Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 3, Maret 2024

 

 

KAJIAN PENERAPAN ARSITEKTUR NEO VERNAKULAR PADA MUSEUM TSUNAMI ACEH

 

Mochamad Hamdan Maulana1, Eva Elviana2

UPN “Veteran” Jawa Timur, Jawa Timur, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Museum Tsunami Aceh merupakan museum yang dibangun untuk memperingati tragedi tsunami Aceh pada tahun 2004 silam. Seperti fungsi museum pada umumnya, Museum Tsunami Aceh memiliki fungsi sebagai objek edukasi serta rekreasi. Eksistensi Museum Tsunami Aceh tentu menjadi salah satu daya tarik bagi pengunjung dari luar Aceh untuk datang ke Aceh. Unsur – unsur lokal Aceh seharusnya diterapkan pada elemen bangunannya  karena pada saat ini, elemen – elemen lokal yang banyak ditinggalkan pada rancangan bangunan baru. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji implementasi adanya arsitektur neo vernakular dengan unsur – unsur lokal Aceh yang diterapkan baik pada eksterior maupun interior Museum Tsunami Aceh. Arsitektur neo-vernakular adalah suatu penerapan elemen arsitektur yang telah ada (lokal), baik fisik  maupun non fisik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif dengan eksplorasi literatur. Data yang akan dipaparkan berupa data literatur terkait teori arsitektur Neo vernakular serta literatur mengenai Museum Tsunami Aceh. Karena museum ini memiliki konsep yang kontemporer, maka konsep visual pada Museum Tsunami Aceh tidak mengambil langsung elemen visual pada budaya Aceh, melainkan dengan memodifikasinya dan mengadaptasikannya dengan perkembangan zaman, sehingga dapat diterima dengan kalangan masyarakat yang modern ataupun masyarakat yang masih konservatif dalam hal pelestarian budaya.

Kata kunci: Asitektur Neo Vernakular; Kajian; Museum Tsunami Aceh; Penerapan

 

Abstract

The Aceh Tsunami Museum is a museum built to commemorate the 2004 Aceh tsunami tragedy. Like the function of museums in general, the Aceh Tsunami Museum has a function as an object of education and recreation. The existence of the Aceh Tsunami Museum is certainly one of the attractions for visitors from outside Aceh to come to Aceh. Acehnese local elements should be applied to the building elements because at this time, many local elements are left in the design of new buildings. This research was conducted with the aim of studying the implementation of neo-vernacular architecture with local Acehnese elements which were applied both to the exterior and interior of the Aceh Tsunami Museum. Neo-vernacular architecture is an application of existing (local) architectural elements, both physical and non-physical. This research is a qualitative research using descriptive method with literature exploration. The data that will be presented in the form of literature data related to the theory of Neo vernacular architecture and literature on the Aceh Tsunami Museum. Because this museum has a contemporary concept, the visual concept at the Aceh Tsunami Museum does not take directly the visual elements of Acehnese culture, but by modifying it and adapting it to the times, so that it can be accepted by modern society or people who are still conservative in terms of cultural preservation.

Keywords: Aceh Tsunami Museum; Application; Neo Vernacular Architecture;

 

Pendahuluan

Tragedi gempa dan gelombang tsunami di Aceh pada tahun 2004 menjadi memori gelap sekaligus peristiwa yang tak terlupakan sehingga selalu diperingati di setiap tanggal 26 Desember untuk mengenang peristiwa tersebut. Setelah peristiwa tersebut, berbagai pihak banyak yang memberikan bantuan untuk kembali memulihkan kondisi di Aceh. Setelah beberapa tahun, kondisi di Aceh semakin membaik. Untuk itu, dibuatlah bangunan Museum Tsunami Aceh sebagai pemenuhan atas kebutuhan bangunan untuk mengenang peristiwa tersebut (Dafrina, 2019).

Museum Tsunami Aceh kini telah menjadi monumen simbolis yang dirancang untuk mengingatkan kembali pengunjungnya akan peristiwa tsunami Aceh 2004 silam. Museum ini juga digunakan untuk memperingati korban tsunami Aceh yang meninggal, dan juga yang selamat (Sabila & Rinawati, 2014). Nama mereka yang teridentifikasi telah ditulis pada salah satu dinding di bagian museum ini. Museum itu juga berfungsi sebagai tempat pendidikan serta tempat perlindungan darurat dari bencana, terutama apabila tsunami terjadi lagi (Widiarti, 2015).

Museum Tsunami Aceh dirancang oleh seorang arsitek asal Indonesia, yaitu Ridwan Kamil. Museum tersebut diresmikan pada tanggal 28 Februari oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Museum ini dirancang dengan konsep arsitektur post modern yang unik dan menarik sehingga terdapat berbagai macam paduan elemen – elemen visual yang menyelimuti bangunan.

Sebagai bangunan yang berfungsi sebagai museum serta monumen tragedi di daerah Aceh, bangunan ini menjadi salah satu destinasi wisata bagi pengunjung dari luar Aceh. Untuk dapat menjadi daya tarik tambahan serta nilah lebih bagi pengunjung yang datang dari luar Aceh, unsur – unsur lokal Aceh seharusnya diterapkan pada elemen bangunannya  karena pada saat ini, elemen – elemen lokal yang banyak ditinggalkan pada rancangan bangunan baru. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai konsep visual pada Museum Tsunami Aceh yaitu dengan mengkaji adanya penerapan unsur lokal pada arsitektur Museum Tsunami Aceh yang merepresentasikan budaya masyarakat Aceh.

Arsitektur post modern yang memliki ciri khas untuk menerapkan unsur kebudayaan visual lokal adalah arsitektur Neo Vernakular. Arsitektur Neo Vernakular adalah salah satu konsep arsitektur yang berkembang pada era Post Modern (Brown & Maudlin, 2012; Widi & Prayogi, 2020). Post modern adalah aliran arsitektur yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an, adanya post modern dikarenakan adanya sebuah Gerakan yang dilakukan oleh beberapa arsitek salah satunya adalah Charles Jencks untuk mengkritisi arsitektur modern (Turkušić, 2011). Hal tersebut dilakukan dikarenakan arsitek – arsitek ingin memberikan sebuah konsep baru yang lebih menarik dari arsitektur modern yang mempunyai bentuk – bentuk yang monoton.

Secara ilmu bahasa, Neo berasal dari bahasa yunani dan digunakan sebagai fonim yang berarti baru (Haekal, 2020). Vernakular bisa diartikan sebagai bahasa, kebiasaan, asli/original, kedaerahan. Jadi neo-vernacular berarti bahasa setempat yang di ucapkan dengan cara baru, sedangkan arsitektur neo-vernacular adalah suatu penerapan elemen arsitektur yang telah ada, baik fisik (bentuk, konstruksi) maupun non fisik (konsep, filosopi, tata ruang) dengan tujuan melestarikan unsur-unsur lokal yang telah terbentuk secara empiris oleh sebuah tradisi yang kemudian sedikit atau banyaknya mangalami pembaruan menuju suatu karya yang lebih modern atau maju tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi setempat (Rajpu & Tiwari, 2020). Sehingga, dapat dikatakan secara umum merupakan arsitektur yang membawa unsur lokal menjadi lebih bisa diterima di zaman yang lebih baru atau biasa disebut "kekinian" (Rahmania et al., 2019).

Pada zaman sekarang konsep arsitektur neo-vernakular dikemas dengan bentuk yang lebih modern namun masih memiliki unsur-unsur tradisional pada desain bangunannya. Arsitektur neo-vernakular ini memiliki sebuah identitas yang dimiliki oleh daerah tersebut (Nursandi & Ashadi, 2021). Walaupun dalam proses pembangunan dan material yang digunakan adalah material modern namun bangunan tersebut masih memiliki unsur-unsur tradisional daerah tersebut.

Erdiono (2012) menuliskan beberapa pola perubahan yang terjadi dalam proses akulturasi budaya tercermin pada tampilan arsitekturnya yang cenderung mempunyai paradigma-paradigma sebagai berikut:

1)  Bentuk dan Maknanya Tetap

Penampilan bentukan arsitekturnya tetap mengadopsi dan menduplikasi bentuk lama (walaupun dengan beberapa perubahan material bangunan) dan makna yang ada (kosmologi, mitologi dan genealogi) tetaplah lama. Hal ini masih dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang masih homogen, kuat struktur sosialnya dan masih berpegang teguh pada nilai-nilai/norma-norma yang dianut sehingga dalam proses akulturasi desain, nilai-nilai lokal masih cukup dominan

2)  Bentuk Tetap dan Maknanya Berubah

Penampilan bentukan arsitekturnya tetap mengadopsi dan menduplikasi bentuk lama tetapi diberi makna baru. Hal ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang baru mengalami masa transisi akibat pengadopsian nilai-nilai kebudayaan asing.

3)  Bentuk Berubah, Maknanya Tetap

Penampilan bentukan arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dalam pengertian unsur-unsur lama yang diperbarui, jadi tidak lepas sama sekali karena terjadi interpretasi baru terhadap bentuk lama yang kemudian diberi makna yang lama untuk menghindari kejutan budaya (culture shock). Hal demikian ini juga dapat terjadi pada masyarakat transisi, dimana dalam proses akulturasi dengan kebudayaan asing masih menyadari tidak bisa menghilangkan sama sekali sikap religius sebagai warisan leluhurnya.

4)  Bentuk dan Maknanya Baru

Penampilan bentukan arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dengan disertai makna yang baru pula, karena terjadi perubahan paradigma berarsitektur secara total. Dalam berakulturasi desain, kebudayaan lama sudah ditinggalkan atau tetap dipakai hanya sebagai tempelan atau sebatas untuk ornamen/dekorasi saja. Hal ini dapat terjadi hanya pada masyarakat pasca transisi yang mempunyai kebebasan untuk mengolah bentuk dan makna tanpa batasanbatasan konservatif yang mengikat.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji implementasi arsitektur neo vernakular dengan unsur – unsur lokal Aceh yang diterapkan baik pada eksterior maupun interior Museum Tsunami Aceh.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2019) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari generalisasi

Metode yang dipakai untuk melakukan penelitian ini adalah metode penelitian komparatif deskriptif. Penalitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan keberadaan satu variabel pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda (Sugiyono, 2019), sedangkan metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang terselidiki (Nazir, 2014).

Data yang akan dipaparkan berupa data kepustakaan terkait teori arsitektur Neo vernakular serta gambar-gambar dan catatan-catatan hasil pengamatan objek penelitian dari kajian Museum Tsunami Aceh dan kebudayaan Aceh dengan hasil berupa analisis adanya penerapan arsitektur neo vernakular pada Museum Tsunami Aceh.

 

Hasil dan Pembahasan

Fasad Dinding

Konsep fasad dinding pada Museum Tsunami Aceh menggunakan konsep hubungan antar umat manusia yang terinspirasi dari gerakan Tari Saman yang merupakan salah satu tarian khas dari Aceh. Tari saman sendiri memiliki pesan untuk menjaga kemanusiaan, kebersamaan, kekompakan, sifat rendah hati dan menjunjung Tuhan Yang Maha Esa (Ariyani, 2018). Dalam implementasinya terhadap fasad Museum Tsunami Aceh, fasad dibuat dengan pola anyaman geometris yang saling mengikat satu sama lain yang juga memiliki makna yang serupa dengan tari Saman.


 

Gambar 1. Konsep Fasad dinding pada dinding Museum Tsunami Aceh

 

Denah

Pada denah rumah adat Aceh pada umumnya, denah berbentuk persegi atau persegi panjang simetris dengan serambi tengah sebagai inti rumah. Serambi tengah merupakan bagian inti dari rumah biasa disebut juga sebagai rumoh inong (rumah induk). Ruangan ini terletak lebih tinggi karena dianggap suci dan bersifat pribadi. Kemudian arah pintu masuk dan tangga berada disamping bangunan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2.  Konsep denah pada Rumah Adat Aceh dan  Museum Tsunami Aceh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3. Ornamen pada kolom Museum Tsunami Aceh

 

Konsep denah dari rumah adat Aceh ini diterapkan pada Museum Tsunami Aceh. Hanya saja, bentuk dasar denah rumah adat Aceh adalah persegi atau persegi panjang, sedangkan Museum Tsunami Aceh memiliki bentuk dasar elips. Pada denah Museum Tsunami Aceh juga terdapat pusat bangunan, yang diperuntukkan sebagai ruang Sumur Doa. Sumur Doa pada Museum Tsunami Aceh merupakan bagian museum yang memiliki kesan sacral karena ruangan ini digunakan untuk mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhan.

 

Ornamen

Pada kolom Museum Tsunami Aceh, terdapat ornament kaligrafi yang menghiasinya. Ornament ini adalah bentuk geometri kompleks yang menjadi ciri khas dari budaya islam dan sering diterapkan pada ornament masjid. Pada Museum Tsunami Aceh, ornamen ini mencerminkan budaya Aceh yang tidak lepas dari pengaruh budaya Islam sehingga Aceh yang memiliki julukan sebagai Serambi Mekah (Ikhlas, 2022). Ornamen ini sangat umum ditemui pada bangunan – bangunan di Aceh, contohnya adalah Masjid Raya Baiturrahman Aceh yang didirikan pada tahun 1612 masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda.

 

 

 

 

 

 

Pelaksanaan Shalat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman | Republika Online

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4. Ornnamen pada kolom  Masjid Raya Baiturrahman, Aceh

 

Warna

Penggunaan warna pada museum Tsunami Aceh menggunakan palet warna krem dan putih. Warna – warna ini melambangkan kesucian.Warna ini juga banyak digunakan pada masjid – masjid di Aceh.

 

Gambar 5. Palet warna pada Museum Tsunami Aceh