Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No.12, Desember 2022

 

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM POSBINDU PTM DI 5 PROVINSI TAHUN 2021

 

Sundari Wirasmi, Anhari Achadi, Anggita Bunga Anggraini

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan

Email: [email protected]

 

Abstrak

Salah satu program kegiatan deteksi dini Penyakit Tidak Menular (PTM) yaitu Posbindu PTM yang bertujuan untuk menanggulangi penyakit tidak menular di Indonesia. Jumlah Posbindu PTM saat ini telah cukup banyak dan berjalan sejak lama, namun masih mengalami berbagai kendala. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam pelaksanaan Posbindu PTM. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan di tingkat pusat dan daerah pada 5 provinsi yang memiliki cakupan Posbindu PTM tertinggi berdasarkan data SI-PTM 2020. Hasil penelitian menunjukkan tersedianya kebijakan yang mendukung di level pusat, adanya peran daerah dalam pendanaan, ketersediaan alat, adanya kemitraan dengan pihak eksternal, adanya integrasi dengan program Posyandu Lansia, alur pelaporan yang sudah berjalan, serta tersedianya sumber daya manusia menjadi faktor pendukung dalam pelaksanaan Posbindu PTM. Adapun belum adanya kebijakan tertulis terkait pendanaan kegiatan di daerah, belum seluruh alat terkalibrasi, belum adanya kontinuitas kemitraan, pemanfaatan dana desa yang belum maksimal, keterbatasan jumlah obat-obatan PTM, serta kendala sinyal di daerah menjadi penghambat bagi pelaksanaan Posbindu PTM. Pelaksanaan Posbindu PTM dapat berjalan optimal bila ada kebijakan tertulis terkait komitmen dari pusat dan daerah bagi pendanaan kegiatan.

 

Kata kunci : evaluasi, pelaksanaan, Posbindu PTM

 

Abstract

One of the programs for early detection of Non-Communicable Diseases (PTM) is Posbindu PTM which aims to tackle non-communicable diseases in Indonesia. The number of Posbindu PTM is currently quite a lot and has been running for a long time, but they are still experiencing various obstacles. This study aims to identify problems in the implementation of Posbindu PTM. This study uses a qualitative approach. Data collection was carried out at the central and regional levels in 5 provinces that have the highest Posbindu PTM coverage based on SI-PTM 2020 data. The results show the availability of supporting policies at the central level, the role of regions in funding, the availability of tools, the existence of partnerships with external parties, the existence of integration with the Elderly Posyandu program, the reporting flow that has been running, and the availability of human resources are supporting factors in the implementation of Posbindu PTM. Meanwhile, there is no written policy related to funding activities in the regions, not all equipment is calibrated, there is no continuity of partnership, the use of village funds is not optimal, the limited number of PTM medicines, and signal problems in the regions are obstacles to the implementation of Posbindu PTM. The implementation of Posbindu PTM can run optimally if there is a written policy regarding the commitment from the center and the regions for funding activities.

 

Keywords: evaluation, implementation, PTM Posbindu.

 

Pendahuluan

(Riskesdas, 2019) menunjukkan prevalensi Penyakit Tidak Menular mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013 dan menjadi ancaman yang serius 1. Pemerintah berupaya menanggulangi PTM dengan mengeluarkan Permenkes RI nomor 71 tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan PTM dilaksanakan melalui Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Deteksi dini untuk menemukan faktor risiko PTM sedini mungkin dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas/tempat dilaksanakan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM). Dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan PTM, peran serta masyarakat dilaksanakan melalui UKBM dengan membentuk dan mengembangkan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Nugraheni & Hartono, 2018).

Deteksi dini faktor risiko PTM menjadi bagian dari Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesehatan (Permenkes, 2015). Pelaksanaan SPM bidang kesehatan menjadi kewajiban pemerintah daerah berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Ristanti & Handoyo, 2017). Langkah kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah antara lain skrining faktor risiko PTM dan gangguan mental emosional dan perilaku, konseling tentang faktor risiko PTM dan gangguan mental emosional dan perilaku, pelatihan teknis petugas skrining kesehatan bagi tenaga kesehatan dan petugas pelaksana (kader) Posbindu PTM, penyediaan sarana dan prasarana skrining (Kit Posbindu PTM), pelatihan surveilans faktor risiko PTM berbasis web, pelayanan rujukan kasus ke Faskes Tingkat Pertama, pencatatan dan pelaporan faktor risiko PTM, dan monitoring dan evaluasi (Kemenkes, 2019).

Jumlah Posbindu PTM yang tercatat di Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 sebanyak 38.486 Posbindu PTM (Duha, Utami, & Rifai, 2021). Jumlah Posbindu PTM yang cukup banyak dan telah berjalan sejak lama masih mengalami berbagai kendala yang berbeda-beda di setiap daerah sehingga dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi permasalahan, mengindentifikasi faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam pelaksanaan Posbindu PTM sesuai kondisi daerah di Indonesia serta pemanfaatan sistem informasi Posbindu PTM yang ada saat ini.

Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Tidak Menular mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013 dan menjadi ancaman yang serius (Milita, Handayani, & Setiaji, 2021). Pemerintah berupaya menanggulangi PTM dengan mengeluarkan Permenkes RI nomor 71 tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan PTM dilaksanakan melalui Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Deteksi dini untuk menemukan faktor risiko PTM sedini mungkin dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas/tempat dilaksanakan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM). Dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan PTM, peran serta masyarakat dilaksanakan melalui UKBM dengan membentuk dan mengembangkan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Permenkes, 2015).

Deteksi dini faktor risiko PTM menjadi bagian dari Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesehatan (Sari & Savitri, 2018). Pelaksanaan SPM bidang kesehatan menjadi kewajiban pemerintah daerah berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Langkah kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah antara lain skrining faktor risiko PTM dan gangguan mental emosional dan perilaku, konseling tentang faktor risiko PTM dan gangguan mental emosional dan perilaku, pelatihan teknis petugas skrining kesehatan bagi tenaga kesehatan dan petugas pelaksana (kader) Posbindu PTM, penyediaan sarana dan prasarana skrining (Kit Posbindu PTM), pelatihan surveilans faktor risiko PTM berbasis web, pelayanan rujukan kasus ke Faskes Tingkat Pertama, pencatatan dan pelaporan faktor risiko PTM, dan monitoring dan evaluasi.

Jumlah Posbindu PTM yang tercatat di Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 sebanyak 38.486 Posbindu PTM (Insania, 2021). Jumlah Posbindu PTM yang cukup banyak dan telah berjalan sejak lama masih mengalami berbagai kendala yang berbeda-beda di setiap daerah sehingga dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi permasalahan, mengindentifikasi faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam pelaksanaan Posbindu PTM sesuai kondisi daerah di Indonesia serta pemanfaatan sistem informasi Posbindu PTM yang ada saat ini.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini mengumpulkan data baik di tingkat pusat dan daerah pada Maret hingga Oktober 2021. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada data SI-PTM (Sistem Informasi Penyakit Tidak Menular) tahun 2020 yang dimiliki oleh Direktorat PTM Dirjen P2P Kemenkes RI (Data, 2014). Pemilihan provinsi untuk lokasi penelitian dilakukan dengan mengurutkan provinsi berdasarkan pada persentase cakupan tertinggi. Adapun 5 provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta dan Jawa Barat. Adapun pemilihan lokasi kabupaten/kota berdasarkan kota/kabupaten yang memiliki cakupan Posbindu PTM tertinggi. Kabupaten/kota tersebut sudah pernah mendapatkan pelatihan terkait Posbindu PTM dan memiliki� penanggung jawab program Posbindu PTM baik di Dinas Kesehatan Provinsi maupun di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Tabel 1

Daftar Wilayah

 

No

Provinsi

Kota/Kab

Jumlah Puskesmas Sampel

Jumlah Posbindu PTM Sampel

1

Nusa Tenggara Barat

Kab . Lombok Barat

2

6

2

Kalimantan Barat

Kota Pontianak

2

6

3

Jawa Timur

Kab. Situbondo

2

6

4

DKI Jakarta

Kota Jakarta Pusat

2

6

5

Jawa Barat

Kota Cirebon

2

6

�

Pemilihan lokasi Puskesmas dilakukan berdasarkan keaktifan Puskesmas dalam melakukan kegiatan Posbindu PTM selama 2 tahun sebelum pandemi Covid-19, aktif melakukan pelaporan, memiliki cakupan Posbindu PTM yang tinggi. Jumlah Puskesmas yang diambil sebanyak 2 Puskesmas pada setiap kabupaten/kota. Dari setiap Puskesmas, akan diambil 3 Posbindu PTM berdasarkan tingkat keaktifannya dengan merujuk data Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sehingga total Posbindu PTM yang diambil 6 Posbindu PTM dalam satu kabupaten/kota. Namun pada saat pengumpulan data dilakukan, kriteria tersebut tidak dapat terpenuhi, sehingga dipilih kriteria Posbindu PTM yang aktif dalam satu tahun pada tahun 2019.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan cara wawancara mendalam dan Focus Group Discussion(FGD) (Afiyanti, 2008). Wawancara mendalam di tingkat pusat yaitu pada Kementerian Kesehatan pusat terdiri dari Pusat data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes sebanyak 1 orang, Penanggung jawab Posbindu PTM di Kemenkes sebanyak 1 orang, Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga, Direktorat Kesehatan Keluarga, Direktorat Gizi masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan sebanyak masing-masing 1 orang. Kemudian penanggung jawab program LKD di Kementerian Dalam Negeri sebanyak 1 orang, Penanggung jawab program LKD di Kementerian Desa PDT sebanyak 1 orang, dan Penanggung jawab program skrining riwayat kesehatan dan Prolanis di BPJS sebanyak 1 orang.

Pada tingkat daerah, wawancara mendalam dilakukan kepada Penanggung jawab program di Dinas Kesehatan Provinsi sebanyak 1 orang, Pemegang program di Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten sebanyak 1 orang, Kepala puskesmas/ pemegang program Posbindu PTM di Puskesmas sebanyak 1 orang, serta lurah atau kepala desa sebanyak 1 orang pada masing-masing Puskesmas. Selain itu, dilakukan FGD kepada 2 kelompok, yaitu kelompok kader dan kelompok Ketua RW/tokoh masyarakat masing-masing 1 orang pada setiap Posbindu PTM yang dilakukan secara daring atau luring disesuaikan dengan kondisi PPKM pada lokasi penelitian saat pengumpulan data berlangsung.

Pada penelitian ini dilakukan telaah dokumen dan juga cek list sarana prasarana akan diisi oleh tim peneliti pusat dengan mengecek ketersediaan sarana prasarana pada lokasi Posbindu PTM yang biasa digunakan masyarakat. Penelitian tidak melakukan observasi pelaksanaan Posbindu PTM secara langsung disebabkan adanya pandemi COVID-19 untuk mencegah penularan baik terhadap pengumpul data maupun terhadap peserta.

Penelitian ini telah mendapatkan etik penelitian dari Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI No.LB.02.01/2/KE.499/2021(ISWARI, n.d.).

Proses analisis dilakukan secara manual (Surahman, Satrio, & Sofyan, 2020) melalui beberapa tahap yaitu : pertama hasil wawancara dituangkan dalam bentuk transkrip hasil wawancara. Kedua, dari hasil transkrip dilakukan reduksi jawaban ke dalam sub tema tertentu sesuai topik pertanyaan dan dimasukkan ke dalam matriks. Ketiga, menganalisis temuan penelitian, memverifikasi sesuai tujuan, kemudian menyajikannya ke dalam bentuk informasi yang lebih ringkas dengan menambahkan kutipan langsung dari informan dan terakhir mengambil kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

Dari tahap input, faktor yang mendukung pelaksanan Posbindu PTM antara lain kebijakan posbindu PTM telah diatur di tingkat pusat diatur dalam Permenkes nomor 71 tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular. Di tingkat daerah, peraturan/kebijakan turunan yang dijadikan sebagai acuan pelaksanaan kegiatan bervariasi, seperti Pergub dan Perda. Hal ini diungkapkan oleh 4 orang informan :

�Kalau untuk Posbindu PTM,�mengacu dari dinas. Pergub tentang PTM No.25 tahun 2021, Permenkes 71 tentang Penanggulangan PTM, Surat Edaran tentang Skrining Faktor Resiko Pada Vaksinasi, SE No.50, Surat Edaran Integrasi Posbindu PTM dan Posyandu Lansia di tahun 2021, Surat Edaran Kepala Dinas DKI tentang Posbindu Masa Pandemi tahun 2020..� (FD, Jakarta)

Berdasarkan data telaah dokumen, hanya Provinsi DKI Jakarta yang hingga level Puskesmas mengetahui adanya Perda tentang Posbindu PTM. Dari segi SK/Peraturan kepala daerah terkait Posbindu PTM, hanya Provinsi Jawa Barat yang mengetahui peraturan tersebut dari level Dinkes Kota/Kab hingga ke level Puskesmas.

Dari segi sumber daya manusia sebagai pelaksana program Posbindu PTM hampir seluruh daerah secara jumlah telah mencukupi, walaupun masih ada daerah yang masih kekurangan petugas kesehatan dan kader. Berikut petikannya :

�Kecukupan kader saat ini sudah cukup jumlahnya. Pemilihan kader tidak ada, kader sifatnya sukarela, karena mencari kader gampang-gampang susah. Karena kerjanya sosial.�(W, Jakarta)

Pengalokasian anggaran Posbindu PTM terdiri dari DAK, dana dekonsentrasi, dana BOK, dan dana desa. Hal ini diungkapkan oleh salah satu informan :

��DAK itu kan ada petunjuk ada Permenkesnya yang mengatur, dan yang e maksudnya sangat dimungkinkan kita tuh mengusulkan yang penting ada yang masuk di Permenkesnya itu petunjuk pelaksanaan DAK itu, dan posbindu ada di dalam situ Posbindu kit dan BHPnya gitu� kalau yang statusnya desa sebetulnya itu ada Permendesnya untuk kebutuhan alat dan kita pun juga secara e kita punya dana yang namanya DAK, ada DAK, ada Dekon terus e dana BOK biaya transport kader, cuman memang harus ada e apa ya kemauan dari daerah untuk mengusulkan gitu loh..� (EW, Jakarta)

Berdasarkan telaah dokumen, sumber dana operasional yang digunakan oleh kader bervariasi, namun sumber dana terbesar (56,7%) berasal dari Puskesmas. hanya 23,3 % Posbindu PTM yang memanfaatkan dana desa untuk operasional Posbindu PTM.

Dari segi lokasi pelaksanaan, terdapat variasi lokasi pelaksanaan, namun pada umumnya tersedia lokasi. Hal ini diungkapkan oleh 2 orang informan :

�..ada tempatnya, ada pos. Dibangunkan oleh Pemkot anggaran dari mereka, dia punya tanah dibangunkan..�(RH, Kalbar)

Berdasarkan data telaah dokumen hampir seluruh Posbindu melaksanakan di tempat permanen (93,3%), dan hanya sedikit yang melakukan dengan berpindah-pindah tempat. Dari segi ketersediaan alat, berdasarkan telaah dokumen hampir seluruh Posbindu PTM sudah memiliki peralatan ukur standar yang ada di Posbindu PTM, seperti alat ukur lingkar perut, alat ukur tinggi badan, tensimeter digital, dan alat ukur gula darah. Di tingkat pusat, Kemenkes saat ini sudah tidak melakukan pengiriman (dropping) Posbindu Kit karena mekanisme pengadaan sudah diserahkan di level daerah melalui DAK. Hal ini diungkapkan oleh 2 orang informan :

�Dinkes melalui DAK menyediakan Posbindu kit rata-rata 2 set untuk tiap puskesmas dan BHP seperti stik gula dan kolesterol� (KU, NTB)

�e kita nggak ada droping lagi sekarang lewat mekanisme DAK itu..ada 2, ada 2 jadi untuk BHP nya sama e Posbindu Kit..� (EW, Jakarta)

Kementerian kesehatan telah mengeluarkan buku juknis Posbindu PTM dan juknis Posbindu PTM terintegrasi Posyandu Lansia. Ada daerah yang langsung mengacu kepada Ptunjuk Teknis (Juknis) Posbindu PTM yang dikeluarkan oleh (Riskesdas, 2019), namun ada juga daerah yang membuat SPO berdasarkan kondisi wilayahnya. Berikut petikannya :

�SPO nya hanya menggunakan SOP skrining untuk posbindu di wilayah masing-masing Pedoman yang ada di Dinkes Provinsi bukan pedoman khusus Posbindu PTM, yang ada yaitu program skrining usia produktif..�(A, Jakarta)

�..Belum ada SOP dan lain-lain..� (S, Jabar)

Kemitraan telah terjalin dengan pihak internal maupun eksternal mulai dari tingkat provinsi hingga kader. Pihak eksternal yang terlibat bervariasi antar daerah antara lain dengan tokoh agama, Organisasi Perangkat daerah (OPD), sekolah, perguruan tinggi, dan instansi swasta. Hal ini diungkapkan oleh 3 orang informan :

�kerjasama dengan organisasi dan lintas agama sampai saat ini belum ada. Kerjasama dengan lintas sektor swasta pernah dilakukan sebelum pandemi di tahun 2019..� (FD, Jakarta)

Faktor penghambat dari tahap input antara lain, Kemendagri belum mengeluarkan peraturan integrasi Posbindu PTM ke dalam kegiatan LKD (Lembaga Kemasyarakatan Desa) bidang kesehatan sehingga daerah belum dapat membuat peraturan turunan untuk pendanaan Posbindu PTM dari APBD terkait Posbindu PTM. LKD diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2014, PP Nomor 43 Tahun 2014, dan Permendagri No 18 tahun 2018. Kegiatan yang masuk dalam LKD ini adalah Posyandu dan PKK Pokja 4 meliputi imunisasi, keluarga berencana, pencegahan diare, dan lain-lain. Berikut petikannya :

��Saat ini memang kami sedang memproses regulasi masih dalam proses naskah akademik yang sekarang posyandu yang kita jadikan LKD posyandu yang memiliki berbagai intergrasi program. Jadi program-program ini kita tidak hanya seperti dulu memiliki 5 kegiatan utama saja seperti imunisasi, keluarga berencana, pencegahan diare dan lain-lain tetapi sekarang kita ingin mengintegrasikan beberapa program yang mendukung kesehatan..�(RAH, Jakarta)

Di beberapa daerah, SDM dari segi jumlah petugas kesehatan dan kader masih terdapat kekurangan. Hal ini diungkapkan oleh 2 orang informan :

�Petugas puskesmas dan kader kurang..�(EH, NTB)

�Kalau sumber daya juga masih kurang Pak..karena selama ini di lapangan itu, teman-teman di puskesmas kesulitannya untuk ketersediaan kadernya, banyak yang tidak mau untuk menjadi kader sedangkan kader posbindu itu kan, kita perlunya yang usia produktif Pak..�(SO, Kalimantan Barat)

Daerah belum dapat menganggarkan APBD secara khusus untuk kegiatan Posbindu PTM seperti Posyandu Balita dan Posyandu lansia karena belum ada peraturan turunan terkait pendanaan Posbindu PTM. Berikut petikannya:

�Regulasi yang mengatur alokasi anggaran tidak ada. Jadi diserahkan kewenangannya kepada desa. Jadi tergantung permasalahannya di desanya. 74.590 desa. Jadi keputusan tertinggi diserahkan kepada desa. Ada desa milano di kalimantan utara tidak bisa padat karya. Ada juga desa-desa yang penghuninya orang tua. Jadi spesifik. Tapi kebijakan BLT diharuskan di setiap desa. Jumlahnya terserah desa tersebut. Ada yang di purbalingga desanya tidak ada yang miskin. Penyertaan modal kumdes untuk pengembangan..� (S, Jakarta)

Berdasarkan telaah dokumen, sumber dana operasional yang digunakan kader bervariasi, namun sumber dana terbesar (56,7%) berasal dari Puskesmas. Hanya 23,3% Posbindu PTM yang memanfaatkan dana desa untuk operasional Posbindu PTM. Peralatan Posbindu kit membutuhkan pemeliharaan peralatan berupa kalibrasi. Kegiatan kalibrasi peralatan di daerah cukup bervariasi. Ada peralatan yang rutin dikalibrasi, namun ada juga peralatan yang belum rutin dikalibrasi jika peralatan tersebut milik swadaya masyarakat atau alat yang berasal dari dropping kemudian diserahkan kepada masyarakat. Berikut petikannya:

�Kalibrasi dilakukan tapi tidak bisa langsung, untuk semua alat, di cicil, misal 6 alat dulu sesuai anggaran yang ada..�(JS, Jawa Barat)

Di segi kemitraan, kendala di masing-masing daerah sangat bervariasi, meliputi pelaporan kegiatan mitra yang belum berjalan, kurangnya kemitraan dengan CSR, terbatasnya jumlah kemitraan, masih belum dilakukan sosialisasi Posbindu PTM kepada pihak eksternal, dan belum adanya kontinuitas dari kemitraan. Hal ini diungkapkan oleh 2 orang informan :

�tidak ada kemitraan secara kontinyu..kalau untuk kerjasama dengan fakuktas kesehatan, kita mau..� (AA, Pontianak)

Tahap Proses

Pada tahap proses, faktor pendukung pelaksanaan Posbindu PTM antara lain, perencanaan program Posbindu PTM telah dilakukan mulai dari Dinkes Provinsi hingga level kader, baik secara bottom up maupun top down. Berikut petikannya:

��ada orientasi nah itu kita mengundang kabupaten kota dulu sama petugas promkes sama petugas eee dipemda apa teh eee birokesra ya..nah itu ada kegiatan depkon kemudian mereka melanjutkan eee nanti pelaksanaannya masing-masing kab/kota merekea melanjutkan kegiatan orientasi ini mengundang puskesmas gitu, nah kemudian tidak hanya puskesmas yang dia undang ya kegiatan itu sampai ke kadernya bu nanti kadernaya juga lintas sektor yang terkait misalnya dari camat perwakilan dari desa atau kelurahan gitukan yang terlibatlah dalam kegiatan ini..� (S, Jawa Barat)

Dari segi pelaksanaan, sebelum masa pandemi COVID-19 proses pelaksanaan kegiatan Posbindu PTM sebagian besar daerah sudah sesuai dengan juknis yang seharusnya yaitu minimal satu bulan sekali. Hal ini diungkapkan oleh 2 orang informan :

�sebelum pandemi, kegiatan Posbindu PTM rutin dilakukan setiap bulan.� (FD, Jakarta)

�mereka rutin ya..paling tidak sebulan sekali� (FC, Jawa Timur)

Pelaksanaan Posbindu PTM terintegrasi Posyandu lansia telah dilaksanakan di daerah. Berikut petikannya :

�kemudian untuk juknis yang baru final 2020 dan difinalkan di 2021 sudah kami sosialisasikan dan sudah mengundang 34 provinsi kita waktu itu mengadakan sosialisasi kepada daerah termasuk di dalamnya juknis integrasi posyandu lansia dan posbindu PTM. Kegiatan untuk sosialisasi ini rutin dilakukan tiap tahun dan juga evaluasi program termasuk update-update infonya juga buku pedoman yang baru kami revisi karena kami punya target dan sasaran yang harus dicapai juga. Sasarannya adalah kasi kesga provinsi dan beberapa untuk dinkes kab/kota terpilih dan penanggungjawab kesga di provinsi, sedangkan di pusat juga kita juga bersama dir P2PTM� (YN, Jakarta)

Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/Kota, puskesmas hingga kelurahan. Dinkes provinsi dan kota/kabupaten telah rutin dalam setahun melakukan monitoring dan evaluasi. Hal ini diungkapkan oleh 2 orang informan :

�biasanya untuk tahun sebelumnya, kita 3 bulan sekali melakukan monev jadi, 1 tahun, tetap 4 kali kita monev dengan bimtek..� (SO, Kalimantan Barat)

�frekuensi monev 6 bulan sekali, evaluasi dilakukan akhir tahun atau awal tahun selanjutnya..� (MS, Jawa Timur)

Alur pelaporan sudah dilakukan secara berjenjang, mulai dari kader kepada Puskesmas, kemudian ke Dinkes Kota/Kabupaten, selanjutnya ke Dinkes Provinsi. Berikut petikannya:

�..sekarang puskesmas itu yang melakukan input offline-nya dan tidak mengupload ke sistem, yang upload dinkesnya jadi disederhanakan..kami di provinsi tidak ada kegiatan input menginput data, kami cuma pantau aja laporan dari kab/kota..� (FC, Jawa Timur)

Alur tindak lanjut pemeriksaan berupa pemberian rujukan kepada peserta Posbindu PTM yang memiliki hasil pemeriksaan diatas normal telah berjalan di seluruh wilayah. Seperti yang diungkapkan salah satu informan berikut :

�dilakukan rujukan dari posbindu ke puskesmas, ulang lagi periksa ke puskesmas jika hasil tidak sesuai diberi obat, jika kasusnya sangat parah misalnya hasil pemeriksaan gula darah sangat tinggi maka di rujuk ke RS kemudian dilakukan rujuk balik ke puskesmas. selama masih kewenangan puskesmas masih bisa ditangani di puskesmas.� (AY, NTB)

Ketersediaan sumber daya untuk rujukan seperti obat-obatan masih mencukupi meskipun terbatas. Berikut petikannya :

�obatnya ada, hipertensi ada, gula darah ya ada, kolesterol, tapi kayaknya terbatas, tapi ya cukuplah. Puskesmas sudah siap dengan dokter, pemeriksaan dan obatnya. Tapi dalam jumlah tertentu saja, selama ini masih cukup.� (RM, Jawa Timur)

Sistem informasi yang dimanfaatkan adalah SI-PTM yang telah dikembangkan oleh Kemenkes. Berikut petikannya :

�laporan pakai aplikasi SI PTM lebih gampangnya kita ambil data dari epuskesmas, data di e puskesmas kan sudah lengkap.� (AP, NTB)

Faktor penghambat pada tahap proses antara lain, dari segi perencanaan, terdapat faktor penghambat seperti proses politik di daerah yang berpengaruh terhadap prioritas perencanan, keterbatasan anggaran, dan adanya refocussing anggaran pada masa pandemi COVID sehingga kegiatan yang sudah direncanakan tidak dapat dilakukan. Hal ini diungkapkan oleh 2 orang informan sebagai berikut :

�..kondisi ini begini bu, misal kita mau melakukan kegiatan, terhambat kebijakan. Karena pandemi ini, akhirnya berpengaruh kepada anggarannya, akhirnya refocussing. Kita melakukan itu terkendala, satu kondisi. Kita mau melakukan pertemuan tatap muka Pandu PTM, begitu mau melaksanakan ada refocussing..� (AA, Kalimantan Barat)

�secara siklus tidak ada, namun kadang proses politik daerah menentukan misalnya penggantian pimpinan daerah, anggota dewan yang baru ngaruh ke siklus perencanaan. Kemungkinan masih bisa jadi ada perubahan jika ada perubahan politik yang baru..� (MS, Jawa Timur)

Dari segi pelaksanaan, masih ada wilayah yang belum melaksanakan Posbindu PTM sesuai frekuensi yang telah ditetapkan oleh juknis yaitu sebulan sekali. Di masa pandemi COVID 19, pelaksanaan Posbindu PTM tidak dapat berjalan sesuai juknis. Berikut petikannya :

�Pelaksanaan kegiatan posbindu perbulannya tergantung dari puskesmas masing-masing, ada yang 2 bulan sekali, ada juga yang 1 bulan sekali pelaksanaannya..kalau yang 2 bulan sekali mungkin ada kendala..karena perencanaan anggarannya itu bu, anggarannya terbatas bu kan berbagi dengan program yang lain� (K, NTB)

Dari segi monitoring dan evaluasi, masih ada Puskesmas dan kelurahan yang belum memiliki jadwal rutin melakukan monitoring dan evaluasi dalam setahun. Seperti yang diungkapkan salah satu informan berikut :

�frekuensi Bimtek tidak tentu, kadang bisa 1 bulan sekali, namun juga tidak menentu. Mengikuti jadwal sweeping kader� (ED, Jawa Barat)

Sistem pencatatan dan pelaporan ini sangat tergantung dari kemampuan daerahnya masing-masing dan kebijakan pencatatan dan pelaporan itu juga bisa berubah bila terjadi perubahan pimpinan di daerah tersebut. Berikut petikannya :

�..kembali lagi ke kemampuan daerahnya juga kali, kemampuan daerahnya dalam artian bukan hanya membuat tetapi maintenance untuk sekian tahun ke depan..dulu Jawa Timur udah mulai, Jawa Timur dulu tidak ada lagi ee membuat laporan yang lain karena mereka sudah punya laporan sendiri yang diharapkan nanti bisa bridging dengan sistem kita, tapi sekarang..tapi kadang juga tantangan kita e nanti ganti pimpinan nanti akan berubah lagi kan� (M, Jakarta)

Selain itu, beban kerja petugas yang bertambah untuk membuat laporan karena jumlah SDM yang terbatas dan sarana komputer yang terbatas menyebabkan keterlambatan dalam pengiriman laporan sehingga data yang ada di pusat belum update. Seperti yang diungkapkan salah satu informan berikut :

�kendalanya kan bukan hanya di dinas kesehatan ternyata lebih banyaknya mungkin di layanan di pelayanan kesehatan, sudah mereka double job untuk ini bukan cuma ptm saja ya. Belum lagi eee perangkat komputernya satu komputer dipakai untuk ramai-ramai akhirnya mereka harus mengantre. Kalau di luar jam kerja juga mereka tidak semua bersedia ya. Kadang-kadang juga tenaga di puskesmas itu kerja rangkap jadi itu dia sebagai pengelola program ptm gitu ya dia juga merangkap bendahara nah kadang seperti itu ya selama ini karena tidak fokus karena dia tidak satu job..� (S, Jawa Barat)

Dari segi tindak lanjut pemeriksaan, terdapat penghambat seperti peserta yang belum memiliki KIS (Kartu Indonesia Sehat) atau BPJS Kesehatan disarankan melakukan pemeriksaan ke swasta, sehingga belum semua peserta dirujuk datang ke Puskesmas. Di masa pandemi, adanya kebijakan PPKM menyebabkan peserta yang dirujuk tidak dapat datang ke Puskesmas dan jumlah peserta yang dirujuk belum tercatat oleh kader. Hal ini diungkapkan oleh 4 orang informan sebagai berikut :

�kendala terkait rujukan hanya jika pasien rujukan tidak mempunyai BPJS atau BPJS nya bukan di wilayahnya sehingga pasien rujukan harus membayar secara mandiri..� (TI, Jakarta)

Tahap Output

Pada tahap output, faktor yang mendukung pelaksanaan Posbindu PTM antara lain, cakupan peserta Posbindu PTM di berbagai wilayah telah mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sasaran pelaksanaan Posbindu adalah seluruh warga negara yang berusia ≥ 15 tahun yang ada di wilayah Posbindu. Berdasarkan informasi dari informan di (Riskesdas, 2019), cakupan Posbindu PTM di tahun 2019 baru mencapai 50%, namun saat ini cakupan sudah meningkat hingga 70-80%. Cakupan ini masih menjadi tantangan karena masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan jumlah peserta yang datang ke Posbindu PTM.

Dari segi cakupan peserta, berdasarkan informasi dari informan di seluruh wilayah provinsi yang menjadi sampel pada penelitian ini, besaran cakupan berkisar antara 40-60%, namun ada juga wilayah yang mencapai cakupan hingga 80%. Berikut petikannya:

�..SPM harus 100%, NTB baru 85%. SIPTM NTB tertinggi mencapai 80% minimal, dan ini menjadi kebanggaan diumumkan oleh kemenkes..� (KU,NTB)

Berdasarkan data telaah dokumen dan observasi di Posbindu PTM, dari segi persentase kegiatan yang mampu dilaksanakan di Posbindu PTM, kegiatan dasar pengukuran sudah hampir seluruhnya dilakukan di seluruh Posbindu PTM (>90%), yaitu identifikasi riwayat PTM, pemantauan obesitas, pemantauan tekanan darah, pemantauan glukosa darah, dan konseling gizi dan penyakit.

Faktor penghambat pada tahap output antara lain, dari data hasil telaah dokumen di Dinkes Provinsi, persentase capaian di berbagai provinsi masih belum mencapai target SPM kesehatan. Selain itu, peserta usia remaja dan produktif masih cukup rendah diberbagai wilayah.

Kader belum dapat menentukan jumlah sasaran sehingga tidak mengetahui jumlah cakupan dengan pasti. Berikut petikannya :

�kalau RW elit sih ga ada. Iya RT 1. RW 4,5,6,7,10 itu nggak. Itu elitnya. Ga bisa diapa-apain udah. Percuma juga dimasukin. Kalau lansia 1600an bu. Di data ini ga ada tercatat. Adanya balita. Iya biasanya begitu. Kalau remaja kan susah digitu-gituin Bu..� (EP, Jakarta)

Sistem informasi SI-PTM terbaru yang dikembangkan oleh pusat kurang user-friendly dan belum terkoneksi dengan aplikasi lain sehingga terjadi pengulangan penginputan data. Selain itu, SI-PTM belum mencakup laporan kegiatan Posbindu PTM du instansi perkantoran. Pelaporan dari kader yang masih menual menyebabkan banyak indikator tidak terisi. Aplikasi selama ini lambat karena terkendala jaringan. Seperti yang diungkapkan 5 orang informan berikut :

�pelaporan posbindu kan juga dengan aplikasi juga Pak, SI PTM juga masuk, Pak untuk pelayanan posbindu, Cuma di lapangannya kadernya itu pelaporannya secara manual. Nanti dari situ di laporkan ke puskesmas, pihak puskesmas yang melaporkan ke pusat langsung dan ke kami juga, ke dinas. � (SO, Kalimantan Barat)

Pada tahap input, advokasi dan kebijakan diperlukan untuk meningkatkan prioritas pada upaya pencegahan dan pengendalian PTM sehingga masuk ke dalam agenda global, regional dan nasional serta menjadi tujuan pembangunan yang disepakati bersama 5. Salah satu peraturan di tingkat pusat dalam upaya penanggulangan PTM, yaitu adanya Permenkes nomor 71 tahun 2015 tentang Penanggulangan PTM yang menunjukkan bahwa Indonesia harus giat melakukan pengendalian PTM. Kebijakan tingkat pusat terkait Posbindu PTM belum dapat mengikat kebijakan di daerah, sehingga turunan kebijakan daerah masih bervariasi. Salah satu kebijakan terkait penanggulangan PTM yang memiliki aturan tingkat pusat yang kuat adalah kebijakan tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017. Sesuai amanat dari Inpres tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan menetapkan Peraturan Gubernur atau peraturan daerah lainnya tentang GERMAS. Pemerintah kota dapat menerbitkan surat edaran yang ditujukan kepada seluruh instansi organisasi perangkat daerah (OPD) untuk mengambil peran dalam implementasi kebijakan GERMAS 6. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Posbindu PTM perlu dukungan yang lebih kuat, sehingga pemerintah daerah bisa menggerakkan seluruh organisasi dan perangkat daerah untuk mendukung pelaksanaan Posbindu PTM.

Beberapa opsi kebijakan dari WHO dalam upaya penanggulangan PTM, salah satunya adalah memperkuat SDM, termasuk alokasi SDM dalam program penanggulangan PTM5. Salah satu kebijakan dan strategi yang harus diperkuat di era desentralisasi adalah meningkatkan profesionalisme SDM yang bergerak di bidang pencegahan dan pengendalian faktor risiko PTM7. Hal ini menunjukkan bahwa program pengendalian PTM membutuhkan kuantitas dan kualitas yang cukup, termasuk alokasi dan peningkatan kompetensi SDM terutama di Dinkes, Puskesmas serta kader Posbindu PTM sebagai ujung tombak penggerak pelaksanaan posbindu PTM. Pembinaan bagi kader Posbindu PTM yang telah melaksanakan program secara rutin perlu dilakukan. Pembinaan ini dilakukan guna memperbaharui pengetahuan kader tentang perkembangan PTM. Selain itu dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan, terutama dari Pemerintah Desa yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dan penggunaan Dana Desa. Hal ini sangat diperlukan agar program Posbindu PTM di desa tetap dapat berjalan secara konsisten dan bahkan kegiatannya dapat berkembang8.

Hasil penelitian menunjukkan kuantitas dan kualitas SDM untuk pelaksanaan Posbindu PTM masih kurang baik di petugas puskesmas sebagai pengelola dan pelaksana program Posbindu PTM maupun kader Posbindu PTM. Sinaga melakukan penelitian di Puskesmas Padang Bulan pada tahun 2017 tentang pelaksanaan program Posbindu PTM pada penderita hipertensi juga menunjukkan bahwa jumlah tenaga pelaksana dalam pelaksanaan posbindu belum mencukupi. Pelatihan terhadap tenaga kesehatan meliputi dokter dan petugas pelaksana sudah dilakukan sementara pelatihan untuk kader juga sudah dilakukan namun belum optimal, karena pelatihan yang diberikan masih mengenai teknis pelaksanaan posbindu. Seharusnya kader juga diberikan pelatihan terkait pengetahuan tentang PTM, faktor risiko, dampak dan pengendalian PTM, pengetahuan tentang posbindu, memberikan kemampuan dan keterampilan dalam memantau faktor risiko PTM9.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2022 menyatakan bahwa dana desa dapat digunakan untuk pemberian insentif untuk Kader Pembangunan Manusia (KPM), kader posyandu dan pendidik pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menjadi kewenangan Desa. Dalam Permendes PDTT ini hanya menyebutkan kader Posyandu. Jika saja dapat dilakukan advokasi sehingga kader posbindu juga masuk ke dalam peraturan ini, maka akan menjadi motivasi bagi kader dan diharapkan lebih mudah melakukan rekrutmen untuk menambah jumlah kader Posbindu-PTM10.

Anggaran biaya untuk program PTM termasuk didalamnya posbindu PTM didanai melalui anggaran DAK, Dana Dekonsentrasi, BOK Puskesmas maupun Dana Desa. Kegiatan tersebut meliputi pengadaan alat kesehatan, pembelian reagensia laboratorium, pencatatan dan pelaporan, sosialisasi ke masyarakat, skrining bagi petugas, transport petugas posbindu, pelatihan dan pembinaan kader posbindu serta honor kader. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Nugraheni & Hartono, 2018) bahwa sumber dana posbindu berasal dari dana APBD, APBN, dan BOK11. Seluruh informan mengatakan tidak ada permasalahan dalam anggaran biaya untuk program PTM termasuk didalamnya posbindu PTM baik yang didanai dengan APBD maupun BOK puskesmas. Pembiayaan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumber daya keuangan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya12.

Namun, masih terdapat wilayah yang belum dapat memanfaatkan Dana Desa untuk kegiatan Posbindu PTM. Belum adanya dasar hukum pemanfaatan APBD bagi Posbindu PTM menyebabkan wilayah kesulitan menganggarkan dana bagi kegiatan Posbindu PTM. Perlu dilakukan kemitraan dengan forum desa/kelurahan siaga untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah, melalui klinik desa siaga atau Poskesdes dapat dikembangkan sistem rujukan dan dapat memperoleh bantuan teknis medis untuk pelayanan kesehatan, sebaliknya bagi forum Desa Siaga penyelenggaraan Posbindu PTM merupakan akselerasi pencapaian Desa/Kelurahan.

Sarana prasarana yang digunakan melipiti tempat pelaksanaan, peralatan Posbindu Kit, dan Bahan Habis Pakai (BHP), serta pemeliharaan peralatan berupa kalibrasi alat. Sarana dan prasarana posbindu disarankan diselenggarakan pada tempat yang mudah dijangkau dan memiliki lingkungan yang bersih13. Tempat pelaksanaan kegiatan Posbindu PTM sebagian besar diadakan di satu tempat yang permanen seperti Pos RW, balai warga dan rumah warga dan tidak berpindah-pindah. Ada juga tempat permanen yang sudah disediakan khusus untuk kegiatan Posbindu, tanahnya milik warga dan pos tempat pelaksanaan posbindu dibangun oleh pemerintah yaitu di kota Pontianak dan NTB. Namun, untuk wilayah Jawa Timur, tempatnya permanen seperti rumah kader, rumah warga, atau kepala kampong, namun sering berpindah-pindah. Hal ini dilakukan agar dapat menjangkau peserta lain, karena kebanyakan peserta lansia cenderung mau datang ke posbindu apabila jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah peserta.

Berdasarkan buku petunjuk teknis Posbindu PTM kelengkapan Posbindu Kit paling kurang tersedia : tensimeter, glucometer, timbangan, alat pengukur tinggi badan, alat ukur lingkar perut, buku monitoring dan buku register. Sebagian besar Posbindu Kit yang tersedia di tiap daerah, sudah memenuhi standar pelayanan. Ketersediaan BMHP selama ini sudah mencukupi. Posbindu kit rata-rata 2 set untuk tiap puskesmas yang dialokasikan dari DAK Dinkes, BHP dari Dinkes dan persediaan puskesmas. Selain itu, ada juga Posbindu kit yang berasal dari swadaya masyarakat seperti di DKI Jakarta. Kalibrasi alat cukup bervariasi di lapangan, ada peralatan yang rutin dikalibrasi, namun ada juga yang belum rutin dikalibrasi jika peralatan tersebut milik swadaya masyarakat.

Jika menilik target SPM di bidang kesehatan pada Permenkes Nomor 4 tahun 2019, target skrining yang dilakukan Posbindu PTM sebaiknya dilakukan kepada orang yang berbeda setiap bulannya yang berada di wilayah kerja Posbindu. Di tahun 2019, Kementerian Kesehatan khususnya Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular telah menerbitkan Buku Juknis Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) bagi Kader. Pada Buku Juknis 2019, konsep pelaksanaan Posbindu PTM belum dijelaskan secara mendetail. Sasaran kegiatan yang tertulis adalah seluruh warga negara yang berusia ≥ 15 tahun yang ada di wilayah Posbindu dan frekuensi pelaksanaan dilaksanakan paling kurang satu kali per bulan. Pada juknis tidak disebutkan apakah peserta diwajibkan datang rutin pada setiap bulannya, ataukah peserta yang baru dan berbeda pada setiap bulannya. Konsep pencapaian SPM melalui Posbindu PTM perlu diperjelas pada buku juknis yaitu setiap orang pada wilayah kerja diperiksa minimal satu kali dalam setahun. Penerbitan juknis memerlukan sosialisasi agar terjadi persamaan persepsi antara pengelola program di tingkat pusat dan pelaksana di daerah.

Pada penelitian ini, kemitraan dengan pihak internal dan eksternal telah dilakukan, namun kemitraan yang telah dilakukan masih terbatas dan belum ada kontinuitas. Kemitraan dengan penyedia alat kesehatan telah dilakukam di DKI Jakarta, sehingga alat pemeriksa gula darah dapat disediakan oleh vendor dengan membuat Kerja Sama Operasional (KSO) antara vendor dengan Puskesmas. kemitraan dalam bentuk Coorporate Social Responsibility (CSR) masih menjadi kendala di berbagai daerah. Namun hasil penelitian yang dilakukan di DKI Jakarta tahun 2018, terdapat kemitraan dalam bentuk CSR di wilayah Jakarta Selatan14. hasil penelitian di Solok pada tahun 2018, kemitraan Posbindu PTM dengan internal program telah berjalan, namun lintas sektor masih belum terjalin15.

Pada tahap proses berdasarkan hasil penelitian lingkungan politik berpengaruh terhadap pelaksanaan program Posbindu PTM. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Humaizi, 2013) bahwa faktor politik, kelembagaan dan komitmen pemerintah mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Komitmen pemerintah terhadap kebijakan dapat dilihat juga dalam besarnya alokasi anggaran yang direncanakan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut16, 17. Variabel sumber-sumber kebijakan mempengaruhi sikap pelaksana dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan18.

Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar daerah sudah melaksanakan kegiatan Posbindu PTM rutin sebulan sekali. Pelaksanaan kegiatan Posbindu PTM diserahkan kepada daerah masing-masing dan kegiatannya dapat dilakukan sendiri atau terintegrasi dengan kegiatan UKBM lainnya seperti posyandu lansia atau posyandu balita tergantung dari kemampuan sumber daya yang ada di daerah tersebut. Hasil penelitian ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh (Susilawati, Adyas, & Djamil, 2021) bahwa pelaksanaan Posbindu di Kabupaten Pesisir Barat berintegrasi dengan posyandu lansia, puskesmas keliling dan kesehatan jiwa hal tersebut dikarenakan kesulitan dalam mengumpulkan masyarakat 19.

Monitoring dan evaluasi (monev) program Posbindu PTM telah dilakukan oleh Dinkes Provinsi dan Dinkes Kab/Kota, puskesmas hingga kelurahan. Sementara masih ada puskesmas dan kelurahan yang belum memilihi jadwal rutin melakukan monev dalam setahun. Monev adalah sarana atau metode untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian output20. Dengan demikian monev pelaksanaan Posbindu PTM harus benar-benar dilakukan oleh institusi yang berwenang dan pihak yang terkait program Posbindu sehingga keberhasilan program bisa tercapai.

Alur pelaporan kegiatan Posbindu PTM sudah dilakukan secara berjenjang, mulai dari kader kepada Puskesmas, kemudian ke Dinkes Kota/Kab, selanjutnya Dinkes Provinsi. Namun pengiriman laporan dari kader kepada Puskesmas umumnya masih dilakukan secara manual. Sementara pengiriman laporan dari Puskesmas ke Dinkes Kota/Kab dilakukan melalui email maupun WhatsApp. Pengiriman laporan melalui SI-PTM ke pusat dilakukan oleh Dinkes Kota/Kab. Kendala terkait pencatatan dan pelaporan adalah keterbatasan SDM dan sarana komputer sehingga menyebabkan keterlambatan pengiriman laporan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sudah ada tindak lanjut hasil pemeriksaan yang didasarkan pada penilaian faktor resiko PTM terhadap peserta untuk masing-masing faktor resiko seperti pemeriksaan gula darah dan tekanan darah. Jika hasil pemeriksaan di atas normal maka kader akan memberikan rujukan ke Puskesmas dengan menggunakan form rujukan. Jika tidak dapat ditangani di Puskesmas akan dirujuk ke RS rujukan, kemudian akan dilakukan rujuk balik ke Puskesmas. Selain rujukan, sebagai tindak lanjut hasil pemeriksaan peserta juga diberikan edukasi atau konseling yang dilakukan pada meja 5. Hal ini sudah sesuai dengan Petunjuk Teknis Posbindu bagi Kader21. Kendala dalam tindak lanjut pemeriksaan ini yaitu peserta belum memiliki KIS (Kartu Indonesia Sehat) atau BPJS kesehatan. Selain itu masih ada daerah yang terkendala ketersediaan obat-obatan PTM sehingga tidak dapat memberikan obat-obatan secara penuh untuk satu bulan tetapi hanya 10 hari saja, akhirnya pasien harus datang kembali atau mengambil sisanya tetapi kadang pasien tidak datang lagi dan akhirnya pengobatan tidak rutin.

Berdasarkan hasil penelitian, sistem informasi yang digunakan dalam sistem pelaporan posbindu PTM yaitu SI-PTM yang dikembangkan dari pusat dan tersimpan di Pusdatin. Kendala pada sistem informasi yaitu server yang ada di Pusdatin amsih terbatas bahkan ketika butuh data tiba-tiba servernya down. Kendala terbatasnya server dalam sistem informasi ini juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan (Rahajeng & Wahidin, 2020) . Selain itu, SI-PTM kurang user-friendly dan belum terkoneksi dengan aplikasi lain sehingga terjadi pengulangan penginputan data. SI-PTM juga belum mencakup laporan kegiatan Posbindu PTM di instansi perkantoran. Saat ini Pusdatin sudah ada aplikasi m-Health yaitu aplikasi mobile yang dapat digunakan untuk pengumpulan data kesehatan dan kedepannya masih terus dikembangkan isinya sehingga bisa terhubung dengan berbagai sektor. M-health telah digunakan oleh negara berkembang untuk mendukung upaya kesehatan masyarakat dan pelayanan klinis dan dimanfaatkan juga untuk memasukkan data berbasis web secara online23.

Pada tahap output, menunjukkan bahwa capaian pemeriksaan Posbindu PTM belum dapat mencapai target SPM. Capaian output yang rendah disebabkan oleh jumlah kunjungan yang masih rendah. Dari hasil penelitian, di berbagai wilayah, capaian usia remaja dan produktif masih cukup rendah yang dapat disebabkan oleh waktu pelaksanaan Posbindu PTM yang bersamaan dengan waktu sekolah atau bekerja. Cakupan peserta Posbindu saat ini masin rendah dan lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok usia lanjut25.

 

Kesimpulan

Faktor pendukung dalam pelaksanaan Posbindu PTM yaitu tersedianya kebijakan yang mendukung di level pusat, adanya peran daerah dalam pendanaan, ketersediaan alat, adanya kemitraan dengan pihak eksternal, adanya integrasi dengan program Posyandu Lansia, alur pelaporan yang sudah berjalan, serta tersedianya sumber daya manusia. Adapun belum adanya kebijakan tertulis terkait pendanaan kegiatan di daerah, belum seluruh alat terkalibrasi, belum adanya kontinuitas kemitraan, pemanfaatan dana desa yang belum maksimal, keterbatasan jumlah obat-obatan PTM, serta kendala sinyal di daerah menjadi penghambat bagi pemanfaatan SI-PTM. Pelaksanaan Posbindu PTM dapat berjalan optimal bila ada kebijakan tertulis terkait komitmen dari pusat dan daerah bagi pendanaan kegiatan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Afiyanti, Yati. (2008). Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus) Sebagai Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(1), 58�62.

 

Data, Analasis. (2014). Teknik Pengumpulan Data. Jurnal Pendidikan Mipa Susunan Redaksi, 4(2), 11.

 

Duha, Samsidar, Utami, Tri Niswati, & Rifai, Achmad. (2021). Analisis Faktor Yang Memengaruhi Minat Berkunjung Masyarakat Ke Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular Di Uptd Puskesmas Lahusa Kecamatan Lahusa Kabupaten Nias Selatan. Jurnal Kesmas Prima Indonesia, 5(2), 52�61.

 

Humaizi, Abdul Aziz. (2013). Implementasi Kebijakan Publik Studi Tentang Kegiatan Pusat Informasi Pada Dinas Komunikasi Dan Informatika Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Administrasi Publik (Public Administration Journal), 3(1).

 

Insania, Safirah. (2021). Analisis Penerapan Sistem Pembelajaran Daring Pada Mata Pelajaran Ips Terpadu Siswa Kelas Viii Smp Negeri 2 Pasuruan. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

 

Iswari, Idasri. (N.D.). Aspek Etik Penelitian Kesehatan.

 

Kemenkes, R. I. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Ri No 43 Tahun 2019 Tentang Puskesmas. Peraturan Menteri Kesehatan Ri No 43 Tahun 2019 Tentang Puskesmas, Nomor, 65(879), 2004�2006.

 

Milita, Fibra, Handayani, Sarah, & Setiaji, Bambang. (2021). Kejadian Diabetes Mellitus Tipe Ii Pada Lanjut Usia Di Indonesia (Analisis Riskesdas 2018). Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 17(1), 9�20.

 

Nugraheni, Wahyu Pudji, & Hartono, Risky Kusuma. (2018). Strategi Penguatan Program Posbindu Penyakit Tidak Menular Di Kota Bogor. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(3), 198�206.

 

Permenkes, R. I. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Kemenkes Ri.

 

Rahajeng, Ekowati, & Wahidin, Mugi. (2020). Evaluasi Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular (Ptm) Berbasis Data Kegiatan �Posbindu Ptm.� Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 30(3).

 

Riskesdas, Tim. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan (Lpb).

 

Ristanti, Yulia Devi, & Handoyo, Eko. (2017). Undang-Undang Otonomi Daerah Dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Jurnal Rak (Riset Akuntansi Keuangan), 2(1), 115�122.

 

Sari, Dwi Wigati Ratna, & Savitri, Mieke. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Posbindu Penyakit Tidak Menular (Ptm) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Setia Budi Kota Jakarta Selatan Tahun 2018. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: Jkki, 7(2), 49�56.

 

Surahman, Ence, Satrio, Adrie, & Sofyan, Herminarto. (2020). Kajian Teori Dalam Penelitian. Jktp: Jurnal Kajian Teknologi Pendidikan, 3(1), 49�58.

 

Susilawati, Nova, Adyas, Atikah, & Djamil, Achmad. (2021). Evaluasi Pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Ptm Di Kabupaten Pesisir Barat. Poltekita: Jurnal Ilmu Kesehatan, 15(2), 178�188.

 

Copyright holder:

Sundari Wirasmi, Anhari Achadi, Anggita Bunga Anggraini (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: