Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
2, Februari 2023
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI PT. ANEKA BINTANG GADING DALAM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA
MELALUI MEDIA SOSIAL HOLYWINGS
Azzahra Natazia
Ristina Goce, Ade Adhari
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Manusia dan badan hukum merupakan subjek dalam hukum pidana,
sebagai subjek hukum tentu keduanya
dapat dibebankan pertanggungjawaban atas perkara yang terjadi karena kelalaian subjek hukum tersebut.
Kasus yang dibahas dalam penelitian ini adalah kasus
penistaan agama yang terjadi
melalui media sosial Holywings yang berada di bawah naungan PT. Aneka Bintang Gading ini terjadi
karena promosi minuman alkohol untuk meningkatkan hasil penjualan dengan menggunakan nama dua tokoh agama, yakni Muhammad dan Maria yang memicu
amarah masyarakat sehingga melaporkannya kepada pihak berwajib.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana penistaan
melalui media social Holywings.
Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normative dengan pengumpulan data sekunder yang bersifat deksriptif, kemudian pendekatan penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan serta teknik analisis data deduktif. Dalam kasus ini korporasi
dapat dimintai pertanggungjawaban dengan dasar pertimbangan telah terpenuhinya unsur dari delik
penistaan agama dan agen bertindak untuk dan/atau atas nama
kepentingan orporasi.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Penistaan Agama, Media sosial
Abstract
A person and legal entity is subject in criminal law, as a legal entity surely both
are able to be charged responsible for the case that happened due to the
legal�s entity negligence. The following case that will be discussed within
this research is the case of religion blasphemy that occured
through the social media of Holywings under the patronation of PT. Aneka Bintang Gading,
this case happened because of a
alcoholic beverage promotion to increase the sales using two religious figure,
which are Muhammad and Maria, that followed by the outrage of the society that
lead to reports to the authority. The purpose of this research is to analyze
the coorporation�s legal responsibility in blasphemy
legal action in which in this case is through Holywing�s
social media. The research method that will be used is juridical normative
method, with secondary data collection, with a descriptive characteristic and
then this research�s approach will be using legislation approach aswell as deductive analysis data technique. In this case
the following coorporation may be held responsible
with a base consideration of the element of blasphemy religion offense
consideration, aswell as the concerned agent act as
or for the sake of the coorporation�s name interests
Keywords:
Corporate Legal Responsibility, Religion Blasphemy, Social
Media.
Pendahuluan
Pada hakekatnya negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada hukum atau rechstaat (Asshiddiqie, 2007), sebagaimana secara terang dinyatakan
dalam Pasal 1� ayat (3) UUD 1945
yang dengan tegas menyatakan, �negara
Indonesia adalah negara hukum�, yang dalam penerapannya segala sesuatu untuk mengatur tata pemerintahan di Indonesia harus memiliki landasan hukum melalui peraturan
perundang-undangan yang telah
disahkan oleh Pemerintah (Hrp & Thalib, 2019). Sejalan dengan tujuan nasional,
yakni Pemerintah untuk terus melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupann bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social (Kemenkes, 2021). Bentuk upaya untuk mencapai
tujuan negara adalah dengan cara memberi
segala perlindungan kepada warga Negara.
Pemerintah memiliki peran
penting dalam perlindungan terhadap masyarakat, melalui perancangan undang-undang (Sabardi,
2014) misalnya,
dalam pembuatan hukum Pemerintah harus mengutamakan dan memperhatikan kebutuhan hukum dalam masyarakat,
hal ini sebagai
jaminan bagi masyarakat untuk kepastian hukum maupun perlindungan hukum kepada setiap
masyarakat yang ada di
Indonesia (Arliman,
2017). Karena kembali
pada konsep awal, bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka jaminan
perlindungan terhadap masyarakat juga harus dituangkan dalam hukum. Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana,
kebijakan hukum pidana merupakan sebuah peraturan yang bersifat publik.
Kebijakan hukum pidana
di Indonesia ini pada dasarnya
merupakan warisan dari Penjajah (Belanda) dan dikenal juga sebagai Code Penal berisikan
tentang perbuatan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai individu, dan apabila individu tersebut melanggar perbutan yang diatur dalam hukum
pidana, maka terdapat sanksi sebagai konsekuensi (Zaidan,
2022). Seiring
berkembangnya zaman, dalam hukum pidana subjeknya
bukan hanya manusia saja, akan
tetapi badan hukum juga termasuk subjek hukum pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum apabila melanggar ketentuan hukum pidana�
Lebih lanjut bahwa pada era modern dalam sebuah keadaan khusus pada peradaban manusia yang terus berkembang dalam masyarakat global dan sebagai bagian dari proses manusia global yang dikenal sebagai globalisasi informasi (Rais et al., 2018). Adapun hal yang dimaksud dengan globalisasi dalam perspektif cyberspace globalists, Featherstone berpendapat bahwasanya globalisaasi ditandai dengan perkembangan terkini teknologi informasi dan tumbuhnya penemuan lain yang mampu membuat manusia agar bisa menjalankan tugasnya dengan lebih mudah dan cepat (Jati, 2013).
Globalisasi, teknologi informasi dan hukum merupakan tiga bidang yang saling berkesinambungan. Keuntungan yang
diciptakan oleh teknologi informasi sangat menjanjikan sejumlah harapan. Namun pastinya bagaikan pisau bermata dua, muncul kekhawatiran baru dengan maraknya kasus kejahatan cyber. Cybercrime dapat diperbuat
oleh subjek hukum,yaitu manusia ataupun korporasi (Vitayanti & Santosa, n.d.). Saat ini KUHP hanya
mengakui manusia yang menjadi subjek hukum pidana. Namun
melihat seiring kecenderugan dan perkembangan dalam hukum pidana
Indonesia, di samping manusia
sebagai subjek hukum dibutuhkan hal lain untuk dapat menjadi subjek
hukum pidana selain manusia, yang disebut sebagai badan hukum (Tomalili, 2019).
Dapat dilihat dari bermacam
undang-undang pidana khusus lain, sudah
menganut system pertanggungjawaban
pidana korporasi. Maka dapat dipahami,
bahwa berbagai undang-undang pidana khusus di luar KUHP, sudah mengatur bahwa selain orang, korporasi pun tercatat menjadi pelaku tindak pidana yang dapat melanggar peraturan-peraturan pidana. Yan Pramadya Puspa mengatakan bahwasanya
korporasi yang berarti perseroan, merupakan
sebuah badan hukum. Badan hukum atau korporasi yang dimaksud ialah persekutuan atau organisasi yang dianggap sebagai orang (perseorangan) menurut undang-undang, yaitu selaku pemikul
hak dan kewajiban yang telah mempunyai kemampuan untuk menuntut atau dituntut
di muka pengadilan (Kartika, 2015). Dengan diterimanya
korporasi menjadi subjek hukum pidana,
jadi dapat dipahami bahwa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
Sebagaimana dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana dikenal dengan teori Corporate criminal liability yang memiliki hubungan erat dengan ajaran identifikasi. Teori pertanggungjawaban korporasi secara langsung, yang menyatakan direktur bertanggungjawab atas kesalahan karyawannya yang bertindak dalam lingkungan kerja. Teori peretanggungjawaban pidana korporasi juga dalam hukum pidana dikenal dengan teori Vicarious Liability, yang memiliki arti sebagai pertanggungjawaban pengganti, maka dalam teori ini yang berhak bertanggungjawab atas tindakan pidana adalah karyawannya maupun direkturnya. Hal ini didasari pada prinsip huungan kerja yang disebut dengan prinsip delegasi (Lubis & Siddiq, 2021).
Implementasi kedua teori tersebut di dituangkan dalam peraturan perundang-undangan di, yakni diatur dalam Pasal 1 ayat (21) UU ITE yang menyatakan bahwa frasa �orang� merujuk kepada individu baik WNI maupun WNA serta termasuk diantaranya badan hukum. Sedangkan yang dimaksud sebagai badan usaha adalah perusahaan perseorangan atau persekutuan, baik berbadan hukum maupun tidak berbadna hukum. Selanjutnya dalam Pasal 52 ayat (4) UU ITE dijelaskan bila sebagaimana tindakan pidana dilakukan oleh korporasi maka dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga dari sanksi yang mereka terima. Sehingga dari frasa ini dapat disimpulkan bahwa UU ITE menerima badan hukum sebagai subjek yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Fakta ini menyadarkan
masyarakat akan perlunya pengaturan kegiatan yang menyertakan teknologi informasi dan komunikasi, yang diperbuat oleh manusia maupun korporasi.� Peraturan yang mengatur kegiatan yang melibatkan teknologi informasi di Indonesia diatur pada Undang-undang Nomor. 19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang Undang Nomor.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dijelaskan pada Pasal 1 ayat (21) UU ITE, bahwa yang dimaksud sebagai �orang� adalah perseorangan, baik warga Negara Indonesia, warga Negara asing, serta badan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan �badan usaha� adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum. Selanjutnya didalam Pasal 52 ayat (4), tentang perbuatan yang dilarang diperbuat oleh korporasi maka dipidana dengan pidana pokok
ditambah dua pertiga dari sanksi yang mereka terima Dari frasa pasal ini bahwa UU ITE mengakui bahwa korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana
sehingga didalam pertanggungjawabannya korporasi juga mampu dimintai atas pertanggung jawaban dan jika
terbukti maka hukuman yang akan diterima di perberat sebesar dua pertiga.
Namun meskipun sudah diatur dalam
undang-undang terkait informasi elektronik, pada kenyataannya belum lama ini media sosial diramaikan akan promosi yang diberikan oleh Holywings. Pasalnya Holywings yang merupakan usaha yang bergerak pada usaha food and
beverage, berada dibawah
naungan PT. Aneka Bintang Gading,
pada tanggal 22 Juni 2022 telah memberikan promo minuman beralkohol, Promosi tersebut diposting melalui akun instagram resmi holywings, yaitu @holywingsindonesia dan @holywingsbar. Holywings memberikan promo minuman beralkohol Gordon's Dry
Gin bagi para pengunjung
yang bernama Muhammad dan Gordon's Pink bagi yang memiliki nama Maria secara gratis.
Seperti yang diketahui bahwa Muhammad merupakan nama Nabi dalam agama Islam dan
Maria adalah nama wanita suci yang dimuliakan dalam agama Nasrani, khususnya Khatolik. Dapat dilihat secara
jelas promosi minuman beralkohol ini sangat kontradiktif dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam agama, yaitu larangan mengkonsumsi minuman beralkohol dan juga telah menyinggung dua sosok yang dimuliakan dalam agama yang dianut di Indonesia. Aksi promosi ini menuai
banyak kecaman dari berbagai pihak,
bahkan GP ansor pun turut mendatangi sejumlah outlet Holywings dan menuntut agar Holywings ditutup (Goce, 2023).
Kasus ini berbuntut dilaporkannya Holywings ke pihak
kepolisian terkait kasus penistaan agama. Polres Jakarta Selatan telah meregister laporan polisi dengan No. Pol : LP / A /
323 / VI / 2022 / Polres Metro Jaksel/
Polda Metro Jaya, pada tanggal
23 Juni 2022 atas nama pelapor Budi Handoko, dengan dugaan tindak pidana
menyiarkan berita dengan sengaja menciptakan keonaran dikalangan masyarakat seperti tercantum dalam Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia
(UU RI) Nomor 1 Tahun 1946
dan atau penistaan agama melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (2) Juncto Pasal 45a ayat (2) UU ITE yang berisi Bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau suatu kelompok
masyarakat berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan dapat diancam pidana
penjara paling selama-lamanya
selama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah dan atau Pasal 156 atau Pasal 156 huruf a KUHP yang memuat tentang perbuatan menyatakan penghinaan di hadapan umum� terhadap suatu golongan rakyat Indonesia.
Sejauh ini polisi telah menetapkan
6 orang tersangka dan Kapolres
Jakarta Selatan Kombes Pol mengatakan
bahwa motif dari promosi yang diberikan oleh Holywings adalah untuk menarik minat
pengunjung untuk datang ke outlet yang dianggap penjualannya masih belum memenuhi
standar target. Namun pihak kepolisian akan tetap mendalami
lebih jauh lagi motif dibalik promosi miras tersebut.
Setelah berkas perkara dari Kepolisian
dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Penuntut
Umum mendakwa para terdakwa dengan menggunakan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP atas tuduhan penistaan
agama dan perbuatan kejahatan
yang dilakukan secara bersama sama. Namun
Penuntut Umum hanyalah membebankan pertanggungjawaban pidana secara perseorangan, tanpa adanya pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi PT.Aneka Bintang Gading.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian yang dipakai adalah penelitian hukum
normatif. Dimana pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan
(The� Statute Approach) Penelitian
hukum normatif adalah kajian hukum yang menempatkan hukum menjadi suatu sistem
norma. Sebagaimana dimaksud sistem norma yang berkaitan dengan asas-asas,
norma, kaedah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian dan
doktrin atau ajaran (Mukti Fajar & Achmad, 2010). Dari segi sifatnya, penelitian
hukum ini bersifat deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk
membuat deskripsi, gambaran atau secara sistematis, faktual dan akurat terkait
fakta-fakta yang diselidiki.
Adapun jenis data yang digunakan untuk menjadi sumber utama
adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dan
dikumpulkan secara tidak langsung melainkan dari data yang sudah ada.
Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) merupakan pendekatan dengan mengenakan legislasi dan regulasi.
Pada pendekatan ini peneliti perlu memahami hirarki dan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Menurut pasal 1 angka 2
Undang-Undang No. 12 Tahun 2002, peraturan perundang-undangan ialah peraturan
tertulis yang biasanya memuat norma hukum yang mengikat secara umum, dibuat
atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui tata
cara yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan (Marzuki, 2013).
Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan
metode deduktif. Pada metode analisa data ini dimulai dari proposisi umum,
postulat, serta paradigma yang lalu dikaitkan dengan data empiris yang menjadi
parameter dalam membuat kesimpulan (Kasiram, 2010).
Hasil dan Pembahasan
Dalam rangka menjawab permasalahan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus ini, maka tentunya akan diuraikan kasus posisinya. Bermula pada tanggal 22 Juni 2022 tim promotor dari Holywings mengunggah design promo minuman beralkohol melalui akun Instagram resmi Holywings, yaitu @holywingsindonesia dan @holywingsbar. Isi dari unggahan tersebut berupa gambar botol minuman beralkohol yang ditempel dengan nama Muhammad. dan juga Maria, dengan caption �WHERE IS..? THESE NAME GET FREE BOTTLE! EVERY THURSDAY MUHAMMAD one bottle gordon�s dry gin for man, MARIA gordon�s pink for women bring your ID card, dine-only, no keeping dan take away�.
����������� Kemudian pada tanggal 23 Juni 2022 Budi Handoko yang merupakan anggota Sat Reskrim Unit IV Krimsus melakukan kegiatan patrol Cyber dan mendapati akun Instagram yang bernama @holywingsindonesia dan @holywingsbar. Hal tersebut ditindak lanjuti dan segera dibuat laporan polisi dengan No.Pol: LP/A/ 323/ VI/ 2022/ Polres Metro Jaksel/Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penistaan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45A ayat (2) UU ITE.
Setelah melakukan penyelidikan dan penyidikan secara lebih lanjut maka pihak Kepolisian Jakarta Selatan menetapkan 6 (enam) orang tersangka. Keenam pekerja tersebut terdiri atas direktur kreatif, kepala tim promosi, tim kampanye, tim rumah produksi, desainer grafis, dan admin media sosial.
Sesudah berkas perkara dari pihak kepolisian diserahkan kepada penuntut umum, dalam dakwaannya para 6 (enam) orang terdakwa didakwa atas tuduhan penistaan agama yang sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang mereka yang menyuruh melakukan dan yang turut melakukan perbuatan sebuah kejahatan. Dalam dakwaan tersebut penuntut umum hanya membebani pertanggungjawaban pidana secara perorangan tanpa menuntut adanya pertanggungjawaban dari korporasi.
Mengingat UU ITE mengakui bahwa korporasi merupakan subjek hukum dalam tindak pidana, maka dalam ketentuan pidana pada Pasal 52 ayat (4) apabila korporasi melakukan perbuatan pidana sebagaimana termaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 37 dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 52 ayat (4) ini bermaksud untuk menghukum setiap tindakan yang memenuhi unsur Pasal 27 sampai Pasal 37 yang dilakukan oleh korporasi dan/atau oleh pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk:
a. Mewakili korporasi
b. Mengambil keputusan dalam korporasi
c. Melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi
d. Melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.
Oleh karena itu dapat dikatakan jika UU ITE menganut ajaran identifikasi. Ajaran identifikasi ini ialah salah satu teori yang dipakai untuk membenarkan
bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat bertindak dan berbuat sendiri dan tidak memiliki kalbu.
Dalam penerapan ajaran identifikasi harus dapat ditunjukkan apabila:
a. tindakan
dari orang yang menjadi directing mind
korporasi itu termasuk dalam kegiatan yang ditugaskan kepadanya
b. perbuatan
tersebut adalah kecurangan terhadap korporasi tersebut
c. kejahatan
yang dilakukan bermaksud guna mendapatkan manfaat untuk korporasi.
Maka dalam kasus penistaan agama melalui media social Holywings, korporasi dapatlah dibebani pertanggungjawaban pidana. Karena telah memenuhi unsur delik penistaan agama karena tindakan promosi tersebut dilakukan demi kepentingan dan keuntungan korporasi.
Konsep pembebanan pertanggungjawaban kepada korporasi juga sudah di terbitkan dalam Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pada konsep ini tidak jauh
berbeda dengan teori dan undang-undang lainnya. Korporasi dianggap dapat melakukan kejahatan dan dapat di bebankan pertanggungjawaban pidana kepadanya bila tindakan tersebut dilakukan kepada orang lain dengan kriteria tertentu.
Di dalam Pasal 3 PERMA No.13 Tahun 2016 dijelaskan terkait kriteria-kriteria tersebut :
a. Hubungan Pembuat Tindak Pidana Korporasi, yaitu hubungan kerja
atau hubungan lain
b. Cara melakukan, yaitu sendiri-sendiri maupun bersama-sama
c. Tujuan Perbuatan, yaitu bertindak dan atas nama korporasi
d. Ruang Lingkup Perbuatan, yaitu diluar lingkungan korporasi maupun
di dalam lingkungan korporasi.
Jika melihat pada pengaturan tersebut, sumber penarikan peruatan orang lain sangatlah luas. Jika dilihat dari rumusannya, bahkan tidak menutup kemungkinan perbuatan orang yang tidak bekerja dalam korporasi tersebut dan tidak memiliki hubungan kerja dapat menjadi sumber pertanggungjawaban pidana korporasi bila dilakukan untuk dan atas nama korporasi.
Tentunya hal ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai batasan pertanggungjawaban pidana korporasi. Karenanya PERMA tersebut mengatur lebih lanjut di atur dalam Pasal 4 ayat (2) tentang tiga kriteria penilaian oleh hakim terhadap korporasi, yakni :
a. Korporasi mendapatkan keuntungan dari tindak pidana tersebut atau
tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana tersebut
c. Korporasi tidak melakukan upaya pencegahan
Pengaturan ini dapat menjadi batasan dalam hal menjatuhkan pidana terhadap korporasi dilihat dari derajar kesalahannya. Berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi, bila dilakukan pendekatan teori pertanggungjawaban korporasi. Pertama, dengan menggunakan teori Corporate criminal liability, yang memiliki pemahaman bahwa direktur mewakili sikap batin yang mengarahkan, mewakili dan mengendalikan perusahaan. Oleh karena itu pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi (Arief, 2002).
Maka seyoginya dalam hal ini PT Aneka Bintang Gading dapat melakukan pidana secara langsung melalui orang-orang yang memiliki hubungan yang erat dengan perusahaan tersebut maupun perusahaan itu sendiri. Dalam kasus ini, Direktur Kreaftif Holywings merupakan salah satu terdakwa dari kasus penistaan agama melaui media social Holywings. Seharusnya, dengan keterlibatan Direktur kreatif, meskipun pihak manajemen Holywings membantah adanya keikutsertaan manajemen dalam membuat promosi iklan tersebut, keterlibatan Direktur Kreatif seharusnya dapat diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi, sehingga korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dengan adanya penuntutan secara terpisah yang dilakukan oleh PU, seharusnya dapat mempermudah aparat penegak hukum untuk mengidentifikasi bahwa Direktur Kreatif dapat dibebani pertanggungjawaban pidana korporasi. Penuntutan pertanggungjawaban secara pribadi seperti yang didakwakan kepada 5 (lima) orang pegawai lainnya, dirasa tidaklah tepat dalam mendakwa Direktur Kreatif, karena tindakan yang dilakukan oleh pengurus merupakan directing mind dan di identifikasi sebagai tindakan korporasi.
Direktur Kreatif juga bertindak mewakili korporasi guna memperoleh keuntungan dengan menaikan omset penjualan yang bermanfaat bagi kepentingan korporasi. Sehingga PT Aneka Bintang Gading dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Serta Jaksa
Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan dengan menambahkan Pasal 52 ayat (4) dalam dakwaannya sebagai penambahan pidana bagi korporasi
Kedua, dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pengganti atau Vicarious liability. Dapat dijelaskan bahwa Vicarious Liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain dengan syarat bahwa kedua orang tersebut memiliki hubungan kerja dalam status atasan dan bawahan dalam lingkup pekerjaannya di suatu korporasi. Jadi dalam hal ini korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban atas perbuatan salah karyawannya.
Sesuai penjelasan diatas dapat dilihat
bahwa PT Aneka Bintang Gading
selaku korporasi memenuhi kriteria korporasi yang dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Oleh karena itu, Aparatur penegak hukum dalam lingkup
tugas dan tanggung jawabnya berada pada bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dapat meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran penistaan agama oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 52 ayat (4) UU ITE
Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan
sejatinya dalam kasus penistaan agama yang dilakukan melalui media social
Holywings, PT. Aneka Bintang Gading sebagai badan hukum sangatlah tepat untuk
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Terhadap kasus penistaan agama melalui
media social Holywings pertanggungjawaban pidana korporasi dapat
dikualifikasikan dengan menggunakan teori direct
corporate criminal liability. Dimana
Direktur Kreatif sebagai terdakwa tidak hanya mampu dimintai pertanggungjawaban
secara perorangan, tetapi juga bisa dibebani pertanggungjawaban korporasi.
Karena tindakan yang dilakukan olehnya merupakan Directing Mind dari PT.Aneka Bintang Gading. Penuntut umum seharusnya
mendakwa direktur kreatif dengan Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45 ayat (2)
junto Pasal 52 ayat (4) UU ITE tentang penistaan agama dan dilakukan oleh
korporasi dipidana dengan penambahan pidana pokok sebanyak dua pertiga.
BIBLIOGRAFI
Arief, B. N. (2002). Sari Kuliah
Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Pt Raja Grafindo.
Arliman, L. (2017). Perlindungan Hukum Umkm
Dari Eksploitasi Ekonomi Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal
Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(3), 387�402.
Asshiddiqie, J. (2007). Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Bhuana Ilmu Populer.
Goce, A. N. R. (2023). Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Media Sosial
Holywings. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 10(1),
291�301.
Hrp, A. R., & Thalib, A. A. (2019). Undang-Undang
Dasar 1945.
Jati, W. R. (2013). Pengantar Kajian
Globalisasi Analisa Teori Dan Dampaknya Di Dunia Ketiga. Mitra Wacana Media,
Jakarta.
Kartika, A. (2015). Implementasi Criminal
Policy Terhadap Pertanggung Jawaban Kejahatan Korporasi. Jurnal Ilmiah
Penegakan Hukum, 2(2), 193�209.
Kasiram, M. (2010). Metodologi
Penelitian: Refeleksi Pengembangan Pemahaman Dan Penguasaan Metodologi
Penelitian. Uin-Maliki Press.
Kemenkes, R. I. (2021). Profil Kesehatan
Indonesia 2020. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Https://Pusdatin. Kemkes.
Go.
Id/Resources/Download/Pusdatin/Profil-Kesehatan-Indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-Tahun-2020.
Pdf.
Lubis, M. A., & Siddiq, M. (2021). Analisis
Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi Atas Pengrusakan Hutan. Jurnal
Rectum: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana, 3(1), 35�65.
Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum.
Mukti Fajar, N. D., & Achmad, Y.
(2010). Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Pustaka
Pelajar.
Rais, N. S. R., Dien, M. M. J., & Dien,
A. Y. (2018). Kemajuan Teknologi Informasi Berdampak Pada Generalisasi Unsur
Sosial Budaya Bagi Generasi Milenial. Jurnal Mozaik, 10(2), 61�71.
Sabardi, L. (2014). Peran Serta Masyarakat
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yustisia, Fh Uns Edisi, 88,
169�173.
Tomalili, R. (2019). Hukum Pidana. Deepublish.
Vitayanti, N. M. R., & Santosa, A. A. G.
D. H. (N.D.). Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak
Pidana Prostitusi Secara Online Berdasarkan Perspektif Cyber Crime.
Zaidan, M. A. (2022). Menuju Pembaruan
Hukum Pidana. Sinar Grafika.
Copyright holder: Azzahra Natazia Ristina Goce, Ade Adhari (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |