limited government).
Bagaimana keadaannya, hak-hak dasar yang sudah melekat dalam diri rakyat dan
juga diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tidaklah boleh dilanggar demi
memaksakan �hal ikhwal kegentingan yang memaksa� tersebut.
Di lain pihak, Jimly Ashidiqie mengemukakan adanya batasan substansial
sebagai syarat materil pembentukan PERPU, yaitu:
1.
Adanya kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau (resionable necessity).
2.
Waktu yang tersedia terbatas (limited
time) atau terdapat kegentingan waktu, dan
3.
Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reseonable doubt) (Hartono, 2020)
Untuk mengetahui apakah penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022
konstitusional atau tidak, maka penerbitannya akan diuji berdasakan
alasan-alasan konstitusional penerbitan PERPU, khususnya pemaknaan terhadap
�hal ikhwal kegentingan yang memaksa� yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD
Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 1 angka (4) UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15
Tahun 2019 jo UU No. 13 Tahun 2022 berdasarkan pemaknaan yang ada baik secara
konstitusional menurut putusan MK maupun doktrin sebagai sumber hukum formal
dalam sistem hukum Indonesia.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa putusan MK No.
003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 telah memberikan makna bahwa �hal
kegentingan yang memaksa� tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya
dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer atau keadaan perang melainkan
kegentingan yang memaksa menjadi hak subjektif Presiden untuk menentukannya
yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan
sebagai Undang Undang. Namun melalui putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 1
Februari 2010 telah ditetapkan adanya 3 (tiga) syarat untuk memaknai �hal
ikhwal kegentingan yag memaksa� sebagai syarat Presiden menerbitkan PERPU
sebagaimana diuraikan diatas.
1.
Adanya keadaan sebagai kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Sebagaimana
diketahui, MK melalui putusannya No. 91/PUU-XVII/2020 tanggal 3 Nopember 2021
telah menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah
inskonstitusional bersyarat. Selengkapnya amar putusannya berbunyi sebagai
berikut:
Mengadili Dalam
Provisi:
a.
Menyatakan Permohonan Provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat
diterima;
b.
Menolak Permohonan Provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V dan
Pemohon VI;
c.
Dalam Pokok Permohonan:
d.
Menyatakan Permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat
diterima;
e.
Mengabulkan Permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V dan
Pemohon VI untuk sebagian;
f.
Menyatakan pembentukan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor
6573) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai �tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak
putusan ini diucapkan�.
g.
Menyatakan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia� Nomor 6573)
masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan
tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
h.
Memerintahkan kepada pembentuk undang undang untuk melakukan
perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan
apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573) menjadi inskonstitusional
permanen;
i.
Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk
undang undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573), maka undang undang atau
pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah
oleh Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia� Nomor 6573) dinyatakan berlaku
kembali;
j.
Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang
bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan
peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia� Nomor 6573);
k.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
l.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Untuk mengetahui
apakah penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 memenuhi syarat ini atau tidak, maka
harus memperhatikan situasi atau keadaan riil negara dan pemerintahan pada saat
PERPU tersebut diterbitkan yang dapat diketahui dari konsiderans bagian �menimbang�.
Bahwa dengan memperhatikan konsiderans bagian �menimbang� dari PERPU No. 2
Tahun 2022 tersebut dapat diketahui bahwa tidak terlihat adanya �kegentingan
yag memaksa� sebagai alasan subjektif bagi Presiden untuk menerbitkan PERPU.
Apa yang ditetapkan pada huruf �g� tidak cukup menunjukkan adanya keadaan
mendesak yang dapat dikategorikan sebagai �kegentingan yang memaksa� yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut : �bahwa dinamika global yang disebabkan
terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change) dan terganggunya rantai
pasokan (supplay chain) telah
menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya
kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian
nasional yang harus direspons dengan standar kebijakan untuk peningkatan daya
saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang
dimuat dalam undang undang tentang cipta kerja�.
Kebutuhan mendesak
untuk mengatasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global
serta perlunya peningkatan inflasi dan ancaman stagflasi seperti yang
disampaikan pemerintah sebagai alasan dikeluarkannya PERPU No. 2 Tahun 2022
adalah tidak tepat jika dilihat kondisi saat dikeluarkannya PERPU tersebut,
termasuk adanya risiko geo politik terjadinya perang antara Rusia dan Ukrania
yang belum selesai. Sementara di lain pihak, pemerintah mengingatkan kita bahwa
Indonesia tetap siap menghadapi krisis ekonomi global mengingat pertumbuhan
ekonomi masih berada pada angka positif 5 %.
2.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Jika kita
mencermati materi susbtansial PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
sesungguhnya materinya adalah sama dengan materi UU No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja yang menurut putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 tanggal 3 Nopember
2021 dinyatakan inskonstitusional bersyarat sesuai amar putusan butir 4 yang
memutuskan �Menyatakan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan
tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan dalam putusan ini�. Hal ini
berarti, hingga dikeluarkannya PERPU No. 2 Tahun 2022 pada tanggal 30 Desember 2022,
tersedia pranata hukum yang mengatur hal yang dimaksud dalam PERPU No. 22 Tahun
2022 tersebut, sehingga tidak benar ada kekosongan hukum, jika tidak
diterbitkan PERPU No. 2 Tahun 2022.
UU No. 11 Tahun
2020 saat itu merupakan ketentuan hukum positif (ius constitutum). Juga tidak
tepat jika dikatakan bahwa undang undang yang ada saat itu, yaitu UU No. 11
Tahun 2020 tidak memadai, karena ternyata materi dalam PERPU No. 2 Tahun 2022
adalah sama dengan materi yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2020. Satu dan
lainnya, pada tanggal 2 Februari 2021 pemerintah telah menerbitkan 49 aturan
pelaksana dari UU No. 11 Tahun 2020 yang terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah
(PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) sehingga sangat memadai.
Kekosongan hukum
tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur
biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sebagaimana telah
diuraikan di atas, diketahui bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa pada
saat diundangkannya PERPU No. 2 Tahun 2022 tersebut terdapat kekosongan hukum
sebagai alasan bagi Presiden untuk mempergunakan kewenangannya di bidang
legislatif dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Butir (5) dari
Amar putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 memutuskan �Memerintahkan kepada pembentuk
Undang Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut
tidak dapat dilakukan perbaikan, maka UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
menjadi inkonstitusional secara permanen�.
Berdasarkan amar
putusan tersebut, dapat diketahui bahwa jangka waktu yang diberikan MK kepada
pembentuk Undang Undang untuk melakukan perbaikan adalah 2 (dua) tahun yaitu
sejak tanggal 3 Nopember 2021 hingga 2 Nopember 2023. Sesungguhnya, waktu ini
adalah waktu yang relatif lama dan cukup untuk melakukan perbaikan. Andai kata,
waktu perbaikan tersebut telah dimulai sejak Desember 2021, maka cukup waktu
yang relatif untuk membuat dan/atau memperbaiki cacat formil yang ada dalam
proses penerbitan UU No. 11 Tahun 2020 sehingga tidak ada keadaan mendesak yang
perlu harus segera diselesaikan untuk adanya kepastian hukum.
Di sisi lain,
putusan MK yang menyatakan tetap berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja melalui butir (4) amar putusannya tersebut diatas, maka kepastian hukum
sebelumnya sudah tetap terjamin sebagaimana kepastian hukum yang disampaikan E.
Fernando Manullang yang dikutip Hulman Panjaitan dengan menyatakan bahwa ide
kepastian hukum dalam hukum : (undang-undang) hanya mungkin dicapai,
diantaranya melalui perumusan kaidah hukum yang positivis (Hulman Panjaitan,
2021).
Keberadaan Perpu Nomor 2 Tahun
2022 Dalam Perspektif Perundang-Undangan
Dengan memperhatikan penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022,
khususnya dikaitkan dengan alasan-alasan konstitusional penerbitan PERPU� sebagai kewenangan Presiden dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, lebih khususnya lagi dengan putusan MK No.
138/PUU-VII/2009 sebagaimana diuraikan di atas, dan dengan diperbandingkan
dengan putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 dapat diuraikan berikut ini.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI Tahun 1945 (Indonesia, 2010), yang oleh Undang Undang diberikan kewenangan untuk menguji
Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman seperti halnya dengan Mahkamah Agung, putusannya harus
dihormati dan ditaati serta dilaksanakan. Dalam hal ini, ketika MK menyatakan
bahwa UU No. 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, tidak bisa tidak, maka pembentuk undang undang
harus patuh dan tunduk untuk melaksanakan putusan tersebut. Tidak lalu
menganulir dengan mengeluarkan PERPU, kecuali waktu yang dibutuhkan untuk
perbaikan tersebut tidak dilaksanakan, maka Presiden boleh mengeluarkan PERPU
sesuai kewenangannya untuk menghindari adanya kekosongan hukum, karena sesuai
putusan MK, dengan lewatnya waktu 2 (dua) tahun tersebut, maka UU No. 11 Tahun
2020 adalah inkonstitusional secara permanen.
Kita mengetahui bahwa dalam pertimbangan MK untuk menyatakan
UU No. 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat adalah karena dalam sistem
hukum di Indonesia belum ada standar baku tentang pembuatan omnibus law. Selain tidak adanya
partisipasi publik yang bermakna (meaningfull
participation) dalam proses pembuatan UU Cipta Kerja tersebut. Harus diakui
bahwa dalam rangka penerbitan omnibus law, pembuat undang undang, DPR dan
pemerintah telah mengeluarkan UU No. 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga
satu langkah sudah dilakukan dan ditindak lanjuti dalam rangka pelaksanaan
putusan MAK tersebut di atas.
Sesuai dengan amanat atau amar putusan MK No.
91/PUU-XVII/2020, maka yang harus dilakukan adalah perbaikan terhadap UU No. 11
Tahun 2020 dengan memperhatikan apa yang diputuskan MK, bukan menerbitkan PERPU
yang dalam hal ini adalah PERPU No. 2 Tahun 2022. Oleh karena, pasti dapat
diketahui bahwa justru dengan penerbitkan PERPU No. 2 Tahun 2022, maka
partisipasi publik yang bermakna sebagaimana dalam putusan MK tidak akan
tercapai, tetapi justru lebh menimbulkan ketidak pastian hukum dengan adanya
pro dan kontra dalam masyarakat.
Dengan keberadaan PERPU No. 2 Tahun 2022, apa yang dilakukan
pemerintah justru dapat dikategorikan perbuatan yang melanggar putusan MK dan
disisi lain seolah-olah mengingkari dan mengkebiri peran DPR dalam pembuatan
UU. Dengan demikian, penerbitan PERPU bukan memperbaiki baik dari segi formal
maupun substansi sebagaimana diamanatkan putusan MK. Berarti mengabaikan
perlunya partisipasi publik. Partisipasi publik ini sangat diperlukan sebagai
media untuk menampung dan mempertimbangkan aspirasi rakyat sebagaimana tuntutan
peraturan perundang-undangan khususnya UU No. 15 Tahun 2011 sebagaiamana telah
dirubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022.
Dengan tidak terpenuhinya partisipasi publik sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses pembuatan undang-undang sesuai undang-undang, maka sesungguhnya penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja justru tidak sesuai dengan doktrin sebagaimana dikemukakan Jimly Ashidiqie dengan mengemukakan bahwa dalam perspektif konstitusionalisme, pembentukan PERPU dalam ruang lingkup kewenangan Presiden harus dipandang sebagai bagian dari upaya perlindungan hak-hak konstitusional rakyat yang diatur dalam UUD 1945.
Kesimpulan
Dalam
perspektif konstitusional, baik dari segi putusan MK No. 138/PUU-VII/2009
tanggal 1 Februari 2010 maupun doktrin yang mengatur alasan-alasan
konstitusional penerbitan PERPU khususnya untuk memaknai �hal ikhwal kegentingan
yang memaksa�, dikaitkan dengan putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020 tanggal 3
Nopember 2021, maka penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak
memenuhi alasan konstitusional dan terkesan dipaksakan. Hal ini telah
mengakibatkan penebitan PERPU No. 2 Tahun 2022 merupakan perbuatan yang
melanggar putusan Mahkamah Konsitusi dan berdampak negatif dalam sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Arsil, Fitra. (2018). Menggagas Pembatasan Pembentukan
Dan Materi Muatan Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan Dan Penggunaan Perppu
Di Negara-Negara Presidensial. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(1),
1�21.
Arsil,
Fitra, & Ayuni, Qurrata. (2020). Model Pengaturan Kedaruratan Dan Pilihan
Kedaruratan Indonesia Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 50(2), 423�446.
Chandranegara,
Ibnu Sina. (2016). Penuangan Checks and Balances kedalam Konstitusi. Jurnal
Konstitusi, 13(3), 552�574.
Disas,
Eka Prihatin. (2018). Link and match sebagai kebijakan pendidikan kejuruan. Jurnal
Penelitian Pendidikan, 18(2), 231�242.
Einstein,
Tigor, Helmi, Muhammad Ishar, & Ramzy, Ahmad. (2020). Kedudukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Perspektif Ilmu
Perundang-Undangan. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 7(7),
595�612.
Foekh,
Daniel Yusmic, & Tampubolon, Manotar. (2022). Continuing Disputes and
Validity of Voting for the Regent and Deputy Regent of Yalimo Regency in Papua
Indonesia. Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS)
Journal, 4(1), 151�161.
Hartono,
Hartono. (2020). Kewenangan Presiden Dalam Menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Maleo Law
Journal, 4(1), 85�100.
Hilmi,
Ghifar. (2018). Gagasan Pembentukan Perwakilan Komnas Ham Di Tingkat Daerah
Sebagai Upaya Untuk Melindungi Dan Menjamin Hak Asasi Manusia Setiap Warga
Negara Republik Indonesia.
MOZA,
Moza Dela Funika, Aryo, Aryo Akbar, & Asri, Asri Muhammad Saleh. (2022).
Tinjauan Yuridis Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Dalam Menakar Negara Berada Dalam Ikhwal Kegentingan Memaksa Oleh
Presiden. Jurnal Panorama Hukum, 7(2), 100�109.
Nuh,
Muhammad Syarif Nuh Syarif. (2011). Hakekat Keadaan Darurat Negara (State Of
Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 18(2), 229�246.
Nurdin,
Nurdin. (2021). Politik Hukum Zakat di Indonesia. Mizan: Journal of Islamic
Law, 5(3), 435�444.
Prasetianingsih,
Rahayu. (2017). Menakar Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945. PADJADJARAN Jurnal Ilmu
Hukum (Journal of Law), 4(2), 263�280.
Prayitno,
Cipto. (2020). Analisis Konstitusionalitas Batasan Kewenangan Presiden dalam
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Jurnal Konstitusi,
17(2).
Rahmawati,
Nurlaili, & Nugraha, Sigit Nurhadi. (2021). Parameter Kegentingan Yang
Memaksa Dalam Penerbitan Perpu: Dalam Tinjauan Fiqh Siyasah. Penerbit
Lindan Bestari.
Rani,
Diana. (2017). Keadaan Kegentingan Yang Memaksa Dalam Penerbitan Perppu
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
RI,
Badan Pengkajian M. P. R. (2017). Penataaan Ulang Jenis dan Hierarki
Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Biro Pengkajian, Hlm.
Sholihin,
M. Firdaus, SH, M. H., Wiwin Yulianingsih, S. H., & Kn, M. (2022). Kamus
Hukum Kontemporer. Sinar Grafika.
Silitonga,
Samson Ganda J. (2023). Catatan Ekonomi dan Politik di Indonesia Tahun 2022. Jurnal
Multidisiplin Indonesia, 2(1), 133�150.
Yusa,
I. Gede, & Hermanto, Bagus. (2017). Gagasan rancangan undang-undang lembaga
kepresidenan: cerminan penegasan dan penguatan Sistem presidensiil indonesia. Jurnal
Legislasi Indonesia, 14(3), 313�323.
Zamroni,
Mohammad. (2018). Kekuasaan Presiden Dalam Mengeluarkan Perppu (President�s
Authority To Issue Perppu). Jurnal Legislasi Indonesia, 12(3).
���������
Copyright holder: Nama Author (2023) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |