Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
2, Februari 2023
PENERAPAN
RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN
(STUDI KEJAKSAAN NEGERI BINJAI)
Galuh Nawang
Kencana, Triono Eddy, Ida Nadirah
Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara
Email: [email protected]
Abstrak
Kejaksaan Negeri Binjai yang telah
menerapkan restoraitive justice
terhadap tindak pidana pencurian ringan yaitu pemberhentian
penuntutan perkara Pasal 362 KUHP yang dilakukan
oleh terdakwa dengan inisial MF. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai restorative
justice dalam penyelesaian
perkara tindak pidana pencurian ringan, untuk mengetahui
penerapan restorative
justice dalam penyelesaian
perkara tindak pidana pencurian ringan di Kejaksaan Negeri Binjai, dan untuk mengetahui hambatan bagi Kejaksaan Negeri Binjai dalam penerapan
restorative justice penyelesaian perkara tindak pidana pencurian
ringan. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis empiris yang diambil dari data primer dengan melakukan wawancara dan didukung data sekunder dengan mengelolah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum mengenai restorative
justice dalam penyelesaian
perkara tindak pidana pencurian ringan adalah Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan,
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 5 Ayat (1) wajib mengutamakan keadilan restoratif
Surat Edaran Kepolisian Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice)
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kata Kunci: Restorative Justice, Tindak
Pidana, Pencurian Ringan
Abstract
Abstract The Binjai District Attorney's Office, which has applied restoraitive justice to the crime of misdemeanor theft, is
the termination of the prosecution of Article 362 of the Criminal Code case
carried out by the defendant with the initials MF. The purpose of this study is
to determine the legal arrangements regarding restorative justice in the
settlement of minor theft criminal cases, to find out the application of
restorative justice in the settlement of minor theft criminal cases at the Binjai District Attorney's Office, and to find out the
obstacles for the Binjai District Attorney's Office
in the application of restorative justice in resolving minor theft cases. The
research conducted is normative legal research with an empirical juridical
approach taken from primary data by conducting interviews and supported by
secondary data by managing primary legal materials, secondary legal materials
and tertiary legal materials. The results showed that the legal regulation
regarding restorative justice in the settlement of minor theft criminal cases
is Perma Number 2 of 2012 concerning Adjustment of
Limits on Minor Crimes, Juvenile Criminal Justice System Law Number 11 of 2012
Article 5 Paragraph (1) must prioritize restorative justice Police Circular
Number SE/8/VII/2018 concerning the Application of Restorative Justice in the
Settlement of Criminal Acts and Prosecutorial Regulations Republic of Indonesia
Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecutions Based on Restorative
Justice.
Keywords:�Restorative Justice, Criminal
Offences, Misdemeanor Theft
Pendahuluan
Di era modernisasi
ini banyak terjadi suatu kejahatan
dikalangan masyarakat indonesia yang berujung pada jalur pengadilan, dimana masyarakat cenderung menggunakan jalur pengadilan sebagai upaya dalam
menyelesaikan suatu perkara yang yang menurut mereka secara konseptual dan teoritis akan menciptakan
keadilan, namun dalam kenyataan dan faktanya hal tersebut
malah justru tidak mudah untuk
dicapai karena sifatnya yang cenderung bersifat win lose
solution, dengan kenyataan
seperti ini, penyelesaian suatu perkara melalui jalur peradilan yang sifatnya hanya win lose solution pada umumnya kerap menimbulkan
rasa �tidak enak atau kecewa�, menyimpan
dendam, merasa tidak puas, merasa
tidak adil bahkan lebih parah
yaitu berniat ingin membalas dendam (Azhar,
2019).
Penerapan restorative justice dalam penyelesaian perkara dalam upaya non penal. Keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana berfokus
pada pemidanaan yang diubah
menjadi proses dialog dan mediasi
yang melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban,
dan pihak lain terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan
mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik
dalam masyarakat. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana
pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan
terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan (Siswosoebroto, 2009).
Keadilan restoratif memiliki arti bahwa dalam proses tersebut melibatkan semua pihak terkait, memperhatikan kebutuhan korban, ada pengakuan tentang
kerugian dan kekerasan, reintegrasi dari pihak-pihak terkait ke dalam masyarakat,
dan memotivasi serta mendorong para pelaku untuk mengambil tanggung jawab. Keadilan restoratif merupakan upaya untuk mengembalikan pengertian tentang keadilan kembali seperti saat sebelum
terjadinya tindak kejahatan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan, yakni penyelesaian proses hukum yang baik lebih diletakkan pada aspek kualitas dan bukan memberi target kuantitas pada tingkatan operasional, mencari solusi atas perlambatan
dalam menyelesaikan proses,
dan lebih memberikan penekanan kepada pencegahan daripada penanganan kasus dalam rangka fungsi
penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat.
Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak bisa dimaknai
sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi
lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator, sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam bentuk perjanjian
perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari
korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan
kewenangan menuntut dari korban, dan penuntut umum.
Bagir Manan masih memperingtakan bahwa restorative
justice tidak pula begitu
tepat diterjemahkan sebagai �peradilan restoratif� karena konsep restorative
justice adalah cara menyelesaikan perbuatan (tindak) pidana diluar proses peradilan (out of criminal judicial procedure) atau sekurang-kurangnya tidak sepenuhnya mengikuti acara peradilan pidana, restorative
justice adalah konsep pemidanaan tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan material) (R Wiyono, 2022).
Pancasila dalam sila kedua terdapat kata adil yaitu kemanusian yang adil dan beradab disamping itu termuat juga dalam sila kelima, keadilan bagis seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusian yang adil dan keadilan sosial mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya dan berkodrat harus adil, yaitu adil dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai hukum dasar didalamnya yang memuat keadilan sehingga antara hukum dan keadilan mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan (Santoso, 2014).
Hukum seringkali dipahami oleh masyarakat sebagai suatu perangkat aturan yang dibuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk menegakkan hukumnya. Negara mempunyai hak untuk memaksa diberlakukannya sanksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum dimana pelakunya dinyatakan salah oleh keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Prasetyo, 2009).
Agar hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya diperlukan adanya kekuasaan, namun kekuasaan yang ada tidak boleh melanggar hak-hak dan kepentingan individu, karena hukum juga berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan melalui penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum ( rechtssicherheit ), kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), dan keadilan ( gerechtigheit ). Dalam penegakan hukum harus pula diperhatikan tentang keadilan. Hukum itu harus adil sedangkan adil itu sendiri bersifat subjektif tidak disamaratakan terhadap semua orang. Keadilan merupakan sendi yang terakhir sebagai tujuan hukum. Agar keadilan itu tercapai sesuai dengan keadilan yang ada pada masyarakat maka hukum harus diciptakan harus bersendikan pada moral, artinya bahwa undang-undang dan semua norma hukum harus sesuai dengan norma-norma moral. Hukum yang berupa undang-undang maupun yng dilaksanakan pada lembaga peradilan yang tidak akan berarti dan tidak akan tercapai rasa keadilan jika meninggalkan prinsip-prinsip moral, baik oleh pembuat undang-undang itu maupun aparat penegak hukum (Sinaga, 2020).
Keadilan merupakan cita-cita hukum yang harus diimplementasikan dalam segenap peraturan hukum dan proses penegakan hukum di Indonesia karena tanpa keadilan hukum dan penegakan hukum yang dilakukan menjadi sia-sia bahkan dapat mencerai masyarakat yang tidak bersalah. Gustav Radburgh mengatakan bahwa keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting dan utama dari tiga tujuan hukum yang disebutkannya yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan atau doelmatigheid (Suadi, 2020).
Ada empat konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi perubahan yang fundamental dalam sistem hukum pidana, yaitu pertama keadilan retributif (retrebutive justice) yaitu Keadilan retributif adalah keadilan yang berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Hukuman atau denda yang diberikan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. Model keadilan retributif ini menyatakan bahwa ketika seseorang melakukan kejahatan, maka hukuman yang diterima oleh pelaku merupakan hukumkan yang ditujukan untuk membalas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan pelaku, kedua keadilan distributif yaitu perlakuan kepada seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang sudah dilakukan. Misalnya, seorang pekerja yang dibayar sesuai dengan pekerjaan yang sudah dilakukan, ketiga keadilan transformatif yaitu salah satu pendekatan yang dimaksudkan untuk mengakhiri suatu konflik. memiliki kemiripan dengan keadilan restoratif karena sama-sama didasarkan pada keterlibatan masyarakat dan pertanggungjawaban serta pengakhiran praktif retributif seperti penjara, keempat keadilan restoratif (restorative justice) dalam pemidanaan keadilan restoratif yang bersendikan pada perspektif keadilan restoratif terdapat empat unsur yang memainkan peranan yaitu korban kejahatan, masyarakat, negara dan pelanggar.
Pidana dan pemidanaan menjadi bagian dari penyelesaian
konflik dan menekankan pada
perbaikan terhadap akibat kejahatan. Penyelesaian konflik melalui mediasi antara korban dengan pelaku telah melahirkan
sikap yang kreatif, yaitu meminta pelaku
secara personal mempertanggungjawabkan
perbuatannya, menekan dampak kemanusiaan perbuatan jahat (kejahatan), memberikan kesempatan terhadap pelaku untuk mempertanggungjawabkan
tindakan mereka dengan menghadapi korban dan membuat kesepakatan, mempromosikan keterlibatan masyarakat dan korban secara aktif dalam proses peradilan dan mempertinggi kualitas keadilan yang dirasakan baik oleh korban maupun pelaku. Elemen-elemen keadilan restortif dalam pemidanaan adalah konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan dan pemaafan (Martha, 2020).
Hukum yang berkembang dalam masyarakat memiliki tujuan yang ingin diwujudkan. Hukum diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat mendapatkan keadilan, dapat terlindungi dan aman. Salah satu perwujudan dari hukum tersebut adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satu yang diatur dalam KUHP adalah tentang tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian merupakan salah satu bentuk kejahatan yang tercantum dalam buku kedua KUHP yang secara khusus diatur dalam Bab XXII Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHP. Tindak pidana pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap harta kekayaan orang. Tindak pidana pencurian diatur dalam BAB XXII kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP) (Prodjodikoro, 2003). Pencurian secara umum dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi:�Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah�
Berbicara mengenai legalitas penerapan restorative justice di Indonesia, konsep ini bisa kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 5 Ayat 1� tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Selain itu, terdapat pula Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Keadilan Restoratif Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012. Nota Kesepakatan Bersama ini merupakan suatu pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 (Perma Nomor 2 Tahun 2012) tentang Penyesuaian Batasan Tindak Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ke seluruh aparat penegak hukum, Kepolisian mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Tindak Pidana dan Peraturan kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntun Berdasarkan Keadilan Restoratif.
�Restorative Justice atau yang sering disebut dengan Keadilan restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Keadilan restoratif mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan dan masyarakat (Hariyanto & Yustiawan, 2020). Tujuan utama Restorative Justice adalah perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat oleh tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat (Juniarti, Fadillah, Ikhsan, Marjoko, & Lubis, 2014).
Penerapan keadilan restoratife (restorative justice) telah banyak di terapkan diwilayah Kejaksaan Republik Indonesia. Pemberian keadilan restoratif, bahwa sebelumnya telah banyak terjadi kasus pencurian di kota Binjai yang mencapai ratusan kasus pencurian. Kejaksaan Negeri Binjai yang telah menerapkan restoraitive justice terhadap tindak pidana pencurian ringan salah satunya yaitu dilakukan pemberhentian penuntutan perkara Pasal 362 KUHP yang dilakukan oleh terdakwa dengan inisial MF melakukan pencurian pada hari Minggu tanggal 05 September 202 sekitar pukul 13.30 WIB atau setidak-tidaknya dalam bulan September tahun 2021 bertempat di Jalan Lk IV Kel. Damai Kec. Binjai Utara atau setidak-tidaknya masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Binjai. Bahwa terdakwa berinisial MF mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara hukum, yaitu mengambil besi kurang lebih 10 batang ukuran 12 Ml dengan panjang sekira 50 CM tiap besinya, 1 (satu) buah jerejak pintu besi, 2 (dua) buah kompor minyak merek hock, 1(satu) buah kuali besi baja, 1 (satu) buah drom yang di angkat menggunakan becak. Berdasarkan kasus tersebut pihak Kejaksaan Negeri Binjai memberikan surat keputusan pemberhentian keputusan (SKP2) atas penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative (restorative justice). Pemberian keadilan restoratif (restorative justice) merupakan pendekatan dalam penyelesaian tindak pidana yang saat ini kembali banyak disuarakan di berbagai negara.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah
bangunan sistem norma. Penelitian hukum secara normatif
didasarkan pada hukum yang telah ada baik
dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Kitan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Peraturan
Perundang-Undangan maupun karya tulis seperti
buku-buku, jurnal, skripsi, tesis ataupun artikel lainnya yang terdapat dalam situs internet yang relevan
dengan obyek penelitian ini. Penelitian hukum normatif ini digunakan
dalam memahami Penerapan Restorative
Justice Dalam Perkara Tindak Pidana Pencurian
Di Kejaksaan Negeri Binjai.
Jenis penelitian
yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis empiris. Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriftif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang hanya semata-mata melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya
tanpa suatu maksud mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku
secara umum. Sumber data yang dapat
digunakan dalam melakukan penelitian hukum yang berlaku di Pasca Sarjana Ilmu
Hukum Umsu dan Fakultas
Hukum Umsu terdiri dari, Data primer yakni data yang
diperoleh secara langsung dari sumbernya
atau lapangan yaitu langsung di Kantor Kejaksaan Negeri Binjai dan data sekunder yakni data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi,
publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum.
Hasil dan Pembahasan
Hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat, yang tentu sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Tujuan utama
untuk menjamin kepastian hukum didalam masyarakat dan bagi para penegak hukum merupakan suatu landasan yang kokoh untuk menerapkan
atau melaksanakan tugas sebagai hamba hukum. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa perundang-undangan merupakan suatu hukum dalam arti tata hukum, sebagai suatu struktur dan proses seperangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk tertulis (Purba, 2017). Pada hakikatnya fungsi hukum pidana adalah
untuk melindungi kepentingan hukum dari perbuatan tercela (Purwoleksono, 2014).
Penegak hukum sering kali dihadapkan pada dilema pencapain tujuan hukum semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Pandangan ini umumnya dipahami oleh sebagian besar penegak hukum kita di negeri ini, yakni advokat, polisi, jaksa dan polisi. Bagi mereka hukum adalah peraturan perundang-undangan, sehingga mereka bekerja dan melaksanakan standar operasional prosedur sesuai dengan ketentuan Undang-Undang karena dengan melaksanakan undang-undang akan tercapai kepastian hukum.� selain menghendaki adanya kepastian hukum dan keadilan juga penyelesaian hukum harus memiliki nilai kemanfaatan. Nilai kemanfaatan harus menjadi indikator penting dalam penegakan dan penyelesaian hukum yakni kemanfaatan bagi para pelaku juga yang lebih penting lagi kemanfaatan bagi masyarakat secara umum. Selama ini fokus penegakan hukum lebih menekankan kepada kepastian hukum, namun melupakan tujuan hukum yang lain, yakni keadilan dan kemanfaatan. Penegakan hukum yang melupakan nilai-nilai kemanfaatan berakibat pada kurang tersemainya nilai-nilai hukum di masyarakat. Lemahnya kultur hukum serta kesadaran hukum di tengah masyarakat saat ini diakibatkan absennya nilai kemanfaatan hukum dalam penegakan hukum.
Penegakan hukkum hingga saat
ini belum secara signifikan dapat mengurangi timbulnya perkara pidana. Oleh karenanya restorative justice menjadi
alternatif dan sebagai solusi guna menjawab
kegelisahan dalam proses penanganan perkara pidana mengenai hal ini Starng
dalam bukunya menyatakan bahwa (Karim Karim, 2020):
� dissatisfaction with
the limited effectiveness of retribution in deterring crime gave rise in the
post-war period of the twentienth century to the
rehabilitation model, a welfare model justice this in tits turn, was found to
have srious limitations and was followed by a return
to harsh punitive policies in much of the industrialized world. Braithwaite
suggest that over past fifty years, juvenile justice especially has been
characterized by a see-sawing between the retributive and rehabilitative
models, neither of them satisfactory. Restorative justice is seenas a third model, a new lens through which to perceive
crime, taking into account its moral, social, economic and political contexts �.
Penggunaaan restorative
justice dalam penyelesaian
tindak pidana biasa bermotif ringan digunakan teori yang dikemukakan oleh Tony
Marshall yaitu:
�Restorative justice is
a process whereby all the parties with a stake in a particular offense come
together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offense
and its implication for the future�
�Keadilan restoratif
adalah sebuah proses dimana semua pihak
yang terlibat dalam sebuah tindak pidana
tertentu bersama-sama mencari pemecahannya secara bersama-sama mencari penyelesaiannya dalam mengahadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang�
Implementasi
�Restorative Justice� dalam istem peradilan
pidana adalah sejalan dengan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 2000 tentang Prinsip-prinsip Pokok tentang Penggunaan
Program-program Keadilan Restoratif
Dalam Permasalahan-permasalahan
Pidana (United
Nations Declaration On The Basic Principles On The Use
Of restorative Justice Programmes In Criminal Matters)
telah menganjurkan untuk mendayagunakan konsep restorative
justice secara lbih luas pada suatu sistem peradilan pidana. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 2000 tersebut kemudian dipertegas dalam deklarasi Wina tentang �Tindak
Pidana dan Keadilan� (Vienna Declaration on Crime and Justice:
�Meeting the challengs of the Twenty-first Century)
dalam butir 27 dan butir 28 yang menyebutkan:
No 27 :
We decide to
introduce, where appropriate, national, regional and international action plans
in support of victim of crime, such as mechanisms for mediation and restorative
justice, and we establish 2002 as a target date for states to review their
relevant practices, to develop futher victim support
services and awareness campaigns on the rights of victims and to consider the
establishment of funds for victims, in addition to developing and implementing
witness protection polices.
kami memutuskan untuk
memperkenalkan aksi sesuai rencana-rencana tindakan untuk mendukung korban-korban kejahatan
secara nasional, regional
dan internasional seperti mekanisme untuk mediasi dan keadilan restoratif, dan kami menetapkan tahun 2002 adalah sebagai tahun target bagi negara-negara untuk meninjau ulang praktik-praktik mereka yang relevan agar dikembangkan lebih lanjut untuk
mendukung pelayanan-pelayanan
dukungan terhadap korban
dan melakukan kampanye-kampanye
yang bersifat memberikan kesadaran ats adanya hak-hak dari korban dan untuk mempertimbangkan penetapan pendanaan bagi korban, dan sebagai tambahan adalah dikembangkannya dan diimplementasikannya
kebijakan-kebijakan perlindungan
saksi.
No 28 :
we encourage the
development of restorative justice policies, procedures and programmes
that are respect full of thr rights, needs and
interests of victims, offenders, communities and all other parties.
kami mendorong pengembangan
kebijakan-kebijakan, tata cara
dan program-program keadilan restoratif,
yang menghormati hak-hak, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan
korban, pelaku, masyarakat
dan semua pihak lainnya.
Hakikat restorative justice tak
lain adalah nilai yang terkandung di dalamnya di mana telah mencerminkan ruh dari nilai
Pancasila yakni �musyawarah�.
Berdasarkan hal tersebut, restorative
justice pun pada dasarnya telah
diwujudkan oleh beberapa masyarakat hukum adat dalam pencerminan
nilai musyawarah, sehingga esensi dari konsep restorative justice bukanlah suatu konsep yang baru. Penggunaan model formal dengan mengintegrasikan restorative justice secara
yuridis telah mendapatkan pengakuan dengan diakomodisirnya restorative justice dalam
penegakan hukum tindak pidana ringan,
yakni dengan dibentuknya Nota Kesepakatan
Bersama Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia tentang Pelaksaan
Penerapan Penyusunan
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Nomor: 131/ KMA/SKB/X/2012; Nomor:
M. HH -07. HM. 03. 02 Tahun 2012; Nomor:
KEP � 06/E/EJP/10/2012; Nomor: B/39/X/2012, Rabu tanggal 17 Oktober 2012.
Penanganan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam KUHP, tindak pidana ringan
disebutkan dalam Pasal 205 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tindak pidana ringan
ialah perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara
atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 7.500 (tujuh ribu lima
ratus rupiah). Kemudian Mahkamah
Agung (MA) mengeluarkan Perma
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Dalam Perma tersebut dijelaskan jika nilai Rp 7.500 tersebut dilipat gandakan sebanyak 1.000 kali sehingga menjadi Rp 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Kemudian dalam Perma ini juga menyebutkan bahwa kata-kata �dua
ratus lima puluh rupiah� dalam
Pasal 364. 373, 379. 384.407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Hal
ini dikarenakan telah berubahnya nilai mata uang rupiah dan dalam KUHP belum dilakukan pembaharuan terhadap hal ini.
Meskipun telah ada penyelesuaian batasan nilai denda
dan jumlah kerugian tindak pidana ringan,
namun hal tersebut belum memenuhi rasa keadilan dan kepuasan masyarakat akan penyelesaian tindak pidana ringan.
Penegak hukum terkadang mengabaikan adanya Perma tersebut
dengan menerapkan hukum acara biasa kepada pelaku tindak
pidana ringan (Karim Karim, 2020).
Penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui
restorative justice adalah untuk memberikan
rasa keadilan, karena apabila diproses sampai kepengadilan maka tidak sebanding
dengan proses hukum yang dilalui oleh karena itu sangat tepat apabila terhadap perkara pidana ringan diselesaikan melalui restorative
justice karena pada dasarnya
telah mempertimbangkan berat ringannya perbuatan, serata rasa keadilan dimasyarakat sebagaimana putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 1600.K/Pid/2009, tanggal 24 November
2009 dijelaskan apabila perkara pidana yang telah kembali keadaannya
sehingga unsur kerugian tidak ada.
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 5 Ayat (1) wajib mengutamakan keadilan restoratif. Kepolisian mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Tindak Pidana. Pada surat edaran tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia yang cenderung mengikuti perkembangan keadilan masyarakat terutama berkembangnya prinsip keadilan restoratif yang menunjukkan keadilan sebagai bentuk keseimbangan hidup manusia, sehingga perilaku menyimpang dari pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku yang menghilangkan keseimbangan. Tidak hanya kepolisian, kejaksaan juga dalam menanggapi hal tersebut juga telah melakukan penyesuaian dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan tersebut diterbitkan sebagai respon untuk memulihkan keadaan seperti sedia kala dan terjadinya kesimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku.
Jika melihat isi pasal Perkejari Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang menarik adalah yang tidak dapat diakomodir atau tercapai dengan menggunakan sistem peradilan pidana pada umumnya kejaksaan memiliki kewenangan untuk menutup perkara demi kepentingan hukum yang mana dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e menyebutkan jika telah adanya penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten process). Selanjutnya, Pasal 3 ayat (3) menyebutkan penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk
tindak pidana tertentu, maksimun denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. telah
ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif.
Kemudian ditegaskan dalam pasal yang sama ayat (4) bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan dengan menggunakan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menghentikan penuntutan.
Lebih lanjut, syarat dilakukannya restorative justice dalam penanganan suatu tindak pidana tercantum dalam Pasal 5 sampai Pasal 6 sebagai berikut: Pasal 5:
1. Perkara
tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutan nya
berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhinya syarat sebagai berikut:
a. tersangka
baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak
pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara
tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak
pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan
akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000, 00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah).
2. Untuk tindak pidana
terkait harta benda , dalam hal terdapat kriteria atau
keadaan yang bersifat kasusistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan
persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan
berdasarkan Keadilan Restoratif dilakan dengan tetap memperhatikan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurif a disertai dengan salah satu huruf b
atau c.
PERMA dan Nokesber ini, pada dasarnya mengandung suatu hal yang positif yakni selain upaya memberikan rasa keadilan yang proporsional khususnya bagi pelaku, juga memiliki manfaat lain yakni mengefektifkan pidana denda, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, pelaksanaan asas peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, dan mengurangi overcapasity lembaga pemasyarakatan. Adapun demikian, secara substansi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan baik dalam PERMA dan Nokesber. Rumusan Pasal 1 PERMA Nomor 2 Tahun 2012, pada dasarnya hanya mengatur perubahan nilai kerugian dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP, tetapi tidak memberikan penegasan bahwa pasal-pasal tersebut sebagai tindak pidana ringan. Di sisi lain, kekuatan mengikat dari PERMA hanya berlaku secara internal MA dan lembaga pengadilan di bawahnya, dengan demikian Kepolisian dan Kejaksaan pada dasarnya tidak terikat dengan PERMA dan tentunya dapat berimplikasi pada Integrated Criminal Justice System.
Dibentuknya Nokesber pada dasarnya merupakan jawaban dari koreksional di atas, selain menegaskan Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP sebagai tindak pidana ringan, Nokesber ini tentunya mengikat para pihak. Adapun demikian, secara substansi masih menyisakan beberapa koreksional. Berdasarkan ide dasar pertimbangan dibentuknya PERMA dan rumusan Pasal 2 ayat (3) PERMA menandakan bahwa terhadap pelaku tindak pidana ringan tidak dikenakan penahan, sedangkan hal ini tidak diatur dalam Nokesber. Berkaitan dengan ancaman pidana denda, terjadi ketidak sinkronisasi substansial mengenai pengkalian/konversi ancaman denda maksimum antara PERMA dengan Nokesber. Esensi dari Pasal 3 PERMA bahwa ancaman denda maksimum dalam KUHP dilipat gandakan menjadi 1.000 (seribu) kali (kecuali tidak berlaku terhadap Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2), sedangkan Pasal 1 ayat (1) Nokesber ancaman denda maksimum adalah 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat dari denda. Di sisi lain, Pasal 7 Nokesber mengenai Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis hingga saat ini belum dibentuk dan Pasal 9 mengenai sosialisasi Nokesber, secara faktual belum direalisasikan secara maksimal yakni belum mencapai seluruh lapisan masyarakat.
Terkait dengan tindak pidana
pencurian diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal
367 KUHP. Dalam KUHP dapat digolongkan menjadi 4 (empat) macam pencurian
yaitu :
pencurian biasa yang diatur dalam Pasal
362 KUHP, pencurian ringan
yang diatur dalam Pasal 364 KUHP, pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal
363 KUHP dan pencurian dengan
kekerasan yang diatur dalam Pasal 365 KUHP. Dimana bahwa berat ringannya
sanksi hukuman tindak pidana pencurian
selalu dihubungkan dengan tindak pidana
pencurian yang dilakukan. Terkait dengan kasus pencurian ringan yang dilakukan oleh terdakwa yang berinisial MF di
Jalan Jawa Lk IV Kel. Binjai Utara bahwa pada hari Minggu tanggal
05 September 2021 sekitar pukul
13.30 WIB rumah terdakwa berada di belakang rumah saksi korban yang berinisial Susmita di Jalan Jawa Lk IV Kel.Damai Kec.Binjai Utara padaa saat itu situasi
hujan dan darah sekitar sepi lalu
terdakwa keluar dari kontrakan yang mana rumah saksi korban dan kontrakan terdakwa satu pagar, kemudian
melalui pintu belakang kontrakan terdakwa berjalan menuju kebelakang rumah saksi korban. Terdakwa mengambil barang yang bukan miliknya yaitu berupa besi kurang
lebih 10 (sepuluh) batang ukuran 12 ml dengan panjang sekira 50 Cm tiap besinya lalu dinaikkan
keatas becak yang diparkirkan di depan kontrakan terdakwa lalu terdakwa mengambil
1 (satu) buah jerejak pintu besi,
2 (dua) buah kompor minyak merek hock, 1 (satu) buah kuali
besi baja, 1 (satu) buah drum yang dinaikkan keatas becak. Berdasarkan kasus diatas saksi
korban Susmita mengalami kerugian sekitar Rp.4.000.000 (empat juta rupiah).
Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Pasal 4 Ayat (1) dan
(2) penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan (Fahik, Dewi, & Widyantara, 2022):
a.
Kepentingan korban yang dilindungi;
b.
Penghindaran stigma negative;
c.
Penghindaran pembalasan;
d.
Respond an keharmonisan masyarakat;dan
e.
Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Penghentian penuntutan perkara keadilan restoratif sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan (Kristanto, 2022):
a.
Subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak
pidana;
b.
Latar belakang terjadinya/dilakukan tindak pidana;
c.
Tingkat ketercelaan;
d.
Kerugin atau akibat yang ditimbulkan dari tindak
pidana;
e.
Cost and benefit penanganan perkara;
f.
Pemulihan kembali pada keadaan semula, dan;
g.
Adanya perdamaian anatara tersangka dan korban.
Berdasarkan kasus pencurian yang dilakukan oleh terdakwa berinisial Mf, bahwa jaksa
dalam memberikan keadilan restoratif mempertimbangkan berbagai hal-hal yang tertuang dalam Perkejari No.15 Tahun 2020. Keadilan restoratif hanya bisa diberikan jika terdakwa memenuhi
syarat-syarat tersebut.
Perkara pencurian yang didakwa dengan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun, maka pekara-perkara pencurian seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan pasal 364 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 3(tiga) bulan penjara dan denda ringan tersebut didakwa dengan Pasal 364 KUHP, maka tentunya berdasarkan KUHP para terdakwa perkara-perkara yang telah diungkap sebelumnya, tidak dapat dikenakan penahanan (Pasal 21) serta acara pemeriksaan di pengadilan yang digunakan merupakan acara pemeriksaan cepat yang cukup diperiksa oleh hakim tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 205- 210 KUHP, kemudian ditunjang pula oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung pada Pasal 45A yang menyatakan bahwa perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan kasasi karena ancaman hukumannya dibawah 1 (satu) tahun penjara (Najoan, 2021).
Akan tetapi dalam praktik, terdapat dilema karena penuntut umum mendakwa tersangka yang melakukan pencurian ringan dengan menggunakan Pasal 364 dan lebih memilih Pasal 362 KUHP dikarenakan batas pencurian ringan yang diatur di dalam PAsal 364 saat ini adalah barang atau uang yang nilainya dibawah Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Nilai Rp. 250,00 pada saat ini tentunya tidak sesuai lagi dan nilai sebesar ini tidak memiliki harga nilai barang, sedangkan penetapan Rp. 250,00 pada Pasal 364 merupakan angka ditetapkan oleh pemerintah dan DPR pada tahun 1960 melalui Perpu No. 16 Tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam Kita Undang-undang Hukum Pidana yang kemudian disahkan menjadi Undan-undang No. 1 Tahun 1961 tentang.
Pengesahan semua Undang-undang Darurat dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Terhadap nilai uang yang ditetapkan di dalam KUHP maka sangat diperlukan pengefektifan pada Pasal 364 untuk mengatasi Peraturan Mahkamah Agung perkara tindak pidana pencurian
yang terjadi saat ini sehingga diperlukan
perubahan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Pemerintah dan DPR, namun mengingat perubahan ini memerlukan waktu yang lama dan menyangkut perubahan pada semua pasal yang ada, maka menyangkut substansi penyesuaian nilai uang pada Pasal 364 maupun pasal-pasal lainnya yang dianggap oleh Mahkamah Agung sebagai tindak pidana ringan
yaitu Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual) dan Pasal 407 ayat (1) (pengrusakan ringan) dan Pasal 482 (penadahan ringan), bagaimana penerapannya saat ini. Misalnya, dalam tindak pidana
pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP), dan lain-lain, yang semula
nilai kerugiannya tidak lebih dari
dua puluh lima rupiah dan penyesuaian
maksimum penjatuhan pidana denda, yang dahulu sebesar dua ratus lima puluh rupiah, kini dilipatkangandakan menjadi 1000 (seribu) kali.
Tindak Pidana Pencurian Ringan
Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana yaitu yang bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Berdasarkan definisi teoritis maka perbuatan pidana adalah pelanggaran norma/kaedah/tata hukum yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Sedangkan dari sisi perundang-undangan, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat ini biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik (Gultom, 2019).
�Dari beberapa pendapat ahli hukum pidana, tindak pidana mempunyai unsur-unsur yaitu (Prasetyo, 2006):
1. Unsur
Objektif
Unsur yang terdapat diluar si pelaku.
Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan kadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan
dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:
a. Sifat
melanggar hukum
b. Kualitas
dari si pelaku
Misalnya keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari surat perseroan terbatas di dalam kejahtan menurut Pasal 398 KUHP
2. Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan
sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
3. Unsur
subjektif
Yaitu unsur yang terdapat atau melekat pada diri
si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:
a.
Kesenjangan atau
ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b.
Maksud pada suatu
percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP
c.
Macam-macam maksud
seperti terdapat dalam kejahatan-kejahtan pencurian, penipuan, pemerasan, dan
sebagainya
d.
Merencanakan terlebih
dahulu, seperti tercantum dlam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang
direncanakan terlebih dahulu
e.
Perasaan takut seperti
terdaat di dalam Pasal 308 KUHP
Menurut Prof. Van Bemmelen, yang dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana pada dasarnya adalah tempt dimana seseorang pelaku telah melakukan suatu perbuatan secara materi. Yang dianggap Locus Delicti adalah (Sugiarto, 2021):
a. Tempat dimana seorang pelaku itu
telah melakukan sendiri perbuatannya;
b. Tempat dimana alat yang dipergunakan oleh
seorang itu bekerja;
c. Tempat dimana akibat langsung dari suatu
tindakan itu telah timbul;
d. Tempat dimana akibat konstitutif itu telah
timbul.
Moeljatno mengemukakan bahwa hukum pidana adalah sebagai berikut (Moeljatno, 2002):
1. Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang dengan disertai
ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut;
2. �Menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan
pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dalam� Hukum� pidana pasti tidak akan lepas dari permasalahan permasalahan pokok yang merupakan salah satu bagian penting dalam proses perjalanannya hukum pidana, adapun masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu (Surbakti, 2005):
1. Perbuatan
yang dilarang;
2. Orang
(Korporasi) yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;
3. Pidana
yang diancamkan dan dikenakan kepada orang (Korporasi) yang melanggar larangan
itu.
Untuk mewujudkan� masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus.
Pada hukum pidana di Indonesia, tindak pidana ringan sering disebut dengan istilah tipiring. Penanganan tindak pidana ringan sesuai dengan peraturan menggunakan acara pemeriksaan cepat. Pada acara pemeriksaan cepat terdapat beberapa ketentuan diantaranya (S. H. Karim, 2019):
a.
Yang bertindak sebagai
penuntut adalah penyidik atas kuasa penuntut umum dalam hal ini �demi hukum�
b.
Tidak adanya surat
dakwaan karena yang menjadi pertimbangan adalah segala berkas atau catatan yang
dikirimkan kepada penyidik ke pengadilan
c.
Saksi tidak dibebankan
sumpah kecuali hakim menganggap perlu
Definisi secara konkrit tentang tindak pidana ringan akan sulit ditemukan dalam KUHPidana, dikarenakan sebagian besar isi pokok peraturan hukum dalam KUHPidana Indonesia merupakan adopsi dari KUHPidana warisan Hindia � Belanda. Pada masa kolonial Belanda tidak menyertakan aturan hukum tentang tindak pidana ringan dalam KUHPidana Hindia Belanda. Tindak pidana ringan dikategorikan sebagai tindak pidana yang diselesaikan dengan acara pemeriksaan cepat karena secara umum, tindak pidana ringan merupakan delik pelanggaran yang dalam KUHP ditempatkan di Buku III. Utrecht dalam mendiskripsikan tindak pidana ringan, menggunakan istilah kejahatan enteng untuk memadankan kata Lichte misdrijven dalam bahasa Belanda. Namun dengan menggunakan istilah yang demikian justru akan menyulitkan untuk menemukan istilah tindak pidana dalam KUHP.
Kesimpulan
Pengaturan hukum mengenai restorative justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencurian ringan bahwa Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 5 Ayat (1) wajib mengutamakan keadilan restorative. Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Kepolisian mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) Dalam Penyelesaian Tindak Pidana dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Penerapan restorative justice di kejaksaan Negeri Binjai berpedoman Peraturan Kejaksaan Agung RI No.15 Tahun 2020 kejaksaan negeri Binjai memberikan fasilitas untuk melakukan musyawarah dan berperan sebagai pihak kettiga yaitu mediator antara korban dan pelaku sampai pada titik berhasilnya penerapan restorative justice melakukan dialog langsung antara pelaku dan korban, menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari 107 kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran serta pelaku diharapkan mengganti kerugian yang diperbuatnya.
Hambatan bagi kejakaksaan dalam penerapan restorative
justice di Kejaksaan Negeri Binjai
: Masih adanya pandangan negatif dari kalangan
masyarakat tentang upaya penghentian penuntutan dan upaya Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam mewujudkan kepastian hukum dan keadilan, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penghentian penuntut dengan restorative justice sehingga
sulitnya melakukan perdamaian anatara kedua belah pihak,
banyaknya kasus pencurian yang tidak bisa diterapkan restorative
justice karena pencurian
yang dilakukan dimemenuhi syarat untuk diterapkan
keadilan restoratif, durasi waktu untuk
melakukan perdamaian terlalu singkat.
BIBLIOGRAFI
Agus Rusianto, S. H. (2016). Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Antara Asas,
Teori, dan Penerapannya. Prenada Media.
Azhar, Ahmad Faizal. (2019). Penerapan konsep keadilan
restoratif (restorative justice) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Mahkamah:
Jurnal Kajian Hukum Islam, 4(2), 134�143.
Fahik, Antonius De Andrade, Dewi, Anak Agung Sagung
Laksmi, & Widyantara, I. Made Minggu. (2022). Implementasi Peraturan
Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 (Studi Kasus Di Kejaksaan
Negeri Jembrana). Jurnal Konstruksi Hukum, 3(2), 240�245.
Gultom, Samuel Maringan. (2019). Pertanggungjawaban
Tindak Pidana Terhadap Produsen Minuman Keras Oplosan. Universitas Kristen
Indonesia.
Hariyanto, Diah Ratna Sari, & Yustiawan, Dewa Gede
Pradnya. (2020). Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim. Kertha
Patrika, 42(2), 180�191.
Juniarti, Elisabeth, Fadillah, Fatwa, Ikhsan, Edy,
Marjoko, Marjoko, & Lubis, M. Mitra. (2014). Diversi dan Keadilan
Restoratif: Kesiapan Aparat Penegak Hukum Dan Masyarakat Studi di 6 Kota Di
Indonesia.
Kansil, Christine S. T., & Kansil, Christine S. T.
(2004). Pokok-pokok hukum pidana: Hukum pidana untuk tiap orang. Pradnya
Paramita.
Karim, Karim. (2020). Pengaturan Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana Ringan Melalui Restorative Justice. Pengaturan Penyelesaian
Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Restorative Justice.
Karim, S. H. (2019). KARAKTERISTIK PENYELESAIAN
PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MELALUI RESTORATIVE JUSTICE. Jakad Media
Publishing.
Kristanto, Andri. (2022). Kajian Peraturan Jaksa Agung
Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restoratif. Lex Renaissance, 7(1), 180�193.
Martha, Aroma Elmina. (2020). Kemungkinan
Pengaturan Pembuktian Melalui Metode Victim Impact Statement Pada Proses
Pengadilan Di Indonesia (Perbandingan Dengan Sistem Hukum Di Australia Selatan).
Moeljatno, S. H. (2002). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka
Cipta, Jakarta.
Najoan, Wiliam Aldo Caesar. (2021). Penerapan
Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan Di Indonesia. LEX
CRIMEN, 10(5).
Prasetyo, Teguh. (2006). Kebijakan Kriminalisasi
Peraturan Daerah Guna Mewujudkan Sinkronisasi Hukum Pidana Lokal dengan Hukum
Pidana Kodifikasi. UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA.
Prasetyo, Teguh. (2009). Kebijakan Kriminalisasi Dalam
Peraturan Daerah Dan Sinkronisasi Dengan Hukum Pidana Kodifikasi. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, 16(1), 18�33.
Prodjodikoro, Wirjono. (2003). Tindak-Tindak Pidana
Tertentu di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama.
Purba, Jonlar. (2017). Penegakan hukum terhadap
tindak pidana bermotif ringan dengan restorative justice. Jala Permata
Aksara.
Purwoleksono, Didik Endro. (2014). Hukum Pidana.
Airlangga University Press.
R Wiyono, S. H. (2022). Sistem peradilan pidana
anak di Indonesia. Sinar Grafika.
Santoso, M. Agus. (2014). Hukum, Moral & Keadilan
Sebuah Kajian Filsafat Hukum. Ctk. Kedua. Jakarta: Kencana.
Sihotang, Porlen Hatorangan. (2020). Penyelesaian
Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam Mewujudkan Restorative
Justice (Studi Di Polresta Deli Serdang). Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum,
1(2), 107�120.
Sinaga, Niru Anita. (2020). Kode etik sebagai pedoman
pelaksanaan profesi hukum yang baik. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10(2).
Siswosoebroto, Koesriani. (2009). Pendekatan baru
dalam kriminologi.
Suadi, Amran. (2020). Filsafat Keadilan: Biological
Justice dan Praktiknya dalam Putusan Hakim. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Sugiarto, Umar Said. (2021). Pengantar Hukum
Indonesia. Sinar Grafika.
Surbakti, Natangsa. (2005). Buku Pegangan Kuliah Hukum
Pidana Khusus. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Fakultas Hukum.
Copyright holder: Galuh Nawang Kencana, Triono Eddy, Ida Nadirah (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |